Beranda blog Halaman 44

Penggunaan Model Bahasa Tersurat dalam Alquran

0
Penggunaan Model Bahasa Tersurat dalam Alquran
Penggunaan Model Bahasa Tersurat dalam Alquran

Dalam sebuah artikel berjudul “Conveying Meaning in Legal Language: Why the Language of Legislation Needs to Be More Explicit than Ordinary Language”, Roberta Colonna Dahlman (2022) menegaskan bahwa undang-undang perlu disampaikan dalam bahasa tersurat.

Dalam artikel yang dimuat di Journal of Pragmatics, peraih dua gelar doktor yakni doktor di bidang hukum dan doktor di bidang linguistik Italia itu menjelaskan, pembuat undang-undang dapat saja menyampaikan undang-undang secara tersirat. Namun, tidak ada jaminan bahwa hakim akan menafsirkan teks undang-undang tersebut sesuai dengan maksud pembuat undang-undang.

Hampir sama dengan undang-undang, Alquran juga berisi peraturan dan pedoman hidup untuk umat manusia. Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 2 Allah berfirman, “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Sebagai pedoman hidup, Alquran perlu disampaikan melalui bahasa tersurat sehingga maksud Alquran dapat dipahami secara jelas, tidak ambigu, dan tidak multitafsir. Pemahaman akan maksud Alquran membuat pedoman Alquran dapat diterapkan secara benar.

Alquran terkadang memang menggunakan bahasa tersirat. Namun, hal tersebut bertujuan untuk mencapai maksud-maksud tertentu seperti memperbagus ujaran, memperhalus bahasa serta menarik perhatian. Untuk selanjutnya, tulisan ini akan membahas penggunaan bahasa tersurat di dalam Alquran.

Peran Bahasa Arab

Salah satu cara menyampaikan sesuatu secara tersurat dan jelas adalah dengan memanfaatkan kata yang memiliki makna khusus, tidak bermakna ambigu, dan tidak multitafsir.

Sebagai contoh, dalam Bahasa Indonesia, kata “alis” bermakna lebih khusus dan lebih jelas dibandingkan kata “bulu”. Hal tersebut karena kata “alis” berarti bulu yang tumbuh di dahi di atas mata, sementara kata “bulu” berarti berbagai bulu yang tumbuh di permukaan tubuh. Oleh karena itu, untuk merujuk kepada bulu yang tumbuh di dahi di atas mata, penggunaan kata “alis” tentu lebih tepat dibandingkan kata “bulu”.

Alquran telah memilih sebuah bahasa yang memungkinkan dan memenuhi kriteria penyampaian sesuatu secara tersurat dan jelas. Bahasa tersebut adalah Bahasa Arab. Allah berfirman dalam Q.S. Yusuf [12]: 2, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Alquran berbahasa Arab agar kamu mengerti.”

Baca juga: Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Alquran

Bahasa Arab merupakan sebuah bahasa yang perbendaharaan katanya memiliki makna khusus. Untuk makna yang sama tetapi memiliki perbedaan sedikit saja, bahasa Arab akan menyebutnya dengan sebutan yang berbeda. Meski makna masing-masing kata tersebut mirip, setiap kata memiliki makna sendiri dan bukan sinonim.

Ali Karimpoor Qaramaleki (2022) menerbitkan sebuah artikel berjudul “Analysis of the Challenges of Synonymization in Quran” dan diterbitkan oleh Biannual Journal of Research in the Interpretation of the Quran.

Dalam artikel tersebut, Qaramalek menyatakan bahwa sinonim dalam Alquran tidak dapat diterima bahkan menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya pemikiran dangkal dan sederhana dalam memahami makna ayat-ayat Alquran, keyakinan akan redundansi kata-kata Alquran, serta distorsi mukjizat Alquran dalam berbagai bentuknya.

Baca juga: Keindahan Konsep Sinonim dan Antonim dalam Alquran

Karena setiap kata memiliki makna khusus, bahasa Arab sangat kaya dan memiliki banyak perbendaharaan kata. Dalam sebuah artikel berjudul “Arabic as a Language between Qur‘anic (Sacred) and Historical Designations” dan diterbitkan di Millah: Journal of Religious Studies, Kamarudin Salleh (2007) menyatakan, jauh sebelum Islam datang, suku-suku Arab telah mempunyai penyair-penyair yang menulis dalam bahasa yang canggih dengan kosakata yang kaya.

Karena bahasa Arab memiliki banyak kata dan setiap kata bermakna khusus, kata-kata dalam bahasa Arab bermakna jelas, tidak ambigu, dan tidak multitafsir. Uraian berikut akan memberikan beberapa contoh penggunaan kata tersebut di dalam Alquran.

Bahasa Tersurat dalam Alquran

Dalam Alquran, penggunaan bahasa tersurat dapat ditemui dalam Q.S. Al-Hajj [22]: 27, misalnya. Dalam ayat ini Allah berfirman, “Dan serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”

Ayat ini mengandung perintah untuk melaksanakan ibadah haji. Perintah tersebut ditujukan kepada seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia sepanjang mereka mampu melaksanakannya. Untuk melaksanakan ibadah haji, mereka harus menempuh perjalanan jauh menuju Makkah, Arab Saudi. Saat ayat ini turun, kendaraan darat lintas negara yang tersedia hanyalah unta.

Dalam ayat ini, unta disebut sebagai ضَامِرٍ. Dalam Tafsir Al-Munir, Syeh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan, ضَامِرٍ adalah unta jantan atau betina yang kurus dan kelelahan karena melakukan perjalanan jauh. Unta tersebut menghabiskan banyak waktu untuk berjalan sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk makan dan beristirahat. Pemilihan kata ضَامِرٍ menjadi tepat karena menunjukkan unta khusus serta mampu menggambarkan alat transportasi jarak jauh kala itu.

Baca juga: Memaknai Istilah-Istilah Manusia dalam Alquran Perspektif Bintu Syathi

Penggunaan bahasa tersurat juga dapat ditemui dalam Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 55. Dalam ayat ini Allah berfirman, “Maka, kamu minum bagaikan unta yang sangat haus”. Dalam ayat ini, unta disebut sebagai الْهِيمِ. Dalam Tafsir Al-Munir, Syeh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan, الْهِيمِ adalah unta yang sangat haus dan menderita penyakit الهيام, sebuah penyakit yang membuat mereka minum sampai mati. Pemilihan kata الْهِيمِ di sini tepat karena الْهِيمِ bermakna khusus dan mampu menggambarkan rasa haus yang luar biasa.

Pemilihan kata الْهِيمِ di sini juga tepat karena ayat ini menceritakan manusia penghuni neraka. Menurut ayat ini, manusia penghuni neraka tidak minum seperti manusia. Mereka minum seperti الْهِيمِ. Meskipun sudah minum, mereka tetap kehausan. Untuk selanjutnya mereka akan minum kembali dan hal tersebut terus berulang sampai mereka mati.

Penggunaan bahasa tersurat juga dapat ditemui dalam Q.S. At-Takwir [81]: 3. Dalam ayat ini Allah berfirman, “Apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak terurus).”

Baca juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Alquran

Ayat ini mendeskripsikan kekacauan dahsyat yang terjadi menjelang hari kiamat. Dalam ayat ini, unta disebut sebagai الْعِشارُ. Dalam Tafsir Al-Munir, Syeh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan, الْعِشارُ adalah unta yang sudah bunting melebihi sepuluh bulan, hampir melahirkan sekaligus menjadi harta paling berharga bagi masyarakat Arab.

Pemilihan kata الْعِشارُ di sini tepat sebab الْعِشارُ memiliki makna khusus dan menunjukkan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Arab. Menjelang hari kiamat, الْعِشارُ dibiarkan terbengkalai dan sang pemilik memilih fokus pada keselamatan dirinya. Hal tersebut menunjukkan betapa dahsyatnya hari kiamat sehingga orang lupa kepada harta berharga miliknya.

Itulah beberapa contoh penggunaan bahasa tersurat dalam Alquran. Sebenarnya, terdapat begitu banyak contoh serupa dan menunjukkan betapa Alquran menggambarkan sesuatu secara jelas dan tepat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Alquran merupakan kitab suci yang jelas, tidak ambigu dan tidak mengandung pertentangan di antara setiap bagian. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa Alquran layak dan tepat menjadi pedoman dan panduan hidup manusia. Wallahu a’lam.

Arkeologi Alquran: Hikmah dari Peradaban Kaum ‘Ad

0
Arkeologi Alquran: Hikmah dari Peradaban Kaum 'Ad

Salah satu kekuatan Alquran sekaligus menjadi mukjizatnya adalah pemaparan kisah-kisah terdahulu yang bukan hanya dongeng fiktif atau khalayan semata yang jauh dari realitas. Rangkaian kisah tersebut diungkapkan untuk menguraikan ajaran keagamaan dan juga menjadi pelajaran bagi umat dalam banyak hal. Penelitian Arkeologi misalnya sangat terbantu oleh narasi kisah Nabi Hud dan kaum ‘Ad yang cukup banyak dibicarakan dalam Alquran.

Penggalian Arkeologis Kaum ‘Ad dan Kota Iram

Pembicaraan Alquran tentang kaum ini adalah berkisar pada segi kemampuan dan kekuatan mereka, maupun kedurhakaan dan pembangkangan mereka kepada Allah dan Nabi Hud. Di dalamnya juga diceritakan, sebagaimana termaktub dalam QS. Fushsilat [41]: 16 yang pada akhirnya kaum ‘Ad dihancurkan oleh Allah dengan gempa bumi dan angin ribut yang sangat dingin.

Adapun peradaban kota Iram yang diungkap Alquran surah al-Fajr ayat 6-8, awalnya banyak ahli sejarawan yang meragukan informasi tersebut. Salah satunya Ibnu Khaldun dalam kitabnya Mukadimah, dia sempat bertanya-tanya bagaimana ceritanya ada kota Iram, sementara orang Arab lama tidak pernah mengetahui dimana letak kota itu. Sebab dalam penggalian keilmuannya, referensi utama Khaldun adalah qaul dan tradisi dari orang-orang secara turun-menurun untuk memecahkan suatu misteri dan sejarah.

Baca Juga: Belajar dari Kehancuran Kaum ‘Ad dan Kota Iram

Tetapi kemudian pada tahun 1834 ada penemuan di Hisn al-Ghurab yang berada dekat kota ‘Adn di Yaman sebuah naskah yang bertuliskan aksara Arab lama (Hymarite) yang menunjukkan nama Nabi Hud yaitu dengan naskah tertulis, “Mereka mengatur urusan kami dengan menggunakan hukum-hukum (agama) Hud yang lurus.” Hal tesebut ada kaitannya dengan peradaban kaum ‘Ad dan kota Iram yang digambarkan di dalam Alquran. (Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran, Juz 23, 182)

Selanjutnya pada 1964-1979 dilakukan penggalian intensif  yang dipimpin oleh dipimpin oleh Profesor Giovani Pettinato dibantu Dr Father Dahood dari Pontifical Biblical Institute Vatikan di wilayah barat laut Suriah, tepatnya di Tell Mardikh. Dalam penelitian tersebut ditemukan ribuan lempeng yang bertuliskan huruf Semitik Purba, Eblaite. Dari hasil analisis pada tahun 1986, prasasti Ebla berumur 2.500 tahun (SM) atau sekitar 4.500 tahun lalu. Dengan demikian prasasti ini mempunyai umur tarikh yang sama dengan tarikh bangsa Aad dan Samud menurut tradisi Arab Purba. (Kisah Para Nabi Pra Ibrahim Dalam Perspektif Alquran dan Sains, h. 92-93)

Salah satu lempeng tersebut menyatakan, “Kerajaan Ebla telah mengadakan hubungan dagang dengan bangsa Samutu dan Aad di Kota Iram.” Hal ini jelas menunjukkan bahwa bangsa Samutu, Aad, dan kota Iram tidak lain adalah bangsa yang disebut dalam Alquran. Dalam The Archive of Ebla, 1981 disebutkan bahwa selain prasasti Ebla dan Alquran, tidak ada rujukan lain yang menunjukkan eksistensi tiga peradaban ini, yakni Samud, Aad, dan Iram.

Baca Juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran

Bukti arkeologis lain tentang kota Iram, adalah hasil ekspedisi Nicholas Clapp di Gurun Arabia Selatan pada tahun 1992 pada kedalaman 183 meter di bawah permukaan pasir. Kota tersebut menurut Umar Anggara ditemukan Tim Peneliti yang dipimpin Clapp dari California Institute of Technology Jet Propulsion.

Dia mengawali penelitiannya dengan menyimak legenda-legenda Arab tentang kota tua Ubhar. Dengan bantuan satelit NASA dan satelit Prancis dengan sistem penginderaan optik, Clapp mampu mendeteksi permukaan bawah gurun di Arabia Selatan dan menemukan sebuah bangunan segi delapan, dengan dinding-dinding dan menara yang mencapai ketinggian 9 meter. Diperkirakan, gedung tersebut mampu menampung sebanyak 150 orang. (Sejarah dan ‘Ulum al-Quran, h. 216)

Di samping itu, menurut Magdy Shehab dalam I’jaz al-Ilmi fi al-Quran wa al-Sunnah (h. 41-42), Clapp juga menemukan manuskrip peta yang dibuat oleh Ptolemy seorang ahli geografi Yunani yang pernah tinggal di Mesir pada tahun 200 M. Peta tersebut menjelaskan lokasi kota kuno yang berhasil ditemukan dan jalan-jalan yang mengarah ke kota tersebut. Dengan demikian, dia menyimpulkan bahwa penemuannya merupakan bagian dari kota Iram, pusat kegiatan dakwah Nabi Hud dan merupakan peninggalan historis dari kaum ‘Ad.

Bukti keberadaan kota kaum ‘Ad dalam penemuan sisa-sisa penggalian kota tersebut sesuai dengan penyebutannya di dalam Alquran. Dikatakan bahwa tidak ada bangunan yang menyamainya, hal ini pun terbukti dengan keadaan kota tersebut yang memiliki serambi tiang yang berbentuk bulat padahal tempat-tempat lain di Yaman hingga sekarang memiliki tiang-tiang yang berbentuk segi empat.

Ciri lain kota Iram yang disebutkan di dalam Alquran adalah kota yang dipenuhi dengan tanaman seperti yang disebutkan di dalam QS. al-Syu’ara ayat 128-135. Data sejarah mengungkapkan bahwa daerah itu mengalami perubahan iklim sehingga menjadi padang pasir, padahal sebelumnya kawasan tersebut merupakan kawasan yang subur dan produktif dengan didominasi oleh tetumbuhan. Salah satu citra satelit NASA mengungkapkan adanya bendungan kuno yang digunakan untuk irigasi kaum ‘Ad yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan air sekitar 200.000 orang. (I’jaz al-Ilmi fi al-Quran wa al-Sunnah, h. 44)

Baca Juga: Kaum Madyan dalam Al-Qur’an: dari Asal Usul Penamaan Hingga Silsilah Keturunan

Terkait runtuhnya peradaban kaum ‘Ad disebutkan dalam majalah Prancis A M’interesse bahwa kota Iram atau Ubar tersebut runtuh karena dilanda angin yang disertai dengan pasir yang kemudian menimbun kota tersebut dengan pasir dengan ketebalan 12 m dan itu sesuai dengan yang disebutkan dalam QS. Fushsilat ayat 16.

Dengan demikian, disimpulkan bahwa informasi Alquran tentang kejadian masa lampau seperti keberadaan bangsa ‘Ad dan kota Iram sebagaimana telah disebutkan dalam beberapa ayat— menunjukkan betapa mustahilnya ilmu tersebut berasal dari diri Nabi Muhammad sendiri, di sisi lain temuan penelitian arkeologis memberikan bukti dan pelajaran bahwa Alquran yang sangat ilmiah berbicara tentang kebenaran dan fakta.

Hikmah dari Peradaban Kaum ‘Ad

Kota Iram menurut riwayat adalah kota yang dibangun oleh Shaddad bin ‘Ad, sebuah kota yang indah dan penduduknya diberikan kelebihan dari kaum yang lain, baik itu berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang memadai.

Di antaranya mereka telah mampu mendirikan bangunan tinggi, istana megah, dan benteng-benteng yang tidak ada tandingannya di negeri lain pada masa itu. Selain itu mereka dianugerahi kesuburan, karena memiliki mata air, kebun-kebun, dan banyak ternak menjadikan negerinya makmur dan bergelimangan dengan kemewahan. Namun demikian, peradaban mereka punah karena pembangkangan terhadap Allah dan rasul-Nya.

Hikmah yang dapat dipetik dari pengabadian kisah kaum ‘Ad sebagai peringatan kepada generasi berikutnya, bahwa meskipun mereka kuat dalam kekuasaan dan keperkasaan, tetapi mereka semua hanya meninggalkan artefak-artefaknya saja. Maka membangun peradaban itu tidak hanya cukup dengan pondasi fisik, sebab tanpa adab dan akhlak akan membawa mafsadat dan ujungnya akan menghancurkan diri sendiri.[]

Ragam Istilah Pemimpin dalam Alquran

0
Ragam istilah pemimpin dalam Alquran
Ragam istilah pemimpin dalam Alquran

Dalam telaah Alquran, istilah pemimpin tercermin melalui beberapa istilah. Kata “Khalifah” misalnya, hadir dalam enam ayat Alquran, di antaranya surah al-Baqarah ayat 30, az-Zumar ayat 26, al-An’am ayat 165, Yunus ayat 73, an-Naml ayat 62, dan al-Mujadilah [58]: 7. Demikian pula, istilah “Ūlī Al-‘Amri” muncul dalam dua ayat, yaitu surah an-Nisa’ ayat 59 dan 83. Sementara itu, “Imām” hadir dalam surah al-Baqarah ayat 124, sedangkan “Mālik” dalam surah al-Baqarah ayat 247.

Berikut adalah pandangan para mufasir tentang makna beberapa istilah yang diartikan ‘sama’, yaitu pemimpin. Berdasar penjelasan mereka, dapat dipahami bahwa makna istilah-istilah yang disamakan itu mempunyai implikasi yang berbeda.

Baca Juga: Al-Qawiyyu al-Amin Sebagai Idealitas Kepemimpinan

Khalifah dalam Alquran

Dalam surah Yunus ayat 73, Allah menjelaskan bahwa manusia dijadikan sebagai “kholaif” di bumi, bentuk jamak dari “khalifah” atau pengganti. Ash-Shawka>ni> menjelaskan bahwa ini menunjukkan Allah memberi manusia peran sebagai pengelola bumi, terutama setelah generasi sebelumnya dihancurkan karena kesalahan mereka. Ash-Shawka>ni>  juga menekankan bahwa konsep khalifah berlaku untuk ayat-ayat lain dalam Alquran yang telah disebutkan sebelumnya. (ash-Shawkānī, 2008, hlm. 175)

Sependapat dengan ash-Shawkani, Ibn Kath>ir menjelaskan khalifah di surah al-Baqarah ayat 30, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” yang menunjukkan bahwa peran sebagai khalifah adalah untuk menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi. Ibn Kathir menegaskan bahwa pemahaman yang benar tentang khalifah adalah sebagai pengganti yang mengelola bumi dengan amanah dari Allah. (Ibn Kathir, 2009, hlm. 45)

Dua perspektif ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi ini, mengingatkan kita untuk bertindak dengan bijaksana dalam menjaga bumi ini dan mewariskannya kepada generasi berikutnya dengan lebih baik.

Ulī al-Amr dalam Alquran

 Kemudian istilah pemimpin yang kedua adalah ulī al-amr. Dalam Tafsir al-Qurṭubī, ulī al-amr, atau para pemimpin, diambil dari surah an-Nisa ayat 59. Kewajiban seorang pemimpin adalah berhukum adil dan menunaikan amanat. Menurut al-Qurt}ubī, ulī al-amr juga bisa merujuk kepada ahli Alquran dan pakar ilmu pengetahuan, seperti yang disampaikan oleh Jabir Ibn Abdullah dan Mujahid.

Mereka melihat ulī al-amr sebagai para ahli ilmu agama dan pengetahuan Alquran. al-Qurt}ubī menambah definisi dalam surah an-Nisa ayat 83, menyatakan bahwa ulī al-amr adalah para ulama dan ahli fikih. Dengan demikian, ulī al-amr mengajarkan pentingnya memiliki pemimpin yang adil dan amanah serta kewajiban umat untuk mematuhi otoritas Allah. (al-Qurṭubī, 2007, hlm. 687 Vol.5)

Dalam tafsirnya, Imam aṭ-Ṭabarī menjelaskan bahwa ulī al-amr pada surah al-Baqarah ayat 124 bisa diartikan sebagai para pemimpin. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka adalah para pemimpin. aṭ-Ṭabarī sendiri berpendapat bahwa ulī al-amr mengacu kepada para pemimpin dan penguasa, berdasarkan hadits sahih dari Rasulullah saw. yang memerintahkan taat kepada mereka asalkan perintah tersebut membawa kemaslahatan (Fath al-Bārī 8/254). (aṭ-Ṭabarī, 2007, hlm. 467)

Penjelasan lebih lanjut mengenai ulī al-amr pada ayat 83 di surah an-Nisa tidak disampaikan secara detail oleh aṭ-Ṭabarī, mungkin karena penjelasan sebelumnya sudah cukup.

Baca Juga: Perintah Memilih Pemimpin Muslim, Apakah Bentuk Diskriminasi Terhadap Non-Muslim?

Imām dalam Alquran

Selanjutnya istilah pemimpin yang ketiga diambil dari surah al-Baqarah ayat 124 yang berkenaan dengan istilah imām. Dalam Tafsir al-Munīr karya Wahbah Zuhaili terhadap surah al-Baqarah ayat 124, dijelaskan bahwa Allah memberikan balasan terbaik kepada Nabi Ibrahim atas kesetiaannya. Allah berfirman kepadanya, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu rasul dan imam bagi seluruh manusia; kau pimpin mereka dalam agama mereka dan mereka menirumu dalam perkara-perkara ini, serta orang-orang saleh mengikuti jejakmu.”

Menurut az-Zuhaili hal ini menunjukkan bahwa Ibrahim diberi peran sebagai teladan dan pemimpin spiritual bagi seluruh umat manusia. Tugasnya adalah untuk menyampaikan ajaran tauhid dan menyeru manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala. Ibrahim bahkan memohon agar keturunannya juga diberikan peran yang sama untuk membawa kebaikan dalam perilaku, agama, dan akhlak mereka.

Namun, Allah memberi penegasan bahwa janji-Nya tentang kepemimpinan dan kenabian ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim dan menganiaya diri mereka sendiri. Seorang imam harus menjadi teladan bagi umat dalam menjaga agama dan membawa mereka menuju kebenaran. Jika seorang imam sendiri terlibat dalam penyelewengan, bagaimana mungkin dia dapat memimpin orang lain dengan benar?

Lebih lanjut dalam ayat ini, Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya mengenai istilah pemimpin khususnya imam. Bahwa menjadi seorang imam harus menekankan pentingnya integritas, keadilan, dan keteladanan dalam kepemimpinan agama. Seorang imam harus menghindari kelaliman dan selalu berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi umatnya.(Az-Zuhaili, 2013, hlm. 241)

Baca Juga: Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

Mālik dalam Alquran

Selanjutnya istilah pemimpin yang keempat diambil dari Q.S. al-Baqarah ayat 247 yang berkenaan dengan kata mālik . Dalam Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab terhadap surah al-Baqarah ayat 247, Quraish shihab menjelaskan bahwa Nabi menyampaikan wahyu Ilahi atas permintaan mereka dengan menguatkan penyampaian menggunakan kata “sesungguhnya”. Nabi menjelaskan bahwa Allah telah mengutus Thalut sebagai raja, bukan penunjukan dirinya. Lafaz mālik sini diinterpretasikan oleh Quraish Shihab sebagai raja.

Lebih lanjut, Quraish shihab menjelaskan bahwa mereka meragukan wewenangnya (pemimpin). Ayat ini menegaskan bahwa wewenang memerintah tidak bergantung pada keturunan, melainkan pada pengetahuan dan kesehatan jasmani. Pemilihan pemimpin harus didasarkan pada sifat-sifat dan kualifikasi yang mendukung tugas yang akan diemban. (Shihab, 2012, hlm. 533) Wallah a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi IAT UIN Sunan Ampel Surabaya

Tafsir Aṡar as-Sujūd dan Kaitannya dengan Jidat Hitam

0
Tafsir atsar as-sujud dan kaitannya dengan jidat hitam
Tafsir atsar as-sujud dan kaitannya dengan jidat hitam

Melihat realitas yang ada, tidak sedikit orang memahami bahwa seseorang yang memiliki jidat hitam menunjukkan kuantitas sujud yang dia lakukan, atau ahli ibadah. Ini diasumsikan karena bekas dahi yang sering tergesek dengan alas atau sajadah saat bersujud.

Legitimasi semacam ini didasarkan pada dalil Alquran yang menginterpretasikan lafaz aṡar al-sujūd sebagai bekas sujud, dibuktikan dengan jidat yang menghitam. Apakah penafsiran semacam ini dibenarkan? Mari simak potongan Q.S. al-Fath [48]: 29 berikut.

تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًاۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِۗ ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِۖ وَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ

….Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil.

Baca Juga: Apa Benar Athar As-Sujud itu Bekas Hitam di Jidat?

as-Shabuni memaknai kalimat pembuka ayat 29 ini dengan penjelasan bahwa seseorang yang memperbanyak salat sebagai sebaik-baik amal, dilakukan secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, akan dilimpahkan pahala surga baginya oleh Allah. Ini sebagai bukti keridaanNya. (Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 2/355). Pada potongan ayat berikutnya disampaikan bahwa, orang-orang yang demikian itu (sebagaimana kalimat pembuka ayat) akan tampak tanda bekas sujud dari wajahnya.

Kalimat aṡar al-sujūd tidak bisa dipahami secara sepotong. Perlu memahami secara menyeluruh pada kalimat sebelumnya, yakni sīmāhum fī wujūhihim (pada wajah mereka tampak tanda-tanda). Tanda-tanda ini ditunjukkan oleh wajah secara menyeluruh, tidak hanya dahi sebagai bagian wajah tempat sujud. Artinya, tidak ditunjukkan secara indrawi atas dahi hitam sebagai dampak gesekan sujud.

Az-Zuhaili mengomentari bahwa tanda-tanda khusus yang ditunjukkan oleh wajah-wajah mereka yang ahli ibadah adalah tampak bercahaya, berseri-seri dan teduh wajahnya, rupawan, dan rendah hati.

Sebagaimana dikatakan oleh al-Suddi, bahwa salat dapat memperelok aura wajah. Adapun sebagian orang salaf mengatakan bahwa barang siapa yang memperbanyak salat di waktu malam, maka akan memperelok wajahnya di siang hari. Ini berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir r.a: man kaṡurat ṣalātuhu bi al-laili, ḥasuna wajhuhu bi an-nahāri. (Tafsīr al-Munīr, 26/207)

Dikatakan oleh Syamsuri, bahwa aura wajah yang memancarkan cahayanya membutuhkan waktu yang panjang dari proses sujud itu. Bermula dari sujud dengan jasad (sujud bi al-jasad) hingga menjadi sujud secara sempurna dengan menyatunya hati dan jiwa raga (sujud bi al-jawāhir).

Umumnya orang-orang salafus salih, ahli ibadah melakukan khalwat (tempat sunyi untuk taqarrub ila Allah), ‘uzlah (menjauh dari keramaian) supaya lebih khusyuk dalam beribadah kepada-Nya, sehingga tampak darinya aṡar al-sujūd (bekas sujud) yang dibuktikan dengan aura wajah yang berseri-seri, teduh, dan bercahaya. Bukan aṡar al-sajadah atau aṡar al-karpet, yang ditunjukkan dengan warna hitam di jidat (Tafsir di Era Revolusi 4.0, 137)

Adapun menurut ar-Razi, ada dua pendapat aṡar al-sujūd yang memancar dari wajah manusia. Pertama, aṡar al-sujūd saat kelak di akhirat, menerangi dirinya pada saat dibangkitkan dari kuburnya. Tanda itu adalah sebagai pembeda, antara ahli ibadah dan ahli maksiat. Sebagaimana firman-Nya Q.S. Ali Imran ayat 106: yauma tabyaḍḍu wujūhun; dan Q.S. at-Tahrim ayat 8: nūruhum yas’ā. Kedua, aṡar al-sujūd dipancarkan di dunia. Seseorang akan memancarkan vibrasi positif, yaitu teduh, adem, dan nyaman saat berada di sampingnya. (Mafātīḥ al-Ghaib, 28/108)

Baca Juga: Sujud Tilawah, Sujud Tatkala Membaca Ayat Sajdah

Tidak ada satupun mufasir yang memaknai aṡar al-sujūd dengan tanda hitam di dahi. Semua orang bahkan mampu membuat tanda demikian tanpa harus bersujud lama-lama dan berulang kali, sehingga penafsiran aṡar al-sujūd sebagai tanda jidat hitam adalah salah. Pemahaman ini yang terkadang menyebabkan seseorang bersifat riya’, ingin menunjukkan dirinya atas banyaknya ibadah yang dia lakukan.

Sujud, hakikatnya adalah menghamba sebagai bentuk kerendahan diri kepada Allah. Menunjukkan bahwa diri ini adalah hamba Allah, bukan menuhankan kelebihan diri sendiri yang pada hakikatnya merupakan anugerah yang dititipakan oleh-Nya.

Aṡar al-sujūd tidak hanya memancarkan kesalehan secara personal, namun juga mampu mengantarkan seseorang pada kesalehan sosial, seperti saling membantu, menghargai, tolong-menolong, dan sikap kesalehan sosial lain terhadap sesama.

Inilah yang dinamakan bekas sujud. Selain memancarkan vibrasi positif di dunia, seseorang tersebut kelak akan bangkit dari kuburnya dalam keadaan wajah yang berseri-seri dan bercahaya. Wallāhu A’lam.

Syakban Adalah Bulannya Rasulullah Saw.

0
Syakban Adalah Bulannya Rasulullah Saw.

Di antara bulan-bulan yang ada dalam kalender hijriyah, ada makna dan keberkahan dari setiap masing-masing bulannya, termasuk bulan Syakban. Bulan Syakban merupakan bulan yang agung yang dicintai Rasulullah saw. Pada bulan Syakban, Allah swt. membuka pintu-pintu kebaikan dan menurunkan berkah-Nya. (Gus Arifin, StepbyStep Puasa Ramadhan, 54)

Kata Syakban dalam bahasa arab yaitu syi’ab yang artinya jalan di atas gunung. Maksudnya adalah seperti kiasan yang ditujukan kepada umat muslim untuk melangkah atau menapak ke bulan yang mulia setelahnya, yaitu bulan Ramadhan.

Syakban di ambil dari kata sya’aba yang artinya merekah. Dikatakan demikian karena bulan ini di apit oleh dua bulan yang mulia yaitu bulan Rajab dan bulan Ramadan. (Dwi Aprinita Lestari, Studi Kritik Kualitas Hadis Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban Dalam Kitab Fadhail al-Awqaat Karya Imam Baihaqi, 7)

Baca Juga: Mengapa Dianjurkan Berpuasa di Bulan Syakban?

Biasanya bulan Syakban di gunakan oleh umat Islam untuk mempersiapkan diri menyambut bulan suci Ramadan dengan beberapa amalan-amalan yang di anjurkan. Maka, bulan Syakban juga bisa dijadikan sebagai bulan latihan atau pembinaan untuk mempersiapkan diri supaya menjadi orang yang sukses beramal di bulan Ramadhan nanti.

Bulan Syakban dikatakan sebagai bulannya Rasulullah saw. sesuai dengan hadis  yang diriwayatkan dari Hasan, bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Bulan Rajab merupakan bulannya Allah dan bulan Syakban adalah bulanku (Rasulullah), dan bulan Ramadan adalah bulannya umatku (Nabi Muhammad)”

Ada beberapa amalan yang biasa di lakukan umat Islam sehingga mendapatkan banyak keutamaan. Salah satunya seperti puasa. Ulama menyebutkan bahwa bulan Syakban adalah salah satu waktu yang pas untuk melaksanakan puasa sunah sebagai pemanasan sebelum melakukan puasa yang wajib di bulan Ramadan. Dalam sebuah hadis, Sayyidah Aisyah ra. berkata:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّه

“Belum pernah Nabi saw. berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Syakban sebulan penuh.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Malam Nisfu Syakban dan Penetapan Takdir

Dalam Riwayat lain juga di sebutkan:

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Dan saya tidak pernah melihat Nabi saw. berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Syakban.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, Rasulullah saw. melaksanakan puasa di bulan Syakban hampir satu bulan penuh. Nabi saw. juga menganjurkan kepada umatnya untuk berpuasa pada bulan ini. Tetapi puasa yang sering di lakukan oleh umatnya biasanya di kenal dengan puasa nishfu Syakban. Puasa nishfu Syakban biasanya di lakukan pada pertengahan bulan Syakban. (M.Syukron Maksum, Kedahsyatan Puasa, 101)

Sebagai umat Nabi saw. sudah tentu pasti meniru apa yang beliau lakukan, sehingga banyak dari umatnya yang melakukan puasa pada bulan tersebut karena berharap kemanfaatannya. Namun,  Nabi melarang untuk mendahului puasa Ramadan sebelum masuk pada bulannya. Artinya bahwa puasa di setengah akhir bulan Syakban tidak di sukai oleh Rasulullah kecuali bagi orang-orang yang sudah terbiasa melaksanakan puasa sunnah senin dan kamis. (Abduh Zulfidar Akaha, 165 Kebiasaan Nabi saw.,192)

Hikmah dari puasa di bulan Syakban selain untuk persiapan menyambut bulan Ramadan, ada hikmah yang lain yaitu karena pada bulan ini amal perbuatan manusia di angkat. Sesuai dengan hadits.

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Aku (Usamah) berkata, Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa sebulan penuh sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban. Beliau bersabda: Itu adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang di lupakan orang. Sya’ban adalah bulan di angkatnya amal perbuatan kepada Tuhan semesta alam. Jadi aku ingin agar ketika amalku di angkat, aku dalam keadaan puasa.” (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Selain dari puasa, amalan-amalan yang bisa di lakukan pada bulan Syakban di antaranya adalah berdoa di malam nishfu Syakban, membaca surah yasin di malam nishfu Syakban, berzikir, bersedekah, salat sunah, memperbanyak doa, memperbanyak salawat dan masih banyak lagi amalan yang dianjurkan pada bulan ini.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Berkaitan dengan Syakban bulannya Rasulullah saw., M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (11/319) menjelaskan tentang pengagungan Rasulullah saw. dengan bersalawat kepadanya. Ayat tersebut juga turun bertepatan pada bulan Syakban sehingga menguatkan bahwa bulan Syakban merupakan bulannya Nabi. Maka di anjurkan untuk memperbanyak salawat di bulan ini.

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

 “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bersalawatlah kepada Nabi serta berikan salam kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:56)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa bulan Syakban memiliki keistimewaan yang sangat luar biasa yang tidak kalah istimewa dengan bulan sebelumnya. Bulan ini termasuk bulan yang banyak disukai untuk melakukan puasa sunah sebagaimana yang di lakukan oleh Rasulullah saw. yang melakukan puasa sunah terbanyak pada bulan ini. Maka pada bulan ini umat muslim banyak menggunakan kesempatan untuk beramal, melakukan ibadah untuk memperkuat keimanan.

Wallahu a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Mengapa Dianjurkan Berpuasa di Bulan Syakban?

0
Mengapa Dianjurkan Berpuasa di Bulan Syakban?

Syakban merupakan bulan ke delapan dalam perhitungan tahun hijriah. Ia terletak di antara Rajab dan Ramadhan. Posisinya yang demikian ini menjadikan dirinya ‘kurang diuntungkan’. Ia dianggap ‘kurang istimewa’ dibanding Rajab, satu dari empat bulan haram (mulia), dan Ramadhan, yang  di dalamnya terdapat lailah al-qadr, satu malam yang lebih mulia ketimbang seribu bulan.

Rasulullah saw. sendiri menyebut Syakban sebagai ‘bulan yang terlupakan’. Dalam riwayat Ahmad, beliau bersabda,

ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Artinya: Itulah bulan yang terletak di antara Rajab dan Ramadhan dan sering kali dilupakan orang-orang. Yaitu bulan ditampakkannya amal-amal di hadapan Tuhan sehingga aku senang dihadapkan amalku sedang aku dalam keadaan berpuasa. (HR. Ahmad)

Baca Juga: Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

Ahmad Ginanjar Sya’ban dalam kolom Fatawa Syar‘iyyah-nya di portal NU Online menjelaskan bahwa riwayat Ahmad ini oleh para ulama dipahami sebagai argumen keutamaan meramaikan waktu-waktu tertentu yang sering kali dilupakan. Dalam masalah ini, Syakban sama halnya dengan waktu yang memanjang di antara salat Magrib dan Isya.

Argumen yang sama sejatinya juga berlaku bagi riwayat lain yang berisi motivasi beramal dan beribadah di bulan Syakban, seperti riwayat Imam Bukhari dan Ibn Majah di bawah ini.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Artinya: Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. sedemikian sering berpuasa hingga kami mengatakan seolah beliau tidak pernah berbuka. Beliau juga sering tidak berpuasa hingga kami mengatakan seolah beliau tidak pernah berpuasa. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa selama sebulan kecuali puasa Ramadhan. Dan aku juga tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa (sunnah) kecuali di bulan Syakban. (HR. Bukhari)

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاء الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطَّلِعَ الْفَجْرَ

Artinya: Ketika malam Nisfu Syakban tiba, maka beribadahlah di malam harinya dan puasalah di siang harinya. Sebab, sungguh (rahmat) Allah turun ke langit dunia saat tenggelamnya matahari. Kemudian Ia berfirman: “Ingatlah orang yang memohon ampunan kepada-Ku maka Aku ampuni, ingatlah orang yang meminta rezeki kepada-Ku maka Aku beri rezeki, ingatlah orang yang meminta kesehatan kepada-Ku maka Aku beri kesehatan, ingatlah begini, ingatlah begini, sehingga fajar tiba. (HR. Ibnu Majah)

Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Islam dalam Bulan Syakban: Peralihan Kiblat

Namun demikian, menurut Ginanjar, pada praktiknya, Rasulullah saw. ternyata tidak sesering itu melakukan ibadah puasa di bulan Syakban. Menurutnya, Rasulullah saw. hanya beberapa kali melakukan puasa di bulan Syakban sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah r.a dalam riwayat Bukhari. Hal ini berarti bahwa ada faktor lain yang mendorong (murajjih) Rasulullah saw. berpuasa di bulan Syakban.

Hadis riwayat Ahmad di awal sejatinya telah memuat alasan mengapa Rasulullah saw. senang dan menganjurkan berpuasa di bulan Syakban, yakni pada bagian “bulan ditampakkannya amal-amal di hadapan Tuhan”. Bagian ini menurut Ginanjar, memiliki persesuaian dengan surah Az-Zumar [39] ayat 10,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Artinya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.

Raf‘ al-a‘mal (ditampakkannya amal) dalam riwayat Ahmad memiliki nilai yang sama dengan wafa’ al-ajr (penyempurnaan pahala) dalam surah Az-Zumar [39] ayat 10. Lantas, mengapa ibadah puasa yang dipilih dalam konteks tersebut?

Baca Juga: Syakban, Bulannya Pembaca Alquran

Merujuk penjelasan Al-Ghazali dalam Al-Arba‘in fi Ushul al-Din, ibadah puasa (al-shaum) menempati setengah bagian dari kesabaran (al-shabr). Hal ini karena setengah bagian dari kesabaran berfungsi meredam pendorong nafsu (al-syahwah), yang itu menjadi fungsi ibadah puasa, dan setengah bagian yang lain berfungsi meredam pendorong amarah (al-gadlab). Rasulullah saw. bersabda,

وَالصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ

Artinya: dan puasa adalah setengah dari kesabaran. (HR. Turmudzi)

Oleh karena persesuaian yang dimiliki antara riwayat Ahmad tersebut di awal, surah Az-Zumar [39] ayat 10, dan riwayat Turmudzi ini, Rasulullah sangat menganjurkan berpuasa di bulan Syakban.

Terkait dengan waktu ‘ditampakkannya amal’ atau ‘disempurnakannya pahala’ boleh jadi pada malam nishf Syakban sebagaimana diulas oleh Rasyida Rifaati Husna dalam tulisannya berjudul Malam Nisfu Syakban dan Penetapan Takdir dan Habib Maulana Maslahul Adi dalam tulisannya berjudul Malam yang Diberkahi Lailatul Qadar atau Nishfu Syaban?.

Wallahu a‘lam bi al-shawab []

Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

0
Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama
Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keragaman keyakinan di Indonesia terkadang masih rawan terancam oleh sikap egoisme beragama. Egoisme beragama dalam hal ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku individu atau kelompok tertentu yang cenderung membesarkan keyakinan dan praktik agama mereka sendiri; sering kali dengan mengabaikan, merendahkan, bahkan merampas hak keyakinan dan praktik agama lain.

Fenomena ini nyatanya telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari konflik antarumat beragama hingga diskriminasi terhadap minoritas agama. Sebagai mayoritas, umat muslim di Indonesia tentu memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan dan hak-hak umat minoritas. Hal tersebut ditujukan guna mencegah timbulnya egoisme beragama yang berpotensi dapat menciptakan ketegangan sosial dan mengancam keutuhan nasional.

Salah satu ayat Alquran yang hendaknya perlu untuk ditadaburi oleh seorang muslim agar tidak terbuai dalam sikap egosentriknya adalah Q.S. Albaqarah [2]: 148 sebagai berikut.

وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Isyarat Pluralitas dalam Perbedaan Kiblat Tiap Umat

Menurut penjelasan dari Tafsir Kemenag, tidak ada kelebihan di antara kiblat umat yang satu dengan kiblat umat yang lainnya. Selain itu, turut dijelaskan pula bahwa hal yang menjadi inti seseorang ketika beragama hanyalah patuh terhadap segala perintah Allah dan senantiasa melakukan kebaikan terhadap sesama manusia. Dengan kata lain, walaupun setiap umat mempunyai kiblatnya masing-masing, tetapi pada sejatinya beriman kepada Allah Swt. adalah kiblat yang paling utama.

Hal senada juga dijelaskan dalam Tafsir Al-Manar (Juz 2, hal. 22-23) ketika menerangkan perihal perbedaan arah kiblat. Dalam tafsir tersebut juga dikatakan bahwasanya arah kiblat bukanlah menjadi suatu landasan dalam beragama, melainkan hal furuk yang memang memiliki perbedaan menurut keadaan setiap umat. Oleh sebab itu, akhir ayat ini memberikan pemahaman kepada orang-orang yang selalu sibuk mempermasalahkan arah kiblat yang berbeda agar melakukan hal yang lebih utama dalam beragama, yakni al-musara’ah ila al-khairat (bergegas-gegas kepada kebaikan).

Baca juga: Perbedaan Adalah Keniscayaan, Toleransi Adalah Keharusan

Dari kedua penafsiran di atas kiranya dapat dipahami bersama perihal adanya dimensi pluralitas ketika Allah Swt. menetapkan kiblat yang berbeda-beda bagi tiap umat. Kemajemukan yang dibahas dalam Q.S. Albaqarah [2]: 148 tidaklah dijadikan sebagai sumber perpecahan bagi manusia dengan segala keragaman dan kecenderungan egosentriknya. Namun, pluralitas tersebut justru dijadikan sebagai motivasi agar setiap manusia dapat berlomba-lomba dalam memberikan kebaikan kepada sesama guna menghindari konflik yang disebabkan karena adanya sikap egoisme beragama.

Solusi Egoisme beragama dengan Ber-Fastabiqul Khairat

Egoisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai suatu tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Egoisme beragama sama halnya dengan seseorang yang menjalankan keyakinannya dengan cara egois, eksklusif, hingga ke taraf ekstrem tanpa perlu mempedulikan dampaknya bagi masyarakat yang lainnya.

Egoisme beragama pada akhirnya akan mengantarkan seseorang dalam sikap fanatik dan bahkan berani menilai orang lain dengan predikat “kafir” apabila tidak sejalan dengan agamanya. Hal ini pun juga dapat terjadi antara sesama umat muslim sendiri, sebab terdapat banyak aliran dan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang memang memiliki perbedaan dalam hal sudut pandang/pemikiran seputar keagamaan.

Baca juga: Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!

Dalam hal ini, Q.S. Albaqarah [2]: 148 dapat dijadikan sebagai sebuah solusi untuk meng-counter sikap egoisme beragama yang terlalu berlebihan, bahkan yang terkesan merusak kerukunan. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam karyanya, Tafsir An-Nuur (Jilid 1, hal. 236-237) memberikan pemahaman mengenai ayat ini agar setiap manusia bersegera dalam melakukan kebaikan dan berlomba-lomba dalam perkara tersebut. Dalam sambungnya, Ash-Shiddieqy juga menuliskan bahwa sebaiknya seseorang perlu sosok guru atau mursyid yang dalam hatinya tidak ada rasa sombong maupun hawa nafsu semata, sebab orang seperti itulah yang justru akan mendorongnya untuk memecah belah antarumat beragama.

Sementara itu, Buya Hamka memaknai ayat ini sebagai seruan damai kepada seluruh masyarakat beragama dan bukan terkhusus kepada umat Islam saja. Dalam Tafsir Al-Azhar  (Jilid 1, hal. 341), Hamka menekankan pada sisi “fastabiqul khairat”. Sebab, kelak di hari Kiamat Allah Swt. akan mengumpulkan seluruh manusia baik dari umat Islam, Nasrani, Yahudi, dan sebagainya untuk diminta pertanggungjawaban atas setiap amalnya. Melalui semangat ber-fastabiqul khairat diharapkan setiap umat beragama dapat saling beramal dan memberikan jasa, tanpa harus memaksakan keyakinan antara umat yang satu dengan yang lainnya.

Baca juga: Surah Ali Imran Ayat 19 dan Monopoli Kebenaran Perilaku Beragama

Dari paparan di atas mari refleksikan pemahaman bersama tentang Q.S. Albaqarah [2]: 148 dengan kondisi umat beragama yang ada di Indonesia atau mungkin di lingkungan sekitar kita. Betapa banyaknya orang-orang yang berbeda agama dengan kita hidup secara berdampingan dan saling membutuhkan sebagai sesama warga negara Indonesia.

Oleh sebab itu, sikap egoisme beragama ini jangan sampai ditunjukkan oleh umat Islam hanya karena posisinya sebagai pihak mayoritas, sehingga semena-mena membuat pihak minoritas merasa tertindas. Dengan kata lain, melalui semangat fastabiqul khairat harapannya mampu menjadikan masyarakat muslim untuk dapat berperan aktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan antarumat beragama tanpa harus merampas hak-hak minoritas; minimal hak mereka sebagai bagian dari warga negara Indonesia.

Hakikat Perbuatan Baik terhadap Sesama Menurut Jalaluddin Rumi

0
Hakikat Perbuatan Baik terhadap Sesama Menurut Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi yang terkenal sangat humanis, toleran, dan senantiasa menebarkan buih-buih cinta melalui syairnya. Setiap puisinya merupakan gambaran simbolis kondisi manusia kaitannya dengan hubungan dengan dirinya sendiri, Tuhan, sesama, maupun alam keseluruhan dengan bahasa yang paling indah dan sederhana.  

Bagi dunia modern, tampaknya nasihat spiritual Jalaluddin Rumi menjadi sebuah kebutuhan, khususnya dalam hal relasi terhadap sesama. Mengingat nilai cinta kasih kian memudar di tengah masyarakat, dengan realita bahwa berapa banyak orang sibuk dengan dirinya dan tidak peduli satu sama lain terutama yang tertimpa kemalangan. Sehingga pesan Rumi diharapkan dapat membekas dan berdampak positif serta membentuk pola pikir dan olah rasa yang berpengaruh kepada kehidupan sosial. 

Manusia, Satu Sama Lain Adalah Saudara 

Pada dasarnya semua manusia bersaudara dan berasal dari yang satu, yaitu Allah. Akan tetapi, dalam perjalanannya sebagian menjadi lalai, berlaku semena-mena, keras, sombong, saling bermusuhan, dan bertikai sehingga melupakan kesejatian dirinya sebagai penebar rahmat kepada sesama. Rumi berkata, “Jika gambar-gambar itu tahu mereka semua lahir dari Pena yang sama, tentu mereka akan bergaul baik satu sama lainnya.” (Diwan Syams Tabrizi, h. 159). 

Rumi mengingatkan manusia untuk berlaku baik satu sama lain sebab mereka lahir dari sumber yang satu. Terhadap sesama tidak boleh saling bertikai, memfitnah, adu domba, dan menebar kebencian hingga terjadi kekacauan yang akan mencederai kemanusiaan, bangsa, dan agama. Sebaliknya, sebagai saudara, mereka harus saling tolong menolong dan bekerjasama dalam kebaikan demi tercapainya kedamaian dan kerukunan antarsesama. 

Baca juga: Jalaluddin Rumi: Seni Mengatasi Patah Hati

Dalam syairnya yang lain Rumi megatakan, “Manusia terbaik adalah mereka yang membantu orang lain. Saat kamu menjadi hamba sejati pelayanan, cahaya membelaimu, dan dirimu pun memancar! Kamu menjadi lampu ilahi. Kamu tidak khawatir apakah berada di posisi tinggi atau rendah.” (Fihi Ma Fihi, 213). 

Bagi Rumi, seseorang yang berada di jalan cinta akan melihat dirinya seperti lampu yang terus menerus menyala dan menyebarkan cahaya kepada yang lain. Oleh karenanya seseorang harus terus menerus berusaha menebar kebaikan untuk sesama, sehingga hatinya menyala seperti lampu Ilahi yang akan menerangi orang lain dengan cahaya cinta dan kasih sayang.  

Kebaikan Akan Kembali kepada Pemiliknya 

Menurut Jalaluddin Rumi, ketika seseorang berbuat kebaikan kepada orang lain, ibarat ia sedang berkebun dan menanam bunga di sekitar rumahnya. Ia akan menikmati keharuman dan keindahannya setiap kali ia mendatangi kebunnya. Rumi mengatakan, “Setiap orang yang menyebut kami dengan kata-kata yang baik, alam pun akan menyebutnya dengan kata-kata yang baik pula.” (Fihi Ma Fihi, h. 371). 

Orang yang melakukan kebaikan untuk sesama, ia akan menjadi temannya, dan kapan pun orang yang diperlakukan baik berpikir tentang dirinya, ia akan melihatnya sebagai seorang teman dan pikiran seorang teman akan memberikan kedamaian bagaikan bunga di taman. Sebaliknya, ketika ia berbuat keburukan kepada orang lain, maka ia akan berteman dengan keburukan dan setiap ia melihatnya, tidak akan mendatangkan kedamaian di dalam hati.  

Baca juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta

Dalam menyinggung hal ini, Rumi juga mengutip firman Allah dalam Alquran: “Barang siapa mengerjakan kebajikan maka untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Fushilat: 46). 

Menurut para mufasir, salah satunya Sayyid Quthb (10: 171), ayat ini merupakan peringatan bahwa perbuatan seseorang menjadi tanggung jawab dirinya, baik amal saleh ataupun fasad yang dikerjakan akan kembali kepada pelakunya. Hal itu termasuk juga perilaku yang ditujukan untuk orang lain, terlebih lagi menurut Ibnu Faris dalam redaksi ayat tersebut, makna perbuatan digunakan kata ‘amal’ bukan ‘i’timal’. Ini artinya seseorang berbuat untuk kepentingan orang lain, di samping juga untuk kepentingan diri sendiri (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, h. 714). 

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 216: Belajar Mencintai dan Membenci Sewajarnya

Dengan demikian, pesan Rumi tentang kebaikan kepada sesama dapat menjadi motivasi yang kuat bagi seseorang untuk berlaku baik kepada yang lain. Tatkala dia berbuat baik maka balasannya pasti perlakuan baik, bukan hanya dari orang tersebut, melainkan pula alam semesta dan Rabb-nya. Hal ini sebagaimana pula diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Barang siapa yang melapangkan (urusan) orang lain, maka Allah akan memudahkan baginya (urusan) di dunia dan akhirat.” (H.R. Muslim). 

Q.S Albaqarah [2]: 216: Mengulik Pesan Kemanusiaan dalam Ayat Perang

0
Q.S Albaqarah [2]: 216: Mengulik Pesan Kemanusiaan dalam Ayat Perang

Hidup damai tanpa adanya perang adalah wujud dari rasa kemanusiaan. Peperangan dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak, ia bersifat muqayyad  (insidental). Ia harus dibatasi oleh hal-hal yang memperbolehkannya secara mutlak. Apabila hal-hal yang menyebabkannya itu tidak ada, maka perintah untuk berperang tidak diperbolehkan.

Hanya atas izin Allah perang boleh dilakukan. Izin perang baru turun di periode Madinah, sepuluh tahun akhir kehidupan Nabi melalui firman-Nya Q.S Albaqarah [2]: 190, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 216: Sesuatu Yang Tidak Disukai Belum Tentu Tidak Baik

Dalam surah lainnya Allah memerintahkan untuk berperang, namun dikatakan bahwa watak manusia secara alamiah sangat membenci kekerasan, apalagi perang. Sebagaimana dalam Q.S Albaqarah [2]: 216:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagi kamu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (1/460) menjelaskan bahwa manusia tidak menyukai berperang merupakan hal yang normal. Karena dengan berperang dapat menyebabkan cidera, menghilangkan nyawa serta harta benda dan sebagainya, sedangkan pada umumnya manusia lebih memilih untuk bertahan hidup dan memelihara harta benda.

Baca Juga: Menepis Anggapan tentang Status Mansukh Ayat-ayat Perdamaian

Dikatakan bahwa Allah mengetahui jika manusia tidak menyukai berperang, akan tetapi terdapat keharusan untuk berjuang menegakkan keadilan. Ia mengumpamakan peperangan bagaikan obat pahit yang harus diminum meskipun tidak disenangi demi menjaga kesehatannya.

Dilihat dari satu sisi ayat ini mengakui naluri manusia membenci perang, sisi lainnya mengingatkan tujuan hal tersebut jika pada kondisi yang mengharuskannya.  Apabila ditarik pada masa kini, misalnya Indonesia didatangi musuh dari negara lain maka seketika itu wajib bagi penduduknya untuk bersatu dalam berperang membela tanah air tumpah darahnya.

Untuk menghadapi kondisi yang mengharuskan berperang terdapat perintah untuk selalu siap berperang pada QS. al-Anfal [8]: 60. Tentu bukan lantaran harus berperang, justru persiapan itu untuk menghindarkan perang sesuai prinsip Islam sebagai agama damai. Tujuannya untuk menggetarkan musuh sehingga tidak berani mengambil langkah berperang.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Sedangkan dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur [1]: 358, karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwasannya hukum berperang adalah fardhu kifayah. Apabila suatu golongan sudah melakukannya, maka cukuplah sudah, yang lain tidak diwajibkan lagi. Tetapi, jika musuh sudah memasuki wilayah negeri untuk menjajahnya, maka perang menjadi wajib ‘ain bagi semuanya.

Jika perang menghadapi musuh tidak dilakukan, akan mendatangkan kesengsaraan, ketidakamanan dan tidak adanya kedamaian. Selain menghindari bangsa akan terjajah, peperangan juga akan menyelamatkan agama, kehidupan warga negara, membesarkan kalimat kebenaran, serta memperoleh pahala di akhirat dan keridaan  Allah.

Demikian dalam Q.S Albaqarah [2]: 216 itu menunjukkan betapa berat dan bencinya sesungguhnya orang kepada peperangan. Namun, dalam keadaan terdesak dia digunakan untuk menegakkan perdamaian dengan menjalankan prinsip dan etika perang sesuai tuntutan Islam.

Hal ini mencerminkan kepedulian Islam terhadap kemanusiaan dan menjauhkan umatnya dari tindakan kekerasan yang tidak beralasan. Karena rasa berat dan bencinya terhadap perang, pada perkembangannya yang lebih diutamakan adalah rasa kemanusiaan, yaitu bagaimana peperangan tersebut tidak berlangsung dengan penuh kekejaman.

Penutup

Meskipun Islam memperbolehkan perang, namun tetap dalam prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebab peperangan itu bukan hanya memberantas musuh tapi mengkhianati fitrah manusia yang pada dasarnya membenci peperangan. Oleh karena itu, menebar perdamaian sangatlah penting dalam menjaga kemanusiaan.

*Artikel ini hasil kerja sama tafsiralquran.id dan Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Ampel Surabaya

Tiga Bentuk Amanah dalam Q.S. Alnisa’ Ayat 58 Perspektif al-Razi

0
Tiga Bentuk Amanah dalam Q.S. an-Nisa’ Ayat 58 Perspektif al-Razi

Saling menjaga kepercayaan satu sama lain merupakan salah satu komponen terpenting dalam memelihara hubungan sosial, sekaligus menjadi bentuk ketakwaan kepada Allah. Kata amanah sendiri berasal dari kata al-amn, dengan pengertian rasa aman atau percaya.

Secara makna luas, amanah dimaknai sebagai penyerahan suatu kepercayaan kepada pihak lain yang diyakini bahwa apabila di bawah tanggung jawabnya  sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terjaga dengan baik.

Perintah kewajiban menunaikan amanah telah disebutkan dalam potongan firman-Nya Q.S. Alnisa [4]: 58 berikut.

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya.

Al-Razi, salah seorang mufassir kontemporer, mengomentari bahwa konsep amanah dalam ayat ini tidak hanya sekadar hubungan antar manusia. Lebih dari itu, ia membagi ke dalam tiga bentuk amanah, di antaranya: amanah dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan diri sendiri.

Baca Juga: Kisah Utsman bin Thalhah dan Sabab Nuzul Surah Alnisa’ Ayat 58

Amanah dengan Tuhan

Hal ini mengandung makna keharusan bagi kaum muslim untuk melaksanakan dan menunaikan semua kewajiban (al-ma’mūrāt) dan meninggalkan segala larangan-Nya (al-manhiyyāt).

Dan ini merupakan suatu hal yang harus dilaksanakan secara terus-menerus sebagai seorang hamba. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa amanah dalam segala hal adalah wajib dilaksanakan sebagai seorang hamba, baik dalam wudhu, janabah, salat, zakat, dan puasa.

Ibnu Umar menambahkan bahwa Allah telah menciptakan kemaluan manusia untuk diamanahkan agar menutup dan menjaganya dengan baik, kecuali apa yang telah menjadi haknya.

Amanah dianugerahkannya lisan, adalah agar tidak digunakan untuk berbohong, ghibah, namimah, kufur, bid’ah, dan sikap-sikap buruk yang dikeluarkan oleh lisan lainnya. Dianugerahkannya mata, adalah agar tidak difungsikan untuk melihat sesuatu yang diharamkan.

Kemudian, dianugerahkannya pendengar adalah agar tidak digunakan untuk mendengar ucapan tidak senonoh, kotor, dan kebohongan. Hal yang sama berlaku pula bagi seluruh bagian tubuh manusia, termasuk hati. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Oleh karenanya, menjadi seorang hamba sudah menjadi kewajiban baginya untuk senantiasa menunaikan hak-hak Allah, sebagai upaya mendekatkan diri kepada-Nya dan memeroleh ridha-Nya.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Amanah dengan Sesama Manusia

Yaitu menjaga kepercayaan kepada sesama, seperti dalam urusan muamalah, pemerintahan, maupun kemasyarakatan, di antaranya bersikap jujur dengan menjaga dan mengembalikan sesuatu yang dititipkan kepadanya dan menahan diri dari melebih-lebihkan takaran timbangan.

Maka dalam hal ini, sikap amanah pelaku bisnis direfleksikan dengan tidak berbuat culas, mencurangi timbangan, atau tindak kecurangan lain yang merugikan. Kemudian, para penguasa atau pejabat bisa ditunjukkan dengan tidak melakukan tindakan korupsi dan menindas rakyat.

Selanjutnya, menjaga aib sesama dan tidak mengabarkan berita yang belum diketahui jelas kebenarannya. Hal ini ditujukan supaya mencegah terjadinya permusuhan dan pertengkaran, yang pada akhirnya akan merugikan secara personal maupun banyak orang. Sehingga dengan begitu akan terciptanya kerukunan dan kedamaian masyarakat.

Terakhir, keadilan para pemimpin terhadap rakyatnya dan keadilan para ulama terhadap umat yang tidak mengusung mereka pada fanatisme belaka, melainkan membimbing mereka pada keyakinan dan perbuatan yang mendatangkah maslahat baik di dunia maupun akhirat. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Baca Juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Amanah dengan Diri Sendiri

Yaitu tidak mengarahkan dirinya berbuat sesuatu apapun kecuali yang bermanfaat dan terbaik baginya dalam agama dan dunia. Sebagai misal, tidak mengorbankan dirinya demi syahwat dan amarah terhadap apa yang merugikannya kelak di akhirat. (al-Razi, Mafātīḥ al-Ghaib, 10/109)

Jenis yang ketiga ini jarang disadari oleh manusia pada umumnya. Mengingat bahwa setiap manusia merupakan khalifah  atau pemimpin, paling tidak, ia memimpin dirinya sendiri.

Menjaga kesehatan diri dengan mengatur pola makan yang baik, berolahraga, beristirahat yang cukup, dan berupaya menyembuhkan dirinya ketika sakit dengan berobat. Selain itu, menahkodai jiwanya pula untuk selalu menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya

Penutup

Amanah seringkali dipahami sempit hanya sekadar pemasrahan kepercayaan kepada orang lain. Lebih dari itu, al-Razi memperluas implementasi amanah pada tiga aspek, yakni kepada Tuhan, sesama, dan diri sendiri.

Dengan demikian, setiap manusia bertanggung jawab atas dirinya terhadap segala sesuatu yang diperbuat, baik terhadap Tuhan, sesama manusia, maupun diri sendiri, yang kelak akan dipertanggung jawabkan di akhirat.

Wallahu A’lamu.