Beranda blog Halaman 45

Menyikapi Keburukan Orang Lain Tidak Harus dengan Memaafkan 

0
Menyikapi Keburukan Orang Lain Tidak Harus dengan Memaafkan 
Menyikapi Keburukan Orang Lain Tidak Harus dengan Memaafkan 

Alquran memberikan petunjuk dan panduan bagi seseorang dalam menyikapi keburukan atau kejahatan orang lain. Solusi yang ditawarkan Alquran bersifat kondisional dan bijak, tidak serta merta mewajibkan mereka untuk memaafkan semata, justru kebijaksanaan yang sesungguhnya adalah kepiawaian membaca situasi. Karena terkadang, dalam beberapa keadaan bisa jadi sekadar memaafkan saja bukan solusi terbaik. 

Cukup banyak ayat Alquran yang subtansinya sama, yakni tidak dilarangnya membalas keburukan orang lain sesuai kadarnya, tetapi closing-nya selalu berujung pada rekomendasi untuk memaafkan. Di antaranya adalah firman Allah Swt. berikut. 

وَٱلَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ ٱلْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ . وَجَزَاء سَيّئَةٍ سَيّئَةٌ مّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ ٱلظَّـٰلِمِينَ 

“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Q.S. asy-Syura [42]: 39-40). 

Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan ulasan yang ringkas dan komprehensif. Beliau mengatakan, 

فشرع العدل وهو القصاص ، وندب إلى الفضل وهو العفو 

“Maka disyariatkan untuk berbuat adil, yaitu qishash. Dan disunahkan berbuat yang fadhl (utama), yaitu memaafkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/212). 

Prinsip ‘adl dan fadhl yang dikemukakan Ibnu Katsir di atas mewakili pilihan sikap yang bisa diambil seorang muslim. 

Prinsip ‘Adl  

Berdasarkan prinsip ‘adl, Ibnu Katsir mengatakan bahwa pilihan sikap yang disyariatkan adalah qishash, yakni membalas dengan yang setimpal. Tentunya persyaratan membalas ini adalah benar-benar dengan kadar yang sesuai dan tidak melampaui batas. Di dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, disebutkan tentang bolehnya membalas cacian selama tidak melampaui batas. Adapun dosanya ditanggung oleh ia yang memulai cacian (H.R. Muslim no. 2587). Berdasarkan hadis tersebut, Islam membolehkan umatnya untuk membela apa yang menjadi haknya dengan catatan takaran yang sesuai atau membalas secukupnya. 

Baca juga: Hukum Mendoakan Jelek Orang yang Zalim

Dalam surah asy-Syura di atas, kata maaf digandengkan dengan islah. Menurut ulama, hal itu sebagai isyarat bahwa permaafan terkadang tidak memberi dampak perbaikan. Dengan kata lain, memaafkan saja terkadang menjadi tidak utama ketika kondisi mengharuskan seseorang untuk membalas demi terjadinya perbaikan. 

Al-Absyihi memberikan beberapa catatan, bahwa kebolehan membalas keburukan orang lain bukan berarti menjadikan sifat suka membalas sebagai tabiat. Dan membalas ini pun tidak berlaku pada perbuatan yang terdapat hukuman had-nya (Al-Mustshraf, 197). Misalnya pencurian dan pembunuhan, yang hendaknya diserahkan kepada ulil amri atau pihak berwenang terkait untuk mengeksekusinya. 

Prinsip Fadhl 

Berdasarkan prinsip fadhl, Ibnu Katsir menyebut sikap yang disunahkan adalah memaafkan. Dengan kata lain, memaafkan tidak wajib, tetapi utama. Rasulullah saw. bersabda; “Maukah aku ceritakan kepadamu mengenai sesuatu yang membuat Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab; ‘tentu’. Rasul pun bersabda; ‘Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, kemudian memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu.” (H.R. Thabrani). 

Baca juga: Tidak Sama yang Buruk dengan yang Baik, Jangan Terjebak Keburukan yang Melenakan!

Memaafkan tidaklah mudah. Quraish Shihab mengatakan, al-afwu berarti menghapus. Tidak disebut memaafkan apabila masih tersisa luka dan dendam di hati. Itu hanya sampai pada tahap menahan amarah (Fathoni, 2022).  

Saking beratnya memaafkan, Rasulullah dalam suatu hadis riwayat Bukhari dan Muslim melarang bertengkar dan mendiamkan seseorang lebih dari tiga hari. Yang menjadi penekanan di sini, bukanlah tenggang waktu kebolehannya. Tetapi syariat memahami psikis manusia yang tidak mudah begitu saja memaafkan. Bahkan lanjutan hadis itu adalah bahwa yang terbaik adalah yang memulai dengan memberi salam (menyapa). Bahwa memaafkan dan berlapang dada, sekalipun hukumnya sunah, tetapi merupakan sikap afdhal (paling utama) yang direkomendsikan syariat. 

Sebuah Pertimbangan 

Ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan seorang muslim sebelum menentukan sikap. Pertama, terkait motif kejahatan. Apabila motifnya bersifat duniawi, sebaiknya diupayakan untuk memaafkan. Sebagaimana kisah Nabi Yusuf a.s. Ketika beliau tengah di puncak karir, beliau sebenarnya memiliki kesempatan untuk membalas kejahatan saudara-saudaranya. Akan tetapi, beliau justru berlapang dada memaafkan sembari berucap, 

لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ 

“Tak ada celaan bagi kalian di hari ini, semoga Allah mengampuni kalian.” (Q.S. Yusuf: 92). 

Pilihan sikap Nabi Yusuf di atas tidak hanya memaafkan, tapi juga membalas dengan kebaikan berupa dimohonkan ampunan. Motif kejahatan saudaranya bersifat duniawi, yakni iri dengki, karena mereka termasuk orang yang beriman. Itulah mengapa kisah Nabi Yusuf tidak diulang dalam Alquran, karena permasalahannya lingkup duniawi dan bukan agama seperti pergulatan hak dan batil yang dialami Nabi Musa.  

Hikmahnya, jika ada yang berbuat kejahatan dengan motif duniawi, sebaiknya dimaafkan. Membalas dengan kebaikan juga dianjurkan Allah dalam surah Fushilat ayat 34, dengan harapan kebaikan dapat meluluhkan hati.  

Baca juga: Beberapa Hal tentang Ghibah yang Dibolehkan

Kedua, terkait memaafkan yang sulit dan dilematis. Pahala memaafkan sangat bisa diperhitungkan untuk kemaslahatan seseorang di dunia dan akhirat. Bahwa memaafkan adalah sedekah. “Tidaklah seseorang yang badannya dilukai oleh orang lain, kemudian ia bersedekah dengan memaafkannya (tidak menuntut diyat), kecuali Allah akan hapuskan dosanya sebanding dengan pemaafan yang ia sedekahkan” (H.R. Ahmad no. 22701). 

Dan bahwa memaafkan adalah penebus dosa. Allah ﷻ berfirman, 

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ 

“Maafkan dan ampuni (lapangkan dada), apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (Q.S. An-Nur: 22). 

Namun tetap, pada akhirnya agama tidak memaksa, apalagi mewajibkan untuk memaafkan. Hanya saja, memilih tidak memaafkan berarti telah melewatkan banyak keutamaan sebagaimana telah dipaparkan di atas. 

Baca juga: Keteladanan Nabi Ibrahim Menyikapi Sensitivitas Orang Tua

Ketiga, terkait karakteristik orang yang telah berbuat zalim. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud r.a., Rasulullah saw. bersabda: 

أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ زَلَّاتِهِمْ 

“Maafkanlah ketergelinciran orang-orang yang baik” (H.R. Ibnu Hibban no. 94). 

Menurut Imam Asy Syaukani, haiah adalah orang yang yang baik agamanya (Nailul Authar, 7/163). Jika kejahatan bukan dilakukan oleh orang yang dikenal melakukan keburukan dan gemar melakukan kerusakan, maka berlapang dada memaafkannya lebih baik. Wallah a’lam 

Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Dhuha dan Malam yang Gelap

0
Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Dhuha dan Malam yang Gelap

Dalam Alquran, Allah seringkali menyertakan qasam atau sumpah, baik dengan DzatNya sendiri maupun dengan makhlukNya. Sebab, Alquran turun kepada Rasulullah Saw. di tengah-tengah bangsa Arab, dimana tradisi sumpah adalah hal lumrah yang digunakan sebagai penguat ucapan seseorang agar lawan bicaranya tidak ragu akan apa yang dikatakan.

Salah satunya, Allah bersumpah dengan “waktu dhuha” dan “malam yang sunyi” dalam surah adh-Dhuha. Surah adh-Dhuha sendiri merupakan surah yang terletak pada urutan 93 dalam runtutan mushaf,  terdiri dari 11 ayat dan tergolong ke dalam surah Makkiyah.

Di dalamnya Allah mengawali ayat dengan sumpah atas nama adh-dhuhā dan al-lail idzā sajā. Kemudian setelahnya Allah menjelaskan bahwa Dia tidak akan pernah meninggalkan Nabi Muhammad seperti anggapan kaum musyrikin saat itu, sebab tidak menurunkan wahyu selama beberapa hari.

Baca Juga: Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

Kronologi Turunnya Surah adh-Dhuha

Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (Juz 30, h. 283) menerangkan terkait sebab turunnya tiga ayat surah adh-Dhuha, dengan mengutip riwayat. Salah satunya dari Imam Bukhari dan Muslim, bahwa kala itu Nabi Saw sakit sehingga tidak qiyamul lail selama satu atau dua malam. Hal tersebut menimbulkan reaksi dari orang kafir. Mereka mengira Allah telah meninggalkan dan membenci Nabi, sehingga tidak menurunkan wahyu lagi kepada Nabi.

Kemudian seorang perempuan mendatanginya seraya berkata, “Hai Muhammad, aku tidak melihat setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu. Lalu Allah menurunkan ayat: (1) Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), (2) dan demi malam apabila telah sunyi. (3) Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.”

Mengenai terputusnya wahyu terdapat banyak riwayat, ada yang mengatakan 12 hari, 15 hari, dan pendapat Ibnu Abbas adalah 25 hari. Sementara al-Suddi dan Muqatil berkata 40 hari. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz 31, h. 221).

Pada waktu itu, Rasulullah merasa bimbang dan sedih sehingga orang-orang Kafir Quraisy mencemooh Nabi Muhammad. Imam al-Farra’ menyebutkan bahwa ketika wahyu lama tidak turun kepada Rasulullah, dan Malaikat pun datang menyampaikan surah adh-Dhuha setelah sekian lama tidak turun, seketika itu Rasulullah langsung bertakbir karena saking bahagia dengan kembalinya penurunan wahyu kepadanya Saw.

Baca Juga: Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya

Dalam riwayat ini ada tambahan dari al-Qurtubi bahwa ketika wahyu telah kembali turun kepada Rasulullah,  malaikat Jibril mendatangi Rasulullah, dan Rasulullah pun bertanya kepada malaikat Jibril, “Wahai Jibril apa yang membuatmu tidak mendatangiku sekian hari lamanya sampai aku sangat rindu kepadamu?”. Malaikat Jibril pun menjawab, “Aku pun lebih rindu terhadap engkau wahai Rasulullah, tetapi aku hanyalah hamba yang diperintah. (Tafsir Jami’ li-Ahkam al-Quran, Juz 22, h. 339)

Ini menandakan bahwa risalah atau wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad itu tidak sekehendak Nabi, melainkan hak preogatif Allah dan Nabi Muhammad harus diajarkan dan dibiasakan dengan tersebut, beliau Saw tidak bisa mengarang Alquran dan memaksa ayat turun karena itu merupakan ketentuanNya. Sehingga kaum kafir Quraisy akan menerima bahwa Alquran adalah benar-benar wahyu yang turuan dari Allah.

Hikmah Sumpah Waktu Dhuha dan Malam Yang Gelap

Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa sumpah Allah dalam Alquran tujuannya untuk memberikan penegasan dan pengukuhan atas informasi yang disampaikan dalam suatu pesan. Sehingga ayat qasam pasti terdapat kaitannya dengan jawab qasam.

Seperti Fakhruddin ar-Razi mengatakan di antara hikmah mengapa dalam surah adh-Dhuha Allah hanya bersumpah dengan waktu dhuha dan malam, seakan-akan Allah mengatakan seorang hamba untuk melihat hikmah dari waktu malam yang bersisian dengan siang. (Tafsir Mafatih Al-Ghaib, Juz 31, h. 209)

Sumpah “demi waktu dhuha” yang waktu pagi tersebut lazim digunakan manusia sebagai awal memulai aktivitas kehidupan hal ini juga sebagai gambaran kabar gembira. Dan juga “malam yang hening” gambaran seseorang dalam kegelisahan dan penderitaan.

Malam hari ketika petang setelah matahari tenggelam atau waktu maghrib belum dikatakan dengan gelap, namun kegelapan malam sunyi dan hening yang pada waktu tersebut semua makhluk dalam kondisi terlelap, inilah yang kemudian dinarasikan sebagai gambaran sangat beratnya ujian yang dihadapi Rasulullah.

Baca Juga: Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

Menariknya dalam awal surah ini, Allah mendahulukan waktu dhuha terlebih dahulu bukan menyebutkan malam sebagai simbol dari kesusahan, untuk meyakinkan bahwa kebahagian itu pasti datang. Rasulullah dalam kegelisahannya menantikan turunnya wahyu  seakan-akan Allah mengatakan kepada Nabi Saw, bahwa kepastian setelah ‘malam yang gelap gulita’ sebentar lagi akan ada ‘waktu dhuha’.

Sehingga pada ayat setelahnya, Allah menghibur Nabi bahwa dirinya tidak pernah ditinggalkan. Allah tidak hendak memutus wahyu dan membenci Nabi sebagaimana yang telah disangkakan oleh orang Kafir, juga memberikan kabar gembira bahwa masa depan yang akan dihadapi Nabi akan lebih baik dibanding dengan hari-hari sebelumnya, dan mengingatkan Nabi bahwa ujian yang berat ini hanya sementara dan akhirat jauh lebih baik.

Dengan demikian, mengapa Allah mengawali sumpah dengan dua waktu tersebut, ini mengajarkan kepada Rasulullah khususnya pada peristiwa ini dan juga kepada umatnya, bahwa waktu malam yang gelap gulita tidak akan terjadi lama, namun akan datang sesudah itu pagi dengan cahayanya, bahwa bahkan dalam situasi sulit atau menantang, selalu ada secercah harapan dan kebahagian setelahnya. Wallahu a’lam.[]

Malam Nisfu Syakban dan Penetapan Takdir

0
Malam Nisfu Syakban
Malam Nisfu Syakban

Sudah menjadi kebiasaan sebagian umat Islam ketika nisfu Syakban (pertengahan Syakban atau malam hari kelima belas bulan Syakban) melakukan ibadah tertentu, baik secara berjamaah maupun sendiri. Terkait amalan-amalan khusus ini, sebagian ulama sejak era Imam Syafi’i dan Imam Hambali mempunyai perbedaan pendapat tentang kebolehan dan sumbernya. Menanggapi hal ini, Gus Baha berpendapat bahwa asalkan amaliyah tersebut diniatkan karena Allah maka hal tersebut adalah sesuatu yang baik.

Dalam sebuah hadits riwayat al-Baihaqi, Rasulullah saw. bersabda,

‎مَنْ أَحْيىَ لَيْلَةَ العِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ القُلُوْبُ.

“Siapa saja yang menghidupkan dua malam hari raya dan malam Nisfu Sya’ban, niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari dimana pada hari itu semua hati menjadi mati.”

Penjelasan ulama mengenai frasa ‘menghidupkan malam’ adalah beribadah kepada Allah, minimal yaitu dengan salat subuh dan salat isya’ berjamaah. Selain itu, dianjurkan pula untuk memperbanyak salat sunnah seperti salat hajat dan lain sebagainya; berzikir seperti istighfar; memperbanyak salawat; membaca Alquran, juga melantunkan doa nisfu Syakban seperti memohon takdir baik.

Baca Juga: Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

Malam Penetapan Takdir Manusia

Malam nisfu Syakban yang dikatakan oleh para ulama merupakan malam penetapan nasib manusia di lauh mahfudz. Keterangan ini diperoleh dari firman Allah, surah ad-Dukhan ayat 3-4, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami adalah para pemberi peringatan. Di dalamnya dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”

Mengenai maksud frasa “malam yang diberkahi” dalam ayat sebelumnya, Imam at-Tabari dalam Jami’ al-Bayan (11/221) menjelaskan bahwa para mufasir berbeda pendapat mengenai ‘malam spesial itu. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar. Sedang sebagian lagi berpendapat bahwa malam yang di maksud adalah malam nisfu Syakban. Pendapat yang terakhir ini antara lain berasal dari riwayat yang bersumber dari Ikrimah, sebagaimana di sebutkan oleh Ibnu al-Jauzi dan al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani.

Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam Ma Dza fi Syakban menerangkan bahwa meskipun mayoritas ulama memahaminya dengan lailatul qadar, namun tidak lantas menyatakan bahwa pendapat tentang perihal nisfu Syakban itu salah.

Beliau menerangkan bahwa penafsiran yang menyataka lailatul qadar adalah hasil dari penggunaan metode tarjih, yaitu mengunggulkan satu riwayat atau penafsiran atas penafsiran lainnya, tetapi, jika metode yang digunakan adalah jam’ur riwayat (mengumpulkan beberapa riwayat lain dan berusaha memberi jalan tengah pemahaman), maka pernyataan ulama bahwa takdir dan ketetapan Allah atas hambaNya diputuskan serta dicatat di malam nisfu Syakban bisa dibenarkan.

Senada dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Menurutnya, malam nisfu Syakban disebut dengan ‘mubarakah’ (yang diberkati) sebab di dalamnya terdapat pemberian rahmat Allah, keberkahanNya, kebaikanNya, dan pengampunanNya bagi penduduk bumi. (Ghunyah al-Thalibin, juz 3, h. 278).

Imam al-Alusi mengutip Al-Baihaqi yang meriwayatkan dari Ustman bin Mughiroh dalam tafsirnya, Ruh al-Ma’ani (18/423) menjelaskan bahwa takdir seseorang itu ditetapkan selama setahun, yaitu dari bulan Syakban sampai Syakban selanjutnya. Termasuk pendukung pendapat ini adalah riwayat dari Ikrimah.

Sementara itu, Sayyid Muhammad Al-Maliki dalam Ma Dza Fi Syakban h. 74, mengutip riwayat Abu Dluha dari Ibnu Abbas, bahwa Allah menetapkan putusan dan takdir pada malam nisfu Syakban dan menyerahkannya pada para malaikat di malam lailatul qadar untuk direalisasikan. Semisal pada malaikat maut, Allah menyerahkan takdir umur seseorang. Begitu pun terkait takdir rezeki, maka diserahkan oleh Allah kepada malaikat yang bertugas menebar rezeki.

Baca Juga: Syakban, Bulannya Pembaca Alquran

Anjuran Doa di Malam Nisfu Syakban

Dari berbagai pendapat di atas, melakukan amalan tertentu maupun berdoa khusus di malam nisfu Syakban dengan mengharap nasib yang baik, meyakini bahwa segala takdir seseorang dicatat pada nisfu Syakban bisa dibenarkan.

Setiap manusia pada dasarnya selalu mengharap ketetapan terbaik dari Tuhannya. Oleh karena itu, khusus pada malam nisfu Syakban, orang-orang saleh memganjurkan umat Islam untuk berdoa dan memohon kepada Allah untuk dihindarkan dari takdir-takdir yang buruk, dan dengan kekuasaan Allah, takdir yang buruk tersebut diganti yang lebih baik dan ditambah rahmat serta berkah untuk tahun tersebut.

Termasuk doa malam nisfu Syakban yang diajarkan pleh orang saleh yaitu doa dari Mufti Betawi. Sayyid Utsman bin Yahya dalam KIitab Maslakul Akhyar,

 اَللّٰهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَلَا يُمَنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ يَا ذَا الطَوْلِ وَالإِنْعَامِ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ ظَهْرَ اللَّاجِيْنَ وَجَارَ المُسْتَجِيْرِيْنَ وَمَأْمَنَ الخَائِفِيْنَاللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِيْ أُمِّ الكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُومًا أَوْ مُقْتَرًّا عَلَيَّ فِي الرِزْقِ، فَامْحُ اللّٰهُمَّ فِي أُمِّ الكِتَابِ شَقَاوَتِي وَحِرْمَانِي وَاقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَاكْتُبْنِيْ عِنْدَكَ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ فِيْ كِتَابِكَ المُنْزَلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ المُرْسَلِ “يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ” وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَــالَمِيْنَ

“Wahai Allah yang maha pemberi, engkau tidak diberi. Wahai Tuhan pemilik kebesaran dan kemuliaan. Wahai Tuhan pemberi segala kekayaan dan segala nikmat. Tiada tuhan selain Engkau, kekuatan orang-orang yang meminta pertolongan, lindungan orang-orang yang mencari perlindungan, dan tempat aman orang-orang yang takut. Ya Allah, jika Engkau mencatatku di sisi-Mu pada lauh mahfuz sebagai orang celaka, sial, atau orang yang sempit rezeki, maka hapuskanlah. Catatlah aku di sisi-Mu sebagai orang yang mujur, murah rezeki, dan mendapat petunjuk untuk berbuat kebaikan karena Engkau telah berkata, dan perkataan-Mu adalah kebenaran yang (ada) dalam kitabMu yang diturunkan melalui ucapan Rasul utusan-Mu, ‘Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di sisi-Nya yaitu lauh mahfuz.’

Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Islam dalam Bulan Syakban: Peralihan Kiblat

Selain itu ada doa pendek yang diajarkan Hubabah Zahro al-Haddar, Ibunda Habib Umar bin Hafidz. Doa tersebut selalu dibaca olehnya ketika malam nisfu Syakban,

أَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِى عَابِدَ إِحْسَان ولا تَجْعَلْنِى عَابِدَ إِمْتِحَانِ

“Ya Allah, jadikanlah saya tempat Engkau memberi karunia, jangan jadikan saya tempat Engkau memberi ujian.”

Wallah a’lam.

Tuntunan Alquran dalam Menghadapi Masa Sulit

0
Tuntunan Alquran dalam Menghadapi Masa Sulit

Roda perputaran di dunia bagaikan siklus hidup yang tidak menetap, setiap manusia akan selalu menemui masa-masa suka dan duka, mudah dan sulit, berhasil dan gagal, masa-masa tersebut datang silih berganti dari waktu ke waktu. Sebab itulah dunia tidak pernah tetap keadaannya. Allah swt berfirman,

وَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ

Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). (QS. Ali’imran [3]: 140).

Berikut ini petunjuk dalam Alquran apabila sedang menghadapi masa-masa sulit.

Baca juga: Sedang Dirundung Musibah? Bersabarlah! Ini 4 Keutamaan Sabar Menurut Al-Quran

Mengimani Janji Allah

Allah Swt. dalam surah Alinsyirah [94]: 5-6 menggambarkan rumus saat menghadapi masa sulit dengan redaksi: fainna ma’al ‘usri yusra, inna ma’al ‘usri yusra (maka sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan).

Di balik pengulangan lafaz itu, rupanya mengandung rahasia. Bahwa kesulitan dalam dua ayat tersebut sama (hanya satu), karena menggunakan ma’rifah. Adapun kemudahannya berbeda antara ayat 5 dan 6, karena di kedua ayat tersebut menggunakan nakirah (terdapat dua kemudahan).

Hal ini turut dikuatkan oleh suatu riwayat dari Hasan al-Bashri yang dikutip ath-Thabari, bahwa ketika kedua ayat di atas turun, Rasulullah Saw. bersabda, “Kabarkanlah bahwa akan datang pada kalian kemudahan. Karena satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan.”. (Tafsir ath-Thabari, 24/496).

Allah Swt. juga menjanjikan hal yang sama di surah ath-Thalaq [65]: 7,

سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Kata Ibnu Katsir, janji Allah di atas itu pasti dan Allah tidak mungkin menyelisihinya (Tafsir Ibnu Katsir, 14/42). Oleh karena itulah, hendaklah setiap muslim mengimani bahwa setiap masa sulit pasti akan menemui kemudahan.

Bahkan berdasarkan janji Allah di atas, setiap satu kesulitan senantiasa diiringi dua kemudahan. Tak hanya itu, Allah menggunakan kata ma’a dalam surah Alinsyirah [94]: 5-6 menunjukkan kemudahan tersebut akan segera datang setelah kesulitan (Tafsir ath-Thabari, 24/496). Yakinilah bahwa jalan keluar itu benar-benar dekat, seberapapun kesulitan yang dihadapi.

Baca juga: Jadikan Sabar Dan Sholat Sebagai Penolongmu! Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 45

Sabar dan Salat

Ketika di masa-masa sulit, Alquran senantiasa memberikan petunjuk dengan cara isti’anah (meminta tolong) kepada Allah dengan sabar dan salat sebagaimana firman Allah Swt., “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Albaqarah [2]: 153). Allah berfirman, “(Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. Annisa [4]: 19).

Ibnu Hajar mendefinisikan sabar dengan begitu arif. Dalam Fathul Barri disebutkan, makna sabar sebagai berikut.

حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ الْمَكْرُوْهِ وَعَقْدُ اللِّسَانِ عَنِ الشَّكْوَى وَالْمُكَابَدَةُ فِي تَحَمُّلِهِ وَانْتِظَارِ الْفَرَجِ

Menahan diri dari hal yang dibenci, mengikat lisan dari mengeluh, siap bersusah payah ketika menanggungnya dan menunggu kelapangan tiba. (Fathul-Barri bab as-shabr ‘an maharimillah).

Takwa dan Tawakal

Allah swt berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Pada hakikatnya, segala solusi dari segala masalah adalah dengan bertakwa kepada Allah. Meskipun ayat ini berkaitan dengan cerai, para ulama mengatakan bahwa ayat ini sifatnya umum dan mencakup segala permasalahan (Tafsir al-Qurthubi, 18/160). Takwa juga perlu ditopang dengan tawakal. Bisa jadi jalan keluar itu seketika ada atau bahkan harus tertunda, tergantung kemaslahatan yang Allah telah mengaturnya pada seorang hamba, di sinilah peran penting tawakal.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Istighfar

Ibnu Katsir mengutip riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Abbas, ia berkata; Rasulullah Saw. bersabda, ”Barangsiapa memperbanyak istighfar niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar pada setiap kesulitan, dan kelapangan untuk setiap kesempitan serta memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (HR. Ahmad no. 2123).

Begitupun dalam Tafsir al-Qurthubi, mengutip dari Ibnu Subaih, bahwasanya dia berkata, ada seorang yang mengadu musim paceklik kepada Hasan al-Bashri , Hasan al-Bashri berkata: “Istighfarlah engkau kepada Allah.’ Ada lagi yang mengadu bahwa dia miskin, Hasan al-Bashri tetap menjawab: “Mintalah ampun kepada Allah.’ Lalu datang lagi orang yang ketiga, ia berkata: “Doakanlah saya agar dikaruniai anak”. Hasan al-Bashri  tetap menjawab: “Istighfarlah engkau kepada Allah.’ Kemudian ada juga yang mengadu bahwa kebunnya kering. Hasan al-Bashri tetap menjawab: “Istighfarlah engkau kepada Allah.’

Melihat hal itu, Rabi’ bin Subaih bertanya: “Tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa?”, Hasan al-Bashri menjawab: “Aku tidak menjawab dari diriku pribadi, karena Allah swt berfirman,

“Maka, Aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampunan kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh [71]: 10-12).

Berdoa

Berdoa juga merupakan salah cara tatkala menghadapi masa sulit. Seperti halnya Nabi Ibrahim as. ketika dibakar hidup-hidup, yang beliau ucapkan adalah doa. Dalam suatu hadis disebutkan, kalimat terakhir yang diucapkan Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api adalah, hasbunallahu wa nikmal wakil, (cukuplah Allah bagi kami, karena Dia sebaik-baiknya penolong.) (HR Bukhari).

Begitupun kesulitanyang dialami Nabi Yunus ketika dimakan ikan paus. Menurut ulama, beliau harus menghadapi tiga kegelapan sekaligus, yakni kegelapan lautan, kegelapan perut ikan paus, dan kegelapan malam (Tafsir al-Qurthubi, 11/333). Dalam kondisi yang sedemikian terjepit, beliau tetap menyempatkan berdoa.

Andaikata Nabi Yunus as tidak berdoa kepada Allah, niscaya Allah tidak akan menyelamatkannya, bahkan dia akan berada di dalam perut ikan paus tersebut hingga hari kiamat (QS. ash-Shaffat [37]: 143-144). Akan tetapi, berkat doanya kepada Allah swt, maka Allah pun mengangkat kesulitan yang beliau hadapi. Begitupun umat Islam ketika di masa sulit, sesulit apapun keadaan yang dihadapi, tetaplah memanjatkan doa dan meyakini Allah Maha Mengabulkan doa hambaNya.

Wallahu a’lam.

Menilik Fenomena Hoaks pada Zaman Nabi Muhammad (Bagian 2)

0
cara menyikapi hoaks
Fenomena hoaks

Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya. Jika Anda belum membaca artikel sebelumnya, silakan meng-klik tautan berikut. 

Analisis Historis

Dalam hal ini, analisis historis bisa dilacak dengan riwayat sabab nuzul. Surah Almudatstsir ini turun dalam empat tahap, sehingga ada empat sabab nuzul yang menerangkan terkait historisitas surah Almudatstsir. Dua di antaranya berkaitan dengan Walid ibn al-Mughirah.  

Diriwayatkan, bahwa suatu ketika Walid menyiapkan makan untuk kaum Quraish. Ketika menikmati makanan dengan para sahabatnya itu, ia lantas melemparkan pertanyaan, “Nama apa yang pantas kalian berikan kepada orang yang seperti ini (Muhammad)?” Ada yang menjawabnya, lebih pantas sebagai tukang tenung, penyair, dan yang lainnya.  

Kemudian Walid mengatakan, sebutan yang pantas untuk Muhammad adalah tukang sihir. Sebab pengaruh sihirnya sangat membekas pada setiap orang yang mendengarkan ucapannya–ayat Alquran. Kemudian dalam riwayat yang lain, dikisahkan desakan Abu Jahal agar Walid mengucap dan memalingkan dirinya dari kebenaran Alquran (Q. Shaleh, dkk, Azbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Alquran, 610-611). 

Terkait dengan Walid juga ada dalam sebuah riwayat dalam surah az-Zukhruf ayat 31-32. Ia mengatakan, bahwa sekiranya apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu adalah sebuah kebenaran, pasti Alquran itu akan diturunkan kepadanya atau kepada Mas’ud ats-Tsaqafi (Shaleh, dkk, Azbabun Nuzul, 484). 

Kritik Ideologi

Dengan mengungkap sisi ideologis ini, maka akan menjadikan sebuah teks melahirkan suatu pemahaman yang akan mebuatnya hidup kembali sesuai dengan zaman kehadirannya. 

Surah Almudatstsir dalam kajian tartib nuzul al-Jabiri masuk dalam penurunan wahyu pada fase awal dakwah, yakni di Makkah. Masyarakat Arab Makkah waktu itu dikenal dengan karakter ashabiyah (fanatisme)-nya yang kuat, terutama ashabiyah terhadap keluarga dekatnya. Namun, hal itu tidak terjadi pada Nabi Muhammad. Sebab, tidak sedikit dari keluarga Nabi sendiri yang menolak kenabian serta ajaran yang dibawa oleh Nabi. 

Respon keluarga Nabi terhadap dakwah Islam dibedakan menjadi tiga golongan, yakni pertama, mereka yang menerima dengan lapang dada serta menyatakan dirinya masuk dalam agama Islam. Seperti halnya Khadijah, Ali, dan Zaid bin Tsabit. 

Kedua, mereka yang belum bisa menerima ajaran Islam, tetapi tidak menunjukkan penolakan. Justru mereka memberikan pembelaan. Semisal, Abu Thalib. Yang ketiga, yakni mereka yang menentang ajaran Nabi sekaligus menolak dan memusuhi. Ada dua belas suku yang menentang ajaran Nabi, salah satu di antaranya adalah Walid ibn al-Mughirah dari Bani Makhzum (Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian dalam Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, 346-348). 

Baca juga: Menilik Fenomena Hoaks pada Zaman Nabi Muhammad (Bagian 1)  

Seperti yang sudah diterangkan di atas, bahwa Walid menuduh Nabi Muhammad sebagai seorang penyihir. Bisa dikatakan, bahwa ini adalah tuduhan yang paling “efektif”. Alasan yang pertama adalah sebab predikat yang di sandang oleh Nabi, yakni seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis–ummi.  

Jika dinalar, bagaimana mungkin bisa seseorang yang ummi bisa mengutarakan kalimat-kalimat indah. Bahkan, sebenarnya, Walid sendiri juga telah mengakui akan hal tersebut. Bahwa, tidak ada orang yang akan sanggup menyamainya. Alasan kedua adalah, pada saat itu ramalan maupun sihir yang terkenal.  

Kedua hal tersebut telah menjadi nalar masyarakat Arab sebelum Islam datang, sangat memberikan pengaruh sebab berkaitan dengan spiritual dan kejiwaan masyarakat pada waktu itu. Sehingga, keberadaan dari para peramal itu sangat dihormati.  

Tradisi ramal ternyata tidak hanya ada dalam keyakinan masyarakat paganisme. Akan tetapi, juga ada pada mereka yang memeluk keyakinan Yahudi dan Nasrani. Peramal itu seakan-akan menjadi dokter kejiwaan yang bisa mengatsi segala permasalahan psikis serta menjadi tempat untuk mencari ketangan hidup.  

Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Alquran

Para peramal tersebut akan memberikan sebuah informasi tentang apa yang akan terjadi sesuai dengan permintaan dari masyarakat yang bertanya. Mereka bisa memberikan ramalan masa depan serta hal-hal lain yang bersifat gaib. Masyarakat menyakini, bahwa informasi yang disampaikan oleh peramal tersebut adalah informasi dari langit, yang dicuri oleh jin lalu diberikan kepadanya.  

Ketika masyarakat bertanya, para peramal tersebut akan menjawabnya dengan gaya ungkapan sajak. Gaya ungkapan dan keyakinan inilah yang menghadirkan problem terhadap kenabian Nabi Muhammad saw.  

Masyarakat melihat adanya kesamaan, apa yang diucapkan oleh para peramal dan apa yang diucapkan oleh Nabi. Sebab, ayat Alquran yang diturunkan pada saat itu–di fase Makkah-didominasi dengan gaya bahasa yang indah. Sekalipun demikian, segala tuduhan yang dilontarkan kepada Nabi tersebut langsung mendapatkan penegasan dan konfirmasi Alquran. Alquran senantiasa menyanggah segala berita hoaks yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. (Wijaya, Sejarah Kenabian, 242-245). 

Kesimpulan 

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Walid adalah orang yang memiliki kedudukan saat itu. Ia adalah orang yang paling mengetahui seluk-beluk keindahan sastra, hingga tidak ada yang mampu menyainginya. Bahkan ia mengakui akan keindahan gaya bahasa yang dimiliki oleh Alquran (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw, 389-390). 

Ia adalah orang yang terpandang, baik secara finansial maupun strata sosial. Dan, memiliki segala kemewahan dan keistimewaan yang ada. Kemahirannya dalam memahami keindahan gaya bahasa rupanya tidak memberikan pengaruh yang kuat terhadap Walid. Hal ini terbukti, ketika Walid mengetahui akan keindahan Alquran, ia justru memalingkan dirinya. Sebab, ada desakan dari Abu Jahal, yang juga merupakan tokoh besar dari suku Quraish. 

Secara historis dan ideologis dari ayat tersebut, bahwa keberadaan peramal dan tukang sihir adalah fenomena yang paling populer saat itu. Ditambah dengan tingginya daya tarik masyarakat terhadap bersyair.  

Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Alquran dalam Klarifikasi Berita

Fenomena-fenomena ini kemudian dijadikan sebuah alat untuk menolak dan menghalangi orang agar tidak percaya terhadap apa yang diucapkan oleh Nabi. Dari analisis-analisis ini, ada tiga poin penting yang bisa dielaborasi lebih lanjut. Yang pertama, seseorang yang membuat atau pelaku dari penyebar berita hoaks sebenarnya sudah mengetahui kelebihan dari orang yang dianggap lawannya.  

Seperti halnya Walid, ia mengetahui akan potensi yang dimiliki oleh Nabi. Bahwa, kemampuan bersyair Nabi, melalui ucapan-ucapannya terkait ayat Alquran, adalah sebuah kemustahilan bisa ditiru oleh oleh banyak orang, termasuk Walid. Ia menyadari akan kebenaran itu, namun ia mengingkarinya. Sehingga ia membuat tuduhan bahwa Nabi adalah penyihir, agar posisinya sebagai seorang yang dikenal mahir bersyair tidak tergeser. 

Kedua, para pelaku hoaks yang melempar dengan isu-isu yang sangat popular saat itu. Menuduh Nabi sebagai penyihir, bukan sembarang tuduhan. Walid sudah memperhitungkan ini dengan saksama. Sebab, fenomena sihir dan ramal pada saat sedang menjadi tranding topic. 

Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Ketiga, para pelaku dari hoaks, bisa jadi sebenarnya sedang mengalami tekanan dari berbagai pihak. Sama seperti halnya Walid yang kala itu dengan mengakami tekanan dari Abu Jahal. Yang notabene adalah orang sangat berpengaruh dari kalangan suku Quraish. Suku yang terhormat.  

Jikalau Walid menolak desakan dari Abu Jahal, sangat besar kemungkinan Walid akan kehilangan reputasi dan kewibawaannya di hadapan para pembesar suku-suku pada waktu itu. Sehingga, respons Alquran terhadap fenomena hoaks ini ditujukan kepada mereka yang membenci ajaran Nabi. Padahal, mereka mengetahui akan kebenaran dari ayat-ayat Alquran. Mereka menjadikan hoaks sebagai alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Wallahu a’lam. 

Menilik Fenomena Hoaks pada Zaman Nabi Muhammad (Bagian 1) 

0
cara menyikapi hoaks
Fenomena hoaks

Banalitas dalam komunikasi dan informasi tidak hanya terjadi di era digital. Di era Nabi Muhammad pun sudah marak terjadi. Banalitas ada sebab maraknya fenomena hoaks, sebagaimana yang terjadi pada Nabi. Nabi sering mendapatkan fitnah dan tuduhan. Tuduhan yang sering diterima oleh Nabi yakni bahwa Nabi adalah seorang penyihir.  

Dalam Alquran sendiri disebutkan, fenomena hoaks itu sudah ada sejak masa Nabi Adam a.s. di surga. Allah memerintahkan kepada Nabi Adam dan istrinya–Hawa-untuk tinggal dan menetap di surga. Serta, Allah memberikan kebebasan kepada keduanya untuk memakan segala buah dan makanan yang ada di dalam surga, kecuali satu buah terlarang, yakni khuldi.  

Itu adalah informasi valid, yang bersumber dari Allah secara langsung. Namun, karena adanya keirian dari iblis, akhirnya iblis mencoba untuk mempengaruhinya dengan memberikan informasi yang tak kalah dahsyatnya.  

Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Alquran

Iblis memberikan penegasan alasan mengapa Allah melarangnya untuk memakan buah itu. Iblis pun memelintirkan fakta, yakni agar Adam dan isterinya tidak menjadi malaikat atau menjadi orang yang kekal di dalam surga. Untuk menambahkan keyakinan bahwa informasi yang diberikan iblis itu terlihat valid, iblis mempertegas kembali dengan sumpahnya. Bahwa ia–iblis-adalah sang pemberi nasihat (Q.S. Ala’raf [7]: 19-21). 

Kisah di atas terjadi pada masa Nabi Adam a.s. Di masa Nabi Muhammad pun fenomena hoaks masih terjadi. Jika pelaku pada kisah Nabi Adam adalah iblis, pelaku di masa Nabi Muhammad adalah mereka yang memusuhi dakwah dari Nabi.  

Walid ibn al-Mughirah adalah salah seorang yang berpengaruh dari suku Makhzum kala itu. Ia menyebarkan berita hoaks bahwa Nabi adalah seorang penyihir. Tuduhan penyihir itu, sepertinya tuduhan yang paling “efektif”. Sebab, Nabi terkenal dengan predikat sebagai orang yang ummi atau tidak pandai baca-tulis.  

Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Alquran dalam Klarifikasi Berita

Terkait dengan ke-ummi-an tersebut, menurut analisis dari penulis, Muhammad Gholib mengklasifikasinnya menjadi tiga definisi. Pertama, bahwa ummi adalah mereka yang tidak memiliki kitab suci. Kedua, ummi ditujukan kepada penduduk Makkah, sebab mereka memiliki sebuah tradisi hafalan sebagai basis keilmuan mereka. 

Jika melihat pada dua definisi di atas, maka mereka yang menuduh Nabi sebagai orang yang ummi, juga masuk dalam definisi ummi. Sebab, mayoritas masyarakat Makkah saat itu adalah penganut dari paganisme yang tidak memiliki pegangan kitab suci dan mereka erat dengan tradisi hafalannya. Kiranya, ummi lebih tepat dengan definisi yang ketiga, yakni tidak bisa membaca dan menulis (Muhammad Gholib, Ahl Kitab, 51-53). 

Ke-ummi-an Nabi itu kemudian dijadikan celah oleh mereka yang benci terhadap ajaran yang didakwahkan oleh Nabi. Lantas, kemudian Walid memanfaatkan keadaan ini untuk menghalangi agar seseorang tidak percaya dan tidak mengikuti Nabi. Peristiwa ini terekam dalam surah Almudatstsir [74]: 11-30. 

ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا (11) وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا (12) وَبَنِينَ شُهُودًا (13) وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا (14) ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيدَ (15) كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآيَاتِنَا عَنِيدًا (16) سَأُرْهِقُهُ صَعُودًا (17) إِنَّهُ فَكَّرَ وَقَدَّرَ (18) فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ (19) ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَ (20) ثُمَّ نَظَرَ (21) ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ (22) ثُمَّ أَدْبَرَ وَاسْتَكْبَرَ (23) فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ (24) إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ (25) سَأُصْلِيهِ سَقَرَ (26) وَمَا أَدْرَاكَ مَا سَقَرُ (27) لَا تُبْقِي وَلَا تَذَرُ (28) لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ (29) عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَ (30) 

Analisis Tafsir 

Dalam Tafsir al-Misbah, ayat yang menjelaskan tentang kisah Walid ada dalam ayat 11-30 dalam surat al-Mudatstsir. Dua sisi dari kehidupan Walid yang eksplorasi oleh Alquran adalah tentang kenikmatan yang diberikan kepada Walid, baik itu harta, anak, maupun kedudukannya. Kemudian terkait dengan sebuah ancaman yang akan diterimanya sebab telah mengingkari ayat-ayat Allah (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 15, 467). 

Gelar “al-Walid” yang diberikan kepadanya memang menunjukkan sebuah keistimewaan yang dimilikinya. Namun, ini juga sekaligus sebagai ancama dan ejekan. Sebab, ia merasa hanya dirinya yang memiliki keistimwaan tersebut. Sehingga, Allah mengatakan bahwa Allah sendiri yang akan menghadapi Walid. 

Allah memang menjadikan harta kekayaannya Walid terbentang luas di seluruh Jazirah Arab. Namun, ketika ia akan wafat, hartanya berangsur-angsur berkurang hingga ia akhirnya jatuh miskin. Selain hartanya yang melimpah, ia juga dikarunia putra-putri yang banyak, yakni 11 orang. Mereka semua adalah orang terpandang.  

Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Mereka sering menghadiri upacara-upacara penting yang tidak semua orang bisa menghadirinya. Karena kecukupannya itulah semua anaknya tidak perlu bersusah payah untuk mencari nafkah. Segala kelapangan dan kenikmatan dimiliki oleh Walid. Namun, ia justru menginginkan yang lebih. Ia menginginkan surga.  

Ia memberikan pernyataan, bahwa jikalau pun surga itu ada, pasti surga diperuntukkan baginya. Namun, ketika ditunjukkan ayat-ayat Alquran, ia menolak padahal ia tahu bahwa Alquran itu benar. Penolakannya tersebut sebab ia mendapatkan desakan dari Abu Jahal untuk mengatakan bahwa Alquran itu adalah bagian dari sihir. Padahal ia tahu akan kebenaran Alquran.  

Maka dari itu, Allah mengutuk keputusannya yang dihasilkan dari cara berpikir yang salah. Kemudian, ia memikirkan ulang terhadap apa yang sudah ia katakan. Ia menyadari akan kekeliruannya, hingga merengut dan berubah air mukanya. Namun, keputusannya terlanjur diucapkan bahwa Alquran adalah bagian dari sihir. Sebab perbuatannya inilah, ia mendapatkan ancaman masuk dalam neraka (Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 15, 472-488). 

Tafsir Q.S. Hud Ayat 117: Dosa Sosial, Pemicu Kemunduran Suatu Negara

0
Tafsir Q.S. Hud Ayat 117: Dosa Sosial, Pemicu Kemunduran Suatu Negara

Setiap penduduk di belahan dunia mana pun pasti menginginkan negaranya makmur, sejahtera, aman, dan tentram. Jauh dari kesempitan, pertengkaran, kemerosotan, dan segala bentuk mafsadah-mafsadah lain. Kelirunya, maslahah tidaknya suatu negara, tidak jarang dipahami bahwa ini hanya terwujud tergantung pada pemimpinnya. Rakyat terlalu memfokuskan dirinya menilai pemimpin tanpa memenuhi tugasnya sebagai rakyat.

Seorang pemimpin selalu saja menjadi sorot tudingan rakyat ketika kemunduran dalam suatu negara terjadi. Bukankah suatu negara berjalan dengan baik ketika pemimpin dan yang dipimpin saling bekerja sama membangun kemajuan negeri? Sebelum menjawab, terlebih dahulu simak Q.S. Hud [11]: 117 berikut.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ

Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim sedangkan penduduknya berbuat kebaikan.

Ayat di atas menunjukkan janji Allah, bahwa Dia akan senantiasa menjaga suatu wilayah satu daerah dari turunnya azab, apabila penduduk dalam suatu daerah tersebut selalu berbuat baik. Ini ditunjukkan pada term muslihun yang merupakan isim (kata benda), tidak terikat dan tidak dibatasi oleh waktu, sehingga ‘perbuatan baik’ mengarah pada pengertian sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan atau terus-menerus dilakukan.

Baca Juga: Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu Berupa Kemampuan Bersikap Toleran

Term muslihun pada Q.S Hud ayat 117

Kata muslihu merupakan jamak dari kata muslih, bentuk isim fa’il tsulatsi mazid dari lafaz aṣlaḥa-yuṣliḥu, yaitu term ṣalaḥa yang mendapat ziyadah atau tambahan huruf alif. Sesuai kaidah wazan af’ala yang mendapat ziyadah alif, kebaikan ini diarahkan pada makna kesalehan sosial.

Oleh karenanya, lafaz muṣliḥ lebih tepatnya didefinisikan sebagai orang yang senantiasa melakukan perbaikan, baik bagi diri sendiri, maupun masyarakat luas. Kebaikannya tidak hanya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan lafaz salih, bentuk isim fail dari tsulatsi mujarradṣalaḥa’, ia bermakna hamba yang taat secara personal, atau orang yang berbuat kebaikan untuk dirinya sendiri.

Ragam penafsiran Q.S. Hud ayat 117

Berkenaan ayat di atas, al-Sya’rawi menuturkan bahwa suatu daerah yang memiliki penduduk yang sehat dalam konteks hubungan sosial, Allah tidak akan menghancurkan daerah tersebut, sebab mengikuti apa yang diperintahkan-Nya agar berbuat baik bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, gerak manusia menjadi seimbang dengan pergerakan alam semesta, tidak bertentangan. Sebaliknya, antara manusia dan alam semesta saling mendukung dan bekerja sama, sehingga dapat mewujudkan apa yang diharapkan masyarakat.  (Tafsir al-Sya’rawi, 11/753)

Apa yang disampaikan al-Sya’rawi ini menunjukkan bahwa antara apa yang terjadi di dunia dan perilaku manusia terhadap sesama saling berhubungan. Ini dapat dilihat dalam realitas sosial, sebagai misal, masyarakat yang memiliki kebesaran hati untuk saling menghargai satu sama lain, bersikap adil satu sama lain, maka perselisihan sangat minim terjadi, sehingga akan terciptanya negara yang damai, tentram, dan tertib untuk kemudian mewujudkan kemajuan negara bersama-sama.

Lebih lanjut, al-Sya’rawi menerangkan pada redaksi selanjutnya, bahwa term muslihun tidak dalam konteks beriman atau tidaknya suatu penduduk, melainkan memperbaiki dirinya sendiri, sehingga kemudian mampu bermua’asyarah dengan sesama manusia dengan baik pula.

Dengan demikian, Allah tidak membinasakan penduduk dalam suatu daerah dikarenakan mereka kafir, selama mereka mematuhi hukum perundang-undangan pemerintah yang mengatur hak-hak dan kewajiban mereka sebagai rakyat. (Tafsir al-Sya’rawi, 11/754)

Baca Juga: Term Fasad dan Pemaknaannya dalam al-Qur’an, dari Penyimpangan sampai Kerusakan Lingkungan

Sebaliknya, meski penduduk adalah orang beriman dan hubungan penghambaan kepada Allah baik, namun hubungan kepada manusia buruk, ini tidak dapat dikatakan sebagai muslihun Kebinasaan suatu daerah atau negara pelan-pelan akan mengalami kemunduran sebab penduduknya memiliki hubungan buruk terhadap sesama manusia.

Ini senada terhadap penafsiran Muhammad Abdul Latif al-Khatib, bahwa kerusakan suatu daerah disebabkan karena dosa-dosa penduduknya, kedurhakaan atau perilaku menyeleweng mereka dan sikap sewenang-wenang di luar batas aturan yang telah ditetapkan pemerintah. (Auḍah al-Tafasir, 1/278) Hemat penulis, perilaku buruk tersebut adalah dilakukan terhadap sesama manusia, sehingga memungkinkan suatu daerah mengalami kemunduran.

Hal serupa juga dipaparkan oleh al-Razi mengenai ayat di atas, bahwa Allah tidak akan membinasakan suatu daerah hanya karena penduduknya berakidah menyimpang, yakni syirik maupun kufur, sementara mereka berperilaku sosial yang baik dan adil. Ini berdasarkan azab yang ditimpakan Allah kepada umat terdahulu, yang mana ‘azab al-isti’ṣal (azab yang dahsyat), sebagaimana menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, Madyan, dan lainnya, dipicu oleh perilaku sosial mereka yang merugikan serta mengancam kehidupan masyarakat secara umum, bukan semata-mata karena akidah mereka yang menyimpang. (Mafatih al-Ghaib, 18/410)

Relasi dosa sosial dengan kemunduran suatu negara

Sebagaimana pemaparan dari ragam penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa kontekstualisasi Q.S. Hud ayat 117 berkenaan dosa-dosa sosial. Maka, sangat tidak dapat dibenarkan jika mengaitkan bencana alam dengan kemusyrikan atau kekufuran. Justru kebinasaan yang didatangkan oleh Allah adalah hasil dari dosa sosial manusia terhadap sesama, seperti bertindak kejahatan, menzalimi, mencaci-maki, dan tindakan buruk lain terhadap manusia lainnya.

Baca Juga: Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

Apabila pemimpin menjalankan hak dan kewajiban dengan baik, disusul dengan penduduk yang bertindak demikian juga sesuai porsinya masing-masing, maka akan memungkinkan suatu negara tidak mengalami kemunduran, dan berjalan lebih maju. Masihkah mau meneruskan kerusakan antar sesama yang berimbas pada kebinasaan negara hanya karena perselisihan? Entah itu masalah ekonomi, politik, atau hal lain.

Untuk itu, tidaklah benar memfokuskan tudingan kemunduran suatu negara hanya karena pemimpinnya. Karena pada dasarnya, berjalannya suatu negara dengan baik adalah pemimpin dan rakyat saling bekerja sama. Cukuplah kita sebagai masyarakat bermuhasabah, apakah sudah menjadi rakyat yang baik bagi negara sendiri untuk senantiasa berbaik kepada sesama, mematuhi peraturan perundang-undangan, dan menghindari perselisihan?

Wallahu A’lamu.

Al-Wajiz fi al-Tafsir sebagai Rujukan Penyusunan Tafsir Jalalain

0
Kutipan Al-Wajiz fi Al-Tafsir
Kutipan Al-Wajiz fi Al-Tafsir

Salah satu fakta penting tafsir Jalalain yang barangkali luput dari pengamatan para pengkaji tafsir adalah bahwa dua penulisnya, Jalal al-Din al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Jalal al-Din al-Suyuthiy (w. 911 H./1505 M.), berpegang (i‘timad) pada teks Al-Wajiz fi al-Tafsir karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali (w. 468 H.) atau yang lebih dikenal dengan Al-Wahidiy. Hal ini sebagaimana diakui oleh Al-Suyuthiy dalam karyanya berjudul Bughyah al-Wu‘ah pada biografi Ahmad bin Yusuf al-Kawasyiy,

قُلْتُ: وَعَلَيْهِ اعْتَمَدَ الشَّيْخُ جَلَالُ الدِّيْنِ المَحَلِّي فِيْ تَفْسِيْرِهِ، وَاعْتَمَدْتُ عَلَيْهِ أَنَا فِيْ تَكْمِلَتِهِ مَعَ الْوَجِيْزِ وَتَفْسِيْرِ البَيْضَاوِي وَابْنِ كَثِيْرٍ

“Saya (Al-Suyuthiy) berkata: “Kepada kitab tersebut (tafsir milik Ahmad bin Yusuf al-Kawasyiy) Syekh Jalal al-Din al-Mahalliy berpegangan dalam menuliskan tafsirnya (Jalalain), dan saya (Al-Suyuthiy) dalam menyempurnakan tafsir Jalalain juga berpegang pada karya yang sama (Ahmad bin Yusuf al-Kawasyiy), beserta kitab Al-Wajiz, tafsir Al-Baidlawiy, dan tafsir Ibn Katsir.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan fakta ini begitu menarik. Pertama, dalam konteks Indonesia, nama Al-Wahidiy dan karyanya Al-Wajiz kurang begitu populer jika dibandingkan dengan mufasir lain berikut dengan karyanya. Dalam pernyataan Al-Suyuthiy sebelumnya misalnya, mungkin hanya tafsir Al-Baidlawiy dan Ibn Katsir yang dianggap paling populer.
Hasil penelusuran penulis sementara kini juga hanya mendapati satu salinan naskah Al-Wajiz milik Pondok Pesantren Sumber Anyar, Madura. Melalui artikel singkat yang ditulis oleh Muqsid Mahfudz bertajuk Salinan Tafsir al-Wajiz Karya al-Wahidi di Madura, penulis mendapati akses digitalnya pada Khasanah Naskah Kuno dan Repositori Jawa Timur (KHASJATIM) berjudul Tafsir Alquran Sumber Anyar.

Baca juga: Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal

Kedua, oleh sebagian ulama kritikus, pernyataan Al-Suyuthiy sebelumnya dianggap sebagai pembelaan yang cukup kuat terhadap Al-Wahidiy. Seperti yang dikatakan Al-Dzahabiy dalam Tarikh al-Islam, gelar Al-Wahidiy merupakan bukti atas kepakaran Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali dalam bidang tafsir, diikuti dengan trilogi karyanya yang berjudul Al-Basith, Al-Wasith, dan Al-Wajiz.
Meski demikian, nama besarnya ini sering kali ‘terhalang’ oleh kritik (jarh) yang dialamatkan kepadanya. Sebuah riwayat dari Abu Sa‘ad ibn al-Sam‘aniy dalam kitabnya Al-Tadzkirah, yang menyebut Al-Wahidiy sebagai basth al-lisan.

Al-Sam‘aniy mendengar Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Basysyar bercerita,
“Al-Wahidiy pernah berkata: “Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulamiy menulis kitab berjudul Haqa’iq al-Tafsir. Seandainya dia menganggap bahwa kitab tersebut adalah tafsir Alquran maka ia telah kufur.””
Riwayat ini sering kali muncul dalam pernyataan para kritikus setiap kali menyebut biografi (tarjamah) Al-Wahidiy, dalam Thabaqat al-Syafi‘iyyah al-Kubra karya Taj al-Din al-Subukiy misalnya. Namun begitu, menurut Shafwan ‘Adnan Dawudiy, salah seorang muhaqqiq teks Al-Wajiz, kritik terhadap Al-Wahidiy ini agaknya tidak beralasan.
Dalam argumennya, Dawudiy menukil beberapa pendapat kritikus lain yang justru membenarkan komentar Al-Wahidiy atas Haqa’iq al-Tafsir. Salah satunya yakni Al-Suyuthiy sebagaimana telah dikutip sebelumnya. Bahkan dalam karyanya yang lain berjudul Thabaqat al-Mufassirin, Al-Suyuthiy menganggap bahwa Haqa’iq al-Tafsir karya Al-Sulamiy merupakan contoh atas tafsir yang tidak terpuji (ghair mahmud). Hal senada juga disampaikan oleh Al-Dzahabiy dan Ibn Taimiyyah dengan ulasan yang cukup panjang. Oleh karenanya, kritik basth al-lisan terhadap Al-Wahidiy tersebut dianggap tidak sah.

Baca juga: Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat

Ketiga, alasan yang menurut penulis paling menarik, adalah ditemukannya catatan yang dikutip dari Al-Wajiz karya Al-Wahidiy dalam naskah Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah. Catatan ini, terlepas dari penyalin atau penulisnya mengetahui kedekatan hubungan teks Al-Wajiz dan Jalalain secara genealogis atau tidak, telah menyajikan pertemuan kembali dua teks yang menurut historis pernyataan Al-Suyuthiy sebelumnya berada pada satu jalur genealogis.
Di sisi lain, keberadaan catatan ini juga dapat dijadikan bukti atas kebenaran Al-Suyuthiy dalam pernyataannya, bahwa dia dan Al-Mahalliy telah menjadikan Al-Wajiz -karya Al-Wahidiy- sebagai rujukan pegangan (i‘timad) dalam menuliskan Jalalain. Kendati mungkin satu atau dua catatan yang ada secara kebetulan bukan menjadi acuan keduanya.
Pembacaan sementara yang penulis lakukan mendapati bahwa catatan yang ada ditulis menggunakan pola yang lazim digunakan oleh santri dari kalangan pesantren. Redaksi yang dikutip ditulis sesuai versi asli dari teks Al-Wajiz, tanpa pengurangan dan atau penambahan. Pola semacam ini umumnya digunakan untuk menyajikan perbandingan tafsir. Dalam hal ini, analisis intertekstualitas agaknya dapat memberikan petunjuk atas hubungan keduanya. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Penggunaan Model Bahasa Manusia dalam Alquran

0
Penggunaan model bahasa manusia dalam Alquran
Penggunaan model bahasa manusia dalam Alquran

Para pakar linguistik menemukan bahwa model bahasa manusia adalah menyampaikan sesuatu secara tersurat dan tersirat. Secara tersurat, manusia menyampaikan apa yang mereka maksud. Secara tersirat, manusia menyampaikan apa yang tidak mereka maksud dan bermaksud dengan apa yang tidak mereka sampaikan.

Jika diformulasikan, secara tersirat manusia menyampaikan X namun bermaksud Y atau bermaksud Y namun menyampaikan X. Tulisan ini terbatas pada pembahasan tentang penyampaian secara tersirat.

Terkait penyampaian secara tersirat, Salmani Nodoushan (2021) misalnya menerbitkan sebuah artikel di International Journal of Language Studies. Dalam artikel berjudul “Demanding versus asking in Persian: Requestives as acts of verbal harassment”, pakar linguistik ini menegaskan bahwa perkataan manusia adalah sesuatu yang mereka komunikasikan, dalam arti apa yang mereka katakan ditambah dengan apa yang mereka maksudkan, baik secara tersurat maupun tersirat.

Salah satu bentuk bahasa tersirat adalah metafora. Dalam buku berjudul “Metaphors we live by”, Lakoff dan Johnson (2008) menegaskan bahwa penutur asli semua bahasa menggunakan sejumlah besar metafora ketika mereka berkomunikasi tentang dunia.

Dalam buku berjudulMetaphor in culture: Universality and variation” Kövecses (2005) juga menegaskan perihal hubungan metafora dengan kognisi manusia. Menurutnya, manusia selalu menggunakan metafora dalam menyampaikan sesuatu.

Metafora merupakan ujaran tersirat yang tidak mengungkapkan makna sebenarnya tetapi menggambarkan persamaan atau perbandingan. Dengan menggunakan metafora, pembicara menyampaikan sesuatu dengan menyerupakan sesuatu yang gaib dengan yang nyata, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal lain yang serupa.

Ujaran metafora tidak dapat dipahami secara tersurat karena makna yang dimaksudkan terkandung dalam perangkat ungkapan kebahasaan. Untuk memahami makna ujaran metafora, kita perlu memeriksa ciri-ciri bahasa metaforis serta mengkonkretkan konsep-konsep abstrak pada posisi tertentu.

Baca Juga: Mengenal al-Raghib al-Asfahani, Ulama Linguistik Alquran Terkemuka

Model Bahasa Alquran

Ketika manusia menyampaikan sesuatu secara tersurat dan tersirat, Alquran juga menggunakan cara yang sama. Ini yang penulis istilahkan dengan model bahasa manusia dalam Alquran. Berikut contoh beberapa ujaran Alquran yang menggunakan bahasa tersirat, seperti model bahasa manusia.

Dalam Alquran Surah al-Khafi [18]: 1, Allah berfirman: Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab Suci (Alquran) kepada hamba-Nya dan Dia tidak membuat padanya sedikit pun kebengkokan.

Dalam ayat ini, kitab suci Alquran disifatkan sebagai sesuatu yang tidak bengkok. Penggunaan kata “bengkok” kepada Alquran merupakan praktik metafora, sebab kata “bengkok” merupakan sifat bagi sesuatu yang konkrit seperti kayu atau jalan. Dalam ayat ini, tidak bengkok disifatkan kepada Alquran, padahal Alquran berisi kalam Allah dan bersifat abstrak.

Peralihan makna ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dimaksud namun tidak disampaikan. Ahmad Mustafa al-Maraghiy, dalam Tafsir al-Maraghiy menyebutkan bahwa tidak bengkok di sini menunjukkan bahwa kitab Alquran itu sama sekali tidak menyimpang dari jalan kebenaran, bahkan Alquran merupakan petunjuk sepanjang kehidupan.

Sebagai contoh lain, dalam Alquran Surah al-Khafi [18]: 5, Allah berfirman, “Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang (hal) itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah besar (dosa) perkataan yang keluar dari mulut mereka. Mereka hanya mengatakan (suatu) kebohongan belaka.”

Ayat ini mengandung metafora karena menghubungkan perkataan dengan ukuran besar. Kata “besar” pada dasarnya merupakan suatu ukuran kepada sifat benda yang konkrit seperti gunung. Suatu benda yang besar juga merupakan sesuatu yang dapat dilihat atau dapat diketahui melalui indera penglihatan. Sementara dalam ayat ini, kata “besar” disifatkan dengan perkataan, padahal perkataan merupakan sesuatu yang abstrak dan hanya dapat diketahui melalui indera pendengaran.

Peralihan makna ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang dimaksud namun tidak disampaikan. Dalam Tafsir at-Tabari: Jami’ al-Bayan ‘an Takwil Ayat Alquran, Ibn Jarir at-Tabari menjelaskan bahwa kata “besar” dalam ayat ini menunjukkan bahwa perkataan mereka terlalu buruk, salah dan jelek.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Perempuan yang Berbahasa Alquran

Penggunaan bahasa tersirat juga terdapat dalam Alquran, surah al-Kahfi [18]:77. Dalam ayat ini Allah berfirman, “Lalu, keduanya berjalan, hingga ketika keduanya sampai ke penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka tidak mau menjamu keduanya. Kemudian, keduanya mendapati dinding (rumah) yang hampir roboh di negeri itu, lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.”

Dalam ayat tersebut, dinding disifatkan sebagai sesuatu yang ingin roboh. Kata “yuriidu” yang berarti “ingin” merupakan sifat sesuatu yang berakal seperti manusia. Penggunaan kata “ingin” bagi dinding merupakan praktik metafora karena dinding merupakan benda mati sehingga tidak memiliki keinginan sama sekali.

Penggunaan kata “ingin” ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan tidak dapat dipahami secara tersurat tetapi harus dipalingkan kepada makna lain yang tersirat. Dalam kitab Safwat al-Tafasir, Muhammad ‘Ali al-Sabuni menjelaskan bahwa kata “ingin” dalam ayat ini bermakna “hampir terjadi” yakni dinding tersebut hampir runtuh atau roboh.

Penggunaan bahasa tersirat juga terdapat dalam surah al-Kahfi [18]:99. Dalam ayat tersebut Allah berfirman, “Pada hari itu Kami biarkan sebagian mereka (Ya’juj dan Ma’juj) berbaur dengan sebagian yang lain. (Apabila) sangkakala ditiup (lagi), Kami benar-benar akan mengumpulkan mereka seluruhnya.”

Ayat ini mengandung metafora pada kata يموج. Menurut Al-Syarif al-Redo, penulis kitab Talkhis al-Bayan fi Majazat al-Qur’an, kata يموج pada dasarnya merupakan kata yang disifatkan dengan air yang banyak dan bercampur baur. Dalam ayat ini, kata يموج justru digunakan untuk manusia.

Penggunaan kata يموج untuk menunjukkan keadaan manusia yang bercampur-baur itu merupakan praktek metafora. Hal tersebut karana kata يموج yang merupakan sifat dari air banyak dan bercampur baur (seperti air laut) telah digunakan untuk manusia.

Penggunaan kata yang tidak sesuai dengan makna tersurat ini mengindikasikan bahwa ayat tersebut bermaksud menyampaikan sesuatu yang tersirat. Dalam Tafsir al-Maraghiy, Ahmad Mustafa al-Maraghiy menguraikan bahwa ayat ini menceritakan kondisi Ya’juj dan Ma’juj saat permulaan kiamat.

Penggunaan kata يموج dalam ayat ini merupakan perumpamaan keadaan Ya’juj dan Ma’juj yang keluar beramai-ramai dan bercampur baur satu sama lain. Percampuran mereka sangat luar biasa bahkan saling tindih menindih seperti air laut yang yang bercampur baur satu sama lain.

Baca Juga: Mengenal ‘Intended Text’ dalam Alquran

Penggunaan berbagai bahasa tersirat ini mengindikasikan bahwa tidak semua ayat Alquran dapat dipahami secara tersurat. Pemahaman makna tersurat terhadap ayat-ayat tersirat akan menimbulkan kerancuan bahkan tidak masuk akal. Oleh karena itu, dibutuhkan pengetahuan dan pemeriksaan untuk memahami ayat Alquran, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Wallah a’lam

Bagaimana Hukum Melakukan Perbuatan Dosa Karena Dipaksa?

0
Bagaimana Hukum Melakukan Perbuatan Dosa Karena Dipaksa?

Dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwa Rasulullah Saw.  bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045). Contoh nyata ada dalam Alquran, Allah Swt berfirman,

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. Alnahl: 106).

Sabab nuzul ayat di atas berkenaan dengan sahabat Nabi Saw. bernama ‘Ammar bin Yasir. Dalam Tafsir Ibnu Katsir diceritakan, mengutip Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa yang dialami oleh ‘Ammar ibnu Yasir di saat ia disiksa oleh orang-orang musyrik sehingga ia kafir kepada Nabi Muhammad Saw. Ia mau menuruti kemauan mereka dalam hal tersebut karena terpaksa. Setelah itu Ammar datang menghadap kepada Nabi Saw. seraya meminta maaf, maka Allah menurunkan ayat ini.

Baca Juga: Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 1)

Lebih rinci dalam riwayat Baihaqi diceritakan, ‘Ammar datang menghadap kepada Nabi Saw. dan mengadukan perihal apa yang telah dilakukannya, “Wahai Rasulullah, saya terus-menerus disiksa hingga saya terpaksa mencacimu dan menyebutkan tuhan-tuhan mereka dengan sebutan yang baik.”

Nabi Saw. bertanya, “Bagaimanakah dengan hatimu?” ‘Ammar menjawab bahwa hatinya tetap tenang dalam beriman. Maka Nabi Saw. bersabda: Jika mereka (orang-orang musyrik) kembali menyiksamu, maka lakukan pula hal itu. Sehubungan dengan peristiwa ini Allah menurunkan firman-Nya, “Kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman.” (Alnahl: 106).

Karena itulah para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa untuk melakukan kekufuran diperbolehkan berpura-pura menuruti kemauan si pemaksa demi menjaga keselamatan jiwanya. Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa itu sifatnya opsional, seseorang juga boleh memilih untuk mati ketika diancam untuk mengatakan kalimat kufur seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/715).

Begitupun Imam Ath Thabari mengutip Ibnu ‘Abbas, siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang bersumber dalam hatinya (Tafsir Ath-Thabari, 14/223).

Baca Juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Batasan Keadaan Dipaksa

Ada dua macam pemaksaan, pertama, ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.

Kedua, ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai membahayakan jiwa atau anggota badan. Adapun yang diperbolehkan hanya berlaku pada ikrahan tamman, yang benar-benar mengancam jiwa dan ancaman tersebut benar-benar akan diwujudkan (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 22/182).

Batasan ini menggambarkan keadaan yang benar-benar mengancam nyawa. Keadaan yang sama juga pernah dialami oleh Ashabul Kahfi. Allah swt berfirman,

إِنَّهُمْ إِن يَظْهَرُوا۟ عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِى مِلَّتِهِمْ وَلَن تُفْلِحُوٓا۟ إِذًا أَبَدًا

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya. (Q.S. Alkahfi: 20)

Ketika itu Ashabul Kahfi dalam keadaan terdesak. Andaikata mereka tertangkap, jika mereka bertahan dalam tauhid  akan dirajam sampai mati. Tetapi jika pura-pura kafir, memang mereka akan selamat di dunia namun sengsara di akhirat.

Menurut Asy-Syinqithi, umat terdahulu tidak diberi udzur sekalipun dalam keadaan dipaksa dan mengorbankan nyawa. Berbeda dengan umat zaman sekarang (umat Nabi Muhammad), Allah memberi udzur kepada orang-orang yang dipaksa untuk berbuat syirik (Adhwaul Bayan, 3/251).

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 66-67: Kuasa Allah atas Para Pendosa

Itu artinya, umat Nabi Muhammad Saw. diberikan karunia dari Allah berupa dimaafkannya dosa yang jatuh pada syirik dan kufur dalam keadaan dipaksa, sebagaimana yang menimpa ‘Ammar bin Yasir.

Pendapat lain dikemukakan oleh Al-Alusy, bahwa andaikata Ashabul Kahfi pura-pura kufur, dikhawatirkan perbuatan tersebut akan menjadikan mereka terbiasa dalam kesyirikan, sehingga menganggap kesyirikan tersebut menjadi kebenaran, dan mereka tidak akan selamat di akhirat kelak (Tafsir Al-Alusy, 8/220). Dalam konteks umat Nabi Muhammad Saw, hal ini juga bisa menjadi acuan sebuah kehati-hatian agar tidak terjerumus pada lemahnya keimanan akibat kepura-puraan yang dilakukan.

‘Ammar bin Yasir adalah seorang yang teguh keimanannya. Al-Munawi sampai menggambarkan, iman Ammar telah menyatu dalam daging, darah, dan tulangnya.  Iman beliau sudah bercampur di seluruh tubuh hingga tak bisa dipisahkan (Fathul Qadir, 4/6).

Maka pantaslah jika Rasulullah saw memuji keteguhan iman ‘Ammar sekalipun ia harus berpura-pura. Nabi Muhammad pernah menyaksikan sendiri saat Ammar dan keluarganya disiksa. Saat itu beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau menghibur dengan janji:

أَبْشِرُوا آلَ عَمَّارٍ، وَآلَ يَاسِرٍ، فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةُ

Bergembiralah, keluarga Ammar dan keluarga Yasir. Sungguh! Surga telah dijanjikan untuk kalian. (HR Al Hakim no. 5666).

Maka dapat dipetik dua hikmah dari pemaparan di atas. Pertama, bolehnya berpura-pura kufur ketika nyawa benar-benar terancam, karena Allah melihat keimanan dalam hatinya. Kedua, kepura-puraan itu hendaknya dimaknai untuk tetap berhati-hati agar keimanan tetap teguh, agar tidak seperti yang dikhawatirkan ulama, benar-benar jatuh dalam kekufuran. Dengan kata lain, ketika sudah tidak terpaksa dan terdesak, haram hukumnya untuk mengucapkan kekafiran.

Adapun konteks ayat di atas, baik ‘Ammar maupun Bilal, keduanya sama-sama beriman dan mulia. Hanya mereka berbeda pilihan ketika dalam keadaan terdesak dan terancam. Apalagi ‘Ammar benar-benar tersudut, karena kedua orang tuanya telah terlebih dulu meregang nyawa. Kepura-kepuraan itu membuatnya menyesal karena mengira telah murtad, tetapi ia kembali tenang setelah mengadukannya kepada Rasul Saw dan menjadi sabab nuzul ayat. Bahwa Allah maha mengetahui keimanan dalam hatinya.

Wallahu a’lam.