Beranda blog Halaman 46

Kisah Persalinan Maryam dalam Tinjauan Medis

0
Kisah Persalinan Maryam dalam Tinjauan Medis
Kisah Persalinan Maryam dalam Tinjauan Medis

Maryam adalah di antara perempuan inspiratif yang kisahnya diabadikan dalam Alquran. Ada banyak kisah kegetiran yang berhasil ia lalui dengan kesabaran yang patut diteladani para wanita muslimah. Di antara momentum yang diceritakan dalam Alquran adalah saat-saat dirinya hendak melahirkan Nabi Isa a.s. Allah Swt. berfirman,

فَاَجَاۤءَهَا الْمَخَاضُ اِلٰى جِذْعِ النَّخْلَةِۚ قَالَتْ يٰلَيْتَنِيْ مِتُّ قَبْلَ هٰذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَّنْسِيًّا. فَنَادٰىهَا مِنْ تَحْتِهَآ اَلَّا تَحْزَنِيْ قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا. وَهُزِّيْٓ اِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ۖ  فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚفَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ

Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, “Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” Maka dia (Jibril) berseru kepadanya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum, dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Q.S. Maryam: 23-26).

Baca juga: Masa Mengandung Hingga Persalinan Siti Maryam dalam Alquran 

Selain pesan-pesan yang sarat dengan keteguhan dan keimanan, rupanya kisah persalinan Maryam di atas relevan di dunia medis. Berikut ini poin-poin hikmah persalinan Maryam yang dapat diterapkan ibu ketika proses persalinan.

Mengkonsumsi Kurma

Pertama, mengkonsumsi kurma. Cukup banyak mufasir yang memaparkan keutamaan kurma berkenaan kisah Maryam di atas. Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa ayat di atas sebagai isyarat dari Allah kepada Maryam bahwa buah kurma amat cocok dengan wanita dalam keadaan akan melahirkan dan setelahnya (Tafsir Al-Kasysyaf, 3/11). Selain itu, Sayyid Quthb, juga berpendapat bahwa makanan manis sangat cocok untuk para ibu bersalin. Buah kurma kering dan basah adalah makanan yang baik bagi para wanita yang sedang nifas (Tafsir fi Zhilal al-Quran, 14/265).

Setia Budi Sumandra (2019) dalam artikelnya yang berjudul Kurma dalam Perspektif Alquran, Hadis, dan Sains menyebutkan manfaat buah kurma ketika persalinan antara lain: memperlancar proses melahirkan, mencegah pendarahan rahim, memperlancar asi, dan memberi tambahan tenaga.

Baca juga: Belajar Menghadapi Mental Block dari Kisah Siti Maryam

Sumandra juga mengutip Dokter Muhammad an-Nasimi, penulis kitab ath-Thib an-Nabawy wal ‘Ilmil Hadis, bahwa perempuan hamil yang akan melahirkan sangat membutuhkan makanan dan minuman yang kaya akan unsur gula lantaran banyaknya kontraksi otot-otot rahim ketika akan mengeluarkan jabang bayi.

Kurma dengan kandungan gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa sistolennya, yaitu kontraksi jantung ketika darah dipompa ke pembuluh nadi. Selain itu, kandungan Potasium di dalam kurma berguna untuk mengatasi masalah stress, sembelit, dan lemah otot sehingga cocok diberikan pada wanita melahirkan.

Kestabilan Emosi

Kedua, anjuran bersenang hati dan asupan nutrisi. Dalam surah Maryam ayat 26, terdapat anjuran makan, minum, dan bersenang hati. Asupan nutrisi sangat dibutuhkan oleh ibu bersalin untuk tenaga, menghindari kelelahan yang berakibat dehidrasi, serta menjamin kesejahteraan ibu dan janin (Nur Muhammad Fatih Al Badri: 2023).

Al Badri dalam tulisannya mengatakan bahwa larangan untuk tidak bersedih hati erat kaitannya dengan persalinan. Kesedihan membuat manusia berhenti untuk bergerak, sementara faktor yang mempengaruhi persalinan adalah kekuatan gerak ibu yang hendak melahirkan.

Baca juga: Belajar dari Kisah Hannah dan Maryam: Dua Sosok Ibu Tunggal Inspiratif

Cantika Siti dan Wiwin Widayani (2022) juga menegaskan bahwa psikologi ibu yang terganggu dapat mempengaruhi kemajuan persalinan, yang dapat menimbulkan stres. Hal itu dapat berimbas pada penyempitan pembuluh darah dan berkurangnya aliran oksigen ke rahim.

Di balik kisah Maryam yang mencontohkan kesabaran dan ketawakalan yang luar biasa ketika melahirkan seorang diri, rupanya terdapat hikmah dari sisi medis yang dapat diaktualisasikan di masa kini. Adapun beberapa anjuran dalam Alquran yang dapat diterapkan ibu melahirkan antara lain: anjuran untuk tidak bersedih, memperbanyak asupan nutrisi, serta konsumsi kurma. Wallah a’lam.

Telaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia

0
Telaah Lafaz ‘Wailun’ di Awal Surah: Dosa Menyangkut Hak Manusia

Lafaz ‘wailun’ sangat banyak disebutkan dalam Alquran, terutama di pertengahan surah seperti dalam surah Alma’un [107]: 4, Aththur [52]: 11, Almursalat [77]: 49, Albaqarah [2]: 79, dan lain-lain.

Namun pada tulisan ini, difokuskan pada lafaz wailun di ayat pertama yang sekaligus menjadi pembuka surah. Ada dua surah dalam Alquran yang dibuka dengan lafaz wailun, yaitu dalam surah Alhumazah dan surah Almuthaffifin. Keduanya sama-sama berisikan ancaman terhadap perbuatan dosa menyangkut hak manusia.

Makna Wailun

Dalam Lisanul ‘Arab, sebutan al-wail diperuntukan bagi orang yang terjerumus dalam kebinasaan dan azab. Senada dengan itu, Ibnu Hajar juga mengartikan al-wail sebagai azab (Fathul Bari, 5/350).

Ada pula yang mengartikan al-wail sebagai nama neraka. Misalnya pendapat Ibnu ‘Abbas dalam tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan surah Almuthaffifin yang mengartikan wailun sebagai nama sebuah lembah di neraka jahanam yang mengalir di dalamnya sungai nanah.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Begitupun Sa’id bin Musayyab dalam tafsir al-Baghawi saat menafsirkan Albaqarah [2]: 79 yang menggambarkan wailun sebagai  sebuah lembah di neraka jahanam, yang jika gunung-gunung di dunia di masukkan ke sana maka semuanya akan meleleh.

Secara lebih rinci, Imam Al-Qurthubi mengumpulkan sedikitnya tiga makna dari lafaz wailun: Pertama, الْخِزْيُ yang berarti kehinaan; kedua, الْعَذَابُ yang berarti azab; ketiga, الْهَلَكَةُ yang berarti kebinasaan.

Sehingga ketika Allah menyebut wailun, maka terkumpul padanya tiga kecelakaan: yaitu kehinaan, azab, dan kebinasaan (Tafsir Al-Qurthubi, 20/181). Adapun menurut Al-Maraghi, bahwa penyebutan wailun menunjukan betapa buruknya perbuatan yang disebut setelah lafaz wailun tersebut (Tafsir Al-Maraghi, 30/237).

Baca Juga: Tafsir Surat Al Humazah Ayat 1-9

Hak Manusia dalam Surah Alhumazah dan Almuthaffifin

Dalam surah al-Humazah, Allah menyebutkan wailun yang diperuntukan bagi humazah dan lumazah. Dalam tafsir Ibnu Katsir, menukil Imam Ar-Rabi’ ibnu Anas, al-humazah artinya mengejek di hadapan, sedangkan al-lumazah mengejek dari belakang.

Menurut Mujahid, humazah adalah mencela orang lain dengan tangan dan mata, sedangkan lumazah dengan lisannya. Sedangkan Ibnu ‘Abbas berpendapat, humazah dan lumazah artinya tukang menjatuhkan orang lain lagi pencela (Tafsir Ibnu Katsir, 4/481).

Hak manusia yang dimaksud dalam surah Alhumazah adalah menyangkut harga diri orang lain, sehingga Allah mengancam dengan wailun, yaitu bagi yang suka mencela, mengumpat, dan menghina orang lain baik ucapan maupun perbuatan. Setelah mengecam dengan keras perbuatan tersebut, lalu Allah menyebutkan penyebabnya di ayat selanjutnya, yakni yang suka mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, humazah dan lumazah itu adalah orang yang mencela orang lain serta merasa lebih hebat ​​​​​​​dari mereka, sebab kekagumannya kepada diri sendiri dengan harta yang telah ia kumpulkan. Dengan kata lain, karakter mengumpulkan harta tersebut, adalah penyebab dia merasa lebih hebat dibandingkan dengan orang lain (Tafsir Al-Munir, 30/399).

Dari pemaparan di atas, dosa menyangkut hak manusia dalam surah Alhumazah adalah menyangkut harga diri orang lain. Sehingga, terdapat ancaman keras bagi yang suka mencela, menghina, dan mengumpat orang lain.

Sedangkan di surah Almuthaffifin, kata wailun ditujukan kepada orang yang mengurangi timbangan. Menurut Ibnu Katsir, Almuthaffifin artinya berbuat curang ketika menakar dan menimbang.  Allah membinasakan kaum Nabi Syu’aib karena mereka curang dalam takaran dan timbangan (Tafsir Ibnu Katsir, 7/508).

Hak manusia dalam surat Almuthaffifin adalah menyangkut harta orang lain, maksudnya adalah ancaman bagi pelaku yang melalukan kecurangan dan penipuan dalam berdagang. Bayangkan jika kecurangan dilakukan terus menerus, tentu ia tidak hanya berdosa akibat harta yang tidak halal, tapi juga ada hak orang lain yang tidak ditunaikan dengan benar.

Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Cara Bertaubat

Baik surah Almumazah maupun surah Almuthaffifin, keduanya sama-sama berisikan ancaman terhadap perbuatan dosa yang menyangkut hak-hak manusia. Dibukanya kedua surah tersebut dengan lafaz wailun menunjukan warning akan bahayanya perbuatan dosa tersebut namun seringkali dosa tersebut diremehkan oleh manusia.

Dosa terkait hak manusia sangatlah berat. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, jika engkau meninggal dunia dengan membawa 72 dosa antara engkau dan Allah, itu masih lebih ringan bagimu, daripada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan hamba-Nya. (Tanbihul Ghafilin, 380)

Apa yang diungkapkan Sufyan Ats-Tsauri di atas tidaklah berlebihan, karena dosa menyangkut hak manusia tidak cukup terhapus hanya dengan istighfar dan taubat serta amal saleh, tetapi harus ada ishlah dengan pihak terkait. Atau jika tidak, mereka yang dizalimi tersebut akan menuntut di akhirat nanti.

Menurut Imam Nawawi, para ulama mengatakan bahwa syarat taubat itu ada tiga: menjauhi maksiat tersebut, menyesalinya, dan harus ada itikad untuk tidak mengulanginya. Itu hanya berlaku bagi dosa seorang hamba dengan Allah. Sedangkan dosa hamba menyangkut hak manusia harus memenuhi satu syarat lagi, yaitu memenuhi hak orang tersebut (Riyadhus Shalihin, 41-42).

Jika hak itu berupa harta dan kepemilikan, maka harus dikembalikan. Jika menyangkut tuduhan, celaan, hinaan, maka harus meminta maaf dan mengembalikan nama baiknya. Itulah mengapa, Rasul menggambarkan definisi muflis (kebangkrutan) yang sesungguhnya adalah bagi orang yang banyak berdosa dengan hak manusia, akibat banyak yang menuntutnya di akhirat dan menghanguskan pahala amal baiknya untuk melunasi hak tersebut.

Wallah a’lam

Tiga Hikmah Peritiwa Isra Mikraj

0
Tiga hikmah peristiwa isra mikraj
Tiga hikmah peristiwa isra mikraj

Selain istimewa, peristiwa isra mikraj Nabi Muhammad saw. juga bisa dikatakan misterius. Banyak bagian dari peristiwa ini yang ramai diperbincangkan oleh kalangan mufasir karena ‘kerahasiaannya’. Mulai dari pembahasan tentang materi yang melakukan isra dan mikraj yang kemudian muncul pertanyaan ‘apakah yang berangkat isra dan mikraj itu jasad sekaligus ruh Nabi Muhammad saw. atau hanya ruh saja?’; tentang durasi peristiwa isra dan mikraj; kendaraan yang digunakan; kronologi disyariatkannya salat yang dibumbui dengan kisah ‘reunian’ Nabi Muhammad saw. dengan para seniornya; dan seterusnya.

Baca juga: Pemahaman Malam Isra Mikraj Secara Semiotik

Selain itu, para mufasir tersebut juga tidak lupa menjelaskan hikmah dari segala pernak pernik peristiwa isra mikraj yang tidak lain didasarkan pada redaksi ayat 1 surah Alisra. Setidaknya ada tiga hikmah isra mikraj yang terselip dalam penjelasan para mufasir.

سُبْحانَ الَّذِي أَسْرى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بارَكْنا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياتِنا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Alisra [17]: 1)

Kode ketersambungan ajaran Nabi Muhammad saw. dengan para nabi sebelumnya

Hikmah isra mikraj yang pertama ini disampaikan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid. Ketika memahami perjalanan malam Nabi Muhammad saw. ke Masjidilaqsa, beliau memahami bahwa hal ini adalah keinginan Allah untuk mempertemukan Nabi Muhammad saw. dengan dua kiblat yang sama-sama diberkati Allah.

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum Nabi Muhammad saw. diperintah untuk salat menghadap arah Masjidilharam, kiblat umat Islam adalah Masjidilaqsa. Khusus Masjidilaqsa, tempat ini dikatakan istimewa dan diberkahi karena merupakan tempat turunnya wahyu para Nabi, mulai dari Nabi Musa hingga sebelum Nabi Muhammad saw. Selain itu, di sekitar tempat ini juga dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Hal ini menjadikan keberkahan Masjidilaqsa menjadi semakin lengkap. Demikian kurang lebih penjelasan al-Baidhawi dan Ibn ‘Atiyyah di masing-masing tafsirnya.

Baca juga: Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

Disinggahkannya Nabi Muhammad saw. yang berkiblat Masjidilharam di Masjidilaqsa yang tidak lain adalah salah satu simbol tradisi ajaran para senior Nabi Muhammad saw. menandakan bahwa masih adanya ketersambungan antara mereka. Hal paling jelas dari ketersambungan ini adalah ajaran tauhid (mengesakan Allah) yang sama-sama dibawa dan didakwahkan oleh mereka.

Status hamba adalah status yang paling mulia dari makhluk

Hikmah isra mikraj yang kedua ini berdasar pada penafsiran al-Qurtubi dan al-Qusyairi. Khusus dalam menafsirkan sebutan ‘hamba’ untuk menunjuk Nabi Muhammad saw. dalam peristiwa isra mikraj, al-Qurtubi menukil perkataan ulama,

قَوْلُهُ تَعَالَى: (بِعَبْدِهِ) قَالَ الْعُلَمَاءُ: لَوْ كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْمٌ أَشْرَفُ مِنْهُ لَسَمَّاهُ بِهِ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ الْعَلِيَّةِ

 ‘jika ada sebutan lain yang lebih mulia daripada sebutan ‘abd (terj. hamba) -untuk menyebut Nabi Muhammad saw.-, maka beliau (Nabi Muhammad saw.) akan disebut dengan nama itu dalam kedaan yang tinggi ini (yakni ketika isra mikraj).” Kurang lebih demikian terjemahannya.       

Alquran lebih memilih mengistilahkan Nabi Muhammad saw. sebagai seorang hamba dalam peristiwa semisterius isra mikraj. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian ini benar-benar di luar kuasa seorang makhluk. Sebaliknya, hanya Allah yang benar-benar berkuasa mewujudkan kejadian di luar nalar ini. Dengan benar-benar menghamba, seketika itu pula seseorang benar-benar mengakui Tuannya.

Baca juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

Al-Qusyairi, seorang sufi, dalam tafsirnya memahami bahwa ayat narasi isra mikraj ini memperjelas dua hal. Pertama, yaitu meniadakan keterkejutan atas tindakan Allah swt. -karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, termasuk terjadinya peristiwa isra mikraj yang jika diukur dengan nalar makhluk dianggap sesuatu yang mustahil. Kedua, yaitu meniadakan keterkejutan tentang sifat Rasulullah saw. -yang tidak lain hanya seorang hamba yang hanya bisa menjalankan kuasaNya-.

Bukti keimanan seseorang

Hikmah isra mikraj berikutnya berasal dari riwayat yang menyatakan tentang respons Abu Bakar ketika mendengar peristiwa tersebut. Dalam Bahr al-‘Ulum, as-Samarqandi menukil kisah bahwa setelah tersebar berita tentang isra mikraj, sahabat yang pada awalnya mengikuti Nabi Muhammad saw. berubah menyangkalnya, namun tidak dengan Abu Bakar.

Ketika orang-orang musyrik mengabarkan berita yang sedang viral itu kepada Abu Bakar, beliau menjawab ‘saya bersaksi bahwa jika Muhammad yang berkata demikian, maka saya membenarkannya.’ ‘Apakah kamu percaya bahwa Muhammad pergi ke Syam (wilayah tempat Masjidilaqsa berada) dan kembali ke sini dalam satu malam?’ orang-orang musyrik bertanya untuk meyakinkan lagi ‘iya, saya membenarkannya meski ke tempat yang lebih jauh sekali pun.’ Jawab Abu Bakar dengan kemantapan hati.

Respons dan sikap Abu Bakar yang dapat tergambar dari narasi riwayat tadi menggambarkan visualisasi keimanan seseorang, yakni ketika keyakinan hati selaras dengan ucapan lisan dan bukti nyata tindakan.

Demikian setidaknya tiga hikmah dari banyak hikmah isra mikraj yang dijelaskan oleh para mufasir. Satu hal yang bisa diambil kesimpulan adalah banyak pesan yang tersimpan dalam peristiwa isra mikraj ini yang jika tidak diungkap, maka isra mikraj hanya akan menjadi cerita misterius belaka. Wallah a’lam.

Terminologi ‘Risywah’ (Suap) dalam Literatur Tafsir

0
terminologi risywah dalam tafsir
terminologi risywah dalam tafsir

Di masa mendekati pemilu seperti sekarang, transaksi suap-menyuap antara calon pejabat dengan masyarakat seperti dianggap lumrah dan menjadi rahasia umum. Suap sendiri merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi (tipikor) yang termasuk dalam salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Menarik untuk dicermati, jika merujuk kepada terminologi suap dalam bahasa Arab, yakni risywah, maka tidak akan ditemukan satu ayat Alquran yang memuat terminologi tersebut. Meski demikian, terminologi risywah bukanlah sesuatu yang asing dalam tafsir Alquran. Terminologi tersebut dapat dengan mudah dijumpai ketika membaca literatur-literatur yang ditulis oleh para pakar tafsir karena sering digunakan untuk menjelaskan makna ayat-ayat yang menjelaskan tentang kecurangan, penipuan, atau tindakan zalim.

Baca Juga: Pandangan Alquran tentang Korupsi dan Solusinya

Di antaranya adalah kata suht dalam surah al-Māidah [5]: 42.

سَمّٰعُوْنَ لِلْكَذِبِ اَكّٰلُوْنَ لِلسُّحْتِۗ فَاِنْ جَاۤءُوْكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ اَوْ اَعْرِضْ عَنْهُمْ ۚوَاِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَّضُرُّوْكَ شَيْـًٔا ۗ وَاِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Mereka (orang-orang Yahudi itu) sangat suka mendengar berita bohong lagi banyak memakan makanan yang haram. Maka, jika mereka datang kepadamu (Nabi Muhammad untuk meminta putusan), berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Jika engkau berpaling, mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Akan tetapi, jika engkau memutuskan (perkara mereka), putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Menurut Muqātil bin Sulaimān, subjek ayat tersebut adalah Ka’ab bin al-Asyraf, Ka’ab bin Asīd, Mālik bin Dhaif, dan Wahab bin Yahūdzā yang suka mendengar berita bohong dan menerima suap dari orang-orang Yahudi yang menyuap mereka setiap tahunnya. (Tafsir Muqātil bin Sulaimān, 1, 478).

Mereka merupakan para penegak hukum dari kalangan Yahudi yang hanya akan mendengarkan, bahkan mempercayai apa pun yang dikatakan oleh orang yang memberi mereka suap, sedangkan pihak lainnya akan diabaikan (al-Kasyf wa al-Bayān: 4, 67).

Praktik serupa tidak hanya dilakukan oleh para hakim, akan tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum. Orang-orang miskin Yahudi akan mengambil uang dari orang-orang kaya untuk hidup dari apa yang mereka miliki dengan cara mendengarkan kebohongan serta mempopulerkan Yahudi dan mencemarkan nama baik Islam (Tafsīr al-Munīr: 3, 544-545).

Selain dari salah satu konteks mikro ayat tersebut yang merujuk kepada praktik suap, dalam konteks makronya, praktik suap dalam masyarakat Arab bukanlah sesuatu yang asing.

Berdasarkan catatan Ibnu Āsyūr, di antara masyarakat Arab Jahiliyyah yang pernah melakukan praktik suap adalah ‘Āmir bin al-Thufail dan Alqamah bin ‘Ulātsah. Masing-masing dari keduanya memberikan seratus ekor unta kepada Haram bin Quthbah al-Fazārī, dengan harapan salah satu dari mereka akan diutamakan dari yang lain.

Sementara itu, di lain kasus, hakim yang pertama kali menerima suap adalah Dhamrah bin Dhamrah al-Nahsyili dengan seratus ekor unta yang diberikan oleh Abbād bin Anf al-Kalb kepadanya dalam pertengkaran antara dia dan Ma’bad bin Nadhlah al-Faqa’sī untuk mengasingkannya (Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr: 2, 191-192).

Baca Juga: Pedoman dan Prinsip Utama dalam Al-Quran Bagi Seorang Hakim

Sementara  itu, di kalangan Islam, pelayan ‘Umar bin al-Khattāb, Yarfa’, tercatat sebagai orang yang pertama kali menerima suap. Yarfa’ adalah perantara dalam pemberian izin kepada orang yang hendak memasuki rumah ‘Umar bin al-Khattāb. Al-Mughīrah bin Syu’bah menyuap Yarfa’ agar gilirannya  didahulukan untuk masuk ke rumah ‘Umar bin al-Khattāb. Padahal berdasarkan aturannya, mendahulukan giliran harus seizin orang yang lebih dahulu datang. Tanpa seizin yang bersangkutan, hal tersebut merupakan sebuah pelanggaran. Tindakan Al-Mughīrah bin Syu’bah memberikan uang untuk mendapatkan giliran lebih cepat dikategorikan sebagai praktik suap (Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr: 2, 192).

Dari keterangan penjelasan konteks historis mikro dan makro ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik suap merupakan tindakan yang tidak asing dalam Islam di masa-masa awal. Meski suap menyuap (risywah) tidak disebutkan secara gamblang dalam Al-Qur’an, namun larangannya termuat dalam ayat-ayat yang menjelaskan tentang kecurangan, kezaliman, dan kebohongan. Pemaparan di atas juga menjadi penegasan bahwa suap merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan dalam Islam karena merupakan bagian dari kecurangan, kezaliman, kebohongan. Wallah a’lam

Al-Qawiyyu al-Amin Sebagai Idealitas Kepemimpinan

0
Ilustrasi pemimpin.

Menjadi pemimpin merupakan suatu tanggung jawab yang diharuskan memiliki kapabilitas tertentu agar mampu menjalankan visi dan misinya bersama anggota-anggota di bawah kepemimpinannya. Tentu ini bukanlah pekerjaan yang mudah bagi seorang pemimpin. Oleh karenanya, kualifikasi pemimpin yang ideal perlu dipertimbangkan dengan matang.

Sifat al-Qawiyyu al-Amin dalam Alquran

Dalam Alquran disebutkan dua kali pada dua surah berbeda terkait penyerahan tanggung jawab oleh seseorang yang kuat dan dapat dipercaya (al-qawiyyu al-amin). Pertama, Q.S. Alnaml [27]: 39 berikut.

قَالَ عِفْرِيْتٌ مِّنَ الْجِنِّ اَنَا اٰتِيْكَ بِه قَبْلَ اَنْ تَقُوْمَ مِنْ مَّقَامِكَۚ وَاِنِّيْ عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ اَمِيْنٌ

Ifrit dari golongan jin berkata, “Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari singgasanamu. Sesungguhnya aku benar-benar kuat lagi dapat dipercaya.”

Berkenaan dengan ayat sebelumnya, Q.S. Alnaml [27]: 38, Nabi Sulaiman a.s ingin memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah yang diberikan kepadanya, agar Bilqis beriman dan membenarkan kenabiannya. Kemudian, ia menanyakan kepada tentaranya, apakah ada orang yang mampu memindahkan singgasana Bilqis dari Yaman dengan segera sebelum Bilqis tiba di negeri Saba? Lantas jin Ifrit, sosok makhluk yang sangat kuat menyahut sebagaimana dalam Q.S. Alnaml [27]: 39 di atas, bahwa ia menyanggupi permintaan Nabi Sulaiman.

Baca Juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran

Pada ayat tersebut, menggambarkan kesanggupan jin Ifrit memenuhi permintaan Nabi Sulaiman agar segera memindahkan singgasana dengan lebih cepat. Salam dialognya, ia juga berusaha meyakinkan Nabi Sulaiman dengan menampilkan dirinya bahwa ia qawiyyun amin, yakni seorang yang kuat dan dipercaya.

Ibnu Abbas memaknai qawiyyu sebagai seorang yang kuat membawa (singgasana), dalam arti lain adalah kuat secara fisik. Sementara amin, Ibnu Abbas mengatakan bahwa Ifrit mampu dipercaya menjaga seluruh permata dalam singgasana tersebut. (Mukhtaṣar Tafsīr ibn Kaṡīr, 2/572)

Kedua, dalam Q.S. Alqashash [28]: 26

قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُۖ اِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ

Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Ayat di atas berbicara tentang salah seorang putri Syekh Madyan bernama Safurah yang memiliki ketertarikan dengan Nabi Musa dan meminta ayahnya untuk mempekerjakan dirinya di rumah mereka. Safurah mengatakan bahwa Musa adalah pemuda yang kuat lagi dipercaya. Sebagaimana dikatakan Abu Ja’far, bahwa Nabi Musa mampu menggembala dan melindungi ternak mereka, dapat dipercaya tanpa dikhawatirkan ia dapat berkhianat. (Tafsīr al-Ṭabarī Jāmi’ al-Bayān, 18/224)

Baca Juga: Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 2)

Al-Maturidi mengutip pendapat Ahlu al-Ta’wīl, bahwa bukti kekuatan Nabi Musa adalah terletak pada kemampuan dirinya mengangkat batu dari ujung sumur sendirian, dan ia mengambil ember itu keluar dari sumur sendirian, padahal tidak ada seorang-pun yang mampu mengangkat keluar ember itu kecuali Musa. Adapun bukti kejujurannya adalah Nabi Musa meminta dan mempersilahkan tuannya untuk berjalan di belakangnya, sebagai tanda bahwa ia tidak akan berkhianat di belakang. (Tafsīr al-Māturīdī, 8/162)

Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa hendaknya penyerahan tanggung jawab diserahkan kepada seorang al-qawiyyu al-amīn (kuat lagi dipercaya), yakni seseorang yang memiliki kepribadian kuat secara fisik dan intelektual, serta dapat dipercaya secara etis dan moral.

Sebagaimana seorang pemimpin yang merupakan pemikul tanggung jawab, gambaran tersebut senada dengan kapasitas kepribadian bagi seorang pemimpin yang hendaknya memiliki kekuatan fisik agar mampu menjalankan aktivitas kepemimpinan yang tegas dan mumpuni, dalam waktu bersamaan disertai dengan kejujuran, amanah, dan kewibawaan.

Haruskah pemimpin yang ideal berkepribadian kuat?

Dalam menjalankan kepemimpinan, apakah seorang berkepribadian lemah lebih baik tidak memimpin? Sebagai lawan dari al-qawiyyu, berkepribadian lemah berkenaan dengan Abu Dzar al-Ghifari yang melakukan protes kepada Rasulullah sebab ia tidak kunjung diberikan amanah memimpin sebagaimana sahabat-sahabat lain yang sudah diamanati. Imam Nawawi mencantumkan hadis dalam kitab Riyāḍ al-Ṣāliḥīn (217) berkaitan dengan protes Abu Dzar berikut.

وعنه، قَالَ: قُلْتُ: يَا رسول الله، ألا تَسْتَعْمِلُني؟ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبي، ثُمَّ قَالَ: «يَا أَبَا ذَرٍّ، إنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّها أَمَانَةٌ، وَإنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَاّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا». رواه مسلم.

Dari (Abu Dzar r.a.), berkata: saya berkata: Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat saya sebagai seorang petugas negara? Beliau bersabda: “Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat, dan pada hari kiamat kemudian, ia (jabatan) akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.

Baca Juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Hadis di atas tidak menggambarkan sahabat Abu Dzar al-Ghifari sebagai sosok kepribadian lemah sebab buruk perangainya, melainkan ia memiliki kapabilitas kepemimpinan yang lemah. Kehidupan zahid yang ditempuhya memicu dirinya tampil sebagai orang yang sangat baik, penuh kesederhanaan, pemberi maaf, dan jauh dari penampilan tegas dan wibawa.

Al-Harari mengutip perkataan al-Qurthubi, bahwa ḍa’īf (lemah) yang dimaksud adalah kurang kapabel melaksanakan kewajiban sebagai pemimpin dalam memperhatikan kepentingan agama dan duniawi rakyatnya. Kelemahan Abu Dzar ini adalah sebab kezuhudannya terhadap dunia lebih dominan. (al-Kaukab al-Wahhāj, 20/15)

Bagi Umar, seorang yang berkepribadian lemah tidak akan mampu mengemban tugas melebihi kompleksitas persoalan akidah. Akidah dan politik adalah dua ranah yang berbeda. Apabila seseorang memiliki kecakapan dalam dua persoalan tersebut, maka akan tercapai tingkat kesempurnaan atau ideal. (Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang: 53)

Kepribadian demikian hendaknya tidak mengemban amanat sebagai pemimpin. Apabila terjadi demikian, penegakan hukum tidak berjalan secara optimal, kezaliman merajalela, dan perlakuan sewenang-wenang pihak pemberontak. Oleh karenanya, anjuran Rasulullah agar Abu Dzar al-Ghifari tidak diangkat menjadi pejabat, agar kelak hari Kiamat ia tidak menyesal. Jabatan kepemimpinan dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang mengembannya apabila hak-hak dalam pelaksanaan jabatan itu diselenggarakan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, bertindak tegas, bijaksana, serta terukur.

Kesimpulan

Dengan demikian, ukuran ideal seorang pemimpin sebagai pengemban tanggung jawab adalah terletak pada kapasitas kepribadiannya. Qawiy (kuat) baik secara fisik maupun psikis, agar selama menjalankan tugas kepemimpinannya tidak mengalami kendala sebab kondisi fisiknya melemah, begitupun psikisnya.  Serta amin (dipercaya), agar menghasilkan kemaslahatan bagi seluruh orang yang dipimpinnya.

Penafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan

0
Penafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan
Penafsiran Ulama tentang Siapa Anak Nabi Ibrahim yang Dikurbankan

Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan kompleksitas penentuan sosok anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan dalam kitab-kitab tafsir. Mengingat, dalam realitasnya, masyarakat cenderung hanya mengetahui Ismail sebagai sosok yang disembelih. Hal ini didasari atas pengalaman pribadi penulis yang di mana dalam suatu forum bertanya kepada para mahasiswa terkait siapa anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan? Dan semua mahasiswa sontak menjawab “Ismail”, tanpa mengetahui ada pandangan yang menyebutkan bahwa Ishaq yang disembelih. Padahal di dalam dunia tafsir terdapat kontestasi mulai dari masa sahabat hingga saat ini atas isu tersebut sehingga menggambarkan kompleksitas dalam kitab-kitab tafsir.

Kompleksitas penafsiran dalam menentukan siapa anak Nabi Ibrahim yang dikurbankan, tidak terlepas dari ambiguitas bahasa Alquran yang hanya menyebutkan secara general—kata “gulam” (anak lelaki) dan “bunayya” (anak lelaki kesayanganku)—dalam Q.S. Al-Saffat [37]: 101-102. Di samping itu, dikatakan kompleks dikarenakan kedua kelompok ulama (kelompok “pro-Ishaq” dan “pro-Ismail”) sama-sama memiliki dalil yang kuat, baik yang disandarkan kepada dalil naqli maupun dalil aqli.

Baca juga: Kisah Ibu para Nabi dalam Alquran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Bahkan diskusi lebih lanjut atas isu ini, memunculkan klaim bahwa tokoh tafsir abad pertengahan yang berpandangan bahwa Ismail yang disembelih didasari atas politik identitas Arab. Namun, di sini penulis hanya akan memetakan argumen ulama pro-Ismail dan pro-Ishaq secara umum. Penting dicatat bahwa satu-satunya ayat yang membahas tentang kisah perintah penyembelihan anak Nabi Ibrahim ialah Q.S. As-Saffat [37]: 99-112. Sebelum menguraikan argumen-argumen kedua kelompok di atas, penulis akan menyebutkan para sahabat yang pro-Ishaq dan pro-Ismail di dalam tafsir karya al-Biqa’I, Nazm al-Durar.

Sahabat yang menyebutkan bahwa Ishaq yang disembelih adalah Umar, ‘Ali, al-‘Abbas, Ibn Mas’ud, Abu Musa, Abu Hurairah, dan Anas bin Malik.  Adapun yang pro-Isma’il, yaitu Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, Ikrimah, Ata’, Mujahid, al-Sya‘bi, Abu al-Jauza’, dan Yusuf bin Mahran. Di samping itu, dalam tafsir al-Tabari, Jami’ al-Bayan, disebutkan setidaknya 24 riwayat yang menyebutkan Ismail sebagai sosok yang disembelih oleh Ibrahim dan 17 riwayat yang berpandangan bahwa Ishaq. Perbedaan pandangan ini tidak saja terjadi pada sahabat saja, tetapi berlanjut pada ulama-ulama setelahnya di dalam kitab Tafsir.

Argumen Anak yang Disembelih Adalah Ismail

Secara garis besar, terdapat setidaknya tiga argumen yang mendasari ulama-ulama pro-Ismail. Pertama, mereka memahami kata halim sebagai sifat yang amat sabar dan sifat itu hanya dimiliki oleh Ismail sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiya’ [21]: 85, sedangkan Ishaq hanya disebutkan sebagai sosok ‘alim sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Hijr [15]: 53.

Dengan demikian, argumen di atas mengindikasikan bahwa anak Ibrahim yang dimaksud dalam Q.S. As-Saffat yang secara eksplisit menyandarkan sifat halim kepada anak Ibrahim adalah Ismail. Terlebih lagi ayat-ayat setelahnya, yaitu Q.S. As-Saffat [37]: 112 memberikan basysyar (kabar gembira) kepada Ibrahim atas kelahiran Ishaq, sehingga tidak mungkin Ishaq yang dimaksud dalam ayat 101.

Argumen di atas tentu mendapat counter narrative dari ulama pro-Ishaq dengan menyebutkan bahwa kabar gembira yang terdapat dalam ayat 112 hanya berita tentang diangkatnya Ishaq sebagai nabi Allah, setelah kesabaran dan kepasrahannya atas peristiwa penyembelihan yang dialaminya dan bukan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq.

Baca juga: Ketakwaan dan Ketulusan sebagai Esensi Kurban

Di samping itu, mereka juga berpandangan bahwa Ishaq yang disembelih berdasarkan konsepsi Alquran tentang basysyar yang disebutkan dalam berbagai ayat yang menceritakan penyampaian kabar gembira dari Allah kepada Ibrahim dan Sarah melalui perantara malaikat merupakan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq, sebagaimana dapat dilihat dalam Q.S. Hud [11]: 71. Berdasarkan konsepsi tersebut, dapat dipahami bahwa jikalau terdapat ayat yang menceritakan tentang basysyar akan kelahiran anak Ibrahim yang namanya tidak disebutkan secara eksplisit, bahkan hanya menyebutkan sifat dari anak itu, maka ia mengacu kepada Ishaq. Dengan demikian, sosok yang dijelaskan dalam Q.S.As-Saffat [37]: 101 adalah Ishaq dan bukan Ismail.

Kedua, Allah telah berjanji dalam ayat lain (Q.S. Hud [11]: 71) bahwa akan lahir seorang anak yang berasal dari keturunan Ishaq, yaitu Ya’qub, sehingga tidak mungkin dalam surah As-Saffat ini yang akan disembelih adalah Ishaq, karena Allah tidak mungkin mengingkari janjinya tentang kelahiran Ya’qub. Hal ini dikuatkan dengan pemaknaan kata al-sa’ya dalam Q.S. As-Saffat [37]: 102 yang diartikan sudah mampu berjalan bersama Ibrahim yang mengindikasikan waktu remaja. Pandangan di atas tentu mendapat penolakan dari ulama pro-Ishaq yang meyakini bahwa peristiwa penyembelihan tersebut berlangsung ketika Ishaq telah memiliki keturunan.

Ketiga, terdapatnya tanduk domba di Baitullah yang diyakini sebagai tanduk yang diberikan Allah kepada Ibrahim sebagai ganti atas anak Ibrahim yang disembelih. Argumen ini diperkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal. Ulama pro-Ishaq kemudian menimpali dengan menyebutkan bahwa boleh jadi tanduk yang terdapat di Baitullah telah dipindahkan dari Kan’an—yang merupakan tempat penyembelihan Ishaq— ke Baitullah.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? Dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Tentu pemetaan argumen pro-Ismail dan pro-Ishaq di atas tidak melingkupi seluruh argumen yang ada dalam khazanah tafsir yang begitu kaya. Seperti penggunaan Alkitab oleh al-Biqa’i dalam meneguhkan pandangannya yang pro-Ismail atau penggunaan ilmu munasabah (korelasi ayat) dan siyaq al-ayat (susunan ayat) oleh Muqatil bin Sulaiman dalam menguatkan pandangannya yang pro-Ishaq. Namun demikian, pembaca dapat melihat kompleksitas dalam menentukan siapa anak Ibrahim yang disembelih dan mengetahui bahwa di dalam kitab-kitab tafsir terdapat pandangan yang berbeda dari apa yang selama ini diyakini.

Terlepas dari Ishaq atau Ismail yang disembelih, yang jelas keduanya merupakan Nabi yang dipuji oleh Allah. Terlebih lagi mereka adalah putra Nabi Ibrahim dan hasil didikan darinya, sehingga lebih bijak melihat tujuan kelompok ayat di atas sebagai bentuk keutamaan Nabi Ibrahim, ungkap M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.

Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia (Bagian 2)

0
Tafsir Marah Labid cetakan Al-Mathba‘ah all-‘Utsmaniyyah tahun 1305 Hijriah
Tafsir Marah Labid cetakan Al-Mathba‘ah all-‘Utsmaniyyah tahun 1305 Hijriah

Naskah tafsir Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) barangkali menjadi salah satu temuan awal tentang jejak tafsir Al-Wahidiy di Indonesia. Hal ini, sebagaimana telah penulis ulas dalam Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal. Hal ini sebab ditemukannya catatan interpolasi yang diambil dari salah satu dari tiga karya tafsir al-Wahidiy yang berjudul Al-Wajiz.
Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan membaca hasil tahqiq (kritik teks) yang dilakukan oleh Shafwan ‘Adnan Dawudiy dalam edisi teks Al-Wajiz yang dicetak oleh Dar al-Qalam Damaskus dan Al-Dar al-Syamiyyah Beirut. Dalam edisinya tersebut, Dawudiy mengatakan bahwa dia telah merujuk pada 21 naskah Al-Wajiz yang dia kumpulkan dari berbagai koleksi.
Masih dalam edisi tersebut, Dawudiy juga sempat menyinggung salah satu cetakan teks Al-Wajiz yang menurutnya cukup buruk karena tidak melewati tahap kritik teks yang baik. Teks tersebut termuat dalam bagian hamisy naskah Al-Tafsir al-Munir li Ma‘alim al-Tanzil al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin al-Ta’wil atau juga dikenal dengan Marah Labid li Kasyf Ma‘na Qur’an Majid karya Mbah Nawawi Banten cetakan Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isa al-Babiy al-Halabiy (selanjutnya disebut ‘Isa al-Babiy al-Halabiy), Mesir tahun 1305 H.
Menurut Dawudiy, naskah cetakan tersebut memang sudah seperti naskah kuno yang jarang sekali ditemui dan mungkin hanya dimiliki perpustakaan besar. Hingga tulisan ini ditulis, penulis belum menemukan cetakan yang dimaksud tersebut. Penulis hanya mendapati cetakan Al-Mathba‘ah al-‘Utsmaniyyah. Kendati sama-sama dicetak pada tahun 1305 H., cetakan ini memuat teks Marah Labid saja dan tidak memuat teks Al-Wajiz.

Baca juga: Mengenal Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad, Ulama Asal Sumbar

Informasi yang diberikan Dawudiy ini cukup menarik karena keberadaan naskah tersebut boleh jadi merupakan pintu masuk teks Al-Wajiz di Indonesia. Hal ini seiring dengan pertanyaan yang muncul tentang temuan catatan interpolasi dari teks tersebut dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT:
“Dari mana penulis naskah tersebut mengutip catatan interpolasi Al-Wahidiy tersebut?”
Pertanyaan ini tentu merupakan hal yang sangat wajar mengingat Al-Wajiz merupakan teks yang ‘tidak populer’ di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seperti yang juga telah penulis ulas dalam Jejak Tafsir Al-Wahidiy di Indonesia: Penelusuran Awal, teks Al-Wajiz berbeda dengan teks Al-Baghawiy yang bisa dibilang sangat populer. Selain itu, salinan naskah Al-Baghawiy juga ditemukan dalam koleksi yang sama, sehingga dimungkinkan penulis naskah merujuk pada naskah tersebut.
Akan tetapi, karena belum mendapatkan salinan cetakan, penulis hendak memberikan disclaimer bahwa apa yang penulis paparkan ini merupakan asumsi yang dibangun dengan mengaitkan keberadaan naskah Marah Labid cetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy tersebut dengan catatan interpolasi yang ditemukan dalam naskah Jalalain koleksi Museum MAJT.
Alasan yang mendasari asumsi penulis bahwa naskah Marah Labid cetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy tersebut menjadi pintu masuk teks Al-Wajiz di Indonesia adalah bahwa Marah Labid merupakan teks yang cukup populer di Indonesia. Setidaknya, ia lebih populer jika dibandingkan dengan teks Al-Wajiz. Maka, agaknya mungkin jika teks Al-Wajiz masuk ke Indonesia dengan ‘menumpang’ teks Marah Labid.
Martin van Bruinessen dalam kajiannya berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat menukil dari L.W.C. van den Berg menyebut bahwa pada akhir abad ke-19 menjadi awal masuknya teks Marah Labid di Indonesia, kendatipun teks tersebut belum menjadi materi kurikulum ‘resmi’ pesantren di Indonesia. Jika dicocokkan, masa tersebut merupakan masa yang sama di mana naskah Marah Labid dicetak untuk pertama kali, sebagaimana disebutkan oleh Dawudiy oleh percetakan ‘Isa al-Babiy al-Halabiy pada tahun 1305 H. atau sekitar tahun 1887 M.

Baca juga: Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

Namun jika asumsi ini benar, satu hal yang mengganjal adalah selisih tahun antara cetakan naskah Marah Labid tersebut dengan waktu penulisan naskah Jalalain Museum MAJT. Bahwa cetakan naskah Marah Labid ‘terlambat’ sekitar 30 tahun ketimbang penulisan naskah Jalalain.
Kecuali, jika kita berasumsi bahwa teks Al-Wajiz yang terletak di bagian hamisy naskah Jalalain tersebut ditulis di masa berikutnya. Hal ini karena pola yang digunakan sama dengan pola yang digunakan pada makna pegon (interlinear translation). Sementara keduanya menggunakan pola yang berbeda dengan teks (induk) Jalalain yang berada di bagian tengah halaman. Sehingga teks Al-Wajiz diberikan belakangan oleh seseorang yang ngaji tafsir dengan naskah tersebut, meskipun untuk membuktikannya cukup sulit karena jenis kaligrafi (khat) yang digunakan semisalnya berbeda.
Tetapi, kembali lagi bahwa paparan yang penulis sampaikan ini hanya merupakan asumsi yang dibangun dari argumentasi sementara. Sehingga, untuk sampai kepada kebenarannya yang ilmiah masih membutuhkan banyak data dan kajian lebih lanjut. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Keteladanan Nabi Ibrahim Menyikapi Sensitivitas Orang Tua

0
Keteladanan Nabi Ibrahim Menyikapi Sensitivitas Orang Tua
Keteladanan Nabi Ibrahim Menyikapi Sensitivitas Orang Tua

Sebagian orang tua ketika memasuki usia senja memiliki sensivitas psikologis yang tinggi ketika menghadapi gerak-gerik maupun ucapan orang-orang di sekitarnya. Ditinjau dari aspek psikologis, memang benar adanya bahwa orang tua memiliki emosional daya reponsif yang sensitif.

Dilansir dari cnnindonesia.com, mengutip pernyataan ahli saraf Yuda Turana, bahwa stressor sosial lebih banyak menumpuk pada orang lansia dibandingkan mereka yang berusia masih belia. Sehingga tidak mengherankan jika seorang anak perlu memperluas kesabaran dalam menghadapi orang tuanya. Menanggapi kondisi demikian, hendaknya seorang anak berhati-hati dalam berucap dan berperilaku di hadapan orang tua sebagai salah satu tindakan berbakti kepada mereka.

Sikap ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dalam kisahnya, saat ia sedang berdialog dengan ayahnya yang mengancam dirinya dengan perlakuan kasar. Meski demikian, Nabi Ibrahim tetap kukuh dan berdiri pada pendiriannya tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kepada ayahnya. Lebih tepatnya kisah ini dapat kita baca pada Q.S. Maryam [19]: 46-47 berikut.

قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا – ٤٦ قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّه كَانَ بِيْ حَفِيًّا – ٤٧

(46) Dia (bapaknya) berkata, “Apakah kamu membenci tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika tidak berhenti (mencela tuhan yang kusembah), engkau pasti akan kurajam. Tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (47) Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku.”

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Pada ayat ini, Nabi Ibrahim dicercas pertanyaan oleh ayahnya, Azar, berkenaan dengan ikut campurnya Nabi Ibrahim terhadap apa yang disembah oleh ayahnya, bahkan diancam rajam baginya. Padahal, upaya Nabi Ibrahim tersebut adalah bentuk dakwah supaya ayahnya beserta kaumnya menyembah Allah dan meninggalkan menyembah berhala yang tidak berdaya.

Ancaman rajam oleh Azar kepada putranya, Ibrahim, oleh al-Ṭabari ditafsirkan bukan melempar dengan batu seperti yang dipahami pada umumnya. Melainkan melemparkan kata-kata yang buruk atau makian. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suddi, bahwa ayat araghībun anta ‘an ālihatī yā Ibrāhīmu lain lam tantahi la’arjumannak adalah berupa lemparan hinaan, makian, bukan bebatuan (Tafsīr al-Ṭabarī, 18/205).

al-Baghawi menukil pendapat al-Kalbi, Muqātil, dan al-Ḍaḥḥāk, bahwa ayahnya Ibrahim mengancam dengan menghina dan mencaci-makinya (Ibrahim) sebagai upaya agar ia menjauh dari ayahnya (Tafsīr al-Baghawī, 5/234).

Baca juga: Belajar Keteguhan Hati Seorang Ayah dari Kisah Nabi Ya’kub

Lantas, apa reaksi Nabi Ibrahim atas perbuatan ayahnya? Nabi Ibrahim justru membalas perkataan ayahnya dengan ucapan: salāmun ‘alaika, saastaghfiru laka rabbī. Al-Baghawi memaknai kalimat salāmun ‘alaika sebagai bentuk perdamaian dengan ayahnya. Ibrahim tidak membalas cercaan ayahnya dan tidak menimpakan balasan yang buruk bagi ayahnya. Dikatakan juga bahwa ucapan tersebut merupakan bentuk salam kebaikan dan kelembutan sebagai bentuk jawaban bijak kepada orang-orang yang memang belum memiliki kepahaman (Tafsīr al-Baghawī, 5/235).

Az-Zuhaili mengatakan bahwa ucapan salāmun ‘alaika oleh Nabi Ibrahim kepada ayahnya tersebut merupakan salam perpisahan, sebab ucapan ayahnya yang menginginkan ia pergi menjauh darinya. Ia tidak menimpakan celaka kepada ayahnya atas ancaman yang diucapkan. Justru ia mendoakan ayahnya agar diberikan ampunan oleh Allah atas perbuatannya menyembah berhala (Tafsīr al-Munīr, 16/103).

Baca juga: Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Alquran

Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan bentuk sikap hormat kepada orang tua, baik melalui perkataan maupun perlakuan. Oleh karenanya, dianjurkan bagi seorang anak untuk berhati-hati dalam menghadapi orang tua dalam menyantuninya, baik ucapan ataupun tindakan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berakhlak mulia, menjaga perasaan, dan senantiasa berupaya semaksimal mungkin untuk tidak mengundang kejengkelan dan kekecewaan yang didatangkan darinya.

Dalam Islam, berlaku mulia terhadap orang tua adalah bernilai ibadah agung. Berbakti kepada orang tua tidak cukup dengan mencukupkan kebutuhannya. Lebih dari itu, seorang anak hendaknya bersikap santun, seperti menghindari menyakiti fisik maupun psikis, dan mengecewakan mereka. Wallāhu a’lamu.

Pendapat Mufasir dan Muhadis tentang Kisah al-Gharaniq

0
Pendapat Mufasir dan Muhadis tentang Kisah al-Gharaniq

Ada salah satu kisah yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah disisipi setan dalam proses penerimaan wahyu. Kisah ini berawal dari karya yang ditulis oleh Ibnu Ishaq. Kisah ini berawal ketika Nabi Saw dan pengikutnya mulai dijauhi dan ditolak keberadaanya oleh kaum Quraish. Sehingga Nabi Saw berpikir dan berharap datangnya pesan Allah agar kaum Quraish dapat menerimanya.

Kemudian Nabi Muhammad memutuskan untuk mengumpulkan mereka di sisi Ka’bah dan mulai membacakan sebuah ayat untuk mereka dan mereka pun bersujud. Ayat yang dilantunkan tersebut tenyata berisi tentang pengakuan Nabi mengenai tiga dewa yang disembah kaum Quraish, ialah al-Lat, al-‘Uzza dan Manat yang merupakan anak dari perempuan Allah. Seketika setan membuat beliau melafalkan kalimat ini. Mereka adalah al-Gharaniq .

Kisah al-Gharaniq  menunjukkan bahwa Rasulullah Saw seakan-akan bisa ditipu oleh setan, sehingga melakukan kesalahan yang fatal dengan menganggap bisikan setan yang berisi pujian kepada berhala-berhala sesembahan kaum kafir itu sebagai wahyu dari Allah. Lalu bagaimana pendapat dari mufasir dan muhadis? Berikut uraiannya.

Baca Juga: Qishah al-Gharaniq, Riwayat “Turunnya” Ayat-ayat Setan

Ayat Alquran tentang Kisah al-Gharaniq  

Peristiwa al-Gharaniq  terjadi saat Rasulullah Saw membacakan surah Alnajm. Meski demikian, bagian paling terperinci tentang kisah al-Gharaniq  itu biasanya dikemukakan oleh para mufassir saat mereka menafsirkan surah Alhajj [22]: 52-53:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ وَّلَا نَبِيٍّ اِلَّآ اِذَا تَمَنّٰىٓ اَلْقَى الشَّيْطٰنُ فِيْٓ اُمْنِيَّتِهٖۚ فَيَنْسَخُ اللّٰهُ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ۙ ٥٢ لِّيَجْعَلَ مَا يُلْقِى الشَّيْطٰنُ فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ وَّالْقَاسِيَةِ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَفِيْ شِقَاقٍۢ بَعِيْدٍ ۙ ٥٣

Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi  sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan (godaan-godaan) ke dalam keinginannya itu. Lalu, Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, kemudian Allah memantapkan ayat-ayat-Nya (dalam hati orang-orang beriman). Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dia (Allah) hendak menjadikan apa yang dilontarkan setan itu sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan hatinya keras. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam perselisihan yang jauh (dari kebenaran).

Hadis tentang Kisah al-Gharaniq  

Dikutip dari kitab Kashf al-Astar ‘an Zawa’id al-Bazzar (3/74, no. 2263):

حدثنا يوسف بن حماد، ثنا أمية بن خالد، ثنا شعبة، عن أبي بشر، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، فيها أحسب _أشك في الحديث_ إن النبي صلى الله عليه وسلم كان بمكة، فقرأ سورة النَّجم حتى انتهى إلى : (أَفـَرَأَيـْتُمُ اللاتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الأخْ رَى) فجرى على لسانه : (تِلْكَ الغَرَانِيقُ العُلى، الشَفَاعَةُ تُرْتَجَى)، قال : فسمع ذلك مشركو أهل مكة، فسروا بذلك فاشتد على رسول الله عليه وسلم، فأنزل الله تبارك وتعلى : (وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قـَبْلِك مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبيِ إِلا إِذَا تمَنىَّ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فيِ أُمْنِيَّتِهِ فـَيـَنْسَخُ اللَّهُ مَا يـُلْقِي الشَّيْطَانُ ثمَّ يحُكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ) .

Telah menceritakan kepadaku Yusuf bin Hammad, bercerita kepadaku Umayyah bin Khalid, bercerita kepadaku Syu’bah, dari Abi Basyar, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dianggap ada keraguan dalam hadis, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw berada di Makkah, kemudian Nabi membaca surah an-Najm sampai pada ayat (maka apakah patut kalian, menganggap berhala al-Lata dan al-‘Uzza, dan Manat, yang ketiga kemudian anak perempuan Allah), kemudian Nabi membaca (mereka adalah patung-patung yang tinggi kedudukannya dan mereka adalah syafa’at yang diharapkan). Telah berkata: Maka ketika orang-orang musyrik mendengar perkataannya mereka senang maka menghebat-hebatkan Nabi, kemudian turunlah ayat: (Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak (pula) seorang nabi  sebelum engkau (Nabi Muhammad), kecuali apabila dia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan (godaan-godaan) ke dalam keinginannya itu. Lalu, Allah menghapus apa yang dimasukkan setan itu, kemudian Allah memantapkan ayat-ayat-Nya (dalam hati orang-orang beriman). Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana).

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Pandangan Mufasir

Sikap para mufasir terhadap kisah al-Gharanīq bisa ditelusuri perinciannya pada poin-poin tertentu dalam penafsiran mereka atas ayat-ayat tersebut. Empat yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, pemaknaan kata “tamannā” dan “umniyyatihī”. Kedua, penilaian atas riwayat-riwayat tentang peristiwa al-Gharanīq. Ketiga, pengajuan takwil atas kisah al-Gharanīq tersebut. Keempat, pemaknaan konsep “naskh” dan “ihkam al-ayat” dalam ayat-ayat berkaitan.

Pandangan Muhadis

Kisah al-Gharanīq ini diriwayatkan melalui beragam jalur periwayatan. Sebagai ilustrasi, Ṣahab Ahmad (The Satanic Verses Incident, 284-289) berhasil menginventarisasi 37 riwayat tentang kisah al-Gharanīq dengan sanad yang berbeda-beda. Menyangkut sumbernya, sebagian besar riwayat tersebut berhenti pada periwayat-periwayat dari kalangan Tabiʽīn atau bahkan generasi setelah mereka, hanya ada dua periwayat dari kalangan Sahabat yang tercantum dalam sanad-sanad tersebut, yaitu Ibn ʽAbbas dan Muhammad bin Fadalah al-Zafari. (al-Albani, Nasb al-Majaniq li Nasf Qissat al-Gharanīq, 47-48)

Banyak ulama meyakini bahwa hadis-hadis tentang kisah al-Gharanīq itu āʽīf atau mauūʽ. Ṣahab Ahmad bahkan menyatakan bahwa pendapat itu diyakini oleh seluruh ulama abad ke-14 dan abad ke-15 Hijriah tanpa terkecuali. Dalam karyanya, Dalaʽil al-Tahqīq li Ibtal Qissat al-Al-Gharanīq ) 168-225) ʽAli al-Halabi menyebutkan beberapa ulama klasik maupun modern yang dengan tegas menyatakan bahwa hadis-hadis al-Gharanīq itu sama sekali tidak berdasar.

Al-Albani juga menulis sebuah kitab yang secara khusus ditujukan untuk membantah klaim historisitas kisah al-Gharanīq, berjudul Nasb al-Majaniq li Nasf Qissat al-Gharanīq (46). Al-Albani mengulas sepuluh jalur periwayatan hadis-hadis al-Gharaniq, lalu menunjukkan kelemahannya satu persatu.

Baca Juga: Memahami Makna Setan dan Kejahatan Dalam Al-Quran

Hal senada juga dikemukakan oleh Muhammad ʽIzzat Darwazah (Al-Qur’an al-Majīd, 217-218 dan 227-228). Dengan bertolak dari posisi yang sama, yaitu bahwa kisah al-Gharanīq sama sekali tidak otentik, ʽIzzat menyatakan bahwa kisah palsu tersebut bisa menyebar luas karena ketidak telitian para ulama di awal masa kodifikasi (al-mudawwinun) yang mengutip dari sembarang sumber lalu diteruskan oleh para mufasir dalam karya-karya mereka. Di sisi lain, ada juga beberapa ulama yang menunjukkan kemungkinan bahwa hadis-hadis itu bisa diterima.

Ṣahab Ahmad (hal. 262-283) memperlihatkan dalam disertasi yang ditulisnya bahwa hingga pertengahan abad kedua Hijriah atau dalam kurun waktu kira-kira 150 tahun pertama sejarah Islam, kisah al-Gharanīq ini diterima sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi serta beredar dan dikutip secara luas dalam hampir semua literatur tafsir dan sirah-maghazi. Baru kira-kira sejak pertengahan abad kedua, terutama seiring dengan semakin maraknya gerakan kodifikasi dan pengumpulan hadis, riwayat-riwayat tentang kisah al-Gharanīq ini mulai dipersoalkan.

Selain apa yang dikemukakan oleh Ṣahab Ahmad di atas, sebetulnya masih ada beberapa ulama lain dari abad-abad berikutnya yang juga berargumen untuk menerima hadis-hadis al-Gharanīq sebagai sesuatu yang otentik. Pada bagian tentang polemik para ulama menyangkut historisitas peristiwa al-Gharanīq, akan diperlihatkan bahwa akomodasi dan penerimaan terhadap kisah al-Gharanīq itu masih ada setidaknya hingga abad IX Hijriah, dan beberapa di antara para proponennya justru merupakan ahli-ahli hadis terkemuka.

Wallahu a’lam.

Surah Al-Mulk Ayat 19: Alquran Berbicara tentang Teori Pesawat Terbang

0
tafsir surah al-Mulk ayat 19_teori pesawat terbang
tafsir surah al-Mulk ayat 19_teori pesawat terbang

Penemuan teknologi pesawat terbang menjadi penemuan terbesar dalam sejarah. Sebab penemuan ini dapat mempermudah gerak mobilitas manusia pada jarak yang jauh tetapi dapat ditempuh dalam waktu yang singkat. Menurut catatan sejarah, pesawat terbang ditemukan oleh Wilbur Wright dan Orville Wright pada tahun 1903.

Penemuan ini terus berkembang dengan segenap modifikasi-modifikasi pembaharuan pada teknologi pesawat terbang. Namun sejatinya jauh sebelum penemuan tersebut, konsep pesawat terbang sudah dibicarakan dalam Alquran. Sebagaimana terdapat dalam surah al-Mulk ayat 19 sebagai berikut.

اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍۢ بَصِيْرٌ

“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.”

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 19 part 1

Tafsir Surah al-Mulk Ayat 19: Teori Pesawat Terbang

Menurut Tafsir Kementerian Agama, dalam ayat tersebut Allah membuktikan kekuasaan-Nya menahan burung yang sedang berada di angkasa, sehingga tidak jatuh ke bumi. Burung-burung yang sedang berada di angkasa kadang-kadang terbang melayang dengan mengembangkan sayapnya. Ia terbang meninggi atau menukik ke bawah, seakan-akan ia akan terhempas ke bumi. Kadang-kadang ia mengatupkan kedua sayapnya.

Siapakah yang menahan burung itu dari kejatuhan pada waktu dia mengembangkan dan mengatupkan sayapnya? Bukankah ini bertentangan dengan hukum alam bahwa barang yang berat itu akan jatuh ke bumi disebabkan daya tarik (gravitasi) bumi?

Hal terpenting agar burung dapat terbang adalah terdapatnya organ sayap dan bulu. Burung menggerakan, mengembangkan dan mengatupkan sayapnya, maka sesungguhnya burung-burung itu sedang mengepakkan sayapnya untuk membangkitkan aerodynamic force (gaya aerodinamika), yaitu mengumpulkan tekanan udara yang cukup di bawah sayapnya, yang akan memberikan gaya angkat dan gaya dorong kepada burung-burung untuk dapat terbang.

Gaya angkat ini untuk melawan berat burung, sedang gaya dorong untuk melawan hambatan udara. Kedua gaya ini dibangkitkan oleh gerakan kepakan sayap burung dengan siklus ke atas, ke bawah, dan ke belakang secara kontiniu dan periodik. Sungguh Maha Pemurah Allah. Jika Dia berkehendak menghilangkan udara, pasti burung-burung itu tidak mungkin dapat terbang.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut diisyaratkan tentang cara burung terbang dengan mengepakkan, mengatupkan, dan mengembangkan sayap mereka untuk memperoleh keseimbangan.

Sementara Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan bukti kekuasaan Allah yang menundukkan udara untuk burung-burung sehingga dapat menahan burung tersebut terbang di angkasa.

Berdasarkan penafsiran tersebut dapat diketahui bahwa teori pesawat terbang sejatinya diambil dari konsep burung terbang yang terdapat di dalam Alquran. Hal itu karena terangkatnya sesuatu ke udara disebabkan oleh tekanan udara yang mana dalam ayat tersebut dicontohkan pada burung terbang.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 19 part 2

Perbandingan Teori Pesawat Terbang Secara Ilmiah dan Alquran

Menurut pengetahuan modern, sayap pesawat terbang dirancang untuk menghasilkan gaya angkat (lift) ketika pesawat bergerak melalui udara. Gaya angkat dihasilkan oleh perbedaan tekanan di atas dan di bawah sayap. Udara yang bergerak di sepanjang sayap memberikan tekanan yang lebih rendah di atas dan tekanan yang lebih tinggi di bawah, menciptakan gaya angkat.

Pesawat juga memerlukan tenaga dorongan untuk melawan hambatan udara dan mempertahankan kecepatan. Biasanya, tenaga dorongan disediakan oleh mesin pesawat, seperti mesin jet atau mesin piston pada pesawat kecil. Hambatan udara menjadi gaya yang menghambat gerakan pesawat melalui udara. Desain pesawat dirancang untuk mengurangi hambatan sebanyak mungkin, sehingga pesawat dapat mencapai kecepatan yang diperlukan dengan efisien.

Pesawat dilengkapi dengan kontrol surfaces seperti elevator, aileron, dan rudder yang memungkinkan pilot mengontrol pesawat secara pitch (gerakan atas-bawah), roll (gerakan samping), dan yaw (gerakan mengitari sumbu vertikal). Pesawat memerlukan kecepatan tertentu agar sayap dapat menghasilkan gaya angkat yang cukup untuk mengatasi berat pesawat (M. Fajri Hidayat, 2018).

Konsep pesawat terbang di atas meniru konsep terbangnya seekor burung yang memperhatikan empat gaya utama yaitu gaya dorong, hambat, angkat, dan berat. Ketika sedang terbang, burung mengembangkan dan mengatupkan sayapnya untuk menyeimbangkan gaya yang menjadi dasar utama dalam proses terbang (Zuyyinah, 2024).

Baca Juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

Penutup

Melayangnya burung di angkasa menjadi bukti kekuasaan Allah yang tiada tara sampai-sampai menjadi dasar teori pembuatan pesawat terbang. Berkat teori tersebut kini manusia mendapat kemudahan yang luar biasa. Demikianlah Allah menunjukkan bukti kuasa-Nya yang dapat menggetarkan hati manusia. Wallahu A’lam.