Beranda blog Halaman 47

Ketika Allah dan Nabi Muhammad Saling Membela dalam Surah al-Ikhlas dan al-Kautsar

0
Korelasi kisah di balik surah al-Kautsar dan al-Ikhlas
Korelasi kisah di balik surah al-Kautsar dan al-Ikhlas

Salah satu kebiasaan ayat dan surah Alquran adalah mempunyai kisah yang melatarbelakangi turunnya, termasuk surah al-Ikhlas dan al-Kautsar. Kisah atau peristiwa ini yang kemudian lazim disebut dengan asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya Alquran). Perstiwa yang melatarbelakangi turunnya Alquran ada kalanya berupa kisah yang membahagiakan, mengharukan, menyedihkan, bahkan menjengkelkan.

Salah satu yang menarik dari beberapa kisah asbab an-nuzul tersebut adalah kejadian yang melatarbelakangi turunnya surah al-Ikhlas dan al-Kautsar.

Fakhrudin ar-Razi dalam masterpiece-nya, Mafatih Al-Ghaib, mengungkapkan bahwa kedua surah ini memiliki keterkaitan dan korelasi yang amat menarik. Yakni sebuah sisi pembelaan timbal balik antara Allah dan Nabi Muhammad saw. Mari kita bahas kisah kedua surat tersebut satu persatu.

Baca Juga: Makna “al-Abtar” dalam Surah Alkautsar [108]: 3

Kisah di balik surah al-Kautsar

Dalam surah al-Kautsar, terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa surah ini turun sebagai respon atas sikap kurang mengenakkan yang diterima Nabi Muhammad saw. dari al-‘Ash bin Wa`il.

Pada saat putra Nabi dari Sayyidah Khadijah meninggal, al-‘Ash dengan congkak berkata bahwa Nabi Muhammad adalah seorang abtar. Kata ini dalam bahasa Arab menurut banyak leksikograf bermakna seseorang yang tidak memiliki anak laki-laki.

Kata-kata seperti ini tentu dapat dikatakan sebagai hinaan saat itu, mengingat anak laki-laki bagi orang Arab merupakan sebuah kebanggaan, yang diharapkan dapat melanjutkan kewibawaan dan ketokohan yang dimiliki ayahnya. Berbeda dengan anak laki-laki, anak perempuan justru lebih cenderung dianggap sebagai beban, karena dinilai lemah dan akan membebani banyak hal bagi orang tuanya, seperti biaya pernikahan dan lain-lain.

Perilaku al-‘Ash tersebut kemudian diiringi dengan turunnya surah al-Kautsar ayat tiga,

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

“sungguh orang yang membencimu, dialah yang terputus”

Kata abtar dalam ayat ini oleh para mufasir diartikan dengan orang yang terputus dari kebaikan dunia, akhirat dan ingatan manusia padanya setelah dia mati. Di bagian ini terletak perbedaan pemahaman antara mufasir tentang maksud kata abtar dengan pemahaman kebanyakan orang Arab saat itu, sehingga yang distatuskan ‘terputus’ itu bukan seseorang yang tidak bisa melanjutkan nama keluarganya karean tidak punya anak laki-laki , melainkan dia yang tidak lagi mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, dan juga dilupakan oleh manusia lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)

Kisah di balik surah al-Ikhlas

Sedangkan dalam surah al-Ikhlas, salah satu muatan dalam surah ini berisi sanggahan bagi orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memilki anak. Hal ini dapat kita lihat padat ayat ketiga:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

“Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan”

Ayat ini menurut jumhur mufassirin secara tegas menanggapi orang-orang yang mengatakan bahwa Allah memiliki anak, seperti kalangan Yahudi yang mengatakan ‘Uzair adalah putra Allah, kalangan Nasrani yang mengatakan ‘Isa adalah putra Allah, atau kaum Musyrik Arab yang mengatakan malaikat adalah putri Allah.

Jika ditelisik, pada surah pertama ada sisi penghinaan kepada Nabi yang berisi penyebutan bahwa beliau tidak memilki anak, sedangkan dalam surah kedua terdapat sisi penghinaan kepada Allah, dengan justru menyebut bahwa Allah memiliki anak laki-laki. ar-Razi mengatakan:

وَذَلِكَ لِأَنَّ عَدَمَ الْوَلَدِ فِيْ حَقِّ الْإِنْسَانِ عَيْبٌ وَوُجُوْدُ الْوَلَدِ عَيْبٌ فِيْ حَقِّ اللّهِ تَعَالَى

“Hal itu karena ketiadaan anak dalam hak manusia merupakan aib, dan sebaliknya, wujudnya anak adalah aib dalam hak Allah”

Dari sanalah amat terlihat bahwa dalam surah al-Ikhlas, Allah membuat scenario yang menarik dalam susunan lafadznya. Pada surah tersebut, Allah menyelipkan perintah kepada nabi untuk membela Allah. Hal ini terlihat dengan penggunaan diksi “qul” (ucapkanlah hai Muhammad). Hal ini berbeda dengan diksi pada surah al-Kautsar yang menggunakan kata “Inna” (sesungguhnya kami). Diksi tersebut menunjukkan bahwa dalam surat ini Allah lah yang membela Nabi.

Dari situlah tidak heran jika ar-Razi menyimpulkan bahwa kedua surat ini memiliki keterkaitan yang berupa pembelaan timbal balik. yakni pembelaan dari Allah bagi Nabi dalam surah al-Kautsar dan pembelaan bagi Allah dari Nabi dalam surah al-Ikhlas. Wallah a’lam.

Tafsir Surah Altaubah ayat 84: Telaah Larangan Menyalati Jenazah Orang Munafik

0
Tafsir Surah Altaubah ayat 84: Telaah Larangan Menyalati Jenazah Orang Munafik

Melabeli kemunafikan pada seseorang terkesan dilematis dan rumit. Bagaimana mungkin seorang manusia mengetahui kemunafikan pada seseorang yang tentu hanya Allah saja yang mengetahui. Memang di dalam Alquran terdapat larangan yang jelas untuk menyalati jenazah orang munafik, sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S Altaubah [9]: 84 berikut,

وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖۗ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ

Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, larangan ini bersifat umum, sekalipun penyebab turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, pemimpin orang-orang munafik. Ibnu Katsir menukil riwayat dari Imam Bukhari mengenai kronologinya.

Bermula dari kabar kematian Abdullah bin Ubay bin Salul. Putranya datang menemui Rasulullah dan meminta gamis Rasul untuk dijadikan kain jenazah. Ia juga memohon Rasulullah agar berkenan menshalati jenazah ayahnya. Kemudian Rasulullah pun bersiap-siap untuk menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, hingga akhirnya Umar berdiri dan menarik baju Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau akan menyalati jenazah Abdullah bin Ubay, sedangkan Allah telah melarang untuk menyalatinya?” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt telah memberikan pilihan kepadaku.”

Baca Juga: Pandangan al-Qurthubi tentang Hukum Memandikan Jenazah

Lalu beliau membacakan ayat yang berbunyi, “Kamu memohonkun ampun bagi orang-orang munafik atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka, maka hal itu adalah sama saja. Sekalipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali (Qs. Altaubah [9]: 80). Oleh karena itu, aku akan menambah istighfar lebih dari tujuh puluh kali untuknya.”

Umar bin Khaththab berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Ia adalah orang munafik?.” Tetapi, rupanya Rasulullah tetap saja menyalatinya, hingga Allah menurunkan ayat Alquran, “Janganlah kamu sekali-kali menyalati jenazah seorang di antara orang-orang munafik dan janganlah kamu berdiri di atas kuburnya.” (Qs. Altaubah [9]: 84). (Lihat HR. Bukhari no. 4302)

Ada semacam kompleksitas pemahaman dalam mengaktualisasikan larangan di atas. Di sisi lain, Imam Al-Ghazali dalam Bidayah Al-Hidayah mengatakan, hendaknya tidak memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah Swt. Hal ini juga ditegaskan dalam firman Allah Swt,

وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ ٱلْأَعْرَابِ مُنَٰفِقُونَ ۖ وَمِنْ أَهْلِ ٱلْمَدِينَةِ ۖ مَرَدُوا۟ عَلَى ٱلنِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚ سَنُعَذِّبُهُم مَّرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ

Dan di antara kalian, dari orang-orang Arab Badui ada mereka yang munafik, dan juga dari sebagian penduduk Madinah. Mereka keterlaluan di dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka. Pastilah Kami akan menghukum mereka dua kali lebih berat, kemudian mereka dikembalikan kepada azab yang berat. (QS. Altaubah [9]: 101).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Munafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Tanpa berita dan wahyu dari Allah, selevel Rasulullah saja tidak mengetahui bagaimana isi hati dan kemunafikan seseorang. Apalagi karena kemuliaan akhlaknya yang bersih dari berprasangka buruk. Dilihat dari runtut kronologinya saja, bisa dinilai kebaikan hati Rasul.

Saat kabar kematian Abdullah bin Ubay, putranya meminta gamis Rasul untuk menjadi kain kafan sang ayah, dan Rasul memberikannya. Kebersihan hati Rasul dari sifat dendam juga tampak dari kesediaan Rasul menyolati jenazah Abdullah bin Ubay, meski sempat mendapat protes dari Umar bin Khathab. Hingga turunlah wahyu dari Allah yang secara tegas melarang menyolati jenazah orang-orang munafik.

Ada sebuah hadis dari Ummu Salamah ra. yang dapat menjadi bahan refleksi dan renungan bersama. Rasululah Saw bersabda, “Kalian menyerahkan persengketaan kalian kepadaku. Namun bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang karena kelihaian argumennya itu, lalu aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka. Oleh karena itu hendaknya jangan mengambil hak orang lain”. (HR. Bukhari no. 2680, Muslim no. 1713).

Berkenaan hadis di atas, Imam Nawawi menjelaskan, dalam riwayat lain terdapat lafadz ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘, kemudian beliau berkomentar, makna sabda Nabi ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘, maksudnya adalah penekanan tentang sifat manusiawinya, yaitu bahwa seorang manusia tidak bisa mengetahui hal tersembunyi. Nabi saw hanya menghukumi sesuatu sesuai apa yang zhahir (nampak), karena hanya Allah yang mengetahui perkara yang tersembunyi (Syarh Muslim, 12/5).

Jika Nabi Saw yang maksum saja tidak mampu menghukumi sesuatu yang tersembunyi, apalagi umatnya yang hanya manusia biasa. Perkara munafik adalah perkara tersembunyi, sekalipun ada manusia tertuduh munafik, tidak ada yang tahu bagaimana akhir hidupnya, mungkin saja sudah bertaubat kepada Allah Swt.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Sumber Dana Perawatan Jenazah

Akhir kata, larangan menyalati jenazah ini memang berlaku umum untuk kaum munafik. Label kemunafikan di masa Rasul sifatnya tidak samar lagi karena Allah menginformasikannya melalui wahyu. Bentuk kehati-hatian juga dicontohkan Rasul. Misalnya dapat dilihat dari sabab nuzul turunnya surah Almunafiqun ayat 8-10 tentang Abdullah bin Ubay menyebarkan propagranda dan api kebencian terhadap kaum Muhajir di hadapan kelompoknya.

Kata Abdullah bin Ubay, kaum Muhajir telah membenci penduduk Madinah dan banyak dari mereka yang bermukim di Kota Madinah. Berita ini terdengar Zaid bin Arqam dan sampai kepada Rasulullah. Umar yang saat itu sedang di samping Rasul meminta izin hendak membunuh Abdullah bin Ubay, Rasul mencegahnya. Barulah setelah wahyu turun, Rasul diberitahu kemunafikan Abdullah bin Ubay dan membenarkan Zaid (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad).

Kehati-hatian Rasul sangat nampak jelas. Hal-hal yang belum terbukti kebenarannya, sekalipun itu tentang kemunafikan seseorang, lantas tidak menjadikan Rasul seketika membenarkannya. Barulah setelah wahyu turun, Rasul membenarkan.

Oleh karena itulah, dalam konteks masa kini, berpegang untuk mengutamakan kehati-hatian serta meninggalkan hal samar yang belum jelas kepastiannya lebih baik. Jenazah sesama umat Islam hendaknya disalati sesuai tuntunan syariat.

Wallahu a’lam bish shawab.

Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah

0
Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah
Kisah Delegasi Bani Tamim kepada Rasulullah yang Ditegur Allah

Seorang utusan atau delegasi haruslah memerhatikan etika ketika hendak berkunjung untuk menemui tokoh yang dihormati. Etika-etika tersebut ada dalam protokoler. Salah satu di antaranya adalah bersikap sopan santun dan bertata krama yang baik, sehingga menciptakan suasana yang hangat dan mengembangkan persahabatan.

Terkait hal tersebut, Alquran memberikan contoh melalui kisah delegasi dari Bani Tamim yang hendak menemui Nabi Muhammad saw. dengan cara yang tidak sopan. Berikut ayat terkait dan penjelasannya.

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ. وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّىٰ تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sebenarnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. (4) Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5)

Asbabunnuzul Ayat

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad sahih dari al-Aqra’ bin Habis, bahwasannya ia memanggil Rasulullah saw. dari luar kamar, dan beliau tidak menjawab panggilannya. Kemudian al-Aqra’ berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya yang memanggilku adalah yang baik dan yang mencelaku adalah yang buruk.” Beliau menjawab, “Dialah Allah Swt.” Dalam riwayat yang lain, al-Aqra’ berkata, “Wahai Muhammad, keluarlah kepada kami.” (Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, 493).

Dalam Tafsir al-Misbah (13/234) dijelaskan lebih runut terkait kronologisnya. Pada tahun 9 H, datanglah sekelompok delegasi dari Bani Tamim yang membawa rombongan sebanyak 70 orang lebih. Mereka datang di siang hari, sambil berteriak dari luar kamar Nabi saw.

Baca juga: Ngaji Gus Baha: Etika Bertamu Saat Berkunjung ke Rumah Orang Lain

Menurut Tafsir Jalalain (2/889), mereka berteriak karena tidak mengetahui di kamar manakah Nabi saw. berada. Mereka memanggilnya dengan suara yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab Badui, yaitu dengan suara yang keras dan kasar.

Padahal ketika itu Nabi saw. sedang beristirahat. Dengan hati berat beliau melayani tamu-tamu itu yang kemudian berkata, “Kami datang untuk berlomba denganmu. Izinkanlah kami memperdengarkan kepadamu penyair dan khatib kami.” Nabi saw. mengizinkan mereka, lalu menugaskan sahabat dan penyair, yakni Hassan Ibn Tsabit untuk menandingi mereka. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka datang untuk menebus keluarga mereka yang ditawan yang jumlahnya 11 orang laki-laki, 11 orang perempuan, serta 30 orang anak-anak (Tafsir al-Mishbah, 13/234)

Deskripsi dan Makna dari al-Hujurat

Kata al-hujurat merupakan bentuk jamak dari al-hujrah yang bermakna kamar-kamar. Kata tersebut adalah rangkaian dari akar kata ha’-jim-ra’ yang mempunyai makna menahan, mencegah, dan meliputi. Beberapa kata yang juga memiliki rangkaian akar kata yang sama adalah akal yang disebut al-hijr, sebab akal bisa mencegah manusia dari perbuatan yang tidak baik.

Batu diistilahkan dengan al-hajr karena batu sifatnya keras, sehingga bisa mencegah dari serangan dan hantaman. Begitu juga kamar yang disebut dengan al-hujurah, sebab kamar dapat menjaga dan meliputi semua penghuninya.

Dalam ayat di atas, al-hujurat yang dimaksud adalah kamar-kamar yang dihuni oleh Nabi saw. beserta istri-istrinya. Kamar-kamar tersebut berada di dalam rumah di samping Masjid Nabawi. Rumah inilah yang ditempati oleh Nabi saw. selama berada di Madinah.

Baca juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu

Kamar-kamar itu dibangun dengan sangat sederhana, bahkan atapnya sangat rendah sekali, sehingga mudah digapai dengan tangan. Di pintu-pintunya pun terdiri dari gantungan kulit hewan yang berbulu. Namun, pada masa Khalifah al-Walid bin ‘Abd al-Malik, kamar-kamar itu dibongkar dan dijadikan halaman masjid (Kemenag, al-Qur’an dan Tafsirnya, 9/399).

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan lebih rinci. Pada awal pembangunannya di tahun pertama hijriyah, Masjid Nabawi memiliki luas 70 x 60 depa (setiap depa diperkirakan panjangnya 45 cm). Sedang kamar-kamar Nabi saw. yang berjumlah sembilan kamar, masing-masing terbuat dari batanig pohon kurma.

Lebar rumah bila diukur dari pintu kamar ke pintu rumah, sekitar 7 depa, sedang luas rumah dari dalam yakni dalam kamar sekitar 10 depa, jadi luas kamar bersama rumah sekitar 17 depa. Al-Hasan al-Bashri berkata: “Saya pernah masuk ke kamar-kamar istri-istri Nabi itu. Sedemikian pendeknya sehingga saya dapat menjangkau atapnya dengan tangan saya.” (Tafsir al-Mishbah, 13/235).

Menjaga Kesopanan dan Tata Krama

Menurut M. Quraish Shihab, penggunaan bentuk jamak untuk kata “kamar-kamar” bertujuan mengisyaratkan bahwa suara tersebut begitu keras, sehingga terdengar di seluruh kamar, atau bahwa kelompok yang datang itu berpencar yang masing-masing memanggil Nabi saw. dari kesembilan kamar (Tafsir al-Mishbah, 13/235).

Dengan surah al-Hujurat ayat 4-5 ini, Allah hendak memberikan pelajaran tentang kesopanan dan tata krama dalam menghadapi Rasulullah saw, terutama ketika ingin mengadakan percakapan dengan beliau.

Baca juga: Sikap Toleransi dan Pemenuhan Hak Diplomasi oleh Nabi Muhammad

Dalam menghadapi delegasi Bani Tamim yang tidak sopan tersebut, Nabi saw. tetap mengedepankan sikap bijaksana. Sebelum pulang, mereka lebih dahulu telah mendapat petunjuk tentang jalan yang benar dan kesopanan dalam pergaulan. Dengan tegas, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang memanggil Nabi saw. supaya keluar dari kamar istrinya yang ada di samping Masjid Nabawi tersebut kebanyakan itu bodoh, yakni tidak mengetahui kesopanan dan tata krama dalam mengadakan kunjungan kehormatan kepada seorang kepala negara apalagi seorang nabi.

Tata cara yang dikemukakan ayat ini sekarang dikenal sebagai protokoler dan security (keamanan). Dari ayat ini dapat pula dipahami bahwa agama Islam sejak dahulu sudah mengatur kode etik dengan maksud memberikan penghormatan yang pantas kepada pembesar yang dikunjungi (Kemenag, al-Qur’an dan Tafsirnya, 9/399-400).

Ibrah yang dapat dipetik dari kisah ini adalah hendaknya seseorang memerhatikan waktu yang tepat ketika hendak berkunjung, terlebih kepada orang yang dihormati. Tentunya agar tidak menimbulkan gangguan. Selain waktu yang tepat, juga harus diperhatikan tata cara bertamu yang baik dan benar (Membaca Sirah Nabi Muhammad, 968-967) []

Kriteria Terlilit Utang yang Berhak Menerima Zakat

0
Orang yang terlilit utang termasuk yang berhak menerima zakat.

Gharim atau orang yang terlilit utang adalah di antara golongan yang berhak menerima zakat. Yang dimaksud gharim menurut Ibnu Atsir adalah adalah orang yang menjamin pelunasan utang orang lain, atau orang yang bangkrut guna mencukupi kebutuhan hidup, tidak untuk berbuat maksiat atau berlaku boros (Jami’ al-Usul fi Ahadis al-Rasul, 4/663).

Gharim termasuk mustahik zakat sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 60 berikut.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (Q.S. at-Taubah: 60).

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan kriteria gharim sebagai berikut. Pertama, orang yang menanggung biaya karena menyelesaikan sengketa, sehingga menghabiskan hartanya, seperti orang yang menanggung diat pembunuhan demi mendamaikan dua suku. Menurut Imam Nawawi, kategori ini berhak menerima zakat sekalipun seorang yang kaya (Al-Majmu’, 6/206-207).

Dalilnya adalah hadis Qabishah bin Mukhariq al-Hilaly yang menanggung utang, lalu mendatangi Nabi saw. untuk meminta bantuan. Rasulullah menyuruhnya menunggu sampai ia menerima dana zakat. Ketika zakat itu sudah diterimanya, Nabi saw. bersabda, “Wahai Qabishah, meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: orang yang menanggung beban untuk menyelesaikan sengketa, maka boleh baginya meminta-minta, sampai bisa melunasinya. Kemudian orang yang tertimpa suatu musibah hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga ia memperoleh pegangan bagi kehidupannya, atau kecukupan bagi kehidupannya. Berikutnya orang yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat dalam kaumnya mengatakan bahwa sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga beroleh pegangan kehidupan atau kecukupan bagi penghidupannya. Adapun meminta-minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya.” (H.R. Muslim no. 2451 dan Abu Daud no. 1642).

Baca juga: Ramadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

Kedua, orang yang bangkrut karena bisnis sehingga terlilit utang. Abu Said ra. menceritakan, di zaman Nabi saw. ada seorang pedagang yang mengalami musibah, karena buah-buahan yang dibelinya busuk semua, hingga ia berutang banyak. Kemudian Nabi saw. perintahkan kepada para sahabat, “Berikan zakat untuknya.” Banyak sahabat yang memberikan zakatnya, tetapi itu belum menutupi kewajiban utangnya. Lalu Nabi saw. meminta kepada mereka yang mengutanginya, “Ambillah harta yang ada di orang itu, dan kalian tidak memiliki hak untuk mengambil selain itu.” (H.R. Muslim no. 4064 dan Abu Daud no. 3471).

Ketiga, orang yang tobat dari maksiat dan itu menyebabkan dia harus terlilit banyak utang (Tafsir Ibnu Katsir, 4/168). Imam Syafi’i menambahkan kriteria gharim lainnya yaitu orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, sedangkan ia dan orang yang ia jamin sama-sama kesulitan dan tidak mampu membayar utang tersebut (Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, 3/317).

Ada juga yang memberi kriteria gharim kepada korban bencana, seperti Mujahid yang dinukil ath-Thabari dalam tafsirnya. Beliau mendefinisikan gharim sebagai orang yang menanggung utang karena rumahnya terbakar, atau hartanya terseret banjir, atau untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Baca juga: Rahasia Penggandengan Lafaz Salat dan Zakat dalam Alquran

Menurut Al-Ghazali, para ulama mensyaratkan beberapa hal terkait gharim: utang tersebut telah jatuh tempo pada saat penerimaan zakat dan dia termasuk orang yang kesulitan (Al-Wasith, 4/561). Maksud utang dengan sebab yang dibolehkan, artinya ada kriteria gharim yang tidak berhak diberi zakat. Mereka seperti orang kaya yang utangnya banyak, tetapi memiliki banyak aset sehingga masih mampu membayar. Kategori lainnya adalah utang karena maksiat. Apabila utang disebabkan maksiat seperti judi, minum khamar, berbuat boros, maka ia tidak diberi uang zakat.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan bahwa ulama sepakat untuk tidak memberi zakat pada gharim disebabkan maksiat, sebelum orang tersebut bertobat (Al-Majmu’, 6/192). Selain faktor maksiat, faktor gaya hidup hedon juga tidak diberi zakat. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Q.S. Al-Isra’: 26-27).

Baca juga: Fenomena Zakat Profesi dan Nasihat Berinfak Q.S. Albaqarah: 43

Mengomentari firman Allah di atas, Al-Mawardi berkata bahwa seseorang menghamburkan hartanya untuk syahwat dan kesenangan dunia, atau berlebihan dalam loyalitas dan royalitas tanpa dasar niat kebaikan atau pun ketakwaan, maka ini tidak termasuk dalam golongan gharim dan dia wajib membayar utangnya dengan hartanya yang berkembang (cash) ataupun tidak (properti dan yang semacamnya), karena dia terhalang dari mendapatkan zakat disebabkan perbuatan berfoya-foyanya (Al-Hawi al-Kabir, 8/508).

Di antara hikmah diperbolehkannya orang yang terlilit utang untuk menerima zakat adalah agar masyarakat saling menebarkan kebaikan serta saling bahu-membahu terhadap saudaranya yang kesulitan. Sebab, setiap umat Islam yang terjebak kesulitan ekonomi akan merasa sangat terbantu. Di sinilah peranan zakat yang dapat meringankan bebannya. Wallah a’lam.

Mengenal Kitab Tafsir Nurul Ihsan Karya Muhammad Sa’id

0
Mengenal Kitab Tafsir Nurul Ihsan Karya Muhammad Sa’id

Kajian pada kitab-kitab tafsir lokal terbilang minim dibahas dalam lingkungan masyarakat. Hal itu bisa saja menjadikan kontribusi ulama lokal dalam dunia tafsir kadangkala terlupakan. Mengenalkan kembali tentang kitab tafsir lokal ini salah satu upaya untuk mempertahankan khazanah-khazanah keilmuan ulama lokal, terutama ulama rumpun Melayu. Kitab Tafsir Nurul Ihsan merupakan salah satu karya ulama lokal yang ditulis oleh seorang dari negeri Melayu.

Biografi Pengarang

Nama lengkapnya adalah al-Alim Al-Fadhil al-Hajj Muhammad Sa’id bin Umar Qadhi Jitra al-Qadhi. Mengenai tahun lahirnya, terdapat persilangan pendapat, ada yang mengatakan tahun1270 H/1854 M, di Wan Saghir, Malaysia.  Dalam penjelasan Arivaie Rahman, dkk, beliau lahir pada tahun 1275 di Kampung Kuar. Kendatipun begitu, kelahiran beliau berada pada  kisaran tahun 1270an H.

Baca Juga: Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa

Beliau merupakan anak dari seorang ayah yang taat dalam beragama, yaitu Umar Khatib. Agaknya gelar Khatib melekat dibelakang nama ayahnya dikarenakan diangkat sebagai orang yang mumpuni dalam memberikan khutbah atau ahli agama ditengah-tengah masyarakat di daerahnya. Tak heran, jika Muhammad Sa’id lahir sebagai anak yang kuat dalam menekuni bidang agama, hingga akhirnya menulis kitab tafsir. Untuk masalah ibadahnya, dalam fikih belia menganut mazhab Syafii dan menganut aliran Tarikat Naqsabandi al-Ahmadi.

Penyematan gelar ‘Qadhi’ dibelakang namanya ialah karena beliau masih sempat menjadi Qadhi di akhir-akhir hidupnya, atau tatkala usianya berada dalam 75 Tahun. Dalam tulisan Amran Bin Abdul Halim, dkk, disebutkan bahwa beliau diakhir hayatnya terkena penyakit lumpuh  di sebelah badannya. Dan pada akhirnya meninggal pada hari rabu setelah ashar pada Tahun 1932 M, dan dikebumikan di Masjid Alur Merah, Alor Setar, Kedah.

Deskripsi Kitab                                                                                                             

Sistematika penulisan

Tafsir Nurul Ihsan ini lengkap 30 juz, ditafsirkan tartib mushaf mulai dari surah Alfatihah sampai Alnas. Terdiri dari 4 jilid; jilid pertama tafsir surah Alfatihah sampai Alma’idah, jilid kedua surah Alan’am sampai Alisra’, jilid ketiga surah Alkahfi sampai Alzumar, dan jilid keempat surah Ghafir sampai Alnas.

Untuk gaya penulisannya, beliau mengawali dengan menyebutkan tentang periode turunnya surah, lalu mengelompokkan apakah termasuk bagian makiyah atau madaniah yang dituliskan di bawah nama surah.

Baca Juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa

Namun ada keunikan ketika menyebutkan jumlah ayat. Melihat dalam Tafsir Nurul Ihsan, ketika beliau mengelompokkan surah makiyah atau madaniah, di bawahnya disebutkan jumlah ayat. Contoh dalam surah Albaqarah ditulis “dua ratus delapan puluh enam atau tujuh”. Tapi tidak diberikan keterangan lebih lanjut mengenai alasan perbedaan atau ragam jumlah ayat tersebut, apakah dua ratus delapan puluh enam atau dua ratus delapan puluh tujuh.

Teknik penafsirannya yaitu langsung menggabungkan terjemahan dan penafsiran. Beliau langsung menafsirkan sembari menerjemahkan tanpa memisahkan bagian terjemah atau tafsir. Sehingga ada yang mengatakan bahwa kitab ini merupakan kitab terjemah tafsiriyah.

Latar belakang penulisan

Dalam pemaparan Zulkifli Haji Mohd Yusoff (hal. 79), beliau menulis kitab tafsir ini karena adanya permintaan dari teman-temannya serta dorongan dari pemerintah pada saat itu, mungkin hal ini yang menyebabkan kitab tafsir ini lebih cenderung memiliki nuansa politik.

Selain itu, juga karena telah mendapatkan izin dari seorang ulama besar di negerinya yaitu Syekh Sulaiman. Inilah salah satu yang menjadi motif beliau dalam menulis kitab tafsir. Setelahnya, beliau mulai menulis tafsirnya pada tahun 1344 H/1926 M, dan selesai ditulis 1346 H/ 1927 M.

Baca Juga: Mufasir Indonesia: Inilah Biografi Penulis Tafsir Pase dari Aceh

Metode penafsiran

Tafsir ini menggunakan metode ijmali, yaitu suatu metode dalam penafsiran Alquran dengan mengemukakan makna secara global dengan mengikuti urutan mushaf ustmani. Untuk corak penafsiran, beliau tidak konsisten pada corak tertentu. Kadangkala menggunakan corak fikih, kadangkala filsafat, sufistik, dan sebagainya. Tergantung pada konteks ayat yang sedang dibahas.

Tulisan yang digunakan dalam tafsir ini adalah Arab-Melayu.

Berikut kami berikan sedikit contoh dalam bahasa latin ketika beliau menafsirkan surah Alfatihah:

  1. Bismillahirrahmanirrahim
  2. (Alhamdulillahirabbil ‘alamin) Segala puji itu bagi Allah Tuhan yang menjadikan sekalian alam, manusia, dan jin, dan malaikat, dan segala binatang darat dan laut, dan langit dan bumi dan ;lainnya.
  3. (Arrahmanirrahim) Tuhan yang Maha murah di dalam dunia ini lagi yang Maha mengasihani bagi hamba-Nya yang mukmin di dalam akhirat.
  4. (Maalikiyaumiddin) Tuhan yang memiliki hari balasan yaitu hari kiamat karena tiada yang memiliki padanya melainkan Allah semata. Dan adapun pada dunia maka pada zahir ada memiliki raja-raja maka pada hakikatnya tiada yang memiliki dunia dan akhirat melainkan Allah semata.
  5. (iyyaka na’budu) Akan dikau kami sembah pada ibadah daripada sembahyang dan puasa dan zakat dan haji dan lainnya. (wa iyyaka nasta’in) Dan akan dikau kami minta tolong atas tauhid kami dan iman dan takut dan harap dan ikhlas bagi Engkau, dan zikir lidah dan hati, dan buka mata hati dan bersihkan dia, dan beri harapan dan rindu yang kepada engkau semata-mata, karena asal hati itu sangat bersih. (dst)
  6. 6. Tunjukilah kami jalan yang betul itu dan tambah akan kami itu, kekalkan kami jalan yang betul agama islam.
  7. Jalan segala mereka yang telah Engkau nikmat atas mereka empat firqah daripada segala anbiya’, dan shadiqin, dan syuhada’ dan shalihin (dst). Ghairil maghdubi’alaihim , bukan daripada jalan segala orang yang dimurkai atas mereka itu Yahudi. waladhdhaallin, dan bukan jalan sekalian orang yang dhilalah nashrani, yakni tidak daripada jalan Yahudi dan Nasrani, (dst).

Wallahu a’lam…

Kompleksitas Bible dan Kesederhanaan Alquran: Kajian Perbandingan Kisah Nabi Yunus dengan Perspektif Naratologi

0
Kajian Perbandingan Kisah Yusuf dengan Perspektif Naratologi
Kajian Perbandingan Kisah Yusuf dengan Perspektif Naratologi

Nabi Yunus meski tidak sepopuler nabi-nabi lain dalam kitab suci, seperti Adam, Nuh, Isa,  dan Muhammad, namun kisahnya juga menarik untuk ditelaah. Sebagaimana nabi-nabi lain yang kisahnya identik dengan suatu peristiwa tertentu, Yunus pun demikian. Adam identik dengan Hawa dan kisah ‘pengusirannya” dari surga, Nuh dengan kisah banjir bandang, Isa dengan penyalibannya, maka Yunus pun demikian dengan kisahnya yang ditelan oleh ikan.

Dalam tradisi tafsir Alquran, Yunus juga dikenal dengan sebutan dzu al-nūn (QS. Al’anbiyā’ [21]:  87) dan sāhib al-hūt (QS. Alqalam [68]: 480) (Wheeler, 2006, p. 705). Bahkan, nama Yunus diabadikan menjadi salah satu nama surah dalam Alquran. Serangkaian penyebutan nama, gelar, dan pengabadiannya sebagai nama surah, menunjukkan bahwa Alquran memberikan perhatian yang cukup intens terhadap Yunus, meskipun kerap kali tertutup dengan narasi kisah yang lebih populer, seperti Adam, Nuh, Isa, dan Muhammad.

Ayaz Afsar turut mengambil bagian dalam diskursus pengkajian kisah Yunus dalam dua sudut pandang kitab suci, Alquran dan Bible, melalui artikelnya yang berjudul  A Comparative Study of the Art of Jonah/Yūnus Narrative in the Bible and the Qur’ān.” Afsar menegaskan bahwa artikel tersebut ditulis tidak dalam rangka ingin mencari mana yang lebih baik dan otoritatif dari keduanya, suatu tujuan yang cukup dapat meyakinkan pembaca mengenai ketiadaan bias ideologis di balik tulisan tersebut. Namun sayangnya, Afsar tidak menyebutkan urgensi pemilihan kisah Yunus sebagai objek formal dalam artikelnya.

Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan, tujuan dituliskannya artikel tersebut adalah untuk memperkenalkan naratologi dalam pendekatan sastra sebagai pengembangan cara dalam mempelajari kitab suci. Hal tersebut tentu menjadi tanda tanya bagi pembaca kenapa harus mempelajari kisah Yunus untuk mengetahui cara terbaru dalam mempelajari kitab suci, sebagaimana yang diklaim oleh Afsar? Meskipun di sisi lain, harus diakui bahwa pemilihan suatu kisah sebagai bentuk implementasi dari tawaran suatu pendekatan, dapat menghilangkan kesan teoritis semata tanpa bisa dibuktikan secara nyata implementasinya.

Baca juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Dalam menggunakan perspektif naratologi sebagai pendekatannya, Afsar terlebih dahulu mengemukakan gambaran umum tentang kisah Yunus dari Alquran dan Bible, lalu dilanjutkan dengan penjelasan mengenai struktur dan kekuatan literal narasi Alquran dan Alkitab. Dua narasi tersebut menjadi titik tolak dalam menganalisis karakteristik masing-masing narasi.

Artikel kemudian ditutup dengan beberapa komentar tentang gaya bahasa dan komposisi yang memberikan warna dan bentuk yang khas. Dari enam kali penyebutan nama Yunus dalam Alquran, yakni QS. Annisā [4]: 163, QS. Al’an’ām [6]: 86, QS. Yūnus [10]: 98, QS. Al’anbiyā’ [21]: 87-88,  QS. Alshaffāt [37]: 139-148, QS. Alqalam [68]: 48-50, Afsar mengambil QS. Alshaffāt [37]: 139-148 sebagai sampel penelitiannya, dengan mempertimbangkan panjangnya kisah tersebut dibandingkan surah lainnya dan kemiripan narasi dengan Alkitab.

Meskipun artikel ini merupakan kajian komparatif dua kitab suci, dalam beberapa kesempatan, Afsar juga mengutip penjelasan-penjelasan di luar kitab suci untuk memperjelas beberapa hal. Beberapa karya tafsir Alquran yang dijadikannya sebagai rujukan adalah Zhilāl al-Qur’ān karya Sayyid Quthb, Tafsīr al-Kasysyāf karya al-Zamakhsyarī, dan The Holy Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali.

Afsar menguraikan bahwa kisah Yunus dalam Alquran disatukan dalam wacana yang lebih besar dengan penyajian yang bersifat periodik dan referensial. Kisah Yunus dinarasikan Alquran secara dramatis dengan cuplikan-cuplikan yang nyata, jelas dan kuat, serta mengandung efek emosional dan kognitif yang tinggi. Kehidupan Yunus diproyeksikan dengan kuat, jelas, dan ritme yang cepat. Hal tersebut terlihat dari beberapa kata kunci seperti ‘melarikan diri’ (abaqa), ‘membuang undian’ (sahama), termasuk orang yang dibantu (dahada), ‘melahap’ (iltaqama), dan ‘layak untuk disalahkan’ (mulim).

Kisah Yunus dalam Alquran dimulai dari pelarian Yunus karena suatu alasan yang tidak disebutkan. Selama proses pelariannya, kapal yang ditumpanginya berlebihan muatan sehingga mengharuskan salah satu dari penumpang dilempar ke laut. Setelah diundi, ternyata Yunus kalah dan harus dibuang ke laut. Yunus kemudian ditelan ikan besar dan selama di dalamnya,  dia bertaubat kepada Allah. Taubatnya diterima Allah dan Yunus dikeluarkan dari perut ikan.

Kisah diakhiri dengan penyelamatan lebih dari seratus ribu orang sebagai jawaban dari dakwahnya. Kisah Yunus dalam Alquran adalah kisah seorang pahlawan (nabi) yang sukses membuat umatnya bertaubat dan memperbaiki hidup mereka. Ceritanya mudah diikuti dan ditutup. Semua ketegangan terselesaikan dan semua harapan terpenuhi.

Baca juga:Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus 

Sebaliknya, kisah Alkitab menggambarkan cara-cara misterius Allah dan hubungan-Nya dengan umat pilihan-Nya. Kekuatannya terletak pada penyajiannya yang penuh teka-teki yang memungkinkan ragam penafsiran. Oleh karena itu, kedua narasi tersebut sangat berbeda dalam struktur, penyajian, dan gaya.

Di mulai dari ketidakpastian posisi Yunus dan misi yang diembannya dan pembangkangannya terhadap perintah Tuhan dengan melarikan diri dengan kapal. Lalu, dilanjutkan dengan drama “tawar-menawar” antara Yunus dengan pelaut yang berakhir pada dilemparkannya Yunus ke laut dan ditelan oleh ikan yang menyebabkan dirinya berdoa kepada Tuhan.

Allah merespons doa Yunus dengan mengeluarkannya dari perut ikan dan memberikan misi ulang untuk berangkat ke Niniwe guna menyampaikan pesan Tuhan yang berisikan berita kehancuran kepada mereka. Setelah pesan tersebut disampaikan, kaum Nihiwe ternyata bertaubat dan Allah memberikan ampunan atas mereka. Yunus marah dengan keputusan Tuhan tersebut dan melarikan diri ke kota. Kemarahan Yunus sempat mereda ketika Allah menumbuhkan sebuah pohon Labu. Namun tidak berselang lama, Yunus kembali kecewa kepada ulat yang menyerang dan membuat layu pohon tersebut. Yunus merasa tertekan dengan ingin mati.

Kisah Yunus dalam Alkitab kemudian ditutup dengan sebuah amsal dari Tuhan kepada Yunus. Keinginan Yunus untuk mati tersebut direspons oleh Tuhan dengan mempertanyakan bahwa apakah dibenarkan mengharapkan kematian karena kehilangan yang tidak dia usahakan dan apakah dibenarkan mengharapkan kehancuran Niniwe yang dihuni seratus dua puluh ribu orang.

Tanggapan Yunus atas pertanyaan tersebut tidak disebutkan oleh narator. Kisah tersebut dibiarkan terbuka kepada pembaca untuk dipecahkan teka-tekinya.

Baca juga: Laknat Isa kepada Yahudi Perspektif Alquran dan Injil

Kesimpulan Ayaz Afsar mengenai kisah Yunus dalam Alquran akan menghubungkan dengan tujuan awal artikel tersebut ditulis – sebagai perkenalan terhadap penggunaan naratologi sebagai sebuah pengembangan pendekatan dalam mengkaji Alquran dan Bible.

Dalam salah satu ayat Alquran, Allah menyatakan bahwa Yunus akan binasa di dalam perut ikan dan tetap berada di sana hingga hari kiamat jika dia tidak bertobat dan memuliakan Allah (falau lā annahu kāna min al-musabbihīn, lalabitsa fī bathnihī ila yaumi yub’atsūn). Redaksi tersebut disampaikan dengan kata kerja bersyarat yang menyiratkan bahwa merupakan sebuah kemustahilan seseorang dengan tingkat kenabian seperti Yunus tidak bertobat. Di sisi lain, redaksi tersebut juga menunjukkan bahwa hukum Allah bersifat mutlak  dan universal – tidak ada yang lebih tinggi dari hukum-hukum tersebut, termasuk para Utusan-Nya.

Asumsi yang mendasari Alquran adalah bahwa semakin besar kepribadian dan kedekatan hubungan dengan Allah, maka semakin besar pula tuntutan untuk tunduk dengan rendah hati dan pertanggungjawaban yang lebih tinggi. Asumsi ini kemudian diperkuat dengan perkataan Yunus yang termuat dalam redaksi QS. Al’annbiya [21]: 87-88: “Tidak ada tuhan selain engkau! Maha Suci Engkau! Sesungguhnya aku telah berbuat jahat” (lā ilāha illā anta subhānaka innī kuntu min al-zhālimīn).

Moral dari kisah Alquran adalah bahwa manusia rentan melakukan kesalahan karena mereka bukanlah malaikat yang kebal terhadap dosa. Mereka bertobat dan belajar dari kesalahan. Ketika melakukan demikian, mereka akan diberikan ganjaran pahala. Prinsip ini berlaku semua untuk individu. Kisah Yunus adalah ilustrasi yang baik tentang pandangan Alquran tehadap pertobatan dan pembebasan.

Kisah Yunus dalam Alkitab tampaknya berupaya untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai universal harus diprioritaskan di atas kepentingan etnis atau kelompok.

Tema lain dari cerita ini adalah belas kasihan harus lebih diutamakan daripada keadilan dan pembalasan. Makna-makna ini dapat disimpulkan setelah membaca, namun tidak ada pelajaran atau moral yang jelas dari cerita ini. Kehadiran narator bersifat ekstradiegetik terhadap narasi, yaitu terselubung dan secara objektif mengambil jarak agar tidak ikut hadir dalam cerita.

Baca juga: Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran

Berbeda dengan kisah Alquran yang lugas dan tertutup, kisah Alkitab adalah narasi konsentris dan jauh lebih kompleks, dengan banyak lika-liku dan ditandai dengan plot yang rumit, melingkar, penuh teka-teki, dan berakhir terbuka. Ayaz Afsar mengklaim bahwa narator yang menceritakan kisah Alquran bersifat ekstra-homodiegetik, subjektif, dan terang-terangan hadir dalam cerita tersebut.

Kekuatan narasi Alkitab terletak pada penyajiannya yang penuh teka-teki. Hubungan Yunus dengan Tuhan dalam Alkitab memiliki sifat yang sangat berbeda. Dia bukan hubungan antara tuan dan budak, seperti yang dinarasikan oleh Alquran, tetapi cenderung terlihat seperti hubungan antara anak yang keras kepala dan ayah yang bertele-tele.

Tujuan dari kisah Yunus adalah untuk memberikan pelajaran kepada Yunus. Tapi apakah Yunus benar-benar mendapat pelajaran? Tidak ada yang bisa dikatakan dengan pasti. Dari bukti perilakunya di sepanjang cerita, dia tidak belajar.

Sejak awal mengetahui latar belakang penulisan artikel ini, kita dapat melihat kontribusi tulisan ini dalam memperkaya khazanah kajian studi agama. Menariknya, artikel ini berkontribusi secara materi dan secara teknis.

Secara materi, hasil kesimpulan dari tulisannya memperkaya khazanah kisah kenabian dari agama-agama samawi. Meski tidak menyebutkan alasan pemilihan kisah Yunus dalam tulisannya, namun hasil penelitiannya harus diakui menampilkan wajah baru dalam diskursus kisah Yunus yang selama ini cenderung dilihat dari kacamata teologi, baik dalam tradisi Alquran maupun tradisi Bible.

Sementara itu, secara teknis, Afsar berkontribusi dalam pengembangan pendekatan sastra. Naratologi yang digunakannya sebagai perspektif meskipun bukan sesuatu yang benar-benar baru dan hanya sekedar pengembangan, namun melihat bagaimana dia mengoperasikannya, kita dapat menilai Afsar cukup sukses dalam mengaplikasikannya. Kesuksesannya tersebut dapat meyakinkan para pengkaji untuk menjadikan pendekatan tersebut sebagai pilihan dalam kajian studi agama-agama, selain pendekatan lain seperti Comparative Theology.

Beberapa Hal tentang Ghibah yang Dibolehkan

0
tentang ghibah yang dibolehkan
tentang ghibah yang dibolehkan

Ghibah berasal dari kata ghaib, yakni tidak terlihat. Dinamai ghibah karena membicarakan seseorang tanpa sepengetahuannya. Rasulullah saw. mendefinisikan ghibah dengan redaksi ‘engkau membicarakan terkait saudaramu yang dia tidak sukai’ (lihat H.R. Muslim No 2589). Alquran turut menyinggung pembahasan ghibah. Lebih dari itu, bahkan secara tegas menyampaikannya dalam bentuk larangan serta perumpamaan yang mengerikan. Hal ini sebagai peringatan nyata betapa ghibah adalah perbuatan yang haram. Allah swt berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hujurat: 12)

Menurut az-Zujaj yang dikutip asy-Syaukani dalam tafsirnya, Allah membuat permisalan ghibah dengan memakan bangkai seseorang, sebab bangkai sama sekali tidak mengetahui siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang mengghibahnya. asy-Syaukani menambahkan bahwa  ayat di atas merupakan isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya yang dilarang untuk dirusak (Fathul Qadir, 5/87).

Baca Juga: Jangan Menggunjing! Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12 Untuk Menjaga Tali Persaudaraan

Makna Perumpamaan Ghibah dalam Ayat

Secara lebih rinci, dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan hikmah dari perumpamaan ghibah di atas. Pertama, karena ghibah mengoyak kehormatan orang lain, layaknya seorang yang memakan daging, daging tersebut akan terkoyak dari kulitnya, apalagi mengoyak kehormatan manusia yang jelas lebih buruk lagi. Kedua, Allah memisalkannya dengan ‘bangkai daging saudaranya’, bukan daging hewan, menunjukan bahwa ghibah sangat dibenci.

Ketiga, Allah swt menyebut orang yang dighibahi tersebut sebagai bangkai, dalam artian ia adalah orang yang sudah mati, sehingga tidak kuasa untuk membela diri. Seperti itu juga orang yang dighibahi, dia tidak berdaya untuk membela kehormatan dirinya. Keempat, Allah swt menyebutkan ghibah dengan permisalan yang amat buruk, supaya hambaNya menghindarinya serta merasa jijik dengan perbuatan tercela tersebut” (Tafsir Al-Qurtubi, 16/335).

Bukan daging hewan seperti daging sapi, daging ayam, tapi justru dimisalkan daging saudara sendiri. Katakanlah saudara itu adalah kerabat dekat, membayangkan merusak jenazahnya saja tidak mungkin, apalagi sampai memakan bangkai mayatnya adalah kemustahilan, karena kita tidak mungkin melakukannya. Justru perbuatan itu sangat dibenci dan pasti dihindari.

Perumpamaan yang menjijikkan ini semestinya semakin meneguhkan setiap muslim untuk senantiasa menjaga lisannya dan berhati-hati dari ghibah. Setiap kali hendak tergelincir, hendaklah mengingat betapa pelaku ghibah akan mendapatkan siksa, sebagaimana perjalanan Rasulullah ketika isra mi’raj yang mendapati pelaku ghibah menerima siksaan berupa mencakar-cakar dada dan wajah mereka sendiri (lihat H.R. Abu Dawud, no. 4878).

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Ghibah yang Dibolehkan

Ghibah dihukumi dosa karena keharamannya. Adapun kebolehan ghibah adalah bukan hukum asal. Hukum asal ghibah adalah haram.  Dalam sebuah kaidah dikatakan,

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Kondisi-kondisi darurat menghalalkan apa-apa yang haram.”

Artinya, apabila hilang ‘illatnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah), maka kembali kepada hukum asal. Kebolehan itupun adalah keadaan darurat. Dikatakan darurat apabila tujuannya benar secara syara’ yang tidak dapat dicapai kecuali dengan ghibah semata. Hendaknya tidak dipahami untuk menyepelekan ghibah dengan mendasari dalil kebolehannya.

Imam Nawawi menjelaskan secara rinci enam keadaan ghibah yang dibolehkan, antara lain: pertama, mengadukan kezaliman orang lain; kedua, meminta tolong untuk menghilangkan kemungkaran; ketiga, meminta fatwa (pendapat hukum) dari seorang alim; keempat, mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadis; kelima, memperingatkan manusia dari bahaya seseorang atau dari bidah yang ada padanya; keenam, memperkenalkan seseorang kepada orang lain dengan ciri khusus yang dimilikinya, yakni menyebut orang lain dengan sebutan yang dia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16/124-125).

Sebagai salah satu contoh tentang ghibah yang dibolehkan tergambar dalam sebuah hadis yang menceritakan Hindun bintu ‘Utbah yang pernah mengadu dan meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Hindun menjelaskan secara rinci masalah rumah tangganya, bahkan menyebut nama suaminya. Di sini Hindun melakukan ghibah. Karena beliau menyebutkan tentang kejelekan suaminya, yaitu suaminya bakhil, tetapi Rasulullah tidak mengingkarinya.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan bakhil, dia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.” Lalu Rasulullah saw. menjawab, “Ambillah nafkah yang cukup untukmu dan anak-anakmu, sesuai dengan batas kewajaran.” (H.R. Bukhari, no. 5364).

Ini berarti bahwa jika ghibah itu dalam rangka tujuan yang jelas, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi sebelumnya, maka membicarakan keburukan seseorang tidak dipermasalahkan. Selain itu, bisa dikatakan bahwa tujuan ghibah yang dimaksud diniatkan untuk bisa mendatangkan manfaat dan meminimalisir mudarat dari orang yang di’rasani’.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 12 Part 2  

Penutup

Balasan dari menjaga kehormatan seseorang tidaklah main-main dan merupakan perbuatan mulia. Dalam sebuah hadis dari Abu Darda’ berkata, Nabi saw bersabda, siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya (H.R. at-Tirmidzi, 1931). Tidak melakukan ghibah sama dengan ikut menjaga kehormatan seseorang.

Namun terkadang jika terdapat kondisi yang mengharuskan untuk ghibah, dalam arti membicarakan hal yang tidak disukai dari seseorang dengan tujuan yang jelas dan dengan sebatas keperluannya, maka ada beberapa ulama yang membolehkannya, dengan catatan maksud dan tujuannya jelas, tidak hanya dalam rangka mencaci, membully dan merendahkan seseorang tersebut.

Namun, bilamana seseorang terlanjur ghibah, Ibnu Katsir mengutip pendapat ulama lain memberikan solusinya. Hendaknya memuji orang yang dighibahi dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia telah mencela orang itu (Tafsir Ibnu Katsir, 4/276). Selain itu, bentuk kafaratnya adalalah memohonkan ampunan untuknya (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/78).

Adapun meminta dihalalkan (istihlal) kepada pihak yang di’rasani’, ini bersifat situasional, karena khawatir memicu respon negatif. Mendoakan kebaikan untuknya, memohonkan ampunan, dan menceritakan kebaikannya adalah penebus dosa ghibah. Wallah a’lam.

Sikap Toleransi dan Pemenuhan Hak Diplomasi oleh Nabi Muhammad

0
Sikap Toleransi dan Pemenuhan Hak Diplomasi oleh Nabi Muhammad
Sikap Toleransi dan Pemenuhan Hak Diplomasi oleh Nabi Muhammad

Muhammad bin Sa’ad dalam kitabnya, al-Thabaqat al-Kubra (jilid 1, 291-359), melansir bahwa delegasi-delegasi atau diplomat yang diterima Nabi Muhammad saw. berjumlah tujuh puluh. Tahun 9 H adalah tahun paling banyak beliau menemui utusan diplomat yang membawa tujuannya masing-masing.

Menurut M. Quraish Shihab, tujuan mereka datang menemui Nabi saw. di antaranya untuk memperoleh keamanan tanpa memeluk agama Islam. Nabi saw. pun menerima dan memberikan hak diplomasi mereka. Ada juga yang datang untuk konfirmasi tentang ajaran Islam, lalu memeluk agama Islam. Ada pula yang sudah memeluk Islam, lalu ingin memperdalam ajaran dan ilmunya. Di sisi lain, ada pula yang datang kepada Nabi saw. hanya untuk meminta imbalan materi (Membaca Sirah Nabi Muhammad, 972-973).

Dari berbagai macam tujuan tersebut, Nabi saw. selalu mengedepankan keramahan, toleransi, dan penyambutan yang begitu hangat. Berikut ini adalah beberapa kisah terkait pemenuhan hak diplomasi oleh Nabi saw.

Menjamu dengan ramah dan memberikan buah tangan

Delegasi Thjib Al-Huwairits mengisahkan, “Delegasi dari Tajib datang kepada Rasulullah saw. tahun ke-9 H. Mereka berjumlah tiga belas orang yang masing-masing membawa harta zakat mereka untuk diserahkan. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan gembira, ‘Marhaban, mari silakan!’ sambut beliau ramah. Beliau menghormati mereka dan menyuruh Bilal untuk menjamu mereka dengan baik. Selain itu, beliau memberikan sejumlah hadiah kepada mereka melebihi delegasi-delegasi lainnya.” (al-Wafa, 616).

Abu Qatadah meriwayatkan, “Ketika para utusan Najasyi itu sampai pada Rasulullah, beliau sendiri yang menjamu mereka. Para sahabat yang hadir merasa tidak enak. ‘Biarkan kami saja yang melakukannya,’ kata mereka menawarkan jasa. Akan tetapi, beliau menampiknya. ‘Mereka itu telah memuliakan para sahabatku (ketika berkunjung ke sana), maka aku ingin membalas kebaikan mereka itu di sini.” (Ibnul Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 605).

Memberikan kebebasan untuk melakukan ritual ibadah

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat baik dalam menghormati dan memuliakan wakil-wakil diplomatik tersebut. Nabi saw. menerima mereka dengan ramah dan penuh kasih sayang. Dar al-Islam menyediakan gedung-gedung tamu agung (guests house). Upacara-upacara penyambutan sesuai dengan kehormatan seorang wakil dari suatu negara diadakan.

Bahkan Nabi Muhammad menyediakan suatu tempat di Masjid Nabawi untuk penerimaan tamu-tamu agung tersebut yang berada di bawah suatu tiang yang terkenal dengan istilah Usthuwanah al-Wufud (tiang kehormatan duta-duta/the Pillar of Embassies). Disamping itu, para wakil diplomatik mendapat hak kebebasan bergerak dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing. Kemudian diadakan saling memberi hadiah (Ikhwan, Hubungan Diplomatik: Hukum dan Praktek dalam Islam, 136).

Baca juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.

Kemudian, diplomat Thaif juga disambut dengan baik oleh Rasulullah saw. Meskipun mereka bukan orang Muslim, tetapi mereka disediakan tempat tinggal yang berdekatan dengan masjid. Ini adalah penghormatan tertinggi yang diberikan kepada para tamu, sekaligus memberi kesempatan bagi mereka untuk melihat secara langsung pelaksanaan ibadah dan spirit persaudaraan yang ada di antara kaum muslimin (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 78).

Lalu, diplomat dari Najran. Mereka memasuki masjid Nabawi yang pada saat itu Nabi saw. sedang melaksanakan salat Zuhur. Mereka berjumlah tiga orang dengan pakaian yang mewah asal Yunani lengkap beserta mantel yang begitu indah. Mereka menganut agama Kristen.

Saat memasuki waktu salat Zuhur, mereka ikut berdiri dan melakukan ritual ibadah di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Nabi saw. memberikan izin kepada mereka untuk melakukan hal tersebut, “Lakukan ritual Anda di dalam masjid ini. Tempat ini merupakan tempat untuk beribadah kepada Allah Swt.” (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 81).

Memberikan jaminan keselamatan

Jaminan keselamatan ketika para diplomat tersebut menemui Nabi saw. merupakan hak diplomasi yang paling fundamental. Nabi saw. memberikan teladan ini, bahkan sekaliber utusan dari Musailamah al-Kadzdzab.

Baca juga: Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba

Diplomat dari Bani Hanifah salah satu di antaranya adalah Musailamah bin Habib al-Kadzdzab. Pada saat itu, Musailamah belum memproklamirkan dirinya sebagai nabi. Ketika menghadap Nabi saw, Musailamah tidak ikut serta. Ia bertugas menjaga unta beserta barang-barang yang mereka bawa.

Setelah menghadap Nabi saw. mereka menyatakan masuk Islam. Nabi saw. pun memberikan hak berupa barang kepada para delegasi tersebut, termasuk Musailamah. “Bagian dia tidak lebih jelek daripada bagian kamu sekalian, maksudnya dalam mendapatkan kekayaan sebagaimana teman-temannya yang lain,” ucap beliau. Kemudian mereka pun pulang, dalam perjalannya, tepatnya di daerah al-Yamamah, Musailamah murtad dan mengaku dirinya sebagai utusan Allah Swt.

Baca juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Alquran

Dia berkata kepada delegasi yang lain, “Saya adalah sekutu Muhammad. Tidakkah kau dengar saat dia berkata kepada kalian dan menyebutkan nama saya serta menanyakan bahwa posisi saya tidak lebih jelek daripada posisi kamu sekalian? Apa yang dia katakan itu menunjukkan bahwasanya dia tahu bahwa saya adalah sekutunya dalam nubuwah dan kerasulan.”

Selang beberapa waktu, Musailamah mengirimkan dua delegasi yang membawa surat untuk menghadap Nabi saw. Surat itu berbunyi, “Dari Musailamah utusan Allah untuk Muhammad utusan Allah. Saya sekarang menjadi sekutu anda dalam otoritas kenabian. Separuh tanah ini menjadi bagian kami dan separuhnya lagi untuk orang Quraisy. Namun, orang-orang Quraisy adalah manusia yang kurang ajar.” Ketika Nabi saw. membaca surat itu, beliau berujar, “Demi Allah andai kata seorang utusan boleh dibunuh, pasti telah saya penggal kepala kalian berdua.” (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 93-95). []

Tiga Makna Libas (Pakaian) dalam Narasi tentang Hubungan Suami-Istri

0
Tiga Makna Pakaian dalam Narasi tentang Hubungan Suami-Istri
Tiga Makna Pakaian dalam Narasi Alquran tentang Hubungan Suami-Istri

Secara bahasa, kata libās memiliki arti pakaian. Pakaian, secara umum dipahami sebagai sesuatu yang digunakan untuk menutupi tubuh agar bagian intim tertutupi, memberikan kenyamanan dengan melindungi kulit dari cuaca panas maupun dingin, serta sebagai penghias diri atau penambah keberhargaan diri. Kata libās dalam Alquran disebutkan beberapa kali, salah satunya pada potongan Q.S. al-Baqarah [2]: 187 berikut.

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ

Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

Pada teks ayat di atas, lafaz libās diarahkan pada pengertian pasangan suami-istri. Berdasarkan keberfungsian pakaian yang dipahami pada umumnya, berikut jawaban ragam tafsir mengenai keselarasan makna antara fungsi pakaian dan relasi antara suami-istri.

Penutup Kejelekan

Disebutkan dalam kitab Mufradāt Alfāz al-Qur’ān (h. 735) karya ar-Ragib al-Asfahani, kata libās pada ayat tersebut adalah bentuk kinayah (kiasan) dari az-zauj (suami atau istri), yang mana dimaknai dengan segala sesuatu yang menutupi manusia dari kejelekan atau keburukan. Dikatakan juga dalam kitab Tafsīr Jalālayn (h. 39), bahwa potongan ayat tersebut merupakan kiasan yang mengarahkan pada artian suami-istri yang saling bergantung dan membutuhkan.

Sebagaimana pula dalam kitab Mu’jam wa Tafsīr Lughawy li Kalimāti al-Qur’ān (juz 4, h. 145), lafaz libās pada potongan ayat tersebut bermakna bahwa masing-masing dari suami maupun istri, saling menutupi kekurangan satu sama lain. Hal ini sesuai penggambaran pakaian yang menyentuh pemakainya sebagai penutup, keduanya saling bersentuhan satu sama lain.

Baca juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

Quraish Shihab dalam bukunya, Seksualitas dan Interaksi: Pendidikan dari Perspektif al-Qur’an dan Sunnah (h. 33), mengungkapkan bahwa perumpamaan pakaian atau libās tidak hanya sekadar saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan seseorang kepada pakaian. Namun, ia berfungsi juga sebagai penutup kekurangan pasangan, seperti halnya pakaian yang berfungsi menutup aurat (kekurangan manusia).

Dalam hal ini, aurat mengandung dua pengertian. Pertama, makna hakiki, yakni menutupi bagian tubuh yang dilarang diperlihatkan kepada nonmahram. Kedua, makna kias, yakni berupa kekurangan, kejelekan, dan keburukan pasangan.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 36: Hikmah Besar dari Berpasang-pasangan

Istri adalah pakaian bagi suami, dan suami adalah pakaian bagi istri. Peran ini menimbulkan ketersalingan dalam menjaga segala aib yang dimiliki antara satu sama lain, sebagaimana fungsi pakaian menutup bagian tubuh yang tidak boleh diumbar. Selayaknya manusia biasa yang tidak jauh dari kesalahan, seyogianya keduanya tidak mengumbar aib satu sama lain dan saling menjaga kehormatan.

Pelindung dan Pemberi Kenyamanan

Disebutkan dalam kitab Tafsīr al-Baghawī (juz 1, h. 228), bahwa lafaz libās bermakna sakan, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan kenyamanan. Sebagaimana fungsi pakaian yang melindungi dan memberi kenyamanan, masing-masing dari suami maupun istri hendaknya saling menciptakan ketenteraman, kenyamanan, dan ketenangan di antara keduanya. Hal ini sejalan dengan Q.S. al-A’raf [7]: 189 yang berbunyi: wa ja’ala minhā zaujahā liyaskuna ilaihā, yakni “Dia menjadikan pasangannya agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya.”

Bukankah menjadi perjalanan hidup yang indah, apabila dibersamakan dengan pasangan yang memberikan ketenteraman, dan membersamai pasangan dengan ketenteraman pula? Seumur hidup adalah perjalanan yang panjang. Maka perlu diupayakan untuk saling menciptakan kenyamanan dan pelindungan satu sama lain, supaya membentuk hubungan yang sehat, sehingga berdampak pula pada keharmonisan keluarga.

Menjaga Keberhargaan Diri

Pakaian merupakan tanda pengenaan bagi makhluk yang berakal. Berbeda dengan hewan yang tidak berpakaian, sebab tidak memiliki akal yang sempurna seperti manusia. Sebagaimana halnya dengan pakaian yang menjaga kehormatan dan harga diri, pasangan suami-istri hendaknya saling menjaga martabat satu sama lain. Terutama ketika dalam kondisi saling berjauhan. Lebih-lebih pada era modern sekarang ketika fitnah dapat tersebar dengan mudahnya.

Baca juga: Empat Model Pasangan Keluarga dalam Alquran

Kehormatan istri dan suami tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling bertaut satu kesatuan. Sebab, rusaknya kehormatan istri menimbulkan kerusakan pada kehormatan suami pula, begitupun sebaliknya. Aib-aib yang dimiliki pasangan hendaknya menjadi sebuah rahasia pribadi, tidak diumbar dan disebarkan. Menjadi tantangan yang amat berat bagi orang-orang yang hidup di era digital ini, zaman media sosial tidak jarang menjadi sarana mudah menyebarnya informasi.

Kesimpulan

Begitu Allah mengumpamakan pasangan hidup dengan istilah sederhana yang amat bermakna, yakni libās atau pakaian. Apabila ditinjau lebih dalam, pada hakikatnya pakaian itu menutupi, memberikan kenyamanan, memelihara, serta menghiasi raga. Sebagaimana pasangan suami istri, keduanya saling menutupi aib satu sama lain, menciptakan dan memelihara kenyamanan satu sama lain, menjaga martabat, serta saling menghiasi dan melengkapi perjalanan kehidupan satu sama lain. Upaya ini ditujukan untuk menemukan pemenuhan bersama (mutual fullfilment) dan realisasi diri (self realisation) dalam rangka menggapai ketaatan yang sempurna.

Wallāhu a’lamu.

Memahami Tabarruk Sebagai Tradisi Orang-orang Saleh Terdahulu

0
Memahami Tabarruk Sebagai Tradisi Orang-orang Saleh Terdahulu

Tradisi tabarruk atau ngalap berkah sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat muslim, khususnya orang Indonesia. Konsepsi tabarruk yang sudah turun menurun dilakukan sejak zaman Nabi Saw. hingga sampai sekarang. Secara etimologis berarti mencari tambahan kebaikan, sebagaimana para ulama yang berpendapat bahwa berkah itu ziyadatul khair. Salah satu ritual ngalap berkah ialah trdisi ziarah yang banyak dilakukan di tempat-tempat bersejarah, seperti Kakbah di kota Makkah, makam para nabi dan rasul, ulama, atau makam orang yang diyakini sebagai penyebar kebaikan.

Tabarruk di kalangan orang-orang saleh terdahulu

Secara historis sebenarnya tabarruk merupakan sebuah ajaran sekaligus menjadi adat dan kebiasaan sejak zaman Nabi Saw. masih hidup. Beberapa ayat Alquran dan Hadis meriwayatkan bagaimana dahulu sahabat ingin mendapat berkah dari Allah lewat perantara nabi. Bahkan jauh sebelum itu para nabi dan umat terdahulu juga melakukan tradisi tabarruk.

Satu di antaranya seperti yang dikisahkan dalam QS. Albaqarah [2]: 248 yang mengisahkan Bani Israil mengambil tabut dan menjadikannya sebagai sarana untuk mencari berkah. Menurut az-Zamakhsari, itu adalah peti Taurat. Dahulu, sewaktu Nabi Musa a.s berperang, peti itu diletakkan di barisan paling depan sehingga perasaan Bani Israil merasa tenang dan tidak gundah. Namun setelah mereka mulai melakukan banyak maksiat dan tidak lagi mengindahkan tabut, maka Allah menyembunyikannya dengan mengangkat ke langit. (Tafsir al-Kasyaf, Juz I, 293)

Baca Juga: Penafsiran “ Berkah” dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1

Kemudian, Q.S Ali ‘Imran [3]: 96 menjelaskan tentang keberkahan kiblat seluruh muslimin. Allah menyifati Baitullah dengan berbagai keutamaan bagi orang yang menziarahinya atau bermukim di dalamnya yang disebabkan oleh banyaknya kebaikan pada tempat ini. Di antaranya adalah bersifat ‘mubarakan’ atau diberkahi, yang mempunyai dua arti yaitu bertambahnya kebaikan; maknanya mendatangkan pada pahala yang bertambah-tambah, pengampunan atas dosa, dan rahmat dari Allah. Dan, tetap atau kekal; Kakbah tidak akan sepi dari makhluk yang tawaf, i’tikaf, dan dipastikan setiap waktu ada yang beribadah menghadap kepadanya, kekekalan tersebut hingga hari akhir. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, Juz 2, 137)

Ada sebuah atsar yang menceritakan, Umar bin Khattab ketika mengunjungi Kakbah berkata pada hajar aswad, “Kamu tidak bisa apa-apa, tapi saya menciummu untuk mengikuti Rasulullah Saw.” Sebab ia pernah mendengar Ali berkata, “Rasulullah bersabda pada hari pengadilan, hajar aswad akan menjadi perantara (saksi) atas orang-orang”. (HR. Imam Bukhari)

Kisah tabarruk lainnya datang dari Imam al-‘Utbiy yang menceritakan bahwa ia pernah berziarah dengan duduk di samping makam Nabi Saw dan melihat seorang Arab Badui mengucapkan, “Assalamu’alaika yaa Rasulallah. Saya mendengar Allah berfirman dalam surah Alnisa’ ayat 64,”Kemudian melafalkan ayat tersebut dan mengatakan, “Sungguh saya datang kepada Tuan Baginda Saw ingin minta ampun kepada Allah dari dosa, mohon perantara syafaat Tuan Baginda Nabi kepada Allah,” lalu ia melantunkan sebuah syair pujian untuk Rasulullah dan bertabarruk kepadanya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Kahfi Ayat 82: Meraih Keberkahan hingga Tujuh Turunan

Setelah selesai, laki-laki tersebut kemudian pergi. Kemudian al-‘Utby merasakan kantuk yang membuatnya hingga tertidur. Di dalam tidur ia bermimpi berjumpa dengan Rasulullah yang kemudian bersabda, “Hai ‘Utbi, susullah Arabi tersebut dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya.” (Adzkar Nawawi, 308)

Dalam kitab Tadzhib at-Tadzhib, dikisahkan Imam Ali an-Naisaburi pernah merasa galau dan dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa Rasulullah yang berkata kepadanya, “Pergilah ke makam Imam Yahya bin Yahya beristighfarlah dan minta hajatmu dengan wasilahnya.” Kemudian ia melakukan perintah tersebut sehingga hajatnya dikabulkan Allah.

Dan masih banyak lagi di dalam kitab-kitab biografi atau sejarah yang menceritakan orang-orang saleh terdahulu yang apabila tertimpa masalah, mereka berdoa dengan berziarah di makam kaum orang-orang saleh. Dengan demikian, tabarruk merupakan tradisi yang dipegang oleh generasi orang-orang saleh terdahulu dan hingga saat ini, dimana mereka adalah umat yang paling sempurna dalam mengerjakan dan mengikuti ajaran Rasulullah.

Dampak dari ritual tabarruk

Dapat diambil ibrah bahwa sesuatu yang disucikan, diberi kekuatan, dan keberkahan oleh Allah akan mendatangkan kebaikan bagi manusia, dengan kata lain tempat tersebut dapat di ambil keberkahan dan kemanfaatan oleh manusia. Keberkahan melalui suatu benda itu merupakan rahmat Allah dan mendatangkan manfaat bagi manusia, sebagaimana tabut Nabi Musa dengan segala isinya yang membawa berkah berupa memberikan keamanan dan ketenangan pada jiwa Bani Israil. Hal itu sama pula dengan Kakbah dan makam nabi ataupun rasul serta orang-orang saleh yang dapat membawa berkah untuk para peziarahnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 35: Menikah dapat Menjadi Wasilah Menuju Keberkahan Allah

Sebagaimana menurut Jauhari dalam Tradisi Ziarah dalam Keberkahan (h. 25) mengatakan, seorang peziarah mendapatkan berkah tidak dalam wujud yang kasat mata, melainkan jalinan spiritualitas dan ketenangan jiwa yang dirasakan secara personal oleh para pelakunya.

Dengan beberapa penjelasan di atas, bahwa seorang muslim dianjurkan bertabarruk dengan catatan harus sesuai dengan koridor syariat sebagaimana orang-orang saleh terdahulu melakukannya. Sehingga darinya dapat mendapatkan keberkahan dan kemanfaatan, serta menjadi wasilah untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.[]

Wallahu a’lam.