Beranda blog Halaman 48

Advokasi Alquran terhadap Difabel

0
Advokasi terhadap difabel
Advokasi terhadap difabel

Islam tidak membeda-bedakan manusia baik mereka yang memiliki fisik normal maupun mereka yang difabel, sebab hanya kadar keimanan dan ketakwaanyalah yang membedakan derajat mereka di sisi Allah. Difabel (different ability) dilabelkan kepada individu yang memiliki kondisi dan kemampuan berbeda dengan individu normal terutama pada kemampuan fisik. Istilah ini diperkenalkan secara substansi untuk mengganti penggunaan istilah disabilitas, yang dianggap diskriminatif dan mengandung stigma negatif terhadap para penyandangnya.

Baca juga: Hari Disabilitas Internasional: Ini 4 Artikel tentang Disabilitas dalam Tafsir Al-Quran

Alquran juga menampilkan istilah difabel dengan beberapa term yang memberikan indikasi makna bagian dari kategori difabel, maksudnya tidak secara ekplisit menunjukkan makna cacat. Term-term tersebut terdapat pada 36 ayat yang tersebar dalam beberapa surah. Akan tetapi, hanya tiga ayat yang menjelaskan tentang difabel fisik, sementara ayat yang lain menerangkan disabilitas mental.

Penyebutan term difabel yang relatif sedikit jumlahnya tidak lain disebabkan Islam memandang netral terhadapnya. Hal itu berarti sepenuhnya menyamakan mereka sebagaimana manusia lainnya. Dengan kata lain, kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah.

Alquran Memperlakukan Setara dan Tidak Diskrimanatif terhadap Difabel

Pada realitanya, para penyandang difabel masih seringkali menjadi perhatian di masyarakat. Diskriminasi dan stigma negatif terhadap mereka juga masih kerap terjadi. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang telah Allah jelaskan dalam Alquran. Seperti Surah Annur ayat 61 yang menegaskan kesetaraan sosial antara penyandang difabel dan mereka yang non-difabel.

Quraish Shihab menyebutkan dua pendapat tentang sebab penurunan ayat ini. Pertama, bahwa kaum muslimin merasa terhalagi untuk makan bersama orang buta, karena dia tidak dapat melihat tempat makanan yang baik, bersama orang yang pincang karena dia tidak dapat berebut makanan dan bersama orang sakit, karena dia tidak menikmati makanan. Pendapat kedua; karena mereka merasa kesempitan, rikuh, dan jijik dengan orang difabel.

Ayat ini turun untuk menegur mereka dan menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah alasan untuk enggan makan bersama yang lain, atau berkunjung ke rumah-rumah kaum muslimin terutama penyandang difabel. (Tafsir al-Misbah, Juz 9, h. 406)

Baca juga: Keberislaman Ratu Saba dan Nilai Kesetaraan Hamba Allah

Berbeda dengan Sayyid Qutb dalam (Tafsir Fi Zilal al-Quran, Jilid 8. h. 992) yang menerangkan dengan mengutip salah satu riwayat, bahwa ayat ini mengisahkan para sahabat yang makan dalam jamuan tanpa izin tuan rumah. Mereka juga mengajak para difabel untuk makan bersama mereka. Namun, para penyandang difabel yang diajak makan tanpa izin tersebut merasa takut apabila hal itu justru dianggap perbuatan yang dilarang sebagaimana dalam Surah. Albaqarah [2]: 188. Maka Allah menurunkan Surah Annur ayat  61 untuk menghilangkan kesulitan dan keengganan para difabel untuk makan dari rumah kerabatnya dan mengajak orang-orang yang membutuhkan seperti mereka.

Ayat ini juga dapat dipahami bahwa tuan rumah tidak boleh membenci dan merasa dirugikan apabila mengajak para difabel untuk makan bersama mereka. Itu artinya mereka harus diperlakukan secara sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial.

Perlindungan dan Pengayoman terhadap Kelompok Difabel

Pada ayat yang lain, Surah ‘Abasa [80]: 1-2, disebutkan mengenai penyandang difabel yang merujuk pada makna perlindungan dan pengayoman. Mayoritas mufasir menerangkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seorang tunanetra, Abdullah bin Ummi Maktum kepada Rasulullah yang menyela pembicaarannya untuk mendapatkan keterangan tentang agama Islam, sedangkan saat itu Nabi saw. tengah sibuk berbincang dengan para pembesar Quraisy, sebab Nabi memiliki harapan bahwa mereka akan mendapat hidayah dan memeluk agama Islam.

Dalam keadaan demikian, kontan saja Rasul saw. menunjukkan wajah masam dan acuh kepada Abdullah al-Maktum. Sehingga turunlah ayat ini untuk menegur sikap Rasulullah tersebut. (Tafsir Durr al-Mantsur, Juz 8, h. 416)

Allah memerintahkan kepada Nabi saw. supaya tidak mengkhususkan risalah tersebut hanya kepada seorang saja, namun juga bertindak sama baik kepada orang kuat ataupun yang lemah; orang miskin juga orang kaya; orang terhormat dan hamba sahaya; termasuk orang yang mempunyai fisik normal maupun penyandang difabel. Kemudian Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Dia-lah yang memiliki hikmah yang memadai dan hujjah yang pasti. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 10, h. 255)

Baca juga: Tuntunan Alquran untuk Hilangkan Insecurity Berlebih

Secara eksplisit, teguran atas tindakan Rasulullah yang berpaling dan menunjukkan ekspresi tidak senang juga memiliki hikmah besar, di antaranya memberikan dukungan moral serta tanggung jawab kepada Rasul agar tidak mengabaikan kelompok masyarakat yang dianggap memiliki strata sosial rendah. Menurut Wahbah Zuhaili, ayat ini ditujukan juga untuk membesarkan hati para penyandang difabel dan orang-orang terbatas lainnya seperti fakir dan miskin.

Dengan teguran ini tentu menunjukkan bahwa yang lebih diuntungkan dalam segi fisik ataupun materi belum tentu lebih baik. Boleh jadi seorang dengan segala keterbatasannya memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah.

Sebagaimana Alquran mengajarkan prinsip kesetaraan, seperti kelompok difabel yang secara sosial diakui keberadaannya oleh Islam sebagai bagian dari umat secara umum. Maka kepada penyandang difabel, mereka harus diberlakukan secara sama dan tanpa stigma negatif dalam kehidupan sosial sebab mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan muslim lainnya.[]

Tafsir Surah an-Nisa Ayat 128: Menyikapi Suami Nusyuz

0
tafsir surah an-Nisa ayat 128_suami nusyuz
tafsir surah an-Nisa ayat 128_suami nusyuz

Term nusyuz seringkali lebih populer dilekatkan pada seorang istri. Sudah sangat banyak tulisan yang mengupas nusyuz seorang istri hingga langkah-langkah menanganinya yang didasari pada surah an-Nisa ayat 34. Tidak cukup di sana, bahkan lafaz dharaba dalam ayat tersebut pun sudah banyak dikritisi ulama yang pada prinsipnya ayat tersebut bukan sebagai legitimasi kekerasan seorang suami pada istrinya. Alquran justru memberikan tahapan-tahapan berproses dan edukatif terhadap seorang suami dalam menyikapi istrinya yang nusyuz.

Dalam realitanya, nusyuz rupanya tidak hanya bisa dilakukan oleh seorang istri, tapi juga seorang suami. Alquran sudah terlebih dahulu menyinggung hal ini sebagaimana firman Allah swt berikut,

وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْۢ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْ اِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۗوَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa’ [4]: 128).

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Apa Itu Nusyuz Suami? Berikut Penjelasannya

Ayat di atas berbicara tentang seorang istri yang khawatir suaminya nusyuz. Dengan kata lain, penyebutan nusyuz tidak hanya berlaku pada istri, tapi juga pada suami. Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, dipaparkan beberapa versi mengenai sabab nuzul ayat di atas.

Pertama, berkenaan dengan Saudah binti Zam’ah, istri Rasulullah yang sudah berusia lanjut yang merasa khawatir akan diceraikan Rasulullah sehingga memberikan jatah bermalamnya kepada Aisyah; kedua, berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai istri yang telah lanjut usia, sedangkan dia tidak begitu memerlukannya lagi, lalu ia bermaksud menceraikannya, tetapi si istri mengatakan kepadanya, “Janganlah engkau menceraikan diriku, dan sebagai imbalannya engkau bebas dari urusanku.”

Ketiga, berkenaan dengan sahabat Nabi bernama Rafi’ ibnu Khadij Al-Ansari. Ketika istrinya telah tua, lalu dia menikah lagi dengan perempuan yang masih muda hingga hatinya lebih cenderung kepada istri mudanya. Maka istri tuanya meminta diceraikan, lalu Rafi’ menceraikannya dengan satu talak dan menangguhkannya, tetapi bila masa idah-nya akan habis, maka Rafi’ merujuknya kembali. Kemudian Rafi’ tetap bersikap lebih memperhatikan istri mudanya. Kemudian istri tuanya meminta cerai lagi, dan Rafi’ berkata kepadanya, “Saya hanya menuruti kemauanmu, sesungguhnya talakmu padaku hanya tinggal sekali lagi. Jika kamu mau tetap menjadi istriku dengan perlakuan seperti yang kamu alami sekarang, kamu boleh tetap menjadi istriku, atau jika kamu lebih suka kuceraikan, maka kamu aku ceraikan.” Maka istri tua Rafi’ berkata, “Tidak, bahkan aku ingin tetap menjadi istrimu, sekalipun harus berkorban.” Rafi’ kemudian tetap memegangnya sebagai istri, sekalipun hari giliran istri tuanya diberikan kepada istri mudanya.

Baca Juga: Melerai Konflik dalam Relasi Pasutri; Kontekstualisasi Kata Wadhribuhunna pada Q.S Annisa’ [4]: 34

Langkah menyikapi suami nusyuz

Jika dilihat dari sabab nuzul ayat, maka nusyuz suami tergambar dalam ketidakadilan berpoligami. Hal yang terjadi pada sahabat nabi bernama Rafi’ sangat kontekstual dengan masa kini, banyak pelaku poligami yang gagal berlaku adil sehingga hanya memiliki kecenderungan terhadap salah seorang istri saja dan berimbas pada perbuatan nusyuz terhadap istri lainnya.

Di luar dari sabab nuzul, ada banyak bentuk nusyuz suami di samping konteks ketidakadilan berpoligami.  Di dalam Mafatih al-Ghaib, ar-Razi menjelaskan perbedaan makna antara nusyuz istri dan nusyuz suami. Beliau menjabarkan bahwa nusyuz istri bisa dari perbuatan, perkataan, dan sikap. Adapun nusyuz suami adalah keengganan suami terhadap istri dalam mempergauli dan menyakitinya.

Sedangkan di dalam Tafsir al-Lubab, yang dimaksud nusyuz suami adalah tidak mau bersetubuh, memalingkan muka dari istri dan malas duduk di dekatnya.

Sebagaimana menyikapi istri nusyuz, Islam pun memberikan tahapan dan rambu-rambu dalam menyikapi suami yang nusyuz. Tidak serta merta langsung pada keputusan bercerai, Islam mengajarkan tahapan-tahapan sebagai bentuk ikhtiar dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga.

Jika dilihat dari ayat di atas, petunjuk bagi istri cukup diselesaikan dengan sulh (mengajukan berdamai), tahap dialog dan damai ini bisa dengan mendatangkan hakam (mediator). Berbeda dengan nusyuz istri yang ditangani hingga tiga tahap, tahap dinasihati, tahap pisah ranjang, hingga tahap memukul (bukan pukulan yang meninggalkan bekas), menyikapi suami nusyuz cukup di tahap pertama saja, yakni dinasihati.

Menurut Imam Syafii yang dikutip al-Qurtubi dalam Ahkam al- Qur’an,  jika tidak berhasil dinasihati, istri boleh mendiamkannya. Cara lainnya adalah istri merelakan sebagian haknya seperti mahar atau jatah gilirnya apabila suami berpoligami. Dengan kata lain, hendaknya istri berkorban dengan melepaskan sebagian haknya yang menjadi kewajiban suaminya, dalam rangka mempertahankan rumah tangga. Apabila berbagai cara dan upaya sudah dilakukan namun tak kunjung berhasil dan berujung buntu, istri dapat mengajukan cerai atau khulu’.

Baca Juga: Idah Pria Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Penutup

Baik nusyuz yang dilakukan istri maupun suami, keduanya sama-sama perbuatan yang mencederai ikatan pernikahan. Dengan kata lain, nusyuz adalah pelanggaran pasangan terhadap komitmen pernikahan. Nusyuz yang dilakukan suami adalah tidak dipenuhinya hak istri dan suami melanggar kewajibannya, bisa karena suami merasa bosan, enggan tinggal bersama, atau bahkan tidak mau menafkahi, dan pelanggaran lainnya.

Islam memberikan solusi bagi istri apabila suaminya nusyuz dengan berusaha mempertahankan pernikahannya dan tidak serta merta mengajukan khulu’. Artinya, hendaknya melalui tahapan dan proses serta mengutamakan hal-hal yang dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Cara yang ditempuh adalah mengadakan dialog dan damai. Jika segala upaya perbaikan tidak berhasil, maka keputusan khulu’ adalah puncaknya yakni jalan terakhir jika tak kunjung menemukan titik terang. Wallah a’lam

Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

0
Relasi antara Dakwah dan Opini Publik dalam QS. Ali Imran: 104 Perspektif Hamka

Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya melaksanakan ajaran-ajaran Islam dalam berbagai lini. Di antaranya adalah keharusan untuk mengajak pada kebaikan (ma’ruf) dan mencegah terjadinya penyimpangan (munkar). Dalam pembahasaan Alquran diungkapkan dengan frasa amar ma’ruf nahy munkar. Dengan kata lain, ia merupakan konsep dakwah jika dilihat dari fungsinya.

Tafsir Hamka tentang QS. Ali Imran: 104

Salah satu ayat sebagai representasi konsep dakwah tersebut dapat ditemukan di antaranya di QS. Ali Imran: 104.

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ini merupakan lanjutan dari ayat yang menerangkan perihal nikmat Islam berupa persaudaraan muslim, hati yang saling terjalin satu dengan lainnya, dan juga kemungkinan manusia terjerumus ke dalam neraka. Sebab sebelum datang ajaran Nabi Muhammad Saw., banyak suku saling berkelahi, bahkan antara orang kota dan orang gunung atau padang pasir pun demikian. (Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 2, 23)

Baca Juga: Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama

Pada ayat 104 ini Hamka kemudian menerangkannya sebagai dorongan pada umat untuk berdakwah (wal takun minkum ummatun yad’uuna), melakukan amar ma’ruf nahy munkar, untuk menopang nikmat-nikmat yang telah digambarkan pada ayat sebelumnya. Supaya persaudaraan sesama muslim semakin kokoh dan tidak terjerumus ke dalam kabatilan.

Menurutnya, ada dua kata kunci yang perlu diperhatikan pada ayat ini, yaitu ma’ruf dan munkar. Ma’ruf, berasal dari kata ‘urf, maksudnya yang dikenal atau dapat dimengerti, dipahami serta diterima oleh masyarakat. Perbuatan yang ma’ruf apabila dikerjakan dapat diterima, dipahami serta dipuji oleh masyarakat, sebab demikianlah yang patut dikerjakan oleh manusia berakal.

Sedangkan munkar, kebalikannya, adalah perbuatan yang dibenci, tidak disenangi dan ditolak oleh masyarakat. Perbuatan munkar tidak selayaknya dilakukan oleh mereka yang berakal (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 24-25).

Lebih lanjut, Hamka menerangkan, bahwa agama hadir untuk memberikan pencerahan hidup, menuntun manusia dan mengenalkan pada mereka mana ma’ruf dan mana munkar. Sebab itulah, kegiatan dakwah yang demikian tidak terpisah dari pendapat umum atau opini publik.

Baca Juga: Surah Al-An‘am 107-108: Pentingnya Etika Dakwah Bagi Pendakwah

Jika terdapat perbuatan ma’ruf, umumnya masyarakat akan menyetujui dan sebaliknya, perbuatan munkar akan ditolak dan dibenci. Dengan kata lain, semakin tinggi kecerdasan seseorang dalam beragama, maka semakin seseorang mampu memberi distingsi yang kuat antara keduanya. Bahwa antara ma’ruf dan munkar benar-benar dua hal yang berseberangan (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 25).

Hal penting lain dalam melaksanakan dakwah adalah keberanian, sebab akan ada banyak konsekuensi, termasuk dibenci oleh masyarakat. Sebab sulit untuk mengubah kebiasaan buruk yang terlanjur mengakar. Namun, penulis di sini sepakat dengan pendapat Muhammad Abduh, di mana ia juga setuju dalam hal ini dengan Al-Ghazali bahwa ilmu mengharuskan amal. Dengan kata lain, pengetahuan tentang baik dan buruk mengarahkan pada implementasi amar ma’ruf nahy munkar. Ia mengomentari satu syair dari Abu al-Aswad al-Du’ali:

لَا تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيَ مِثْلَهُ عَارٌ عَلَيْك إذَا فَعَلْت عَظِيم

Janganlah melarang suatu perbuatan namun kamu sendiri melakukannya. Jika demikian, maka suatu kehinaan besar bagimu.

Menurut Abduh, ada kesalahpahaman memahami syair ini, bahwa maksudnya adalah seorang pelaku keburukan tidak berhak memberi nasihat kebaikan, tapi menurutnya maksud dari syair ini justru bagaimana narasi amar dan nahy yang disampaikan oleh orang tersebut juga diseimbangkan dengan upaya perbaikan dalam diri. Sehingga dakwah tidak berhenti oleh status seseorang, apakah ia pelaku maksiat atau bukan. (Rasyid Ridha, Tafsir AlManar, Jilid 4, 26).

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Peran Opini Publik terhadap Kemaslahatan Masyarakat

Secara sederhana, menurut Hamka, dakwah dikategorikan pada dua wilayah. Pertama, dakwah secara khusus, yaitu dakwah ditujukan pada kalangan sesama muslim, supaya di dalam tubuh muslim terdapat persaudaraan yang kokoh, saling mengingatkan apabila sesamanya melakukan perbuatan munkar yang bisa berakibat buruk pada dirinya dan orang lain.

Kedua, dakwah secara umum, maksudnya ditujukan pada mereka yang belum mengenal Islam supaya tertarik dan mempelajari ajaran-ajarannya. Setengah ulama ahli tafsir memaknai al-khairi sebagai Islam; memupuk kepercayaan pada Allah, termasuk tauhid dan ma’rifat. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 25).

Hamka menekankan bahwasanya seorang muslim haruslah terlibat aktif dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahy munkar. Hal tersebut berguna untuk membentuk pendapat umum yang sehat atau biasa disebut dengan opini publik.

Apa kaitan antara aktivitas dakwah dengan opini publik? Opini publik adalah istilah yang biasa dipakai dalam diskursus sosial-politik. Ia merupakan semacam wilayah yang diperebutkan guna menggapai kepentingan tertentu. Dalam konteks ini, dalam pandangan Hamka, opini publik adalah wilayah di mana pelaku amar ma’ruf nahy munkar harus terlibat di dalamnya.

Hal ini guna membentuk opini publik yang sehat, sehingga terbentuklah masyarakat yang juga sehat. Demikian kemudian yang dimaksud dengan almuflihun, yaitu mereka yang beruntung (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 24).

Wallahu a’lam.

Apakah Benar RA. Kartini yang Menjadi Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir Kiai Sholeh Darat?

0
Apakah Benar RA. Kartini yang Menjadi Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir Kiai Sholeh Darat?

Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani, terkenal dan akrab dengan nama Kiai Sholeh Darat, dilahirkan di desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara pada tahun 1820 M/ 1235 H. Dan wafat di semarang pada hari Jum’at Wage tanggal 28 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 M, ketika usianya 83 tahun.

Beliau merupakan seorang ulama terkemuka pada peralihan abad XX, dan beliau merupakan gurunya para ulama Jawa yang terkemuka pada generasi berikutnya. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai penulis yang fokus pada kitab-kitab keagamaan dengan beraksara Arab dalam Bahasa Jawa (pegon).

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Sejak dini beliau telah dibekali oleh ayahnya dengan ilmu-ilmu dasar agama khususnya bacaan Alquran dan ilmu tajwid. Selain pendidikan dari internalnya yaitu dari keluarganya sendiri, Kiai Sholeh Darat muda tetap belajar dari satu guru ke guru lainnya, yaitu dari Jawa hingga sampai ke Makkah.

Beliau seorang yang tekun belajar serta disiplin pada ilmu, dengan semangat yang tinggi dan kecerdasan intelektualnya tidak heran jika beliau memiliki karya tulis yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa karya tulis beliau yang sampai sekarang masih bisa dibaca dan dipelajari yaitu, kitab Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah lil ‘Awam, kitab Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulumuddin, terjemah al-Hikam karya Ahmad bin ‘Athaillah, kitab Lathaif al-Thaharah wa Asrarus Solah, kitab Manasik al-Hajj, Fasolatan, kitab Sabilu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid karya Ibrahim Laqqani, kitab Minhaj al-Atqiya’, kitab al-Mursyid al-Wajiz, kitab Hadist al-Mi’raj, Tafsir Faid ar-Rahman, dan kitab Syarah Maulid al-Burdah.

Salah satu kitab yang akan penulis analisa latar belakangnya, yaitu kitab Faid ar-Rahman fi Turjumani Tafsir al-Kalam al-Maliki ad-Dayyan, karya Kyai Sholeh Darat ini disinyalir mempengaruhi secara signifikan pola pemikiran salah satu pahlawan Indonesia, yaitu RA. Kartini.

Baca Juga: R.A Kartini Sosok Penggerak Lahirnya Kitab Tafsir Faid ar-Rahman Karya Kyai Soleh Darat

Konon katanya kitab ini ditulis atas permitaan Kartini ketika datang ke majlis Kiai Sholeh Darat, ia meminta penafsiran Alquran Kiai Sholeh Darat dapat ditulis menggunakan Bahasa Jawa yang ditulis menggunakan huruf Arab (pegon) agar mudah di mengerti oleh masyarakat Indonesia. Bahkan sebagian pendapat mengatakan bahwa ada beberapa halaman yang ditulis dan diberikan kepada Kartini sebagai hadiah pernikahan. Data ini diambil dari salah satu cucu Kiai Sholeh Darat yaitu Ibu Nyai Fadhila Sholeh.

Penulis melakukan cross check melalui tanggal kelahiran Kartini dengan tanggal pertama kali kitab faid ar-Rahman Kiai Sholeh Darat ditulis. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 M, sedangkan kitab faid ar-Rahman jilid 1 ditulis pada malam Kamis 20 Rajab 1309 H/ 19 Februari 1892 M.

Jika diambil kesimpulan melalui data tersebut ketika kitab Faid ar-Rahman ditulis Kartini masih berusia 13 tahun. Hal ini, cukup mengejutkan bagi penulis karena anak usia sekitar 10 tahun sudah paham, bahkan ingin tahu lebih jauh tentang ilmu Alquran, dan merengek meminta kepada Kiai besar untuk menulis kitab tafsir.

Pada muqoddimah kitab Faid ar-Rahman Kiai Sholeh Darat juga menjelaskan mengenai latar belakang penulisan kitab ini yang berbunyi Mekaten nyuwun marang Syaikhana mu’allif iki tafsir setengahe ikhwan kita fiddin kang supoyo iki tafsir kasebaro luwih disik senadyan mung sak surat, sebab kerono yakine hajate ba’dlul ikhwan mahu lan liyan-liyane hajat ngaweruhi iki tafsir.

Baca Juga: Womens Day: Raden Ajeng Kartini dan Peradaban Penafsiran Al-Quran di Indonesia

Dari muqaddimah ini penulis menyimpulkan bahwa Kiai Sholeh Darat menulis kitab ini karena adanya permintaan dari teman-temannya, dan ditegaskan kembali dalam kalimat ikhwan kito fiddin yang maknanya teman yang seagama. Namun, sangat disayangkan Kiai Sholeh Darat tidak menyebutkan siapa beliau, bisa jadi memang itu Kartini muda atau orang lain.

Menurut Ibu Fadhila Sholeh ketika Kartini datang dalam majlis Kiai Sholeh Darat yang sedang memberikan ceramah tentang tafsir surah al-Fatihah, setelah pengajian Kartini mendesak ke pamannya yaitu Bupati Demak untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Dan disitu dijelaskan pamannya tidak bisa mengelak karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil.

Dari data ini bisa disimpulkan, bisa jadi memang benar Kartini usia 13 tahun meminta Kiai Sholeh Darat menuliskan kitab Faid ar-Rahman, walaupun usia Kartini masih sekitar 10 tahun. Tapi, hal ini juga bisa dikatakan tidak benar jika menggunakan penalaran logika, seperti hal yang tidak mungkin jika seseorang usia sekitar 10 tahun merengek meminta dituliskan kitab tafsir Alquran.

Wallahu a’lam

Ragam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 59 tentang Status Jilbab

0
tafsir surah al-Ahzab ayat 59 tentang jilbab
tafsir surah al-Ahzab ayat 59 tentang jilbab

Salah satu isu yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini adalah tentang penggunaan jilbab bagi perempuan. Beberapa mufassir berbeda pendapat tentang batasan penggunaan jilbab. Karena di dalam Alquran sendiri tidak menyebutkan secara rinci tentang batasan penggunaan jilbab. (Guindi, 2003).

Beberapa ulama memberikan tafsir dan pengertian yang beragam dalam menyikapi polemik tentang hukum memakai jilbab, wajib atau tidak. Sebagian ulama bersikap mendukung atas hukum wajib menggunakan jilbab bagi perempuan. Sebaliknya, terdapat pula ulama yang memberikan tafsir bahwa memakai jilbab bukanlah sesuatu yang wajib. Perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh ulama di antaranya dapat diketahui melalui tafsir  surah al-Ahzab ayat 59.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 57-60

Tafsir surah al-Ahzab ayat 59 tentang jilbab

Pada posisi ini, penulis akan membahas tentang perbedaan para ulama dalam menafsirkan surah al-Ahzab ayat 59.

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya) ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini turun berkenaan dengan kebiasaan perempuan Arab pada zaman itu yang buang air besar di padang sahara, karena pada waktu itu belum ada wc untuk buang air besar. Para perempuan mukmin seringkali di goda saat mereka melakukan hajat besar, karena pemuda-pemuda itu menyangka perempuan ini adalah budak (Sukri, 2002).

Saat perempuan mukmin teriak, para pemuda yang menggoda baru akan pergi karena mereka sadar bahwa yang digoda itu ternyata bukan hamba sahaya. Kejadian inilah yang meyebabkan turunnya ayat ini. Setelah ayat ini diturunkan, para perempuan merdeka menggunakan tutup kepala mereka dan pemuda yang mencari pendamping pun tidak mengganggu mereka lagi (Guindi, 2003).

Menurut al-Qurthubi kata jilbab memiliki makna pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Menurutnya, ayat ini memerintahkan seluruh perempuan baik perempuan merdeka maupun hamba sahaya untuk menutupi tubuhnya dengan pakaian panjang, longgar, dan tidak mempertlihatkan lekuk tubuhnya. Karena tidak ada dalil yang mengkhususkan kewajiban menutup aurat hanya untuk perempuan merdeka saja (Qurthubi, 2006).

Al-Qurthubi juga mengutip pendapat Abu Hayyan dalam al-Bahr al-Muhith bahwa fitnah yang dirasakan oleh hamba sahaya lebih sering terjadi karena mereka lebih sering di luar rumah. Sedangkan perempuan merdeka kebanyakan waktunya dihabiskan di dalam rumah. Di sini menurut al-Qurthubi, ayat ini bermaksud agar mereka lebih mudah diketahui kesuciannya karena menutup aurat dan agar mereka tidak mudah diganggu oleh orang lain. (Qurthubi, 2006).

Baca Juga: 4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

Sedangkan tafsir al-Misbah memberi penekanan terkait mengapa ayat tersebut diturunkan. Menurut Quraish Shihab kata “jilbab” jika yang dimaksud adalah baju, maka ia menutupi tangan dan kakinya. Jika yang dimaksud kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau yang dimaksud pakaian menutupi baju, maka perintah mengulurkannya dengan membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.

Menurutnya, ayat ini tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena pada waktu itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Redaksi ayat ini menyatakan “jilbab mereka” dan yang diperintahkan adalah “hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka telah memakai jilbab tetapi belum mengulurkannya (Shihab, 2005).

Dalam tafsir al-Munir Jilid 11 diterangkan bahwa Allah SWT memerintahkan para perempuan kaum mukminin ketika mereka pergi keluar rumah untuk suatu keperluan, agar menutupi wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab dan hanya satu mata saja yang ditampakkan. Menurut Hamka sebab-sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan kebiasaan wanita-wanita Arab ketika itu.

Jika hari mulai gelap mereka keluar untuk membuang kotoran di luar rumahnya (di tempat-tempat yang tersisih dari keramaian). Disebabkan ketika itu rumah orang-orang Arab belum mempunyai toilet di dalam rumah, maka dengan cara seperti itulah mereka membuang kotorannya. Pada kesempatan itu para lelaki nakal juga keluar bertujuan hendak mengganggu perempuan-perempuan tersebut (Zuhaili, 2013).

Sedangkan menurut Husein Muhammad dengan mengutip pendapat Ibn Sa‘ad dalam bukunya al-Tabaqat dari Abu Malik, sebagaimana perempuan lainnya, para istri Nabi saw pada malam hari juga keluar rumah untuk membuang hajatnya. Pada suatu ketika, ada kaum lelaki menggoda dan mengganggu mereka. Para istri Nabi itu kemudian mengadukan peristiwa tersebut kepada Nabi saw. Sesudah Nabi menegur mereka, kaum lelaki [penggoda] itu mengatakan: “kami kira mereka-mereka itu wanita hamba” (Muhammad, 2007).

Dalam mengkritisi tafsir di atas Muhammad Sa‘id al-Ashmawi (1995), mantan Hakim Agung Mesir, mengatakan bahwa ayat tersebut turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dengan perempuan lainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi aturan yang abadi. Lebih jelasnya ahli tafsir modern dan feminis Muslim menggunakan kaedah ushul fiqh bahwa hukum itu tergantung pada ada dan tidak adanyanya sebab-musabab yang menyertainya, jika sebab-musababnya tak ada maka hilanglah hukum itu atau sebaliknya.

Illat (sebab-musabab) atau dalam filsafat hukum Barat disebut effective cause (reason) adalah sesuatu yang mendasari dari penerapan suatu hukum. Illat (sebab-musabab) hukum yang disebut pada ayat itu adalah untuk membedakan antara perempuan merdeka dan hamba sahaya, serta supaya mereka tidak diganggu. Berdasarkan kaedah itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewajiban berjilbab menurut ayat itu bersifat kondisional, bukan kewajiban mutlak.

Nashruddin Baidan (2011) menyatakan bahwa perintah berjilbab dalam ayat itu tampak tidak tegas dan mutlak, melainkan tergantung pada keadaan tertentu. Kaum perempuan diminta untuk memakai jilbab manakala mereka diganggu oleh orang-orang nakal yang selalu mengincar wanita-wanita yang tidak memakai jilbab. Hal ini sesuai dengan peristiwa ketika ayat itu turun. (Baidan, 1999)

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Dalam peristiwa sebagaimana yang dijelaskan di depan, nampak jelas bahwa ayat ini turun bukan khusus berkenaan dengan konteks menutup aurat perempuan saja, tetapi lebih dari itu, yakni agar mereka tidak diganggu oleh lelaki nakal. Nashruddin Baidan mencontohkan, apabila di suatu masa atau pada suatu tempat dimana orang melihat perempuan berpakaian mini (seksi) dapat membangkitkan nafsu seks lelaki yang melihatnya bahkan mendorongnya untuk mengganggu perempuan tersebut (di Arab Saudi contohnya).

Dalam keadaan seperti inilah (yang dimaksudkan Alquran), perempuan tersebut dikehendaki berpakaian sebagaimana budaya lokal tersebut supaya tidak diganggu dan dapat berjalan bebas. Hal tersebut merupakan pilihan alternatif dengan anjuran supaya perempuan tersebut mengadaptasi pakaian budaya lokal di mana mereka berada, demi keamanan perempuan tersebut.

Bayangkan seandainya di Arab Saudi ada wanita yang berani berpakaian tanpa jilbab dan seksi, apa yang akan terjadi? Ini karena budaya Arab Saudi berbeda dengan budaya negara- negara Islam lainnya, yang tidak menjadikan jilbab menjadi pakaian wajib di negaranya. Jadi, menurut  pendapat  kaum  feminis  Muslim,  jilbab  maupun  hijab di  sini  lebih merupakan keharusan budaya masyarakat tertentu daripada perintah agama.

Oleh itu, tidak mengherankan apabila dijumpai fenomena sebaliknya. Musdah Mulia (2010) menuturkan pengalamannya ketika berada dalam suatu pesawat dengan perempuan-perempuan Madinah yang memakai cadar dalam perjalanan dari Madinah ke Kairo. Sangat mengagetkan, ketika mereka sampai di bandara Mesir, mereka melepas cadarnya dan berpakaian ala wanita Eropa. Ketika ditanya, mereka menjawab bahwa hal yang mereka pakai tadi adalah pakaian adat mereka. Kata mereka, jika memakai pakaian adat di luar negeri akan lebih mengundang perhatian daripada kesopanan dan kesederhanaan (Juneman, 2010).

Pandangan di atas jelas berbeda dengan banyak ulama, termasuk ada bantahan dari Muhammad Sayyid Tantawi, mufti Mesir, menganggap bahwa apa yang disampaikan oleh al-Asymawi merupakan interpretasi yang jauh dari kebenaran.

Karena ayat ini jelas meminta Nabi Muhammad SAW agar memerintahkan istri-istrinya, anak-anak perempuannya, dan perempuan-perempuan mukminah agar senantiasa memperhatikan kesopanan, ketertutupan dan rasa malu dalam segala keadaan mereka. Demikian juga tentang illat (sebab-musabab) yang disebutkan di atas sama sekali tidak diakui oleh mantan mufti Mesir tersebut, tetapi sebagai hikmah (Dawam, 2007).

Baca Juga: Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam

Memang para pakar hukum Islam membedakan antara kedua istilah tersebut. Seandainya benar jika ayat itu hanya merupakan respons terhadap kasus tertentu yang terjadi pada masa Nabi. Maka, istilah jilbab yang disebutkan dalam Alquran itu boleh jadi hanya sebagai “penyebutan” model pakaian gaya Arab, bukan menunjuk sebagai ketentuan syara’ tentang satu-satunya mode pakaian yang wajib dipakai perempuan Muslimah di belahan dunia mana saja.

Dengan kata lain, boleh jadi jilbab merupakan antara satu fashion pakaian perempuan dalam Islam. Atas dasar ini pula, maka perbedaan istilah dan mode sudah lumrah terjadi di hampir seluruh negara  di dunia ini.  Jadi, mesti dibedakan jilbab yang dimaksudkan di sini adalah jilbab sebagai budaya Arab dan bukan persoalan ketentuan pakaian wajib penutup aurat perempuan (Thoyibi, 2009).

Karena itulah dianggap tidak menjadi suatu kewajiban untuk memakainya bagi masyarakat lain. Dengan demikian, masih ada banyak model pakaian lain berikut istilahnya yang tentunya di tempat dan tradisi yang berlainan juga boleh diterima sebagai penutup aurat jika memiliki spesifikasi seperti yang dikehendaki Alquran sebagaimana jilbab. Wallah a’lam

Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 2)

0
Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam

Dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak bisa dipungkiri bahwa partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa yang maju dan berperadaban sangatlah penting. Masyarakat harus mendapatkan ruang untuk menyalurkan aspirasi dan menyuarakan gagasan-gagasan demi kemaslahatan bersama.

Maka dari itu, selain prinsip kesetaraan dan keadilan, ada prinsip-prinsip bernegara lain yang perlu diperhatikan dan diterapkan menurut ajaran Islam. Perinsip tersebut adalah al-syura (musyawarah), al-hurriyah (kebebasan), dan riqabah al ummah (pengawasan rakyat).

Al-Syura (Musyawarah)

Dalam Alquran, setidaknya ada dua ayat yang dapat dijadikan landasan normatif untuk melaksanakan musyawarah. Dalam Q.S. Ali imran ayat 159 terkantung perintah bermusyawarah dan Q.S. Al-Syura ayat 38 berisi pujian terhadap budaya musyawarah. Allah Swt. berfirman:

{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ} [آل عمران: 159]

Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (Q.S. Ali Imran [03]: 159).

{وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ} [الشورى: 38]

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka (Q.S. Al-Syura [42]: 38).

Menurut Quraish Shihab, secara redaksional perintah bermusyawarah pada ayat pertama di atas tertuju kepada Nabi saw. agar senantiasa mendiskusikan hal-hal tertentu bersama para sahabatnya. Akan tetapi, ayat ini juga menjadi petunjuk bagi setiap muslim agar bermusyawarah bersama kolega atau para ahli terkait berbagai persoalan [Wawasan Alquran, hal. 470]

Baca juga: Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

Mengutip perkataan Ibnu ‘Atiyah, Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa musyawarah merupakan salah satu pondasi agama dan pilar dalam penetapan hukum. Tidak bermusyawarah dengan para ahli mengenai suatu perkara adalah sebuah kesalahan besar, dan ia seyogyanya dilepas dari jabatan (jika yang bersangkutan memiliki jabatan) [Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 4, hal. 249].

Muhammad Sayyid Thantawi menjelaskan bahwa orang bijak yang berjalan dalam rel kebenaran dan keadilan adalah mereka yang senantiasa mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip musyawarah. Lebih lanjut lagi, beliau memaparkan bahwa orang yang tidak mau bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau bahkan menolak hasil keputusan musyawarah disebabkan karena dua faktor.

Pertama, adakalanya ia tidak mau bermusyawarah karena terjangkit penyakit sombong sehingga mengira bahwa pendapat pribadinya adalah kebenaran mutlak. Pada akhirnya, ia merasa tidak perlu melakukan musyawarah dengan orang lain.

Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Alquran

Kedua, seseorang menolak musyawarah bisa jadi karena ia adalah orang zalim. Jika ia punya kuasa, ia berniat menerapkan aturan sekehendak hatinya dan berupaya sebisa mungkin menghindari musyawarah. Sebab jika ia mengundang orang lain untuk musyawarah barangkali kezalimannya akan terungkap [Tafsir al-Wasith, juz 2, hal. 319].

Dalam konteks kenegaraan, penerapan prinsip musyawarah dapat terbaca sejak masa pemilihan pemimpin. Model pemilihan langsung yang dilakukan oleh seluruh rakyat atau pemilihan dengan sistem perwakilan merupakan ejawantah dari prinsip musyawarah.

Lebih jauh lagi, prinsip musyawarah penting diformalisasikan dalam sistem pemerintahan demi menampung gagasan-gagasan yang diproyeksikan untuk menyejahterakan rakyat. Dalam konteks ini, sistem demokrasi dapat dinilai lebih apresiatif terhadap nilai-nilai syariat daripada sistem lain semisal monarki dengan kekuasaan absolut di tangan raja.

Al-Hurriyah (Kebebasan)

Kebebasan merupakan hak yang dimiliki setiap orang sejak ia lahir. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam segala hal termasuk kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kekebaasan dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri.

Terkait hal ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan kepada putranya, Sayyidina Hasan r.a. Beliau berkata:

وَلَا تَكُنْ عَبْدَ غَيْرِك وَقَدْ جَعَلَك اللَّهُ حُرًّا

Janganlah kamu menjadi budak orang lain. Sebab, Allah telah menciptakan kamu dalam keadaan merdeka [Adab al-Dunya wa al-Din, hal 330 https://waqfeya.net/book.php?bid=12212 ].

Baca Juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Alquran

Dalam bingkai kehidupan negara, rakyat harus diberikan kebebasan bereskpresi dan berpendapat. Rakyat harus diberikan jaminan kebebasan terutama ketika menyampaikan gagasan atau bahkan kritikan terhadap pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah tidak boleh mengintervensi atau bahkan memasung kebebasan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.

Akan tetapi, kebebasan yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak. Dalam bukunya, KH. Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu harus dibatasi dengan beberapa hal. Pertama, kebebasan itu tidak menodai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk mulia. Kedua, tidak menggangu hak orang lain. Ketiga, tidak melawan aturan, baik aturan syariat atau hasil kesepakatan bersama [Fikih Tata Negara, hal. 57].

Riqabah Al-Ummah (Pengawasan Rakyat)

Prinsip ini dapat dinilai sebagai pengejawantahan dari dua prinsip di atas. Artinya, wewenang rakyat untuk melakukan kegiatan evaluasi berawal dari penerimaan asas musyawarah dan kebebasan dalam sistem tata kelola negara. Rakyat berhak dan bahkan berkewajiban melakukan pemantauan untuk selanjutnya memberikan masukan kepada pemerintah manakala ada beberapa kebijakan yang dinilai merugikan.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «الدِّينُ النَّصِيحَةُ» قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: «لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ»

Dari Tamim al-Dariy bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami (sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, kitab Allah, utusan Allah, bagi para pemimpin muslim, dan semua orang.” (H.R. Muslim).

Baca juga: Surah Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nasihat kepada pemimpin umat muslim dapat diimplementasikan dengan memberikan kontribusi untuk meringankan tugas pemerintah, tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Di samping itu, nasihat kepada pemimpin juga dilakukan dengan selalu mengingatkan mereka agar tetap berada dalam koridor kebenaran. Tentunya nasihat ini harus dilakukan dengan tetap memperhatikan etika dan mengedepankan kelemahlembutan [Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 2, hal. 38].

Demikianlah prinsip-prinsip bernegara yang utama dalam syariat Islam yang dapat dijadikan pedoman dalam membangun harmoni kehidupan bernegara. Islam memang tidak menetapkan secara tegas seperti apa format negara dan bagaimana relasi antara negara dan masyarakaat harus terjalin. Hal ini dimaksudkan agar manusia bebas berkreasi dalam merumuskan tata kelola negara sesuai dengan kemaslahatan bersama. Dengan prinsip-prinsip tersebut, Islam memberikan semacam pemantik seperti apa ketatanegaaraan dan kehidupan bernegara terealisasi. Sekian.

Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam (Bagian 1)

0
Prinsip-Prinsip Bernegara dalam Islam

Salah satu perbincangan yang meletihkan adalah ketika memperdebatkan mengenai sistem negara perspektif Islam. Bahkan konon, perdebatan seputar politik dan sistem negara ini menjadi salah satu faktor penyebab terkotak-kotaknya umat Islam menjadi beberapa aliran dan sekte. Sampai detik ini masih ada kelompok muslim yang mengusung sistem khilafah dan menolak keras sistem demokrasi yang sudah diterapkan sejak sekian lama di negara ini.

Pada dasarnya, perdebatan mengenai format sistem bernegara merupakan ranah ijtihadi yang sangat berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat. Hanya saja, umat Islam sepakat bahwa eksistensi sebuah negara amatlah penting untuk memperoleh berbagai pelayanan-pelayanan. Tanpa negara, bukan hanya kehidupan manusia yang chaos, tapi ajaran-ajaran agama juga tidak akan terimplementasikan dengan baik oleh pemeluknya. Sehingga, eksistensi suatu negara menurut pandangan Islam diproyeksikan untuk melayani agama dan kemaslahatan dunia.

Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah (hal.3), Imam al-Mawardi mengatakan;

الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ

Imamah (kepemimpinan) dibuat untuk meneruskan menggantikan tugas kenabian dalam melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. mengangkat pemimpin yang bertugas mengurusi kepentingan umat hukunya wajib.

Meski demikian, harus diakui bahwa tidak dijumai teks yang secara eksplisit mengarahkan manusia untuk membentuk negara dengan format tertentu atau aturan ketatanegaraan tertentu . Masalah ketatanegaraan menjadi ranah ijtihad yang membuka peluang kreatifitas ulama di setiap zaman. Meskipun tidak diatur secara eksplisit, Islam tetap memberikan nilai-nilai universal yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara.

Dalam buku fikih tata negara, K.H Afifuddin Muhajir merumuskan setidaknya ada lima nilai-nilai universal yang menjadi dasar kehidupan bernegara menurut Islam. (Fikih Tata Negara, 43-57)

Baca Juga: Keberislaman Ratu Saba dan Nilai Kesetaraan Hamba Allah

Al-Musawah (Kesetaraan)

Dalam Islam, manusia memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lain, yang membedakannya adalah tingkat ketakwaan sebagaimana tercantum dalam Q.S. Alhujurat [49]: 18. Prinsip kesetaraan ini muncul dari keyakinan bahwa kita semua merupakan anak keturunan Nabi Adam as. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Q.S. Alnisa’ [4]: 1,

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Artinya: Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Menurut Sayyid Thantawi, setidaknya ada dua pelajaran yang diperoleh dari ayat tersebut. Pertama; manusia sejatinya berada pada satu keyakinan, yakni bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Dia yang telah menciptakan manusia berikut segala fasilitas kehidupan di dunia. Kedua; secara asal muasal manusia semuanya setara.

Meskipun berbeda suku, bahasa dan etnis, tidak dapat dipungkiri bahwa semua manusia berawal dari satu entitas, yakni merupakan anak keturunan Nabi Adam as. Karena itulah pada dasarnya manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang lebih unggul antara satu individu lain kecuali berdasarkan ketakwaan dan kedekatan dengan Allah Swt. sang pencipta alam. (Tafsir al-Wasit, Juz 3, 20)

Menurut Ibnu Asyur, al-musawah merupakan salah satu prinsip paling dasar syariat Islam yang memungkinkan semua pemeluknya memperoleh kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban. Prinsip ini lahir dengan mempertimbangkan unsur kemanusiaan yang dimiliki oleh semua individu di dunia tanpa terkecuali. Tidak ada yang lebih manusia antara satu individe dengan indiidu lain. dari sini, islam mengakui hak hidup, hak berafiliasi kepada agama islam tanpa terkecuali. (Maqashid Syari’ah al-Islamiyah, 108)

Nilai-nilai al-musawah (kesetaraan) ini juga telah disinggung oleh Nabi Muhammad Saw. dalam sabda beliau;

الناس مستوون كأسنان المشط ليس لأحد على أحد فضل إلا بتقوى الله

Manusia itu bagaikan gigi sisir, tidak ada keutamaan satu orang atas orang lain melainkan dengan ketakwaan. HR. Al-Dailami

Islam mengajarkan umatnya unttuk tidak membeda-bedakan satu individu dengan individu yang lain berdasarkan suku, etnis dan warna kulit. Akan tetapi yang menjadi tolok ukur kemuliaan seseorang adalah ketakwaan yang terpatri dalam hati.

Prinsip ini sangat penting diterapkan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan kenegaraan. Dengan menerapkan prinsip ini, seorang pejabat dengan kedudukan yang lebih tinggi secara struktural belum tentu lebih baik daripada bawahannya. Demikian pula, pemangku kekuasaan tidaklah lebih baik daripada rakyat biasa. Standar baik tidaknya mereka dalam konteks kenegaraan adalah tergantung kontribusi dan prestasi yang diperoleh demi kemajuan bersama. Dengan prinsip ini, keadilan di setiap lapisan masyarakat akan mudah terealisasi.

Baca Juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran

Al-‘adalah (Keadilan)

Islam adalah agama yang sangat mempertimbangkan aspek keadilan dalam setiap hukum atau aturan yang disyariatkan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa Islam seluruhnya adalah keadilan, rahmat dan maslahat. Sehingga apabila ada sebuah persoalan hukum keluar dari tiga hal tersebut maka sesungguhnya ia bukanlah syariat. (I’lam al-Muwaqqi’in, Juz 3, 111 )

Selain prinsip kesetaraan, salah satu nilai universal lain yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bernegara adalag prinsip keadilan. Wacana mengenai keadilan sering kali muncul terutama terkait proses penegakan hukum. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus berusaha berlaku adil dalam setiap kebijakan dan keputusannya.

Ada banyak ayat dalam alquran maupun hadis yang menerangkan keharusan berlaku adil dalam setiap keputusan dan tindakan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q.S Alnisa’ [4]: 58)

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah sebuah keharusan untuk menerapkan prinsip keadilan dalam berbagai aspek. Dalam aspek peradilan, seorang pemimpin harus berupaya bagaimana supaya semua orang diperlakukan sama di depan huku. Jangan sampai ada istilah hukum tumpul ke atas tajam kebawah. Dalam ranah sosial kemasyarakatan, bagaimana rakyat mendapatkan akses yang sama dalam hal pemerataan ekonomi, pendidikan dan akses lainnya sehingga diharapkan terwujud kemaslahatan secara menyeluruh di tengah-tengah masyarakat.

Dialektika Teologis dalam Kisah Nabi Syuaib a.s.

0
kisah Nabi Syuaib
kisah Nabi Syuaib

Kisah para nabi dan umat terdahulu banyak disebutkan dalam Alquran sebagai bentuk perumpamaan untuk menyampaikan pesan Tuhan. Di antara kisah nabi yang sering disinggung di dalam Alquran adalah kisah Nabi Syuaib a.s. Kisah ini tersebar di berbagai tempat dengan 11 kali penyebutan. Dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur’ān al-Karīm, rincian penyebutannya terdapat pada Q.S. al-A’rāf [7]: 85, 88, 90, dan dua kali pada ayat 92; Q.S. Hūd [11]: 84, 87, 91, dan 94; Q.S. asy-Syu’arā’ [26]: 177; dan Q.S. Al-‘Ankabūt [29]: 36 (‘Abd al-Bāqī: 659).

Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran

Profil Nabi Syuaib dan Kaum Madyan

Nabi Syuaib a.s. dan kaum Madyan yang menjadi objek dakwahnya masih memiliki hubungan kekerabatan. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Nabi Syuaib a.s. adalah anak dari Mikail, keturunan dari kaum Madyan. Banyak pendapat tentang keturunan kaum Madyan dengan Nabi Syuaib as. Keragaman pendapat tersebut salah satunya dihimpun oleh Al-Qurthubī (9: 281).

Alquran juga mengafirmasi hal tersebut dengan bunyi penggalan ayat “wa ila madyana akhāhum syuaiban”. Mayoritas pakar tafsir mengatakan bahwa akhāhum pada ayat tersebut bermakna saudara dalam nasab, bukan persaudaraan pada perkara agama karena Nabi Syuaib a.s. memiliki keyakinan teologis yang berbeda dengan kaum Madyan. Perbedaan itulah yang menjadi alasan diutusnya Nabi Syuaib as., yakni untuk mengajak mereka kembali menyembah Allah swt.

Selain seruan kembali ke tauhid, kaum Madyan juga diminta meninggalkan aktivitas kecurangan dalam praktik perniagaan mereka. Kaum Madyan identik dengan kecurangan mengurangi takaran dan timbangan barang dagangan mereka. Dalam kebanyakan tulisan, aspek ini sering menjadi sorotan utama dan dihubungkan dengan aktivitas perekonomian berbasis tauhid. Sementara itu, sisi lain yang luput dari perhatian kita adalah perdebatan teologis yang disisipkan oleh pakar tafsir dalam kisah Nabi Syuaib a.s.

Baca Juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Jihad Melawan Korupsi

Mukjizat Nabi Syuaib

Perdebatan tersebut berangkat dari ketiadaan keterangan Alquran mengenai keberadaan dan jenis mukjizat Nabi Syuaib a.s. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah Nabi Syuaib tidak memiliki mukjizat sehingga statusnya berbeda dibandingkan nabi-nabi pada umumnya?

Perdebatan mengenai mukjizat tersebut berawal dari penjelasan perkataan Nabi Syuaib kepada kaum Madyan pada QS. al-A’raf [7]: 85: “qad jā’atkum bayyinatun min robbikum” (telah datang kepada kalian bayyinah dari Tuhanmu).

Dalam menjelaskan makna bayyinah, az-Zuhailī (4: 658) memberikan dua opsi pemaknaan, yakni bayyinah dalam artian ‘argumentasi yang jelas (hujjah zhāhirah)’ atau ‘mukjizat’. Bayyinah meliputi mu’jizat kauniyyah, bukti rasional (al-burhān al-‘aqlī), sesuatu yang menyalahi kebiasaan (khawāriq al-‘ādāt). al-Qurthubī (9: 282) menjelaskan maksud dari bayyinah tersebut adalah kehadiran Nabi Syuaib itu sendiri dengan syariatnya sebagai penjelasan.

az-Zuhailī (4: 661) menegaskan keberadaan mukjizat pada setiap nabi dengan menyertakan hadis yang dikutipnya dari al-Bukhārī no. 7274.

ما من الأنبياء من نبيٍّ ، إلا و قد أُعطَى من الآيات ما مِثلُه آمنَ عليه البشرُ ، و إنما كان الذي أُوتيتُه وحيًا أوحاه اللهُ إليَّ ، فأرجو أن أكون أكثرَهم تابعًا يومَ القيامةِ

“Tidak ada seorang Nabi pun kecuali telah diberi keistimewaan-keistimewaan khusus yang tidak diberikan kepada manusia lainnya sehingga orang-orang beriman padanya. Dan ada pun yang diberikan padaku adalah wahyu yang Allah turunkan kepadaku. Maka aku berharap, bahwa adalah Nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat.” 

ar-Rāzi (14: 180-181) dan az-Zamakhsyarī (2: 472), keduanya meyakini bahwa mukjizat merupakan bagian penting dan krusial dari seorang Nabi. Tanpa mukjizat, maka yang bersangkutan tidak dianggap sebagai nabi, akan tetapi hanya berpura-pura menjadi nabi saja (al-mutanabbi).

Adapun tidak ditemukannya keterangan Alquran mengenai mukjizat Nabi Syuaib, kedua mufasir tersebut berpendapat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Tidak hanya Nabi Syuaib as., beberapa nabi lainnya juga tidak diberitakan mukjizatnya oleh Alquran. Ini bukan berarti bahwa nabi yang dimaksud tidak diberi mukjizat sama sekali.

Meskipun tidak ditemukan dalam Alquran, az-Zamakhsyarī merujuk kepada suatu riwayat yang menyatakan bahwa mukjizat Nabi Syuaib  a.s. adalah tongkat yang diberikan olehnya kepada Nabi Musa a.s. Mukjizat lainnya adalah kebenaran prediksi mengenai kelahiran anak kambing berwarna putih dan hitam yang juga disampaikannya kepada Nabi Musa a.s.

Serangkaian kejadian yang diyakini sebagai mukjizat tersebut terjadi sebelum Nabi Musa a.s. menerima nubuwwah. Golongan Mu’tazilah yang diwakili oleh az-Zamakhsyari dan golongan Asy’ariyyah yang diwakili oleh ar-Rāzī berbeda pemahaman dalam mencerna kejadian tersebut.

Baca Juga: Kajian Kata Mukjizat dalam Al-Quran dan Aspek Kemukjizatan Al-Quran

Kelompok Mu’tazilah meyakini bahwa mukjizat diberikan setelah nubuwwah, sedangkan kaum Sunni tidak meyakininya harus seperti itu.  Jika mengikuti alur pikiran kaum Mu’tazilah, maka kejadian yang disebutkan di atas merupakan mukjizat Nabi Syuaib as. Sebaliknya, menurut kelompok Sunni kejadian tersebut merupakan mukjizat Nabi Musa as. karena tidak ada ketentuan mukjizat harus diberikan sesudah nubuwwah. Sebab, dalam realitasnya, ada beberapa mukjizat yang diberikan oleh Allah swt. sebelum seorang nabi menerima nubuwwah.  Kaum sunni menyebutnya sebagai irhas.

Terlepas dari kebenaran antara dua kubu aliran teologi tersebut, perdebatan keduanya menunjukkan bahwa perdebatan teologis tidak hanya dipantik dari ayat-ayat yang sedari awal memang bernuansa teologis, akan tetapi juga dapat hadir pada ayat-ayat kisah. Wallah a’lam

Tafsir Surah al-Maidah Ayat 8: Tetap Adil Meski Membenci!

0
tafsir surah al-Maidah ayat 8_tetap adil meski membenci
tafsir surah al-Maidah ayat 8_tetap adil meski membenci

Bersikap adil dan objektif kepada pihak yang tidak disenangi adalah hal yang berat. Sebab itu, Allah swt. dalam surah al-Maidah ayat 8 secara khusus memerintahkan orang yang beriman agar senantiasa menegakkan keadilan atas nama-Nya, meskipun itu terhadap pihak yang dibenci. Berikut ayat dan terjemahannya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

Baca Juga: Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong

Ayat ini oleh para mufasir dipahami dalam beragam bentuk. Misal, Ibnu ‘Asyur dan Shihab mengaitkan ayat ini dengan Q.S. an-Nisa ayat 135 karena redaksinya yang mirip. Jika Q.S. an-Nisa memerintahkan berlaku adil terhadap diri dan kerabat, maka Q.S. al-Maidah ayat 8 memerintahkan adil kepada pihak yang dibenci. (At-Tahrir wa At-Tanwir, 6: 134-136 dan Tafsir Al-Mishbah, 3:41-42)

Di sisi lain, mufasir seperti ar-Razi dan al-Qurtubi tidak mengaitkan ayat ini dengan Q.S. an-Nisa ayat 135, melainkan fokus pada penekanan bersikap adil kepada pihak yang dibenci atau yang dimusuhi. Dijelaskan pula bahwa Q.S. al-Maidah ayat 8 ini menunjukkan bahwa kekafiran seseorang bukanlah alasan seorang muslim untuk berlaku tidak adil. (Mafatih Al-Ghaib, 11: 320 dan Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 6:109-110)

Qutb menjelaskan bahwa ayat ini memang memberi tugas yang berat bagi umat muslim. Sebab, sekadar menahan diri untuk tidak berbuat jahat tidak sesulit untuk aktif bersikap adil dan objektif ketika berhadapan dengan pihak yang tidak disenangi. Maka penekanan moral bersikap adil karena Allah menjadi utama dalam hal ini. (Fi Zhilal Al-Qur’an, 3: 182-183)

Analisis kebahasaan terkait ayat ini dipaparkan oleh Shihab. Dijelaskan bahwa pendahuluan kata al-qisth dalam Q.S. an-Nisa ayat 135 karena perintah bersikap adil disebutkan dalam konteks terhadap diri sendiri dan kerabat. Sedangkan Q.S. al-Maidah ayat 8 mendahulukan niat karena Allah sebagai dasar bersikap adil, sebab hal ini lebih efektif untuk menegasikan kebencian. (Tafsir Al-Mishbah, 3:42)

Shihab menutup penafsirannya pada ayat ini dengan menjelaskan bahwa keadilan bisa menunjuk substansi ajaran Islam. Keadilan tidak harus dikalahkan oleh kasih sayang, bahkan terkadang kasih sayang tidak mampu memberi keadilan. Sebab, adil adalah menempatkan sesuatu sesuai tempatnya, sedang kasih sayang cenderung condong kepada pihak yang disayangi, meskipun belum tentu benar. (Tafsir Al-Mishbah, 3:42)

Baca Juga: Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

Perintah untuk Bersikap Objektif

Penulis melihat sisi menarik dari potongan ayat dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Potongan ayat ini bisa juga dipahami sebagai perintah untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak yang tidak disenangi. Jelas, jika kebenaran datang dari pihak yang tidak disenangi, maka kita harus menerimanya.

Perintah ini menempati posisi urgen jika memerhatikan fenomena media sosial yang telah masuk ke berbagai dimensi masyarakat. Di era media sosial, informasi menyebar dengan sangat cepat, tidak peduli apakah informasi itu benar atau tidak. Belum lagi algoritma media sosial yang berhasil membuat membuat penggunanya hanya memperoleh konten yang disenangi.

Cara kerja algoritma media sosial menggerus objektivitas masyarakat. Mereka hanya disuapi informasi yang sesuai dengan keinginannya, bukan yang sesuai dengan kenyataann. Ketika menemukan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan, maka penolakan sangat mungkin terjadi. Pada titik inilah objektivitas diuji.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 36 dan Kematian Pakar di Media Sosial

Kebenaran bisa datang dari siapa pun. Bahkan As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa salah satu bentuk keadilan adalah menerima kebenaran dari orang kafir dan ahli bid’ah. Diterimanya kebenaran itu bukan karena siapa yang mengatakannya, tetapi karena apa yang diucapkan itu adalah benar. (Taysir Al-Karim Ar-Rahman, 224)

Pendapat yang dipaparkan as-Sa’di seolah mengingatkan kita untuk bersikap adil dan objektif dalam menerima informasi. Jangan sampai karena kesenangan maupun ketidaksenangan terhadap suatu pihak menghalangi kita untuk tidak bersikap adil. Emosi tidak boleh memengaruhi kita sehingga tidak lagi adil dan objektif dalam menerima informasi maupun gagasan.

Sikap adil dan objektif menjadi hal yang harus ditegakkan karena Allah. Di sinilah letak keistimewaan akidah Islam yang mendasarkan segala perbuatan baik hanya kepada Allah. Sikap adil dan objektif karena Allah takkan bisa rusak karena adanya rasa cinta, benci, kekerabatan, kepentingan, maupun nafsu semata.

Ali bin Abi Thalib dalam hal ini memiliki kata-kata bijak yang populer:

انظر ما قال ولا تنظر من قال

Perhatikanlah apa yang dikatakan (seseorang) dan jangan lihat siapa yang mengatakannya.

Wallahu a’lam.

Jejak Bani Israil dan Tanah Palestina yang Dijanjikan

0
Jejak Bani Israil dan Tanah Palestina yang Dijanjikan

Perseteruan antara Palestina dan Israel sampai sekarang belum ada titik terangnya. Palestina dulunya bernama Ardhu Kan’an, penduduk yang sekarang menempatinya disinyalir memiliki kawasan tanah tersebut telah mengalami penindasan dan penjajahan sejak negara Israel terbentuk pada tahun 1948. Hal itu terjadi karena Israel ingin merebut Baitul Maqdis yang mereka anggap sebagai tanah yang dijanjikan.

Melihat dari penjelasan Alquran, yaitu dalam surah Almaidah dahulunya Baitul Maqdis merupakan tanah yang memang dijanjikan oleh Allah kepada Bani Israil.

يٰقَوْمِ ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خٰسِرِيْنَ (21) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi. Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.(Q.S. Al-Maidah [5]: 21-22)

Baca Juga: Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Imam Baidhawi dalam Shafwatu at-Tafaasir menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah Baitul Maqdis (Palestina), sedangkan dalam lafadz الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ mengandung arti negeri/tanah yang dijanjikan sejak nenek moyang Bani Israil dan harus dipenuhi untuk mereka. (Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, 218)

Melihat dari ayat di atas mempertegas bahwasannya dulu Palestina merupakan tanah yang dijanjikan oleh Allah untuk Bani Israil. Lewat perantara Nabi Musa, Allah memerintahkannya menyeru Bani Israil untuk memasuki tanah Palestina tersebut. Namun, pada waktu itu tanah tersebut masih dikuasai oleh kaum yang sangat kuat yaitu Kaum Amaliqah  (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, 74) yang membuat Bani Israil takut untuk masuk ke dalamnya dan merebut tanah tersebut dari mereka.

Ayat tersebut juga memerintahkan kepada Bani Israil agar tidak gentar dan takut menghadapi Kaum Amaliqah. Namun mereka tetap saja tidak berani menghadapi kaum itu, bahkan ketika Nabi Musa memerintahkan untuk memasuki negeri tersebut mereka malah ingin kembali pulang ke Mesir. Mereka mengelak tidak akan memasuki tanah tersebut hingga Kaum Amaliqah keluar terlebih dahulu. (Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, 218).

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23)

Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.”(Q.S. Al-Maidah [5]: 23)

 Kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa dua orang lelaki dari kalangan mereka menyeru untuk menyerbu Kaum Amaliqah dengan sekuat tenaga, jika mereka takut dengan  perintah Allah dan siksanya, maka mereka harus melakukannya, karena di dalamnya terdapat kebenaran dan kepastian. Keduanya berkata ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ (serbulah mereka melalui pintu gerbang negeri itu. jika kalian memasukinya niscaya kalian akan menang).

Baca Juga: Agresi Israel di Palestina Merupakan Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)

Imam Ashabuni menjelaskan dalam tafsirnya seruan kedua lelaki tersebut, yaitu:

قالا لهم : لا يهولنكم عظم أجسامهم ، فأجسامهم عظيمة وقلوبهم ضعيفة ، فإذا دخلتم عليهم باب المدينة ، غلبتموهم بإذن الله

Kedua lelaki berkata kepada mereka : kalian jangan terintimidasi oleh kegagahan tubuh mereka karena besar dan hati mereka lemah. Maka ketika kalian menyerbu pintu gerbang kota, maka niscaya kalian akan menang dengan izin Allah.) Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, 219)

قالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24)

Mereka berkata, “Wahai Musa! Sampai kapan pun kami tidak akan memasukinya selama mereka masih ada di dalamnya, karena itu pergilah engkau bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Biarlah kami tetap (menanti) di sini saja.”(Q.S. Al-Maidah [5]: 24)

Dengan kebandelannya, Bani Israil berkata bahwa mereka tidak akan memasuki tanah tersebut selama masih ada kaum Amaliqah di dalamnya. Bahkan mereka dengan congkak menyuruh Nabi Musa as, agar dia dan Tuhannya saja yang memerangi kaum Amaliqah, sedangkan mereka hanya duduk sambil melihat saja di tempat itu.

Perkataan itu mencerminkan adab yang buruk dan sudah kelewatan, perkataan yang mengarah kepada kekafiran dan penghinaan terhadap Allah dan rasul-Nya. Berbeda dengan sahabat yang baik akan berkata, “Kami tidak mengatakan kepadamu sebagaimana perkataan Bani Israil, tetapi kami berkata kepadamu: pergilah kamu dan tuhanmu, sesungguhnya kami ikut berperang bersama kalian berdua.” )Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, 219).

قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (25)

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.”(Q.S. Al-Maidah [5]: 25)

Karena perkataan Bani Israil tersebut, membuat Nabi Musa pada waktu itu langsung mengadu kepada Allah dan mengingkari perkataan orang – orang bodoh tersebut. Nabi Musa berkata: ya tuhan, aku tidak menguasai umatku, aku hanya menguasai diriku sendiri dan saudaraku Harun, jadi pisahkan antara kami dan orang – orang yang tidak menta’atimu dengan  keputusanmu yang sangat adil. )Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, hal. 219).

قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (26)

(Allah) berfirman, “(Jika demikian), maka (negeri) itu terlarang buat mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan mengembara kebingungan di bumi. Maka janganlah eng-kau (Musa) bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” .(Q.S. Al-Maidah [5]: 26)

Baca Juga: Surah Asy-Syura [42] Ayat 39-43, Warga Palestina Boleh Membela Diri!

Sebagai akhir dari peritiwa itu, kemudian di ayat selanjutnya Allah mengabulkan do’a Nabi Musa ‘alaihissalam. Bani Israil dihukum Allah dengan mengembara selama empat puluh tahun. Maknanya Allah berfirman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam: sesungguhnya Tanah Muqoddas haram untuk mereka masuki selama empat puluh tahun, dan mereka akan kebingungan karenanya, dan tidak mendapatkan petunjuk untuk keluar darinya.

Jadi, karena mereka tidak mau melaksanakan perintah Allah maka mereka dihukum, bahwa Baitul Maqdis menjadi haram untuk mereka masuki selama rentang waktu empat puluh tahun. Mereka tersesat di padang pasir, yaitu terus berjalan kebingungan di padang pasir itu dan tidak tahu arah yang dituju.(Tafsir Al-Munir, Surat Al-Maidah, Juz 6, 148)

Lafadz  فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ bermakna jangan bersedih hati terhadap mereka, karena mereka durhaka dan patut mendapat siksa. Kemudian Imam Ashobuni menjelaskan bahwa sesungguhnya mereka berjalan sepanjang malam, dan ketika mereka bangun di pagi hari, mereka mendapati diri mereka berada di tempat mereka berada. (Shafwatu At-Tafaasir Lishabuni, Juz 1, 219).

Palestina yang dulunya bernama Tanah Kan’an memang pernah menjadi tanah yang dijanjikan oleh Allah untuk Bani Israil. Namun, karena mereka sendiri tidak mau berusaha untuk mendapatkannya, dan malah menghina Allah dan Rasul-Nya. Maka dengan itu, tanah yang awalnya dijanjikan oleh Allah kepada mereka justru malah menjadi haram selama empat puluh tahun karena perbuatan mereka sendiri.

Wallahu a’laam bish shawwab.