Beranda blog Halaman 49

“Ta’wilat Ahl al-Sunnah” Kitab Tafsir Karya Imam Al-Maturidi

0
“Ta’wilat Ahl Al Sunnah” Kitab Tafsir Karya Imam Al-Maturidi

Nama al-Maturidi sepertinya sudah tidak asing lagi bagi umat Islam, khususnya mereka yang mengaku berafiliasi dengan golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Dalam bidang akidah, nama beliau kerap kali disandingkan dengan Imam Abu Hasan al-Asy’ari sebagai tokoh pionir manhaj ASWAJA. Beliau berdua tampil membela akidah para salafussalih di saat umat Islam banyak yang terjebak dalam pemikiran Mu’tazillah dan paham-paham Mujassimah.

Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Lahir di daerah Matrid, sebuah desa kecil di kawasan Samarkand yang yang sekarang menjadi bagian dari negara Uzbekistan. Tidak ada data pasti mengenai kapan tepatnya beliau dilahirkan, tetapi mayoritas ulama sepakat bahwa beliau wafat sekitar tahun 333 H. dan dimakamkan di tanah kelahirannya, Samarkand. (Al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah, Juz 2, 131)

Beliau berguru kepada beberapa ulama terkemuka di masanya seperti Abu Nasr Ahmad bin Abbas al-‘Iyadhi, Abu Bakr al-Jauzajani, Muhammad bin Muqatil al-Razi, dan Nashir bin Yahya al-Balkhi. Keempat nama tersebut merupakan murid generasi ke-4 dari Imam Abu Hanifah. Dari sini, terlihat bahwa Imam al-Maturidi berafiliasi kepada mazhab Imam abu Hanifah dan menjadi salah satu tokoh sentral dalam internal mazhab tersebut. Di bahwa bimbingannya pula lahir ulama-ulama terkemuka semisal Abu al-Qasim al-Samarkandi, al-Bazdawi, Umar al-Nasafi dan lain-lain. (Izzatu Tazkiyah, Ta’wil Teologis Abu Mansur al-Maturidi (Pembacaan Kritis atas Ayat-ayat Keesaan Tuhan), 214-215)

Baca Juga:Mengenal Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Takwil Karya al-Nasafi 

Sebagai salah satu pioner manhaj ASWAJA, beliau memiliki peran kuat dalam dinamika pemikiran umat Islam terutama perihal pemurnian akidah dari keyakinan-keyakinan menyimpang. Karena pengaruhnya yang begitu kuat inilah beliau memiliki banyak julukan, di antaranya adalah; Imam al-Huda (pemimpin hidayah), Imam al-Mutakaallimin (pemimpin kaum teolog), mushahhih aqaid al-muslimin (pentashih keyakinan umat Islam) dan Ra’is Ahl al-Sunnah (pemimpin golongan Ahl al-Sunnah). (Ta’wilat Ahl al Sunnah, Juz 1, 73)

Popularitasnya dalam bidang akidah inilah yang mungkin menyebabkan pengaruh beliau dalam bidang ilmu lain luput dari perhatian banyak orang. Padahal, selain mendalam dalam Ilmu Akidah dan Kalam, beliau juga adalah seorang fakih dan mufassir. Dalam bidang Ushul Fikih misalnya, beliau memiliki Kitab al-Jadal dan Ma’akhidz al-Syarai’ yang konon dikenal sebagai kitab Ushul Fikih yang sangat berbobot dan menjadi referensi utama dalam bidang Ushul Fikih Hanafiyah bagi generasi berikutnya. Sedangkan kitabnya dalam bidang Tafsir adalah Ta’wilat Ahl al-Sunnah atau dikenal juga dengan Tafsir al-Maturidi.

Sekilas Tentang Tafsir al-Maturidi

Dalam diskursus Ilmu Tafsir, Imam al-Maturidi memiliki pengertian tersendiri terkait istilah tafsir dan takwil. Pendapatnya sering di kutip dalam kitab-kitab ‘Ulumul Qur’an terkait distingsi makna antara tafsir dan takwil. Beliau mengatakan,

التَّفْسِيرُ الْقَطْعُ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ اللَّفْظِ هَذَا، وَالشَّهَادَةُ عَلَى اللَّهِ أَنَّهُ عَنَى بِاللَّفْظِ هَذَا، فَإِنْ قَامَ دَلِيلٌ مَقْطُوعٌ بِهِ فَصَحِيحٌ، وَإِلَّا فَتَفْسِيرٌ بِالرَّأْيِ، وَهُوَ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ، وَالتَّأْوِيلُ تَرْجِيحُ أَحَدِ الْمُحْتَمِلَاتِ بِدُونِ الْقَطْعِ وَالشَّهَادَةُ عَلَى اللَّهِ

Tafsir adalah memastikan bahwa yang maksud lafal tersebut adalah (makna) ini dan bersaksi bahwa allah bermaskud dengan lafal tersebut kepada makna itu. oleh karenanya jika terdapat dalil valid (yang mendukung asumsi tersebut) maka itu benar. Namun jika tidak ada bukti berupa dalil, itu termasuk tafsir bi al ra’yi yang dilarang. Sedangkan ta’wil adalah mengunggulkan salah satu dari sekian potensi  tanpa memberikan kepastian dan kesaksian atas allah. (Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 4, 192 )

Barangkali, atas dasar inilah beliau menamakan kitabnya dengan Ta’wilat, terlepas dari kesangsian penamaan kitab tersebut. Hal ini karena beliau memang berupaya mengelaborasi semua kemungkinan makna yang terkandung dalam ayat Alquran kemudian mengunggulkan salah satu kemungkinan makna tersebut.

Baca Juga: Mengenal Tiga Mufasir Terkenal dari Kota Nasaf, Uzbekistan

Dengan latar belakang intelektualnya yang berafiliasi kepada mazhab Imam Abu Hanifah, sekilas akan disimpulkan bahwa Imam al-Maturidi akan mengedepankan rasio dalam menafsirkan Alquran. Hal ini disebabkan karena mazhab Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl al-Ra’yi.

Akan tetapi, Menurut Majdi Ba Salum, tokoh yang mentahqiq manuskrip Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah ini tergolong kitab tafsir komparatif yang menggabungkan metode al-Tafsir bi al-Ma’tsur dan al-Tafsir bi al-Ra’yi dalam corak penafsirannya. Pasalnya, Imam al-Maturidi tidak hanya berpedoman kepada akal dan logika dalam menyingkap makna terpedam dalam ayat-ayat Alquran tetapi juga mendasarkan penafsirannya kepada naqli (Alquran, hadis atau riwayat-riwayat lainnya). (Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Juz 1 , 302)

Dalam bidang tafsir, Imam al-Maturidi dinilai sebagai ulama yang telah melampaui zamannya. Hal ini karena kitab tafsir karyanya ini menawarkan metode baru dalam ilmu tafsir yang sama sekali berbeda dengan corak tafsir klasik pada waktu itu. Bahkan ketika membaca Tafsir al-Maturidi ini seolah pembaca sedang membaca tafsir kontemporer karena memang penyajiannya yang lugas dan komprehensif.

Menurut Majdi Ba Salum, setidaknya ada tiga hal utama yang membedakan antara kitab Tafsir al-Maturidi ini dengan karya-karya tafsir klasik lainnya.

Pertama, tafsir klasik umumnya menyandarkan penafsirannya sepenuhnya pada riwayat, sehingga sebagian besar tafsir klasik memang bercorak al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Sedangkan Tafsir al-Maturidi berhasil mengnyinergikan antara al-Tafsir bi al-Ma’tsur dan al-Tafsir bi al-Ra’yi.

Baca Juga: Mengenal Tafsir al-Khalil Karya Syekh Kholil Bangkalan

Kedua, ketika kitab-kitab tafsir lain menyebutkan hadis atau riwayat lain sebagai pijakannya, mereka menyebutkan silsilah sanad dari hadis atau riwayat tersebut. Sementara Imam al-Maturidi tidak terlalu memperhatikan aspek sanad hadis maupun sosok pemilik pendapat yang dikutip, tetapi langsung to the point menyebutkan riwayat atau pendapat yang bersangkutan.

Ketiga, tidak seperti kebanyakan tafsir lain yang fokus dalam satu bidang, Kitab Ta’wilat Ahl al-Sunnah ini cukup komprehensif dan mencakup banyak bidang kajian. Selain menafsirkan makna ayat secara umum, Imam al-Maturidi juga berusaha menampilkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat tersebut; seperti kajian kebahasaan, kajian teologis, kajian hukum dan lain sebagainya. (Ta’wilat Ahl al-Sunnah, Juz 1 , 330)

Al-hasil, kitab ini merupakan kitab tafsir yang menyajikan pemaknaan komprehensif dari ayat-ayat Alquran disertai dengan kajian yang luas dalam bidang teologi, fikih dan lain sebagainya. Sebagai penutup, ada satu staetment dari Syaikh Abd al-Qadir al-Qurasyi, penulis kitab al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah. Beliau mengatakan,

وَهُوَ كتاب لَا يوازيه فِيهِ كتاب بل لَا يدانيه شيئ من تصانيف من سبقه فى ذَلِك الْفَنّ

Ia (ta’wilat) merupakan kitab yang tidak ada duanya, bahkan tidak ada satupun karangan dalam cabang ilmu ini yang mendekati keunggulannya. (Al-Jawahir al-Mudhi’ah fi Thabaqat al-Hanafiyah, Juz, 2, 130)

Keberislaman Ratu Saba dan Nilai Kesetaraan Hamba Allah

0
keberislaman Ratu Saba dan nilai keseteraan
keberislaman Ratu Saba dan nilai keseteraan

Pada tataran konseptual, tulisan ini memiliki cara pandang yang sama dengan apa yang penulis sampaikan pada Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba, yaitu mengisahkan cerita yang ada dalam Alquran dengan menautkannya pada konteks sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. Usaha ini diharap mampu mengungkap ibrah kisah Alquran tanpa khawatir terganggu oleh berbagai narasi israiliyyat.

Tulisan ini berusaha mengungkap nilai kesetaraan (al-musawah) yang dikandung surah an-Naml ayat 44, tepatnya tentang kisah keberislaman Ratu Saba. Dimulai dengan mengeksplorasi dinamika penafsiran ayat ini oleh para mufasir, lalu memilah penafsiran yang dianggap memiliki relevansi erat dengan konteks masa kini.

قِيْلَ لَهَا ادْخُلِى الصَّرْحَۚ فَلَمَّا رَاَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَّكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَاۗ قَالَ اِنَّهٗ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّنْ قَوَارِيْرَ ەۗ قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمٰنَ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ

Dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana.” Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup) kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (Q.S. an-Naml [27]: 44)

Terkait ayat di atas, para mufasir klasik, seperti Muqatil bin Sulaiman (w. 767 M) dan at-Tabari (w. 923 M) memberi uraian panjang terkait istana Nabi Sulaiman dan alasan pembangunan istana tersebut, serta pernikahan Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba. (Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Juz 3, hlm 308–309 dan Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Juz 19, hlm. 472–475)

Mufasir abad pertengahan, seperti az-Zamakhsyari (w. 1114 M.), Ar-Razi (w. 1210 M.), dan al-Qurtubi (w. 1273 M.) nampak belum bisa lepas sepenuhnya dari narasi israiliyyat. Penafsiran mereka terhadap ayat tersebut tidak jauh berbeda dengan mufasir klasik, yang membedakan mereka hanya pada porsi penggunaan riwayat israiliyyat. (Al-Kasysyaf ’an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, Juz 3, hlm 370, Mafatih al-Ghaib, Juz 24, hlm 559, dan Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz. 13, hlm. 208-213)

Baca Juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Penafsiran yang meminimalisir bahkan menolak riwayat israiliyyat bisa ditemukan dalam uraian mufasir kontemporer, seperti Az-Zuhaili, Shihab, dan Qutb. Az-Zuhaili sendiri sebenarnya menyuguhkan penafsiran yang tidak terlalu berbeda dengan mufasir abad pertengahan. Dia juga memberi segmen khusus terkait berbagai nikmat yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman yang sarat dengan riwayat israiliyyat. (At-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz 10, hlm 282–285)

Adapun Shihab setelah memberi uraian yang senada dengan tekstual ayat, dia memberi dua poin ibrah dari kisah Nabi Sulaiman dengan Ratu Saba: (1) keluasan ilmu Allah. Bagaimana pun luasnya pengetahuan dan kekayaan seseorang, dia harus menyadari dan senantiasa bersyukur sebagaimana yang dilakukan Sulaiman; (2) Ratu Saba, meski memiliki kekuasaan, tidak terhalang untuk tunduk dan patuh pada kebenaran. (Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Juz 10, hlm 230–232)

Sedangkan Qutb, menjelaskan bahwa perkataan Ratu Saba, wa aslamtu ma’a sulaimana lillahi rabb al-‘alamin (dan aku berserah diri bersama sulaiman kepada Allah, Tuhan sekalian alam) mengandung nilai kesetaraan. Iman dan ketundukan kepada Allah membuat kesetaraan antara pihak yang menang dan kalah. Iman membuat keduanya menjadi saudara di jalan-Nya, sehingga tidak ada lagi pihak yang menang dan yang kalah.

Qutb menjelaskan para pemuka Quraisy yang menentang Islam karena adanya sifat sombong meski mereka terlihat taat pada dakwah Nabi saw. Sifat sombong menyebabkan munculnya ketidaksetaraan. Qutb menutup penafsirannya dengan menegaskan sekali lagi bahwa Islam tidak memberi hirarki, baik antara dai dan mad’u (objek dakwah) maupun antara pemimpin dan orang yang dipimpin. Semuanya harus tunduk berserah diri kepada Allah. (Fi Zilal Al-Qur’an, Juz 8, hlm. 402–403)

Baca Juga: Kewafatan Nabi Sulaiman as. Dan Ketidaktahuan Jin tentang Hal Gaib

Sama-sama sebagai hamba Allah

Menarik kiranya jika memerhatikan penafsiran Qutb. Implikasi penggunaan ma’a menegaskan bahwa Ratu Saba tidak tunduk kepada Nabi Sulaiman, melainkan kepada Allah. Dia menyadari bahwa posisinya dengan Nabi Sulaiman setara di hadapan Allah. Selain itu, bagian yang penulis ingin garisbawahi adalah potongan kisah ini sebagai dasar argumen bahwa tidak ada hirarki antara dai dan mad’u dalam dakwah.

Argumen tadi bisa digunakan untuk meninjau kembali fenomena dakwah kontemporer, khususnya di Indonesia. Masyarakat ditempatkan sebagai pihak pasif yang tugasnya hanya terus menerus menerima, karena yang aktif hanyalah para dai. Konsep dakwah semacam ini cenderung membungkam potensi eskplorasi dan daya kritis akal masyarakat. (Sosiologi Dakwah: Rekonsepsi, Revitalisasi, dan Inovasi, hlm. 66-69)

Demokratisasi dalam dakwah diperlukan agar mad’u juga turut menjadi pihak yang aktif. Penulis mengamini definisi dakwah dari Ali Mahfudz sebagai aktivitas mendorong manusia pada kebaikan dan petunjuk, memerintah yang baik dan mencegah kemungkaran demi memperoleh kebahagiaan dunia akhirat. (Hidayah Al-Mursyidin ila Tariq Al-Wa’z wa Al-Khitabah, hlm 17)

Dakwah dalam tataran ideal mestinya mendorong tranfsormasi masyarakat ke arah yang lebih maslahat. Dibutuhkan peran aktif setiap individu dari masyarakat. Mesti ada dialog kritis, kreatif, dan inovatif antara dai dan mad’u sehingga upaya transformasi sosial bisa dicapai. Masyarakat yang aktif berdialektika pun pada akhirnya memiliki kesadaran kritis dalam memahami dan memecahkan masalah untuk menuju pada kondisi sosial yang lebih baik.

Misi dakwah Nabi Muhammad saw. pun adalah transformasi sosial. Rahman, cendekiawan muslim asal Pakistan dalam bukunya, Islam, menjelaskan dua hal dasar yang ditegakkan dalam dakwah Nabi, yaitu moral untuk bertauhid dan menegakkan keadilan sosial.

Moral ini bersifat abadi karena merupakan perintah Allah. Hal ini penting karena akidah tauhid pada akhirnya juga melahirkan sikap egaliter, sehingga semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan maslahat. Wallah a’lam.

‘Mutasyabih Nadzm’: Corak Baru dalam Elaborasi ‘I’jaz Al-Qur’an’

0
ilmu mutasyabih nadzm
ilmu mutasyabih nadzm

Mendengar istilah mutasyabih, mungkin akan terlintas dalam pemahaman tentang konsep kajian muhkam dan mutasyabih. Dua konsep tersebut biasa dikenal dalam literatur ulumul qur’an, akan tetapi, mutasyabih yang akan dibahas dalam tulisan ini bukanlah konsep mutasyabih yang biasa dipasangkan dengan konsep muhkam tersebut, melainkan mutasyabih nadzm.

Dalam Alquran, kerap kali ditemui ayat-ayat dengan gaya bahasa yang mirip satu sama lain. Bahkan, terdapat ayat yang dinarasikan berulang dengan gaya bahasa yang sama persis, tanpa ada perbedaan dalam bagian-bagiannya. Sebagai contoh, Q.S Al-Baqarah [2]:35 mempunyai gaya bahasa yang mirip dengan Q.S Al-A’raf [7]:19.

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

وَيٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

Kedua ayat tersebut hanya berbeda dalam beberapa bagian kalimat saja. Salah satunya adalah penggunaan konjungsi (athaf) wawu dalam ayat pertama dan fa dalam ayat kedua.

Sedangkan ayat dengan gaya bahasa yang dinarasikan ulang sama persis adalah ayat yang cukup familiar, yaitu Q.S Ar-Rahman [55]:16.

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surat tersebut. Dari ayat-ayat yang mirip dengan dua contoh pola ayat tersebut, pertanyaan analitis yang sering muncul yaitu mengapa ayat tersebut diulang-ulang? Atau mengapa dua ayat tersebut mirip, namun terdapat sedikit perbedaan bagian di antara keduanya?

Secara sederhana, keserupaan ayat-ayat dalam gaya bahasa itulah yang dimaksud sebagai mutasyabih nadzm. Sementara, sekelumit pertanyaan dan persoalan terkait kesamaan gaya bahasa tersebut dibahas dalam ilmu mutasyabih nadzm.

Dengan demikian, mutasyabih nadzm dapat didefinisikan sebagai pengulangan ayat-ayat Alquran yang memiliki gaya bahasa yang sama atau ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa serupa, namun terdapat bagian yang sedikit berbeda di dalamnya.

Perbedaan bagian yang dimaksud di sini meliputi perbedaan dalam pendahuluan atau pengakhiran kata (at-taqdim dan at-takhir), penyebutan atau tidaknya suatu bagian tertentu dalam kalimat (ad-dzikr dan al-hadzf) dan berbagai macam lainnya. Pengulangan ayat-ayat serupa tersebut bisa terjadi dalam satu surat yang sama atau dalam surat yang berbeda (Sulaiman, 2021: 8).

Baca Juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir

Elaborasi ayat-ayat mutasyabih nadzm

Pembahasan dalam ayat-ayat mutasyabih nadzm dapat dielaborasi melalui dua sisi atau dua bagian. Bagian pertama berkaitan dengan penjelasan mengapa terdapat suatu perbedaan bagian dalam ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa yang serupa. Sementara bagian kedua berkaitan dengan penjelasan mengapa terdapat persamaan atau pengulangan dalam suatu bagian dari ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa yang serupa.

Sebagai contoh aplikatif, dua ayat awal yang penulis sebutkan di atas termasuk dalam elaborasi mutasyabih nadzm bagian pertama. Pada Q.S Al-Baqarah [2]:35, menurut Ismail Ali Sulaiman, makna kata uskun (اسْكُنْ) adalah perintah menetap dengan waktu yang lama (iqamah atau istiqrar), sehingga makna ayat tersebut adalah Allah memerintahkan Nabi Adam untuk menetap lama di surga dan memakan makanan yang ada di dalamnya.

Perintah tersebut diberikan secara bersamaan, karena perintah makan tidak bergantung pada perintah untuk menetap dengan waktu yang lama. Singkatnya, kedua perintah itu tidak mempunyai relasi saling ketergantungan, sehingga kata hubungnya (athaf) menggunakan huruf wawu, bukan fa.

Sementara pada Q.S Al-A’raf [7]:19, kata uskun (اسْكُنْ) dalam ayat tersebut berasal dari kata as-sukna (السُكنَى) yang artinya menjadikan suatu tempat sebagai tempat berpijak atau kediaman (ittikhadz al-maudli’ maskanan), sehingga makna ayat tersebut adalah perintah Allah kepada Nabi Adam untuk menjadikan surga sebagai tempat berpijak atau kediamannya bersama Hawa, setelah sebelumnya Allah telah mengusir Iblis dari surga. Maka dari itu, athaf yang tepat dalam ayat ini adalah huruf fa, yang mengandung makna berurutan (tartib).

Hal ini karena tidak mungkin perintah makan dilaksanakan tanpa berpijak di surga terlebih dahulu. Dan di sisi lain, proses pergerakan dari menetap menuju makan juga tidak membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, penggunaan athaf dengan fa dalam konteks ayat tersebut menjadi relevan (Sulaiman, 2021: 127-128).

Contoh ayat yang kedua termasuk dalam elaborasi mutasyabih nadzm bagian yang kedua. Pengulangan ayat tersebut mempunyai maksud untuk mengingatkan dan menetapkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia. Ayat tersebut disampaikan secara berulang dalam konteks penyebutan secara mendetail atas karunia yang diberikan Allah atas hambanya, sehingga pengulangan ayat tersebut mempunyai maksud mengingatkan mereka atas nikmat berlimpah yang telah diberikan Allah tersebut.

Di sisi lain, pengulangan ini juga bermaksud untuk menegur dan mencaci orang-orang yang mengingkari karunianya, padahal nikmat tersebut begitu jelas dan banyak.

Dari sinilah, mutasyabih nadzm menjadi salah satu corak pemaknaan kemukjizatan Alquran, karena menjelaskannya dari sisi keindahan bahasanya (i’jaz balaghy). Corak pemaknaan i’jaz semacam ini memang tidak begitu baru, namun elaborasi cendekiawan muslim terkait aspek ini terbilang masih sedikit.

Baca Juga: Ulumul Quran: Mengenal Konsep Manthuq dan Mafhum

Sejarah perkembangan ilmu mutasyabih nadzm

Jika dilacak, embrio ilmu mutasyabih nadzm sudah ada pada abad ke dua hijriah. Hamzah bin Habib al-Zayat sudah sedikit membahas mutasyabih nadzm pada masa itu. Kemudian ilmu ini berkembang di tangan Khatib al-Iskafi dalam karyanya, Durrat at-Tanzil wa Ghurrat at-Ta’wil pada abad ke empat hijriah.

Estafet keilmuan ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Zubair pada abad ke tujuh hijriah dalam karyanya, Malak at-Ta’wil. Dua karya tersebut dianggap sebagai karya terpenting dalam sejarah ilmu ini. Sampai sekarang, karya dalam genre ini terbilang tidak cukup banyak. Salah satu karya yang ditulis di masa kontemporer adalah Shafwat al-Bayan fi Mutasyabih al-Qur’an karya Ismail Ali Sulaiman.

Sampai di sini sudah cukup jelas apa yang dimaksud dengan ilmu mutasyabih nadzm dalam tulisan ini. Namun, masih terdapat pertanyaan fundamental yang layak untuk diajukan. Bagaimana cendekiawan muslim menafsirkan atau mencari penjelasan rahasia di balik ayat-ayat mutasyabih nadzm tersebut?

Cendekiawan muslim dalam mengelaborasi rahasia dibalik ayat mutasyabih nadzm berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Alasannya cukup logis dan jelas, yaitu bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan dirinya satu sama lain (al-qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan), sebuah kaidah yang cukup ma’ruf dalam metode penafsiran.

Dari logika argumentasi tersebut, maka konsep-konsep lain dalam metode penafsiran juga dijadikan dasar dalam menyingkap mutasyabih nadzm. Di antaranya adalah asbab nuzul dan Hadits Nabi yang memang salah satu fungsinya adalah penjelas Al-Qur’an. Begitu juga bahasa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, syair Arab dan balaghah.

Kajian tentang mutasyabih nadzm ini bisa dibilang penting dan sekaligus menarik, dengan mengetahuinya, pembaca Alquran akan lebih sensitive dengan ayat-ayat mutasyabih nadzm dan pemaknaan dibaliknya, selain memahami makna Alquran secara umum.

Di sisi lain, ilmu mutasyabih nadzm sebagai ilmu pengetahuan juga menarik untuk ditunggu perkembangannya, mengingat karya dalam genre ini terhitung masih sedikit. Penafsiran dalam ranah mutasyabih nadzm ini termasuk dalam ranah ijtihadi, sehingga sangat terbuka untuk adanya perkembangan elaborasi. Menarik untuk ditunggu kerja-kerja intelektual lebih lanjut para cendekiawan muslim yang menempuh jalan ini. Wallah a’lam.

Kritik Syekh Al-Sya’rawi Terhadap Rasionalisasi Tragedi Tentara Bergajah Abrahah

0
Kritik Syekh Al-Sya’rawi Terhadap Rasionalisasi Tragedi Tentara Bergajah Abrahah

Sudah umum diketahui oleh seorang muslim bahwa Nabi Muhammad Saw. lahir di tahun gajah. Dinamai tahun gajah karena pada waktu itu terjadi peristiwa besar berupa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan bergajah dari Yaman di bawah komando Abrahah. Mereka datang dan mengepung kota Mekkah dengan tujuan untuk menghancurkan Ka’bah, sebab Raja Abrahah berencana membangun pusat ibadah baru di Yaman. Maka dari itu, supaya proyek besarnya ini sukses, ia berniat untuk menghancurkan Ka’bah sebagai pusat peribadatan sehingga orang-orang akan mendatangi pusat ibadah baru yang ia akan bangun di nantinya.

Upaya yang dilakukan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah berakhir naas, karena yang ia hadapai adalah Tuhan Penguasa alam semesta, pemilik Rumah Suci tersebut. Kisah kebinasaan Abrahah beserta pasukan besarnya ini diabadikan oleh Allah Swt. dalam Alquran surah Alfil,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)

Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Q.S. Alfil [105]: 1-5

Baca Juga: Kisah Pasukan Bergajah dan Burung Ababil dalam Surah Al-Fîl

Kisah mengenai peristiwa penyerangan kota Mekkah oleh tentara Abrahah sudah masyhur di kalangan umat Islam. Peristiwa tersebut diyakini sebagai kejadian luar biasa (khawariq al-‘adah) yang menunjukkan bahwa kemahakuasaan dan pembelaan Allah Swt. kepada Rasulullah. Ketika Ka’bah yang akan diserang oleh pasukan Abrahah yang terkenal adidaya pada waktu itu diperlakukan sedemikian rupa karena berani melawan syi’ar Allah, maka Nabi Muhammad Saw. juga pasti akan mendapatkan pertolongan Allah Swt. dalam menghadapi para penentangnya. [Ruh al-Ma’ani, Juz 15, 464]

Akan tetapi, peristiwa luar biasa seperti yang diceritakan berbagai literatur tersebut ternyata tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian kalangan. Sebut saja misalnya Syekh Muhammad Abduh yang berupaya merasionalkan tragedi yang menimpa pasukan bergajah tersebut dengan berbagai asumsi logis dan dapat dicerna akal. Menurutnya, Alquran sudah menceritakan peristiwa tersebut secara umum dan harus diyakini. Namun, yang terjadi bukanlah seperti apa yang selama ini diyakini banyak orang.

Dalam kitab Tafsir Juz Amma-nya, beliau berupaya merasionalisasikan kejadian tersebut bahwa sebenarnya mereka diazab dengan wabah penyakit kulit yang mematikan. Burung ababil yang disebutkan dalam ayat tersebut divisualisasikan sebagai lalat pembawa bakteri mematikan yang menyerang menggerogoti tubuh mereka. Akibatnya mereka terkena semacam wabah penyakit cacar mematikan sampai-sampai kulit dan daging mereka rontok bagaikan dedaunan yang dimakan ulat. (Tafsir Juz ‘Amma, 157-158)

Baca Juga: Ibrah Surah Alfil: Iri dan Dengki Penyebab Kehancuran

Sanggahan Syekh Mutawalli al-Sya’rawi

Kemunculan wacana untuk merasionalisasikan kejadian-kejadian supranatural ini dimulai pada masa kebangkitan pergerakan Islam di era modern. Mereka berupaya mengukur tindakan tuhan dengan logika manusia, sehingga apapun yang irasional akan mereka takwil sedemikian rupa supaya agar dapat dicerna akal manusia. Tokoh cendikiawan muslim pelopor gerakan ini didominasi oleh para pembaharu Islam seperti Syaikh Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh misalnya.

Syekh al-Sya’rawi merupakan salah seorang ulama kontemporer yang menolak penafsiran dengan mengedepankan rasio terkait tragedi tentara bergajah Abrahah. Menurutnya, ayat-ayat serupa yang mengisahkan tentang peristiwa di luar nalar harus dipahami dengan pendekatan suprarasionalistik. Kejadian seperti itu tidak bisa diukur dengan logika dan sebab akibat yang biasa dipahami manusia, melainkan harus dikembalikan kepada aturan Tuhan. Analogi sederhananya, tidak tepat jika materi atau kurikulum anak SD diberikan kepada mahasiswa doktoral misalnya. (Tafsir al-Sya’rawi, Juz 20, 437)

M. Quraish Shihab mengutip bahwa al-Sya’rawi memperkuat argumentasinya dengan kajian kebahasaan. Menurut al-Sya’rawi, jika dikatakan bahwa kehancuran dan kebinasaan pasukan gajah disebabkan oleh bakteri, butuh waktu cukup lama bahkan bertahun-tahun sampai mereka terbunuh dalam keadaan mengenaskan seperti digambarkan dalam ayat. Padahal, Alquran menggambarkan kondisi mereka setelah dilempari batu sijjil dengan menggunakan redaksi فجعلهم, bukan ثم جعلهم. Dalam teori bahasa arab, huruf fa’ menunjukkan adanya jarak waktu yang tidak terlalu lama antara dua peristiwa. (Tafsir al-Misbah, Juz 15, 623)

Baca Juga: Tafsir Surat Al Fil Ayat 1-5

Di sisi lain, ayat-ayat yang berisi kisah ajaib serupa sebenarnya ingin menunjukkan kekuasaan Allah Swt. yang tidak bisa diukur dengan logika manusia. Memang tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian-kejadian luar biasa seperti kisah kehancuran tentara Abrahah tersebut terjadi sesuai dengan hukum sebab akibat. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya kejadian tersebut merupakan ‘perbuatan Allah’ yang tidak dapat diukur dengan ukuran rasional yang mengandalkan sebab akibat.

Wallahu a’lam.

Reinkarnasi Tradisi Tabaruj Jahiliah di Era Modern

0
Reinkarnasi Tradisi Tabaruj Jahiliah di Era Modern
Reinkarnasi tradisi tabaruj jahiliah di era modern.

Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan perempuan di zaman jahiliah, salah satunya adalah tradisi tabaruj. Tabaruj yaitu menampilkan kecantikan wajah, keelokan bentuk tubuh, dan kemewahan busana yang tujuannya untuk menarik perhatian dan mengharapkan pujian dari orang lain.

Kecenderungan untuk memperindah diri yang berlebihan itu juga mengejawantah pada diri wanita dan laki-laki masa kini, bahkan tak sedikit dari mereka yang mengelurkan biaya fantastis untuk hal tersebut. Apalagi dengan hadirnya media sosial semakin mempermudah untuk mendapatkan validasi dari orang lain, terutama lawan jenis. Fenomena tabaruj jahiliah menjadi topik penting yang dibahas dalam Alquran. Salah satunya dalam Q.S. Al-Azhab ayat 33 berikut.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Menggunakan Benda Berhiaskan Emas dan Perak

Wahbah az-Zuhaili menafsirkan tabaruj sebagai menampilkan perhiasan dan bagian-bagian yang menarik dari tubuh semisal dada dan leher (Tafsir al-Munir, juz 9, h. 331). Kata tabarruj jahiliah disifati dengan al-ula, yakni masa lampau. Terdapat berbagai penafsiran tentang “masa lalu” tersebut. Menurut Quraish Shihab, yang lebih tepat adalah masa sebelum datangnya Islam. Di lain sisi, jika ada “jahiliah yang lalu” mengisyaratkan adanya “jahiliah kemudian”, yaitu masa setelah Rasulullah (Tafsir al-Misbah, h. 466).

Memahami Tabaruj Konteks Sejarah Masa Jahiliah

Tabaruj jahiliah mencangkup hal-hal yang menimbulkan syahwat kepada lawan jenis. Istilah jahiliah merujuk kepada perilaku yang belum mengenal norma atau akhlak. Menurut Fazlur Rahman, pada masa itu perempuan ditempatkan sebagai pemuas nafsu belaka, maka akhirnya perempuan mengaktualisasikan dirinya sebagaimana yang diinginkan masyarakat, sehingga melakukan tabaruj. Di sisi lain, tindakan ini pada akhirnya akan membuat penindasan kepada perempuan menjadi tidak berkesudahan, sebab tabaruj sesungguhnya bukan solusi untuk menunjukkan eksistensi diri di tengah masyarakat yang demikian.

Larangan tabaruj sesungguhnya memberikan makna tersembunyi bahwa Allah melarang para perempuan untuk berbuat tidak wajar kepada lawan jenisnya, karena kedua jenis kelamin ini setara, seyogianya keduanya sama-sama bersikap wajar terlebih di ranah sosial. Selain itu, larangan tabaruj ini juga mengajarkan baik laki-laki dan perempuan untuk mengenakan pakaian yang sederhana dan menjaga kehormatannya. Alquran juga menegaskan bahwa manusia yang derajatnya tinggi di sisi Allah sesungguhnya adalah manusia yang bertakwa kepadaNya.

Kontekstualisasi Tabaruj di Zaman Sekarang

Tingkah laku jahiliah dahulu terjadi kembali pada zaman modern ini. Bahkan dikatakan perilaku jahiliah pada era modern ini lebih buruk daripada kejahilan masyarakat Arab 14 abad yang lalu. Sebab, perilaku tersebut saat ini dapat disaksikan oleh penonton dari seluruh dunia, dibandingkan pada zaman dahulu yang skalanya jauh lebih kecil. Menariknya perbuatan tabaruj yang tadinya adalah keterpaksaan, di zaman ini menjadi kesenangan bagi pelaku. Hal itu dikarenakan seseorang mendapat perlakuan yang menyenangkan dari lawan jenis dan merasa senang sebagai tontonan serta idola. Perubahan ini yang menjadi titik berlakunya eksploitasi lebih besar khususnya bagi wanita yang bahkan dilakukan dengan berbagai cara.

Di lain sisi dapat terlihat banyak fenomena yang dialami kaum muslimin. Di antaranya sangat senang bertaklid pada hal-hal yang buruk, seperti sekarang ini menjamur budaya ikut-ikutan meniru orang Barat. Salah satunya penggunaan busana sebagaimana gaya berpakaian orang-orang Barat yang cenderung memperlihatkan aurat kepada khalayak umum. Hal tersebut sangat berbeda dengan budaya dan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama Islam, padahal itu menimbulkan dampak negatif bagi dirinya dan orang lain.

Baca juga: Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam

Islam sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada manusia dan itu terlihat dari ajarannya yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu nilai tersebut adalah kesetaraan. Semua manusia dipandang sama, berasal dari Yang Satu; dan yang membedakan adalah kualitas takwanya.

Dari penjelasan ayat di atas, tabaruj memang lebih menyoroti perempuan untuk tidak melakukan perilaku sebagaimana tabaruj jahiliah terdahulu. Maksud dari ayat tersebut yaitu untuk menjaga kemuliaan wanita. Meskipun begitu pesan ayat tersebut universal sehingga konteks ayat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan di zaman sekarang, tetapi larangan tabaruj adalah juga tanggung jawab laki-laki. Jadi keduanya perlu mengambil peran.

Memang solusi untuk tabaruj ini tidak bisa instan, tetapi membutuhkan usaha besar supaya menghindarkan diri dari perilaku tabaruj. Akan lebih baik jika pengajaran dilakukan sejak dini dan sejak dalam pikiran alam bawah sadar. Dengan membangun mental yang sehat, juga pendidikan terhadap anak-anak akan menjadikan mereka tumbuh menjadi pribadi yang memahami tubuhnya sendiri secara biologis dan psikologis sehingga tindakan tabaruj dapat terhindarkan.

Baca juga: Nasib Tragis Perempuan di Masa Arab Jahiliah

Selain itu, laki-laki dan perempuan dewasa hendakanya menjadikan Rasulullah dan ulama shalihin sebagai idol, khususnya dalam tren fashion; tidak berlebihan dalam berpakaian supaya tidak menimbulkan perhatian publik dan yang pasti juga tidak bertujuan untuk ria.

Tidak kalah penting, menjaga pandangan (ghadd al-bashr), yang tidak hanya sebatas ketika melihat bukan mahram yang dijumpai secara face to face. Namun, menundukkan pandangan pada era medsos dapat dilakukan dengan cara menghindari tontonan atau unggahan foto dan video yang tidak baik. Hal-hal seperti itu seharusnya dilakukan dan ditanamkan kesadaran pada jiwa setiap muslim, sebab tabaruj akan mengakibatkan berkurang atau bahkan hilangnya rasa malu, kehormatan, dan muruah sebagai seorang manusia. Wallahu a’lam. []

Khazanah Alquran tentang Hieroglif Peradaban Mesir Kuno

0
Khazanah Alquran tentang Hieroglif Peradaban Mesir Kuno
Ilustrasi hieroglif.

Alquran telah menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah berabad-abad sebelum ditemukan oleh manusia, salah satunya terkait kajian ilmu arkeologi. Salah satu khazanah Alquran yang diturunkan lebih dari 1.400 tahun yang lalu ternyata sudah lebih dahulu membahas hieroglif Mesir Kuno yang baru ditemukan di abad ke-19. Adalah ayat yang termaktub dalam Q.S. ad-Dhukhan [44]: 29, mengomentari tentang tulisan yang terukir di makam Fir’aun.

Sejarah Penemuan Hieroglif Mesir pada Rosseta Stone

Kebudayaan Mesir Kuno lenyap sejak dijajah Bangsa Romawi. Selama 1.800 tahun huruf hieroglif tidak digunakan, sampai akhirnya tidak ada yang bisa membacanya lagi. Pada Juli 1799, seorang insinyur militer Napoleon Bouchard sedang memimpin pembongkaran serta rekonstruksi benteng Delta Nil di Rosetta dan menemukan lempengan tiga prasasti, yang masing-masing tampak sangat berbeda (Susmihara, Sejarah Peradaban Dunia I, h. 51). Satu ditulis dalam bahasa Yunani klasik; satu lagi dalam hieroglif Mesir; dan yang ketiga dalam apa yang dianggap Syriac, tetapi kemudian diidentifikasi sebagai Demotik (aksara Mesir yang digunakan untuk korespondensi sehari-hari) (John Ray, The Rosetta Stone and The Rebirth of Ancient Egypt, h. 3).

Bouchard segera menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang penting dan membawanya ke Institut d’Égypte di Kairo untuk pemeriksaan lebih lanjut. Karena menurutnya prospek itu sangat menarik, batu tersebut dikirim ke Society of Antiquaries di London di mana salinannya dibuat dan disebarluaskan ke kota-kota dan universitas di seluruh dunia. Lalu berbagai pihak berlomba-lomba untuk menerjemahkan bahasa Yunani dan menggunakannya untuk mengungkap rahasia dari dua bahasa lainnya (Richard Parkinson, Cracking Codes: the Rosetta Stone and Decipherment, h. 32).

Baca juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Seorang pemuda bernama Jean Francois Champollion. Meskipun umurnya masih muda, ia dapat berbahasa Yunani, Latin, Ibrani, Arab, Syiria, dan Palawa berkat pelajaran dari kakaknya. Champollion diajak kakaknya pergi ke Museum Benda Purbakala Mesir. Champollion tertarik pada tulisan hieroglif yang terukir pada tutup makam Fir’aun. Terdapat tulisan simbol burung, ular, serangga, alang-alang, kapak, orang sedang duduk, dan lain-lain. Dari situlah momen pencerahan Champollion pada tahun 1822 dapat membaca tulisan hieroglif. Sejak itu, seluruh dunia tahu cerita tentang kehidupan orang Mesir Kuno (R. Parkinson, Cracking Codes: the Rosetta Stone and Decipherment, h. 37).

Namun sebenarnya butuh beribu-ribu tahun untuk memahami hieroglif, seperti diberitakan dalam artikel yang bertajuk The Rosetta Stone, The Real Ancient Codebreakers dalam bbc.com, bahwa para cendikiawan Arab sudah terlebih dahulu bergulat dengan hieroglif yang mereka temukan pada beberapa monumen Mesir dan lukisan pada makam. Seperti seorang alkemis Irak bernama Ibn Wahshiyya yang mengalihkan perhatiannya untuk menerjemahkan hieroglif dengan harapan menemukan kembali pengetahuan ilmiah yang hilang. Juga nama lain, Athanasius Kircher dan Thomas Young yang bekerja tanpa kenal lelah untuk membongkar misteri skrip kuno tersebut.

Ukiran doa-doa di Piramida Fir’aun oleh Rakyatnya

Hieroglif juga terukir di dinding piramida. Piramida adalah makam para Fir’aun, gelar untuk raja-raja Mesir Kuno. Rakyat Mesir Kuno percaya bahwa Fir’aun adalah keturunan dewa langit, Dewa Ra. Ketika Fir’aun meninggal dunia, untuk mengiringi arwah Fir’aun mereka mengukir doa-doa di dinding piramida. Doa-doa itu ditulis dengan huruf mirip gambar orang sedang melakukan kegiatan, binatang, tanaman, dan lain-lain yang mana huruf itu sekarang disebut hieroglif. Salah satunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Langit Menangisimu. Bumi Menangisimu. Saat Kamu Naik Menjadi Bintang.” (C Jung, Vol 5, h. 257).

Mereka meyakini Fir’aun yang dianggap hebat, jika meninggal dunia maka ia akan naik menjadi bintang di langit. Di langit, para Fir’aun akan mengamati manusia di Bumi. Piramida yang berbentuk lancip di ujungnya, akan memudahkan para Fir’aun untuk meluncur ke langit dan menjadi bintang.

Komentar Alquran kepada Bangsa Mesir Kuno

Menariknya adalah jauh sebelum penguraian hieroglifnya Champollion di Batu Rosetta, sehingga memfasilitasi penerjemahan ratusan teks lain yang sebelumnya tidak dapat dipahami selama berabad-abad, khusunya hieroglif yang terdapat di piramida. Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah, di mana beliau jauh dan tidak pernah sekalipun pergi ke Mesir, juga tidak mengetahui betul seluk-beluk piramida―telah menyebutkan pasal tersebut.

Redaksi ayat dalam Alquran berikut ini hakikatnya mengomentari keyakinan masyarakat Mesir Kuno yang telah dijelaskan di atas. Ayat tersebut berbunyi;

فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنْظَرِينَ

Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka bukan orang yang ditangguhkan (Q.S. Ad-Dukhan [44]: 29).

Baca juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia

Sebelumnya dijelaskan dalam banyak kitab tafsir, Rasulullah mengabarkan bahwa setiap hamba mempunyai dua pintu di langit; sebuah pintu untuk jalan turun rezekinya, dan yang lainnya untuk naiknya amal. Apabila hamba yang bersangkutan meninggal dunia, maka kedua pintu itu merasa kehilangan dan menangisi kepergiannya.

Sebagaimana diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, ada seorang lelaki yang bertanya kepada Ibnu Abbas “Hai Abul Abbas, bagaimanakah pendapatmu tentang firman Allah, ‘Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh.’ Maka apakah keduanya itu dapat menangisi kematian seseorang?”

Ibnu Abbas menjawab, “Ya, sesungguhnya tiada seorang makhluk-pun melainkan mempunyai pintu di langit yang darinya turun rezeki dan melaluinya amal perbuatannya dinaikkan. Maka apabila seorang mukmin meninggal dunia, pintunya yang di langit tempat naik amalnya dan turunnya rezeki ditutup, lalu ia merasa kehilangan dan menangisinya.”

Baca juga: Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air

Lanjut Ibnu Abbas, “Dan tempat dia biasa berzikir kepada Allah dan mengerjakan salatnya di bumi tatkala dia meninggal, merasa kehilangan dan menangisinya. Dan sesungguhnya kaum Fir’aun itu tidak mempunyai jejak-jejak yang baik di bumi, tidak pula memiliki kebaikan yang dinaikkan ke langit kepada Allah. Maka langit dan bumi tidak menangisi kematian mereka.” (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz VIII, h. 323-324)

Begitulah kematian Fir’aun dan kaumnya dinilai sangat hina untuk ditangisi oleh langit dan bumi. Bahkan dikatakan bahwa langit dan bumi bergembira karena kebinasaan dan lenyapnya Fir’aun dan kaumnya, sebab mereka tidak meninggalkan jejak apa pun selain apa yang membuat kelam wajah mereka dan mengharuskan mereka mendapatkan laknat serta kemurkaan seluruh alam.

Baca juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Sebagai refleksi, Allah membukakan lorong pengetahuan untuk manusia, meskipun memerlukan proses dan waktu yang sangat panjang, seperti dalam pembahasan ini; untuk mengetahui bahasa purba zaman Fir’aun. Peradaban mereka berbeda dengan peradaban umat lain, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan lainnya yang telah dihancurkan dan hanya ditinggalkan sisa sedikit saja untuk memberitahu bahwa peradaban itu memang ada, tetapi tidak banyak informasi yang bisa didapat.

Maka dari itu seorang muslim harus memahami, bahwa alasan Allah menyelamatkan jasad dan banyak situs peninggalan Fir’aun yang juga kisah itu disebutkan pada banyak ayat dalam Alquran, tidak lain yaitu untuk menjadi pengajaran dan teladan pada umat kemudian. Namun pada faktanya, tetap saja sebagian dari manusia tidak mau mengerti dan memahami. []

Open Minded dan Batasannya

0
Open Minded dan Batasannya

Sebagai istilah yang pernah gencar di tengah masyarakat, pasti tidak asing jika mendengar dua kata ini, yaitu open minded. Open minded didefinisikan sebagai kesediaan seseorang untuk mengambil sudut pandang baru dengan berpikir secara terbuka dalam menyikapi segala informasi, gagasan, opini, ide, dan argumen. Sederhananya, dapat dipahami sebagai penerimaan berbagai gagasan baru. Kemampuan ini mampu memicu seseorang lebih rasional, kritis, dan menemukan solusi dengan mudah setiap kali dihadapkan dengan suatu masalah.

Seringkali ditemukan di kalangan muda saat ini, apabila mendapati orang yang menolak suatu pandangan, langsung ditunjuk sebagai close-minded, intoleran, dan tidak mampu mengimbangi perkembangan zaman. Apakah demikian dibenarkan? Dilansir dari jf.umm.ac.id yang ditulis oleh Reza Fadilah Ardhani, bahwa menurutnya, open minded merupakan sikap penerimaan terhadap perbedaan sudut pandang, bukan turut menganggapnya benar.

Baca Juga: Inklusivitas Kebenaran dalam Islam

Open Minded Perspektif Al-Qur’an: Bertoleransi Tanpa Meninggalkan Prinsip

Open minded merupakan bagian dari toleransi. Menghargai pemikiran seseorang tanpa menjatuhkan, sebagaimana dalam Q.S. Albaqarah [2]: 111 berikut.

وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰىۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”

Dalam ayat ini, menanggapi perkataan orang Yahudi dan Nasrani, Nabi Saw tidak langsung membantah, melainkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memberikan argumen yang mereka anggap benar, dengan mengatakan qul hātū burhānakum in kuntum ṣādiqīn.

Kata burhān (bukti kebenaran) dalam Tafsīr Jalalain (hal. 23) dimaknai dengan ujjah, yaitu argumentasi yang kuat. Lebih jelas lagi, al-Qurthubi dalam Tafsīr al-Qurubī (Juz 2, 75) memaknai kata burhān sebagai landasan atau bukti yang mendatangkan keyakinan. Atau hemat penulis, mengupayakan diri agar lawan bicara mampu meyakini adalah cara memaksimalkan argumen, mengumpulkan bukti-bukti yang dianggap benar.

Apa yang diri sendiri anggap benar, tidak lantas menjatuhkan orang yang memiliki pandangan berbeda. Melainkan dengan menyediakan ruang kepada lawan bicara untuk berdialog dan berdiskusi secara terbuka. Hal itu akan mampu memunculkan pemikiran baru, meski tidak jarang pada akhirnya tetap pada keyakinan dan argumen masing-masing.

Selain itu, sikap terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open minded ini telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dalam Q.S. Alshaffāt [37]: 102 berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim a.s. merupakan sosok seorang ayah yang demokratis. Beliau menjadikan dialog dan musyarawah sebagai cara utama mengomunikasikan suatu permasalahan, tidak bersikap otoriter. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mibāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (hal. 280), menjelaskan bahwa informasi yang disampaikan melalui mimpi tersebut bukan semata-mata bentuk paksaan bagi Nabi Ismail a.s, melainkan untuk Nabi Ibrahim a.s. agar berkehendak melakukan apa yang ia mimpikan dengan terlebih dahulu menanyakan kepada putranya, Ismail as.

Tindakan Nabi Ibrahin a.s. tersebut menggambarkan sikap keterbukaan antara dua belah pihak. Hal ini ditujukan supaya permasalahan mampu terpecahkan dan menggapai suatu kemaslahatan. Namun, sikap open minded tidak serta merta bebas tanpa batas. Agama memiliki batasan-batasan agar sikap keterbukaan tidak lantas menjadi kebablasan dan mengubah pola pikir kita yang mengarahkan kepada hal-hal yang melanggar syariat.

Disebutkan dalam Q.S. Alkafirun [109]: 6.

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

Untukmu agamamu, dan untukku agamaku

Ditafsirkan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsīr al-Munīr (Juz 30, 443), bahwasanya bagi kalian kesyirikan atau kekafiran, dan bagiku agamaku yaitu tauhid, ketetapan iman, atau Islam. Sementara agama mereka yaitu isyrāk, yaitu kemusyrikan.

Sehingga membangun batasan-batasan, bahwa orang-orang non-muslim bebas melaksanakan agama mereka tanpa melampaui batasan agama kita. Dan kita sebagai orang Islam melaksanakan perintah-Nya sebagaimana mestinya, tanpa melampaui batasan agama mereka.

Ini menjadi prinsip bagi setiap muslim untuk senantiasa menjaga iman dan Islam. Kehadiran perbedaan agama tidak lantas menjadikan seorang muslim untuk memaksanya se-iman. Masing-masing orang memiliki hak untuk memeluk agama sesuai kehendak hati nuraninya. Menghargai tanpa melepas batasan, membatasi tanpa bersikap rasis. Menjadi bertoleransi tanpa meninggalkan prinsip.

Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan

Batasan Open Minded

Agama hendaknya menjadi pijakan kuat bagi setiap pemeluknya. Menerima pandangan baru dalam sebuah komunikasi dua arah yang terbuka, seseorang perlu memegang kuat prinsip agama. Artinya, tindakan menerima pertukaran pandangan atau pemikiran baru, jika kontra terhadap prinsip, jadikan sebatas penambah wawasan. Prinsip yang dipegang hanya bertugas membenarkan atau tidak, yang mana cukup diketahui diri sendiri.

Perlu digarisbawahi, bahwa open minded ini bukan berarti menerima segala bentuk perubahan, apalagi melampaui arah melanggar norma dan batasan agama. Open minded  lebih tepatnya diarahkan pada pengertian sikap seseorang untuk fokus menerima ‘pemahaman’ yang diberikan orang lain. Dalam artian, terbuka menerima setiap argumen atau pendapat orang lain dengan membatasi diri atas prinsip yang dipegang, yaitu menyetujui atau tidak.

Sekali lagi, prinsip, khususnya prinsip agama, menjadi alat seseorang untuk membatasi sikap open minded. Tidak serta merta pertukaran argumentasi menjadikan keyakinan semakin goyah. Ber-open minded-lah tanpa menjatuhkan, memperhatikan etika dan moral, serta memegang prinsip yang ditegakkan.

Kesimpulan

Sikap keterbukaan atau open minded hendaknya menjadi ruang bagi seseorang untuk bertukar dan menambah wawasan dengan tidak melepas prinsip agama sebagai pijakan. Pentingnya pijakan ini supaya tidak terjerumus pada pola pikir yang bertentangan dengan agama, lebih-lebih direfleksikan dengan tindakan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surah al-Hasyr Ayat 18: Tahun Baru Sebagai Momen Introspeksi

0
tafsir surah al-Hasyr ayat 18_tahun baru sebagai momen introspeksi
tafsir surah al-Hasyr ayat 18_tahun baru sebagai momen introspeksi

Tidak lama lagi kita akan memasuki tahun baru 2024. Sebagaimana lumrahnya, pergantian tahun merupakan salah satu momen yang paling dinanti oleh setiap orang. Perayaan pergantian tahun dengan segudang kemeriahan seakan menjadi rutinitas tahunan yang tak pernah terlewatkan. Pesta kembang api dan siulan terompet di malam tanggal satu menjadi simbol terbukanya lembaran baru disertai harapan dan cita-cita di tahun berikutnya.

Ikut merayakan peringatan tahun baru dengan segala kemeriahannya tidak menjadi masalah, asalkan tidak ada unsur-unsur yang melanggar aturan agama. Namun, terlepas dari itu semua, ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar pesta kembang api dan segala glamor tahun baru. Di momen tersebut, orang-ornga yang merayakan diharapkan mampu memaknai pergantian tahun secara bijak dan mejadikannya sebagai bahan evaluasi untuk menjalani hidup lebih baik dan berkualitas di tahun berikutnya.

Sebagai umat beragama yang percaya akan adanya hari pembalasan, seyogyanya kita harus selalu meng­-upgrade keimanan dan amal kebaikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pasalnya, di akhirat nanti kita semua akan mempertanggungjawabkan atas segala hal yang kita perbuat selama hidup di dunia. Maka dari itu, kita diwanti-wanti untuk senantiasa melakukan instrospeksi diri guna mengarungi kehidupan yang lebih baik di hari esok.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya 90: Etika Berdoa dan Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun Beserta Terjemahannya

Dalam surah al-Hasyr, Allah swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [الحشر: 18]

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” Q.S. Al-Hasyr [59]: 18

Setidaknya terdapat dua hal yang menjadi pesan Alquran untuk umat muslim dalam ayat ini. Pertama, perintah untuk selalu bertakwa kepada Allah; kedua, perintah untuk senantiasa melakukan evaluasi dan introspeksi diri demi menghadapi hari esok.

Menurut para mufassir, kata غد (hari esok) pada ayat di atas merupakan bahasa kiasan yang bermakna hari kiamat. Hari kiamat diungkapkan dengan istilah غد (besok) karena hari kiamat pasti akan terjadi, dan kepastian inilah yang membuat seolah-olah ia sudah sangat dekat meskipun waktunya entah kapan.

Di samping itu, kehidupan manusia secara diametral terbagi menjadi dua fase utama; yakni fase kehidupan dunia dan fase akhirat. Atas dasar ini maka kehidupan di dunia adalah apa yang kita jalani hari ini sedangkan hari esok adalah kehidupan akhirat yang menanti. (Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan, juz 29, hal. 153)

Menurut Imam al-Maturidi, imam besar Ahlusunnah wal Jamaah, siapa pun yang mengamalkan perintah yang terkandung dalam ayat ini maka dia akan selamat dari tanggung jawab di hari akhirat. Sebab, keyakinan yang terpatri dalam hati bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti menjadi faktor penghalang untuk melakukan hal-hal yang tidak diridai.

Lebih lanjut beliau menandaskan bahwa ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa manusia harus memikirkan apa yang harus dilakukan besok. Ada kalanya dia harus bertaubat karena perbuatan dosa yang pernah dikerjakan kemarin, atau bersyukur atas nikmat dan taufik sehingga kemarin sempat melakukan perbuatan baik.

Baca Juga: Pentingnya Muhasabah dan Perintah dalam Al-Quran dan Hadis

Selain itu, ayat tersebut juga dapat dimaknai sebagai perintah untuk hati-hati dalam bertindak dan memkirkan akibat dari tindakan tersebut di masa mendatang. Sekiranya hal tersebut nantinya berbuah kebaikan dan keselamatan, maka lakukanlah. Namun jika hal itu dapat menggiring seseorang kepada kerugian maka jangan dilakukan. (Tafsir al-Maturidi, juz 9, hal. 598)

Syahdan, Ibrahim bin Adham pernah berkisah bahwa Imam al-Hasan al-Bashri pernah bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya tersebut, Rasulullah saw. berpesan yang isi pesannya sebagai berikut,

مَنِ اسْتَوَى يَوْمَاهُ فَهُوَ مَغْبُونٌ وَمَنْ كَانَ غَدُهُ شَرًّا مِنْ يَوْمِهِ فَهُوَ مَلْعُونٌ وَمَنْ لَمْ يَتَعَاهَدِ النُّقْصَانَ مِنْ نَفْسِهِ فَهُوَ فِي نُقْصَانٍ وَمَنْ كَانَ فِي نُقْصَانٍ فَالْمَوْتُ خَيْرٌ لَهُ

Barang siapa yang dua harinya (hari ini dan esok) sama, maka dia tergolong orang rugi. Barang siapa yang hari esok lebih buruk daripada hari ini maka dia terlaknat (tercela). Barang siapa yang tidak memperhatikan kekurangan dalam dirinya maka dia sungguh ada dalam kekurangan itu. Dan, barang siapa yang ada dalam kekurangan, maka dia lebih baik mati. (Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’ juz 8, hal. 35)

Momen pergantian tahun ini seharusnya dijadikan sebagai ajang evaluasi dan introspeksi diri. Dalam satu tahun terakhir, barangkali kita sering melakukan kesalahan dan kealpaan, sehingga tahun ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Sebagai penutup, penulis akan mengutip pesan Sahabat Umar bin Khattab r.a. dalam sebuah khotbahnya. Beliau berkata,

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا

Hitung-hitunglah dirimu sebelum nanti kamu dihisab (di akhirat). Timbang-timbanglah dirimu sebelum kamu (amalmu) ditimbang (di akhirat kelak). H.R. Ibnu Abi Syaibah. Wallah a’lam

Q.S Almu’minun Ayat 18: Konsep Bumi Sebagai Reservoir Air

0
Konsep Bumi Sebagai Reservoir Air

Eksploitasi yang dilakukan secara destruktif terhadap sumber daya alam dan pengelolaan yang kura tepat akan berimplikasi pada terancamnya ekosistem bumi. Di sisi lainya, pembalakan pohon dan pembakaran hutan secara liar, pembuangan sampah sembarangan dan tindakan destruktif lainnya terhadap lingkungan turut memperparah keadaan. Sehingga, dampak dari ketidakseimbanganya ekosistem bumi, menyebabkan terganggungnya berbagai unsur kehidupan kehidupan.

Salah satu unsur yang paling terdampak adalah air di mana ketersediaan air bersih dan ketersediaan sumber mata air akan terganggu. Oleh sebab itu, bumi, yang dalam hal ini berfungsi sebagai reservoir air harus senantiasa difungsikan agar dapat menjamin ketersediaan air bagi kepentingan mahluk hidup yang ada di bumi

Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia, kata air didefinisikan sebagai sebuah cairan jernih, tidak berwarna yang secara kimiawi terkandung di dalamnya hydrogen dan oksigen serta menjadi unsur penting yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. Adapun dalam bahasa Arab, kata air disebutkan dengan kata ماء (ma’), dan disebut اموه  (amwah) atau مياه (miyah) dalam bentuk jamaknya (Ibnu Mandzur, t.tp, 13: 543). Secara terminology, air adalah sumber material yang menjadikan kehidupan di bumi (Robert J., 2010: 1).

Baca Juga: Air: Anugerah Ilahi dan Etika Manusia Terhadapnya

Adapun dalam Alquran, kata ma’ disebutkan sebanyak 63 kali yang tersebar pada 41 surah. Banyaknya penyebutan air dalam Alquran ini menunjukkan betapa pentingnya air bagi kehidupan dan juga bermakna bahwa penyebutan air tersebut penting untuk dipahami dan diteliti secara intensif agar lebih memahami tentang esensi dan urgensinya, sementara bumi berfungsi sebagai tempat peyimpanan air. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang siklus air dan fungsi bumi sebagai reservoir ialah surah Almu’minun [23]: 18:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّا عَلَى ذَهَابٍ بِهِ لَقَادِرُونَ (18)

Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya.

Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menyebutkan, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam pemaknaan al-sama’ pada ayat di atas. Mayoritas ulama, dengan melihat pada teks ayat, berpendapat bahwa pada esensinya turunnya air ialah dari langit, hal ini diperkuat dengan ayat 22 surah Aldzariyat yang artinya, “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (Q.S Aldzariyat [51]: 22). (al-Razi, 2000, Vol. 23: 78).

Sementara ulama tafsir lainnya berpendapat bahwa kata al-sama’ di atas bermakna “al-sahab” (awan). Hal ini mengartikan bahwa ada proses siklus hidrologi di mana air yang ada di dalam bumi menuju ke laut dan dari laut menguap ke langit ke langit. Sehingga, air yang ke atas tersebut menjadi jernih karena terjadi proses hidrologi. Dari sini kemudian air menjadi partikel-partikel es, lalu menjadi awan hitam di langit. Setelah itu, Allah swt turunkan hujan sesuai dengan kebutuhan.

Al-Razi juga menafsiri kata bi qadarin (dengan suatu ukuran) bahwa yang dimaksud dengan potongan ayat tersebut adalah menurunkan air dari langit yang tidak menimbulkan kemudharatan atau kerusakan dan sebaliknya, dapat memberikan kemanfaatan baik untuk pertanian, tanaman ataupun untuk minum. Sehingga, turunnya air tersebut sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan Askannahu fi al-Ardh (menetapkannya di bumi) yakni air tersebut menetap di bumi.

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 29: Bumi untuk Kesejahteraan Hidup Manusia

Secara tegas, mufassir kontemporer, al-Sa’di, dalam tafsirnya Taysir al-Karim menyebutkan bahwa Allah swt turunkan air dari langit sebagai rezeki dan nikmat sesuai dengan kadar yang dapat mencukupi, tidak mengurangi yang nantinya dapat menjadikan bumi tandus dan pepohonan-pepohonan mati, tidak juga menambahi yang sekiranya bumi tidak bisa menampungnya, merusak tempat-tempat dan tumbuh-tumbuhan tidak dapat hidup.

Al-Sa’di juga menafsiri ayat Askannahu fi al-ardh dengan Allah turunkan air di bumi, maka air tersebut bertempat dan menetap di bumi, sebagian air ada yang mengalir sesuai dengan kemampuan tempat turunnya sehingga ada yang tersalurkan untuk menumbuhkan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Sementara sebagian air tersebut ada yang tersimpan di dalam bumi sebagai reservoir air. (Al-Sa’di, 2000: 549)

Sehingga, turunnya air ini sesuai dengan ketentuan Allah swt untuk menurunkan dan bahkan tidak menurunkan air sama sekali. Sebagaimana ayat setelahnya dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. Menurut al-Maraghi, jika Allah swt berkehendak untuk tidak menurunkan hujan maka, Ia berkuasa atas hal tersebut. Demikian pula Allah berkuasa untuk memanglingkan hujan ke arah lain seperti tanah yang bergaram dan padang pasir. Sehingga, tidak ada yang dapat memanfaatkan air tersebut. Akan tetapi, dengan kelembutan dan kasih sayang-Nya, allah turunkan air yang tawar dan air tersebut menetap di dalam bumi dan sebagian lainnya mengalir dan keluar sebagai sumber mata air. (Al-Maraghi, 1946: 18)

Baca Juga: Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air

Sehingga, dari beberapa penafsiran yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa turunnya air dari langit mengikuti dan tunduk kepada qadar, yakni ketentuan Allah yang berlaku pada alam, yang disebut dengan hukum alam. Melalui panafsiran terhadap ayat di atas, bumi berfungsi sebagai reservoir air, yakni tempat untuk menyimpan air, dari sini kemudian sebagian air mengalir ke permukaan untuk menumbuhkan tanaman-tanaman dan untuk memenuhi kebutuhan mahluk hidup. Sementara sebagian lainnya menjadi cadangan di dalam bumi sebagai cadangan di musim kemarau.  Demikian pula di musim hujan, air yang turun melimpah dari langit dapat tersimpan secara baik dalam reservoir air, sehingga tidak menimbulkan banjir.

Dalam proses siklus hidrologi, menyerapnya air dari langit ke tanah disebut dengan infiltrasi yakni air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Kemudian air bergerak karena aksi kapiler atau air bergerak secara vertikal dan horizontal di bawah permukaan tanah hingga air tersebut kembali memasuki sistem air permukaan. (A. Syarifuddin, 2017: 8)

Sehingga, dapat disimpulkan dalam ayat 18 surah Almu’minun di atas, memberikan sebuah pemahaman akan sumber daya air yang berbasis budaya positif dan konstruktif. Budaya ini perlu diaktualisasikan dengan memaknai hujan sebagai rahmat Allah dan perlu untuk disyukuri. Bersyukur di sini ialah dengan memanfaatkan air untuk kebaikan dan tidak mencemarinya. Sehingga, bisa jadi air yang tidak tertampung dan berakibat banjir adalah ulah manusia yang destrukti seperti pembalakan hutan, membuang sampai semarangan dan sebagainya yang dapat mencegah meresapnya air ke dalam tanah.

Tafsir ‘Hadaiq ar-Ruh Wa ar-Raihan’ Karya Muhammad al-Amin Al-Harari

0
Tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan
Tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan

Upaya untuk menggali dan memahami isi kandungan Alquran tidak akan pernah usai. Hal ini karena Alquran merupakan kitab suci yang berisi petunjuk hidup bagi manusia sampai akhir zaman. Interpretasi yang berkesinambungan inilah yang kemudian melahirkan beragam karya tafsir dengan berbagai corak dan genrenya; mulai dari tafsir klasik dan modern; atau tafsir model riwayat dan rasio.

Di antara sederet tafsir modern yang mewarnai khazanah keilmuan Islam adalah seperti Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Manar, Tafsir al-Hadis, Tafsir al-Sya’rawi dan masih banyak lagi. Satu dari banyak tafsir lain tersebut yaitu Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan yang dikarang oleh Syekh Muhammad Amin al-Harari. Kitab tafsir ini sempat ada yag mengkalim sebagai ensiklopedia tafsir karena kajiannya yang mencakup berbagai aspek dan disertai kutipan yang kaya dari berbagai sumber kitab tafsir lainnya.

Baca Juga: Mengenal Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi

Mengenal Sosok Syekh Muhammad Al-Amin Al-Harari

Memiliki nama lengkap Muhammad Amin bin Abdullah bin Yusuf al-Urami al-Harari. Beliau lahir di sebuah desa bernama Buwaitah di Ethiopia pada hari Jumat 1348 Hijriyah dan berdomisili serta membuka majlis ilmu di Makkah. Sejak usia empat tahun, beliau dititipkan oleh ayahnya kepada seorang guru Alquran dan selesai menghafalkannya ketika masih berusia enam tahun.

Daerah Habasyah/Ethiopia pada waktu itu sangat kental dengan akidah Asy’ariyah. Oleh karena itulah setelah rampung menghafalkan Alquran beliau mulai menghafalkan kitab-kitab akidah Asya’irah, seperti Aqidah al-Awwam, dan karya-karya Imam as-Sanusi. Kemudian, beliau mulai menghafal kitab-kitab mukhtashar (ringkasan) dalam fan Ilmu Fikih, seperti Mukhtashar ba Fadl, Mukhtashar Abi Syuja’, Nadzam Zubad, dan lain-lain.

Syekh al-Amin adalah seorang penuntut ilmu yang sangat tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar. Hal ini terbukti dari sederet nama ulama pada masa itu yang beliau datangi untuk menimba ilmu dari berbagai bidang.

Pertama, beliau mulai mendalami kitab-kitab fikih Syafi’iyah di tangan seorang guru yang dijuluki Sibawaih Zamanihi (Sibawaih pada masanya) bernama Syekh Musa bin Muhammad al-Addaili. Melihat kegigihan Muhammad al-Amin muda dalam belajar, Syekh Musa akhirnya mulai memberikan materi ilmu tata bahasa Arab yang memang beliau sendiri sangat pakar dalam bidang tersebut.

Selain kepada Syekh Musa al-Addaili, beliau juga belajar ilmu tata bahasa dari Syekh Madid al-Addaili. Selain belajar tata bahasa, Syekh Madid juga memberikan pelajaran tafsir Alquran tetapi hanya sampai surah Yasin. Pelajaran tafsir beliau selesaikan di bawah didikan seorang mufasir waktu itu yang bernama Syekh Ibrahim bin Yasin al-Matiji. Kemudian beliau belajar kitab-kitab induk Mazhab Syafi’i seperti Syarah al-Mahalli ‘Ala al Manhaj, Fath al Wahhab dan lain-lain kepada Syekh al-Faqih Yusuf bin Utsman al-Waraqi.

Selain beberapa nama di atas, masih banyak lagi masyayikh yang beliau datangi untuk menimba berbagai cabang keilmuan. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memiliki semangat yang kuat dalam menuntut ilmu. Konon, saking giatnya belajar dan muthalaah ilmu, beliau hanya tidur empat jam dalam sehari.

Setelah menempuh proses belajar dan menjadi seorang al-alim al-allamah, beliau akhirnya mendapat izin dari para gurunya untuk mengajar dan membuka forum sendiri. Akhirnya, sejak tahu 1373 hijriyah, beliau didatangi banyak pelajar yang berasal dari berbagai daerah untuk menimba berbagai bidang keilmuan dari Syekh Muhammad al-Amin al-Harari. (Muqaddimah Tafsir Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan, hal. 7-11)

Baca Juga: Mengenal Tafsir As-Sya’rawi: Tafsir Hasil Kodifikasi Ceramah

Seputar Kitab Hadaiq ar-Ruh Wa ar-Raihan

Kitab tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan merupakan salah satu dari sederet kitab tafsir kontemporer selain Tafsir asy-Sya’rawi, Tafsir Thanthawi Jauhari, Shafwah at-Tafasir dan lain-lain. Beliau menulis kitab tersebut kurang lebih selama sebelas tahun, tepatnya dari tanggal 2 muharram tahun 1406 hijriyah sampai 1 Syawal tahun 1417 Hijriyah. Dalam muqaddimahnya, beliau mengungkapkan bahwa salah satu motivasinya dalam penyusunan kitab ini karena ada bisikan ilahi yang beliau terima setelah melakukan riyadah panjang untuk berkhidmah kepada kitab suci Alquran. (Tafsir Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan, juz 1, hal. 5 & 9)

Kitab Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan ini dicetak dalam 32 jilid (cetakan Dar al-Minhaj) disertai dengan satu jilid berisi pengantar dan biografi Syekh Muhammad al-Amin yang ditulis oleh muridnya, Hasyim Muhammad bin Husain Mahdi.

Menurut keterangan dari Hasyim, Tafsir Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan merupakan kitab tafsir kontemporer terbaik dan paling komprehensif. Hal ini karena kitab ini memang berupaya menafsirkan Alquran dalam berbagai aspek. Selain itu, sumber rujukan yang begitu kaya membuat tafsir ini sudah memuat isi kitab-kitab tafsir yang ada sebelumnya, sehingga dengan ke-PD-an Hasyim dengan adanya kitab ini, menurutnya kita tidak butuh kitab-kitab tafsir yang lain karena semuanya ada dalam satu kitab ini. (Muqaddimah Tafsir Hadaiq al-Ruh wa al-Raihan, hal. V)

Pendekatan yang digunakan Syekh Muhammad al-Amin dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran adalah dengan metode tahlili. Dengan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari segala aspek sesuai dengan kecnderungan mufassir, mencakup aspek kebahasaan munasabah antar ayat, asbab al-nuzul dan lain-lain. (Kaidah Tafsir, hal. 322)

Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, Syekh Muhammad al-Amin terlebih dahulu akan menjelaskan relevansi antara ayat yang sedang dikaji dengan ayat atau surat sebelumnya. Kemudian beliau akan memaparkan sebab turunnya ayat tersebut, jika memang ada. Baru setelah itu beliau akan menjelaskan makna dan kandungan ayat diselingi dengan faidah-faidah unik dan tambahan wawasan lainnya sesuai dengan apa yang menjadi objek bahasan. Di akhir segmen pembahasan tentang kandungan ayat, beliau akan memaparkan makna dari ayat atau beberapa ayat secara global.

Setelah menjelaskan kandungan ayat, beliau kemudian mengkaji aspek linguistik dan syekh al-Amin memberikan porsi yang cukup banyak untuk mengurai aspek kebahasaan ini. Mulai dari kajian tentang i’rab, tafsrif, ragam qira’ah sampai dengan aspek keindahan bahasa atau sisi balaghah dari ayat tersebut. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir yang cukup kaya dan komprehensif terutama dari aspek uraian kebahasaannya.

Alhasil, kitab Hadaiq ar-Ruh wa ar-Raihan merupakan kitab tafsir yang menyajikan penafsiran Alquran dari berbagai aspek. Ia dianggap telah menghimpun kitab tafsir terdahulu sehingga mempelajari kitab ini sudah cukup sebagai pengganti kitab-kitab tafsir lainnya. Terutama dari aspek linguistik atau kebahasaan yang memang dijabarkan sangat panjang lebar dalam tafsir yang satu ini. Wallah a’lam.