Beranda blog Halaman 50

Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba

0
Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba
Q.S. Annaml: 30.

Kisah Alquran menarik dikaji karena efektivitasnya dalam memberi ibrah melalui narasi yang lebih lembut dan tidak menggurui. Sifat tidak menggurui ini muncul karena memang kisah memiliki pesan tersirat. Tersiratnya pesan kisah Alquran berimplikasi pada dinamika penjelasan ibrahnya yang beragam. Maka muncul pertanyaan, bagaimana pemahaman ideal terkait kisah Alquran?

Penulis dalam hal ini mengutip pendapat Muhammad Abid Al-Jabiri sebagai salah satu tokoh yang menggunakan tartib nuzuli (urutan turun ayat) dalam penafsirannya. Alasan penafsiran nuzuli oleh Al-Jabiri adalah usaha untuk menemukan dialektika fase diturunkannya Alquran (masar at-tanzil) dan sejarah dakwah Nabi Muhammad (Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, hlm. 254). Jika dikaitkan dengan pemahaman ayat kisah, penjelasan Al-Jabiri ini mendorong mufasir agar menautkan ayat-ayat kisah dengan sejarah dakwah Nabi Muhammad saw.

Tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana tautan kisah Nabi Sulaiman yang menulis surat kepada Ratu Saba dengan sejarah dakwah Nabi Muhammad. Dimulai dengan menjelaskan pendapat para mufasir terkait dua ayat ini lalu mencoba menautkannya dengan sejarah dakwah Nabi saw. Isi surat Nabi Sulaiman terdapat dalam Q.S. An-Naml: 30-31, sebagai berikut.

اِنَّهٗ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَاِنَّهٗ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۙ اَلَّا تَعْلُوْا عَلَيَّ وَأْتُوْنِيْ مُسْلِمِيْنَ ࣖ

Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, janganlah engkau berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya memulai menafsirkan dua ayat ini dengan terlebih dahulu menjabarkan makna karim pada ayat sebelumnya. Karim adalah surat yang indah isinya atau surat yang berasal dari raja yang mulia, atau bisa juga surat yang diberi stempel.

Dijelasan pula beberapa varian qira’at terkait ayat 29-31 yang bisa disimpulkan bahwa ada dua pandangan terkait isi surat Nabi Sulaiman: (1) ayat 30-31 adalah isi surat Nabi Sulaiman secara tekstual; (2) kedua ayat itu adalah parafrase Ratu Saba setelah memahami surat Nabi Sulaiman, bukan teks suratnya. Az-Zamakhsyari melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan bahwa surat-surat para nabi itu indah isinya, tidak panjang lebar, diberi wewangian kasturi, dan berstempel (Al-Kasysyaf ’an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, vol. 3, hlm. 363-364).

Baca juga: Riwayat Israiliyyat Batil dalam Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Menarik pula ditinjau bagaimana Ar-Razi menafsirkan ayat 30-31 ini. Dijelaskan bahwa surat Nabi Sulaiman didahului dengan basmalah. Ratu Saba menyebut nama Sulaiman kaitannya sebagai pengirim surat. Dijelaskan pula bahwa alasan para nabi ringkas dalam menulis surat adalah agar tujuan surat lebih jelas.

Surat Nabi Sulaiman, bagi Ar-Razi, telah sempurna dalam menyampaikan maksud. Isi surat Sulaiman mendahulukan ilmu, yaitu menegaskan Allah sebagai Tuhan pada basmalah. Setelah menjelaskan ilmu, dia baru menjelaskan amal, yaitu larangan untuk tunduk pada nafsu dan bersikap angkuh, serta menyerahkan diri atau beriman kepada Allah. Ar-Razi kemudian membawa penafsirannya terhadap isi surat Sulaiman dengan menyanggah pendapat yang mendukung taklid dalam beragama. Ar-Razi tegas bahwa Ratu Saba tidak taklid kepada Sulaiman, melainkan dia sudah menyadari setelah melihat Hudhud dan membaca surat Sulaiman (Mafatih al-Gaib, vol. 24, hlm. 554-555).

Baca juga: Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad saw. dalam Media Surat

Lalu terdapat pula penafsiran Al-Qurtubi terkait penyifatan karim oleh Ratu Saba. Dia menjelaskan karimnya surat tersebut berisi nasihat yang lembut dan ajakan untuk menyembah Allah tanpa diiringi celaan dan cercaan ataupun kalimat yang menyulut emosi dan amarah. Hal ini sudah menjadi kebiasaan para rasul dalam dakwahnya. Begitu pula Alquran telah memerintahkannya pada Q.S. An-Nahl: 125 dan T{aha: 44. Al-Qurtubi lebih lanjut membahas terkait karim sebagai apresiasi yang tinggi, seperti yang Allah firmankan, innahu laqur’anun karimun (Q.S. Al-Waqi’ah: 77) (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 13, hlm. 191-193).

Jika memerhatikan ketiga mufasir tadi, bisa ditarik tiga poin penting: (1) surat itu tidak harus panjang lebar, melainkan fokus pada pesan yang dimaksud; (2) surat nasihat yang baik adalah surat yang menjelaskan ilmu dan amal; teori dan praktik, sehingga pembacanya bisa lebih paham; (3) surat nasihat ditulis dengan ajakan yang lembut, yang tidak menyinggung perasaan pembacanya. Ketiga mufasir tadi memang telah menjelaskan pesan-pesan yang bisa ditarik dari surat Nabi Sulaiman, tetapi mereka belum membawanya dalam tautan dengan fase dakwah Nabi Muhammad.

Baca juga: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Usaha untuk menemukan tautan ayat 30-31 surah An-Naml bisa ditempuh dengan mengeksplorasi kapan surah An-Naml turun. Meskipun sababun nuzul surah ini tidak ada, tetapi secara lebih luas (makro) ditemukan bahwa surah An-Naml, khususnya ayat 30 menjadi titik tolak penggunaan basmalah dalam penulisan surat oleh Nabi Muhammad. Surat resmi pertama Nabi yang dikirim kepada Raja Habasyah memakai basmalah pada permulaannya (Buku Pintar Sababun Nuzul dari Mikro hingga Makro, 212).

Inilah yang menjadi dasar penulis untuk menyatakan bahwa ayat 30-31 menjadi tuntunan bagi Nabi Muhammad dalam penulisan surat resmi. Dalam tataran ideal-moral, kedua ayat ini pun bisa dipahami sebagai tuntunan dalam berdakwah, baik itu via tulisan maupun lisan.

Baca juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

Q.S. An-Naml: 30-31 mengajarkan bahwa dalam dakwahnya, dai semestinya memberi pemahaman terkait landasan moral hingga praktik kepada audiensnya. Materi dakwah yang demikian akan mampu mengurangi potensi taklid dan lebih memperkokoh nilai amal audiens. Dai juga diminta agar tidak terlalu bertele-tele dalam menyampaikan pesan yang membuat audiens kebingungan. Dalam hal ini, dai memang harus mematangkan penguasaan materi dan kemampuan public speakingnya demi efektivitas dakwah.

Terakhir, materi dakwah harus relevan dengan audiens. Dakwah tidak boleh menyakiti perasaan audiens, karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran Alquran dan apa yang dilakukan para nabi. Hal ini tercermin dari penyifatan surat Nabi Sulaiman sebagai karim. Karim sendiri adalah pujian untuk sesuatu yang nilai kebaikannya sangat tinggi (Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, vol. 3, hlm. 313-314). Dengan demikian, bisa dipahami bahwa dakwah sebaiknya menggunakan bahasa yang lembut, santun, relevan, dan dinilai baik secara akal sehat.

Usung Tema “Bergerak Kolektif untuk Berdampak,” Bayt Al-Quran Helat Reuni Akbar Kedua

0
Reuni Akbar II Bayt Al-Quran
Reuni Akbar II Bayt Al-Quran

Tangerang Selatan (24/12), Bayt Al-Quran Pusat Studi Al-Quran (BQ-PSQ) menghelat reuni akbar kedua dengan tema “Bergerak Kolektif untuk Berdampak.” Acara ini berlangsung di Masjid Bayt Al-Quran, South City, Pondok Cabe, Tangerang Selatan pada tanggal 23-24 Desember. Dalam rangka membekali para santri alumni untuk dapat berdampak di masyarakat, acara diisi dengan rangkaian seminar dan workshop secara paralel oleh Dewan Pakar PSQ.

Acara tersebut dihadiri oleh Quraish Shihab –muassis PSQ- beserta keluarga, Najeela Shihab, dan Najwa Shihab. Di samping itu, hadir pula dewan pakar PSQ meliputi Muchlis M. Hanafi, Ahsin Sakho Muhammad, A. Husnul Hakim, Ali Nurdin, serta para alumni Bayt Alquran lintas angkatan.

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

Pada pembuka acara (23/12), Ahmad Fikri Assegaf, ketua Yayasan Lentera Hati Indonesia menyampaikan urgensi relasi antara alumni dan almamater, Dia menyatakan bahwa relasi erat alumni dengan almamater akan berbuah manfaat yang besar. Suami dari Najeela Shihab ini juga mengimbau para alumni untuk memberi arahan kepada santri yang baru lulus agar berkiprah di tengah masyarakat.

“Hubungan yang erat antara alumni dan almamater membawa manfaat besar, khususnya dalam mendukung santri baru untuk berinteraksi dengan masyarakat setelah lulus. Alumni itu tulang punggung, yang dapat membimbing santri baru untuk terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat. Peran sentral alumni menjadi kunci keberhasilan integrasi santri baru di lingkungan sekitar,” tegasnya.

Disambung dengan sambutan Ahsin Sakho Muhammad, beliau memberi apresiasi kepada para alumni Bayt Al-Quran. Pakar Qira’ah Sab’ah tersebut menyampaikan rasa bangganya terhadap para alumni yang telah berkontribusi di pesantren maupun desa masing-masing. Beliau menyebut, eksistensi yayasan tak lain adalah berkat dedikasi Quraish Shihab, yang merupakan cerminan seorang pecinta Alquran sejati.

Baca juga: Adab Lahiriah dan Adab Batiniah dalam Membaca Al-Qur’an

Al-Mishbah karya Prof. Quraish diharapkan menjadi perantara untuk menjadikan Alquran sebagai cahaya kehidupan di Indonesia. Alumni Bayt Al-Quran dan Pusat Studi Al-Quran perlu menjadi solusi dalam menanggapi berbagai persoalan masyarakat, karena tantangan dan solusi semuanya terdapat dalam Alquran. Alumni mesti terus berkiprah dalam bidang ke-Alquran-an, memberikan jawaban yang baik dan penuh hikmah terhadap berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat,” Ujarnya.

Selain itu, Ahsin Sakho mengajak semua alumni untuk berjuang bersama di Indonesia dengan pendekatan Qurani. Alquran diposisikan sebagai pedoman dalam proses penyelesaian setiap permasalahan. “Teruslah mengembangkan diri, baik dalam ilmu maupun skill, agar diterima dengan baik oleh masyarakat,” pungkas salah satu dewan pakar BQ tersebut.

Acara dilanjut dengan sesi webinar dan workshop.  Seminar diisi oleh Najwa Shihab, dengan tajuk “Santri Muda Bisa Apa?” sementara workshop diisi oleh Najeela Shihab dengan tajuk “Bergerak Berdampak Kolektif.” Dua tema ini bertujuan melecut semangat alumni untuk berani berkontribusi seluas-luasnya di masyarakat yang mereka hadapi serta merevitalisasi jejaring alumni untuk saling bahu-membahu dalam berdampak. Salah satu hal yang disampaikan pada sesi tersebut ialah pentingnya memulai gerakan perubahan dari akar rumput, alih-alih dari meja pemerintahan.

“Saat kita ingin melakukan gerakan perubahan sosial, jangan menunggu program pemerintah,” tegas Najeela yang juga pendiri Sekolah Cikal.

Baca juga: Peran Nabi Saw Sebagai Agen Sosial: Memupus Kesenjangan Antar Kelas

Di hari berikutnya, diadakan acara Kajian Islam bersama M. Quraish Shihab, dengan tema “IKA-BQ Menyambut Generasi Emas 2045 Perspektif Alquran.” Sesi ini sekaligus menjadi momen bagi alumni untuk bersua dan bertanya jawab dengan muassis BQ.

Acara dilanjut dengan sesi ramah-tamah. Sebagai pemungkas acara, alumni mengikuti agenda sowan Habib Ali dan Habib Husain.

Reuni Akbar II Bayt Al-Quran turut mengundang dan bekerjasama dengan Dewan Pakar PSQ, Cariustadz.id, Koalisi Ekonomi Membumi, Yayasan Guru Belajar, dan Pusat Studi Pendidikan & Kebijakan.

Sebagai informasi, Bayt Al-Quran (BQ) merupakan Pesantren Pascatahfiz sebagai bagian dari Pusat Studi Al-Quran (PSQ) yang didirikan M. Quraish Shihab. Pesantren tersebut merupakan pesantren khusus santri yang sudah tuntas menghafal Alquran.

Para santri terseleksi di Pesantren BQ belajar dan digembleng selama enam bulan di setiap angkatan dengan pengetahuan ilmu Alquran, tafsir, dan entrepreneurship. Sejak berdiri pada tahun 2009, Pesantren BQ telah menghasilkan lebih dari 1000 alumni yang tersebar di berbagai wilayah.

Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam

0
Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam
Dinamika Sahabat Perempuan Generasi Awal Islam.

Dalam sistem etika Islam praktik gender equality (kesetaraan jender) sebenarnya telah ada pada masa generasi awal. Sahabat perempuan pada zaman itu sebagaimana kaum laki-laki diperkenankan melakukan aktivitasnya secara leluasa. Boleh dikatakan bahwa masa Nabi Muhammad merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan. Alquran telah memotret dinamika sahabat perempuan ketika Nabi dan Khulafa’ ar-Rasyidin masih hidup. Di antaranya empat ayat awal Q.S. al-Mujadilah yang diturunkan sebab seorang wanita yang mendebat Nabi; juga ayat-ayat lain dalam Alquran yang membicarakan khusus tentang perempuan.

Sahabat Perempuan Berhak Memperjuangkan Hak-haknya

Jika menelisik berbagai teks, akan dipahami bahwa sahabat perempuan di masa Nabi saw. tidak hanya menghabiskan hidupnya dengan mengurung diri di rumah saja. Mereka juga mendapat kesempatan untuk berinteraksi di ruang terbuka, baik untuk ibadah berjamaah hingga berdakwah. Begitu juga untuk melakukan aktivitas intelektual; mendapat kesempatan belajar, berdiskusi, dan mendengarkan kuliah dari Nabi Muhammad.

Selain itu mereka juga terlibat dalam aktivitas sosial ekonomi. Perempuan generasi awal berhak mandiri secara finansial dan mengupayakan segala hal yang terkait erat dengan perekonomian. Mereka juga terlibat di medan pertempuran, memiliki kebebasan memilih, juga mendapat kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya.

Seperti sahabat Khaulah binti Tsa’labah, seorang wanita di balik turunnya Q.S. al-Mujadilah (perempuan yang mendebat). Kisah Khaulah ini banyak ditulis dalam kitab-kitab tafsir, contohnya dalam kitab al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Beliau adalah perempuan istimewa yang pengaduannya didengar Allah sampai turunnya wahyu. Wanita istimewa ini merupakan istri dari Aus bin Shamit. Suatu ketika, terjadi perdebatan sengit antara Khaulah dengan suaminya, hingga pada puncaknya sang suami jengkel dan lalu men-zihar-nya.

Baca juga: Mengapa Alquran Memperhatikan Perempuan? Inilah Alasannya

Pada saat keadaan membaik, suaminya menyesal dan meminta rujuk. Khaulah juga menginginkannya, tetapi di sisi lain ia menyadari konsekuensi zihar dari suaminya yang tidak memungkinkan rujuk. Sampailah ia menghadap Rasulullah dan mengadukan keluh kesahnya. Rasul mengharamkan Khaulah untuk rujuk. Merasa tidak terima, Khaulah terus mendebat dan berargumen, bahwa dirinya sudah tidak muda lagi dan anak-anaknya masih kecil. Meskipun begitu pada akhirnya jawaban Rasulullah tetap sama.

Jawaban Rasul tidak lantas membuatnya putus asa. Ia lalu mengadukan konflik rumah tangganya kepada Allah. “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu. Turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui lisan Nabi-Mu!” Tidak berselang lama, Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah dalam surah al-Mujadilah ayat 1-4 yang menjelaskan bahwa permasalahan Khaulah bukan tentang talak, melainkan zihar yang mengharuskan kifarat bagi yang melakukan.

Itulah Khaulah, seorang wanita yang menuntut haknya, kemudian Allah-lah yang langsung memberikan haknya. Berkat Khaulah, turun hukum khusus tentang sumpah zihar. Seolah, wanita itu mengajarkan kepada para perempuan lain, “Jika kalian ingin mendapatkan hak kalian, maka suarakanlah. Boleh jadi malah kalian akan mendapatkan melebihi yang seharusnya.”

Baca juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

Kisah lain datang dari istri Nabi yang dikenal kecerdasannya selain Aisyah, yaitu sahabat yang bernama Ummu Salamah datang kepada Rasulullah untuk menuntut haknya. “Wahai Rasul, kenapa kami para perempuan tidak disebutkan dalam Alquran sebagaimana laki-laki?” tanya dia. Rasulullah pun terdiam. Akhirnya turunlah ayat panjang yang menyebutkan para perempuan sekalipun disebutkan untuk laki-laki (Q.S. al-Ahzab: 35).

Pergerakan perempuan muslimah generasi awal juga merekam saat seorang wanita mengutarakan pendapatnya di depan Khalifah Umar bin Al-Khattab. Mengutip Tafsir Ibnu Katsir, peristiwa itu terjadi dalam persoalan mahar nikah. Umar mengumpulkan warganya dan mengumumkan bahwa mahar perempuan tidak boleh lebih dari 40 uqiyah atau 400 dirham. Seandainya lebih dari itu, maka akan masuk kas negara. Seorang perempuan kemudian berdiri melontarkan protes kepada Umar, “Tidak bisa begitu, wahai Amir Al-Mukminin!” Umar bertanya, “Memangnya kenapa?” Ia menjawab, “Allah membolehkan perempuan menerima mahar dengan jumlah banyak (qinthar min adz-dzahab). Lalu ia membaca surah an-Nisa: 20.” Kemudian Khalifah Umar mengoreksi pernyataannya di awal.

Baca juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Kejadian ini cukup menakjubkan. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan dengan penuh percaya diri memprotes seorang pemimpin di depan banyak orang? Waktu itu, Umar menjabat sebagai khalifah yang berkuasa di negara terkuat dalam catatan sejarah. Sahabat perempuan tadi tentu meyakini apa yang ia lakukan direstui agama. Andai saja bukan karena keteguhan iman, mungkin ia tak akan seberani itu.

Dengan demikian, dipahami bahwa Islam sejatinya mendengar pendapat perempuan. Setiap perempuan boleh mengutarakan pikiran-pikiran mereka. Perempuan boleh membantah atau menguatkan pendapat orang lain. Dalam Islam, perempuan punya otoritas dan kapasitas mengungkapkan ide dan pendapatnya tanpa pembungkaman.

Teladan Perempuan dari Salafuna as-Shalihat

Dinamika sahabat perempuan menggambarkan betapa Islam mengakui potensi mereka. Perempuan muslimah juga diberi ruang lebih untuk mengaktualisasikan diri mereka serta ikut andil berbaur dan beraktivitas di tengah masyarakat. Menandakan bahwa kaum Perempuan tidak inferior dalam kehidupan. Perbincangan tentang hidup dan kehidupan tidak sepenuhnya wilayah laki-laki. Rasulullah telah bersabda, bahwa perempuan setara dengan laki-laki (Innama an-nisa syaqaiq ar-rijal). Sehingga merendahkan perempuan, tentu saja tak sesuai dengan ajaran Baginda Nabi.

Baca juga: Mengenal Kariman Hamzah, Jurnalis dan Mufassir Perempuan Asal Mesir

Dinamika sahabat perempuan generasi awal juga mengajarkan kaum perempuan untuk terlibat dalam laku kesalehan sosial. Baik mereka yang memilih aktivitas di rumah maupun bekerja di ruang-ruang terbuka, keduanya bisa memiliki potensi yang sama. Di rumah bukan berarti menuntut perempuan untuk membatasi diri dan menghindari interaksi. Terlebih di zaman ini, ada banyak sekali media untuk menjadikan perempuan tetap aktif dan produktif.

Baik di rumah maupun di luar rumah, hendaknya para perempuan meniatkan diri untuk beribadah dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkan kualitas diri sehingga bisa menjadi manfaat dan maslahat untuk sesama sebagaimana yang dilakukan sahabat perempuan di masa generasi awal Islam. []

Mengenal Kitab Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah

0
Mengenal Kitab Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah

Ada dua kitab tafsir masyhur yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, yang pertama adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibni Abbas yang ditulis oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub al-Fairuz Abadi asy-Syafi’i dan yang kedua adalah Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah yang tentunya ditulis oleh Ali bin Abi Talhah.

Namun di kalangan para ulama, kitab Tanwir al Miqbas memiliki catatan yang kurang baik, bukan dari segi substansinya, namun pada sanad para perawinya yang dinilai tidak sahih dan tidak dapat dijadikan rujukan lantaran kedhaifan perawinya (Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Ali bin Abi Talhah, 54-55).

Berbanding terbalik dengan penilaian yang diberikan kepada kitab Tanwir al Miqbas, kitab tafsir yang ditulis oleh Ali bin Abi Talhah justru mendapat penilaian yang sangat baik, bahkan beberapa ulama memberikan pujian terhadapnya. Muhammad Husain Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wal Mufassirun mengatakan, “Jalur Muawiyah bin Shalih, dari Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas, merupakan jalur yang paling baik darinya.” (Adz-Dzahabi, at-Tafsir wal Mufassirun, Juz 1, 59).

Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas 

Sebab Ibnu Abbas adalah ikon tokoh tafsir di eranya dan merupakan sahabat yang memiliki banyak sumbangsih dalam bidang tafsir. Tentu aktivitas penafsiran yang telah dilakukan sangat menarik untuk dikaji. Tulisan ini mencoba menelaah tentang penafsiran yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas yang ditulis oleh Ali bin Abi Talhah dalam kitab Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah.

Biografi Ali bin Abi Talhah

Ali bin Abi Talhah memiliki nama lengkap Ali bin Abi Talhah Al Makhariq. Nama ayahnya adalah Salim bin Al Makhariq. Beliau lebih sering dipanggil Abu Al Hasan, namun ada yang mengatakan Abu Muhammad. Selain itu, ada juga yang mengatakan Abu Talhah Maula Al Abbas Abu Al Hasan Al Hasyimi Al Jazari (Hatim, al-Jarh wa at-Tadil, 188). Dari segi nasab, beliau sampai kepada bani Hasyim, oleh karenanya Ali bin Abi Talhah dikenal juga dengan nama Ali bin Abi Talhah al-Hasyimi.

Para cendekiawan muslim tidak dapat memastikan secara tepat tanggal kelahiran Ali bin Abi Talhah. Mereka hanya menyebutkan tanggal wafatnya saja yakni 143 H, tanpa menyebutkan kapan kelahirannya. Namun kalau diperkirakan, Ali bin Abi Talhah hidup semasa dengan beberapa ulama lain seperti Sa’id bin Jubair (lahir 45 H, wafat 95 H) dan Mujahid bin Jabar (lahir 21 H, wafat 103 H). Atau, dari para ulama yang meriwayatkan darinya, seperti Atha’ al Kharasani (lahir 50 H, wafat 135H) dan Al Hakim bin Utaibah (wafat 113 H) (Talhah, Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah,11).

Ali bin Abi Talhah terkenal sebagai seorang mufassir sekalipun juga dikenal sebagai muhaddits. Lembaran-lembaran tafsirnya sangat masyhur di kalangan ulama, sehingga Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menasihatkan kepada para pelajar agar bepergian ke Mesir untuk mendapatkan lembaran tafsir yang sangat berharga tersebut. Bahkan beliau berkata, “Di Mesir terdapat lembaran tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah. Jika ada seseorang yang bepergian ke negeri itu, banyak diantara mereka yang mencari kitab tafsir tersebut”(As-Shuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, 785).

Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (4): Mushaf Ibnu Abbas

Selain itu, dahulu Ali bin Abi Talhah juga banyak mengambil ilmu dari para tabi’in, di antaranya; Sa’id bin Jarir (w. 94 H), Mujahid bin Jabir (w. 103 H), Al-Qasim bin Muhammad (w. 107 H), Abu Al-Waddak Jabar bin Nuf Al-Hamdani, Rasyid bin Sa’d Al-Hidani (w. 108 H) atau Ikrimah Mawla Ibnu Abbas (w. 105 H) (Muttaqin, Abdullah Bin Abbas Dan Perannya Dalam Penafsiran Al-Qur’an: Studi Tafsir Abdullah bin Abbas dalam Nuskhah Ali Bin Abi Tholhah, 72).

Seputar Tafsir Ibnu Abbas al-Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah

Fitur yang dapat digunakan sebagai identifikasi dalam penafsiran sekurang-kurangnya ada tiga komponen yakni metode, pendekatan dan corak. Dalam konteks tafsir Ibnu Abbas Al Musamma Shahifah Ali bin Abi Talhah, bisa dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan menggunakan metode ijmali. Hal ini bisa dketiahui misalnya saat menafsirkan QS. Alqari’ah (101): 1. Firman Allah Ta’ala (القارعة) “Hari Kiamat”, dijelaskan oleh Ibnu Abbas bahwa kata tersebut merupakan di antara nama Hari Kiamat yang diagungkan oleh Allah SWT dan yang diperingatkan kepada hambanya (Talhah, Tafsir Ibnu Abbas Shahifah Ali bin Abi Talhah, 573).

Kemudian dari segi pendekatan, tentu sudah jelas bahwa penafsiran ini termasuk dalam karegori tafsir bil ma’tsur, sebab aktivitas penyingkapan makna ayat Alquran yang dilakukan oleh Ali bin Abi Talhah berbasis pada riwayah. Sementara dalam hal ini, penafsiran terhadap Alquran selalu dinisbatkan pada Ibnu Abbas yang notabene sebagai sahabat Rasulullah Saw, maka dari itu, terlihat jelas bahwa pendekatan tafsirnya adalah bil ma’tsur.

Sementara dari aspek corak penafsiran, kecenderungan dalam kitab tafsir ini mengarah pada corak lughawi. Yakni, dalam praktiknya mencoba mengungkapkan kandungan-kandungan ayat Alquran menggunakan kaidah kebahasaan.

Baca Juga: Tanya Jawab Antara Nafi’ bin al-Azraq dan Ibn Abbas: Asal Usul Penafsiran Al-Quran dengan Syair

Misalnya, dalam tafsir  QS. Altakatsur (102): 8. Ibnu Abbas memberikan argumentasi bahwa kata (النعيم) adalah “Sehatnya badan, pendengaran dan penglihatan yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kepada seorang hamba dalam hal apa saja dia mempergunakannya. Sedangkan Allah lebih mengetahui hal itu daripada mereka sendiri”. Atau dalam QS al-Asr (103): 1. Dijelaskan bahwa (العصر) merupakan waktu dari sebagian waktu siang.

Prinsip Penafsiran

Sebenarnya tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah dari Ibnu Abbas r.a ini pada prinsipnya bukan hanya tafsir yang menekankan pada bahasa yang singkat. Namun sebagaimana yang dipahami oleh Abdullah Khuraisyid, tafsir ini juga menjelaskan aspek kosa kata bahasa, di samping menjelaskan aspek lainnya dalam tafsir, misalnya riwayat yang sampai pada kita tentang hukum-hukum fikih yang disimpulkan oleh Ibnu Abbas dari Alquran.

Riwayat-riwayat tersebut juga menyebutkan tentang sebab-sebab turunnya ayat, serta nasikh dan mansukh. Kemudian juga ada ijtihad Ibnu Abbas sendiri dan pendapatnya yang secara global menunjukkan bahwa Ibnu Abbas adalah seorang mufasir yang ideal, seperti yang tampak pada kesempurnaan tafsirnya yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talhah darinya (Talhah, Tafsir Ibnu Abbas Al-Musamma Ali bin Abi Talhah, 33-34).

Wallahu a’lam.

Pengakuan Alquran terhadap Jasa Seorang Ibu

0
Pengakuan Alquran terhadap jasa Ibu
Pengakuan Alquran terhadap jasa Ibu

Di tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai Hari Ibu ini, mungkin banyak orang telah menyiapkan kejutan dan hadiah untuk dipersembahkan kepada sosok yang telah melahirkannya ke dunia. Semua itu tentu dilakukan untuk memberikan kegembiraan dan sebagai simbol kecintaan seorang anak kepada ibu. Di hari tersebut, ada yang berusaha membahagiakan ibu masing-masing dengan memberikan hadiah berupa materi, ada pula yang mempersembahkan prestasi dan kesuksesan.

Baca juga: Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Peran sosok ibu memang tidak dapat diukur dengan kalkulasi, dimulai sejak dalam kandungan sampai remaja. Bahkan di saat kita telah membangun keluarga pun, sosok ibu akan selalu hadir memberikan kemanfaatan dengan tanpa pamrih.

Memang benar bahwa seumur hidup kita sebagai anak tidak akan pernah mampu membalas jasa dan kebaikan ibu kita. Maka dari itulah manusia dituntut untuk berbakti kepada kedua orang tuanya terutama terhadap ibunya yang telah berjasa melahirkannya. Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam Q.S. Luqman ayat 14,

{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ} [لقمان: 14]

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” Q.S. Luqman [31]: 14

Syukur atas segala nikmat Allah Swt. menjadi kewajiban bagi setiap manusia. selain itu, Allah Swt. juga mewajibkan syukur kepada kedua orang tua karena berkat melalui mereka kita lahir ke dunia. Menurut al-Syaukani, disandingkannya kewajiban bersyukur kepada Allah Swt. dengan syukur kepada orang tua mengandung indikasi bahwa berbakti dan berbuat baik kepada orang tua merupakan salah satu kewajiban terbesar setiap manusia. [Fath al-Qadir, juz 4, hal. 274]

Ada sejumlah ayat lain yang menyebutkan kewajiban berlaku baik kepada kedua orang tua. Misalnya dalam Q.S. Albaqarah ayat 82, Annisa’ ayat 36, Alankabut ayat 8 dan masih banyak lagi. Hal ini membuktikan betapa posisi kedua orang tua sangat mulia. Imam al-Razi mengatakan bahwa ayat ini sejatinya sudah cukup menjadi dalil kemuliaan derajat orang tua serta kewajiban anak untuk berbakti kepada mereka. [Mafatih al-Ghaib, juz 10, hal. 78]

Baca juga: Surah Al-Isra Ayat 23-24: Etika dalam Merawat Orang Tua

Ayat ini menjadi landasan normatif bahwa setiap orang harus berbakti kepada kedua orang tuanya terutama ibu. Syaikh Musthafa al Maraghi menjelaskan bahwa ayat di atas memang berisi keharusan berbakti kepada kedua orang tua. Akan tetapi, alasan mengapa berbakti kepada ibu disebutkan secara khusus adalah karena penderitaan dan perjuangan ibu lebih berat dari pada ayah. Ibu telah mengandung sembilan bulan dengan susah payah, kemudian melahirkan yang sakitnya antara hidup dan mati, menyusui, dan merawat kita siang malam. [Tafsir al-Maraghi, juz 21, hal. 82]

Atas dasar itulah ibu lebih diprioritaskan dan lebih mulia kedudukannya daripada ayah. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah ditanya oleh seorang sahabat kepada siapa dia harus berbakti (berbuat baik). Rasulullah saw. Bersabda,

قَالَ: أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أُمَّكَ، ثُمَّ أَبَاكَ، ثُمَّ الْأَقْرَبَ، فَالْأَقْرَبَ

“Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayamhu lalu kerabat-kerabatmu”. HR. Abu Dawud dan al-Thabrani

Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadis mengindikasikan bahwa ibu adalah sosok yang paling berhak untuk berbakti kepadanya. Alasannya karena jasa dan kepayahan begitu besar yang dialami sosok ibu dalam mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya. Bahkan, dikatakan bahwa al-Haris al-Muhasibi menukil adanya ijmak ulama mengenai diprioritaskannya ibu atas ayah. [Syarh Shahih Muslim, juz 16, hal. 102]

Keharusan mematuhi perintah orang tua tentunya selama tidak berkaitan dengan hal-hal yang dilarang agama. Meski demikian, orang tua tetap harus dihormati dan diperlakukan dengan baik. hal ini sebagaimana lanjutan ayat di atas yang berbunyi:

{وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} [لقمان: 15]

Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Q.S. Luqman [31]; 15

Maka dari itu, jika hari ibu dimaknai sebagai hari memberi kejutan dan berbuat baik kepada ibu, maka dalam Islam hari ibu harusnya bukan hanya tanggal 22 Desember melainkan setiap hari adalah hari ibu. hal ini karena keharusan untuk berbuat baik dan membahagiakan kedua orang tua tidak hanya berlaku pada waktu-waktu tertentu, tetapi di setiap saat semua orang harus berbakti dan mematuhi perintah kedua orang tuanya.

Maurice Bucaille dan Tafsir Ilmi tentang Siklus Air

0
Maurice Bucaille
Maurice Bucaille

Maurice Bucaille merupakan salah satu tokoh orientalis asal Perancis. Dia merupakan seorang dokter bedah yang mempelajari bahasa Arab agar mampu memahami teks Alquran. Maurice lahir pada tanggal 19 Juli 1920 di Post-1 ‘Eveque dan meninggal pada tanggal 17 Februari 1998 di usia 77 tahun.

Peneliti asal Prancis ini terkenal dengan pendapatnya bahwa sains modern bersifat universal dan netral, semuanya dapat ditemukan dalam Alquran. Pendapat ini banyak diikuti okeh para ilmuwan muslim yang dikenal dalam kelompok Bucaillian. Maurice populer berkat karyanya yang fenomenal dan terbit pada tahun 1976 yang berjudul “Bible, Quran, and Science”.

Maurice Bucaille mendapat undangan dari Presiden Anwar Sadat ke Mesir dan berkesempatan untuk meneliti mumi Fir’aun yang terdapat di museum Kairo pada tahun 1974. Dia tertarik meneliti mumi Fir’aun yang masih utuh yang ditemukan di seberang sungai Nil.

Maurice menemukan bahwa di sekujur tubuh jasad mumi tersebut terdapat sisa kandungan garam yang menjadikan jasad tersebut terawetkan. Melalui hasil penelitiannya ini, ia berhasil menerbitkan buku yang berjudul Les Momies des Pharaons et la Medecine dan mendapat penghargaan dari Academie Francaise.

Baca Juga: Tafsir Ilmi: Sejarah Kemunculan, Metodologi, dan Kritik Terhadapnya

Antara Alquran, Bibel, dan Sains

Maurice Bucaille mempelajari Alquran dengan pendekatan sains dan berusaha menafsirkan beberapa ayat sains dengan tujuan memberikan jawaban atas permasalahan yang mengandung kontroversi antara sains dan agama. Melalui hasil penelitiannya, dia memperoleh kesimpulan bahwa sains lebih sesuai dengan Alquran dibandingkan Bible.

Langkah-langkah penafsiran yang dilakukan Maurice yakni: pertama, menentukan tema besar dari suatu masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan; kedua, menganalisis ayat yang relevan menggunakan pendekatan semantik atau makna literalnya terlebih dahulu; terakhir, mengaitkan dengan ilmu pengetahuan yang diketahuinya.

Dalam bukunya yang berjudul “The Bible, The Quran, and Science”, Maurice membahas beberapa ayat Alquran yang dikelompokkan dalam beberapa tema sains diantaranya tentang penciptaan alam semesta, astronomi, biologi, geologi, dan embriologi.

Salah satu objek yang dibahas untuk membuktikan keselarasan Alquran dengan sains modern adalah siklus air. Saat ini dipahami bahwa siklus air terjadi karena air hujan yang diserap oleh tanah. Akan tetapi, Maurice Bucaille mengkaji ulang pendapat sains terdahulu yang dikatakan Thales bahwa air laut di bawah pengaruh angin terdorong ke dalam benua.

Sedangkan Plato yang didukung oleh Descartes berpendapat bahwa kembalinya air laut terjadi melalui jurang yang sangat dalam (tartarus). Ada juga Aristoteles yang mengungkapkan gagasannya bahwa uap air dari tanah mengembun di gua-gua pegunungan yang sejuk kemudian membentuk danau bawah tanah dan menjadi sumber mata air.

Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Gagasan-gagasan tersebut tampaknya lebih bersifat spekulasi filosofis dan hanyalah mitos semata, bukan bersumber dari fakta yang diamati. Sedangkan menurut Maurice Bucaille, di dalam Q.S. az-Zumar [39]: 21 Allah SWT telah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيْعَ فِى الْاَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا

Tidakkah kamu perhatikan bahwa Allah SWT menurunkan hujan dari langit lalu meresap ke tanah dan memancar menjadi mata air, lalu Dia menumbuhkan tanaman-tanaman yang berwarna-warni.” (Q.S. az-Zumar [39]: 21)

Gagasan yang terkandung dalam ayat tersebut senada dengan siklus air yang dipahami dalam dunia sains saat ini. Awal mula pemahaman sains tentang siklus air yang koheren dan sejalan dengan ayat ini yakni pada masa Renaisans (1400-1600 M).

Bernard Palissy dalam bukunya yang berjudul Discours Admirable de la Nature des Eaux et Fontaines Tant Naturalle (Wacana tentang Hakikat Air dan Air Mancur Alami dan Air Mancur Buatan) mencoba menginterpretasikan siklus air, khususnya cara mata air mendapat asupan air hujan. Selanjutnya juga disebutkan dalam Q.S. an-Nur [24]:43 Allah SWT berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزْجِيْ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِهِۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ جِبَالٍ فِيْهَا مِنْۢ بَرَدٍ فَيُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَّنْ يَّشَاۤءُۗ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْاَبْصَارِ

Tidakkah kamu perhatikan, bahwasanya Allah menjadikan awan bergerak lemah lembut, kemudian menyatukannya, lalu menjadikannya suatu tumpukan. Dan kamu melihat tetesan-tetesan air hujan memancar dari dalamnya. Gunung-gunung hujan es di langit, Dia menghantamkannya kepada siapa pun yang Dia kehendaki dan Dia memalingkannya dari siapa pun yang Dia kehendaki. Kilatan kilatnya hampir merenggut pandangan.”

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 42-43

Panas matahari menyebabkan lautan dan bagian bumi yang terendam air menguap. Uap air yang dilepaskan naik ke atmosfer dan mengembun membentuk awan. Kemudian angin mengintervensi dan menggerakkan awan, sehingga terbentuk dalam jarak yang berbeda.

Awan tersebut kemudian dapat menyebar tanpa menghasilkan hujan, gumpalannya dapat bergabung dengan gumpalan lain untuk menghasilkan kondensasi yang lebih besar, atau suatu saat dapat terpecah dan menghasilkan hujan.

Ketika hujan mencapai lautan (70% permukaan bumi tertutup lautan), siklus tersebut berulang dengan cepat. Ketika hujan turun di daratan, air tersebut diserap oleh tanaman, sehingga mendorong pertumbuhannya. Tumbuhan kemudian melepaskan air, sehingga lembali ke atmosfer dan sisanya meresap ke dalam tanah.

Demikianlah proses terjadinya hujan dan siklus air di muka bumi jika dilihat dari sisi sains modern yang sangat sesuai dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Alquran. Hal ini menunjukkan adanya keselarasan antara Alquran dan sains modern. Wallah a’lam

Abdullahi Ahmed Al-Na’im: Nasakh Terbalik Sebagai Landasan Epistemologis Dekonstruksi Syariah

0
Abdullahi Ahmed al-Na’im

Tidak sedikit cendikiawan dan pemikir muslim kontemporer yang merasakan kegelisahan intelektual ketika melihat postulat-postulat hukum Islam hasil ijtihad ulama klasik diaplikasikan dalam kehidupan modern saat ini. Mereka menilai bahwa keputusan-keputusan fikih yang ada dalam kitab klasik banyak yang sudah tidak relevan untuk dalam kehidupan saat ini. Karena itulah kemudian lahirlah wacana-wacana yang berusaha merekonstruksi bahkan mendekonstruksi bangungan hukum Islam tersebut. salah satunya adalah gagasan revolusi atau dekonstruksi syariah Abdullahi Ahmed al-Na’im.

Biografi Abdullahi Ahmed Al-Na’im

Abdullahi Ahmed al-Na’im atau yang lebih dikenal dengan al-Na’im adalah seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Sudan yang lahir pada tahun 1946. Ia menyelesaikan pendidikan S1-nya di Sudan, tepatnya Universitas Khourtoum dengan fokus pada kajian hukum. Di universitas inilah ia berkenalan dengan Muhammad Mahmud Taha, sorang ulama dan pembaharu Islam, yang kemudian menjadi guru utama dan banyak memberikan kontribusi terhadap konstruk pemikiran al-Na’im. Terutama konsep Makkiyah-Madaniyah yang kemudian dikembangkan oleh al-Na’im dan menjadi landasan paradigmatik dalam setiap wacana dan gagasannya.

Setelah mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Khourtoum, al-Na’im melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dengan mengambil kajian kriminologi. Kemudian, gelar Ph.D ia peroleh dari Universitas Edinburg, Skotlandia pada tahun 1976. Sejak lima belas tahun terakhir ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi profesor hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat.

Setelah mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Khourtoum, al-Na’im melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, Inggris dengan mengambil kajian kriminologi. Kemudian, gelar Ph.D ia peroleh dari Universitas Edinburg, Skotlandia pada tahun 1976. Sejak lima belas tahun terakhir ia menetap di Amerika Serikat dan menjadi profesor hukum di The Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat. (Ahmad Taufiq, Pemikiran Abdullah Ahmed An-Naim tentang Dekontruksi Syari’ah sebagai Sebuah Solusi, 150-151)

Baca Juga: Konsep Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

Kritik Syari’ah Al-Na’im

Salah satu faktor yang mengantarkan ketenaran nama al-Na’im adalah gagasannya tentang hukum Islam, HAM dan Hubungan Internasional.  Di antara tema urgen yang menjadi sorotannya adalah tentang krisis kemanusiaan yang menurutnya bermula dari adanya ketegangan antara hukum Islam dengan HAM. Dalam pandangan al-Na’im, hukum Islam cenderung menempatkan non-muslim sebagai makhluk kelas dua yang ini disinyalir menjadi sumber sakralisasi kekerasan dan pelanggaran hak-hak kemanusiaan lainnya. Al-Na’im melihat realitas hukum Islam yang seperti ini jelas bertentangan dengan HAM dan hubungan internasional dan harus segera dikompromikan seara otoritatif dan konklusif.

Guna menyelesaikan ketegangan tersebut, al-Na’im menekankan perlunya revolusi dan pembacaan ulang terhadap teks-teks suci agama. Menurutnya, Islam sejatinya memiliki segudang landasan normatif yang mengafirmasi serta mengusung nila-nilai kebebasan dan kesetaraan. Nilai-nilai universal tersebut dijumpai pada ayat-ayat yang turun saat periode Mekkah berlangsung. Ia sangat menyayangkan postulat-postulat hukum Islam yang selama ini didasarkan pada ayat-ayat Madaniyah yang dinilai intoleran dan eksklusif  serta mengabaikan ayat-ayat Makkiyah karena adanya konsep nasakh.

Dalam pandangan al-Na’im, ayat-ayat yang turun pada periode Madinah lebih menekankan hubungan internal kaum muslim serta memisahkannya dengan umat lain secara antagonistik. Misalnya adanya larangan menjadikan kaum beragama lain sebagai teman setia atau pelindung, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 28, al-Nisa’ [4]: 144, al-Maidah [5]: 51 dan lain-lain. Begitu pula ayat-ayat Madaniyah lain yang oleh al-Na’im dinilai diskriminatif terhadap suatu golongan. (Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 273-274)

Baca Juga: Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Bagi al-Na’im, ajaran-ajaran pada periode Madinah sifatnya historis dan temporal. Dalam bukunya Toward An Islamic Reformation (yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan menjadi Dekonstruksi Syariah), ia menegaskan bahwa umat Islam tidak akan pernah benar-benar mencapai kemajuan terutama dalam bidang hukum publik selagi mereka masih berpegang pada apa yang disebut al-Na’im sebagai syariah historis. (al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, 69)

Yang dimaksud dengan syariah historis menurut al-Na’im adalah ajaran ajaran yang berlaku pada periode Madinah. Sejalan dengan yang dikatakan oleh gurunya, Mahmud Taha, al-Na’im memandang masyarakat pada waktu madinah pada waktu itu belum mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran universal ayat-ayat makkiyah. Sehinnga aturan syariah yang diturunkan pada waktu periode Madinah menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Madinah pada waktu itu.

Guna menyelesaikan ketegangan antara hukum Islam, Ham dan hukum internasiolan ini, al-Na’im berupaya mendekonstruksi hukum Islam dengan teori Makkiyah dan Madaniyah gurunya, Mahmud Taha. Ia melanjutkan teori tersebut dan mengembangkannya menjadi nasakh terbalik untuk mendapatkan hukum Islam yang sejalan dengan HAM dan hukum internasional. Dengan demikian, al-Naim menawarkan bahwa dengan mempertimbangkan konteks di zaman modern saat ini, ayat-ayat Madaniyah-lah yang justru dinasakh oleh ayat-ayat Makkiyah.

Al-Na’im menilai bahwa ayat-ayat yang turun pada periode Madinah bersifat temporal dan tidak dapat diterapkan dalam realitass kehidupan saat ini. Justru ayat-ayat Makkiyah yang seharusnya dijadikan pedoman dan rujukan oleh umat Islam saat ini isi kandungan ajaran periode Mekkah yang memuat prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleran dan nilai-nilai universal lainnya. Ia menegaskan bahwa satu-satunya jalan menuju pembaharuan hukum Islam adalah dengan me-nasakh ayat-ayat Madaniyah yang membenarkan penggunaan kekerasan dan peperangan terhadap non-muslim dalam menyebarkan ajaran agama. Lalu menggantinya dengan ayat-ayat yang menekankan perdamaian dalam mencapai tujuan tersebut.

Gagasannya mengenai revolusi syariah dengan perspektif nasakh terbalik memang patut di apresiasi. Apalagi mengingat latar belakang munculnya gagasan tersebut yang bermula dari adanya krisis kemanusiaan yang dirasakan sendiri oleh al-na’im. Namun, wacana deonstruksi syariah tersebut tidak harus diamini dan diterima begitu saja. Masih banyak celah yang perlu didiskusikan dan direnungkan kembali, terlebih untuk wacana-wacana progresif yang rawan menimbulkan ‘kemarahan’ dalam internal umat Islam. Sekian.

Alif Lam Mim: Polivalensi al-Huruf al-Muqatta‘at dalam Tradisi Tafsir

0
Alif Lam Mim: Polivalensi al-Huruf al-Muqatta‘at dalam Tradisi Tafsir
Alif Lam Mim.

Banyak ulama telah melakukan penyelidikan terhadap makna-makna Alquran dalam bentuk karya-karya tafsir. Kendati demikian, upaya tersebut belumlah usai, justru membuka adanya eksplorasi makna. Dengan banyaknya penyelidikan tersebut memperlihatkan proses sekaligus prosedur yang akan terus menerus dilakukan. Hal ini dikarenakan Alquran memuat kekayaan makna sehingga bagi siapa saja yang berusaha menyelidikinya (melakukan upaya penafsiran) belum mampu merepresentasikan keseluruhan maknanya secara komprehensif. Ini menyebabkan tafsir selalu berkembang, kritik metodologis menjadi hidup dan dialektika tafsir dengan demikian akan selalu berlanjut.

Enigma Penafsiran al-Huruf al-Muqatta‘at

Salah satu lokus tafsir Alquran yang masih senantiasa memunculkan pertanyaan akan makna adalah perihal al-huruf al-muqatta‘at (the disconnected letters), biasa juga disebut fawatih atau awa’il al-suwar (pembuka atau permulaan surah-surah). Pada ayat-ayat yang di dalamnya tercakup al-huruf al-muqatta‘at memunculkan banyak ragam makna (polivalensi), terlebih karena mereka tidak hadir dalam bentuk satu kata atau kalimat utuh, tetapi dalam bentuk huruf-huruf yang terpotong sehingga maknanya tidak bisa tercerap begitu saja, butuh upaya penafsiran bahkan takwil.

Ayat-ayat grafem tersebut bisa ditemukan di dalam permulaan dari 29 surah. Terkadang mereka hadir dalam bentuk huruf tersendiri, seperti ص (Q. 38:1), ق (Q. 50:1), dan ن (Q. 68:1), tapi lebih sering muncul dalam bentuk berkelompok. Pengelompokan itu terdiri dari pasangan dua huruf, yaitu طه (Q. 18:1), طس (Q. 27:1), يس (Q. 36:1), dan حم (Q. 40:1, Q. 41:1, Q. 43:1, Q. 44:1, Q. 45:1, Q. 46:1); dari tiga huruf, yaitu الم (Q. 2:1, Q. 3:1, Q. 29:1, Q. 30:1, Q. 31:1, Q. 32:1), الر (Q. 10:1, Q. 11:1, Q. 12:1, Q. 14:1, Q. 15:1), طسم (Q. 26:1, Q. 28:1); dari empat huruf, yaitu المص (Q. 7:1), المر (Q. 13:1); kemudian dua kali dalam kelompok lima huruf, yaitu كهيعص (Q. 19:1) and حم عسق (Q. 42: 1) (Martin Nguyen, Exegesis of Huruf al-Muqatta‘a, Journal of Qur’anic Studies, Vol. 14, No. 2, 2012, hlm. 1).

Baca juga: Ayat-Ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

Banyak ulama yang telah menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sebagian menganggap bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah Swt., sebagaimana komentar al-Tha‘labi pada Q.S. 2: 1. Ia menyatakan, “Kami percaya pada proses pewahyuan (tanzil) mereka, tetapi kami menyerahkan penafsiran (ta’wil) pada Allah Swt.”

Sebagiannya lagi mencoba untuk melampaui anggapan tersebut. Salah satunya adalah Ibn ‘Arabi yang menganggap bahwa meskipun grafem-grafem tersebut terletak pada permulaan 29 surah berbeda, seluruhnya terikat (secara makna) satu dengan lainnya. Sehingga di dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ia menerangkannya dalam bab terkhusus berjudul Manzil al-Rumuz (The Abode of Symbols). Martin Nguyen, seorang dosen Studi Agama, menganggap Ibn ‘Arabi mengerti bahwa terdapat polivalensi dalam mengurai makna dari ayat-ayat ‘spesial’ tersebut. Selain itu ada juga yang menganggap bahwa huruf-huruf tersebut tidak memiliki makna.

Eksplorasi Penafsiran al-Huruf al-Muqatta‘at

Apakah huruf-huruf tersebut memang tidak memiliki makna? Jika demikian, kenapa di Alquran justru banyak keterangan yang memperlihatkan sebaliknya? Misalnya, di Q.S. al-Baqarah, 2: 2, “Itulah kitab (Alquran) yang tiada keraguan di dalamnya.” atau di Q.S. Yunus, 10: 1. “Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Alquran yang penuh hikmah.” Tentu penyandingan al-huruf al-muqatta‘at dengan frasa-frasa tersebut bukan tanpa alasan. Dalam merespon hal ini seorang ahli nahwu, al-Akhfash al-Awsat, menyodorkan pertanyaan tentang apakah mungkin sesuatu yang berasal dari Alquran tidak memiliki makna (Martin, 7).

Dalam kategorisasinya, ayat-ayat grafem tersebut termasuk ke dalam ayat mutashabih, yaitu samar. Sehingga ayat tersebut cenderung ditafsirkan secara equivokal, tidak seperti muhkam yang univokal.

Baca juga: Penafsiran Kyai Sholeh Darat tentang Makna Alif Lam Mim

Beberapa ulama mencoba mengurai makna dari huruf-huruf tersebut. Pada masa-masa awal, misalnya, Ibn ‘Abbas mencoba menafsirkan makna a-l-m yang merupakan singkatan dari ana Allah a‘lam (Akulah Tuhan, Aku Mengetahui), a-l-r dengan ana Allah ara (Akulah Tuhan, Aku Melihat), a-l-m-s dengan ana Allah a‘lam wa-afsil. Kemudian ada al-Zamakhsari dengan pengertian bahwa huruf-huruf tersebut hadir sebagai i‘jaz, yaitu makna yang dihadirkan untuk memperlihatkan bahwa Alquran tersusun dari huruf spesial sehingga ia tidak memungkinkan untuk diimitasi (Martin, 10).

Sayyid Qutb, pemikir dari Mesir, mencoba menafsirkannya secara analogis-materialis. Disebabkan huruf-huruf tersebut adalah elemen-elemen dasar dari alfabet Alquran, dengan demikian, menurut Qutb, diandaikan sebagai tanah bumi. Sebagaimana Allah mengambil tanah dan darinya menciptakan kreasi yang luar biasa, sehingga Dia juga mengambil huruf-huruf itu untuk kemudian dihasilkanlah darinya Alquran. Di lain sisi, manusia hanya mampu membuat batu bata dan ubin. Ciptaan mereka bersifat sangat terbatas. Demikian juga kemampuan mereka memahami huruf-huruf berakhir pada ‘keagungan dan kekuatan’ wahyu Tuhan (Martin, 12).

Baca juga: Tafsir Alquran Bersifat Multivokal, Ini Tiga Alasannya

Sedangkan kalangan sufi menafsirkannya dengan paradigma berbeda dari contoh-contoh sebelumnya. Mereka memperhatikan nilai kebermaknaan (meaningfulness) dari makna dalam melakukan pendekatan terhadap al-huruf al-muqatta‘at.

Ibn ‘Arabi, seperti yang telah disinggung sebelumnya, juga tidak melepaskan perhatiannya pada huruf-huruf. Dalam a-l-m, misalnya, ia menghadirkan makna yang lebih bersifat esoteris. Ia menganggap a (huruf terpisah dari l-m) sebagai ‘Esensi Yang Sempurna dan Transenden’ dari Tuhan. Pemaknaan demikian ditujukan pada murid-murid dalam jalur sufistik. Sebuah karakterisasi dalam rangka mencapai pendalaman batiniah.

Dari sini dapat dilihat Ibn ‘Arabi meneropong lebih dalam makna dari huruf-huruf, secara khusus a-l-m sebagai simbol dari totalitas eksistensi yang menggambarkan elemen-elemen dari transendensi Tuhan sekaligus imanensi manusia. Dari pandangan ini, yaitu kemungkinan untuk bermeditasi melalui huruf-huruf menunjukkan ada pembayangan kembali (re-envision) terhadap realitas melalui kebenaran mistis (Martin, 12).

Kritik terhadap Kalangan Revisionis

Dari beberapa contoh tersebut dapat dipahami bahwa dalam tradisi tafsir, sarjana-sarjana muslim telah banyak melakukan penyelidikan. Dialektika kritis telah terjadi selama berabad-abad dalam konteks pemahaman terhadap al-huruf al-muqatta‘at.

Baca juga: Mengenal Kesarjanaan Revisionis dalam Studi Alquran

Di lain sisi, lokus tafsir ini juga telah mengundang ketertarikan sarjana-sarjana barat. Kendati demikian, implikasi tafsir yang muncul memiliki perbedaan yang begitu signifikan, bahkan cenderung pada pandangan revisionis. Beberapa misalnya menganggap bahwa al-huruf al-muqatta‘at bukanlah bagian dari Alquran karena adanya asumsi bahwa huruf-huruf tersebut tidak wajar dengan bandingan norma teks Alquran. Hal ini berimplikasi pada anggapan bahwa al-huruf al-muqatta‘at tidak orisinal, tetapi tambahan dari penulisnya. Narasi ini sebagaimana penyelidikan yang dilakukan oleh Jacob Golius (m. 1667).

Menurut Martin, hal ini menunjukkan bahwa kalangan revisionis itu tidak melihat sejarah Islam secara utuh. Selain itu juga memperlihatkan bahwa mereka tidak memperhatikan, bahkan menolak memperhatikan keluasan diskursus yang telah diperlihatkan oleh sarjana-sarjana muslim berabad-abad lalu. Wallahu a‘lam.

Mengenal Tafsir al-Khalil Karya Syekh Kholil Bangkalan

0
Mengenal Kitab Tafsir al-Khalil Karya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan
Lora Kholili Kholil, peneliti manuskrip Syekh Kholil Bangkalan (sumber: YouTube BKN PDI Perjuangan).

Kitab Tafsir al-Khalil secara genealogi merupakan awal mula munculnya kitab tafsir pertama di Madura, yaitu pada abad 19. Kitab tafsir yang ditulis oleh Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan ini merupakan tafsir komprehensif berjumlah 30 juz dan tergolong sebagai kitab tafsir Alquran pertama yang berbahasa Jawa.

Klaim tentang kitab tafsir pertama berbahasa Jawa disebutkan oleh Lora Kholili Kholil (peneliti manuskrip Syekh Kholil Bangkalan/LBM NU) saat mengisi acara di Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan. Menurutnya, sebelum Tafsir al-Khalil telah muncul banyak kitab tafsir Alquran berbahasa jawa, tetapi tidak secara lengkap. Ia mencontohkan kitab tafsir Alquran yang ditulis oleh Syekh Sholeh Darat. Beliau dalam menulis kitab tafsirnya tidak sampai sempurna 30 Juz.

Latar Belakang Kitab Tafsir al-Khalil

Kitab tafsir yang ditulis oleh Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan sebenarnya tidak memiliki nama khusus seperti kitab tafsir lainnya. Nama Tafsir al-Khalil diberikan oleh Lora Ustman Hasan, Ketua Lembaga Lajnah Turost Ilmy Syaikhoan Muhammad Kholil, sekaligus salah satu cicit beliau.

Menurut Lora Ustman Hasan penamaan kitab tafsir ini diambil dari dua kata. Pertama, nama dari “Kitab Tafsir” yang mulanya Kitab Tafsir al-Qur’an al-Adhim itu sendiri yang terletak di halaman depan kitab tersebut. Kedua, diambil dari nama pengarangnya, yaitu Syaikhona Muhammad Kholil. Kitab Tafsir al-Khalil sampai saat ini belum tersebar secara luas.

Baca juga: Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

Kitab Tafsir al-Khalil ditulis pada 1320 hijriyah. Kitab ini terdiri dari 30 juz dengan 1 jilid. Kitab ini ditulis Syaikhona Muhammad Khalil Bangkalan ketika beliau berumur 69-70 tahun, di tahun 1320 H. atau sekitar 1901-1902 M. di usia yang sedemikian tua beliau masih produktif.

Di halaman penutup dalam kitab tafsirnya, Syaikhona Muhammad Khalil Bangkalan menuliskan wasiat kepada para pembaca kitab tafsirnya. Lalu secara tegas beliau menulis namanya dengan tulisan “Mat Khalil”. Bukti bahwa beliau sangat tawaduk dan tidak kearab-araban meski pada kenyataannya beliau selama 26 tahun hidup di tanah Arab.

Dengan menulis nama “Mat Khalil”, juga menandakan bahwa beliau sangat bangga menjadi orang Indonesia dan bangga dengan kesukuan beliau sebagai orang Madura.

Metode Penulisan Kitab Tafsir al-Khalil

Syaikhona Muhammad Khalil Bangkalan dalam kitab tafsirnya menggunakan metode makna interlinear (bergantung pada teks). Oleh beliau setiap teks diberi makna gantung dengan menggunakan aksara Arab Pegon atau disebut dengan terjemah gandul (terjemah kata demi kata). Selain dari itu beliau juga memberikan catatan pinggir atau penjelasan tambahan (yang disebut dengan tafsir).

Metode yang digunakan dalam kitab Tafsir al-Khalil ialah penafsiran secara ijmali atau global. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kitab tafsir ini menerjemahkan kata perkata ayat Alquran dengan memberikan penjelasan lanjutan. Corak penafsiran Syaikhona Muhammad Khalil adalah lughawi atau kebahasaan, dilihat dari uraiannya sangat kental dengan kaidah bahasa Arab atau i’rab.

Baca juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura

Syaikhona Muhammad Kholil dikenal sebagai ulama yang sangat ahli di bidang bahasa Arab. Beliau di catatan pinggir kitabnya banyak menafsirkan ayat secara terperinci mulai dari aspek kebahasaan, makna global, dan asbab an-nuzul.

Langkah-langkah yang dipakai Syaikhona Muhammad Khalil Bangkalan dalam menafsirkan Alquran ialah dengan menyantumkan riwayat dengan teliti. Beliau sering menafsirkan Alquran dengan merujuk kepada riwayat yang bersumber pada pendapat mufasir dan hadis Nabi.

Baca juga: Qur’an in Every Day Life: Potret Budaya Tahfidz Alquran di Congaban

Contoh, ketika beliau menafsirkan surah al-Baqarah ayat 180 dan 198. Beliau dalam catatan pinggirnya menulis nama pengarang kitab yang beliau kutip, yaitu Tafsir al-Jalalain dan Ruwahu at-Tirmidzi.

Selain itu di catatan pinggirnya beliau sering menjelaskan tentang ilmu tata bahasa. Beliau mendefinisikan arti kalimat kemudian menambahkan penjelasan kedudukan kalimat tersebut dalam struktur i’rab.

Defamiliarisasi Shahrour: Upaya Merebut Kembali Teks Alquran

0
Defamiliarisasi Shahrour: Upaya Merebut Kembali Teks Alquran

Membicarakan Mohamad Shahrour adalah mempertanyakan kembali hal-hal yang sudah paten, final, dan disepakati oleh ulama klasik. Hasil pikirannya yang tertuang dalam buku al-Kitab wa al-Qur’an: qira’ah mu’ashirah (The Book and the Qur’an: a Contemporary Reading) itu, membuat semacam “kegaduhan” di kalangan cendikiawan, baik Barat maupun Timur.

Mereka yang bisa mencerna apa yang dipikirkan Shahrour, akan sadar dan memeriksa kembali apakah yang dikatakan Shahrour benar adanya atau tidak; sebaliknya mereka yang tak bisa mencerna, sudah tentu, protes dan mengecam pikirannya yang “melenceng”. Dan Shahrour memang sengaja melakukan pelencengan itu. Sebagaimana disebut Andreas Christmann, cara yang tepat untuk memahami pikiran Shahrour dalam diskursus studi Alquran adalah dengan pendekatan defamiliarisasi (menentang kelaziman).

Christmann dalam artikelnya, The Form is Permanent, But the Content Moves”: the Qur’anic Text and its Interpretation(s) in Mohamad Shahrour’s al-Kitab wa al-Qur’an, yang diurai dalam review ini, menjelaskan pemikiran Shahrour dengan begitu apik ihwal teks Alquran, pewahyuan (perbedaan makan tanzil dan inzal), I’jaz, dan penafsiran (Hal. 149).

Baca Juga: Tafsir Analisis Matematis ala Muhammad Syahrur

Penolakan-penolakan Shahrour terhadap pengetahuan konservatif yang sudah dianggap final, menurut Christmann, dilatarbelakangi oleh posisinya yang bukan seorang mufasir dan ahli fikih. Ia juga tidak pernah mengeyam pendidikan madrasah Islami. Shahrour hanya seorang pembelajar otodidak, di mana pikirannya juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pemikir dengan gaya yang sama dengan dirinya, seperti A.N. Whitehead, Ibn Rusyd, I. Newton, al-Farabi, al-Jurjani, F. Hegel, Fukuyama, dan lainnya.

Problem Sinonimitas Istilah dalam Tradisi Islam

Dekonstruksi yang dilakukan Shahrour terhadap terminologi dan istilah tradisional yang tak masuk akal dan kering data, menjadi sebentuk defamiliarisasi Alquran. Beberapa istilah itu antara lain: al-Kitabal-Qur’an, muhkam – mutasyabih, dan kenabian (nubuwah) – kerasulan (risalah).

Christmann mengutip sekaligus menyederhanakan tabel yang dibuat Shahrour, berikut penjelasannya dalam tiga poin: Pertama, bagi Shahrour tidak ada satu kata pun yang dapat diganti dengan kata lain, kecuali akan mengubah konteks makna dan merusak kekuatan ekspresif dari konstruksi linguistik kata, seperti kata al-Kitab (baca: buku) dan al-Qur’an yang nampak sinonim. Baginya al-Kitab itu maknanya lebih umum sedang al-Qur’an lebih spesifik.

Kedua, Shahrour menolak atomisasi makna al-Kitab, sebab dalam keseluruhan teks Alquran terdapat berbagai tema-tema yang berbeda. Dalam keyakinan konservatif, ayat-ayat Alquran semuanya memiliki hubungan dan keterikatan satu sama lain. Namun, bagi Shahrour tidak.

Dalam Alquran, tema-tema seperti ibadah, akhak, muamalah, dll., mempunyai tempatnya masing-masing. Ini juga ada kaitannya dengan perbedaan tentang kenabian dan kerasulan Muhammad Saw. serta ayat muhkam dan mutasyabih. Muhkam berkaitan dengan kenabian dan yang mutasyabih dengan kerasulan. Dan ketiga, konsep nazm dalam Alquran. Keseluruhan konsep Shahrour tentang teks Alquran, terutama yang ketiga ini, berdasar pada teori-teori linguistik yang digagas oleh al-Jurjani.

Baca Juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan

Konsep Pewahyuan: Antara Tanzil dan Inzal

Konsep pewahyuan Alquran, yakni proses turunnya, yang masyhur di kalangan umat muslim hingga saat ini adalah dimulai dari lauhil mahfuz ke langit dunia pada malam lailatul qadar. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.

Definisi ini muncul dan ditransmisikan secara lanjut sejak Imam Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, hingga ulama-ulama setelahnya. Namun, bagai pelayar yang melawan arus, Shahrour menentang pendapat-pendapat itu.

Dengan pembacaan kontemporernya, ia membuat sebuah perbedaan antara dua bentuk dalam wacana keislaman, yaitu: realitas Ilahi yang kekal, tidak berubah, dan absolut; dengan pemahaman manusia yang dapat berubah, parsial, dan relatif. Dengan argumen itu, Shahrour menyimpulkan bahwa upaya-upaya kontemporer dalam menafsirkan Alquran jauh lebih baik dan maju daripada hasil kesarjanaan Islam berabad-abad yang lalu (Hal. 150).

Tanzil dan inzal adalah dua term yang sering dijumpai dalam Alquran untuk menjelaskan konsep pewahyuan. Shahrour menolak sinonimitas dua term ini. Baginya, keduanya sangatlah berbeda. Ia kemudian memberi contoh bagaimana proses wahyu itu berlangsung seperti siaran TV, yaitu melalui empat tahap.

Pertama, al-ja’l (transformasi) pertandingan sepak bola yang direkam melalui kamera dan dikirim ke dunia melalui bentuk gelombang suara dan gambar. Kedua, al-tanzil, gelombang yang mengangkut suara dan gambar ke seluruh dunia terjadi di udara dan di luar jangkauan indra manusia. Ketiga, al-inzal, TV mengubah gelombang itu menjadi suara dan gambar kembali dan tampak dengan indra manusia; Terakhir, persepsi, seorang penonton bisa melihat pertandingan sepak bola tersebut dan masuk ke dalam pengetahuannya.

Baca Juga: Membuka Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”

I’jaz dan Penafsiran Alquran

I’jaz bukanlah tentang keistimewaan dan keagungan estetika Alquran, namun jauh daripada itu I’jaz terkait dengan penafsiran atau takwil. Shahrour lebih suka menggunakan term takwil, karena baginya takwil merupakan tasyabbuh: upaya untuk menyelaraskan apa yang absolut (al-Qur’an) dengan pemahaman relatif (nisbiyat fahm) pembacanya. Lebih spesifiknya, ia sebut laku tersebut dengan ta’wil hissi. Dan tentunya takwil di sini berbeda dengan ijtihad-nya ulama fikih, sebab metodologinya pun sama sekali berbeda. (Hal. 166-167)

Christmann tak lupa menyelipkan kritik mengenai pikiran Shahrour ini. Mengutip M.H. Kamali, ia menyebutkan bahwa pandangan Shahrour terhadap perbedaan kategori ayat sangat intens, namun paradoksnya, ia tak menyebutkan secara gamblang apa saja ayat-ayat yang berbeda itu, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara membedakannya.

Namun, begitulah memang sebuah pemikiran, tak ada yang sempurna dan selalu terbuka untuk kritik. Hanya saja, apa yang dilakukan Shahrour ini sungguh membuat cakrawala keilmuan studi Alquran menemukan udara baru. Entah itu udara yang baik atau buruk, hanya waktu yang dapat menilai. Setidaknya, hingga saat ini pemikiran Shahrour masih menjadi pertimbangan para cendikiawan barat dan timur.

Terakhir, komentar dari Christmann terkait tokoh yang dibahasnya ini menarik untuk saya kutipkan, “Because he also suspends any exegetical remarks by other interpreters (which are important only as part of the turath), and because he does not contextualize the meaning of the Qur’an through its historical origin (only the form is historical, the content is moving, i.e. contemporary), his resultant readings are quite unique and have a taste of arbitrariness.”

(Karena ia juga menangguhkan komentar penafsiran para penafsir lain (yang hanya penting sebagai bagian dari turats), dan karena ia tidak mengontekstualisasikan makna Alquran melalui asal-usul historisnya (hanya bentuknya yang historis, isinya bergerak, yaitu ke ranah kontemporer), pembacaan yang dihasilkannya cukup unik dan memiliki cita rasa kesewenang-wenangan) (Hal.157).