Beranda blog Halaman 51

Konsep Maqasid al-Qur’an Perspektif Ahmad ar-Raisuni

0
maqasid al-Quran Ahmad ar-Raisuni
maqasid al-Quran Ahmad ar-Raisuni

Kajian terhadap maqasid asy-syari’ah dinilai muncul lebih awal daripada maqasid al-Qur’an. Dalam fase-fase geneologisnya, maqasid al-Qur’an tidak hanya muncul dari pemikiran para pakar Al-Qur’an. Ada beberapa tokoh besar di bidang maqasid asy-syari’ah yang telah menuliskan gagasannya tentang maqasid al-Qur’an, misalnya Izzuddin bin Abdussalam dan Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur. Selain kedua nama besar tersebut, nama Ahmad ar-Raisuni, ulama besar maqasid asy-syari’ah asal Maroko juga memiliki konsep maqasid al-Qur’an.

Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Biografi Ahmad ar-Raisuni

Ahmad bin Abdus Salam bin Muhammad ar-Raisuni yang lebih dikenal Ahmad ar-Raisuni lahir pada tahun 1372 H./1953 M. di Aulad Sulton, Qashr al-Kabir, Provinsi Ara’isy, Maroko. Pendidikan dasar dan menengah ar-Raisuni dihabiskan di kampung halamannya, Qashr al-Kabir. Setelahnya, ar-Raisuni meneruskan ke Universitas Al-Qarawiyyin dengan mengambil konsentrasi kajian syari’at dan lulus sebagai sarjana di tahun 1398 H./1978 M. Studi pascasarjana ar-Raisuni diteruskan di Universitas Muhammad V, Rabat. Ar-Raisuni meraih gelar magister dalam kajian maqasid asy-syari’ah pada tahun 1409 H./1989 M. dan gelar doktor dalam kajian usul al-fiqh 1412 H./1994 M. (Nazariyyat al-Maqasid ‘inda al-Imam al-Syatibi, hal. 3)

Karir intelektual ar-Raisuni sudah dimulai sejak beliau menjadi mahasiswa pascasarjana dengan mengajar sebagai dosen pada program studi usul al-fiqh dan maqasid al-syari’ah, Fakultas Sastra dan Humaniora, Universitas Muhammad V, Rabat (1986-2006). Di level global, ar-Raisuni menjadi Penasihat Akademis di Institut Pemikiran Islam Internasional (The International Institute of Islamic Thought) yang berdiri sejak 1981 dan berbasis di Virginia, Amerika Serikat.

Pada bulan November, 2018 ar-Raisuni menggantikan Yusuf al-Qaradhawi menjadi Pemimpin Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional (The International Union of Muslim Scholars) yang berakhir di tahun 2022. (“Ahmed al-Raissouni: President of Muslim Scholars’ Union”, Anadolu Agency, Ankara, 2018)

Baca Juga: Maqasid al-Qur’an Perspektif ‘Abd al-Karim Hamidi

Kontribusi Intelektual ar-Raisuni

Pemikiran ar-Raisuni dalam bidang maqasid tertuang pada karya-karyanya, di antaranya, penerbitan karya akademik tesis berjudul Nazariyyat al-Maqasid ‘inda al-Imam al-Syatibi (1411 H./1990 M.) dan disertasi berjudul Nazariyyat al-Taqrib wa al-Taglib wa Tatbiqatuha  fi  al-‘Ulum al-Islamiyyah (1995 M.). Khusus di bidang maqasid al-Qur’an, ar-Raisuni menulis jurnal ilmiah berjudul Juhud al-Ummah fi Maqasid al-Qur’an al-Karim yang ia presentasikan dalam Muktamar Internasional Pengkaji Al-Qur’an dan terkompilasi dalam sebuah kitab berjudul Juhud al-Ummah fi Khidmah al-Qur’an al-Karim wa ‘Ulumuhu

Konsep maqasid al-Qur’an ar-Raisuni kemudian lebih disempurnakan pada kitab Maqasid al-Maqasid: al-Ghayat al-‘Ilmiyah wa al-‘Amaliyah li Maqasid al-Shari’ah yang membahas definisi, klasifikasi, metode ekstraksi, hingga urgensi maqasid al-Qur’an terhadap kehidupan beragama. Kitab Maqasid al-Maqasid adalah sumber otoritatif pemikiran maqasid al-Qur’an ar-Raisuni, meski isi kitab tersebut terdiri dari ragam maqasid lain seperti maqasid al-sunnah dan al-syari’ah. (Maqasid al-Maqasid, 3-10)

Baca Juga: Diskursus Maqashid Al-Quran di Kalangan Ulama Klasik

Konsep Maqasid al-Qur’an ar-Raisuni

Ar-Raisuni membagi maqasid al-Qur’an menjadi tiga bagian, maqasid ayat, maqasid surah, dan maqasid universal Al-Qur’an. (Juhud al-Ummah fi Maqasid al-Qur’an al-Karim, 1965-1966). Klasifikasi maqasid al-Qur’an ar-Raisuni mengindikasikan dua hal. Pertama, similaritas konsep maqasid al-Qur’an ar-Raisuni dengan konsep maqasid asy-syari’ah yang dirumuskannya. Pada aspek klasifikasi misalnya, ar-Raisuni membagi maqasid asy-syari’ah menjadi tiga, maqasid juz’iyyah, maqasid khashshah, dan maqasid ‘ammah. Indikasi kedua adalah menampilkan secara eksplisit proses ekstraksi maqasid al-Qur’an versi ar-Raisuni menggunakan metode induksi dan konklusi. (Muhadarat fi Maqasid al-Syari’ah, 26-30).

Secara hirarkis, maqasid universal adalah bagian maqasid tertinggi dan memiliki cangkupan terbesar. Ar-Raisuni menyebut maqasid universal Al-Qur’an terdiri dari lima maqasid yang dapat dicermati secara tekstual dalam ayat-ayat Alquran, antara lain, pertama, tauhid dan ibadah. Kedua, pedoman hidup dan beragam bagi hamba. Ketiga, penyucian diri dan pengajaran hikmah. Keempat, kasih sayang dan kebahagiaan, dan kelima, menegakkan kebenaran dan keadilan. (Maqasid al-Maqasid, 10-12)

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Ekstraksi Maqasid al-Qur’an ar-Raisuni

Dalam proses ekstraksi maqasid universal Alquran, ar-Raisuni telah menyusun dua metode, yaitu metode tekstual dan metode induksi-konklusi. Metode pertama berfokus pada telaah maqasid al-Qur’an yang dinarasikan ayat-ayat Alquran secara eksplisit, misalnya Q.S. Al-Isra’ [17]: 82 menarasikan salah satu maqasid universal yaitu kasih sayang dan kebahagiaan.

Metode kedua mengintegrasikan proses induktif dan konklusif. Kompilasi maqasid parsial pada ayat dan surat disusun berdasarkan kesamaan tematik untuk kemudiaan ditarik kesimpulan beberapa maqasid universal Alquran. Pada pembahasan metode induksi-konklusi, ar-Raisuni juga menyebutkan maqasid universal Alquran perspektif al-Ghazali, Izzuddin bin Abdussalaam, al-Biqa’i, Rasyid Ridha, dan Ibnu ‘Asyur. (Maqasid al-Maqasid, 12-15)

Ahmad ar-Raisuni lebih familiar sebagai tokoh maqasid al-syari’ah kontemporer yang masih eksis menyampaikan pemikiran maqasid-nya melalui berbagai forum ilmiah dan media digital. Namun gagasannya tentang maqasid al-Qur’an dapat menjadi warna baru yang harus terus dikaji, dikritisi, dan dikembangkan sebagai salah satu perspektif untuk melihat fenomena kekinian dan memberikan tawaran jawaban yang relevan dengan visi utama Alquran. Wallah a’lam

Memaknai Kisah Nabi Ibrahim, Semut dan Boikot

0
Kisah Nabi Ibrahim, semut dan boikot
Kisah Nabi Ibrahim, semut dan boikot

Dunia sedang menonton film kolosal terbesar, perang antara Israel vs Hamas. Ribuan korban terus berjatuhan, anak kecil, wanita dan rakyat sipil menjadi korban. Mata dunia tertuju pada mereka, protes terus bergulir dari berbagai penjuru dunia. Kita bisa melihat, segala macam seruan maupun kecaman international tidak digubris. Terdapat 190 kepala negara dan seakan tak satupun mampu untuk menghentikan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.

MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa No. 83 tahun 2023 tentang wajibnya mendukung perjuangan Palestina dan haramnya mendukung aneksasi Israel. Fatwa tersebut kemudian diimplementasikan secara berlebih dengan menganggap haram membeli produk yang berafiliasi terhadap Israel, padahal fatwa MUI tersebut tidak sampai ke tahap tersebut.

Fatwa tersebut hanya mengatakan keharaman mendukung agresi Israel, kecuali ketika kita membeli berbagai produk tersebut dengan tujuan mendukung kekejaman Israel terhadap Palestina, maka hukumnya bisa haram. Artinya lakukan boikot semampunya, dan lakukan dukungan perjuangan terhadap Palestina semampunya juga.

Apakah tindakan boikot mampu mengendorkan agresi yang mereka lakukan? Belum tentu juga, akan tetapi setidaknya kita tidak diam melihat peperangan itu dan ikut berbuat sesuatu meskipun kecil. Dalam satu Kaidah Ushuliyyah dikatakan, ‘jika kita tak mampu melakukan satu hal besar maka jangan sampai tidak melakukan apapun meskipun itu kecil’ (mȃ lȃ yudroku kulluh, lȃ yutroku julluh).

Baca Juga: Nabi Ibrahim Adalah Muslim, Bukan Yahudi ataupun Nasrani

Keteguhan Nabi Ibrahim

Untuk dapat memahami fenomena boikot tersebut, mari kita menempuh alur mundur ke kisah Nabi Ibrahim, yakni ketika Nabi Ibrahim menghadapi kaumnya dengan raja lalimnya yaitu Raja Namrȗz yang memperlakukan Nabi Ibrahim dengan semena-mena. Beliau pernah dilempar kedalam kobaran api karena telah berani menentang perintah sang raja.

Nabi Ibrahim dikenal sebagai abul anbiya atau kakek moyang para Nabi, karena dari beliau bersama Hajar kemudian lahirlah Nabi Ismail as. dan dari Sarah lahirlah Nabi Ishaq as. yang kemudian mempunyai anak Nabi Ya’qub as. (QS al-Ankabut:27) dan kemudian berketurunan Nabi Yusuf as.

Kenapa dalam Alquran terdapat banyak kisah baik tentang para Nabi maupun cerita tentang sekual ummat terdahulu? Hal tersebut tidak lain adalah karena pada dasarnya kita selalu tertarik dengan cerita. Satu kisah yang terdapat alur cerita, diketahui awal permulaannya serta diketahui ending akhir ceritanya, selalu menarik perhatian para pendengarnya.

Begitu juga dengan Alquran, akan tetapi bedanya adalah bahwa yang dikisahkan dalam Alquran bersandar dari wahyu, pada kisah nyata yang sarat akan makna (Manna al-Qattan, 1995: 303). Di samping itu kisah dalam Alquran mempunyai satu tujuan besar yakni menginspirasikan tentang ajakan pada ketauhidan dan keimanan kepada Allah semata (Fadl Hasan Abbas, 2010: 44).

Kisah tersebut seperti dituturkan dalam surah al-Anbiya’ ayat 52, berawal ketika Ibrahim muda mendapati tetua serta moyangnya masih dengan tekun menyembah berhalanya, padahal mereka membuat berhala tersebut, kemudian mengedarkan dan menjualnya, bukan tuhan yang mampu menciptakan, akan tetapi tuhan yang justru diciptakan mereka sendiri. Mereka beralasan dalam ayat 53: “kami mendapati nenek moyang kami menyembah mereka”, dan hal tersebut kemudian dijawab oleh Ibrahim bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah sesuatu yang telah menyimpang dan sesat.

Resistensi berupa tentangan dan tantangan kemudian muncul terhadap Ibrahim, mereka kemudian meminta bukti serta argumentasi terhadap apa yang didakwahkan oleh Ibrahim.

Di sini Kemudian kebijaksanaan Ibrahim muncul dengan mengungkapkan kesamaan-kesamaan nilai yang ada dengan menjawab pada ayat 56: “Sebenarnya, Tuhanmu adalah Tuhan yang menguasai langit dan bumi yang telah menciptakannya dan aku adalah salah satu saksi atas hal tersebut.” Ibrahim muda seakan hendak mengatakan bahwa Tuhan adalah dzat yang mampu menciptakan langit dan bumi ini, bukan berhala yang justru kamu ciptakan. Lalu Ibrahim bergumam sendiri dan berjanji akan menghancurkan patung-patung yang menjadi sesembahan setelah mereka meninggalkan tempat tersebut (al-Anbiya; 57).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 52-55

Pada suatu hari terdapat sebuah perayaan besar yang melibatkan semua orang untuk mendatangi perayaan tersebut, Ibrahim sempat diminta ayahnya untuk mendatanginya, kemudian beliau ikut untuk berangkat menuju acara tersebut, akan tetapi di tengah perjalanan, beliau mengurungkan niatnya untuk pergi, dan justru balik bergegas menuju tempat berhala-berhala sesembahan mereka. Sesampainya di tempat sesembahan mereka, kemudian Ibrahim menghancurkan berhala mereka satu-persatu dengan kapaknya, dan mengalungkan kapak tersebut di berhala yang paling besar.

Setelah mereka kembali, ramailah mereka dan mulai mencari siapa pelakunya. Ayat 59 mengisahkan “Siapa yang telah melakukan (perusakan) ini terhadap para sesembahan kami?” kemudian dari mereka ada yang mendengar gumaman Ibrahim waktu itu yang hendak menghancurkan berhala-berhala tersebut, seraya berkata dalam ayat 60 “Kami mendengar ada seorang anak muda yang sempat mencela berhala-berhala itu, namanya adalah Ibrahim,” kemudian mereka membawa Ibrahim di hadapan semua orang untuk diadili, dan justru sebenarnya hal inilah yang diinginkan Ibrahim.

قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَاإِبْرَاهِيمُ

Apakah kamu yang telah melakukan semua ini, wahai Ibrahim?” Tanya mereka.

بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ

Yang melakukannya ya patung besar ini, coba saja tanya kalau dia bisa jawab?” celetuk Nabi Ibrahim.

Jawaban Nabi Ibrahim tersebut hakikatnya bukanlah sebuah kebohongan, akan tetapi sebuah bahasa sindiran dan teguran karena sebenarnya sudah diketahui jawabannya (Fahruddin al-Razi, 1420: Vol. 22, H. 156) (Fadl Hasan Abbas, 2010: 305). Bahwa berhala tersebut pasti tidak akan bisa berbicara untuk menjawab semua pertanyaan itu, dan juga pelaku pengrusakan tersebut pastilah bukan berhala itu, karena berhala tersebut tidak mampu berbuat apa-apa, lalu untuk apa disembah? Kemudian Ibrahim justru balik bertanya pada mereka pada ayat 66: “lalu mengapa kalian menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat ataupun tidak mampu mendatangkan mudarat bagi kalian?”

Setelah mereka tersinggung karena dipermalukan dan tidak bisa menjawab ucapan Nabi Ibrahim, kemudian mereka marah dan menggunakan kekuatan mereka untuk sepakat membakarnya. Semua orang berbondong untuk mengumpulkan kayu bakar, bahkan jika ada orang yang sakit, dia akan bernazar jika sembuh dia akan ikut mengumpulkan kayu bakar untuk Ibrahim. Api dinyalakan dan kobarannya benar-benar besar yang belum pernah ada sebelumnya, hingga Ibrahim dilemparkan kedalam kobaran api tersebut menggunakan kertapel raksasa.

Setelah dilempar ke dalam api, kemudian Allah berfirman pada api dalam ayat 69: “Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim”. Ketika di dalam api, Ibrahim tidak terbakar sedikitpun kecuali tali ikatannya, dan beliau berdoa ketika dilemparkan kedalam kobaran api dengan membaca: Wahai Tuhanku, engkau adalah satu-satunya Tuhanku di langit, dan aku adalah satu-satunya yang ada di bumi, tidak ada satupun yang menyembahmu selain aku “حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ” [Cukup bagiku Allah dan sebaik-baiknya pelindung] (Ibnu Kathir, 1999: Vol. 5, H. 351)(Bukhori, nomor 4563)

Terdapat fenomena menarik, ketika semua orang andil dan berusaha ikut membantu mengumpulkan kayu bakar untuk Nabi Ibrahim, di sisi lain diriwayatkan dari para sahabat Nabi, bahwa semua hewan melata ikut membantu memadamkan kobaran api Nabi Ibrahim kecuali cicak, hingga dikisahkan dalam hadis Nabi bahwa kita dianjurkan membunuh cicak (Tabari, 2000: Vol. 18, H. 467).

Semut meskipun kecil, dan meskipun dia tahu bahwa butiran air yang dibawanya tidak akan mampu memadamkan api, akan tetapi semut tetap dengan semangat dan tanpa ragu ikut memadamkan api Nabi Ibrahim. Hal ini juga sama dengan apa yang dilakukan oleh cicak yang tidak ikut memadamkan api, akan tetapi justru ikut meniup api tersebut, meskipun dengan tiupan cicak, api Nabi Ibrahim tidak akan semakin membesar.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 56-60

Keberpihakan Semut

Dari semut dan cicak tersebut, dapat kita ambil cerminan atau ibroh, bahwa keberpihakan itu penting, karena dari situ kita akan dinilai dan diganjar. Bukan masalah apakah keberpihakan kita akan memberikan ekses secara langsung atau tidak, akan tetapi setidaknya kita harus menentukan posisi kita.

Konflik Israel yang menggempur Palestina ini bukan lagi konflik yang bermotif agama, akan tetapi sudah menjadi konflik kepentingan. Krisis yang dialami bukan lagi krisis keamanan ataupun ekonomi lagi, akan tetapi krisis kemanusiaan. Maka demi kemanusiaan, pertumpahan darah harus dihentikan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jika ternyata 190 kepala negara tak mampu menghentikan agresi Israel? Dewan Keamanan PBB tak digubris, undang-undang international dilanggar oleh Israel. Maka boikot menjadi salah satu pilihan untuk menyuarakan, memperlihatkan keberpihakan dan mendukung dihentikannya agresi yang dilakukan oleh Israel.

Boikot bukan berarti hanya anti terhadap produk yang berafiliasi dengan Israel atau yang mendukung agresi Israel, boikot bisa kita lakukan semampunya untuk tidak membeli produk-produk tersebut. Akan tetapi di sisi lain, boikot juga bisa kita lakukan dengan cara memberikan kontra narasi terhadap media mereka.

Media, baik stasiun televisi mainstream dunia, maupun media sosial digital menjadi pengetahuan umum jika mereka dikuasai atau berada pada bayang Israel, akan tetapi boikot media ini bukan berarti dengan cara tidak menggunakan media tersebut, justru dengan menggunakan dan memaksimalkan media tersebut dengan konten serta kontra narasi, sehingga kekuatan citizen journalist itu mampu menjadi penyeimbang atau bahkan mampu mengungkap fakta yang sebenarnya.

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Penutup

Kisah Nabi Ibrahim adalah kisah keteguhan hati dan keberpihakan Nabi Ibrahim terhadap tauhid dan terhadap apa yang diyakini benar oleh beliau. Hal yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim mungkin adalah sesuatu yang besar, karena dia berani melawan kuasa raja dan menentangnya, akan tetapi apa yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah sebanding dengan posisi serta anugerah yang diberikan kepadanya.

Hadis riwayat Muslim nomor 78, memaparkan bahwa jika kita punya kekuatan, maka gunakan kekuatan tersebut untuk merubah kemungkaran, jika tak mampu maka dengan lisan dan teguran dan jika masih tidak memungkinkan maka pilihan terakhir adalah dengan ingkar bil qolbi.

Ingkar bisa diapresiasikan dengan menunjukkan keberpihakan kita, dan meskipun merupakan posisi paling lemah, akan tetapi kita tetap dituntut untuk senantiasa menujukkan keberpihakan dan kepedulian terhadap sesama. Pembiaran atau ketidakpedulian terhadap adanya suatu kemungkaran dan ketidakadilan adalah suatu yang dilarang.

Tindakan yang dilakukan oleh semut mungkin terlihat sangat sepele, karena mungkin terlalu remeh menurut kita, akan tetapi apa yang dilakukan semut sejatinya adalah sebuah tindakan besar, yang menunjukkan sikap dan keberpihakan dia, karena keberpihakan dan konsistensi-lah yang kemudian akan menjadikan seseorang itu bernilai mulia.

Mau kalah dari semut?

Perintah Memilih Pemimpin Muslim, Apakah Bentuk Diskriminasi Terhadap Non-Muslim?

0

Isu memilih pemimpin berdasarkan agama menjadi topik yang kerap diperbincangkan hingga dewasa ini. Dalam Islam misalnya, ulama berbeda pendapat perihal boleh tidaknya memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Perbedaan ini terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda terhadap lafaz auliya’ yang terkandung dalam beberapa surat Alquran seperti Ali ‘Imran [3]: 28, Alnisa’ [4]: 144, Almai’dah [5]: 51 dan 57, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan memilih pemimpin non-muslim.

M. Quraish Shihab mengartikan lafaz auliya’ sebagai seseorang yang berwenang menangani urusan, penolong, sahabat dekat, dan arti lain yang mengandung makna kedekatan. (Tafsir al-Misbah, Vol. 3, 123) Sementara itu, ada yang menafsirkan kata auliyadengan pemimpin, sebagaimana penafsiran dari Buya Hamka. (Tafsir al-Azhar, Vol. 03, 1763) Lafaz auliya’ memang tergolong ke dalam lafaz musytarak yang memiliki banyak makna. Sehingga, sangat wajar apabila terjadi perbedaan penafsiran dan pendapat di kalangan mufasir.

Menurut M. Quraish Shihab, larangan terhadap memilih pemimpin dari kalangan non-muslim bukan larangan yang berlaku secara mutlak, karena seorang non-muslim yang hidup berdampingan secara damai dengan kaum muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslim. Sehingga dalam hal ini M. Quraish Shihab bersikap lebih longgar dalam menyikapi isu tersebut. Berbeda dengan Buya Hamka yang berpendapat bahwa umat Islam tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan non-muslim. Tentu keadaan sosio-histori mufasir menjadi salah satu penyebab adanya perbedaan dalam menafsirkan ayat tersebut.

Dari pendapat yang kedua ini, kemudian menimbulkan berbagai macam reaksi dari masyarakat, salah satunya adalah muncul anggapan bahwa perintah memilih pemimpin dari kalangan muslim bagi umat Islam ini merupakan bentuk diskriminasi atau ketidakadilan terhadap agama lain. Benarkah demikian? Untuk menjawab dugaan tersebut penulis mencoba mengambil penjelasan dari Buya Yahya dalam kanal YouTube-nya, Al-Bahjah TV pada serial Buya Yahya Menjawab, yang akan dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.

Baca Juga: Penafsiran Hamka terhadap Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim

Menjembatani Perbedaan dengan Berpikir Adil

Dalam menanggapi isu ini Buya Yahya mencoba menganggapinya dengan memberikan alur berpikir secara adil, di mana beliau menjelaskan bahwa semua agama mempunyai rambu-rambu atau aturannya tersendiri, baik umat Islam, Yahudi, maupun Nasrani. Semua aturan itu tidak lain adalah untuk menyeru kepada agamanya. Lebih lanjut Buya Yahya menjelaskan bahwa dalam setiap agama pasti memiliki hukum halal, haram atau boleh, tidak boleh mengenai sesuatu, termasuk dalam urusan memilih pemimpin.

Islam mempunyai rambu-rambu dalam masalah memilih pemimpin, Alquran menjelaskan tentang boleh tidaknya mengambil pemimpin dari golongan non-muslim. Hal ini di kalangan umat Islam merupakan pembahasan yang sangat masyhur. Begitu pula dengan umat Yahudi dan Nasrani yang dalam keyakinan mereka juga dianjurkan untuk memilih pemimpin dari golongan mereka, pembahasan ini juga telah masyhur di kalangan mereka. Sehingga dari sini jelas bahwa tiap agama memiliki kaidah yang berbeda untuk dijadikan pegangan.

Dari sini kemudian Buya Yahya menjelaskan bahwa hal ini bukan merupakan bentuk ketidakadilan atau diskriminasi terhadap pemeluk agama lain, karena itu merupakan hakikat dalam sebuah agama. Tiap-tiap agama pasti mempunyai hujjah yang berbeda-beda. Secara lebih rinci, Buya Yahya memberikan contoh bahwa tidak akan ada golongan Yahudi dan Nasrani yang menyuruh pengikutnya untuk memilih pemimpin dari golongan Islam, begitupun sebaliknya.

Mengenai hal ini, Buya Yahya menjelaskan bahwa tiap-tiap agama mempunyai prinsip, sehingga apabila umat Yahudi Nasrani menganjurkan pemeluknya untuk memilih pemimpin dari golongannya, bukan merupakan hal yang salah, karena itu merupakan prinsip yang dianut dalam agamanya. Selain itu, umat Islam juga memiliki prinsip yang demikian yakni memilih pemimpin dari golongan Islam. sehingga dari sini dapat dipahami bahwa tiap-tiap agama pasti memiliki prinsip yang berbeda antara satu sama lain.

Cara berpikir seperti itulah yang menurut Buya Yahya adil. Karena dengan cara tersebut, dapat meluruskan anggapan adanya unsur diskriminasi atau ketidakadilan dalam larangan memilih pemimpjn non-muslim bagi umat Islam.

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Pesona Toleransi: Pelajaran dari Tersiratnya Penuturan  

Jika diperhatikan lebih dalam, penjelasan Buya Yahya di atas terlihat bahwa beliau ingin menekankan pentingnya toleransi antar pemeluk agama dengan mengatakan bahwa setiap agama mempunyai prinsip atau keyakinan yang dianggapnya benar. Sikap toleransi dalam kehidupan beragama akan terwujud jika ada kebebasan beragama dalam masyarakat untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Albaqarah [2]: 256;

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama. Karena dengan adanya paksaan, maka akan timbul jiwa yang tidak damai. Oleh karena itu, Allah secara tegas menyatakan dalam firman-Nya bahwa tidak ada paksaan dalam menganut akidah Islam.

Sehingga, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa adanya ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi non-muslim untuk mempercayai dan memeluk keyakinan umat Islam. Islam juga memberi kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agamanya selama tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan dalam memilih pemimpin berdasarkan keyakinannya.

Indonesia sendiri merupakan negara majemuk yang di dalamnya terdiri dari banyak suku, budaya, ras, dan agama. Oleh sebab itu, sikap toleransi menjadi penting untuk di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga sikap toleransi dalam menentukan pemimpin berdasarkan keyakinan tiap pemeluk agamanya. Dengan sikap toleransi ini, maka anggapan adanya diskriminasi atau ketidakadilan dalam sistem pemilihan pemimpin dapat diluruskan.

Wallahu a’lam.

Aksi Diplomasi Nabi Muhammad di Tengah Gencatan Senjata

0
Aksi Diplomasi Nabi Muhammad di Tengah Gencatan Senjata
Surat Nabi Muhamad yang ditujukan kepada Raja Romawi, Heraklius.

Pengiriman dan penerimaan diplomat gencar dilakukan Nabi Muhammad saw. setelah disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy pada tahun 6 H. Salah satu klausul dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa gencatan senjata atau perjanjian damai antara pihak Islam dan kafir Quraisy berlangsung selama sepuluh tahun (Said Ramadhan al-Buthy, The Great Episodes of Muhammad Saw., 451).

Momen yang penting itu lantas dimanfaatkan Nabi Muhammad saw. untuk mengirim surat kepada sejumlah raja atau penguasa, baik Arab maupun non-Arab, untuk mengajak mereka masuk Islam (Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Perjalanan Nabi dan Rasul, 191).

Berikut adalah beberapa raja dan penguasa yang menerima surat diplomasi Nabi saw.

Raja Muqauqis

Untuk mengirim surat kepada Raja Muqauqis, Nabi saw. mengutus Hathib bin Abi Balta’ah. Raja menyambut Hathib dengan hangat dan memuliakannya. Raja pun langsung membaca surat dari Nabi saw., dan memberikan jawabannya di secarik kertas dengan kalimat, “Sungguh aku mengetahui bahwa seorang Nabi telah datang, dan aku hormati kerasulanmu.”

Perilaku Raja yang memuliakan utusan Nabi saw. ternyata tidak menandakan bahwa Raja menerima ajakan Nabi saw. untuk memeluk Islam. Sekalipun demikian, Raja sangat menghormati Nabi saw. dengan mengirimkan balasan berupa hadiah empat orang budak perempuan. Salah satu di antaranya kemudian menjadi istri Nabi saw., yakni Mariyah al-Qibtiyah. Selain itu, Raja juga mengirimkan seekor bighal (bagal) warna putih yang pada saat itu satu-satunya di tanah Arab, dan seekor keledai (Ibnul Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 585-586).

Kaisar Heraklius, Romawi

Dari riwayat ‘Abdullah bin ‘Abbas, Nabi saw. mengutus Dihyah al-Kalbi untuk mengantarkan surat kepada Kaisar Heraklius. Surat itu berisi ajakan untuk memeluk agama Islam. Nabi saw. memerintahkan kepada Dihyah untuk mengirimkan surat itu melalui Gubernur Bushra agar disampaikan kepada Kaisar Heraklius.

Ibnu ‘Abbas melanjutkan, bahwa saat dalam perjalanan niaga, rombongan Nabi saw. dan saudagar Quraisy sedang berselisih di Syam. Ketika itu pula datang seorang utusan Kaisar, kemudian membawa Abu Sufyan bin Harb beserta teman-temannya ke hadapan Kaisar.

Baca Juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.

Pada waktu pertemuan itulah, Kaisar melemparkan beberapa pertanyaan kepada Sufyan, sebab ia memiliki kekerabatan dengan Nabi saw. Di antara pertanyaan itu berkaitan dengan nasab Nabi saw., pengikutnya, ajaran agamanya, hingga cara berperangnya. Setelah itu, Kaisar menjelaskan maksud dari pertanyaan-pertanyaan itu. Yang pada intinya, apa yang dijawab oleh Sufyan membuktikan bahwa Nabi saw. memang benar seorang Rasul.

Namun, Ibnu Ishaq mengisahkan dari beberapa pakar ulama, bahwa Heraklius berkata kepada Dihyah, “Demi Allah, aku sungguh mengetahui bahwa temanmu itu adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia adalah orang yang kami tunggu kehadirannya selama ini. Tetapi aku takut hal itu mengancam posisiku (sebagai raja) di Romawi. Jika tidak karena itu, aku pasti menjadi pengikutnya.” (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 588-595).

Raja Kisra, Persia

Nabi saw. mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah untuk menyerahkan surat kepada Raja Kisra melalui Gubernur Bahrain. Menurut Riwayat dari Muhammad bin Ishaq, setelah membaca surat tersebut, Kisra langsung merobeknya dan memerintahkan kepada Raja Badzan di Yaman agar mengirimkan ajudannya untuk membawa Nabi saw. kepada Kisra.

Ketika kedua ajudan itu sampai di hadapan Nabi saw., mereka menyampaikan bahwa Raja Kisra telah menginstruksikan kepada Raja Badzan agar membawa Nabi saw. bersama mereka. Namun, Nabi menolak ajakan itu, dan menyuruh mereka untuk kembali lagi. Ketika keduanya sudah kembali, Nabi saw. mendapatkan kabar bahwa Allah telah membinasakan Raja Kisra di tangan putranya sendiri, yakni Syirwaih.

Baca juga: Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad saw. dalam Media Surat

Keesokan harinya, kedua ajudan itu datang Kembali, dan Nabi saw. langsung memberitahukan akan kabar tersebut. Keduanya lantas memberikan ancaman kepada Nabi saw. sebab mereka tak terima. Mereka lantas kembali dan menemui Raja Badzan, dan menceritakan apa yang disampaikan oleh Nabi saw.

Tak lama setelah itu, Raja Badzan mendapatkan surat dari Syirwaih, bahwa ia telah membunuh Raja Kisra. Seketika itu Raja Badzan berkata, “Sungguh orang itu (Muhammad) adalah benar utusan Tuhan.” Dengan itu, ia menyatakan masuk Islam dan diikuti oleh orang Persia yang berada di Yaman (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 601-603).

Raja Najasyi, Habasyah

Yunus yang meriwayatkan dari lbnu lshaq, berkata, “Nama an-Najasyi adalah Mashamah, yang dalam bahasa Arabnya berarti ‘Athiyyah. An-Najasyi merupakan gelar bagi Raja Ethiopia. Seperti halnya Kisra adalah gelar bagi Raja Persia dan Herakrius bagi Raja Roma.” (adz-Dzahabi, Sirah Nabi; Sejarah Kehidupan Muhammad Saw., 170).

Dari penuturan al-Waqidi, Nabi saw. mengirimkan dua surat kepada Raja Najasyi. Surat pertama berisikan tentang ajakan agar ia masuk Islam. Setelah membacanya, Raja Najasyi meletakan surat itu di matanya. Kemudian ia turun dari singgasananya dan duduk di lantai dengan rendah diri. Dan menyatakan masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.

Baca juga: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Surat kedua berisikan perintah agar Raja menikahkan Nabi saw. dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Dalam surat itu, beliau meminta Raja agar mengirim Ummu Habibah bersama para utusannya yang telah datang sebelumnya. Maka Najasyi pun melakukannya.

Nabi saw. sangat menghormati Raja Najasyi. Bahkan saat mendengar berita bahwa Raja telah meningga dunia, Nabi melakukan salat gaib bersama sahabatnya, demikian menurut pernyataan dari Abu Hurairah. Namun, pernyataan ini ditampik oleh Anas bin Malik, bahwa yang disalati oleh Nabi saw. bukanlah Najasyi yang dikirimi surat oleh beliau (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 605-606).

Raja Harits bin Abu Syammr al-Ghassani

Dalam riwayat Al-Waqidi, Nabi saw. mengutus Syuja’ bin Wahb al-Asadi untuk menemui Harits bin Abu Syammr dalam rangka misi menyebarkan Islam. Namun, ketika ia membaca surat itu, raut marah di mukanya langsung tampak, “Siapa yang berani merampas kerajaan ini dari tanganku?” Aku akan menyerangnya bersama rakyatku.” Ia pun memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan kuda.

Sebelum melakukan penyerangan, ia melaporkan kepada Kaisar terkait keadaan tersebut. Namun, Kaisar tidak menyetujui keinginan Raja Harits, “Kamu jangan menyerangnya, berilah bagianku di Iliya padanya.” (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 606-607).

Al-Mundzir bin Sawa Al-Abdi, Bahrain

Al-Ala’ bin Al-Hadhrami diutus untuk menyampaikan surat diplomasi Nabi saw. kepada Al-Mundzir bin Sawa Al-Abdi di Bahrain. Setelah membaca surat tersebut, Al-Mundzir membalasnya dengan menyatakan bahwa ia masuk Islam dan membenarkan risalah Rasulullah saw. (Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 611).

Aksi diplomasi Nabi saw. tidaklah selalu berjalan mulus. Bahkan utusan Nabi saw., al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi, terbunuh saat mengirimkan surat ke Bashra. Kendati demikian, semangat untuk mensyiarkan Islam tetap berkobar, sehingga waktu di tengah gencatan senjata dengan kafir Quraisy dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Nabi saw. bersama para sahabat. []

Wallahu a’lam.

Rekonsepsi Prasyarat Mufasir di Era Kontemporer

0
Rekonsepsi prasyarat mufasir (ilustrasi)
Rekonsepsi prasyarat mufasir (ilustrasi)

Rekonsepsi pada aspek-aspek studi Alquran, tidak hanya menjamah perangkat teoritis maupun metodologis, melainkan juga pada subjek aktif yang menempatkan Alquran sebagai objek studi. Dengan kata lain, rekonsepsi juga menyentuh aspek prasyarat mufasir.

Perangkat interpretasi Alquran yang terus menyesuaikan kondisi zaman dan kecenderungan mufasir, menambah sederet lahirnya teori-teori baru yang diupayakan dalam mengungkap signifikansi makna. Di saat yang bersamaan, rekonsepsi tentang subjek yang berperan dalam memakai sejumlah teori interpretasi, meniscayakan modifikasi pada syarat-syarat mufasir yang dinilai ketat sebagaimana telah ditetapkan oleh ulama terdahulu.

Baca juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Pada aspek tersebut, Quraish Shihab menilai perlu diadakan perombakan prasyarat mufasir. Prasyarat yang sekiranya lebih aplikatif serta tetap mempertahankan prinsip-prinsip kunci dan penguasaan keilmuan yang mumpuni dalam kecenderungan terhadap bidang yang digeluti. Dalam diskusi yang baru-baru ini digelar (lihat ulangan di Ngaji Bareng bersama Prof Quraish Shihab dan Gus Baha), Shihab menegaskan urgensi dari hal tersebut. Dia menilai bahwa kebutuhan akan modifikasi prasyarat mufasir yang digagas beberapa ulama semisal as-Suyuthi, membutuhkan konseptualisasi ulang dalam ranah implementasi.

Bagi Shihab, salah satu pertimbangan yang melatarbelakangi adanya hal ini adalah demi membuka peluang yang seluas-luasnya bagi para ilmuwan untuk ikut berperan dalam menghadirkan tafsir kontekstual. Kemajuan ilmu pengetahuan meniscayakan profesionalitas dan keahlian yang beragam.

Di saat yang bersamaan, Alquran perlu untuk dibaca pada wilayah yang ilmiah. Dalam hal ini, gagasan merekonsepsi prasyarat mufasir menjadi satu keniscayaan agar dapat membuka peluang bagi para ilmuwan di satu sisi dan tidak membatasi mereka untuk menuangkan keahliannya menghadirkan tafsir kontekstual di sisi lain.

Baca juga: Kontekstualitas Alquran

Sejauh upaya yang telah dilakukan, tidak lantas serta merta mempersilahkan siapa saja untuk menafsirkan Alquran. Lebih-lebih jika peluang itu dipahami secara semena-mena dan tanpa batasan. Tawaran Shihab tersebut kemudian diikat oleh nilai-nilai objektif yang menjadi pondasi atas upaya keseluruhan yang ingin dilaksanakan dalam menafsirkan Alquran.

Nilai-nilai objektif ini agaknya telah secara sadar bernaung di bawah akidah yang lurus sebagaimana syarat pertama yang ditetapkan oleh Manna’ al-Qaththan dalam kitabnya (Mabahits fi Ulum al-Qur’an, 1995). Akan tetapi, ketegasan al-Qaththan dalam syarat pertamanya tersebut, akan menolak seluruh upaya intelektual non-Muslim karena perbedaan akidah (Shihab, 2013). Berbeda dengan as-Suyuthi yang mengerucutkannya pada penguasaan aspek kebahasaan secara luas (al-Itqan, 2021).

Lantas, sejauh mana kita memahami syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di dalam kitab-kitab ulum Alquran tersebut?

Baca juga: Nadirsyah Hosen dan Penafsiran Al-Qur’an di Media Sosial

Terkait hal ini, Shihab juga mengutarakan dalam diskusi yang digelar bahwa, syarat tersebut menjadi pengikat bagi orang-orang yang hendak tampil dalam menafsirkan seluruh Alquran. Di samping itu, Shihab juga mengajukan syarat-syarat yang telah diutarakan untuk menambah kredibilitas penafsiran yang dihasilkan.

Bagi Shihab, penempatan rekonsepsi yang ditawarkan menjadi penting sebagai legitimasi bagi para pengkaji Alquran kiwari. Sebab, keberadaan orientasi pengkajian yang tidak selalu menafsirkan keseluruhan ayat, sangat diperlukan dalam menanggapi berbagai problematika yang muncul.

Artinya, untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang menuntut hadirnya penafsiran ayat tertentu, menjadi suatu keniscayaan yang tidak terelakan untuk rekonsepsi prasyarat mufasir. Di sinilah tawaran Quraish Shihab tersebut dapat ditempatkan, tanpa menafikan argumen dan gagasan para ulama terdahulu. Wallahu a’lam[]

Dimensi Baru Qira’ah Mubadalah: Bukan Melulu Soal Relasi Gender

0
Dimensi Baru Qira’ah Mubadalah: Bukan Melulu Soal Relasi Gender
Sampul buku Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama.

Sejak diterbitkannya buku Qira’ah Mubadalah, metode mubadalah mulai banyak dikenal dan diaplikasikan sebagai perspektif tandingan atas teks-teks keagamaan—baik Alquran maupun hadis—yang dinilai bersifat patriarkal. Melalui Qira’ah Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan sebuah gagasan metode pembacaan teks yang bersifat resiprokal—kesalingan dalam relasi gender.

Dalam buku Qira’ah Mubadalah sang penulis menyebutkan bahwa ada dua hal utama yang melatarbelakangi kehadiran metode mubadalah: pertama, bahasa Arab yang digunakan Alquran sangat bias gender dan cenderung maskulin sehingga menyebabkan pesan-pesan universal Alquran sering kali justru tidak diterima secara netral gender. Kedua, keadaan sosial di mana kebanyakan ulama dan mufasir pada zaman dahulu yang berjenis kelamin laki-laki juga turut menyumbang ketimpangan konstruksi gender dalam memahami teks-teks keagamaan.

Baca juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Di tengah hiruk pikuk diskursus gender, belum lama ini, melalui bukunya yang berjudul Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama, Faqihuddin Abdul Kodir memberi sebuah sinyal mengenai adanya dimensi yang lebih luas dari Qira’ah Mubadalah. Dalam pembahasan awal buku ini, ia mengungkapkan:

“Relasi mubadalah tidak melulu berdimensi gender. Bisa kelas sosial antara pekerja dan majikan, atau antar-warga dalam sebuah negara-bangsa, seperti muslim dengan non-muslim. Bisa ekologi antara manusia dan alam. Prinsip utamanya adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah. Bermartabat artinya kedua pihak memandang penting dan mulia untuk berelasi. Adil artinya menuntut yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan yang kurang kapasitas. Maslahah artinya kedua belah pihak menjadi subjek untuk melakukan dan memperoleh kebaikan, yang menjadi dampak dari relasi tersebut.”

Baca juga: Tafsir Ayat Relasional yang Kurang Mencerminkan Kesetaraan

Pernyataan tersebut tentu berbeda dengan gagasan utama yang ia paparkan dalam buku sebelumnya. Jika dalam buku Qira’ah Mubadalah sang penulis mengatakan bahwa premis dari prinsip ini adalah bahwa wahyu Islam turun untuk laki-laki dan perempuan sehingga teks-teksnya juga harus menyasar kedua gender, maka dalam buku ini ia menyatakan bahwa yang menjadi pondasi utama dari mubadalah adalah prinsip rahmah atau kasih sayang. Maknanya, Faqihuddin Abdul Kodir sendiri telah memperluas dimensi metode mubadalah itu.

Ada satu hal penting yang harus digarisbawahi, yaitu bahwa mubadalah mengakar kuat pada sebuah ajaran paling fundamental dari Islam: tauhid. Sebagai kerangka dasar yang membentuk mubadalah, tauhid mengantarkan seseorang kepada pemahaman bahwa pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya zat yang patut disembah dan ditaati sekaligus berarti memproklamasikan kesetaraan antar manusia. Maknanya, mubadalah memiliki tujuan yang signifikan untuk meniadakan superioritas-inferioritas.

Baca juga: Kisah Khadijah dan Pembacaan Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir atas Q.S. Al-Alaq: 1-5

Perlu dicatat bahwa superioritas-inferioritas bukan hanya isu dalam relasi gender, tetapi juga dalam banyak dinamika relasi sosial lainnya termasuk juga relasi manusia dengan alam. Oleh sebab itu, tawaran dimensi mubadalah yang lebih luas ini akan menjadi sebuah magnum opus baru dalam dinamika perkembangan metode tafsir yang menyatukan semua teks agama dalam kerangka besar paradigma Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Gagasan baru dari Faqihuddin ini sekaligus membawa angin segar bagi dinamika perkembangan Qira’ah Mubadalah. Ia juga telah secara permisif menyatakan bahwa metode ini dapat digunakan dalam membaca teks-teks terkait relasi di luar gender, terutama relasi sosial dan ekologi. Meski begitu, dalam buku ini juga ia menyebutkan bahwa gagasan baru ini belum terkonstruksi secara kokoh dibandingkan dengan gagasan sebelumnya. Ia juga secara terbuka menyatakan bahwa gagasan ini masih banyak memerlukan kritik konstruktif untuk mencapai metode tafsir mubadalah terkait relasi yang baru ini.

Konsep Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

0

Dalam ranah Ulumul Qur’an, nasakh secara mengandung beberapa makna. Pertama, diartikan sebagai izalatun yakni penghapusan. Pemaknaan ini diambil dengan merujuk pada QS. Alhajj [22]: 52. Kedua, nasakh juga dipahami dengan tabdil atau pergantian. Hal ini bisa diketahui dengan melihat pada QS. Alnahl [16]: 101.

Sementara yang ketiga, para ulama juga memahami nasakh dengan makna naqlun, yang berarti menukil atau memindahkan. Pemaknaan ini didasarkan dengan melihat QS. Al-Jasiyah [45]: 29 yang menjelaskan bahwa Allah memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-lembaran atau catatan amal (Mabahis fi Ulum al-Qur’an, 259-260). Sementara istilah untuk sesuatu atau ayat yang dihapus, diganti, dipindahkan atau dibatalkan adalah mansukh.

Sebagaimana diketahui, ulama klasik memahami istilah nasakh dalam Alquran dengan makna yang sangat luas, bahkan mereka ada yang hanya memahaminya dalam skema kebahasaan saja, sehingga menghapus, walaupun sedikit dari kandungan ayat maka telah dianggap sebagai nasakh.

Baca Juga:Pandangan Mahmûd Muḥammad Thahâ tentang Makiyah Dan Madaniyah 

Atas dasar itu kemudian para ulama mengklasifikasikan proses nasakh dalam Alquran, antara lain; ayat yang mengecualikan atau men-takhsis ayat yang lain, ayat yang menjelaskan batas akhir pengamalan sebuah ayat, ayat yang kandungannya membatalkan kebiasaan buruk masa Jahiliyyah, penjelasan suatu ayat terhadap ayat lain, pengalihan makna sebuah ayat (ta’wil), ayat yang memerintahkan berperang menghapus ayat yang memerintahkan bersabar dsb (Kaidah Tafsir, 241-242).

Namun berbeda dengan definisi nasakh yang telah dikonsepsikan oleh ulama klasik pada umumnya, cendekiawan muslim asal Sudan yang bernama Mahmud Muhammad Thaha hadir dengan gagasan teori nasakh yang cenderung baru.

Hal ini disebabkan karena ia menarasikan bahwa ayat Alquran memiliki gradasi makna dan tingkatan tersendiri, sehingga tidaklah mungkin jika ayat Alquran bisa dihapus dengan ayat yang lainnya (Al-Qur’an wa Musthafa Mahmud wa Al-Fahm Al-Ashri, 7). Tentu, gagasan Thaha yang demikian itu akan berimplikasi pada penginterpretasian ayat Alquran yang jauh berbeda dengan perspektif ulama pada umumnya.

Baca Juga: Urgensi Mengetahui Ilmu Nasakh untuk Memahami Al-Quran

Konsepsi Teori Nasakh Perspektif Mahmud Muhammad Thaha

Di antara dalil-dalil yang menjelaskan tentang teori nasakh di antaranya dalam QS. Albaqarah [2]: 106;

مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Thaha memahami ayat tersebut dengan menginterpretasikan ulang beberapa makna, di antaranya ungkapan “ayat mana saja yang Kami nasakh”, diinterpretasikan dengan ayat apa saja yang Kami batalkan dan Kami tarik keberlakuannya. Ungkapan “atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya”, dipahami dengan makna bahwa Kami tunda keberlakuan hukumnya.

Selanjutnya, pada ungkapan “akan Kami gantikan dengan yang lebih baik”, dipahami oleh Thaha dengan makna akan Kami ulang ayat tersebut tatkala waktunya telah tiba. Dengan demikian, teori nasakh yang digagas oleh Thaha bukanlah menggugurkan atau menghapus ayat sama sekali, namun proses penangguhan ayat sambil menunggu waktu yang tepat, sehingga ayat yang dinasakh bisa diberlakukan kembali.

Baca Juga: Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

Dalam hal ini, Thaha mengklasifikasikan ayat-ayat Alquran menjadi dua model, yakni ashl (dasar) dan furu’ (cabang). Ayat-ayat ashl merupakan konotasi dari ayat Makiyyah dan ayat-ayat furu’ merupakan ayat Madaniyyah.

Thaha memaparkan pula bahwa di abad ke-7, dengan konstruksi kebudayaan yang berlaku, ayat cabang dalam Alquran menasakh keberadaan ayat dasar. Namun, ketika ditarik pada konteks kehidupan misalnya di abad ke-20, maka ayat-ayat cabang tersebut sudah tidak lagi relevan, sehingga perlu adanya penasakhan kembali terhadap ayat-ayat cabang. Maka, yang demikian inilah dalam gagasan Thaha disebut dengan evolusi syari’ah (Arus Balik Syari’ah, 16).

Sementara itu, perlu juga diketahui bahwa dalam perspektif Thaha, ayat-ayat makiyyah dipahami lebih memiliki nuansa kebebasan tanggung jawab (ayat al-mas’uliyyah), hal ini berbanding terbalik dengan kandungan ayat-ayat madaniyyah yang cenderung berupa arahan-arahan (qur’an al-washaya). Lebih dalam lagi,

Thaha menganggap bahwa ayat-ayat makiyyah mengandung ajaran pokok (ashl) dari teologi Islam, sebab mengandung prinsip-prinsip umum yang bersifat universal, di lain sisi, beliau juga mengungkapkan bahwa ayat-ayat madaniyyah merupakan ayat yang memuat percabangan dari pokok ajaran Islam (furu’) (Ar-Risalah Ats-Tsaniyah min al-Islam, 130-134).

Dengan konstruksi kebudayaan yang ada di era sekarang, Thaha semacam ingin memunculkan ajaran pokok dari Islam dengan menasakh kembali ayat cabang yang sebelumnya telah menasakh ayat dasar pada abad ke-7.

Implikasinya dalam Studi Alquran

Dengan membawa gagasan teori nasakh yang berbeda, tentunya Thaha memiliki interpretasi yang berbeda pula dalam memahami teks-teks Alquran. Perbedaan ini terlihat tatkala ia menjelaskan bahwa tidak adanya perbedaan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam (‘adam al-musawati baina ar-rijal wa an-nisa’ laisa ashlan fi al-Islam). Thaha memahami bahwa Islam sama sekali tidak mengajarkan konsep patriarki dsb, sebaliknya, Islam malah menyerukan kesetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan.

Argumen Thaha ini dibangun atas konsepsi dasar yang diyakininya, bahwa syariat mengalami evolusi di ruang dan sejarahnya, hal tersebut disebabkan karena adanya adaptasi dengan realitas zaman dan masyarakat yang menjadi audiensnya. Sesuatu yang ideal (ar-risalah al-ashliyyah) perlu ditangguhkan dan menggantinya dengan format alternatif (ar-risalah al-far’iyyah) yang memungkinkan diaplikasikan pada konstruksi budaya masyarakat saat itu yakni pada abad ke-7.

Dalam ar-Risalah as-Tsaniyyah min al-Islam, Thaha memaparkan bahwa ada beberapa contoh konkret terkait relasi laki-laki dan perempuan di awal kemunculan Islam, dimana Alquran menangguhkan ayat-ayat makiyyah dan memberikan alternatif jawaban yang mengarahkan ke substansi keadilan.

Pertama, perihal harta warisan, dimana bagian perempuan adalah setengah dari bagian saudara laki-laki (QS. Alnisa [4]:11). Kedua, persaksian dua orang perempuan di ranah pengadilan cukup disamakan dengan seorang laki-laki (QS. Albaqarah [2]: 282).

Ketiga, perempuan harus tunduk dan berada dibawah tanggung jawab laki-laki, baik itu ayahnya, saudara lelakinya, ataupun dibawah suaminya ketika mereka telah berumah tangga (QS. Alnisa [4]: 34). Semua itu menurut Thaha merupakan syariat yang temporal dan berpotensi untuk dinasakh sebab sudah tidak lagi relevan di era sekarang ini (Teori Naskh al-Qur’an Kontemporer, 145).

Kembali lagi, dalam perspektif Thaha, syariat dasar (ashliyyah) dari Islam adalah adanya kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan serta tidak adanya tumpang tindih perihal gender seperti pada konsep patriarki. Sebab, sebagaimana yang ayat yang dikutip Thaha, “Tiap-tiap jiwa bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Almuddatstsir [74]: 38) (Arus Balik Syari’ah, 166).

Wallahu a’lam.

Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad saw. dalam Media Surat

0
Aksi Diplomasi Nabi Muhammad di Tengah Gencatan Senjata
Surat Nabi Muhamad yang ditujukan kepada Raja Romawi, Heraklius.

Artikel ini khusus membahas taktik yang dilakukan Nabi Muhammad saw. dalam berdiplomasi melalui media surat yang dikirimkan kepada raja atau penguasa kala itu, baik yang dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab. Media surat merupakan cara diplomasi yang sering dilakukan Nabi Muhammad saw. untuk mensyiarkan Islam. (Mustafirin, Dakwah Bi Al-Qalam Nabi Muhammad Saw, 64)

Dalam surat-surat Nabi Muhammad saw. tersebut, terdapat beberapa pola redaksi bahasa yang dapat ditarik menjadi sebuah ciri khas gaya bahasa diplomasi nabi. Di surat-surat tersebut, terbaca beberapa pilihan kalimat yang sangat memerhatikan lawan bicaranya, serta sosial dan budayanya.

Baca Juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.

Sapaan penghormatan sesuai budaya

Dalam pembuka suratnya, Nabi Muhammad saw. menyesuaikan sapaan untuk lawan bicaranya, dia orang Arab atau non-Arab. Sapaan tersebut disesuaikan dengan budaya setempat. Untuk para raja atau penguasa suatu wilayah dari bangsa non-Arab, Nabi Muhammad saw. menyapa mereka dengan menyebutkan gelar kemuliaan, sebagaimana surat yang ditujukan untuk beberapa raja berikut;

Raja Najasyi (Abbisinia),

من محمد رسول الله الى النجاشي عظيم الحبشه

Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Najasy, Pembesar Abbisinia

Raja Kisra (Persi),

من محمد رسول الله الى كسرى عظيم فارس

Dari Muhammad utusan Allah kepada Kisra, Pembesar Persi

Kaisar Heraklius (Romawi),

من محمد عبد الله و رسوله الى هرقال عظيم الروم

Dari Muhammad, hamba dan utusan Allah, untuk Heraklius, pembesar Romawi

dan Raja al-Muqawqis (Mesir),

من محمد عبد الله الى المقوقس عظيم القبط

Dari Muhammad hamba Allah, untuk al-Muqawqis pembesar Koptik.

Kutipan surat Nabi Muhammad saw. ini bisa didapati salah satunya di ath-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Jilid 2 atau juga di karya Mahmud Syit Khattab, Sufara’ al-Nabiy Shallahu ‘alaihi Wasallam, 91-92, Jilid 2.

Terlihat jelas bahwa Nabi saw. menggunakan sapaan resmi untuk para raja non-Arab, yakni dengan menggunakan redaksi adzim yang bermakna pembesar. Sedangkan untuk raja atau penguasa wilayah yang berbangsa Arab, Nabi Muhammad saw. memilih untuk menyapanya dengan menyebut namanya langsung dengan diikuti nama ayahnya, sebagaimana berikut;

Raja al-Haris al-Gassani (Siria),

من محمد رسول الله الى الحارث بن أبي شمر

Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Harits bin Abi Syamir

Raja al-Munzir bin Sawa (Bahrain),

من محمد رسول الله الى المنذر بن ساوى

Dari Muhammad utusan Allah untuk al-Munzir ibn Sawa

Raja al-Haris al-Himyari beserta saudaranya (Yaman)

من محمد رسول الله النبي الى الحارث بن عبد كلال ونعيم بن عبد كلال والنعمان قيل ذي رُعَيْنٍ وَهَمْدَانَ وَمَعَافِرَ

Dari Muhammad Nabi utusan Allah untuk Haris, Nu’aim, dan Nu’man bin Abd Kulal

Penjelasan ini masih bisa ditemukan dalam karya ath-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, 552 Jilid 2, 29 dan 120 Jilid 3.

Raja Jaifar dan Abd (Oman),

من محمد رسول الله الى جيفري و عبد ابن الجلندي

Dari Muhammad utusan Allah untuk Jayfar dan Abd ibn al-Julanday

Raja Haudzah al-Hanafi (Yamamah),

من محمد رسول الله الى هوذة بن علي

Dari Muhammad utusan Allah untuk Hauzah bin Aly

Demikian kutipan dari Ibnu Sayyid al-Nas, dalam ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335 dan 338.

Baca Juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Substansi isi surat disesuaikan dengan kekuatan kekuasaan raja

Selain melihat lawan bicaranya, Nabi Muhammad saw. juga mempertimbangkan seberapa besar kekuatan kekuasaan dari raja yang dituju. Hal ini memengaruhi substansi dari surat yang akan ditulis oleh beliau.

Sebagaimana surat yang ditulis Nabi Muhammad saw. untuk Raja Kisra (Persi), Kaisar Heraklius (Romawi), dan Raja al-Muqawqis (Mesir). Mengingat ketiga penguasa tersebut memiliki kekuatan kekuasaan yang besar, maka Nabi Muhammad saw. menulis dengan sedikit bernada mengancam, namun tetap religius, yakni jika mereka tidak mau memeluk agama Islam, maka mereka akan celaka kelak di akhirat, tapi jika mereka bersedia mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., maka mereka akan selamat dari siksaan Allah swt., serta mendapatkan pahala dua kali lipat.

Seperti surat yang ditujukan kepada Kaisar Heraklius; (Khattab, Sufara’ al-Nabiy Shallahu ‘alaihi Wasallam, 92, Jilid 2)

أَسْلِمْ تَسْلَمْ و أَسْلِمْ يُؤْتِك اللهُ أَجْرَك مَرَّتين, وَإِنْ تتوَلَّى فَإِنَّ إثمَ الأَرِبسِيِّنَ عليك

Masuklah kamu ke dalam agama Islam maka kamu akan selamat dan peluklah agama Islam maka Allah akan memberikan bagimu pahala dua kali lipat, dan jika engkau menolak, dosa kaum Aris akan ditanggung olehmu.  

Sedangkan untuk raja yang kekuasaannya masih kecil, Nabi Muhammad saw. membubuhinya dengan ancaman politis yang bermaksud pada pengambilalihan wilayah kekuasaan, seperti surat yang ditujukan untuk Raja Jaifar dan Abd (Oman) (Al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335)

وَإِنَّكُمَا إِنْ أَقْرَرْتُمَا بِالإِسْلامِ وَلَّيْتُكُمَا، وَإِنْ أَبَيْتُمَا أَنْ تُقِرَّا بِالإِسْلامِ فَإِنَّ مُلْكَكُمَا زائل عنكما

Sungguh jika kamu berdua mengakui Islam, aku akan menetapkan kamu berdua (sebagai penguasa), jika enggan mengakui Islam, maka sungguh kerajaanmu akan lenyap.

Baca Juga: Isyarat Media Pendidikan Islam dalam Kisah Nabi Sulaiman

Pertimbangan interaksi penggunaan Bahasa

Surat diplomasi yang dikirimkan oleh Nabi Muhammad saw. tidak hanya ditujukan kepada raja-raja di Jazirah Arab yang notabene pengguna Bahasa Arab, tapi juga di luar Jazirah Arab, seperti Kaisar Romawi, Raja Persi. Untuk raja-raja yang non-Arab, Nabi Muhammad saw. tidak menggunakan makna asosiatif, yakni  asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu, yang di dalamnya dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. (Kushartanti, Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik,  119)

Sedangkan surat untuk raja-raja di wilayah Jazirah Arab, adakalanya Nabi Saw menggunakan Bahasa dengan makna asosiasi, sebab bahasa yang dimaksud adalah bahasa keseharian atau percakapaan sehari-hari. Seperti ketika Nabi Muhammad saw. mengirimkan surat kepada Raja Mundzir bin Sawa di Bahrain, sebagaimana berikut ini; (al-Nas, ‘Uyun al-Atsar, Jilid 2, 335)

وَاعْلمْ أنَّ ديني سَيَظْهَرُ إلى مُنْتَهَى الخُفِّ وَ الْحافِرُ

Ketahuilah bahwasanya agamaku ini akan sampai ke penghujung tempat kaki unta dan kuda berpijak.

Makna dari “penghujung tempat kaki unta dan kuda berpijak” adalah bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw akan muncul diberbagai penjuru dunia. (Ubaidillah, Bahasa Diplomasi Nabi Muhammad Saw (Analisis Sosiolinguistik Atas Surat-Surat Diplomasi Nabi Muhammad Saw), 77-81)

Demikianlah taktik bahasa yang digunakan oleh Nabi Saw dalam berdiplomasi menggunakan surat. Diplomasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. tidak lain adalah untuk mensyiarkan agama Islam bagi raja-raja yang belum mengenal Islam, agar mereka memeluk agama Islam. Untuk raja-raja yang sudah memeluk agama Islam, Nabi Muhammad saw. menegaskan kembali agar mereka tetap teguh pada pendiriannya, keimanannya, dan senantiasa  taat beramal saleh, melaksanakan setiap perintah agama. Wallah a’lam.

Kewafatan Nabi Sulaiman as. Dan Ketidaktahuan Jin tentang Hal Gaib

0
kisah kewafatan Nabi Sulaiman
kisah kewafatan Nabi Sulaiman

Di antara deretan kisah para nabi dan rasul yang diceritakan dalam Alquran, kisah Nabi Sulaiman as. termasuk yang diceritakan dengan porsi cukup banyak, tersebar di beberapa surah dalam Alquran. Di samping itu, terdapat banyak hal menarik seputar kisah hidup Nabi Sulaiman as. mulai dari kebijaksanaannya, mukjizat-mukjizatnya, kerajaan dan kekuasaannya dan masih banyak lagi.

Salah satu ‘episode’ cerita Nabi Sulaiman as. yang dikisahkan dalam Alquran adalah terkait kewafatannya yang tidak seorang pun mengetahuinya, termasuk bangsa jin yang mengabdi kepada beliau. Hal ini terekam dalam firman Allah swt. dalam Q.S. Saba’ ayat 14,

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ [سبأ: 14]

“Maka ketika Kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika dia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentu mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” Q.S. Saba’ [34]: 14

Sebagaimana dimaklumi bahwa salah satu mukjizat Nabi Sulaiman as. adalah kerajaannya yang menguasai bukan hanya dunia manusia tetapi juga bangsa hewan dan jin. Beliau kerap kali memerintahkan para jin untuk membangun istana, masjid dan melakukan pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Kondisi ini terus berlangsung sampai beliau wafat.

Ayat di atas mengisahkan bahwa kewafatan Nabi Sulaiman as. tidak terdeteksi oleh siapapun termasuk pengikutnya dari kalangan jin. Sampai pada akhirnya tongkat yang menyangga tubuh beliau dimakan rayap dan patah sehingga kemudian membuat tubuh beliau tersungkur. Pada saat itulah, mereka akhirnya mengetahui bahwa Nabi Sulaiman as. telah wafat.

Baca Juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

Beberapa penafsiran tentang kewafatan Nabi Sulaiman

Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Baidhawi mengisahkan bahwa Masjid al-Aqsa mulai dibangun pertama kali oleh Nabi Dawud as., akan tetapi beliau wafat sebelum sempat menyelesaikannya. Di akhir hayatnya, beliau berwasiat kepada putranya, Nabi Sulaiman as., untuk merampungkan proyek pembangunan Masjid al-Aqsa tersebut. Dengan mukjizat yang dimilikinya, Nabi Sulaiman akhirnya memerintahkan para jin yang bekerja di bawah komandonya untuk menyelesaikan pembangunan masjid tersebut.

Namun, ajal Nabi Sulaiman sudah hampir tiba di saat proses pembangunan Masjid al-Aqsa belum selesai. Akhirnya, beliau memohon kepada Allah supaya kewafatannya disembunyikan agar para jin yang bekerja di bawah perintahnya terus melakukan pekerjaannya sampai selesai. Sebab, kalau mereka mengetahu bahwa Nabi Sulaiman as. sudah wafat, mereka pasti akan meninggalkan pekerjaan berat yang selama ini diperintahkan oleh Nabi Sulaiman as.

Permohonan Nabi Sulaiman as. dikabulkan Allah swt. Beliau wafat ketika sedang beribadah di sebuah mihrab tertutup dalam keadaan bertumpu pada sebatang tongkat. Tidak ada yang mengetahui kewafatan beliau sampai pada akhirnya tongkat tempat beliau bersandar dimakan rayap yang menyebabkan beliau tersungkur. Setelah sekian lama, barulah para jin dan pengikut Nabi Sulaiman tahu bahwa beliau telah wafat [Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz 4, hal. 224].

Kisah serupa juga dapat dijumpai di berbagai kitab tafsir lainnya dengan versi yang lebih lengkap dan bahkan alur yang berbeda antara satu riwayat dengan riwayat lain, akan tetapi, sebagian ulama tafsir mewanti-wanti untuk tidak mempercayai riwayat-riwayat tersebut karena validitasnya belum dapat dibuktikan.

Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengutip berbagai riwayat yang menceritakan detail kisah tersebut dan jarak waktu antara kewafatan Nabi Sulaiman as. dengan tahunya para jin tentang kabar tersebut, akan tetapi, beliau menegaskan bahwa selain riwayat tersebut gharib, validitasnya juga masih belum bisa dipastikan. Disamping itu, terselip sebagian riwayat yang diyakini bersumber dari penuturan para ahli kitab. [Tafsir Ibn Katsir, juz 6, hal. 443-444].

Hal serupa juga ditegaskan oleh beberapa mufasir kontemporer seperti Musthafa al-Maraghi, Izzat Darwazah, Wahbah al-Zuhaili dan lain-lain. Al-Maraghi menegaskan bahwa Alquran tidak menyebutkan jarak waktu antara kewafatan Nabi Sulaiman as. dengan tersiarnya kabar tersebut ke bangsa jin.

Menurutnya, riwayat yang mengatakan bahwa jarak antara kewafatan Nabi Sulaiman as. dengan tersiarnya informasi kewafatannya adalah satu tahun, merupakan riwayat yang tidak masuk akal. Sebab, bagaimana mungkin para pelayan Nabi Sulaiman as. luput untuk melayani beliau selama satu tahun. Dan, ketika mereka sedang melayani Nabi Sulaiman, mereka pasti sadar kalau Nabi Sulaiman sudah wafat.

Oleh karena itu, menurut al-Maraghi, rayap tersebut sudah sejak awal menggerogoti tongkat Nabi Sulaiman dan beliau tidak menyadari itu. Kemudian ketika beliau telah wafat, rayap tadi terus menggerogoti tongkat Nabi Sulaiman sampai tongkat tersebut patah dan membuat tubuh Nabi Sulaiman jatuh tersungkur. [Tafsir al-Maraghi, juz 22, hal. 69]

Yang jelas, para jin yang sedang bekerja untuk Nabi Sulaiman as. memang tidak langsung mengetahui kabar tentang wafatnya Nabi Sulaiman. Mereka baru menyadarinya setelah tubuh Nabi Sulaiman terjatuh karena tongkat yang beliau pegang lapuk dan patah dimakan rayap.

Baca Juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Terlepas dari berbagai riwayat dan pendapat para ulama di atas, Allah swt. ingin menunjukkan bahwa tidak ada makhluk yang dapat menjangkau hal-hal gaib, seperti kejadian di masa mendatang atau hal-hal yang tersembunyi dari pengelihatan. Terkait hal ini, Allah swt. berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ…. [الجن: 26، 27]

“Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya,” Q.S. Al-Jin [72]: 26-27

Dengan peristiwa tersebut, manusia jadi tahu bahwa jin yang selama ini mendakwa dirinya mengetahui hal-hal gaib telah berbohong. Meskipun mereka memiliki kemampuan untuk menjangkau dan mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia pada umumnya, hal itu tidak berarti mereka mengetahui perkara gaib. Sebab, jika mereka mengetahuinya, tentu mereka akan langsung sadar terhadap kewafatan Nabi Sulaiman sehingga mereka tidak perlu lagi melakukan pekerjaan berat yang diperintahkan oleh Nabi Sulaiman. Dengan demikian, ayat di atas menegaskan bahwa sejatinya bangsa jin tidak dapat menjangkau perkara gaib. Wallah a’lam

Kebijakan Pemerintah Daerah Terkait Pendidikan Alquran

0
Kebijakan Pemerintah Daerah Terkait Pendidikan Alquran
Kebijakan Pemerintah Daerah Terkait Pendidikan Alquran

Di Indonesia, kebijakan yang terkait dengan agama pada dasarnya merupakan urusan yang sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat; namanya yaitu urusan pemerintahan absolut. Namun, realitanya pemerintah daerah (pemda) juga mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan.

Contoh kebijakan terkait keagamaan yang dikeluarkan sejumlah pemda yaitu peraturan tentang pakaian bagi umat agama tertentu; larangan peredaran minuman keras; larangan prostitusi; pengelolaan zakat, infak, dan sedekah; serta pendidikan keagamaan.

Dalam konteks agama Islam, kebijakan pemda mengenai pendidikan keagamaan utamanya berkaitan dengan pendidikan Alquran. Format kebijakan itu beragam: peraturan daerah (perda) baik provinsi maupun kabupaten/kota, peraturan kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dan instruksi kepala dinas.

Nama produk kebijakan pemda tentang Alquran umumnya berkaitan dengan pemberantasan buta aksara Alquran (contoh: Perda Kab. Maros No. 15/2005 tentang Gerakan Bebas Buta Aksara dan Pandai Baca Alquran) dan pendidikan diniyah (contoh: Perda Kab. Indramayu No. 12/2012 tentang Wajib Belajar Diniyah Takmiliyah).

Kebijakan pemda tentang Alquran pada dasarnya menyasar para siswa, calon siswa, atau anak-anak yang masuk kategori usia sekolah—yang beragama Islam. Isi kebijakan tersebut secara umum berkisar pada hal-hal sebagai berikut:

Baca Juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia

Pertama, kewajiban para siswa di jenjang pendidikan tertentu untuk menguasai baca-tulis Alquran. Kedua, kewajiban para siswa di jenjang pendidikan tertentu untuk mengkhatamkan Alquran. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran baca-tulis Alquran. Keempat, pemberian sertifikat kemampuan baca-tulis Alquran.

Selain para siswa, kebijakan pemda tentang Alquran juga biasanya menyasar para guru mengaji—atau istilah lain yang merujuk pada orang yang mengajar baca-tulis Alquran. Dalam konteks ini, kebijakan dimaksud ada yang mengatur mengenai kriteria guru mengaji serta pemberian insentif untuk guru mengaji.

Menariknya, ada kebijakan pemda tentang Alquran yang tidak hanya menyasar para siswa dan guru mengaji. Contohnya yaitu Perda Kab. Maros No. 15/2005; yang mengatur bahwa calon pegawai negeri sipil, calon pejabat, dan calon pengantin yang beragama Islam wajib bebas buta aksara dan pandai baca Alquran.

Baca Juga: Privilese Penghafal Alquran dalam Mengakses Pendidikan

Kebijakan serupa juga ada di daerah lain, meskipun belum bisa dipastikan dasar hukumnya. Contohnya yaitu tes membaca Alquran bagi calon pejabat yang beragama Islam di Kabupaten Gowa dan Kota Gorontalo, serta pejabat yang beragama Islam di Provinsi Bengkulu.

Serupa tapi tak sama, Kabupaten Sumbawa Barat memiliki Program Tuntas Baca Alquran (TBA), yang ditujukan untuk memperbaiki bacaan Alquran para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan pemda dimaksud.

Di samping itu, selain menginkorporasi pendidikan Alquran ke dalam program di lembaga formal seperti sekolah dan kantor pemerintahan, ada juga kebijakan pemda tentang Alquran yang mengandalkan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat.

Contohnya yaitu berupa program yang umumnya dinamai gerakan magrib mengaji. Banyak sekali daerah yang telah melaksanakan program tersebut. Beberapa di antaranya yaitu Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Kampar, Kabupaten Lebak, Kota Cirebon, Kota Bandung, dan Kabupaten Ciamis.

Baca Juga: Tafsir Juz ‘Amma for Kids: Tafsir Ilustrasi untuk Anak-Anak

Program tersebut mengandalkan peran serta masyarakat—terutama para orang tua dan tokoh agama setempat—dalam pembiasaan membaca Alquran bagi para siswa dan masyarakat umum di waktu antara setelah salat magrib hingga menjelang salat isya.

Lebih jauh lagi, program tersebut dirancang untuk memanfaatkan serta memakmurkan masjid dan musala. Sehubungan dengan itu, gerakan magrib mengaji umumnya disertai dengan himbauan untuk mematikan televisi di waktu yang ditentukan serta melaksanakan salat berjemaah di masjid atau musala setempat.

Selain kebijakan yang sifatnya mengatur atau mewajibkan, ada juga kebijakan pemda tentang Alquran yang memberi apresiasi. Kebijakan dimaksud yaitu pemberian beasiswa bagi penghafal Alquran; baik sebagian maupun seluruhnya; baik yang menempuh pendidikan umum maupun program tahfiz.

Sejumlah daerah yang memiliki program beasiswa tahfiz di antaranya yaitu Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Kerinci, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Riau, Kabupaten Sidoarjo, Kota Banda Aceh, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bengkalis.

Kebijakan pemerintah daerah tentang Alquran dapat dimaknai sebagai kebijakan afirmatif untuk mengupayakan agar umat Islam bisa dan terbiasa membaca serta hafal Alquran. Terlepas dari hal-hal di luar itu, umat Islam harus bisa memanfaatkan kebijakan tersebut untuk memperkuat fondasi keagamaan generasi muda Islam.