Beranda blog Halaman 52

Perlindungan terhadap Hak Privasi dalam Islam

0
Perlindungan terhadap Hak Privasi dalam Islam
Perlindungan terhadap hak privasi dalam Islam.

Pada dasarnya, setiap orang berhak atas dirinya sendiri serta memiliki kendali penuh terkait apa dan bagaimana ia mengaktualisasikan dirinya. Ia bebas menentukan apa saja yang akan dilakukan, dengan siapa ia menjalin interaksi dan berkomunikasi serta kepada siapa ia akan membagikan informasi pribadinya untuk sekedar curhat, misalnya. Tidak ada yang berhak mengintervensi apalagi mendikte kehidupan pribadi orang lain.

Dengan kata lain, setiap manusia memiliki sisi-sisi privasi yang tidak layak diketahui orang banyak. Secara substantif, hak privasi dapat diartikan sebagai batasan atas diri atau informasi diri dari jangkauan publik. Dalam UU ITE, disebutkan bahwa hak pribadi yang tidak boleh terekspos dengan bebas itu meliputi; hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala gangguan; hak untuk berkomunukasi dengan orang lain; hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi.

Namun, sebelum masyarakat modern mengakui eksistensi hak privasi, Islam telah lebih dulu mengakui bahkan berupaya melindungi hak privasi. Hal ini terlihat misalnya dalam Q.S. An-Nur ayat 27-28, Allah Swt. berfirman:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) } [النور: 27]

{فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28) } [النور: 28، 29]

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

Dan jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah!” Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al-Nur [24]: 27-28).

Baca juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu

Menurut Imam al-Thabari, ayat di atas turun lantaran ada seorang perempuan Ansar yang mengadu kepada Rasulullah. Perempuan tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, di dalam rumah, aku sering ada dalam kondisi yang aku tidak ingin seorangpun melihatnya; tidak orang tua, tidak juga anak. Namun, seringkali seorang anggota keluargaku memasuki rumah sedangkan aku dalam kondisi tersebut.” Lantas, turunlah ayat tersebut menjelaskan mengenai ketentuan memasuki rumah orang lain [Jami’ al-Bayan, juz 18, hal. 147].

Berdasarkan ayat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa Islam bukan hanya mengakui hak privasi, tetapi lebih dari itu, berupaya untuk melindungi hak privasi seseorang. Dalam ayat di atas, ditegaskan adanya perintah untuk tidak sembarangan memasuki rumah seseorang sebelum mendapatkan izin dari pemilik rumah yang bersangkutan.

Pasalnya, rumah merupakan tempat paling privasi yang dimiliki oleh seseorang. Di dalamnya ada banyak hal-hal privasi yang tidak selayaknya diketahui orang lain. Maka dari itu, sebelum memasuki rumah orang lain harus terlebih dahulu meminta izin pemilik rumah bersangkutan agar tidak mengganggu hak privasi pemilik rumah tersebut [Tafsir al-Maraghi, juz 18, hal. 95].

Baca juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 58-59: Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua

Larangan untuk memasuki rumah orang tanpa izin dikarenakan rumah merupakan tempat paling privasi bagi seseorang. Imam al-Mawardi menandaskan bahwa rumah adalah pelindung bagi penghuninya. Maka dari itu, siapa saja yang ingin masuk ke rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah. Hal tersebut, menurut Imam al-Mawardi, disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, hak prerogatif yang dimiliki oleh setiap penghuni rumah untuk menggunakan rumah sesuai kehendaknya sendiri, termasuk menerima atau tidak izin dari orang yang mau memasuki rumah tersebut. Kedua, rumah berperan sebagai pelindung hal-hal sensitif dan privasi pemilik rumah beserta keluarganya [Al-Hawi al-Kabir, juz 13, hal. 463].

Dalam satu peristiwa, Rasulullah saw. pernah menegur dengan keras orang mengintip melalui celah-celah tembok rumah. Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan hadis sebagai berikut:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ: أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ مِنْ جُحْرٍ فِي دَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُكُّ رَأْسَهُ بِالْمِدْرَى فَقَالَ: «لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكَ تَنْظُرُ، لَطَعَنْتُ بِهَا فِي عَيْنِكَ، إِنَّمَا جُعِلَ الإِذْنُ مِنْ قِبَلِ الأَبْصَارِ»

Dari Sahl ibn Sa’d: Sesungguhnya seorang laki-laki mengintip dari celah rumah Nabi saw., sedangkan Nabi saw. pada waktu itu sedang menyisir rambutnya dengan sebuah sisir. Kemudian Nabi saw. bersabda, “ Andai aku tahu kamu mengintip niscaya aku akan mencolok matamu dengan sisir itu. Sungguh, minta izin itu di proyeksikan untuk menjaga mata (H.R. Bukhari).

Baca juga: Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya

Tindakan mengintip rumah merupakan perilaku menyimpang yang dilarang dalam Islam. Hal ini karena di dalam rumah terdapat banyak hal-hal privat yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Hadis di atas menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang mengintip rumah orang lain karena itu membuka peluang tersebarnya hal-hal privasi yang tidak sepantasnya diketahui orang banyak.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya mengakui keberadaan hak privasi, tetapi juga berusaha melindungi hak privasi. Aturan mengenai pembatasan kebebasan terhadap hak privasi orang lain ini bertujuan untuk menjaga kehormatan serta menjaga keharmonisan hubungan antara satu individu dengan individu lain. hal ini sejalan dengan salah satu tujuan asasi hukum Islam (al-maqashid al-syariah al-dharuriyah), yaitu menjaga kehormatan (hifdz al-‘irdh).

Mengenal Tafsir Ahkam al-Qur’an Karya Ibnu al-Faras

0
Tafsir Ahkam al-Quran karya Ibnu al-Faras
Tafsir Ahkam al-Quran karya Ibnu al-Faras

Tafsir ahkam dari ulama klasik yang jarang tersorot oleh akademisi Nusantara ialah Tafsir Ahkam al-Qur’an karya Ibnu al-Faras. Hal ini dikarenakan minimnya penelitian yang membahas tentang tafsir tersebut. Penulis hanya menemukan satu buku yang memasukkan nama Ibnu al-Faras di dalamnya dan tidak membahas secara detail (Lihat, Isnan Ansory, hal. 45).

Baca juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Kemungkinan tersebut dikarenakan mazhab dari tafsir tersebut lebih pada mazhab Maliki. Sedangkan mayoritas mazhab di Nusantara menurut Anny Nailatur Rohmah didominasi oleh mazhab Syafi’i yang salah satu faktornya karena dakwah yang dibawa Wali Songo (Anny Nailatur Rohmah, hal. 174).

Tafsir Ahkam al-Qur’an  karya Ibnu al-Faras merupakan tafsir yang lengkap 30 juz dengan analisis corak hukum di dalamnya dan bermazhab Maliki. Dari namanya sudah jelas jika tafsir tersebut memang di khususkan untuk membahas masalah hukum.

Biografi Ibnu al-Faras

Nama lengkap al-Faras atau Ibnu al-Faras ialah ‘Abd Al-Mun‘im bin Muhammad bin ‘Abd Al-Rahim  bin Muhammad Al-Khazraji, Al-Gharnathi dan dijuluki dengan sebutan Abu Muhammad. Ibnu al-Faras lahir di Granada pada tahun 525 H. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi keilmuan. Karena awal pengembaraan Ibnu al-Faras dimulai dari keluarganya sendiri.

Kakek Ibnu al-Faras yang bernama Abd al-Rahim bin Muhammad al-Khazraji (w. 542 H) merupakan seseorang yang ahli dalam bidang hukum, qari, dan pembicara terkenal. Begitu  juga ayahnya, yang bernama Muhammad bin Abdurrahim bin Muhammad (w. 567 H) dikenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan. Ayah Ibnu al-Faras juga dikenal dengan sebutan Ibnu al-Faras. Hal yang menjadi pembeda dengan julukan putranya ialah dia juga dikenal dengan sebutan Abu Abdullah. Ibnu al-Faras belajar membaca Alquran dari kakeknya, belajar hadis dan fikih bersama ayahnya (Ahkam al-Quran, juz I, hal. 8).

Baca juga: Ibnu Athiyyah, Mufasir Al-Quran dari Granada Spanyol

Pengembaraan keilmuan Ibnu al-Faras yang dimulai dari lingkungan keluarganya menjadi awal dari semua kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Setelah itu, Ibnu al-Faras melanjutkan pendidikannya di Andalusia dan belajar banyak hal yang belum dia dapatkan sebelumnya, seperti hadis riwayah dan dirayah yang belajar dari Hisham bin Ahmad bin Hisham al-Hilaly, ilmu qiraat dari Sharwah bin Ahmad bin Sharwah al-Salmani. Selain itu, dia juga mendapat banyak ijazah dari beberapa ulama seperti Abi al-Walid al-Dubbagh, Abi Bakar bin al-‘Arabi tentang ilmu syariat (Al-Dhawahir al-Lughawiyah ‘inda ibn al-Faras al-Andalusi fi Ahkam al-Quran, hal. 110).

Pengembaraannya membuahkan banyak karya di berbagai bidang keilmuan, seperti ilmu Bahasa Arab, nahwu, balaghah dan beberapa karya syair. Kitab populer dalam masalah nahwu ialah kitab al-masa’il al-lati ukhtulifa fiha al-nahwiyyunamin ahl al-basrah wa al-kufah, sina‘ah al-jadal, adab al-qada’, kitab fi al-abniyah, ikhtisar li kitab al-ahkam al-sultaniyah, ikhtisar li kitab al-nasab, ikhtisar li kitab nasikh al-quran wa mansukhihi li ibn al-shahin, mukhtasar li kitab al-muhtasib li ibn juni dan lain-lainnya.

Latar Belakang dan Sekilas tentang Tafsir Ahkam al-Qur’an Karya Ibnu al-Faras

Latar belakang Ibnu al-Faras menulis tafsirnya tersebut tidak lepas karena keinginannya secara pribadi ketika melakukan pengembaraan keilmuan. Motivasi Ibnu al-Faras terdorong karena ketika dia melihat tulisan-tulisan ulama dalam bidang hukum tidak menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan kebutuhan pada masa itu. Menurutnya, tidak banyak karya ulama yang memberikan penjelasan-penjelasan tata cara hukum dari Alquran.

Dengan adanya problem yang dilihat oleh Ibnu al-Faras, akhirnya dia bermaksud untuk membahas apa yang tidak dilakukan oleh ulama-ulama pada masa itu. Dia mencari permasalahan yang disandarkan pada Alquran. Setelah itu, masalah-masalah yang dia kumpulkan dijadikan dalam satu kitab agar dapat lebih mudah dipahami oleh orang lain dengan penjelasan yang singkat dan memilah pendapat yang lebih unggul (Ahkam al-Quran, juz I, hal. 34).

Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah

Dalam penyajiannya, Ibnu al-Faras mencantumkan beberapa pendapat agar pembaca mengetahui perbedaan-perbedaan dalam masalah hukum yang dinilai sebagai pendapat ittifaq (disepakati) dan juga ikhtilaf (berbeda). Meskipun demikian, kecondongan Ibnu al-Faras tidak dapat dipungkiri dengan adanya tarjih pada pendapat-pendapat yang dia sebutkan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan mukadimah ahammiyah yang lebih condong pada mazhab Maliki (Ahkam al-Quran, juz I, hal. 17).

Sedangkan, corak dari tafsir ahkam al-qur’an dalam kategorisasi Nashruddin Baidan masuk dalam corak khusus, yaitu corak fikih. Karena corak yang ada di dalam tafsir tersebut di dominasi oleh satu corak saja. Sedangkan sumber yang digunakan oleh Ibnu al-Faras banyak menggunakan data dari hadis nabi dan juga beberapa pendapat ulama. Hal tersebut terbukti dengan analisis Ibnu al-Faras dalam al-Baqarah ayat 233:

قوله: {يرضعن أولادهن} خبر معناه الأمر. وقد اختلف فيما يلزم المرأة ذات الزوج من رضاع ولدها…

Firman Tuhan “Yurdi’na awladahunna” merupakan khabar yang bermakna perintah. Terdapat perbedaan dalam masalah kewajiban perempuan yang mempunyai suami untuk menyusui anaknya…

Analisis tersebut memang dimulai dengan penentuan kedudukan dari susunan ayat. Akan tetapi, hal itu hanya disinggung sekilas dan langsung ditarik pada diskursus hukum menyusui anak dari berbagai mazhab. Selain itu, Ibnu al-Faras juga melakukan tarjih dengan mengunggulkan pendapat dari mazhab Maliki (Ahkam al-Quran, juz 1, hal. 337). Wallahu a’lam[]

Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill

0
Konsep Fungsi Informatif dan Performatif Alquran ala Sam D. Gill
Sam D. Gill (sumber: colorado.edu).

Ahmad Rafiq, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang fokus mengkaji studi Living Qur’an, menjadi salah satu akademisi yang mengenalkan teori Sam D. Gill, yaitu dualisme fungsi: informatif dan performatif kitab suci. Dengan teori Gill, Rafiq mengamati masyarakat Banjar dalam disertasinya yang berjudul The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community (2014).

Sam D. Gill sendiri adalah profesor studi agama di Universitas Colorado di Boulder. Banyak karya yang lahir dari tangan emasnya, sehingga ia bisa dibilang sangat produktif. Agama penduduk asli Amerika menjadi fokus karyanya selama ini. Dan belakangan, di umurnya yang ke 80, ia mendedikasikan hidupnya untuk belajar dan mengajar tari. Sebenarnya, minatnya kepada seni tari sudah muncul sejak 1990-an. Dari daerah Eropa hingga Bali dan Jawa, sudah ia singgahi untuk belajar dan mengamati ritual dan tarian. Karya terbarunya, Dancing: Stepping to the Rhythms of Life, membuktikan minatnya tersebut. Mungkin menarik untuk penulis kaji di tulisan selanjutnya mengenai “agama dan tari” itu.

Teori Gill yang dibahas di tulisan sini termaktub dalam sub-bab dari buku The Holy Book in Comparative Perspective (1985). Di awal tulisannya itu, Sam D. Gill mengungkapkan bahwa judul “Nonliterate Traditions and Holy Books” adalah seperti sebuah koan, suatu bentuk teka-teki atau tanya jawab yang hasilnya dapat meruntuhkan tatanan logika dalam tradisi Zen Buddhisme. Dan memang demikian adanya, sebab dua istilah dalam judul sangat bertentangan secara radikal, yaitu bagaimana cara menggabungkan antara “tradisi buta huruf” (yang tidak bisa membaca tulisan) dan “kitab suci” (yang berupa tulisan yang harus dibaca).

Namun, Gill percaya apa yang ia sampaikan akan menuntun para pembaca untuk menemukan kembali agama. Bahwa tidak semua agama, terlebih di masyarakat tradisional, mempunyai kitab suci. Kitab suci adalah teks; dan teks tidak melulu tentang tulisan. Ia bisa berbentuk ucapan atau suara dan tindakan. Oleh sebab itu, Gill menawarkan konsep dua dimensi: horizontal (sebagai data teks dan praktik) dan vertikal (sebagai interpretasi yang informatif dan performatif).

Buta Huruf dan Melek Huruf

Sebelum itu, dalam mendiskusikan masyarakat “buta huruf” dan “melek huruf”, Gill nampak setuju, di satu sisi, terhadap keteguhan masyarakat buta huruf untuk mempertahankan cara komunikasi mereka dan menentang apapun yang berupa kertas dengan garis-garis hitam di atasnya: tulisan.

Penentangan mereka tentunya dilatarbelakangi oleh sejarah penindasan terhadap mereka oleh orang kulit putih yang bisa baca-tulis. Mereka melihat budaya membaca dan menulis sebagai sebuah degradasi dan bahaya komunikasi. Menulis juga dapat menyebabkan kelupaan. Pengetahuan yang utuh tidak diperoleh dari tulisan, melainkan dari pengalaman intim dan transmisi face to face.

Baca juga: Living Qur’an; Melihat Kembali Relasi Alquran dengan Pembacanya

Dari sisi lain, Gill sadar terhadap kritik-kritik yang dilontarkan mereka. Mungkin bagi sebagian orang, bahkan banyak, yang menganggap mereka sebagai atribut negatif dan primitif. Namun, orang juga akan terkejut dan bersimpati atas evaluasi mereka mengenai pentingnya pengalaman langsung dan tanggung jawab untuk mengabadikan tradisi keagamaan. Pun, kita juga disadarkan bahwa di beberapa kasus, apa yang orang buta huruf lakukan dalam liturgi-liturgi bisa jadi lebih emosional daripada orang melek huruf yang hanya menatap kosong tulisan-tulisan di atas kertas.

Gill pada hakikatnya tetap berada di pihak “melek huruf” meskipun secara bersamaan ia juga disadarkan oleh perspektif kritis tradisi “buta huruf”. Penekanan ini berguna tentunya bagi studi mengenai kitab suci dan konsepsi mengenai keterkaitannya dengan agama. Menurut Gill, studi keagamaan kala itu hanya terpaku terhadap sejarah kitab suci (teks) yang ditulis dan ditafsirkan ke dalam bentuk doktrinal, teologis, dan kultural. Bentuk data studi agama yang dipelajari dibatasi begitu ketat, yakni teks (yang berarti tulisan).

Fungsi Informatif dan Performatif

Gill memulai dengan mempertimbangkan kritik masyarakat “buta huruf”, bahwa hakikat kritik mereka tidak serta-merta hanya kepada tulisan, melainkan jauh dari itu adalah dimensi perilaku dan cara berpikir yang didorong oleh struktur teks tersebut. Dimensi-dimensi ini berhubungan dengan aspek kritik, semantik, dan kode bahasa. Dan seyogianya, studi agama merupakan penggalian suatu informasi di dalam teks menggunakan dimensi-dimensi yang disebutkan tadi. Akan tetapi, untuk memperluas kontekstual dan penggunaan data, menurut Gill, dimensi vertikal dibutuhkan dalam hal ini.

Dimensi vertikal didefinisikan sebagai dimensi yang berkaitan dengan pendekatan interpretatif. Pendekatan interpretatif dapat dilakukan melalui dua cara, yakni informatif dan performatif. Dua fungsi ini berkaitan erat dengan dimensi horizontal atau “data” di mana dengannya subjek pembaca memaknai apa yang dikatakan (informatif) dan apa yang dipraktikkan (performatif).

Baca juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Untuk lebih memahami bagaimana cara kerja dua dimensi di atas, Ahmad Rafiq menyebutkan empat pola yang dihasilkan dari kombinasi dua dimensi: 1) data teks diinterpretasikan secara informatif; 2) data praktik diinterpretasikan secara informatif; 3) data teks diinterpretasikan secara performatif; dan 4) data praktif diinterpretasikan secara performatif (Living Qur’an: Teks, Praktik, dan Idealitas dalam Performasi Alquran, 2022).

Berkaitan dengan studi Alquran, gagasan Sam D. Gill di sini sesuai dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat Islam tentang bagaimana mereka membaca Alquran, memahami, dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Di beberapa daerah terpencil seperti pelosok-pelosok desa, pasti ditemukan banyak muslim yang pada dasarnya “buta huruf”, tetapi “ruh” Alquran hidup (living) di antara tradisi-tradisi mereka.

Baca juga: Tradisi Batamat Alquran di Kalangan Masyarakat Banjar

Bahkan juga pada beberapa kasus, mereka hanya mengamalkannya tanpa tahu alasan di baliknya. Mereka hanya akan bilang bahwa itu sudah turun-temurun dilakukan sejak nenek moyang. Dalam hal ini, fungsi praktik adalah sejajar dengan fungsi teks sebagai penyampai pesan, dan kemudian pesan tersebut diaktualisasikan melalui tindakan yang kontinu.

Korban Palestina, Apakah Mereka Gugur Begitu Saja?

0
Korban Palestina, Apakah Mereka Gugur Begitu Saja?
Korban Palestina, Apakah Mereka Gugur Begitu Saja?

Sudah lebih satu bulan berlalu, konflik yang terjadi antara Israel dan kelompok militan Hamas Palestina yang meletus sejak 7 Oktober 2023 terus memakan korban. Menurut Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), sampai hari ke-44 perang, yakni 19 November 2023, jumlah total korban jiwa Palestina mencapai 13.216 orang.

Sungguh teriris hati ini melihat banyak saudara muslim Palestina yang terzalimi, disiksa dan ditindas sedemikian rupa, tetapi hanya sedikit yang bisa kita lakukan; berunjuk rasa dijalanan, melakukan dukungan lewat media sosial, memboikot produk-produk zionis Israel, serta mendoakan mereka. Aksi yang dilakukan sampai saat ini memang belum bisa berdampak besar, namun itu lebih baik daripada hanya diam tanpa melakukan apa-apa.

Namun di sisi lain, melihat dari banyaknya korban dari kekejaman tersebut, sebagai seorang muslim yang memiliki rasa keimanan yang tinggi, seharusnya merasa iri kepada mereka para korban di Palestina. Mengapa demikian? Karna sesungguhnya kematian mereka bukanlah kematian yang sia-sia. Mereka dizalimi, mereka dianiaya sedemikan rupa. Mereka, muslim Palestina, meninggal dalam keadaan memperjuangkan harta, keluarga, tanah air serta agama mereka. Mereka mati dalam keadaan jihad fii sabilillah.

Baca Juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian

Jihad merupakan ketaatan badan yang paling utama dan paling berat bagi jiwa, karena membawa kepada kematian. Orang-orang mencintai dunia karena ingin hidup di sana, bahkan tindakan sehari-hari yang mereka lakukan juga bertujuan agar dapat hidup di sana.

Sudah menjadi maklum, bahwa hal yang dicintai tidaklah ditinggalkan oleh orang-orang yang berakal selain untuk memperoleh hal yang lebih dicintai lagi. Maka Allah Swt memberitahukan bahwa orang yang berperang di jalan Allah agar kalimat Allah menjadi tinggi dan agar agama-Nya menjadi tegak, pada hakikatnya ia tidak kehilangan kehidupan yang dicintainya itu, bahkan ia memperoleh kehidupan yang lebih besar dan lebih sempurna dari apa yang diperkirakan.

Sebagaimana dalam Q.S Albaqarah [1]:154:

وَلَا تَقُولُواْ لِمَن يُقۡتَلُ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتُۢۚ بَلۡ أَحۡيَآءٞ وَلَٰكِن لَّا تَشۡعُرُونَ ١٥٤

Dan janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya.

Kemudian dijelaskan juga dalam Q.S Ali ‘Imran [3]:169-171:

وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا۟ بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ (171)

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154: Merenungi dan Meneladani Spirit Hari Pahlawan

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa janganlah kita mengatakan kepada orang-orang yang mati syahid dalam perjuangan dan jihad yang murni bahwa mereka mati. Sebab mereka sebenarnya hidup di dalam kuburan mereka, hidup dengan tipe kehidupan yang khusus dan ciri-ciri yang spesial. Mereka diberi rezeki, dengan suatu cara yang hanya diketahui oleh Allah.

Manusia yang masih hidup tidak dapat mengetahui hakikat kehidupan tersebut dengan standar indera semata, sebab itu adalah kehidupan gaib, di alam lain, dan memiliki model yang berbeda dari kehidupan dunia ini. Yang terpenting Allah Ta’ala sudah memberi tahu kepada manusia tentang adanya kehidupan itu, tidak perlu diteliti, tapi hanya cukup diimani.

Apa yang disebutkan di atas mengandung isyarat bahwa orang beriman yang mengorbankan dirinya demi memenangkan agamanya dan dakwah Tuhannya tergolong sebagai syahid yang meraih surga keabadian, dan mereka masih hidup, roh mereka berada di dalam tembolok burung-burung hijau yang terbang bebas di surga, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang sahih. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid 1, 300)

Nabi Saw memberitahukan dalam hadisnya bahwa ruh para syuhada berada di perut-perut burung hijau, di mana burung-burung itu mendatangi sungai-sungai surga dan memakan buah-buahannya, kemudian pulang ke lampu-lampu yang menempel di ‘Arsy.

إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقَةٍ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَاطَّلَعَ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلَاعَةً، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خلقك؟ ثم عاد عليهم بِمِثْلِ هَذَا فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُونَ مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى- لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ- فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كَتَبْتُ أَنَّهُمْ إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ.

Bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah ‘Arasy. Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman, “Apakah yang kalian inginkan?” Mereka menjawab, “Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?” Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata, “Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau,” mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu. Maka Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati). (HR. Muslim: 121) (Abu Yahya Marwan bin Musa, Tafsir Hidayatul Ihsan, 72-73)

Pada riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw menyebutkan derajat syahid bagi orang meninggal karena membela harta bendanya atau kepemilikannya.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang gugur karena membela hartanya, maka ia mendapat derajat syahid,” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwasanya saudara-saudara muslim kita yang sekarang sedang memperjuangkan harta, keluarga, tanah air serta agama mereka, hakikatnya mereka sudah memegang kunci-kunci surga atas kematian mereka. Semoga mereka yang sekarang masih berjuang di sana diberikan Allah kekuatan dan kesabaran. Insyaa Allah kebaikan akan selalu menang sampai kapanpun.

Wallahu A’lam.

‘Kafalah’ dan Landasan Hukumnya Dalam Alquran dan Hadis

0
kafalah dan landasan hukumnya dalam Alquran
kafalah dan landasan hukumnya dalam Alquran

Salah satu perilaku ekonomi yang sering dilakukan adalah melakukan penjaminan tanggungan. Dalam diskursus fikih, jenis akad jaminan bermacam-macam, di antaranya dhaman, qard (gadai), dan kafalah.­ Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian kafalah dan legalitas hukumnya dalam Alquran dan hadis.

Secara bahasa, kafalah mengandung dua pengertian. Dalam literatur fikih Mazhab Hanafi, kafalah secara bahasa berarti mengumpulkan (الضم). Sedangkan kafalah dalam lingkup Mazhab Syafi’i dimaknai sebagai kesanggupan (الالتزام). (Al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, juz 7, hal. 163)

Dalam pengertian istilah, kafalah adalah kesanggupan untuk menanggung tanggungan orang lain, mendatangkan orang yang memiliki tanggungan atau sebuah barang yang ada di tangan orang lain untuk dikembalikan kepada pemiliknya (Al-Fiqh al-Manhaji, juz 7, hal. 143). Konsekuensi dari adanya kesanggupan tersebut adalah pihak penjamin maupun pihak terjamin memiliki kewajiban yang sama untuk menunaikan tanggungan.

Baca Juga: Legalitas Konsep ‘Hilah’ dalam Alquran

Sedangkan menurut ulama hanafiyah, kafalah adalah menggabungkan tanggungan pihak penjamin dengan pihak terjamin untuk dimintai tanggung jawab, baik dalam hal jiwa, hutang maupun barang. (Al-Durr al-Mukhtar syarh tanwir al-abshar wa jami’ al-bihar, hal. 451)

Tidak seperti pandangan di atas, konsekuensi dari definisi yang ditawarkan hanafiyah ini adalah bahwa hutang atau tanggungan tetap menjadi beban tanggung jawab pihak terjamin (dalam hal ini misalnya orang yang berhutang). Akan tetapi, pihak dengan adanya akad kafalah, pihak terjamin terbantukan dengan adanya bantuan dari pihak penjamin.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, kafalah adalah komitmen untuk menjamin hak seseorang dengan kesanggupannya untuk membayarkan piutangnya atau menghadirkan orang yang punya tanggungan untuk menyelesaikan urusannya.

Istilah kafalah ini nantinya lebih dominan digunakan untuk kafalah bi al-nafsi (kesanggupan untuk menghadirkan orang), seperti kesanggupan untuk menghadirkan terdakwa dalam sidang pengadilan, menghadirkan pelaku pembunuhan untuk diqishahs dan lain sebagainya.

Baca Juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian 2)

Landasan Hukum Akad Kafalah

Pada dasarnya, kafalah hukumnya boleh. Bahkan terkadang bisa menjadi sunnah ketika akad kafalah tidak berpotensi menimbulkan masalah serta pihak penjamin meyakini bahwa dirinya mampu memenuhi tanggung jawab tersebut. Di antara landasan normatif bagi legalitas akad kafalah adalah firman Allah swt. dalam Alquran, surah Yusuf ayat 72,

قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ [يوسف: 72]

“Para penyeru-penyeru itu berkata: kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban onta, dan aku menjadi penjaminnya”. Q.S. Yusuf [12]: 72.

Ayat di atas mengisahkan tentang dialog antara prajurit kerajaan dengan saudara-saudara Nabi Yusuf ketika mereka diperintah oleh Nabi Yusuf untuk mencari bejana kerajaan yang hilang.

Menurut syaikh Wahbah az-Zuhaili, potongan terakhir ayat tersebut menjadi salah satu dalil legalitas akad kafalah. (Tafsir al-Munir, juz 13, hal. 35) Para prajurit suruhan Nabi Yusuf akan menjamin pemberian hadiah kepada siapa saja yang dapat menemukan bejana kerajaan yang hilang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesanggupan untuk memberikan jaminan tersebut adalah sesuatu yang diizinkan oleh Alquran. Ini memiliki keterkaitan dengan akad kafalah, sebab dalam kafalah, hal yang paling pokok di dalamnya adalah munculnya kesanggupan tersebut untuk menjamin hak orang lain.

Selain ayat di atas, landasan hukum dari kafalah adalah hadis Rasulullah saw. yang berbunyi:

«الزَّعِيمُ غَارِمٌ، وَالدَّيْنُ مَقْضِيٌّ»

“orang yang menjamin adalah orang yang harus bertanggung jawab. sementara hutang harus dibayar.” H.R Ibnu majah

Selain hadis di atas, terdapat hadis lain yang dapat dijadikan landasan hukum kafalah. Misalnya hadis riwayat Imam al-Baihaqi yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah menanggung hutang seorang sahabat yang berjumlah sepuluh dinar.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf ayat 67-77

Dari beberapa keterangan di atas, praktik penjaminan atas transaksi hutang piutang dapat dibenarkan oleh hukum Islam. Hal ini semata-mata untuk memelihara hak-hak orang yang terlibat dalam akad hutang piutang tersebut, khususnya hak yang ada pada pihak piutang.

Alhasil, Islam melegalkan prilaku penjaminan tanggungan seperti menjamin hutang atau tanggungan-tanggungan antar sesama manusia lainnya. Sejatinya, ada banyak ketentuan parsial yang tidak dapat penulis jabarkan dalam tulisan singkat ini dan bila ingin mendalami bagaimana para ulama fikih mengatur ketentuannya bisa langsung merujuk kepada berbagai literatur fikih yang ada. Wallah a’lam

Nabi Ibrahim Adalah Muslim, Bukan Yahudi ataupun Nasrani

0
Nabi Ibrahim adalah muslim, bukan Yahudi ataupun Nasrani
Nabi Ibrahim adalah muslim, bukan Yahudi ataupun Nasrani

Dalam diskursus teologi Islam, Nabi Ibrahim disebut sebagai “Bapak Para Nabi” atau abu al-anbiya. Dalam tradisi tiga agama besar semitik, yakni Islam, Nasrani dan Yahudi, Nabi Ibrahim dijuluki sebagai “Bapak teologis orang beriman”. Berdasar alasan itu, agama-agama tersebut juga sering disebut dengan istilah agama abrahamik (A History of God).

Posisi sentral Nabi Ibrahim pada tiga agama semitik, yakni Islam, Nasrani dan Yahudi, menunjukkan adanya relasi historis dan teologis yang cukup erat di antaranya ketiganya. Namun di sisi lain, terjadi tarik-menarik identitas keberagamaan Nabi Ibrahim oleh masing-masing penganut agama sebagai wujud validasi kebenaran ajaran.

Dalam New World Encyclopedia disebutkan bahwa orang-orang Yahudi mengklaim Nabi Ibrahim sebagai nenek moyang bani Israil. Orang-orang Nasrani menyebut Nabi Ibrahim sebagai ‘Bapak Orang-Orang Beriman’. Sedangkan dalam tradisi Islam, Nabi Ibrahim beserta anaknya Nabi Ismail dianggap sebagai leluhur bangsa Arab.

Baca Juga: Ayah Nabi Ibrahim dan Kesucian Nasab Nabi Muhammad

Pada faktanya, Nabi Ibrahim secara genealogis memang memiliki hubungan erat terkait tiga agama tersebut. Secara biologis, Nabi Ibrahim merupakan ayah dari Nabi Ismail yang merupakan nenek moyang Nabi Muhammad saw. Nabi Ibrahim banyak disebutkan dalam Kitab Injil, dan beliau juga merupakan ayah dari Nabi Ishaq yang merupakan leluhur bangsa Israil.

Kendati demikian, terjadi persoalan pelik terkait posisi keberagamaan Nabi Ibrahim. Orang-orang Yahudi menyebut Nabi Ibrahim beragama Yahudi dan orang-orang Nasrani menyebut Nabi Ibrahim beragama Nasrani. Sedangkan orang-orang Islam menyebut Nabi Ibrahim adalah seorang muslim, bukan Yahudi ataupun Nasrani sebagaimana dalam penjelasan berikut ini.

Baca Juga: Momentum Hari Arafah: Nabi Ibrahim a.s. dan Pengorbanan Cinta

Nabi Ibrahim Adalah Seorang Muslim dan Hanif

Berkenaan dengan klaim-klaim posisi keberagamaan Nabi Ibrahim, Alquran melalui surah Ali ‘Imran ayat 67 menegaskan bahwa Nabi Ibrahim bukanlah seorang Yahudi ataupun Nasrani, melainkan seorang yang lurus dan muslim, yakni mentauhidkan Allah swt. dan jauh dari segala bentuk perbuatan syirik ataupun kesesatan. Firman Allah Swt.,

مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Ali ‘Imran ayat 67).

Secara umum, surah Ali ‘Imran ayat 67 berisi tentang sanggahan terhadap klaim orang Yahudi dan Nasrani yang menyebut Nabi Ibrahim sebagai orang Yahudi atau Nasrani. Ayat ini menegaskan bahwa yang benar adalah Nabi Ibrahim merupakan seorang yang lurus (bertauhid), muslim (berserah diri), dan bukan termasuk orang musyrik.

Ibnu Katsir menjelaskan surah Ali ‘Imran ayat 67 merupakan bantahan Allah swt. kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang mengklaim Nabi Ibrahim sebagai Yahudi atau Nasrani. Bagaimana mungkin Nabi Ibrahim beragama Yahudi atau Nasrani sedangkan kedua agama tersebut beserta kitab sucinya datang setelah Nabi Ibrahim (Tafsir al-Qur’an al-Azhim [2]: 57).

Kemudian, Ibnu Katsir menerangkan bahwa orang yang paling berkah untuk mengklaim telah mengikuti Nabi Ibrahim adalah orang yang mengikuti beliau secara agama, yakni mentauhidkan Allah swt. Orang yang paling berhak itu adalah Nabi Muhammad saw. dan orang-orang beriman setelahnya yang menjunjung tauhid dan keimanan (Tafsir al-Qur’an al-Azhim [2]: 58).

Imam as-Suyuthi memiliki pandangan yang serupa dengan Ibnu Katsir. Menurutnya, surah Ali ‘Imran ayat 67 bermakna. “tidaklah Nabi Ibrahim cenderung kepada agama Yahudi atau Nasrani, melainkan pada agama yang lurus sebagai seorang muslim (orang yang bertauhid), dan tidaklah beliau (Ibrahim) termasuk orang-orang yang musyrik” (Tafsir Jalalain: 75).

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim As dalam Q.S al-An’am Ayat 75-79 dan Ajaran Tauhid

Pada dasarnya, seluruh agama samawi merupakan agama yang hanif dan pemeluknya merupakan seorang muslim, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa. Namun menurut Ali as-Shabuni, agama Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dalam surah Ali ‘Imran ayat 67 adalah agama Yahudi dan Nasrani yang menyalahi atau tidak sesuai dengan syariat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. (Shafwat al-Tafasir [1]: 190).

Oleh karena penyelewengan dan kesesatan itulah, tidak sepantasnya orang-orang Yahudi atau Nasrani mengklaim Nabi Ibrahim sebagai penganut agama Yahudi atau Nasrani. Sebab, Nabi Ibrahim adalah orang yang lurus berpegang pada ajaran tauhid dan tidak pernah berlaku syirik. Adapun kaum Yahudi dan Nasrani banyak melakukan perbuatan syirik seperti menganggap Uzair dan Nabi Isa sebagai anak Tuhan.

Mengingat alasan penyelewengan dan kesesatan itu pula –menurut Ali as-Shabuni– orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak berhak mengaku mengikuti Nabi Ibrahim yang muslim dan hanif. Orang yang pantas mengaku menjadi pengikut Nabi Ibrahim adalah orang yang mengikuti jalan tauhid, yakni Nabi Muhammad saw. beserta umatnya (Shafwat al-Tafasir [1]: 190).

Dengan demikian, diketahui bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang muslim, bukan Yahudi atau Nasrani yang sesat. Maksudnya beliau adalah orang yang berpegang teguh pada tauhid dan berserah diri kepada Allah swt. Nilai ketauhidan inilah yang diteruskan pada Nabi Muhammad saw. melalui Alquran hingga lahirlah agama Islam, sebuah agama yang membenarkan dakwah nabi terdahulu dan menyempurnakannya. Wallahu a’lam.

Dalil Perbedaan Makki-Madani pada Surah Alfalaq dan Annas

0
Surah Alfalaq dan Annas
Surah Alfalaq dan Annas

Menurut beberapa ahli tafsir,salah satu cara memahami tafsir adalah dengan mengetahui asbabunnuzul dan tempat turunnya ayat atau surah tersebut. Berdasarkan tempat turunnya surah ini disebut dengan istilah makki-madani. Makki yang artinya surah tersebut turun di kota Makkah atau sebelum Nabi Saw hijrah ke Madinah, sedangkan madani artinya surah tersebut turun di kota Madinah atau setelah Nabi Saw berhijrah ke Madinah.

Menurut mayoritas ulama, terdapat 86 surah makkiyah dan 28 surah madaniyah dalam Alquran. Namun, artikel ini hanya membahas makki-madani pada surah Alfalaq dan Annas. Dalam mushaf Alquran standar Indonesia, kedua surah tersebut termasuk dalam kelompok surah madaniyah, sedangkan pada mushaf negara-negara lain seperti Arab Saudi, Mesir, Libya, Pakistan, dan Maroko menetapkan kedua surah tersebut sebagai surah makkiyah.

Tentunya ini menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji ‘ulumul Qur’an. Apalagi bagi orang-orang awam, sebab dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan. Maka dari itu, penulis memaparkan dalil-dalil dari kalangan ulama, tabi’in, maupun sahabat yang berkenaan dengan dalil perbedaan makki-madani pada surah Alfalaq dan Annas.

Baca Juga: Sejarah Perkembangan Makki-Madani di Masa Awal Islam

Pandangan Mufasir

Ada dua pandangan musfasir dalam menetapkan makki-madani kedua surah ini. Tidak sedikit ulama tafsir yang berpendapat bahwa kedua surah ini adalah surah makkiyah, seperti Imam as-Suyutiy dalam kitabnya ad-Durr al-Mansur, Muqatil dalam Tafsir Muqatil, as-Samarqandiy dalam Bahr al-‘Ulum, al-Wahidiy dalam al-Wasit fi Tafsir al-Quran al-Majid, Abu as-Su’ud dalam Irsyad al-Aql as-Salim, al-Qasimiy dalam Mahasin al-Ta’wil,dan Ibnu Asyur dalam at-Tahrir Wa at-Tanwir. Kebanyakan pendapat mereka disandarkan kepada Ibnu Abbas dan Qatadah.

Di samping itu juga banyak ulama tafsir yang berpendapat bahwa kedua surah adalah madaniyah, antara lain yaitu al-Bagawiy dalam Ma’alim at-Tanzil, Ibnu al-Jauziy dalam Zad al-Masir, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzim, al-Fairuzabadiy dalam Basa’ir Zawi at-Tamyiz, as-Suyuti dalam al-Itqan fi Ulum al-Quran, al-Alusiy dalam Ruh al-Ma’ani. Pendapat mereka ini juga disandarkan kepada tabi’in yang masyhur juga yaitu Ibnu Abbas, Mujahid, Atha, dan Qatadah.

Baca Juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?

Dalil Rujukan Para Mufasir

Di sini penulis hanya memaparkan kutipan terjemahan dari kitab karangan para ulama, yang mana kutipan-kutipan ini menjadi sandaran bagi para mufasir dalam menetapkan makki-madani kedua surah ini. Adapun dalil dalilnya antara lain;

Dalil Makkiyah

Diriwayatkan dari  Ibnu Abbas dalam Fadha’il al-Qur’an karya ibnu ad-Durais

Ibnu ‘Abbàs berkata, “Berikut adalah surah Alquran yang pertamatama turun di Mekah dan yang pertama-tama turun di Madinah; surahsurah ini disebut secara berurutan. Jika bagian awal suatu surah turun di Mekah, ia ditetapkan turun di Mekah, kemudian Allah menambahkan ke surah itu apa yang dikehendaki-Nya. Adapun bagian dari Alquran yang pertama-tama diturunkan adalah (secara berurutan) iqra’ bismi rabbikal-lazì khalaq (Al‘alaq), nun wal-qalam … A‘uzu bi-rabbil-falaq, A‘uzu bi-rabbin-nas…”

Diriwayatkan al-Baihaqiy dari Ikrimah dan al-Hasan al-Basriy dalam Dala’il an-Nubuwwah

Ikrimah dan al-Hasan bin Abì al-Hasan berkata, “Allah menurunkan (surah-surah) Alquran di Mekah: iqra’ bismi rabbikal-lazì khalaq, nun wa al-qalam … al-Falaq, qul ‘a‘uzu bi rabbin-nas …”

Diriwayatkan ad-Daniy dari Jabir bin Zaid dalam al-Bayan fi ‘Add Ay al-Qur’an

Jabir bin Zaid berkata, “Surah-surah yang pertama-tama diturunkan kepada Nabi di Mekah adalah iqra’ bismi rabbikal-lazì khalaq, kemudian nun wa al-qalamqul ‘a‘uzu bi rabbil-falaq, qul ‘a‘uzu bi rabbin-nas.”

Diriwayatkan dari az-Zuhriy dalam an-Nasikh wa al-Mansukh

Az-Zuhriy berkata, “Ini adalah kitab Tanzil Alquran; tentang surah-surah yang Allah kehendaki untuk mengajarkan kepada manusia apa yang diturunkan di Mekah dan yang diturunkan di Madinah.” . Beliau menyebutkan di antara surah-surah makkiyah adalah surah Alfalaq dan Annas.

Baca Juga: Makkiy dan Madaniy dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zaid

Dalil Madaniyah

Diriwayatkan Muslim dari ‘Uqbah bin Amir dalam Hadis Sahih Muslim

Uqbah bin ‘Amir bercerita bahwa Rasul Saw berkata, “Tidakkah engkau mengetahui sejumlah ayat yang diturunkan pada malam ini dan belum pernah diketahui sebelumnya? qul ‘a‘uzu bi rabbil-falaq, dan qul ‘a‘uzu bi rabbin-nas

Diriwayatkan Ahmad dari Zaid bin Arqam dalam al-Musnad dan al-Musannaf

Zaid bin Arqam bercerita, “Nabi Saw telah disihir oleh seorang lelaki Yahudi hingga beliau sakit. Jibril lalu turun kepadanya dengan membawa al-Mu’awwizatain seraya berkata, ‘Seorang Yahudi telah menyihirmu dan sihirnya ditanam di sumur Fulan.’” Zaid berkata, “Kemudian Nabi mengutus ‘Ali untuk mengambilnya dan menitahkan kepadanya untuk melepaskan ikatan-ikatan sihir itu dan membacakan ayat. ‘Ali pun membaca sambil melepaskan ikatan sihir tersebut satu persatu sehingga Nabi bangkit seakan baru terlepas dari ikatan tali.” Zaid berkata lagi, “Rasulullah tidak sama sekali berkata apa-apa kepada si Yahudi terkait apa yang telah ia perbuat dan tidak pula memperlihatkan wajahnya.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam  an-Nasikh wa al-Mansukh

Ada dua riwayat dari beliau yaitu:

Diriwayatkan dari ‘Abbàs bahwa surah Alqadar dan Lam Yakun adalah madaniyah. Adapun surah iza zulzilat hingga qul ya ayyuhal-kafirun adalah makkiyah dan iza ja’a nashrullah sampai akhir qul ‘a‘uzu bi rabbin-nas adalah madaniyah.

Kuraib berkata, “Kami mendapati dalam kitab Ibnu ‘Abbàs bahwa dari surah Alqadar hingga akhir Alquran seluruhnya makkiyah, kecuali iza zulzilat, iza ja’a nashrullah, qul huwallahu Ahad, qul ‘a‘uzu bi rabbil-falaq, dan qul ‘a‘uzu bi rabbin-nas. Surah-surah ini madaniyah.”

Kesimpulan

Bila diteliti dari beberapa pendapat di atas, baik dalil makkiyah maupun madaniyah pada dasarnya sama-sama kuat. Ulama yang menyatakan surah ini makkiyah menilai pandangan mereka dilandasi dalil yang kuat. Sebaliknya,ulama yang menyatakan madaniyah pun meyakini dalil yang mereka gunakan juga kuat. Tidak ada satupun di antara dalil di atas yang lebih kuat dari dalil lain yang disebutkan. Yang artinya dalil-dalil di atas semuanya sama-sama kuat. maka dari itu,terjadilah perbedaan Makki-Madani pada kedua surah ini.

Dengan demikian, setiap perbedaan yang mempunyai dalil dan data yang kuat berhak diterima walaupun itu tidak diikuti. Berbeda halnya jika perbedaan itu tidak mempunyai data dan dalil yang relevan, maka perbedaan itu pantas dan patut ditolak.

Wallahu a’lam.

Hari Sabtu sebagai Hari Libur, Dulu dan Sekarang

0
Hari Sabtu sebagai Hari Libur, Dulu dan Sekarang
Sumber: unsplash.com

Weekend, sebutan lain dari akhir pekan, identik dengan mengistirahatkan badan dari penatnya kesibukan hari-hari sebelumnya. Weekend umumnya diisi dengan hal-hal yang membahagiakan diri melalui me-time maupun bersama teman-teman. Dapat dikatakan juga weekend sebagai hari bebas dari pekerjaan atau dunia persekolahan.

Sebagai lawan dari weekday, weekend menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu kebanyakan orang. Bersantai, menikmati hari, serta melupakan sejenak segala rutinitas kesibukan yang ada. Sesuai dengan maknanya, yakni akhir pekan, weekend pada umumnya terjadi pada hari Jumat, Sabtu, atau Minggu. Namun, menurut Cambridge Dictionary, weekend terjadi pada hari Sabtu dan Minggu saja.

Oleh beberapa negara di belahan dunia, hari Sabtu ditempatkan sebagai hari bebas dari pekerjaan atau sekolah. Meski beberapa negara lain menempatkan hari Minggu sebagai hari libur nasional. Amerika Serikat misalnya, menjadikan hari Sabtu sebagai weekend mereka untuk mengistirahatkan diri dari penatnya pekerjaan mereka dengan bersantai, berolahraga, atau menghabiskan waktu sendiri maupun bersama teman-teman atau keluarga. Sedangkan di Indonesia, weekend ditetapkan pada hari Sabtu dan Minggu.

Asal-Usul dan Makna Sabtu

Dalam bahasa Arab, as-sabt memiliki arti beberapa saat dari masa. Kata as-sabt juga dapat diartikan sebagai istirahat. Diucapkan sabata-yasbutu-sabtan, artinya beristirahat; tenang. Pada masa jahiliah, hari Sabtu disebut sebagai hari Syubar (ada yang menyebutkan Syiyar atau Syayar). Adapun dalam bahasa Romawi, kata ‘Sabtu’ berasal dari dies saturni, yang dalam bahasa Inggris kuno bermakna day of Saturn, yakni Planet Saturnus. Menurut mitologi bangsa Romawi kuno, Saturnus adalah Dewa Tanaman (Muhammad, 2011: 633).

Menurut penanggalan Yahudi, Sabat atau Sabtu merupakan hari ketujuh yang dipergunakan untuk istirahat dari pekerjaan (Heuken, 169). Disebut pula dengan hari perayaan dan salah satu hari yang dikhususkan untuk beribadah. Orang-orang Yahudi pada hari itu menyajikan makanan sebanyak tiga kali pada akhir pekan, atau setelah kebaktian di sinagoge selesai, tepatnya pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Pada hari-hari itu, sebagai bentuk penghormatan, mereka tidak melakukan pekejaan apapun selama sehari semalam.

Kata ‘Sabtu’ atau as-Sabt dalam Berbagai Penafsiran

Kata ‘Sabtu’ atau ‘as-sabt’ pada Q.S. an-Nabā’ [78]: 9 dimaknai oleh para mufassir dengan mengistirahatkan diri.

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًاۙ

Dan Kami menjadikan tidurmu untuk istirahat.

Diterangkan dalam Tafsir at-abarī (juz 24, h. 9), kata as-sabt dan as-subāt memiliki makna istirahat, ketenangan, dan kedamaian. Oleh karenanya, hari Sabtu menjadi hari istirahat dan hari tenang. Begitu pula pada kitab Fat ar-Ramān fī Tafsīr al-Qur’ān (juz 7, h. 259). Ayat di atas ditafsirkan dengan mengistirahatkan badan sebagai bentuk memberi jeda dari pekerjaan-pekerjaan yang menjadi rutinitas. Sebab pada dasarnya, kata as-sabt mengandung makna al-qa’u, yakni berhenti atau memberi jeda.

Baca juga: “Travelling” dan Orientasi Idealnya

Ibnu Abi Zamanin dalam kitabnya, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz li Ibn Abī Zamanin (juz 5, h. 82) juga menyebutkan, bahwa makna as-sabt adalah memberhentikan sejenak dari segala aktivitas (al-arakah). Lebih spesifik lagi, Ibrahim al-Ibyari dalam kitab al-Mausū’ah al-Qur’āniyah (juz 11, h. 420) memaknai kata subāt sebagai mengistirahatkan diri dari jerih payah pekerjaan (‘ināi al-‘amali).

Disebutkan dalam Tafsīr as-Sam’āni (juz 6, h. 136), bahwa makna subāt adalah at-tamaddud (meregangkan badan dengan berbaring) dan as-sukūn (mengistirahatkan diri). Itulah mengapa, hari Sabtu identik dengan hari istirahat atau weekend. Sebab makna yang terkandung dari kata sabt adalah tentang mengistirahatkan diri.

Selain pada Q.S. an-Nabā’ [78]: 9, kata ‘Sabtu’ juga tertera dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 65 berikut.

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِى السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خٰسِـِٕيْنَ

Sungguh, kamu benar-benar telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”

Baca juga: Syakban, Bulannya Pembaca Alquran

Ayat ini menjelaskan tentang sikap ingkar Bani Israil terhadap hari Sabat, yang seharusnya mereka memberi ruang khusus untuk beribadah bagi orang Yahudi, justru dilanggar. Pelanggaran yang diperbuat adalah tetap mencari ikan pada hari itu, yang rupanya pada hari itulah ikan-ikan muncul di permukaaan air. Kemudian Allah mendatangkan kehinaan pada mereka yang melanggar, dengan tersingkirkan atau terkucilkan. Dan setelah tiga hari, mereka mengalami kebinasaan. Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Tafsir Jalalain (h. 14).

Secara historis, Q.S. al-Baqarah [2]: 65 ini menggambarkan hari Sabtu sebagai hari beribadahnya kaum Yahudi. Tidak diperkenankan bagi mereka untuk melakukan hal-hal selain ibadah. Disebutkan dalam kitab Fat ar-Ramān fī Tafsīr al-Qur’ān (juz 1, h. 120), bahwa makna as-sabt merupakan al-qa’u, yakni memotong, menjeda, berhenti. Sebagaimana pada hari Sabtu, Allah menjeda dalam menciptakan. Dikatakan juga, memberhentikan diri dari kesibukan, mengistimewakan hari itu dengan meninggalkan rutinitas, dan menunaikan ibadah.

Pentingnya Mengistirahatkan Diri pada Weekend

Dari penafsiran yang telah dipaparkan di atas, jika dikoneksikan dengan kesehatan jiwa dan raga, memanfaatkan waktu akhir pekan atau weekend, adalah hal yang penting dilakukan. Mengapa? Karena hari itu menjadi kesempatan mengistirahatkan badan dan pikiran. Tujuh hari dalam satu minggu harus dijalani secara seimbang. Weekdays digunakan untuk memaksimalkan rutinitas bekerja hingga segala pekerjaan yang harus diselesaikan memang sudah beres. Begitu tiba weekend hari Sabtu dan Minggu, renggangkan pikiran dan badan. Karena keseimbangan antara bekerja dan relaksasi itu penting.

Baca juga: Benarkah Surah At-Taubah Ayat 37 Melarang Pengunduran Hari Libur 1 Muharram?

Di sisi lain, weekend juga memungkinkan bagi segenap anggota keluarga untuk dapat meluangkan waktu bersama. Sebab, bagi sebagian orang, weekend adalah hari keluarga. Akhir pekan menjadi momen yang tepat menyisihkan kesibukan untuk merenggangkan otak dari kepenatan pekerjaan, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Itulah makna Sabtu sebagai waktu beristirahat dari segala kepenatan dalam seminggu, atau disebut dengan weekend.

Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.

0
Aksi Diplomasi Nabi Muhammad di Tengah Gencatan Senjata
Surat Nabi Muhamad yang ditujukan kepada Raja Romawi, Heraklius.

Diplomasi merupakan bagian dari kegiatan politik yang tujuan utamanya adalah memungkinkan negara mengamankan tujuan kebijakan luar negeri mereka tanpa kekerasan, propaganda, atau hukum. Untuk mencapai hal tersebut, tentu diperlukan komunikasi yang baik antara utusan diplomat dengan pejabat lain yang dirancang untuk mengamankan perjanjian (G.R. Berridge, Diplomasi; Teori dan Praktik)

Praktik diplomasi sudah disinggung dalam Alquran yang dicontohkan langsung oleh Nabi Sulaiman a.s., ketika mengirimkan surat kepada ratu Balqis dalam rangka mensyiarkan ajaran Tauhid, sebagaimana dalam surah Annaml [27]: 29-31.

Baca juga: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Kisah tersebut masuk dalam catatan sejarah Islam, yang menandakan bahwa ekspansi Islam tidak melulu dengan pertumpahan darah, melainkan lebih mengutamakan jalan damai (Q.S. Alanfal [8]: 61). Di samping itu, hubungan diplomasi boleh dilakukan dengn negara manapun, selama mereka tidak memerangi dalam urusan agama (Q.S. Almumtahanah [60]: 8).

Ekspansi ajaran Tauhid dengan jalan damai melalui diplomasi tersebut terus berjalan hingga era Nabi Muhammad saw. Bahkan menurut sebagian pakar, bahwa sejarah diplomasi kembali bangkit pada masa Nabi saw., tepatnya ketika beliau berhijrah dan mendirikan negara Madinah (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 88). Nabi saw. kerap kali melakukan hubungan diplomatik untuk mengenalkan Islam pada negara-negara lain, dengan cara mengirimkan utusan kepada raja atau kepala pemerintahan yang berkuasa pada waktu itu.

Diplomasi Ala Nabi Muhammad saw.

Diplomasi versi Islam dari segi model dan kontennya sedari awal memanglah sempurna. Hal ini bisa dibuktikan dengan praktik diplomasi yang dilakukan oleh Nabi saw. dari beberapa segi:

Stempel khusus

Dalam urusan diplomatik, Nabi saw. sering menggunakan media surat yang ditujukan untuk raja atau kepala pemerintahan. Pada setiap surat yang dikirim oleh Nabi saw., selalu dibubuhi dengan cap stempel khusus. Stempel itu berasal dari cincin Nabi saw. yang terbuat dari perak dan bertuliskan tiga baris kata; kata “Allah” pada baris pertama, kemudian di baris kedua “Rasul”, dan yang terakhir “Muhammad”. Ketiga baris tersebut dibaca dari bawah ke atas, sehingga berbunyi “Muhammad Rasulullah”. Tulisan tersebut memang sengaja dibalik agar ketika distempelkan pada surat, akan tertera bacaan yang benar.

Baca juga: Maqashid dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Tujuan diberikannya stempel khusus ini guna menandakan bahwa isi surat yang ditujukan kepada raja atau kepala pemerintahan tersebut bersifat penting dan resmi, serta tidak boleh diketahui oleh sembarang orang. Selain itu, juga bertujuan untuk menghindari dari pemalsuan, karena surat tidak mungkin bisa dipalsukan jika masih tersegel dengan stempel tersebut (Syauqi Abu Khalil, Atlas Jejak Agung Muhammad saw., 130).

Menurut penuturan Ibnu Sa’ad dalam Attabaqat al-Kubra, bahwa ada seorang sahabat yang menginformasikan jika raja-raja yang berkuasa saat itu tidak mau membaca surat dari seorang utusan, kecuali surat itu dibubuhi stempel. Maka dari itu, Nabi saw. membuatkan stempel dari bahan perak (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89)

Mengutus diplomat yang cerdas

Dalam urusan diplomatik, Nabi saw. selalu mengutus seorang diplomat yang cerdas dan menguasai bahasa penduduk atau negara yang dituju. Salah seorang di antaranya adalah Khatib bin Abi Balta’ah yang diutus oleh Nabi saw. kepada raja Mukaukes yakni penguasa Mesir. Saat itu, terjadi perdebatan antara Khatib dengan raja. Setelah perdebatan selesai, raja mengatakan ahsanta anta hakimun min ‘indi hakimin (Anda adalah orang yang cerdas lagi bijaksana yang diutus oleh orang yang bijaksana pula (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89).

Menampilkan wajah Islam yang ramah dan santun

Kepada setiap utusan diplomatnya, Nabi saw. selalu memberi pesan bahwa ketika menghadap kepala pemerintahan yang dituju, mereka harus senantiasa membangun komunikasi yang baik, memberikan kemudahan bukan kesulitan, mengajak musyawarah dan saling menasehati, berdasarkan perintah Allah Swt. dalam surah Annahl [16]: 125;

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Saat menerima delegasi diplomat dari negara lain pun, Nabi saw. senantiasa menunjukkan sikap ramah dan menghormati. Sebagaimana yang dituturkan oleh al-Makrizi dalam karyanya, al-Imta’. Setiap kali Nabi saw. menerima tamu delegasi, beliau selalu menggunakan pakaian yang menarik yang menunjukkan kebesaran dan kemuliaan hatinya. Bahkan Nabi saw. juga memerintahkan kepada pada sahabat agar berlaku demikian pula (Lukman Arake, Fiqh Diplomatik; Konsep dan Realita, 89-90).

Kesimpulan

Diplomasi selain sebagai bagian dari perilaku politik, juga berperan sebagai cara untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai. Diplomasi ala Nabi Muhammad adalah contoh sempurnanya. Nabi Muhammad saw. kerap menggunakan cara ini untuk mensyiarkan Islam kepada raja-raja yang berkuasa pada waktu itu. Dengan menampilkan wajah Islam yang ramah, santun, dan saling menghormati terbukti membawa Islam menuju kejayaan.

Tafsir Surah Alqari’ah: Visualisasi Kiamat Perspektif Ibnu Asyur

0
Tafsir Surah Alqari’ah: Visualisasi Kiamat Perspektif Ibnu Asyur
Tafsir Surah Alqari’ah: Visualisasi Kiamat Perspektif Ibnu Asyur

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang fokus pembahasannya pada Ibnu Asyur dan Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. Tulisan ini membahas tafsir surah Alqari’ah dari kitab tafsir yang dinilai mengandung maqashid di dalamnya.

Ayat Alquran

اَلْقَارِعَةُۙ مَا الْقَارِعَةُ ۚ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْقَارِعَةُ ۗ يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوْثِۙ وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهٗۙ فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ ۗ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا هِيَهْۗ نَارٌ حَامِيَةٌ ࣖ

Al-Qāri‘ah (hari Kiamat yang menggetarkan). Apakah al-Qāri‘ah itu?. Tahukah kamu apakah al-Qāri‘ah itu?. Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan. Dan gunung-gunung seperti bulu yang berhamburan. Siapa yang berat timbangan (kebaikan)-nya. Dia berada dalam kehidupan yang menyenangkan. Adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya. Tempat kembalinya adalah (neraka) Hawiyah. Tahukah kamu apakah (neraka Hawiyah) itu?. (Ia adalah) api yang sangat panas.

Ibnu Asyur  memulai analisisnya dengan menampilkan kategorisasi Makkiyah dan Madaniyah. Karena setiap tafsir yang masuk dalam bentuk tahlily akan menampilkan banyak aspek yang terkandung dalam Alquran, termasuk juga pengenalan surah secara umum. Menurutnya, surah Alqari’ah merupakan surah Makkiyah. Selanjutnya, baru ia menganalisis satu persatu ayat dari surah tersebut. Dalam hal ini, penulis membagi pada dua bagian:

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Visualisasi Kiamat

Visualisasi kiamat dalam surah Alqari’ah ada pada ayat 1-5, karena ayat selanjutnya berbicara tentang eskatologi manusia setelah mengalami berbagai proses menuju pengadilan terakhir. Agar lebih sistematis, tulisan ini dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, tafsir ayat 1-3. Permulaan penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Asyur  memberikan analisis dari sisi kebahasaan dengan menampilkan makna dari permulaan kata yang diawali dengan lafal al-Qari’ah. Ia menjelaskan bahwa alasan paling sentral dalam susunan ayat tersebut karena lafal tersebut mengandung makna tahwil (gertakan). Lafal  tersebut di rafa’kan karena menjadi permulaan kata, sehingga lafal ma al-qari’ah menempati posisi rafa’, karena menjadi khabar dari lafal al-Qari’ah (Ibnu Asyur , al-Tahrir wa al-Tanwir, 30:509).

Sedangkan makna al-Qari’ah yang pertama mempunyai makna gertakan dan bentuk majas dari suara yang timbul karena pukulan yang keras. Makna al-Qari’ah yang kedua ialah tambahan gertakan yang dilakukan Allah Swt kepada hamba-Nya. Artinya, dengan adanya pengulangan kata yang sama, maka sesuatu tersebut semakin benar-benar akan terjadi. Penamaan al-Qari’ah sendiri ialah nama lain dari yaum al-hasr (Hari kebangkitan), seperti kiamat.

Kedua, tafsir ayat 4 dan 5. Kelanjutan ayat di atas, Ibnu Asyur  menjelaskan bahwa jumlah (kalimat) yauma yakunu al-nas… menjadi masdar dari dua ayat sebelumnya. Oleh karena itu, maksud dari waktu yang tertulis dalam ayat tersebut adalah bentuk gertakan Allah Swt kepada hamba-Nya. Waktu yang tertulis dalam ayat tersebut juga merupakan waktu yang tidak diketahui kapan akan terjadi.

Sehingga, ayat tersebut mempunyai makna gertakan yang serius dengan beberapa alasan, yaitu; 1) karena dimulai dari penyebutan al-Qari’ah 2) Penggunaan istifham dalam kalimat tahwil 3) Menampakkan dhamir di tempat dhamir yang disimpan, dan 4) Adanya khitab pada sesuatu yang tidak tertentu waktunya (Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 30:512).

Baca Juga: Tiga Kondisi Kaget Manusia pada Hari Kiamat

Makna kata al-farash adalah perumpamaan seperti keluarnya belalang dari telur dalam keadaan tumpang tindih. Sedangkan makna kata al-mabtsuts ialah bertebaran di bumi. Makna al-‘ihn ialah bulu yang mempunyai banyak warna. Karena gunung mempunyai banyak batu dan tumbuhan yang bermacam-macam warnanya. Makna al-manfush sendiri ialah terpisahnya bagian satu dengan bagian yang lainnya.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat yauma yakunu al-nas… ialah hari manusia dibangkitkan dari kubur dan berjalan tanpa tahu arah. Perumpamaan tersebut sama seperti serangga yang terbang dan bertebaran. Perumpamaan terhadap lafal al-farash karena banyaknya manusia, bertebarannya, lemah, hina dan datang kepada penyeru dari berbagai arah, seperti hewan-hewan yang terbang ke arah cahaya. Dua ayat tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu sama-sama memberikan peringatan kepada manusia (Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, 30:377).

Eskatologi After Life

Dalam kepercayaan umat Islam, adanya kehidupan setelah kematian merupakan satu kewajiban yang wajib diyakini adanya, meskipun belum pernah dialami. Akan tetapi mempercayai hal sedemikian menjadi sebuah konstruksi yang tetap harus ada dalam keyakinan manusia. Dalam ayat ini juga menyinggung bagaimana perjalanan manusia setelah mengalami kematian. Proses ini dijelaskan dari ayat 6-11 dengan masing-masing ending yang berbeda.

Ayat 6-11 merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang masih mempunyai hubungan pembahasan. Dalam ayat ini menjadi penjelas lebih detail hal yang akan terjadi setelah adanya kiamat. Ketika Ibnu Asyur  menafsirkan ayat tersebut, ia menyebutkan maksud dari lafal al-nas di ayat sebelumnya, karena mencakup semua manusia yang akan masuk dalam surga dan neraka. Perincian ini terbagi menjadi dua bagian, keadaan baik dan keadaan mengerikan.

Beratnya timbangan amal manusia yang dilakukan selama di dunia yang tertulis dalam surah tersebut merupakan kinayah dari rida dan ketidakridaan Allah Swt kepada hamba-Nya. Karena setiap timbangan yang berat pasti akan memuat sesuatu yang disenangi Allah Swt. Begitu pun sebaliknya, timbangan yang cenderung ringan menandakan bahwa amal perbuatan baik manusia sedikit (Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, 30:513).

Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Alasan menggunakan lafal ummuhu karena pada masa itu, orang Arab memberikan kinayah pada seseorang dengan keadaan ibunya, baik dalam keadaan baik dan jelek. Ibu yang mempunya cinta yang luar biasa kepada anaknya menjadi alasan dibalik penggunaan lafal ummuhu. Karena ketika seorang anak bahagia, maka sang ibu juga pasti akan bahagia. Begitu pula sebaliknya. Sedangkan makna wama adrakama hiyah ialah bentuk gertakan Tuhan kepada hamba-Nya sama seperti ayat pertama.

Kesimpulan

Analisis tafsir yang ditampilkan oleh Ibnu Asyur berangkat dari sisi kebahasaan yang menganalisis bentuk kata dan kalimat dari gramatikal bahasa. Dari analisis kebahasaan tersebut esensi dari surah al-Qari’ah ialah tahwil atau gertakan.

Allahu A’lam.