Beranda blog Halaman 53

Mengenal Tafsir at-Tahrīr wa at-Tanwīr Karya Ṭahir Ibn Āshūr

0
tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir
tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir

Dalam tulisan ‘Izz al-Din Kashnit yang tertulis dalam karyanya yang berjudul Ummahat Maqasid al-Qur’an menyebutkan salah satu tokoh yang mempunyai kiprah dalam dunia maqashid ialah Ibnu Ashur (Kashnit, Ummahat Maqasid al-Qur’an, 363). Pernyataan Kashnit memang tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Ibn Āshūr merupakan tokoh dalam tafsir maqashidi, akan tetapi penyebutan Kashnit tersebut secara tidak langsung memasukkan Ibnu Ashur dalam ruang lingkup tokoh tafsir maqashidi.

Karya tafsir Ibnu Ashur yang terkenal dan banyak dikaji serta mempunyai banyak sumbangsih dalam dunia keilmuan tafsir ialah tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan mengulas terkait Ibn Āshūr dan seputar tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir.

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Biografi Ibn Āshūr

Ibnu Ashur mempunyai nama lengkap Muhammad al-Thahir bin Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad al-Syadzili bin ‘Abd Qadir bin Muhammad bin Ashur. Ia dilahirkan tahun 1296 H/1879 M di sebuah desa yang bernama Marsi, yang berada di Tunisia bagian Utara. Beliau juga terkenal dari keluarga yang religius dan cendekiawan. Rata-rata keluarganya mempunyai kiprah agama yang baik.

Oleh sebab itu, Ibn Āshūr juga tumbuh sebagai tokoh yang mempunyai banyak sumbangsih dalam dunia keilmuan. Sejak kecil, dia memang tumbuh dan berkembang dari keluarga yang cinta akan ilmu pengetahuan. Sehingga dari didikan yang diterapkan oleh keluarganya mendapatkan pengaruh yang besar dan membentuk pola pikirnya (Al-Khaijah, Syaikh al-Islam al-Imam al-Akbar, jilid 1, hal. 154)

Sejak umur 6 tahun, Ibn Āshūr sudah dikenalkan dengan ilmu seputar al-Qur’an dan juga beberapa kitab turats lainnya. Umur 14 tahun beliau sudah menginjakkan karir intelektualnya di Universitas al-Zaitunah. Beliau mempelajari beberapa disiplin ilmu, mulai dari fikih, usul fikih, Bahasa Arab, hadis, tarikh dan beberapa bidang keilmuan lainnya  (Al-Khaijah, Syaikh al-Islam al-Imam al-Akbar, jilid 1, hal. 154).

Pengembaraan keilmuan yang dilalui oleh Ibn Āshūr berhasil membuahkan hasil yang berupa karya-karya yang mengisi peradaban keilmuan. Ibn Āshūr menorehkan beberapa karyanya yaitu tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Kashf al-Mughtha min al-Ma’ani wa al-Fadz al-Waqi’ah fi al-Muwaththa’, al-waqfu wa Atsruhu dan beberapa karya di bidang keilmuan lainnya.

Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Seputar Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir

Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir diawali dengan pengantar dan juga motivasi Ibn Āshūr dalam menulis tafsir tersebut. Pernyataan latar belakang penulisan tafsir tersebut dapat diketahui melalui muqaddimah  tersebut. Dia menyatakan bahwa dorongan tersebut karena cita-cita ia yang memang sedari awal ingin menuangkan pengetahuannya dalam bentuk tafsir.

Dalam catatan al-Hamid, tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir menorehkan catatan waktu yang cukup lama, bahkan hampir memasuki separuh abad, karena tafsir tersebut ditulis dalam kurun waktu 39 tahun dalam hitungan Hijriyah dan 38 dalam hitungan Masehi. Mulai ditulis pada tahun 1341 H/1922 M dan selesai pada tahun 1380 H/1960 M (Al-Hamid, al-Taqrib li Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, jilid 1, hal. 35).

Ibn Āshūr menjadikan tafsirnya sebagai bentuk refleksi untuk mencurahkan hasil pemikirannya yang belum tersentuh dalam diskursus keilmuan sebelumnya. Akan tetapi, beliau juga secara jelas menyatakan bahwa tafsirnya tersebut merupakan hasil analisis dari tafsir-tafsir sebelumnya. Sang pengarang menjadikan tafsir-tafsir tersebut sebagai rujukan dan tidak melakukan kritik terhadap penukilan yang dilakukan (Ibn Āshūr, at-Tahrir wa at-Tanwir, jilid 1, hal. 7).

Dari pernyataan Ibn Āshūr dapat dipahami bahwa motivasi penulisan tafsir karena adanya rasa cinta, baik kepada Islam atau umat Islam itu sendiri. Dorongan dan motivasi tersebut tentunya tidak terlepas dari lingkungan yang sudah membentuk pola pemikirannya untuk mencintai dunia keilmuan. Sehingga dari itu, beliau berniat untuk terus melanjutkan peradaban keilmuan dengan karya-karya yang beliau tulis.

Baca Juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

Metode dan Sumber Penafsiran

Untuk mempermudah kategorisasi ini, perlu adanya pemetaan metode dan sumber yang digunakan untuk memberikan analisis pada satu tafsir. Oleh karena itu, sesuai dengan pemetaan Nashruddin Baidan, corak yang ada dalam tafsir  at-Tahrir wa at-Tanwir masuk dalam kategori corak kebahasaan, karena penjelasan dominan yang ada dalam tafsir tersebut lebih banyak menggunakan analisis kebahasaan. Hal tersebut dapat dilihat ketika Ibn Āshūr menafsirkan surah al-Fatihah.

Ketika Ibn Āshūr menafsirkan surah al-Fatihah, beliau banyak menggunakan analisis kebahasaan nahwu dengan menampilkan struktur kalimat. Berikut potongan penafsiran yang dilakukan Ibnu Ashur:

وَيَصِحُّ عِنْدِي أَنْ تَكُونَ إِضَافَةُ السُّورَةِ إِلَى فَاتِحَةِ الْكِتَابِ مِنْ إِضَافَةِ الْمَوْصُوفِ إِلَى الصِّفَةِ

Menurut saya boleh menyandarkan surah ke pembuka surah seperti menyandarkan mausuf kepada sifat. (Ibnu Ashur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jilid 1, hal. 132).

Meskipun corak kebahasaan yang menjadi dominasi dalam tafsir ini, pernyataan ‘Izz al-Din Kashnit tentang ketokohan maqaashid juga terdapat dalam analisis surah ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan pernyataannya:

أَنَّهَا تَشْتَمِلُ مُحْتَوَيَاتُهَا عَلَى أَنْوَاعِ مَقَاصِدِ الْقُرْآنِ…

Sesungguhnya surah al-Fatihah kandungannya memuat beberapa macam maqashid al-qur’an… (Ibnu Ashur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jilid 1, hal. 133).

Sedangkan sumber yang digunakan oleh Ibn Āshūr, juga bisa dilihat ketika ia menafsirkan surah al-Fatihah, yaitu ia menggunakan Alquran dan hadis sebagai bahan analisis dan tambahan. Contoh penafsiran dengan hadis ketika Ibn Āshūr menjelaskan penamaan al-Fatihah dengan sebutan umm al-qur’an atau umm al-kitab. Wallah a’lam

Legalitas Konsep ‘Hilah’ dalam Alquran

0
legalitas konsep hilah dalam Alquran
legalitas konsep hilah dalam Alquran

Dalam diskursus keilmuan Fikih-Ushul Fikih, term hilah atau tahayyul muncul ketika ada upaya untuk mengindar dari pembebanan hukum. Hilah dilakukan misalnya supaya seseorang terhindar dari kewajiban atau agar tindakan yang dia lakukan tidak dicap sebagai perbuatan yang melanggar larangan syariat.

Tindakan seperti ini menuai tanggapan yang cukup beragam dari para ulama. Ada yang melegalkan praktik tersebut secara mutlak, ada pula yang melegalkan dengan beberapa catatan dan batasan operasional. Ada juga ulama yang menolak praktek hilah ini dan menyebutnya sebagai al-fiqh al-dhar (fikih yang berbahaya). Salah satu yang dikenal menolak dengan praktek ini secara total adalah Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in. Bahkan, penolakannya terhadap hilah serta sanggahan-sanggahannya terhadap ulama yang melegalkannya tersaji dalam porsi yang lumayan banyak dalam kitabnya tersebut.

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Definisi hilah

Dalam kitab at-Ta’rifat, al-Jurjani mendefinisikan hilah sebagai segala hal yang dapat mengalihkan seseorang dari perkara yang tidak dia senangi menuju sesuatu yang disenangi. Sedangkan dalam terminologi fikih-ushul fikih, hilah adalah melakukan perbuatan yang dilarang syariat dengan cara atau format yang dilegalkan dalam syariat. atau, melakukan perbuatan batil dengan bentuk atau format yang tidak melanggar ketentuan syariat dengan tujuan agar terbebas dari tanggungan dan dosa. (Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 121). Istilah lain yang lebih sederhana yaitu ‘menyiasati hukum’.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hilah atau tahayyul merupakan suatu siasat agar bisa terlepas dari beban kewajiban atau terbebas dari vonis melakukan dosa. Contoh konkretnya seperti orang yang memiliki harta yang sudah sampai satu nisab (batas minimal harta dikenai kewajiban zakat), misalnya memiliki emas 92 gram. Sebelum kepemilikan terhadap emas 92 gram tersebut genap satu tahun, 10 gram –misalnya- dari emas tersebut dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain sehingga dia tidak lagi dibebani untuk mengeluarkan zakat emas tersebut karena belum memenuhi syarat, yakni kepemilikan harta satu nisab selama satu tahun.

Dalam kajian ilmu fikih, tindakan tersebut tidak menjadi masalah jika dilakukan karena suatu alasan yang dibenarkan. Yang menjadi problem adalah ketika hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar terbebas dari kewajiban membayar zakat. Tidak sedikit ulama yang mengecam dan menvonis haram tindakan tersebut, di samping ada juga sebagian ulama yang tetap membolehkannya.

Baca Juga: Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

Legalitas praktek hilah dalam Alquran

Secara umum, mayoritas ulama mengakui eksistensi dan legalitas praktik hilah dalam hukum Islam. Landasan yang digunakan untuk menjustifikasi keabsahan praktek hilah secara umum di antaranya adalah surah Shad ayat 44.

وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ [ص: 44]

Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” Q.S. Shad [38]: 44

Secara umum, ayat di atas mengisahkan tentang perintah Allah kepada Nabi Ayyub as. untuk mengumpulkan seratus helai rumput kering dan kemudian diikat untuk memukul istrinya. Hal ini karena ketika dalam kondisi sakit, Nabi Ayyub as. pernah bersumpah akan memukul istrinya dengan seratus kali pukulan. Setelah Nabi Ayyub as. sembuh, beliau tidak sampai hati jika harus memukuli istri yang selama ini telah setia menemani dan merawatnya. Akhirnya, Allah Swt. memerintahkan Nabi Ayyub as. untuk tetap menjalankan sumpahnya untuk memukul istrinya dengan menggunakan serarus helai rumput kering.

Ayat di atas, menurut sebagian mufasir, merupakan dalil kebolehan melakukan praktik hilah. Dalam kitabnya, al-Jashshash menegaskan perihal tersebut. (Ahkam al-Quran lil al-Jashash, juz 5, hal. 260).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa seseorang sah dengan siasat apa pun mengupayakan sesuatu untuk memperolah haknya atau mencapai tujuannya, akan tetapi ini berlaku selama siasat yang digunakan tidak samapi melanggar aturan syariat. [Tafsir al-Munir, juz 13, hal. 32].

Dalam hal ini, Imam al-Alusi mengatakan,

وَعِنْدِي أَنّ كُلَّ حِيْلَةٍ أَوْجَبَتْ إِبْطَالَ حكمة شرعية لَا تَقْبَلُ كَحِيْلَةِ سُقُوطِ الزَّكَاةِ وحِيلةِ سُقُوطِ الْاِسْتِبْرَاء وهذا كالتَّوَسُّطِ فِي الْمَسْأَلة فإنَّ مِنَ الْعُلماء مَنْ يَجُوزُ الْحِيْلَةَ مُطْلَقًا ومِنْهُم مَنْ لا يجوزها مطلقا

Menurutku, setiap bentuk hilah yang berpotensi menganulir maqasid syariah tidak dapat diterima. contonya seperti hilah untuk menggugurkan kewajiban zakat, atau hilah agar terbebas dari kewajiban istibra’. Ini merupakan sikap moderat dalam masalah ini. Sebab, diantara para ulama ada yang membolehkan hilah secara mutlak ada pula yang tidak membolehkannya secara mutlak. (Ruh al-Maani, juz 12, hal. 200)

Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

Menurut Ibnu Asyur, hilah yang boleh adalah segala tindakan yang tidak bertentangan secara diametral dengan maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) dan atau memiliki sumber acuan maqasid lain, sehingga hilah yang berpotensi menghilangkan tujuan syariat dan tidak memiliki acuan maqashid (tujuan) syariah lain tidak diperbolehkan dalam hukum Islam.

Sebagai misal yaitu mendermakan sebagian kecil harta zakat di akhir tahun dengan tujuan agar terbebas dari kewajiban zakat. Hal ini tidak boleh dilakukan karena menghilangkan tujuan syariat berupa pemberdayaan masyarakat melalui zakat.

Selain itu, tindakan tersebut juga tidak beralih kepada tujuan syariat lain. Beda halnya jika harta tersebut digunakan untuk membayar cicilan ongkos haji misalnya. Menurut Ibnu Aysur, hal tersebut dibolehkan meskipun niat awalnya agar harta yang tersisa tidak dikenai kewajiban zakat. Alasannya karena sejatinya tindakan tersebut tidak dilakukan dengan motif menghindari kewajiban, melainkan beralih dari satu kewajiban ke kewajiban lain. [Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 123-124]

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa melakukan hilah atau siasat agar terhindar dari ketentuan hukum tertentu adalah dibolehkan selama ada alasan yang dibenarkan. Namun, tindakan ini berkutat hanya di ranah formalitas saja. Adapun dari aspek spiritual, sangat kurang etis kiranya jika seseorang ingin menghindar dari ketetapan dan hukum Allah, kecuali memang ada alasan yang kuat dan dibenarkan secara syara untuk melakukannya. Wallahu a’lam.

Melerai Konflik dalam Relasi Pasutri; Kontekstualisasi Kata Wadhribuhunna pada Q.S Annisa’ [4]: 34

0
Melerai Konflik dalam Relasi Pasutri Kontekstualisasi Kata Wadribuhunna
Melerai Konflik dalam Relasi Pasutri Kontekstualisasi Kata Wadribuhunna

Tidak ada pasangan yang menghendaki perseteruan. Namun, ibarat laju bahtera di laut pasti akan menghadapi ombak, angin, bahkan terjangan badai untuk dapat sampai ke tepi. Begitu pun rumah tangga, pasti akan diuji oleh keadaan tak mengenakkan, yang salah satunya adalah konflik dalam relasi pasutri. Jika itu terjadi, maka melerai adalah cara yang harus ditempuh agar jalinan pernikahan tetap terjaga. Yang jadi masalah di tengah masyarakat adalah menentukan cara untuk melerai konflik tersebut.

Konflik rumahtangga seringkali berujung pada tindak kekerasan terhadap perempuan. Alih-alih melerai dua pihak yang bersitegang, kekerasan justru memperparah keadaan dan mendiskriminasi hak asasi perempuan. Mirisnya masalah ini semakin parah, ditengarai dengan frekuensi KDRT yang terus meningkat. Menilik survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada 16/11, sepanjang tahun 2023 ini telah terjadi 23.833 kasus kekerasan, dan 21.026 korban dari keseluruhan kasus adalah perempuan. Sejumlah 14.541 kasus adalah KDRT dengan total korban mencapai 15.614 orang. Ini merupakan kategori tertinggi dibanding yang lain.

Interpretasi nas yang menjadi sumber hukum Islam turut andil sebagai faktor munculnya normalisasi tindakan KDRT. Nas tersebut antara lain adalah Q.S. Annisa [4]: 34 atau lebih tepatnya diksi wadribuhunna yang diinterpretasikan dengan ‘memukul istri’ sebagai salah satu cara melerai konflik pernikahan. Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi HAM dan prinsip kemanusiaan, upaya reinterpretasi diksi tersebut menjadi prioritas.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Apa Itu Nusyuz Suami? Berikut Penjelasannya

Konteks Ayat

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Dan (para istri) yang kalian khawatirkan akan berbuat nusyuz (pembangkangan), maka nasihatilah mereka, berpisahlah dari ranjang mereka, dan (lalu) pukullaj mereka. Jika mereka telah menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan (celah untuk menyalahkan) mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Agung dan Maha Besar.”

Konteks sababun nuzul Q.S. Annisa [4]: 34 berkaitan dengan konflik suami-istri dari kalangan Sahabat Ansar. Dalam suatu hadis riwayat Ibnu Mirdawiyyah dari Sahabat Ali ra., terdapat sepasang suami-istri dari kalangan Ansar menghadap Nabi saw.. Lalu, sang istri mengadu kepada Nabi bahwa dia telah dipukul suaminya sampai menyisakan bekas luka di wajah. Nabi kemudian menyalahkan perbuatan tersebut seraya berkata, “Tidak ada perbuatan seperti itu.” Lantas, turunlah ayat tersebut.

Dalam versi lain, yakni hadis riwayat Abu Hatim, Ibnu Juraij, dan al-Suda disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan aduan seorang perempuan kepada Nabi saw. Dia ditempeleng oleh suaminya. Nabi saw. pun menjawab, “Tindakan tersebut harus dibalas setara (qishash).” Lalu, Annisa ayat 34 turun untuk memberi tuntunan yang semestinya dalam melerai nusyuz. (Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, 68)

Pada intinya, dapat disimpulkan pemahaman ayat dalam konteks sabab nuzulnya adalah untuk meluruskan tuntunan melerai nusyuz, yang pada mulanya dibalas dengan kekerasan (membalas dengan pukulan yang setara), menuju cara-cara yang lebih halus. Meski demikian, memukul menurut mayoritas mufasir juga masih menjadi pilihan, jika melerai dengan nasihat dan pisah ranjang tidak membuahkan hasil.

Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Negosiasi ‘Urf

Kontekstualisasi makna dharaba bisa dengan 2 cara, yaitu negosiasi ‘Urf dan mengartikan wadhribuhunna pada makna selain memukul.

Pertama, negosiasi penerapan ayat dengan adat dan budaya setempat (‘urf). Salah satu mufasir yang menawarkan alternatif ini ialah Ibnu ‘Asyur. Menurutnya, ketentuan langkah melerai istri yang nusyuz tidak diberlakukan secara mutlak, dalam arti harus dikembalikan pada adat masyarakat setempat. Menurutnya, nas yang dipakai sebagai pijakan memukul istri harus dikembalikan pada adat yang berbeda-beda antar strata sosial masyarakat, atau suku satu dengan yang lainnya.

Sebagai contoh, masyarakat tradisional Arab tidak menganggap pemukulan terhadap perempuan sebagai kekerasan, bahkan perempuan suku tradisional Arab pun tidak menganggapnya sebagai kekerasan. Pada kondisi tersebut, memukul istri yang nusyuz boleh dilakukan. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 5, 41)

Sebaliknya, bila realitas masyarakat sudah berubah seperti sekarang ini, saat HAM sudah ditegakkan, maka memukul istri yang nusyuz tidak dibenarkan. Sebab, prinsip humanisme yang berlaku di masyarakat saat ini tidak memberlakukan hukuman fisik dalam pendidikan maupun kehidupan masyarakat pada umumnya.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Mengembangkan makna wadhribuhunna

Kedua, pengembangan makna wadhribuhunna. Dalam Alquran, dharaba yang merupakan asal kata dari wadhribuhunna memiliki banyak makna. Di antaranya ialah bermakna ‘membuat (perumpamaan)’ seperti Q.S. Ibrahim ayat 24; bermakna ‘pergi’ seperti Q.S. Annisa ayat 94; dan bermakna ‘mengadakan atau membuat’ seperti Q.S. Annahl ayat 74. Kendati demikian, kemunculan makna tersebut diringi oleh atribut lain seperti lafaz ‘matsal’ dan huruf jar ‘fi’.

Sementara dalam kamus al-Munawwir, dharaba dapat berarti berpaling, mengabaikan, dan tidak memperhatikan. (A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, 874).

Makna berpaling atau mengabaikkan ini didukung oleh suatu hadis sebagaimana yang dikutip oleh Zaitunah Subhan, yang berarti:

“Aku heran terhadap seorang yang memukul istrinya. Dialah yang semestinya lebih layak untuk dipukul. Jangan kalian memukul istri dengan kayu karena akibatnya kalian akan diqishash. Kalian dapat memutuskan untuk tidak memberikan istri kalian nafkah sehari-harinya. Perbuatan lebih bermanfaat bagi kalian di dunia dan akhirat.” (Zaitunah Subhan, Alquran & Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, 197)

Hadis ini menguatkan pemaknaan dharaba sebagai ‘mengabaikan atau mengacuhkan’ istri. Setelah dua langkah sebelumnya tidak membuahkan hasil, tindakan mengabaikan dapat dipilih dengan cara tidak berinteraksi dengan istri secara total, sehingga diharapkan istri akan sadar atas kesalahannya.

Secara substantif, langkah terakhir ini menggambarkan pilihan terberat yang dapat dilakukan untuk melerai konflik rumah tangga. Zaitunah Subhan mengarahkannya dengan memutus interaksi secara penuh sebagai instrumen yang memiliki konsekuensi berat, sebab interaksi adalah hal yang sangat sulit dihindari dalam relasi pasutri.

Baca Juga: Alquran Tidak Melegitimasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Wadhribuhunna juga dapat dipahami sebagai ‘tindak tegas’ sebagai pilihan terakhir dalam melerai nusyuz. Faqihuddin Abdul Kodir menyatakan demikian, tanpa menjadikan pemukulan sebagai salah satu wujud tindak tegas tersebut. Hal ini lantaran pemukulan tidak sejalan dengan prinsip rekonsiliatif pada kasus nusyuz. (Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubaadalah, 418)

Dua pemaknaan Q.S. Annisa’ ayat 34 tentang cara melerai konflik dalam relasi pasutri pada dasarnya mengacu pada tiga prinsip. Prinsip tersebut sebagaimana yang ditunjukkan dalam Q.S. Annisa’ ayat 128, meliputi prinsip rekonsiliatif (islah), menambah tindakan baik (ihsan), dan menjaga diri dari tindakan buruk (takwa). Sehingga, mengarahkan wadhribuhunna pada makna selain memukul adalah suatu keharusan.

Sebagai simpulan, opsi terakhir cara melerai nusyuz dalam relasi pasutri adalah dengan mengambil sikap tegas sebagai manifestasi pilihan terberat. Adapun wujud sikap tegas bisa berbeda antarrelasi satu pasangan dengan yang lain sepanjang tidak mengandung unsur kekerasan dan efektif untuk melerai pasangan yang nusyuz. Misalnya, dapat berupa mengacuhkan, membuat perjanjian pernikahan, melibatkan pihak lain yang tergolong orang dekat untuk turut membujuk pasangan yang nusyuz, dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam[]

Kritik Allah kepada Bani Israil yang Membunuh para Nabi Terdahulu

0
Kritik Allah kepada Bani Israil yang Membunuh para Nabi Terdahulu
Q.S. Al-Baqarah: 91

Bangsa Israil atau bani Israil merupakan sebuah kelompok etnis yang berasal dari keturunan Nabi Ibrahim a.s., khususnya melalui keturunan Nabi Ishaq a.s,, yakni anaknya yang bernama Ya’qub. Nabi Ya’qub adalah orang yang pertama kali dijuluki sebagai bani Israil karena ia memiliki kebiasaan melakukan perjalanan pada malam hari.

Pada mulanya, bani Israil dikenal sebagai bangsa pilihan. Namun, karena keingkaran dan kedurhakaan kepada Allah Swt. mereka kemudian dilengserkan dari posisi tersebut. Karena alasan itulah, di dalam Alquran cukup banyak kritikan terhadap sifat dan sikap bani Israil yang kerap durhaka. Hasilnya, mereka dikenal sebagai bangsa yang ingkar dan enggan bersyukur.

Kedurhakaan bani Israil tidak hanya terbatas pelanggaran sederhana, melainkan pelanggaran yang berujung pada dosa besar. Bahkan, bani Israil berani membunuh para nabi yang telah diutus kepada mereka. Ini tertuang dalam firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah ayat 91:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا نُؤْمِنُ بِمَآ اُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُوْنَ بِمَا وَرَاۤءَهٗ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَهُمْ ۗ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُوْنَ اَنْۢبِيَاۤءَ اللّٰهِ مِنْ قَبْلُ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kepada apa yang diturunkan Allah (Alquran),” mereka menjawab, “Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka ingkar kepada apa yang setelahnya, padahal (Alquran) itu adalah yang hak yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah (Muhammad), “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika kamu orang-orang beriman?”

Baca juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan

Secara umum, surah al-Baqarah ayat 91 berisi tentang kritik terhadap kepalsuan keimanan bani Israil. Mereka mengaku percaya kitab yang diturunkan oleh Allah, tetapi mereka ingkar terhadap Alquran yang dibawa Nabi Muhammad. Kepalsuan keimanan mereka juga dapat dilihat dari tindakan pembunuhan terhadap para nabi terdahulu.

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim, surah al-Baqarah ayat 91 merupakan kritik terhadap keimanan orang-orang dari bani Israil. Mana kala ditanya apakah mereka beriman kepada kitab yang diturunkan Allah Swt, mereka menjawab kami hanya beriman dengan Taurat serta Injil, dan kami tidak percaya pada selainnya, padahal mereka tahu bahwa Alquran adalah kitab yang benar-benar diturunkan oleh Allah Swt.

Karena pengakuan tersebut, yakni mengaku hanya beriman pada kitab terdahulu kecuali Alquran, Allah Swt. kemudian memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan, “Jika kalian benar-benar beriman dengan kitab Taurat dan Injil, lantas mengapa kalian membunuh para nabi terdahulu.” Ini merupakan kritik keras Alquran kepada kepalsuan keimanan bani Israil yang kerap membunuh para nabi terdahulu.

Baca juga: Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

Pandangan serupa disampaikan oleh Abu al-Fida’ dalam Tafsir Ruh al-Bayan. Menurutnya surah al-Baqarah ayat 91 berbicara mengenai kepalsuan keimanan bani Israil. Mereka mengaku beriman kepada kitab Taurat dan Injil yang diturunkan Allah Swt, namun ingkar kepada kitab Alquran yang menjadi pelengkap keduanya. Di samping itu, pengakuan iman tersebut juga palsu, karena mereka berani membunuh para nabi dan rasul.

Imam al-Baghawi menerangkan makna surah al-Baqarah ayat 91 adalah apabila ditanyakan kepada bani Israil apakah mereka beriman kepada Alquran, mereka menjawab, kami hanya beriman kepada Taurat. Lalu Allah memerintahkan Nabi Muhammad berkata, “Kalau benar demikian, lantas kenapa kalian membunuh para nabi jika kalian benar-benar beriman, padahal dalam Taurat kalian dilarang untuk membunuh para nabi?” (Ma’alim Tanzil fi Tafsir al-Qur’an: 122).

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahwa surah al-Baqarah ayat 91 berisi tentang kritik Alquran terhadap kepalsuan keimanan bani Israil. Meskipun secara lisan mereka mengaku beriman kepada kitab terdahulu, tetapi kenyataannya secara faktual mereka tidak mengamalkan isi dari kitab tersebut. Bahkan mereka mengabaikannya dan membunuh para nabi dengan kejam.

Baca juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah nabi yang dibunuh oleh bani Israil, tetapi diduga jumlahnya cukup banyak. Imam al-Baidhawi pernah menyebutkan beberapa nama nabi yang dibunuh oleh bani Israil. Beliau berkata, “Bani Israil membunuh Isaia, Zakariya, Yahya, dan nabi-nabi lainnya, padahal mereka tahu itu tidak dibenarkan. Ini mereka lakukan karena mengikuti hawa nafsu dan terlalu cinta terhadap dunia (Tafsir al-Badhawi: 331).

Meskipun tidak ada dalil spesifik dari Alquran maupun hadis mengenai jumlah para nabi yang dibunuh oleh bani Israil, Ibnu Qayyim menuturkan, “Generasi bani Israil sepeninggal nabi Musa gemar membunuh para nabi. Mereka membunuh Zakariya dan banyak nabi lainnya. Hingga dalam waktu sehari mereka membunuh 70 nabi, lalu mereka mengadakan pasar di sore hari, seolah-oleh mereka tidak berbuat kesalahan apa pun.” (Hidayah al-Hayara: 19).

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Terlepas dari kesahihan riwayat jumlah nabi yang dibunuh oleh bani Israil, penjelasan itu sudah cukup menggambarkan bagaimana kedurhakaan dan kedurjanaan mereka kepada Allah Swt. Sebab, mereka tidak hanya melanggar perintah Allah, melainkan juga membunuh para nabi yang membawa pesan hikmah dari-Nya. Tindakan ini bisa dikatakan sebagai puncak kekufuran dan kekafiran bani Israil.

Di sisi lain, kritik Alquran terhadap kepalsuan keimanan bani Israil menjadi peringatan kepada umat Islam, bahwa setiap pengakuan keimanan haruslah dibuktikan secara nyata, baik melalui hati, lisan, maupun tindakan. Jika seseorang mengaku beriman kepada Allah Swt, maka sudah sepantasnya ia menaati segala perintahnya dalam berbagai keadaan. Wallahu a’lam.

Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Surah al-Baqarah yang penamaannya diambil dari ayat yang terdapat dalam surah ini, yaitu sapi betina, menceritakan salah satu kisah tentang Bani Israil. Selain itu, banyak pula penggambaran cerita Bani Israil yang lain dielaborasi panjang lebar, bahkan nyaris seluruh surah al-Baqarah memuat kisah tentangnya. Meskipun sebagiannya adalah kisah israiliyyat, tetapi dari sini bisa menjadi pelajaran untuk umat manusia agar tidak mengulangi perangai buruk yang dicontohkan Bani Israil dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Pada artikel ini akan diungkap bagaimana Bani Israil mendapati ujian kenikmatan dan respons mereka terhadapnya. Alquran merekam baik bagaimana Bani Israil dan kelakuan yang mereka perbuat. Disisipi pesan-pesan umum, pertama-tama, memberi peringatan akan berbagai nikmat dan karunia Allah yang telah mereka terima, lantas menagih janji dan komitmen mereka.

Bani Israil, Banyaknya Nikmat Menjadi Sebab Berpaling

Kata nikmat pada surah al-Baqarah ayat 40 berdasarkan pendapat Wahbah az-Zuhaili merupakan isim jins yang memiliki bentuk tunggal, tetapi bermakna plural. Artinya, nikmat yang dimaksud Allah adalah semua kenikmatan yang telah diberikan untuk Bani Israil.

Di antaranya, diceritakan dalam Q.S. 2:49-65 bahwa Allah menyelamatkan mereka melalui tongkat Musa yang membelah lautan, dari kejaran tentara Fir’aun. Mereka ingkar. Ketika Musa naik ke Gunung Sinai untuk menerima 10 Perintah Tuhan, mereka murtad dengan menyembah anak sapi. Lepas dari kejaran Fir’aun, mereka sampai di tanah yang dijanjikan. Mereka disuruh memasuki Bait al-Maqdis dengan tawadu’, tetapi mereka enggan dan malah mengganti perintah tersebut dengan apa yang seharusnya tidak dikerjakan.

Baca juga: Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Setelah itu, banyak adegan buruk Bani Israil yang diceritakan Alquran. Melalui tongkat Musa, Allah cukupi kebutuhan air mereka dari batu yang dipecah dan memancarkan 12 sumber mata air. Allah naungi mereka dari sengatan matahari dan cukupi kebutuhan pangan mereka dengan manna (sejenis madu) dan salwa (sejenis burung puyuh). Mereka malah kemaruk, minta sayur mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah. Sebagian mereka rakus dan melanggar kesucian hari Sabat. Mereka tamak terhadap harta dan Allah kutuk mereka menjadi kera yang hina.

Berdasarkan dari banyaknya nikmat yang dianugerahkan kepada Bani Israil dapat dipahami bahwa mereka memiliki watak dan sifat; tidak pernah merasa bersyukur bahkan terus menerus melakukan pembangkangan kepada Allah, mereka bahkan tidak peduli dengan peringatan-Nya dan janji yang telah mereka buat malah diingkarinya.

Melanggar Perjanjian dengan Allah

Bani Israil dalam Alquran direkam sebagai kaum yang paling sering ingkar janji, merusak komitmen, dan memutarbalikkan fakta. Ibnu Katsir mengutip Ibnu ‘Abbas, mengatakan dari Ibnu Ishaq dan beberapa ulama lainnya, bahwa ketika Nabi Musa berangkat untuk memerangi para penguasa zalim, ia memerintahkan kaumnya agar setiap kabilah mengangkat seorang pemimpin. Tujuannya adalah untuk mengambil janji dari mereka semua (Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I, h.  316).

Di antara janji-janji itu terdapat pada Q.S. al-Baqarah ayat 41-48 dan ayat 83-84. Janji itu bukan sembarang janji, melainkan ada timbal baliknya kepada Allah dengan mereka. Bila mereka berikan janji setia mereka kepada Allah dan mereka tunaikan, maka Allah juga memberikan janji balasan yang berlipat ganda (Q.S. 2:40).

Baca juga: Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

Akan tetapi, dasar watak bani Israil, mereka kemudian ingkar janji kepada Allah. Salah satu janji yang mereka langgar adalah ingkar pada Alquran padahal sebelumnya selalu memohon agar didatangkan seorang nabi (Q.S. 2:89) (‘Ali As-Sabuni, Safwat at-Tafasir, Juz I, h.80).

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak memenuhi janji antara lain disebabkan karena rasa takut, khawatir, dan tidak rela kehilangan otoritas keilmuan dan kepemimpinan yang selama itu mereka miliki. Diketahui bahwa Allah mengistimewakan Bani Israil dari suku bangsa lain dengan pengetahuan yang lebih mengenai kitab-kitab Allah. Hanya saja kelebihan-kelebihan itu tidak digunakan untuk positif. Namun, untuk kepentingan mereka sendiri dan tidak peduli bahwa itu berdampak keburukan bagi yang lain.

Memandang Bani Israil: Sebagai Media Intropeksi Diri

Alangkah hebatnya Alquran dengan kisah-kisah yang memuat hikmah yang dapat ditarik melintasi ruang dan waktu, dari zaman Nabi Adam kemudian juga tentang Bani Israil. Kisah-kisah itu bisa dijadikan pelajaran untuk manusia di masa kini. Sebab sikap, pola pikir, dan perilaku (kondisi psikologis) manusia tidak akan berubah.

Jika kita terjebak pada ciri fisik, maka akan sangat mudah bagi kita untuk merasa bahwa para pelaku kejahatan dalam Alquran adalah orang lain belaka. Namun jika kita menelaah kondisi psikologis mereka, baik motivasi maupun pola pikirnya, kita akan terkejut bahwa mungkin sekali perangai buruk yang berulang kali disindir dalam Alquran adalah perilaku diri kita sendiri.

Baca juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Saat kita membaca dan menghayati Alquran dengan sungguh-sungguh, dapat direnungi bahwa sebenarnya ciri-ciri Bani Israil sangat relevan dengan masa kini dan bahkan mungkin jika kita menyadari, ternyata yang kita baca pada tiap halamannya adalah diri pribadi.

Betapa melimpahnya kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada kita, tetapi hal itu malah menjadikan diri lalai dan mendustakan bahwa itu semua merupakan karunia dari Allah, sehingga menjadikan diri seorang hamba setengah-setengah untuk taat atau bahkan mendurhakai-Nya. Memang begitulah manusia ketika diberi ujian kenikmatan mudah sekali untuk terlena dan menjadi kufur.

Kisah Bani Israil mengajarkan untuk selalu mensyukuri dan memuji-Nya. Nikmat yang Allah beri jangan sampai membuat kita menjadi orang yang sombong, merasa lebih baik, dan bahkan merendahkan yang lain. Hendaknya nikmat itu digunakan sebagai sarana untuk lebih semangat melakukan ketaatan dan ibadah kepada-Nya, bukan malah untuk mendurhakainya dengan berpaling dan ingkar. Sebab, bukankah kita telah mengambil sumpah setia kepada Allah dahulu kala yang bahkan sebelum kita dilahirkan ke dunia?[]

Abdul Karim Soroush dan Epistemologi Pluralisme Tafsir

0
Abdul Karim Soroush dan Epistemologi Pluralisme Tafsir
Abdul Karim Soroush dan Epistemologi Pluralisme Tafsir

Pandangan dan pendapat para ulama tidak lain merupakan hasil dari pemahaman dan penafsiran mereka terhadap agama, yang tentunya akan berpotensi berbeda dengan penafsiran orang lain. Namun mirisnya, mereka yang fanatik akan melakukan kekerasan, baik wacana maupun tindakan untuk membela tafsir atau pemahaman agama yang mereka pilih. Sakralisasi penafsiran agama ini tidak jarang berujung pada sikap anarkis. Melihat fenomena seperti ini, banyak para pemikir muslim yang menawarkan wacana-wacana solutif. Salah satunya adalah Abdul Karim Soroush.

Soroush adalah seorang intelektual, filusuf dan pemikir muslim asal Iran bermazhab Syiah yang berusaha memisahkan antara agama dengan pengetahuan agama. Adanya pemisahan seperti ini penting agar umat muslim bisa membedakan mana yang seharusnya sakral dan tidak bisa berubah dengan mana yang sifatnya profan, relatif dan dinamis.

Biografi dan Perjalanan Karir Intelektual Soroush

Abdul Karim Soroush lahir dengan nama Hossein Hajj Faraj Dabbagh pada tahun 1945 di Teheran, Iran. Ia tumbuh sebagaimana anak-anak pada umumnya dan mengenyam pendidikan dasar sampai menengah atas di kampung halamannya. Ia mendapatkan pendidikan agama terutama seputar tafsir dan fikih pertama kali di Murtazawi High School dan Alawi High School. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Teheran dengan mengambil program studi fisika dan farmasi. [Geliat Reformasi Agama; Menyingkap Argumen Epistemologi Abdul Karim Soroush, hal. 15]

Pada masa-masa inilah ia mulai bersinggungan dengan pemikiran tokoh-tokoh terkenal, baik tokoh Islam maupun tokoh barat. Dalam pengembaraan intelektualnya, ada tiga tokoh yang dianggap sangat berpengaruh dalam konstruksi intelektual Soroush. Mereka adalah Murtadha Muthahhari, seorang filusuf besar Iran modern beralisan Syiah. Kemudian, Mehdi Bazarghan, seorang pemikir besar dengan karyanya The Infinity of The Infinitely Small. Dan yang terakhir adalah Ali Syariati yang kuliah-kuliahnya selalu dihadiri oleh Soroush. [Menggugat Otoritas Tradisi dan Tradisi Agama, hal. 5-8]

Baca Juga: Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

Dari sini terlihat jelas bahwa Abdul Karim Soroush merupakan pemikir modernis yang berafiliasi kepada mazhab Syiah. Selain lahir dan dibesarkan di negeri para mullah yang merupakan pusat peradaban Syiah, corak pemikiran soroush dalam menalar agama juga sangat dipengaruhi oleh pergumulannya dengan tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran Syiah seperti Murtadha Muthahhari, Ali Syariati, Thabathabi (penulis kitab Tafsir al-Mizan) dan lain-lain. Namun, cakrawala pengetahuan dan bacaan Soroush tidak hanya terbatas pada Mazhab Syiah semata. Terbukti, ia sangat antusias dan berdecak kagum dengan pemikiran Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, yang notabene merupakan tokoh sentral dalam Mazhab Sunni.

Meski demikian, ia kerap kali ditolak bukan hanya oleh kalangan Sunni tetapi juga kaum Syiah sendiri tidak sedikit yang menolak pemikiran Soroush. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang memang dipandang terlalu liberal dan kritis sehingga menuai kontroversi di sana-sini. Meski demikian, perjuangan Soroush untuk mewacanakan pluralisme tafsir, demokrasi dan hak-hak kemanusiaan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan ditengah-tengah fenomena keberagamaan yang cenderung eksklusif.

Baca Juga: Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual

Epistemologi Pluralisme Tafsir Agama

Konstruk pemikiran Soroush dibangun di atas teori yang dikenal dengan istilah Teori Pengembangan dan Penyusutan (al-qabd wa al-bast). Menurut Aksin Wijaya dalam karyanya yang mengkaji pemikiran Soroush, alasan Soroush mengembangkan teori ini yang sekaligus menjadikannya sebagai dasar epistemologis dari pemikirannya adalah karena kegagalan sebagian umat Islam dalam memisahkan yang sakral dan yang profan, yang esensi dan yang aksidensi, serta yang duniawi dan ukhrawi. [Menalar Islam; Menyingkap Argumen Epistemologis Abdul Karim Soroush, hal. 54].

Menurut Soroush, agama adalah sakral, sedangkan pemahaman terhadap agama bersifat profan. Ia bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Agama kebenarannya pasti, stagnan dan kesuciannya tidak terkontaminasi pemikiran-pemikiran apapun, sedangkan pemahaman atau tafsir terhadap agama adalah sesuatu yang relatif.

Dari sini terlihat bahwa Soroush menginginkan kontekstualisasi tafsir keagamaan. Ia kerap kali mengkritik penafsiran apapun yang cenderung memonopoli kebenaran, karena baginya pemahaman atau penafsirn terhadap agama akan senantiasa berkembang dan berubah. Bagi Soroush, Alquran merupakan konkretisasi pengalaman keagamaan Nabi, sehingga ia tentu mengandung makna yang beragam. KH. Akhsin Sakho Muhammad mengibaratkan Alquran seperti intan. Setiap sudutnya memancarkan kilauan sehingga dari sisi manapun orang melihatnya ia akan mendapati kilauan tersebut [Oase Alquran, hal. 347].

Baca Juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

Pesan-pesan yang terkandung di dalam Alquran sangat beragam, sehingga satu ayat dapat menimbulkan perbedaan pemahaman para ulama. Jangankan satu ayat, bahkan perbedaan pendapat bahkan muncul disebabkan beda pemahaman mengenai satu huruf saja. Kondisi seperti ini yang disebut Soroush sebagai pluralisme pesan Alquran, karenanya tafsir atau pemahaman terhadap Alquran juga harusnya beragam.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. pernah berpesan bahwa Alquran adalah benda mati, sehingga ia harus dibuat berbicara [Nahj al-Balaghah, 200-201]. Alquran adalah kitab petunjuk bagi seluruh manusia di setiap dimensi tempat dan waktu, sehingga Alquran harus mampu berbicara menyelesaikan problem manusia serta memberi bimbingan agar manusia tidak salah jalan. Cara membuat Alquran berbicara tentu dengan terus-menerus mengkaji dan melakukan penafsiran terhadap Alquran, serta menggali pesan-pesan Allah Swt. yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan berkelanjutan terhadap ayat suci Alquran merupakan suatu keniscayaan, agar Alquran dapat berdialog dengan kehidupan nyata serta menawarkan solusi dari masalah yang dihadapi.

Akhir kata, sebagai pemikir kontemporer yang gelisah dengan monopoli kebenaran sebagian kelompok, Soroush kemudian menawarkan solusi berupa harus ada pemisahan antara agama dan pemahaman agama, Alquran dengan tafsir Alquran. Alquran adalah kalam Ilahi yang kebenarannya mutlak dan sakral, tetapi pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Alquran tidaklah sakral.

Demikianlah sekelumit tentang pemikiran Soroush mengenai wacananya terhadap agama dan tafsir agama. Sebagai sebuah wacana tentu ia terbuka untuk dikritik dan dibenahi karena, sebagaimana teori Soroush sendiri, bahwa pemikiran manusia termasuk wacana Soroush sendiri adalah profan.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Ayah Nabi Ibrahim dan Kesucian Nasab Nabi Muhammad

0
Kisah ayah Nabi Ibrahim as. dalam Alquran
Kisah ayah Nabi Ibrahim as. dalam Alquran

Di antara nama tokoh dalam Alquran yang memicu perdebatan ulama adalah Azar. Perdebatan tersebut terkait dengan statusnya sebagai ayah Nabi Ibrahim. Tampaknya, perdebatan ini muncul karena jika benar bahwa dia ayah Nabi Ibrahim maka akan bertentangan dengan beberapa riwayat yang menjelaskan kesucian nasab Nabi Muhammad saw. yang bersambung dengan Nabi Ibrahim. Namun, jika dia bukan ayah Nabi Ibrahim, lantas siapa sebenarnya tokoh yang disebut sebagai Azar itu? Lalu siapa ayah kandung Nabi Ibrahim?

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim As dalam Q.S al-An’am Ayat 75-79 dan Ajaran Tauhid

Kesucian Nasab Nabi Muhammad saw.

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa nasab Nabi Muhammad saw. bersambung hingga ke Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim, di antaranya adalah riwayat Imam Muslim berikut ini,

إِنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, memilih Hasyim dari keturunan Quraisy dan memilihku dari keturunan Bani Hasyim.”

Nasab Nabi Muhammad saw. ini terjaga dari melakukan kesyirikan. Mulai dari ayah Nabi Muhammad saw. sampai Nabi Adam tidak ada sama sekali yang bersujud menyembah berhala. (Hasyiah al-Shawi, vol. 2 hlm. 24). Di antara riwayat yang dijadikan istidlal adalah perkataan Nabi Muhammad saw. berikut ini,

ﻟَﻢْ ﺍَﺯَﻝْ ﺍُﻧْﻘَﻞُ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﻼَﺏِ ﺍﻟﻄَّﺎﻫِﺮِﻳْﻦَ ﺍِﻟَﻰ ﺍَﺭْﺣَﺎﻡِ ﺍﻟﻄَّﺎﻫِﺮَﺍﺕِ

“Aku selalu berpindah dari beberapa sulbi (tulang rusuk) laki-laki yang suci pindah ke beberapa rahim perempuan yang suci.”

Semua leluhur Nabi Muhammad saw., baik yang laki-laki maupun perempuan sampai Nabi Adam dan  Hawa semuanya tidak ada yang kafir, karena hanya orang mukmin yang disifati dengan kesucian. (Tahqiq al-Maqam, hlm. 146). Lalu bagaimana dengan ayat yang menyebut Azar dengan sebutan abb (yang berarti ayah Nabi Ibrahim)?

Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Azar dan Tarakh Dua Sosok yang Berbeda atau Sama?

Kata Azar pertama kali muncul dalam Alquran ketika mengisahkan dialog Nabi Ibrahim dengan seseorang yang disebut Azar, tepatnya pada ayat berikut,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ لِأَبِيْهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّيْ أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلَالٍ مُبِيْنٍ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, “Apakah (pantas) engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Anam [6]: 74)

Sebagian mufasir menganggap Azar sebagai julukan dari ayah Nabi Ibrahim yang bernama asli Tarakh (huruf ra’-nya dibaca fathah dan huruf akhirnya bisa dengan huruf خ dan bisa juga ح). Ada juga yang berpendapat kebalikannya, yaitu Azar sebagai nama aslinya, sedangkan Tarakh adalah nama julukannya. (lihat Hasyiah Shawi, vol. 2 hlm. 24). Dua pendapat ini masih merujuk pada satu sosok yang sama.

Selain itu, ada juga pendapat lain yang menganggap antara Azar dan Tarakh adalah dua sosok yang berbeda. Azar adalah nama paman Nabi Ibrahim, sedangkan Tarakh adalah nama ayahnya. Dalam tradisi Arab penggunaan kata abb tidak selalu berarti ayah, tapi juga digunakan untuk menyebut paman. (Hasyiah Shawi, vol. 2 hlm. 24)

Dalam Hasyiah al-Shawi (vol. 2, hlm. 24) terdapat penjelasan mengenai kontradiksi antara kesucian nasab Nabi Muhammad saw. sebagaimana penjelasan dari ulama ahli tahqiq di atas dan wujudnya kekafiran pada tokoh yang bernama Azar sang pembuat berhala. Setidaknya ada dua pendapat mengenai hal ini, yaitu:

Pertama, kalau mengikuti pendapat yang mengatakan Azar adalah nama ayah kandung Nabi Ibrahim, maka jawabannya adalah bahwa dijaganya leluhur Nabi Muhammad saw. dari kesyirikan itu terjadi selama Nur Muhammadi masih ada dalam diri mereka. Adapun setelah berpindah dari mereka, maka bisa saja mereka terjerumus dalam kesyirikan. Pendapat pertama ini diamini oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsirnya Marah Labid, vol. 1, hlm. 237.

Kedua, Azar bukan nama ayah Nabi Ibrahim, melainkan pamannya yang memang kafir. Adapun ayahnya yang bernama Tarakh meninggal dalam masa fatrah (masa kekosongan tidak ada Nabi utusan). Juga tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Tarakh pernah menyembah berhala. Adapun penyebutan Azar, sang paman dengan kata abb dalam ayat di atas itu sesuai dengan tradisi Arab yang menyebut paman dengan abb. Dalam Taurat juga disebutkan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim adalah Tarakh.

Dengan dua jawaban tadi, maka kekafiran Azar sang pembuat patung berhala tidak bisa dianggap bertentangan dan mengotori kesucian nasab Nabi Muhammad saw. yang bersambung kepada Nabi Ibrahim, baik yang menganggapnya bin Tarakh atau bin Azar. Sekian, Wallahu a’lam.

Izzat Darwazah dan Kritik atas ‘Sabab Nuzul’ Surah al-Maidah

0
Izzat Darwazah dan Kritik atas Sabab Nuzul Surah al-Maidah
Izzat Darwazah dan Kritik atas Sabab Nuzul Surah al-Maidah

Muhammad Izzat Darwazah merupakan seorang pemikir Islam modern yang bermazhab Sunni Asy’ari dan memiliki dua kecenderungan dalam menulis karyanya, yaitu tafsir dan sejarah. Dia dilahirkan pada sabtu, 11 Syawal 1305 H/Juni 1888 di kota Neblus, Palestina. Setelah itu, dia berkewarganegaraan Suriah dan menetap di Damaskus sampai wafat pada tahun 1984.

Perjalanan pendidikannya dimulai ketika berumur lima tahun dan hanya sampai pada tingkat tsanawiyah. Dikarenakan terhalang oleh faktor ekonomi, Izzat Darwazah tidak bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah formal. Meskipun demikian, hal tersebut tidak mengurangi tekadnya untuk terus mencari ilmu. Dia mempelajari buku-buku sastra, sejarah, serta karya-karya berbahasa Turki, Prancis, dan sebagainya.

Pemikir dalam bidang studi Alquran dan sejarah ini memiliki karya lebih dari tiga puluh buku serta menerbitkan beberapa artikel. Perannya tidak hanya sebagai mufasir yang sejarawan, melainkan dia juga merupakan tokoh politik yang ikut serta dalam pergerakan Arab untuk melawan penjajah dan kaum zionis.

Izzat Darwazah mempunyai karya yang berasal dari berbagai bidang, namun keilmuannya cenderung pada sejarah dan tafsir. Dalam menelaah sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Alquran, tokoh kelahiran Palestina ini memiliki perbedaan dengan para ahli sejarah lain. Hal tersebut karena dia menempatkan Alquran sebagai sumber primer, sedangkan sumber sejarah dijadikan sumber sekunder.

Darwazah menulis tafsir berdasarkan sejarah turunnya, dan mengkaji sejarah kenabian sesuai dengan Alquran tartib nuzuli. Dia juga mengkritik secara terang-terangan terhadap para orientalis yang dinilai menyimpang dalam mempelajari makna Alquran.

Baca Juga: Tafsir Tartib Nuzul: al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah

Kritik Darwazah tentang asbabunnuzul surah al-Maidah

Izzat Darwazah dalam kitab tafsirnya yang berjudul at-Tafsir al-Hadith Tartib as-Suwar Hasb an-Nuzul mengkritik asbabunnuzul surah al-Maidah. Salah satu riwayat tentang asbabunnuzul surah al-Maidah dijelaskan dalam Tafsir Ibn Katsir. Riwayat ini diceritakan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Asma binti Yazid.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضر، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ شَيْبان، عَنْ لَيْث، عَنْ شَهر بْنِ حَوْشَب، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ: إِنِّي لَآخِذَةٌ بزِمَام العَضْباء ناقةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، إِذْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْمَائِدَةُ كُلُّهَا، وَكَادَتْ مِنْ ثِقْلِهَا تَدُقّ عَضُد الناقةَ.

“Sesungguhnya aku benar-benar sedang memegang tali unta Adba’ (unta kendaraan Rasulullah Saw.) ketika diturunkan kepadanya surah al-Maidah seluruhnya. Hampir saja paha unta itu patah karena beratnya wahyu (yang sedang turun kepada Nabi saw.)

Izzat Darwazah sebagai seorang mufasir dan juga sejarawan merasa heran terhadap riwayat ini yang menjelaskan bahwa seluruh kandungan ayat dalam surah al-Maidah turun secara sekaligus, karena jika dilihat dari segi topik dan kandungan surah al-Maidah, terdapat pembahasan yang bermacam-macam dan mengindikasikan bahwa kandungan ayat di dalamnya turun dalam jangka waktu yang berbeda-beda dan tidak turun sekaligus.

Tidak hanya satu riwayat tersebut, ada beberapa riwayat lain, baik yang dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir atau kitab-kitab tafsir lainnya yang juga menyuratkan bahwa surah al-Maidah ini turun dalam bentuk satu surah sekaligus. Hal ini yang menganggu pemahaman Izzah Darwazah.

Kandungan ayat dan topik bahasan dalam surah al-Maidah yang bermacam-macam mempunyai indikasi kuat bahwa ayat tersebut turun ketika kaum Yahudi masih menjadi kelompok yang kuat di Madinah pada waktu itu. Hal ini memungkinkan bahwa ayat tersebut diturunkan sebelum kejadian perang Ahzab atau yang dikenal dengan perang khandaq yang terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H. (627 M).

Beberapa ayat yang lain dalam surah al-Maidah juga mengindikasikan dengan kuat terhadap turunnya beberapa ayat setelah perjanjian Hudaibiah pada tahun 6 H. (628 M), dan sebagian lagi turun sebelum terjadinya penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah) yang terjadi pada tahun 8 H. dan sebelum turunnya surah at-Taubah pada tahun 9 H. yang mengandung perintah untuk memerangi orang musyrik dan mencegah mereka untuk mendekati Masjidilharam karena diklaim sebagai orang yang najis.

Baca Juga: Mengenal Izzat Darwazah dan Model Tafsir Nuzuli

Prspektif sejarah yang diusung oleh Darwazah dalam tafsirnya menyiratkan kesimpulan bahwa ada bagian yang kontradiktif antara riwayat asbabunnuzul surah al-Maidah yang menjelaskan bahwa surah tersebut turun sekaligus dengan topik pembahasan dan historis kandungan surah al-Maidah yang terjadi pada jangka waktu yang berbeda-beda.

Izzat Darwazah sendiri tidak memberi status apa pun terhadap riwayat nuzuli tersebut, namun kritiknya ini dia perkuat lagi dengan menjelaskan bahwa riwayat nuzuli tersebut tidak ditemukan dalam lima kitab hadis induk.

Etos Kerja dalam Islam

0
Etos Kerja dalam Islam
Etos Kerja dalam Islam

Sementara ini, tidak sedikit kalangan yang menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang mendorong pemeluknya untuk hidup miskin. Hal ini dilandaskan pada sikap Nabi Saw. yang sangat pro terhadap orang miskin. Sebagian ulama panutan pun lebih memilih hidup dalam keadaan miskin dengan alasan supaya lebih mudah menjalani penghitungan amal di akhirat kelak. Hal ini yang kemudian membuat beberapa orang Islam bersikap apatis, bahkan cenderung fatalistik terhadap urusan dunia. Akibatnya, mereka tidak mau bekerja mencari nafkah hidup, sehingga menyebabkan kemiskinan menjamur dimana-mana.

Tidak bisa dipungkiri memang banyak kecaman baik dalam Alquran maupun hadis terhadap sikap hedonistik dan bemewah-mewah dalam urusan dunia. Akan tetapi, hal ini tidak lantas kemudian dipahami bahwa Islam melarang umatnya untuk kaya dan bekerja mencari anugerah Allah Swt. di dunia.

Islam memang tidak selalu menampilkan keberpihakan kepada kaum papa. Akan tetapi, hal itu tidak meniscyakan Islam menghendaki umatnya miskin dan melarat. Islam justru memotivasi umatnya agar menjadi mukmin yang kuat. Sebab, mukmin yang kuat; baik kuat keyakinan, kuat ilmu kuat finansial dan sebagainya, lebih disenangi oleh Allah Swt. daripada mukmin yang lemah.

Baca Juga: Tafsir Surah Alqashah Ayat 26: Isyarat Profesionalisme dalam Pekerjaan

Anjuran Islam Supaya Bekerja

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan untuk membimbing manusia menjalani kehidupan agar mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat. Jika kebahagian di akhirat dapat diraih dengan melakukan amal saleh serta meninggalkan perbuatan dosa, maka kebahagian dunia diperoleh dengan terpenuhinya kebutuhan serta tersedianya fasilitas kehidupan baik yang bersifat primer, sekunder maupun tersier. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa proyeksi utama ajaran Islam adalah menuntun umat manusia agar selamat di kehidupan akhirat kelak.

Namun demikian, agama juga tidak menutup mata terhadap kebutuhan duniawi umat manusia sehingga banyak teks-teks agama (Alquran dan Hadis) memotivasi manusia agar bekerja mencari penghidupan. Rezeki memang telah Allah hamparkan di muka bumi ini (Hud [11]: 6), akan tetapi untuk memperolehnya harus dilakukan dengan cara berusaha. Allah Swt berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [الجمعة: 10]

Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Q.S. Aljumuah [62]: 10

Baca Juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

Selain ayat di atas, sejatinya ada banyak ayat lain yang menunjukkan pentingnya bekerja untuk mendapatkan rezeki. Di antaranya, Alankabut [29]: 18, Alisra’ [17]: 12, Alqashah [28]: 73 dan masing banyak lagi. Jika diperhatikan, Alquran sering kali menggunakan istilah ابتغاء dengan segala derivasinya untuk menunjukkan makna bekerja. Hal ini, menurut Syekh Musthafa al-Maraghi, mengisyaratkan bahwa seseorang akan mendapatkan rezeki hanya jika ia mau berusaha sebagaimana lumrahnya. (Tafsir al-Maraghi, Juz 15, 19)

Ayat di atas menjadi legalisasi bagi umat Islam untuk mencari kehidupan dunia, asalkan tidak sampai menyebabkan lalai dari hal-hal yaang bersifat ukhrawi. Ini menunjukkan bahwa seseorang harus bersikap moderat terkait urusan dunia dan akhirat, sebab dunia merupakan ladang bagi kehidupan di akhirat. Baik tidaknya nasib seseorang diakhirat tergantung dari bekal serta amal perbuatan yang dilakukan di dunia.

Bekerja sejatinya juga dapat menjelma menjadi ladang amal saleh jika diniati baik. Namun sebaliknya, jika bekerja diorientasikan untuk hal-hal yang dilarang agama seperti untuk berbangga-bangga atau hanya ingin mencari glamor dunia semata, maka ia dapat mengundang murka Allah Swt. Dalam hal ini Rasulullah ٍٍٍٍSaw. bersabda,

مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلَالًا اسْتِعْفَافًا عَنْ مَسْأَلَةٍ , وَسَعْيًا عَلَى أَهْلِهِ , وَتَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ , وَمَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا مُفَاخِرًا مُكَاثِرًا مُرَائِيًا لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ

Barang siapa yang mencara dunia (rezeki) dengan cara halal dengan tujuan agar supaya terhidar dari prilaku meminta-minta, memenuhi kebutuhan keluarga serta dapat berbelas kasih kepada tetangganya maka kelak ia datang di hari kiamat dalam keadaan wajahnya bersinar bagai bulan purnama. Dan, barang siapa yang mencari dunia (rezeki) untuk berbangga-bangga, berfoya-foya, serta mengharap pujian orang maka ia akan menemui Allah dalam keadaan dimurkai. HR. Al-Baihaqi

Orang yang bekerja dalam sektor apapun akan memperoleh pahala yang besar, setidaknya jika memiliki salah satu dari tiga motivasi bekerja. Pertama, bekerja agar tidak mengulurkan tangan meminta-minta sehingga menjadi beban orang lain. Kedua, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta kebutuhan hidup keluarganya. Dan yang ketiga, bekerja supaya dapat membantu tetangga atau orang lain yang membutuhkan.

Jika pekerjaan didasarkan pada salah satu dari tiga motivasi di atas, maka bukan hanya hasil materiil yang akan diperoleh, melainkan orang tersebut juga akan meraup keuntungaan ukhrawi berupa pahala yang agung. Bahkan mencari rezeki yang semula perkara mubah bisa berubah menjadi sesuatu yang wajib jika diniati dengan baik.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm [53]: 39-40; Kaitan Erat antara Keberhasilan dan Usaha

Dalam Kitab Ihya Ulum al-Din, Imam al-Ghazali membuat satu bab khusus menerangkan tentang keutamaan bekerja dan mencari penghidupan. Beliau mengutip banyak ayat, hadis dan atsar mengenai mulianya orang yang bekerja. Salah satunya yang menarik adalah sikap geram Sayyidina Umar terhadap seorang lelaki yang selalu berada di masjid untuk beribadah tetapi mengabaikan tanggung jawabnya terhadap keluarga. Terlebih lagi, untuk kebutuhan makan, minum dan sebagainya ia hanya mengandalkan uluran tangan saudaranya.

Berangkat dari peristiwa ini, keluarlah staetment menarik dari Sayyidina Umar bin Khattab ra. yang mendorong umat muslim untuk tidak mengabaikan pekerjaan mencari nafkah. Beliau berkata,

لَا يَقْعُدُ أحدكم عن طلب الرزق يقول اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ السَّمَاءَ لَا تمطر ذهباً ولا فضة

Janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk terdiam tidak mau mencari rezeki, malah berkata, ‘ya Allah berilah aku rezeki’. (mengapa?) Sebab, kalian tau bahwa langit tidak menurunkan hujan emas dan perak. (Ihya Ulum al-Din, Juz 2, 62)

Akhir kata, proyeksi utama ajaran Islam adalah membimbing manusia agar mencapai kebahagian hakiki di akirat kelak. Akan tetapi, Islam tidak menghendaki umatnya lemah dan tertindas, sehingga umat Islam dituntut untuk bekerja mencari nafkah agar bisa mandiri secara ekonomi. Dari sini, terlihat bahwa Islam menghendaki adanya keseimbangan antara dimensi dunia dan dimensi akirat.

Wallahu a’lam.