Beranda blog Halaman 54

Tafsir Juz ‘Amma for Kids: Tafsir Ilustrasi untuk Anak-Anak

0
Tafsir Juz ‘Amma for Kids: Tafsir Ilustrasi untuk Anak-Anak
Sampul buku Tafsir Juz ‘Amma for Kids.

Sampai dewasa ini, penafsiran Alquran ditunaikan dalam banyak bentuk dan dilakukan oleh sekian figur. Tafsir-tafsir tersebut berserakan berebut pembaca agar dijadikan sebagai referensi kutipan maupun dakwah keseharian. Produk tafsir yang sedemikian banyak ini membuktikan bahwa Alquran memang kitab suci yang relevan sampai akhir zaman. Lantaran tafsir-tafsir itu muncul sebagai bentuk respons atas kondisi aktual yang dialami oleh umat muslim.

Hanya saja produk penafsiran bukan hanya disesuaikan dengan ruang dan waktu saja, tetapi juga kebutuhan subjeknya, yaitu manusia. Jika subjek manusia ini dipetakan dalam rentang usia, produk tafsir yang diperuntukkan untuk usia anak-anak relatif cukup sedikit. Padahal di kelompok usia anak-anak ini, daya mencecap-resap setiap ajaran akan lebih mudah masuk dan mengendap lebih lama. Pun di sisi lain, ditemukan sekian institusi pendidikan yang getol mengajar-hafalkan Alquran khusus untuk usia anak-anak. Mereka dididik supaya menjadi insan qur’ani di kemudian hari.

Tafsir Juz ‘Amma for Kids sebagai Contoh

Maka dari itu, tafsir yang ramah untuk usia anak-anak cukup penting diadakan. Abdul Mustaqim melalui bukunya, Tafsir Juz ‘Amma for Kids (2012) berikhtiar untuk menjembatani hal itu. Tafsir dari surah-surah di juz 30 dalam kitab suci Alquran ini, oleh Abdul Mustaqim diberi ilustrasi berwujud gambar untuk mempermudah anak-anak memahami tafsir dari sebuah surah. Tentu saja bahasa yang digunakan juga disesuaikan dengan alam bawah sadar anak-anak.

Nafizatus Zahro menemukan ilustrasi dalam buku Tafsir Juz ‘Amma for Kids ini bukan hanya sekadar gambar pemanis belaka, tetapi juga cukup dominan dalam menjelaskan makna yang terkandung pada teks tafsir. Selain itu, ilustrasi yang dibuat juga tidak berjarak dengan realita yang dihadapi oleh anak-anak. Hal ini kemudian diakumulasikan dengan lekatnya budaya Nusantara yang menambah nilai lebih dari ilustrasi dalam buku Tafsir Juz ‘Amma for Kids. Buku tafsir anak menjadi lebih hidup, mudah dipahami, dan dimengerti. Temuan ini dapat dibaca di artikel Tafsir Visual; Kajian Resepsi atas Tafsir dan Ilustrasi dalam Tafsir Juz ‘Amma for Kids (2015).

Baca juga: Memahami Tafsir sebagai Produk dan Proses Perspektif Abdul Mustaqim

Akan tetapi, apakah hal ini diperbolehkan? Jika merujuk pada definisi dasar dari sebuah tafsir yang mesti menjelaskan ayat yang belum jelas, dan memberi titik terang pada ayat yang masih samar, tentu saja boleh. Lantaran tafsir yang dibarengi ilustrasi itu, teks tafsirnya juga tetap diproduksi oleh mufasir yang memiliki kualifikasi mumpuni. Dalam hal ini Abdul Mustaqim. Teks itu lantas diterjemahkan oleh ilustrator dalam bentuk gambar-gambar. Sekali lagi, hal ini berlaku untuk anak-anak agar mudah memahami kandungan dari surah dan atau ayat tertentu.

Misalnya saja dalam surah At-Tin [95] yang terdiri dari delapan ayat. Surah ini menurut Abdul Mustaqim memuat dua pesan penting. Pertama, mendayagunakan akal untuk sesuatu yang bisa meningkatkan kadar kualifikasi keimanan kepada-Nya. Selanjutnya, yang kedua, mengoptimalkan akal guna berbuat kebajikan kepada sesama dan semesta.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 58-59: Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua

Ilustrasi yang tersedia dalam buku Tafsir Juz ‘Amma for Kids ada tiga orang anak dengan latar berbeda: anak tukang tambal ban, anak penyemir sepatu, dan anak dari kalangan atas. Ketiga anak duduk bersama di bawah pohon yang rindang, dengan anak kalangan atas membuka-baca buku, sementara anak tukang tambal ban dan anak penyemir sepatu mendengarkannya.

Ilustrasi ini memahamkan anak-anak bahwa, kebajikan mesti ditunaikan kepada siapa saja. Termasuk kepada teman-temannya yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Lebih dari itu, anak-anak juga diajari bentuk kebajikan yang tidak hanya dengan berbuat sedekah atau menunaikan salat dengan tepat waktu. Akan tetapi, kebajikan juga bisa berwujud membacakan buku kepada teman-temannya yang sulit mengakses pendidikan, lantaran harus kerja memenuhi kebutuhan keseharian.

Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

Tafsir untuk anak-anak yang dilengkapi dengan ilustrasi semacam ini saya rasa cukup penting. Selain bisa mengenalkan kandungan surah dan atau ayat sejak usia dini, tafsir semacam ini juga tidak membosankan dibaca anak-anak. Karena bagaimana pun, pengetahuan islami yang masuk ke anak akan lebih mudah dalam bentuk visualisasi ketimbang hanya teks-teks semata. Begitu.

Tafsir al-Munir, “Tafsir bi al-Ma’tsur” Berbahasa Bugis

0
Tafsir al-Munir karya AGH Daud Ismail
Tafsir al-Munir karya AGH Daud Ismail

Sebagaimana kitab suci lainnya, Alquran turun tidak berada dalam ruang yang kosong. Kitab suci umat Islam ini turun sebagai respons atas dinamika zaman yang berkembang pada masa itu. Pun tafsir yang berkembang sesudah Alquran dibakukan di eranya Khalifah Utsman, produknya juga hasil dari respons terhadap situasi di masa tersebut. Tidak terkecuali ragam terjemahan lokal-kedaerahan yang banyak ditemukan di bumi nusantara ini. Misalnya saja Tafsir al-Munir berbahasa Bugis karya Anre Gurutta Haji (AGH) Daud Ismail.

Baca juga: Hamzah Manguluang: Penerjemah Alquran Berbahasa Bugis dengan Aksara Lontara

Tafsir ini diperuntukkan agar masyarakat Bugis dan sekitarnya dapat memahami kedalaman ajaran Islam melalui Alquran. Orientasi yang lazim kita dapati dari para ulama Islam di masa silam bahwa, pengetahuan Qurani mesti terdistribusi sampai umat yang masih awam.

Selain itu, AGH Daud Ismail berkeinginan agar tulisan lontara berbahasa Bugis juga bisa abadi sampai nanti akhir zaman. Maka dari itu, penggalan pernyataannya di bagian mukadimah pada Tafsir Munir tertulis:

“Nainappani insya Allah naiiya ricetak barue ri jili’i, maumpe’ pakkulina, sarekkuammengngi na maitta tahan.”

Artinya: “Kitab Tafsir al-Munir ini ditulis menggunakan pembungkus (cover) yang tebal agar bisa tahan lama.”

Baca juga: Tafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

Ulama kelahiran 30 Desember 1908 di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan ini sejak usia belia memang telah akrab dengan ajaran Islam. Dua orang tuanya merupakan tokoh yang dipandang mumpuni oleh masyarakat sekitar dalam membabar-bahasakan dan menunaikan laku keberislaman. Di samping memang, masa remaja Daud Ismail juga tidak luput dari rasa haus pada ilmu pengetahuan. Kendati tidak pernah tercatat mengenyam pendidikan formal, namun sekian ulama terkemuka di wilayahnya pernah dia datangi untuk belajar.

Maka mafhum jika aktivitas berliterasi mulai dari membaca, menulis, menalar, sampai menerjemahkan ayat-ayat Alquran dalam bahasa Bugis ini, dilakukannya secara otodidak dari hasil akumulasi pengetahuan keberislaman yang dia peroleh.

Tafsir 30 juz yang dibagi dalam 10 jilid ini, menurut Mufid Syakhlani di artikel berjudul Kajian Tafsir Nusantara: Tafsir Alquran Berbahasa Bugis (Ugi) Karangan AGH Daud Ismail, merupakan tafsir yang menggunakan metode bi al-ma’tsur. Artinya, tafsir Alquran yang ditafsirkan dengan Alquran, hadis, dan pendapat-pendapat dari sahabat dan tabi’in.

Baca juga: Kajian Tafsir Pada Khazanah Literatur Tradisional Nusantara

Sebagai contoh saat menafsirkan surah an-Naml [27] ayat 62 tentang mukjizat doa bagi yang memunajatkannya dalam situasi yang sulit. Ayat ini oleh AGH Daud Ismail dijelaskan dengan mengutip hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar:

“Napuadai nabitta Muhammad SAW ri doanna tau manrasa-rasae. “E…Puang upurennui pammasemu, naaja lalo tapesonanga lao rialeku (taita-itai bawangnga na maunii) sikkeddereng matamuna nennia tapedecengngiangnga gau-gaukku/urusan-urusakku imanenna. Degaga puang sangadinna ikomi.””

Artinya: “Rasulullah saw. bersabda untuk doa orang yang sedang susah: “Ya Allah aku meminta rahmat dari-Mu. Janganlah engkau memberiku kesusahan walau sekejap mata, perbaikilah akhlak atau perbuatanku, segala urusanku. Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah.””

Di samping itu, Tafsir al-Munir berbahasa Bugis ini hanya menjelaskan kosakata tertentu yang dinilai penting untuk diketahui. Pun struktur kebahasaannya juga tidak terlalu mendapat perhatian serius. Hal ini lantaran sasaran tafsir ini adalah masyarakat yang masih awam dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, yang penting bagi AGH Daud Ismail adalah tersampaikannya kandungan yang dimiliki oleh surah dan atau ayat-ayat Alquran kepada masyarakat awam.

Sementara itu, corak Tafsir al-Munir ini cenderung pada fikih. corak ini juga dipilih antara lain untuk menyesuaikan pembaca yang merupakan masyarakat awam, sebab fikih menjadi salah satu bidang pengetahuan Islam sekaligus pondasi dasar keberislaman yang bisa langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hermeneutika Schleiermacher; Sebuah Upaya Kompromistis

0
Hermeneutika Schleiermacher; Sebuah Upaya Kompromistis
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher.

Hermeneutika sebagai salah satu “senjata” metodologis dalam penafsiran Alquran kontemporer, mengundang ketertarikan pada sejumlah pemikir muslim. Ketertarikan di sini bersifat vis a vis, yakni tidak hanya mencoba mengelaborasi lebih jauh dengan pendekatan yang selama ini telah ada. Namun, di saat yang bersamaan juga melahirkan poros penolakan terhadapnya.

Para pemikir muslim yang berada pada wilayah pertama bukan semata-mata melihat adanya kesesuaian yang dapat diadopsi dari hermeneutika sebagai sebuah pendekatan terhadap teks Alquran. Namun, terdapat tawaran-tawaran alternatif dengan memasukan tradisi dalam ulumul Quran sebagai upaya akomodatif dan alternatif sekaligus. Agaknya hal ini menjadi satu titik tekan dalam pengayaan pandangan, untuk dapat menguji sejauh mana Alquran dapat berkolaborasi dalam berbagai konteks yang luas.

Sekilas Sosok Schleiermacher

Lahir pada pertengahan akhir abad 16, sosok Schleiermacher populer dengan sebutan peletak hermeneutika modern. Ia lahir di Jerman tepatnya pada tahun 1768 pada tradisi keluarga yang taat akan keyakinan Protestan. Schleiermacher telah menunjukan bakat menonjol pada dirinya sebagai “pengkhotbah” di masa mudanya.

Hal tersebut membawanya pada forum seminari Barby untuk memperluas pandangannya. Di saat yang sama, momen tersebut membuka jaringan wacana ilmiah dan filosofis oleh berbagai pemikir dari tradisi yang berbeda dengannya. Dari momen ini kemudian, membuat dirinya bimbang dalam menjatuhkan jalan hidupnya antara sebagai ilmuan atau meneruskan aktivitas khotbahnya (Hardiman, 2015).

Baca juga: Mengenal ‘Intended Text’ dalam Alquran

Dalam menempuh jalan yang dipilih, sebuah keputusan yang ia jatuhkan pada studi filsafat, teologi, dan filologi di Universitas Halle. Buah dari studinya membawa Schleiermacher menjadi seorang intelektual yang bergelut dengan berbagai pandangan pemikir-pemikir lain. Ia banyak mengkritik Immanuel Kant dan Spinoza, yang secara khusus dituangkan pada sejumlah karyanya.

Dari pendirian pemikirannya, Schleiermacher dikategorikan sebagai pemikir yang cukup terpengaruh dengan tradisi romantisme; salah satu sekte ajaran filsafat agama yang cukup mempertentangkan tradisi empirisme dan rasionalisme sebagai khas modernitas. Pilihannya dalam menekuni bidang ilmu pengetahuan, dibuktikan dengan produktivitas pemikiran dan tulisan-tulisannya yang banyak dijadikan rujukan akademis. Ia dikenal dengan bapak Hermeneutika Modern dengan magnum opusnya dalam bidang hermeneutika; Hermeneutik und Kritik.

Hermeneutika; Sebuah Seni Memahami

Pada tataran praktis, hermeneutika menjadi seperangkat ilmu dan teori dalam membaca realitas, baik itu teks, perilaku, simbol, dan karya seni. Karakteristik penjelasan dalam arti yang sangat umum tersebut disebut sebagai hermeneutika universal (generalis) (Syamsuddin, 2017).

Pada saat yang bersamaan, domain umum dari hermeneutika sebagai sebuah perangkat ilmu dan teori yang melahirkan metodologi ketika dikaitkan dalam pembacaan realitas menjadi satu keniscayaan. Di posisi tersebutlah Schleiermacher memberikan penekanan sumbangsih gagasannya pada studi ini.

Schleiermacher menyebut istilah hermeneutikanya dengan gramatikal dan psikologis (Bowie, 1998). Hermeneutika gramatikal dan psikologis yang diistilahkannya, menekankan pada prinsip dan teori untuk mengungkap objek hermeneutik. Keduanya berjalan beriringan dan tidak memposisikan lebih penting satu daripada yang lainnya.

Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Alquran

Pada tataran gramatikal, keniscayaan seseorang dalam penguasaan kebahasaan pada objek yang diteliti menjadi sebuah keharusan. Penguasaan terhadap bahasa dari objek hermeneutika, menjadi kunci dalam hal ini. Semisal diterapkan pada Alquran, mufasir diharuskan menguasai seluruh aspek perkembangan bahasa Arab secara luas.

Sebab, bahasa Arab Alquran tidak dapat dilepaskan dari bahasa sebelum maupun yang berkembang dalam konteks masyarakat Arab Jahiliyyah. Toshihiko Izutsu mengkategorisasikanya menjadi tiga periode; pra-Qur’anik, Qur’anik, dan pasca-Qur’anik (Izutsu, 1997).

Pada tataran selanjutnya, aspek psikologis menjadi perangkat lain dalam pembacaan terhadap objek hermeneutika. Pembacaan menyeluruh dalam wilayah tekstualitas/kebahasaan dianggap tidak mencukupi adanya interpretasi/tafsir untuk memahami secara menyeluruh maksud atau kandungan teks. Hal ini dikarenakan, teks tidak berdiri sendiri, melainkan ada aspek penulis (pengarang) yang memungkinkan terjadinya pengaruh baik secara psikologis (kejiwaan) maupun sosiologis.

Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Alquran

Dalam aspek kedua ini, dianggap cukup problematik ketika diterapkan pada Alquran. Pembacaan psikologis yang diperuntukan bagi pengarang menjadi hal yang mustahil, sebab menempatkan pengarang, artinya memposisikan Tuhan sebagai objek yang terjangkau oleh upaya manusia.

Upaya yang dapat diperankan dalam prinsip psikologis ini menawarkan adanya penempatan asma’ al-husna sebagai pertimabangan dalam upaya memahami “psikologis” Allah. Di samping itu, pada konteks yang lebih luas mengarahkan adanya pemahaman terkait konteks historis makro maupun mikro yang membersamai setiap turunnya ayat Alquran (Syamsuddin, 2017).

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme

Dari kedua prinsip di atas, menjadi satu perangkat hermeneutika Schleiermacher yang ditekankan ketika berhadapan dengan Alquran. Keduanya penting untuk dielaborasi dengan memberikan alternatif-alternatif langkah agar tidak menghilangkan semangat objektivitas yang ingin diperoleh dari penggunaan teori ini.

Sehingga alih-alih menolak begitu saja, perlunya pendalaman dalam mengkompromikan dengan studi Alquran sehingga tidak menabrak prinsip-prinsip Islam itu sendiri menjadi sebuah keniscayaan. Mengkompromikan metode hermeneutika Schleiermacher menunjukan bahwa, meskipun studi ini tidak lahir dari rahim Islam, ia masih dapat diakomodasi dalam konstruksi pendekatan Alquran dengan cara memadukan prinsip-prinsip dasar pada ulumul Quran.

Intuisi: Anugerah Pengetahuan Lain Bagi Manusia

0
Intuisi: Anugerah Pengetahuan Lain Bagi Manusia
Intuisi: Anugerah Pengetahuan Lain bagi Manusia

Pengetahuan yang diperoleh manusia biasanya ada yang berawal dari pengalaman.  Pengetahuan ini berasal dari sensasi empirik. Ada pula, pengetahuan  berawal dari berpikir rasional dari sebuah pemahaman yang sudah ada, lalu dihubungkan pada objek yang lain. Pengetahuan seperti ini tidak terlepas dari alur logis yang mengantarkan pengetahuan lain dari pengetahuan sebelumnya. Selain kedua hal ini, ada yang dinamakan pengetahuan intuisi, yang dihasilkan dari perenungan mendalam disertai keterlibatan hati.

Mengulas Pengetahuan Intuisi

Ilmu psikologi pernah menunjukkan bahwa intuisi adalah suatu bentuk pengetahuan yang muncul dalam kesadaran tanpa pertimbangan yang jelas. Intuisi bukanlah sesuatu yang ajaib, melainkan sebuah kemampuan di mana firasat dihasilkan oleh pikiran bawah sadar yang dengan cepat memilah-milah pengalaman masa lalu dan pengetahuan kumulatif. Ia sering disebut sebagai “firasat”.

Intuisi cenderung muncul secara holistik dan cepat, tanpa kesadaran akan proses mental yang mendasari pemrosesan informasi. Para ilmuwan sebagaimana dilansir oleh https://www.psychologytoday.com/ telah berulang kali menunjukkan bagaimana informasi dapat masuk ke dalam otak tanpa disadari dan secara positif mempengaruhi pengambilan keputusan dan perilaku lainnya.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 164: Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Mereka menyebutkan bahwa intuisi bergantung pada kekuatan pikiran yang menyisir pengalaman yang tersimpan dalam memori jangka panjang untuk situasi yang serupa dan menyajikan penilaian saat itu juga berdasarkan pengalaman. Pemrosesan informasi otomatis yang mendasari intuisi dapat dilihat pada fenomena sehari-hari yang dikenal sebagai “hipnosis jalan raya”, yang terjadi ketika seorang pengemudi melakukan perjalanan bermil-mil tanpa berpikir secara sadar tentang aktivitas mengemudikan mobil.

Paul Jenkins dalam What is Intuitive Thinking (2023) menyebutkan bahwa pemikiran intuitif adalah jenis pemikiran dan proses pengambilan keputusan yang mengandalkan pemahaman dan perasaan naluriah. Cara ini sering digunakan untuk membuat keputusan cepat atau memecahkan masalah. Pemikir intuitif biasanya tidak membutuhkan banyak informasi atau penalaran sadar untuk sampai pada suatu kesimpulan. Hal ini dapat membuat pemikiran intuitif sangat membantu dalam situasi yang serba cepat dan penuh tekanan.

Masih menurutnya, intuisi dapat didefinisikan sebagai “perasaan tentang bagaimana sesuatu akan terjadi.” Hal ini terkait dengan wawasan dan bahkan kreativitas. Kadang-kadang orang menyebutnya sebagai “indra keenam.”

Intuisi adalah kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, tanpa menggunakan penalaran sadar atau membutuhkan penjelasan. Intuisi  memiliki karakteristik yang berbeda. Biasanya, intuisi ini berkaitan dengan pengetahuan bawah sadar; kognisi bawah sadar; firasat; penginderaan batin; wawasan batin untuk pengenalan pola bawah sadar; dan kemampuan untuk memahami sesuatu secara naluriah, tanpa memerlukan penalaran sadar.

Baca Juga: Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan

Pandangan Islam tentang Intuisi

Ada pernyataan menarik dari Rihab Said Aqil dan Abdul Mujib dalam Intuition in Islamic and Contemporary Psychology (2022). Mereka menyatakan bahwa intuisi dalam kajian psikologi didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang terakumulasi dari masa lalu dan tersimpan dalam memori. Berbeda dengan perspektif Islam, intuisi didasarkan pada pengalaman pengungkapan spiritual yang berasal dari karunia Ilahi.

Beberapa ayat Alquran menegaskan bahwa akal mampu mencapai kebenaran mengenai keberadaan Tuhan dan beberapa sifat universal-Nya. Mahmud dalam al-Islam wa al-‘Aql (1995) berpendapat bahwa ayat-ayat Alquran ini adalah salah satu bukti bahwa akal mampu mencapai kebenaran dengan merenungkan ciptaan-ciptaan Allah karena semua itu merupakan indikasi keberadaan Allah. Dia lebih lanjut mengklaim bahwa ketidakmampuan untuk memahami Kebenaran merupakan indikasi kelemahan akal.

Dari ayat-ayat Alquran, kita dapat mengetahui bahwa mereka yang tidak memandang alam semesta dan pengalaman manusia sebagai tanda-tanda Allah tidak menggunakan akalnya secara penuh. Sebuah tanda seharusnya mengarahkan manusia ke tempat tujuan, bukan menunjuk ke arah dirinya sendiri. Manusia yang berakal sehat membaca fenomena alam sebagai tanda-tanda yang mengarah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, bukan hanya kepada diri mereka sendiri.

Pengetahuan spiritual hanya mungkin dicapai melalui kecerdasan yang lebih tinggi atau ‘aqlī-kullī, sebagaimana disebut oleh Naumana dalam Psyche In Islamic Gnostic and Philosophical Tradition (2021). Manusia memiliki potensi untuk mengetahui kebenaran spiritual, tetapi hanya mereka yang menggunakan kecerdasan lebih tinggi yang akan menemukan kebenaran. Mereka yang tidak menggunakan kecerdasan akan menerima hukuman. Alquran menginformasikan bahwa di akhirat, mereka yang berada di neraka akan menyesal karena tidak menggunakan kecerdasan mereka; “Seandainya kami tidak mendengarkan atau menggunakan akal kami, niscaya kami tidak akan termasuk penghuni-penghuni api neraka”

Baca Juga: Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran

Dari ayat ini, untuk mengetahui kebenaran hakiki manusia memperolehnya darib pengajaran (mendengarkan) orang-orang yang memiliki otoritas dalam ilmu agama (seperti para nabi, juga  dengan menggunakan akalnya. Beberapa ayat-ayat Alquran telah memverifikasi bahwa pikiran manusia memiliki potensi untuk memahami kebenaran spiritual melalui pemikiran yang baik.

Melalui kecerdasan yang lebih tinggi, manusia mampu memahami sumber pengetahuan tertinggi, yaitu firman Allah yang diwahyukan kepada manusia melalui para nabi. Selain itu, akal juga mampu melakukan intuisi yang merupakan pengetahuan langsung tentang Allah  dan pemahaman langsung tentang hikmah. Pengetahuan ini datang kepada sebagian hati melalui wahyu Ilahi (ilḥam) dengan cara penyingkapan langsung (mubāda’ah) atau mukāsyafah), dan bagi sebagian yang lain, pengetahuan ini adalah sesuatu yang harus dipelajari dan diperoleh.

Kaitan antara intuisi dengan spiritual cukup dekat. Dalam hal ini, intuisi berhubungan dengan pemikiran spiritual yang berasal dari proses merenung untuk memahami tujuan dan hikmah yang mendasari dunia yang tampak dan pengalaman manusia dengan mengingat Allah Swt dan menyucikan hati.  Lebih lanjut, kedalaman dan kekuatan kontemplasi dapat dicapai melalui penekanan pada pengamatan alam semesta yang terlihat untuk memahami yang gaib (min syahadah ila ghaib).

Wallahu A’lam

Agresi Israel di Palestina Merupakan Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)

0
Agresi Israel di Palestina Merupakan Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)
Agresi Israel di Palestina Merupakan Kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Crime)

Pada saat tulisan ini dibuat, ada 10.719 jiwa dari penduduk Palestina meninggal dunia akibat agresi Israel di wilayah Palestina. Mayoritas dari korban jiwa tersebut adalah warga sipil (masyarakat biasa), mulai dari anak-anak, orang dewasa hingga orang tua (lansia). Di samping itu, setidaknya ada 28.872 korban luka dari penduduk Palestina.

Agresi Israel terhadap penduduk Palestina, baik terhadap kelompok militer maupun warga sipil, adalah genosida terang-terangan dan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, agresi Israel bisa dikatakan sebagai kejahatan yang melampaui kejahatan luar biasa, karena mereka dengan sengaja membantai warga sipil yang seharusnya dilindungi, walaupun dalam peperangan.

Baca Juga: Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Korban jiwa akibat agresi Israel diperkirakan akan terus bertambah seiring kebiadaban pemerintah Israel dan negara-negara yang mendukungnya, termasuk Amerika Serikat yang secara finansial membantu mereka. Korban jiwa ini tidak hanya akibat dari serangan langsung Israel, melainkan juga akibat dari penyebaran penyakit, karena penduduk Palestina kekurangan obat dan air bersih.

World Health Organization (WHO) melaporkan blokade total yang dilakukan terhadap penduduk Palestina selama agresi Israel menyebabkan berbagai krisis, termasuk krisis pangan, obat-obatan dan air bersih. Sejak pertengahan Oktober, tercatat setidaknya ada lebih dari 33.500 laporan kasus diare, dan yang lebih mirisnya itu semua terjadi paling banyak pada balita.

Tidak hanya sampai di situ, selain membantai penduduk Palestina, agresi Israel juga membumi hanguskan fasilitas umum, mulai dari pusat pemerintahan, sekolah, universitas rumah sakit, hingga gudang obat-obatan. Yang lebih kejam lagi, Menteri Israel mengancam akan menjatuhkan Bom Nuklir ke wilayah Palestina. Tindakan ini sungguh telah melampaui batas.

Berdasarkan fakta dan data-data di atas, sudah sepantasnya penduduk muslim dunia mengecam dan menentang agresi Israel di wilayah Palestina. Ini bukan hanya soal solidaritas kepada sesama muslim, melain juga solidaritas kepada kemanusiaan. Agresi Israel terhadap penduduk Palestina merupakan kejahatan luar biasa yang menginjak-injak kemanusiaan secara terang-terangan.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 32: Yang Lebih Penting dari Pemimpin Adalah Kebijakan yang Berpihak kepada Rakyat

Membunuh Orang Yang Tidak Bersalah Merupakan Dosa Besar Tak Terkira

Tindakan membunuh manusia yang tidak bersalah sebagaimana yang terjadi dalam agresi Israel di wilayah Palestina merupakan dosa besar yang dilarang keras dalam ajaran Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam QS. Almaidah [5]: 32 yang menerangkan bahwa membunuh orang yang tidak bersalah adalah dosa besar yang tidak terkira. Firman Allah Swt.:

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.

Secara umum, QS. Almaidah [5]: 32 menegaskan bahwa seseorang yang membunuh orang yang tidak bersalah (tanpa alasan yang benar secara syariat), maka dia seakan-akan telah membunuh semua manusia. Perumpamaan ini dibuat untuk menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap orang yang tidak bersalah merupakan perbuatan dosa yang begitu besar.

Kemudian, QS. Almaidah [5]: 32 menjelaskan bahwa siapa yang memelihara kehidupan seseorang (menjaga atau melindung hidup manusia), maka sekan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Ungkapan ini menunjukkan bahwa melindungi kehidupan seseorang merupakan perbuatan yang amat terpuji di sisi Allah Swt.

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, QS. Almaidah [5]: 32 merupakan ketetapan Allah Swt. kepada Bani Israel, bahwa mereka tidak boleh membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan syariat karena nyawa manusia teramat penting. Mereka diminta untuk menghargai setiap nyawa manusia, karena itu adalah anugerah dan ketentuan Allah Swt.

Pandangan senada disampaikan oleh al-Tsa’labi dalam al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an. Menurutnya, QS. Almaidah [5]: 32 memaparkan bahwa orang yang dengan sengaja membunuh seorang manusia yang tidak memiliki kesalahan, baik qishash membunuh atau kafarat zina muhsan, maka orang tersebut sama saja hukumnya dengan membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, orang yang melindungi kehidupan seseorang, maka ia dianggap melindungi seluruh manusia.

Sedangkan Abu Nashr al-Maturidi menegaskan, QS. Almaidah [5]: 32 bermakna siapa yang menghalalkan untuk membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka seakan-akan ia telah menghalalkan untuk membunuh seluruh manusia. Baginya, kasus ini serupa dengan kasus kekufuran di mana seseorang yang kafir terhadap satu ayat Allah Swt sama saja dengan kafir terhadap seluruh ayat-ayat-Nya (Tafsir al-Maturidi [3]: 501).

Baca Juga: Surah Asy-Syura [42] Ayat 39-43, Warga Palestina Boleh Membela Diri!

Jika merujuk pada pandangan al-Maturudi, maka dapat simpulkan bahwa orang yang membunuh atau yang mendukung pembunuhan terhadap seseorang yang tidak bersalah, maka ia seakan-akan atau sama dengan membunuh seluruh manusia. Sebaliknya, orang yang melindungi atau mendukung perlindungan terhadap kehidupan seseorang, maka ia seakan-akan atau sama dengan melindungi seluruh manusia.

Dalam konteks agresi Israel kepada penduduk Palestina, orang yang mendukung tindakan genosida tersebut, maka ia sama berdosanya dengan para pelaku genosida. Artinya, orang-orang, kelompok-kelompok, dan negara-negara yang mendukung kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dilakukan Israel dapat dianggap bersalah secara tidak langsung, karena dukungan mereka mengekalkan tindakan tidak manusiawi Israel.

Di sisi lain, berdasarkan pandangan al-Maturudi, orang yang mengharamkan tindakan genosida atau mengecam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dilakukan Israel, maka ia turut serta dalam melindungi kemanusiaan. Artinya, orang-orang, kelompok-kelompok, dan negara-negara yang mendukung kedamaian bagi penduduk Palestina dapat dianggap sebagai pembela kemanusiaan.

Dengan demikian, sudah selayaknya penduduk muslim dunia mengambil posisi yang benar, yakni membela penduduk Palestina yang sedang tersiksa akibat agresi Israel di wilayah Palestina. Dukungan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sesuai kemampuan masing-masing individu, baik melalui materi maupun non-materi. Semoga penduduk Palestina segera mendapatkan kemerdekaan dan kedamaian. Aamiin.

Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 2)

0
Kriteria pemimpin ideal dalam Alquran
Kriteria pemimpin ideal dalam Alquran

Dalam tulisan sebelumnya, sudah diterangkan beberapa kriteria pemimpin ideal yang disarikan dari kisah Raja Thalut. Beliau adalah seorang raja yang berkuasa atas Bani Israil sebelum Nabi Dawud a.s. serta yang memimpin Bani Israil berperang melawan pasukan Raja Jalut. Dengan wawasan yang luas serta kondisi fisik yang prima, Raja Thalut berhasil menorehkan kemenangan dalam peperangan besar melawan Raja Jalut dan pasukannya.

Di bawah ini, akan dipaparkan beberapa kriteria pemimpin ideal yang diperas dari kisah Nabi Yusuf a.s. dan Nabi Dawud a.s. Keberhasilan beliau berdua dalam memimpin umat tentu dikarenakan karakter-karakter leadership yang Allah swt. anugerahkan kepada beliau berdua.

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Nabi Yusuf a.s.; Menteri yang Kompeten dan Kredibel

Kisah Nabi Yusuf a.s. merupakan kisah yang paling lengkap dalam Alquran serta berhasil mengaduk-aduk emosi pembacanya. Bak sebuah novel, kisah Nabi Yusuf ini satu-satunya kisah dalam Alquran yang diceritakan lengkap dari awal sampai akhir dan diakhiri dengan happy ending di bagian akhir surah.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Nabi Yusuf. Salah satunya adalah keberhasilannya dalam memanage perekonomian negara. Di bawah otoritasnya, negara mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi bahkan menjadi pusat ekonomi yang dapat bertahan di musim paceklik pada waktu itu. Hal ini tentu karena kebijakan-kebijakanya yang visioner sehingga berhasil mengantarkan negara menuju kejayaan dan kegemilangan.

Keberhasilan Nabi Yusuf as. dalam mengelola perekonomian negara dikarenakan sifat amanah dan kepiawaian beliau dalam membuat kebijakan-kebijakan. Hal ini terkonfirmasi dalam Alquran, surat Yusuf ayat 55,

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ [يوسف: 55]

Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.” Q.S. Yusuf [12]: 55

Ayat tersebut mengisahkan tawaran Nabi Yusuf as. kepada raja agung untuk melantiknya sebagai menteri yang mengelola dan mengatur urusan perekonomian negara. Hal tersebut terjadi setelah beliau keluar dari penjara dan menghadap raja. Sang raja pun tertarik dengan sikap Nabi Yusuf a.s. yang sangat santun serta tutur kata yang fasih dan terstruktur. Kemudian dengan niat untuk menyelamatkan perekonomian negara serta kemaslahatan orang banyak, beliau menawarkan diri untuk dijadikan sebagai menteri keuangan dan pangan.

Pengajuan diri Nabi Yusuf a.s. sebagai menteri keuangan dan pangan bukan dalam rangka mencari kedudukan duniawi, melainkan untuk kemaslahatan umum dan supaya urusan negara dipegang oleh orang yang tepat. Hal ini karena beliau sendiri memang dianugerahi kredibilitas dan kapabelitas dalam urusan perekonomian negara.

Dari sini, bisa dikatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah serta memiliki pandangan-pandangan visioner. Hal ini diperlukan terutama untuk membangun perekonomian negara serta memberantas kemiskinan yang terjadi di berbagai sudut negara. sikap amanah ini tentunya merupakan karakter wajib yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena tanpa hal tersebut rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau bahkan korupsi yang sangat merugikan negara.

Baca Juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Nabi Dawud a.s.; Figur Pemimpin Adil

Nabi Dawud a.s. merupakan sosok nabi yang memiliki dua kemuliaan sekaligus. Sama seperti putranya, Nabi Sulaiman a.s., beliau adalah seorang nabi dan rasul yang sekaligus menjadi seorang raja. Di bawah kekuasaannya, Bani Israil memperoleh kemenangan dan kemajuan di berbagai bidang, rakyatnya dapat merasakan keadilan. Hal ini karena Allah Swt. telah memerintah Nabi Dawud a.s. untuk berlaku adil kepada manusia. Dalam surat Shad ayat 26, Allah swt. berfirman,

يَادَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ [ص: 26]

Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”Q.S. Shad [38]: 26

Menurut Ibnu Kartsir, ayat di atas menjadi wasiat dan landasan normatif bagi para hakim atau pemegang kekuasaan untuk berlaku adil dalam setiap keputusan yang dibuat. Keputusan yang dibuat berdasarkan hawa nafsu akan menjerumuskan kepada kesesatan dan tentunya siksa yang pedih sudah dipersiapkan di akhirat bagi pemimpin yang tidak berlaku adil. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hal. 62].

Objektifitas seorang hakim atau pemimpin dalam mengambil sebuah keputusan tidak boleh luntur karena faktor-faktor pribadi. Ketika menyelesaikan sebuah sengketa misalnya, dia harus berpedoman pada bukti-bukti lapangan yang objektif alih-alih memutuskan berdasarkan kecenderungan pribadi.

Nabi saw. bersabda,

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ، فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

Hakim itu ada tiga (golongan). Satu golongan di surga, sedangkan dua golongan lainnya di neraka. Golongan hakim yang ada di surga adalah hakim yang tau kebenaran dan memutuskan berdasarkan kebenaran tersebut. sedangkan hakim yang tau kebenaran dan menyimpang (dalam membuat keputusan) dari kebenaran tersebut atau memutuskan tanpa dasar pengetahuan maka keduanya ada di neraka. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i.

Akhir kata, inilah kriteria pemimpin yang berhasil penulis elaborasi dari beberapa kisah dalam Alquran. Jadi, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kompeten, kredibel dan kapabel serta mampu berlaku adil. Kriteria seperti ini muncul karena seorang pemimpin dianggap layak untuk mengurusi kepentingan semua orang, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Wallah a’lam.

Kriteria Pemimpin Ideal dalam Alquran (Bagian 1)

0
Kriteria pemimpin ideal dalam Alquran
Kriteria pemimpin ideal dalam Alquran

Saat ini kita sedang menyaksikan kontestasi para calon pemimpin yang tidak lama lagi akan dipilih secara demokratis oleh seluruh maysrakat Indonesia. Para tim sukses berusaha keras menggalang dukungan massa agar pasangan calonnya dapat duduk di kursi pemerintahan. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu harus cerdas dalam menentukan pilihan agar negara dalam lima tahun kedepan dipimpin oleh pemimpin yang tepat.

Keberadaan seorang pemimpin dalam sebuah komunitas adalah sebuah keniscayaan. Sebab, harus ada sosok yang mewakili kepentingan bersama sehingga tercapai kesejahteraan serta kerukunan di dalam komunitas tersebut. Dengan demikian, seorang pemimpin haruslah merupakan sosok yang kredibel dan kapabel agar dia bisa menjalankan amanah banyak orang.

Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak ditujukan untuk menjustifikasi atau mengunggulkan sosok pasangan tertentu. Namun, penulis hanya ingin mengelaborasi kriteria pemimpin ideal dalam Alquran yang secara tersirat terkandung dalam beberapa kisah dalam Alquran. Pada tulisan kali ini, ada tiga aktor dalam Alquran yang akan dijadikan rujukan; yaitu Raja Thalut, Nabi Yusuf dan Nabi Dawud.

Baca Juga: Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

Raja Thalut; Sosok Pemimpin yang Berwawasan Luas

Dalam sejarah Bani Israil, Raja Thalut merupakan seorang raja yang dipilih secara langsung oleh Allah swt., sebagaimana diceritakan dalam Alquran, surah al-Baqarah ayat 247,

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ  (البقرة: 247)

“Dan nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut menjadi rajamu.” Mereka menjawab, “Bagaimana Talut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi) menjawab, “Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.” Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” Q.S. Al-Baqarah [02]: 247

Dikisahkan bahwa ketika Nabi Samuel mengumumkan pengangkatan Thalut sebagai raja untuk memimpin Bani Israil dalam peperangan dan urusan lain, mereka ingkar dan menolak untuk baiat kepada Raja Thalut. Hal ini disebabkan karena Thalut sendiri adalah seorang pengembala miskin serta bukan keturunan orang terpandang. Sedangkan dalam tradisi orang Yahudi, pemimpin harus berasal dari Klan Yahudza, sebagaimana kenabian didominasi oleh klan Lawa. (Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 3, hal. 245)

Ayat ini sekaligus membantah anggapan bahwa kepemimpinan itu merupakan warisan. Kelayakan seorang pemimpin bukan dilihat dari keturunan dan nasab melainkan karena dia memiliki karakter-karakter atau jiwa kepemimpinan sehingga dia dapat melaksanakan tugas dan amanah dengan baik. Dalam ayat tersebut, Allah swt. memilih Thalut sebagai raja dengan alasan بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ (punya wawasaan luas dan fisik yang kuat).

Baca Juga: Inilah 4 Karakter Kepemimpinan Transformatif Menurut Al Quran

Syaikh Musthafa al-Maraghi merumuskan setidaknya ada beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam ayat tersebut. Pertama, mentalitas kepemimpinan atau kesiapan secara mental. Ini menjadi syarat fundamental bagi seorang pemimpin. Kedua, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, terutama menyangkut problematika umat sehingga dapat menemukan solusi yang tepat dan efektif untuk permasalahan tersebut.

Ketiga, sehat secara fisik. Seorang pemimpin yang menjalankan tugas negara tentu harus sehat secara jasmani. Pemimpin dengan postur tubuh kuat tentu akan sangat efektif dalam menjalankan tugas keamanan negara. Agaknya memang kurang ideal jika seorang pemimpin adalah orang yang lemah secara fisik apalagi sakit-sakitan.

Kelima, taufik atau bimbingan ilahi dalam menjalankan tugas-tugas negara, karena alam semesta ini adalah milik Allah swt. maka yang berhak memberikan mandat kekuasaan untuk mengurusi kepentingan umat adalah Allah swt. (Tafsir al-Maraghi, juz 2, hal. 218)

Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa pemimpin ideal yang tercermin dalam figur Raja Thalut adalah mereka yang memiliki kompetensi yang mumpuni untuk urusan kepemimpinan. Pemimpin tidak harus kaya, tidak disyaratkan pula harus berdarah biru, akan tetapi, kemampuan secara fisik dan mental untuk memimpin umat ditambah lagi dengan pengetahuan serta wawasan yang luas merupakan karakter dasar yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Wallah a’lam

Pandangan Para Mufasir Mengenai Penyakit Nabi Ayub a.s.

0
pandangan mufasir tentang penyakit Nabi Ayub
pandangan mufasir tentang penyakit Nabi Ayub

Nabi Ayub a.s. merupakan nabi sekaligus rasul yang terkenal dengan kesabarannya menghadapi ujian. Kisah Nabi Ayub tersebut diceritakan dalam Alquran antara lain di surah Al-Anbiya’ [21] ayat 83-84. Dikisahkan bahwa Nabi yang diutus di kalangan Bani Israil tersebut pada mulanya dianugerahi kenikmatan dunia yang melimpah, berupa anak keturunan, harta benda, serta kehidupan yang sejahtera.

Kisah Nabi Ayub ini kemudian berlanjut pada babak ujian dari Allah swt. Kenikmatan yang Allah berikan kemudian diganti dengan bala bencana berupa kemiskinan, kesendirian dan penyakit di tubuh. Derita dan cobaan kehidupan tersebut diproyeksikan untuk menguji kesabaran Nabi Ayub a.s.

Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Penyakit Nabi Ayub dan Status Kenabiannya

Episode demi episode kisah Nabi Ayub tidak dijelaskan secara lengakp dalam Alquran. Karenanya, ulama tafsir berbeda-beda pandangan dalam menuturkan dan melengkapi kisah hidup beliau. Penafsiran kisah Nabi Ayub dalam beberapa kitab tafsir sebagain bersumber dari riwayat hadis atau atsar (meskipun sifatnya ahad), dan tidak sedikit pula yang berasal dari riwayat-riwayat israiliyat.

Imam Ibnu Katsir, misalnya, dalam kitab tafsirnya menceritakan rupa kondisi fisik Nabi Ayub a.s. ketika menjalani masa ujian dari Allah. Ibnu Katsir mengutip satu keterangan bahwa penyakit yang diidap oleh Nabi Ayub saat itu adalah kusta yang tidak menyisakan seluruh tubuhnya kecuali hati dan lisan beliau saja. Bahkan beliau mengutip keterangan dari as-Suddi bahwa penyakit yang diderita Nabi Ayub as. sampai mengakibatkan kulit dan daging beliau rontok berjatuhan sehingga yang tersisa hanya urat dengan tulang. [Tafsir al-Quran al-Adzim, juz 5, hal. 359-360].

Kisah serupa juga banyak dikutip oleh para mufasir lain, namun dengan versi yang beragam. Bahkan ada yang mengabarkan kondisi tubuh beliau yang dikerumuni ulat saking kronisnya penyakit kulit yang diderita.

Selain itu, ada pula di kalangan ulama tafsir yang menolak riwayat-riwayat mengenai detail kondisi fisik Nabi Ayub. Sebab, Alquran hanya mengisahkan secara garis besarnya saja tetapi tidak menjelaskan seperti apa kondisi beliau.

Menurut Syaikh Musthafa al-Maraghi, riwayat-riwayat mengenai kondisi fisik Nabi Ayub a.s. yang sampai membuat orang jijik sehingga masyarakat mengasingkannya ke pinggiran kota merupakan kisah-kisah israiliyat yang tidak daat dipertanggungjawabkan validitasnya. Lagipula, syarat seorang nabi adalah terbebas dari sifat-sifat buruk yang membuat orang jijik dan menghindar. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 61].

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 80-83

Hal serupa juga disampaikan oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, penyakit yang diderita Nabi Ayub a.s. adalah penyakit kulit yang bisa disembuhkan dengan mata air alami yang mengandung zat-zat tertentu. Meski diakui bahwa Nabi Ayyub as. cukup lama menderita penyakit tersebut, tetapi yang harus diyakini adalah bahwa hal itu tidak sampai membuat orang jijik dan tidak mau mendekat, karena syarat mutlak seorang utusan adalah tidak dihinggapi penyakit atau hal-hal yang dianggap jijik secara tabiat manusia. [Tafsir al-Munir, juz 23, hal. 207].

Imam al-Alusi juga menegaskan bahwa riwayat-riwayat mengenai kondisi fisik Nabi Ayyub a.s. tidak dapat diyakini kebenarannya, sehingga pendapat yang seyogyanya dijadikan pedoman adalah riwayat tentang sakitnya Nabi Ayub a.s. tetapi tidak sampai kondisi membuat orang lain jijik dan menjauh.

Imam al-Alusi juga mengutip pendapat dari at-Tabrasi yang mengatakan bahwa pendapat yang benar adalah para nabi tidak mungkin dihinggapi sifat-sifat hina yang sampai membuat orang jijik dan menghindar. Adapun kemiskinan, sakit dan ditinggal keluarga dan pengikut, barangkali itu merupakan ujian tersendiri dari Allah swt. [Ruh al-Ma’ani, juz 12, hal. 199].

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 84-86

Mengenai Sifat-Sifat Kemanusiaan Nabi

Nabi dan rasul yang diutus untuk menyampaikan ajaran tauhid adalah seorang manusia sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka makan, minum, menikah dan melakukan interaksi sosial dengan sesama. Namun, di balik itu semua, para nabi adalah manusia sempurna yang terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan yang dapat menurunkan wibaya dan kemuliaannya sebagai seorang utusan ilahi. Maka dari itu, termasuk sifat mustahil bagi nabi adalah dusta, khianat, tidak melaksanakan tugas dakwah dan dungu.

Selain itu, seorang nabi dan rasul juga dipelihara oleh Allah swt. dari hal-hal atau sifat-sifat yang dapat menurunkan harkat dan martabat beliau sebagai nabi. Dalam Nadzam Aqidatul Awwam, Syaikh al-Marzuqi menyebutkan,

وَجَـائِزٌ فِي حَـقِّهِمْ مِنْ عَرَضِ * بِغَيْـرِ نَقْصٍ كَخَـفِيْفِ الْمَرَضِ

Dan boleh dalam diri para nabi berupa sifat-sifat yang tidak mengindikasikan kekurangan seperti sakit ringan.

Kalangan Ahlu al-Sunnah meyakini bahwa para nabi memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti dihinggapi penyakit tetapi dengan batasan yang tidak menghilangkan wibawanya sebagai nabi. Syaikh Nawawi Banten, ketika mensyarahi nadzam (bait syai’r) di atas, mengatakan bahwa adalah sebuah kemustahilan, seorang nabi menderita penyakit-penyakit keras yang menjijikkan seperti kusta, lepra dan penyakit menjijikkan lainnya. Sebab itu dapat merusak kehormatannya sebagai utusan Allah. [Nur al-Dzalam, hal. 11]

Alhasil, kita memang perlu selektif dan lebih teliti dalam membaca kisah para nabi dan umat terdahulu yang dikisahkan di berbagai turats (baik kitab tafsir maupun kitab-kitab yang memuat kisah umat terdahulu). Pasalnya kisah-kisah yang banyak beredar memang sering kali disusupi oleh riwayat-riwayat Israiliyat yang validitasnya masih dipertanyakan, sehingga langkah paling tepat adalah tidak meyakini kebenaran kisah tersebut, terutama kisah-kisah yang kontradiktif dengan aqidah dan syariat Islam. Wallah a’lam.

Tafsir Surah An-Najm [53]: 39-40; Kaitan Erat antara Keberhasilan dan Usaha

0
bahwa usaha Tafsir Surah An-Najm [53]: 39-40; Kaitan Erat antara Keberhasilan dan Usahasebenarnya berkaitan erat dengan keberhasilan. Jika belum berhasil, artinya ada upaya yang belum atau tidak dilakukan.
Tafsir Surah An-Najm [53]: 39-40; Kaitan Erat antara Keberhasilan dan Usaha

Keberhasilan atau kesuksesan menjadi hal yang diinginkan bagi setiap orang. Dalam meraih kesuksesan tidaklah mudah. Banyak rintangan yang harus dihadapi sehingga butuh usaha untuk meraihnya. Tapi bagaimana dengan mereka yang sudah berusaha tapi belum juga meraih kesuksesan? Apakah hasil itu mengkhianati usahanya? Sebenarnya tidaklah hasil yang mengkhianati usahanya, melainkan hasil itu sesuai dengan apa yang diusahakannya. Hal ini sebagaimana bunyi dari surah An-Najm [53]: 39-40.

  (39) وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

     (40) وَأَنَّ سَعْيَهُۥ سَوْفَ يُرَىٰ

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, (39) Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya) (40)

Asbabun nuzul ayat di atas tidak terlepas dari rangkaian ayat 33-41 dari surah ini yang berkenaan dengan Walid bin Mughirah. Mujahid dan Ibnu Zaid dalam riwayat Al Wahidi dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa waktu itu Walid telah memeluk Islam, namun dikecam oleh kaum musyrikin. Sebagian dari mereka berkata, “Mengapa kamu meninggalkan agama leluhur dan mengatakan bahwa mereka adalah sesat?”.

Walid bin Mughirah lantas menjawab, “Aku takut dengan azab Allah Swt.” Atas dasar itu, mereka berkata kepada Walid bahwa jika ia diberi harta dan kembali ke agama leluhur, mereka bersedia menanggung azab Allah untuk dirinya. Walid pun memberikan hartanya. Kemudian Allah menurunkan rangkaian ayat ini.

Baca Juga: Teguh Pangkal Keberhasilan

M. Quraish Shihab menjelaskan huruf lam pada kata li al-insān yang berarti memiliki. Kepemilikan dimaksud adalah kepemilikan hakiki, yang senantiasa selalu menyertai manusia sepanjang eksistensinya. Hal itu adalah amal-amal baik dan buruk.

Karena itu, manusia tidak akan memiliki dosa dan mudharat yang dilakukan orang lain, ia pun tidak akan meraih manfaat dari amal baiknya, sehingga manusia hanya memiliki apa yang diusahakannya. Dari usaha itu akan diperlihatkan apa yang dikerjakannya, sehingga ia akan berbangga dengan amal baiknya dan menjauhi amal buruknya (Tafsir Al-Misbah, Vol. 13, 433-434).

Buya Hamka juga menjelaskan bahwa setiap manusia memikul tanggungjawabnya sendiri-sendiri, tidak boleh orang lain memikulnya. Maka bagi yang malas dalam pekerjaannya akan mendapat hasil yang sedikit (Tafsir Al-Azhar, 7011-7012).

Tak hanya sekadar balasan duniawi, tapi juga balasan akhirat. Seperti dalam surah Alisra’ [17]: 19.

Siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, dan dia adalah mukmin, mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.

Baca Juga: Surah Al-Balad Ayat 12-17: Demi Mencapai Kesuksesan Ukhrawi

Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa jika tujuannya beramal saleh untuk mendapatkan pahala akhirat dengan sungguh-sungguh dalam usaha, taat serta beriman kepada Allah, maka ialah yang diterima amal salehnya, tersimpan di sisi Tuhan mereka dan akan memperoleh balasan atas amal itu.

Kesuksesan seseorang membutuhkan berbagai upaya yang tidak mudah dan singkat. Salsabila Ayu dalam bukunya Dare to Change, Berubahlah! Karena Keberhasilan Anda Esok Hari, Ditentukan Oleh Apa Yang Anda Lakukan Hari Ini menjelaskan bahwa kesuksesan atau kegagalan adalah pilihan. Jadi, tidak ada alasan untuk menyalahkan orang lain atas segala kondisi yang ada. Sederhananya, kesuksesan adalah buah dari apa yang diupayakan sedangkan kegagalan adalah apa yang tidak diupayakan (hal. 8).

Hasil usaha berbanding lurus dengan gaya dan perpindahan untuk menempuh usaha tersebut. Indit Vaiqoh dalam artikelnya berjudul Keterkaitan Al-Qur’an dengan Usaha dan Energi dalam Ilmu Fisika menjelaskan bahwa jika seseorang menginginkan suatu hal, maka ia harus berusaha keras untuk mencapainya. Perpindahan dalam Islam itu sendiri dapat diibaratkan perubahan kedudukan sebagai hamba dihadapan Allah. Apakah seorang hamba semakin mendekat atau justru semakin menjauh. Semua itu tergantung pribadi kita sebagai hamba dengan melakukan usaha positif agar lebih dekat kepada Allah atau justru sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surah Allail [92]: 4; Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.

Tidak sedikit mereka yang jatuh bangun dalam meraih kesuksesannya. Kita bisa melihat Nabi Muhammad Saw. sebagai suri tauladan kehidupan manusia. Beliau butuh perjuangan untuk berdakwah dan menaklukkan kota Mekkah. Tidaklah sedikit waktu yang dilalui. Tidaklah sedikit tenaga yang dipakai. Tidaklah sedikit biaya yang dikeluarkan dalam misi dakwahnya. Jika dibayangkan, begitu berat perjuangan Nabi Muhammad Saw. Hal ini memberikan penilaian bahwa usaha yang Nabi Muhammad Saw lakukan tidaklah sia-sia, justru banyak yang masuk Islam karena kelembutan etika dan moral yang beliau sebarkan.

Baca Juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Sementara Peng Kheng Sun dalam bukunya 7 Hal Gratis Menentukan Kesuksesan Anda menjelaskan bahwa kesuksesan ide menjadi aspek penting dan bernilai dalam menentukan kesuksesan seseorang. Ide bisa menjadi tambang emas jika seseorang mampu mengeksplorasi dan mewujudkannya. Semakin banyak seseorang memiliki ide baru, semakin besar peluang orang tersebut meraih kesuksesannya.

Meski ide baru memang hal yang luar biasa, tapi ide merupakan sesuatu yang gratis. Artinya setiap orang sebenarnya bisa menghasilkannya. Namun ide tersebut tidak datang begitu saja seperti sinar matahari atau udara yang kita hirup. Setiap orang yang ingin mendapatkan ide-ide baru perlu berusaha. Janganlah pasif menunggu, tapi carilah ide itu dengan berbagai teknik berpikir kreatif. Dengan demikian, seseorang berpeluang melakukan perubahan-perubahan positif yang bermanfaat untuk setiap orang (hal. 2-4).

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa usaha sebenarnya berkaitan erat dengan keberhasilan. Jika belum berhasil, artinya ada upaya yang belum atau tidak dilakukan. Setiap apa yang diusahakan seseorang akan mendapatkan balasannya. Apalagi balasan di akhirat. Untuk itu, diharapkan dalam melakukan usaha secara sungguh-sungguh, sehingga balasannya nanti akan sesuai dengan usaha atau amal yang dilakukannya.

Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

0
Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina
Kisah Kedurhakaan Bani Israel Kepada Nabi Musa dalam Pembebasan Palestina

Genosida yang belakangan terjadi di wilayah Palestina menyita perhatian khalayak dunia, baik muslim maupun nonmuslim. Peristiwa ini merupakan sejarah kelam yang ke sekian kalinya terjadi di tanah yang dimuliakan tersebut (wilayah Palestina). Aktor utama di balik pembantaian tersebut adalah Zionis Israel, sebuah gerakan politik yang didirikan oleh seorang wartawan Yahudi bernama Theodor Herzl.

Zionis Israel merupakan gerakan nasionalis Yahudi yang bertujuan untuk menjadikan sebuah negara Yahudi eksklusif di wilayah Palestina. Mereka menyerukan kepada bangsa Yahudi untuk bermigrasi ke wilayah Palestina dengan tujuan kembali kepada tanah nenek moyang mereka, yakni Bani Israel, sebuah bangsa yang pada mulanya dimuliakan, tetapi kemudian terpuruk karena kedurhakaan kepada Allah Swt.

Bani Israel adalah salah satu bangsa yang paling sering disebutkan oleh Allah Swt. dalam Alquran. Kata “Bani Israel” Setidaknya telah dimuat secara eksplisit sebanyak 41 kali, dan 2 kali disebutkan dengan kata Israel saja. Bani Israel paling banyak disebut dalam lima surah, yakni al-Baqarah ayat 40-122, al-A’raf ayat 103-170, Taha ayat 9-79, al-Qasas ayat 2-46, dan al-Syu’ara ayat 10-86 (Mu’jam Mufahras fi Alfazh Al-Qur’an).

Baca juga: Penolakan atas Timnas Israel dan Refleksi Surah Al-Maidah Ayat 2 dan 8

Secara singkat, Bani Israel adalah persekutuan suku-suku berbahasa Semit pada zaman besi (the iron age) dari kawasan Timur dekat kuno yang menghuni wilayah Kanaan (wilayah Palestina) yang memiliki sistem kekuasaan kesukuan dan monarki. Naskah-naskah kitab suci–termasuk Alquran–menyebut mereka sebagai keturunan Nabi Ya’qub a.s. dari Nabi Ishaq a.s. dari Nabi Ibrahim a.s. (History of Banu Israel).

Kendati Bani Israel sering disebut dalam Alquran, tetapi bukan kesan positiflah yang dominan dirasakan dari penyebutan tersebut, melainkan nuansa kedurhakaan dan ketidaktaatan kepada Allah Swt. Hal ini ditandai dengan banyaknya narasi kritik dari Alquran terhadap sifat dan sikap sebagian orang Bani Israel yang sering mempertanyakan dan menentang perintah Tuhan.

Baca juga: Menelusuri Aspek Historis Firaun dalam Alquran

Jika ditelusuri dalam Alquran secara saksama, maka dapat ditemukan banyak ayat yang menjelaskan tentang kriminalitas dan kedurhakaan Bani Israel. Di antara mereka ada yang melakukan perbuatan syirik dengan menyembah berhala, ada yang mengubah catatan kitab suci, dan yang paling durhaka ada yang membunuh para nabi (The Children of Israel in the Quran).

Salah satu contoh kedurhakaan Bani Israel kepada Allah Swt. adalah peristiwa penyembahan Bani Israel terhadap patung anak sapi. Kejadian ini terjadi saat Nabi Musa a.s. melakukan perjalanan 40 hari untuk bermunajat kepada Allah Swt. dan tidak lama berselang setelah mereka diselamatkan oleh Allah dari kejaran bala tentara Firaun. Akibat kedurhakaan Bani Israel tersebut, mereka dilabeli oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim (Tafsir al-Tsa’labi: 195).

Kisah Kedurhakaan Bani Israel dalam Pembebasan Palestina

Setelah terbebas dari cengkeraman kekejaman kekuasaan Firaun, Bani Israel memasuki tahap baru kehidupan sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam fase ini, Allah Swt. memanggil Nabi Musa a.s. untuk menerima kitab Taurat sebagai panduan kehidupan Bani Israel. Akan tetapi, pada waktu itu mereka belum memiliki wilayah khusus-tetap untuk tinggal.

Pada fase baru ini Bani Israel mengalami berbagai kesulitan, baik pangan maupun tempat tinggal. Namun, mereka selalu dibantu oleh Allah Swt. melalui mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa a.s. di tengah masa sulit tersebut. Allah mendatangkan berbagai kenikmatan bagi mereka, termasuk makanan dan minuman. Akan tetapi bukan rasa syukur yang timbul, melainkan kedurhakaan Bani Israel terhadap perintah Tuhan.

Kedurhakaan Bani Israel kembali terulang manakala Allah Swt. memerintahkan mereka untuk melakukan pembebasan Palestina dari orang-orang kafir dan menjadikan wilayah Palestina sebagai tempat tinggal. Bani Israel menolak perintah tersebut karena takut berperang. Bahkan, mereka mengumpat kepada Nabi Musa a.s. dan menyuruhnya untuk berperang sendiri bersama Tuhan (Qashash al-Anbiya: 523).

Baca juga: Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Alquran dan Al-Kitab

Kedurhakaan Bani Israel ini terekam dalam Q.S. al-Maidah ayat 21 dan 22 yang berbunyi:

يٰقَوْمِ ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خٰسِرِيْنَ قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى اِنَّ فِيْهَا قَوْمًا جَبَّارِيْنَۖ وَاِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَا حَتّٰى يَخْرُجُوْا مِنْهَاۚ فَاِنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا فَاِنَّا دٰخِلُوْنَ

“Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi.” Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” (Q.S. Al-Maidah: 21-22).

Ibnu Katsir menuturkan, Q.S. Al-Maidah ayat 21 bercerita tentang perintah Allah melalui Nabi Musa kepada Bani Israel untuk berjihad melakukan pembebasan Palestina dari tangan orang-orang kafir. Hal ini dilakukan karena dahulu wilayah Palestina merupakan tanah milik Nabi Ya’kub dan karena di wilayah Palestina terdapat Baitul Maqdis, salah satu tempat suci bagi nabi terdahulu (Tafsir Alquran al-Azhim [3]: 73).

Kemudian–menurut Ibnu Katsir–pada Q.S. Al-Maidah ayat 22 disebutkan tanggapan dari Bani Israel. Mereka enggan untuk berperang atau berjihad di jalan Allah dalam pembebasan Palestina. Penyebab keengganan mereka berdasarkan riwayat setidaknya ada dua, yakni 1) takut dengan perlawanan orang-orang kafir; dan 2) para pemuka Bani Israel telah mendapatkan suap dari musuh yang seharusnya mereka lawan (Tafsir Alquran al-Azhim [3]: 75).

Baca juga: Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Alquran itu?

Penolakan terhadap perintah Allah ini merupakan kedurhakaan Bani Israel yang begitu terang-terangan, karena mereka menyuruh Nabi Musa untuk berperang sendiri. Alasan penolakan mereka juga mengada-ada, padahal Allah Swt. telah menjamin kemenangan bagi mereka pada waktu itu. Al-Alusi menyebut, pada Q.S. Al-Maidah ayat 21 Allah telah menegaskan kepastian kemenangan Bani Israel merebut wilayah Palestina jika mereka mau berjihad (Tafsir al-Alusi [3]: 258).

Dampak dari penolakan dan kedurhakaan Bani Israel tersebut, Allah Swt. kemudian menghukum mereka dengan larangan memasuki wilayah Palestina selama 40 tahun. Akibatnya, Bani Israel terluntang-lantung siang dan malam tanpa arah tujuan yang pasti di Padang Tieh, satu padang yang terletak di wilayah Palestina, hingga mereka semua meninggal dunia kecuali keturunan Yudha’ dan Kaalib (Qashash al-Anbiya: 527).

Kisah kedurhakaan Bani Israel yang banyak disebutkan dalam Alquran seyogianya menjadi pelajaran bagi umat Islam, bahwa jika manusia telah diberikan berbagai nikmat kehidupan, maka sudah sepantasnya mereka menaati perintah Allah Swt dalam segala kondisi. Sebaliknya, jika manusia melakukan dosa atau pembangkangan, maka sudah dipastikan mereka akan menghadapi siksa sebagaimana yang telah didapatkan oleh Bani Israel. Wallahu a’lam.