Beranda blog Halaman 54

Penjelasan Nabi Saw Tentang QS. Alnisa’ [4]: 123 Untuk Meredam Kesedihan Sahabat

0
Penjelasan Nabi Saw Tentang QS. Alnisa' [4]: 123 Untuk Meredam Kesedihan Sahabat
Penjelasan Nabi Saw Tentang QS. Alnisa' [4]: 123 Untuk Meredam Kesedihan Sahabat

Manusia tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Sebagai salah satu bentuk amal perbuatan, pelakunya akan mendapatkan balasan sesuai kadar kesalahannya tersebut. Dalam QS. Alnisa’ [4]: 123 dijelaskan bahwa siapapun yang melakukan kesalahan pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal, dan tidak akan ada penolongnya selain Allah Swt. Dalam memahami ayat tersebut, beberapa sahabat merasakan kerisauan yang luar biasa, hingga membuat mereka kerap bersedih. Lalu, Nabi Saw memberikan penjelasan terkait hal tersebut. Berikut ulasannya.

Sahabat adalah generasi yang paling paham terhadap Alquran dan paling sempurna dalam mengamalkan ajaran-ajarannya. Betapa tidak? Mereka berada di bawah bimbingan Rasulullah Saw langsung. Mereka – sebagaimana tulis Ahmad Khalil Jum’ah – saat mendengar wahyu yang dibacakan, seakan-akan wahyu tersebut turun kepada mereka langsung. Hal ini tidak lain karena Nabi sebagai panutan berada di hadapan mereka (al-Qur’an wa Aṣḥābu Rasūlillāh).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 123-124

Kendati menjadi generasi yang paling diakui pemahamannya terhadap Alquran, ada sebagian sahabat yang berlebihan dan ada pula yang kurang mampu bahkan keliru menangkap makna sebuah ayat. Semua ini tidak lepas dari kemampuan mereka secara individu dalam memahami ayat tersebut. Kisah Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, dan sahabat senior lain dalam memahami surat Alnashr sudah cukup sebagai gambarannya. Salah satu contoh kasus pemahaman sahabat terhadap ayat secara berlebihan adalah pemahaman mereka terhadap QS. Alnisa’ [4]: 123. Berikut redaksi ayat dan terjemahannya.

لَيْسَ بِاَمَانِيِّكُمْ وَلَآ اَمَانِيِّ اَهْلِ الْكِتٰبِ ۗ مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

(Pahala dari Allah) bukanlah (menurut) angan-anganmu dan bukan (pula menurut) angan-angan Ahlul Kitab. Siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan dibalas sesuai dengan (kejahatan itu) dan dia tidak akan menemukan untuknya pelindung serta penolong selain Allah.

Saat ayat ini turun, para sahabat merasa berat bahkan sampai ada kondisi yang tidak terduga. Mereka sering merasa dihantui atas kesalahan yang pernah mereka perbuat. Akhirnya, mereka melaporkan hal tersebut kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau pun menjawab “Berbuat baik dan mendekatlah! Karena pada setiap musibah yang menimpa orang Islam terdapat pelebur dosa. Bahkan sampai bencana yang menimpanya dan duri yang mengenainya.” Demikian informasi yang diriwayatkan Imam an-Nasa`i dari Sahabat Abu Hurairah (as-Sunan al-Kubrā, 10/72).

Baca Juga: Hidup itu Nikmat, Bukan Siksa

Dalam riwayat Ibn Murdawaih –sebagaimana kutip Ibn Qutaibah– para sahabat yang mendengar ayat ini menangis dan bersedih. Mereka berkata “Duhai Nabi, ayat ini tidak menyisakan suatu apapun.” Nabi menjawab “Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh ia seperti yang diturunkan. Tapi bergembiralah, mendekatlah, dan perbaikilah. Karena tidak ada satupun musibah yang menimpa kalian di dunia ini kecuali Allah menghapus satu kesalahan sebab musibah tersebut. Bahkan sampai duri yang menancap di kaki salah satu dari kalian”. (Taṣwībāt fī Fahm Ba’ḍ al-Āyāt. 38).

Senada dengan dua hadis di atas, Hannād as-Sirrī dalam kitab az-Zuhdu-nya menuturkan sebuah riwayat dari Sahabat Abu Bakar. Sebagai orang yang cerdas, sahabat yang paling mulia ini bertanya perihal solusi untuk kesalahan yang telah diperbuat selama ini. “Lantas bagaimana cara memperbaiki kesalahan setelah turunnya ayat ini? Setiap orang dari kami akan dihukum sebab kesalahan yang diperbuatnya”, tanya Abu Bakar. Nabi menjawab “Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar. Bukankah kamu pernah diuji dengan musibah? Bukankah kamu juga sakit? Bukankah kamu pernah bersedih? Bukankah kamu pernah tertimpa kesukaran?” Ia menjawab “Benar.” Kemudian Nabi menjelaskan “Itu adalah balasan untuk kalian.”

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 79: Manusia Bertanggung Jawab Atas Perbuatan Dosa

Kesimpulan

Melalui tiga riwayat di atas, para sahabat merasa tidak aman atas keburukan yang telah diperbuat. Mereka adalah orang yang tidak dijamin bebas dari kesalahan sebagaimana Rasulullah Saw dan nabi rasul yang lain. Ini adalah bentuk pengakuan tulus, ketawaduan mereka terhadap Allah, tidak adanya rasa sombong pada diri mereka meskipun sebagai generasi yang menemani perjuangan Nabi Saw dan memiliki amal yang luar biasa. Hal ini karena mereka memahami ayat tersebut dengan membayangkan balasan dan membawanya pada kehidupan akhirat. Mereka akan di siksa di neraka untuk setiap satu kesalahan.

Tidak demikian rupanya. Pemahaman mereka terhadap ayat ini keliru. Nabi menjelaskan dan menegaskan bahwa kesulitan, sakit, cobaan dan keburukan apapun yang menimpa mereka atau orang Islam di dunia ini, adalah bentuk balasan atas kesalahan yang diperbuat. Semua itu menjadi balasan Allah bagi orang yang dikehandaki kebaikan untuk-Nya. Bagi mereka, semua itu menjadi pelebur kesalahan. Mengenai balasan Allah ini, Sayyidah A‘isyah menuturkan bahwa ketetapan Allah tidak akan pernah berubah. Suatu perbuatan akan dibalas oleh-Nya. orang yang melakukan kebaikan, akan dibalas dengan kebaikan. Dan orang yang melakukan keburukan akan dibalas dengan keburukan pula. Bagi Allah tidak ada pertukaran. Tidak ada penggantian ketetapan. Dan tidak ada yang mampu menolak keinginan-Nya. (Taṣwībāt fī Fahm Ba’ḍ al-Āyāt. 40).

Wallahu a’lam…

Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

0
Pesan Dakwah Gus Baha' Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir
Gus Baha.

Sudah jamak diketahui bahwa Alquran diturunkan dengan bahasa Arab dengan kandungan sastra yang begitu tinggi. Sebagai sumber ajaran Islam, setiap muslim dituntut untuk memahami kandungan Alquran untuk kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk memahami pesan-pesan dan ajaran-ajaran Alquran, seseorang memerlukan berbagai disiplin ilmu sebagai instrumen untuk membantu memahami Alquran agar sampai pada kesimpulan yang benar. Salah satu ilmu yang harus dikuasai ketika belajar tafsir Alquran adalah ilmu fikih dan usul fikih.

Adalah Gus Baha, seorang kiai yang diakui kealimannya di bidang fikih dan tafsir pernah menyampaikan tentang kaitan antara fikih dan tafsir Alquran. Dalam suatu kesempatan ketika mengisi kuliah umum di Ma’had Aly Situbondo, beliau menegaskan bahwa betapa pentingnya memahami Alquran dengan basis fikih yang kuat.

Kepakaran beliau dalam menafsiri Alquran agaknya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan Quraish Shihab pun mengakui beliau sebagai orang yang memahami detail-detail Alquran sekaligus kandungan fikih di dalam ayat-ayatnya.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Namun uniknya, sebagai seorang yang diakui ahli di bidang tafsir Alquran, beliau mengakui bahwa kepakaran beliau dalam bidang tafsir adalah buah dari pemahaman yang mendalam dalam bidang fikih. Menurut beliau, orang akan rentan salah paham ketika membaca atau memahami Alquran tanpa basis fikih yang kuat. Sehingga, kalo orang mau belajar tafsir Alquran terlebih dahulu harus memiliki basis fikih yang kuat. Bahkan beliau sempat berpesan kalau mau jadi orang alim dalam tafsir Alquran minimal harus setengah hafal kitab I’anah al-Thalibin.

Memahami fikih sebagai basis mempelajari Alquran dapat meminimalisasi kesalahpahaman terhadap ayat-ayat yang menggunakan redaksi yang tidak lumrah. Terutama dalam memahami ayat-ayat yang berisi hukum praktis.

Terkait hal ini, Gus Baha memberikan contoh dalam Q.S. Al-Baqarah: 184 ketika Allah Swt. menjelaskan tentang ketentuan puasa.

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Menurut beliau, untuk memahami ayat ini, perlu memunculkan makna negasi لا sebelum lafaz يُطِيقُونَهُ. Sehingga makna yang pas dari ayat tersebut adalah bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan kewajiban puasa maka ia boleh tidak berpuasa tetapi harus menggantinya dengan membayar fidyah untuk diberikan kepada orang miskin.

Contoh lain yang menunjukkan betapa pemahaman terhadap fikih dapat membantu mempelajari dan memahami tafsir Alquran adalah firmah Allah Swt. dalam Q.S. An-Nisa: 23. Ayat tersebut berbicara tentang siapa saja yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Di antaranya adalah ibu, saudari, bibi, dan seterusnya.

Baca juga: Prioritas Memilih Imam Salat: Antara Ahli Fikih dan Hafiz Alquran

Di antara kelompok perempuan yang haram dinikahi itu, ada yang sifatnya temporal. Misalnya menikahi saudari istri. Allah berfirman:

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ

Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.

Menurut Gus Baha, bagi orang yang memiliki basis pengetahuan fikih, ayat tersebut tidak hanya dimaknai sebagai keharaman laki-laki mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam satu ikatan pernikahan. Akan tetapi, setiap dua perempuan yang memiliki hubungan mahram seperti perempuan dengan bibinya, atau dengan neneknya, misalnya, juga haram dilakukan.

Hal ini misalnya dipahami dalam kitab Fath al-Wahhab yang mengatakan:

” وَحَرُمَ ” ابْتِدَاءً وَدَوَامًا ” جَمْعُ امْرَأَتَيْنِ بَيْنَهُمَا نَسَبٌ أَوْ رَضَاعٌ لَوْ فُرِضَتْ إحْدَاهُمَا ذَكَرًا حَرُمَ تَنَاكُحُهُمَا كَامْرَأَةٍ وَأُخْتِهَا أَوْ خَالَتِهَا “

Tidak boleh mengumpulkan dua perempuan yang keduanya memiliki hubngan nasab. Yang mana batasannya adalah andai salah satu dari dua perempuan itu adalah laki-laki maka mereka tidak boleh menikah. Seperti perempuan dan saudarinya, atau perempuan dengan bibinya. [Fath al-Wahhab, juz 2, hal. 51]

Baca juga: Muhammad Abu Zahrah: Pakar Fikih Penulis Kitab Zahrah al-Tafasir

Metode yang ditempuh Gus Baha dalam mendalami dan belajar tafsir Alquran ini menunjukkan bahwa betapa satu ilmu dengan bidang keilmuan lain memiliki keterkaitan satu sama lain. Imam al-Farra, seorang ‘alim ‘allamah dalam bidang Nahwu dan Bahasa Arab mengatakan bahwa jarang sekali orang yang sudah mendalami satu cabang ilmu akan menemui kesulitan untuk memahami ilmu lain. Dan ini pun terbukti  bahwa Imam al-Farra pernah menjawab permasalahan fikih yang ditanyakan kepadanya dengan bermodalkan kaidah nahu dan tata bahasa Arab [Wafiyat al-A’yan, juz 6, hal. 179]

Akhir kata, Alquran merupakan samudera tak terhingga yang bisa didatangi melalui sungai keilmuan yang beragam. Ada yang memahami Alquran dengan basis ilmu tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu tentang riwayat (hadis dan perkataan sahabat), dan ada pula yang memahami Alquran dengan basis ilmu fikih seperti halnya Gus Baha. Sekian.

Lima Makna Ruh Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman

0
Lima Makna Ruh Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman
Lima Makna Ruh Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman

Alquran  menggunakan term ruh sebanyak 21 kali (Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras). Penggunaan ini ada yang disandingkan dengan kata lain dan ada yang digunakan sendirian. Penggunaan term ruh dengan kata yang lain ada kalanya dipasangkan dengan isim dhamir (kata ganti), kata al-qudus, dan kata al-amīn. Ketika berpasangan dengan isim dhamir, makna term ruh ini tidak lepas dari Allah.

Sementara pemasangan term ruh dengan kata al-qudus dan al-amīn, ditujukan sebagai penyebutan khusus untuk Malaikat Jibril selaku pembawa wahyu. Hanya saja dengan yang pertama, lebih sering digunakan ketika Alquran  mengisahkan Nabi Isa. Sedangkan yang kedua digunakan untuk pewahyuan Alquran  itu sendiri.

Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, Alquran  menggunakan term ruh untuk menunjuk pada lima makna; rahmat, malaikat penghuni langit tujuh, Malaikat Jibril, wahyu, dan Nabi Isa (al-Wujūh wa an-Nażā’ir). Makna pertama bisa ditemukan dalam QS. Almujadilah [58]: 22. Kata ruh dengan makna ini, dipilih karena ayat tersebut membahas sikap orang beriman yang tidak mungkin akan menjalin pertemanan dengan penuh kasih sayang terhadap penentang Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah, mereka adalah orang-orang yang keimanannya sudah merasuk ke dalam hati. Untuk menguatkan sikap mereka, Allah memberikan rahmat dengan berbagai bentuknya. Kementerian Agama menerjemahkan rahmat tersebut dengan bentuk ‘pertolongan’.

Baca Juga: Apa Hanya Ruh Nabi Saw yang Melakukan Isra Mikraj? Ini Penjelasan Ulama

Untuk makna kedua, Imam Muqatil mengutip QS. Alnaba’ [78]: 38; “Pada hari ketika Rū dan malaikat berdiri bersaf-saf”. Menurutnya, kata ruh di sini adalah malaikat yang berwajah manusia, berbadan malaikat, salah satu penghuni langit tujuh. Ia menjadi makhluk terbesar kedua setelah ‘Arasy. Bertugas sebagai penjaga para malaikat. Berdiri sendiri pada satu saf di sebelah kanan ‘Arasy. Term ruh dengan makna ini juga dituturkan oleh Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri saat menjelaskan ayat tersebut. Ia menuliskan ‘satu malaikat yang besar dan agung, berdiri pada satu saf tersendiri’ (Aisar at-Tafāsīr; 4/356).

Ruh dengan makna ketiga merupakan makna yang digunakan oleh para mufasir saat kata ruh bersanding dengan kata al-qudus atau al-amīn. Hal ini juga dilakukan Imam Muqatil. Adapun ketika sendirian, kata ruh ini – oleh Imam Muqatil – dipahami sebagai Malaikat Jibril pada QS. Maryam [19]: 17. Ayat ini menceritakan alur kehamilan Maryam. Ketika itu, wanita suci ini sedang sendirian di dalam mihrabnya. Kemudian, Allah mengutus Malaikat Jibril dalam bentuk manusia untuk memberitahu akan kehamilannya tanpa campur tangan laki-laki. Lalu, pada QS. Alqadr [97]: 4, ayat yang sudah masyhur mengabarkan bahwa Malaikat Jibril dan para malaikat turun pada malam Lailatul Qadar.

Makna keempat ruh adalah wahyu. Saat menjelaskan makna ini, Imam Muqatil mengutip tiga ayat yang saling berkaitan. Menurutnya, kata ruh dalam QS. Alnaḥl [16]: 2 bermakna wahyu. Ia mengaitkan pemaknaannya ini dengan QS. Almu’min [40]: 15 dan QS. Alsyura [42]: 52.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Pada dua ayat ini, kata ruh diperjelas dengan min amrihī dan min amrinā. Dua kata penjelas ini menunjukkan bahwa ruh yang dimaksud bukanlah Malaikat Jibril. Ia berkaitan dengan informasi suatu hal dan bukan sosok tertentu. Sehingga, pemaknaan kata ruh pada ayat ini dengan wahyu menjadi sesuatu yang tepat. Terlebih QS. an-Naḥl [16]: 2 sendiri menyebutkan kata al-malā’ikat sebelum ruh. “Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu atas perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” Demikian terjemahan versi Kemenag terhadap ayat ini.

Makna terakhir dari kata ruh ini adalah Nabi Isa bin Maryam. Makna ini bisa ditemukan dalam QS. Alnisa’ [4]: 171. Ruh dengan makna Nabi Isa ini juga digunakan oleh Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri saat membahas ayat tersebut. Ia menuliskan ‘yakni Isa melalui tiupan Malaikat Jibril terhadap rūḥullāh pada lengan bajunya Maryam’ (Aisar at-Tafāsīr; 1/321).

Imam Ibn ‘Asyur menjelaskan perihal penamaan Nabi Isa dengan rūḥullāh. Menurutnya, ruhnya Nabi Isa merupakan ruh yang menjadi unsur penting kehidupan seseorang. Namun ia dinisbatkan kepada Allah karena  ruh tersebut sampai pada Maryam tanpa melalui proses pembuahan sperma. Dari sini, ia berbeda dengan ruh manusia pada umumnya (at-Taḥrīr wa at-Tanwīr; 6/52).

Wallahu a’lam.

Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

0
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

Salah satu dari orientalis yang mengkaji atau lebih tepatnya mengkritisi kajian tentang kesejarahan Alquran adalah Regis Blachere (1900-1973). Kali ini dia mengkritisi keaslian Alquran dari sisi sejarah kodifikasinya, tepatnya ketika Alquran menjadi sebuah mushaf resmi, yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani.

Secara singkat, tokoh utama yang dicurigai dan dijadikan ‘kambing hitam’ oleh Blachere atas tuduhannya ini adalah khalifah yang bertanggung jawab atas kodifikasi Alquran, yaitu Usman bin Affan. Kodifikasi Alquran yang dilakukan oleh khalifah ketiga ini dianggap sebagai agenda pribadi untuk mengokohkan kepemimpinannya, sehingga menurutnya akan banyak berpengaruh terhadap autentisitas mushaf Usmani.

Tuduhan Blachere kali ini akan dihadapkan pada data-data historis dari Al-Asqalani dan Subhi Salih, khususnya pada bagian dua klaim Blachere yang dianggap sebagai biang permasalahn kodifikasi Alquran.

Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Profil Regis Blachere

David Cohen dalam Regis Blachère (1900-1973) menerangkan bahwa Regis Blachere dilahirkan pada awal abad ke-20, tepatnya 30 juni 1900, di kota Paris, Prancis. Tahun 1915, dia pindah ke Maroko karena ayahnya yang dimutasikan dari pekerjaannya. Setelah tamat di sekolah tingkat keduanya di Casablanca, dia bekerja sebagai seorang penerjemah. Dia sempat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Maula Yusuf di Rabat sebelum meneruskan pendidikan tingginya di Universitas Aljazair dan meraih gelar sarjananya tahun 1922.

Pada tahun 1935, dia menyelesaikan magister dan doktoralnya di Universitas Sorbonne, Paris. Gelarnya diraih setelah dia mampu merampungkan dua kajiannya. Pertama mengkaji Abu Thayyib Al-Mutanabbi, penyair kenamaan Syiria abad 11 H dan yang kedua menerjemahkan kitab Tabaqat al-Umam karya Sa’id Al-Andalusi dari bahasa Arab ke bahasa Prancis.

Keahliannya dalam bahasa Arab, membuatnya dinobatkan sebagai Guru Besar Filologi dan Sastra Arab Abad Pertengahan di Universitas Sorbonne di tahun 1950. Blachere juga pernah menjabat sebagai direktur Institute des Etudes Islamiques di Académie de Paris sejak 1956 sampai 1965, menjadi anggota Akademi Kairo dan Damaskus.

Setahun sebelum dia meninggal pada 7 Agustus 1973, dia terpilih sebagai anggota Institute de France pada 1972. Ia juga pernah menjabat sebagai direktur pada Centre de Lexicographie Arabe dan wakil presiden asosiasi bagi perkembangan kajian-kajian Islam. Dia meninggal pada tanggal 7 Agustus 1973.

Blachere dikenal sebagai tokoh yang sangat aktif menulis.  Karyanya antara lain, Histoire de la Literature à la Fin du XVe Siecle yang bisa dibilang instrument penting dalam dunia sastra, Grammaire de l’Arabe Classique (1937), dan Dictionnaire Arabe-Français-Anglais dalam bidang linguistik. Le Problème de Mahomet (1952) Dans Les Pas de Mahomet yang bercerita mengenai Nabi Muhammad, Le Coran: Que Je Sais? Introduction au Coran terbit tahun 1949 dan 1959, menyajikan metode kritik yang sangat tegas terhadap seluruh sumber—historis, filologis, literer—tentang Mushaf Alquran dan latar belakang penetapannya menjadi sebuah textus receptus, teks yang diakui secara resmi.

Baca Juga: Perdebatan Orientalis tentang Historisitas Alquran

Pandangan Regis Blachere terhadap Mushaf Usmani

Dalam hal pengumpulan (kodifikasi) Alquran yang dilakukan Usman bin Affan, Blachere mengklaim adanya unsur ketegangan, motivasi politik, dan proyek etnisisme di balik peristiwa tersebut. Klaimnya lebih tertuju pada wilayah eksternal teks. Hal tersebut tentu berbeda dengan para sarjana sebelumnya yang lebih terpusat pada analisis internal, yang menggugat dokumen-dokumen berkenaan dengan kodifikasi tersebut.

Kepribadian perawi, kondisi sosio-historis masyakarat, bukti-bukti historis dan situasi tertentu di balik penyusunan sebuah teks menjadi asas dari kritikannya ini. Hasilnya, dia memperoleh sebuah kesimpulan bahwa adanya motif aristokrasi politik dalam diri Usman bin Affan di balik agenda pengkodifikasian mushaf.

Penunjukkan kerabat atau loyalisnya dalam mengumpulkan mushaf dan dijadikannya mushaf Abu Bakar sebagai basis tekstual menjadi bukti kuat bagi Blachere tentang adanya motif tersebut. Dua hal ini menjadi poin penting tuduhan Blachere atas mushaf Usmani.

Dalam Introduction au Coran, Blachere tidak menganggap karya-karya kuno sebagai sumber otentik. Keraguannya semakin jelas jika dalam penulisan rentetan karya tersebut tak diketahui identitas penulisnya, bagaimana teks itu lahir, dan seperti apa kondisi sosio masyarakat yang mengitari munculnya teks tersebut. Di sinilah peran besar Blacehere dengan kritik historis eksternalnya yang berusaha mendalami permasalahan tersebut.

Dengan metode tersebut, Blachere merekam kondisi-sosio politik kultural yang terjadi di masa khulafa ar-rasyidin ketiga tersebut sebagai indikasi akan kelemahan figur khalifah sendiri. Meskipun Usman dianggap sebagai seorang yang salih dan mulia, dia sangat mudah terpengaruh dengan orang sekelilingnya.

Maka, bagi Blachere wajar saja jika segala tindakan Usman akan lebih cenderung ekslusif pada perlindungan orang di sekitarnya. Apalagi, dirinya berasal dari kaum aristokrat Makkah, yakni keluarga Umayyah yang begitu disegani oleh masyarakat Arab kala itu.

Lagi-lagi, Blachere menganggap sikap Usman ini berdampak pada pemilihan panitia pengkodifikasian mushaf Aquran. Komposisi anggota yang terdiri dari Sa’id bin Zaid (w. 59 H), Abd Al-Rahman bin Al-Harits (w. 43 H), dan Ibnu Al-Zubair (w. 73 H) yang merupakan orang asli Makkah menjadi dugaan kuat adanya manifestasi kepentingan aristokrat Usman dalam kekuasaannya. Ditambah lagi ketiganya masih menjalin hubungan kekerabatan dengan khalifah sepertinya menjadi “lahan subur” bagi Blachere dalam mengkritik Mushaf Usmani.

Introduction au coran
Introduction au coran

Adapun ketuanya, Zaid bin Tsabit (w. 45 H) meski berasal dari Madinah/Ansar tidak menghalangi aristokrasi khalifah. Blachere beralasan bahwa sosok Zaid sendiri merupakan orang yang sangat loyalis dengan Khalifah Usman dan menolak keberpihakan ke sahabat lainnya, termasuk kepada ‘Ali bin Abi Talib. Dari sini, agak wajar jika yang diangkat oleh khalifah dalam tugas ini mengindikasikan adanya keinginan ‘Utsman untuk melindungi sekaligus menanamkan pengaruh faksi Makkah dalam masyarakat Islam.

Selanjutnya, dalam hal menjadikan Mushaf Abu Bakar sebagai basis pengkodifikasian mushaf juga tak lepas dari motif aristokrasi Usman. Bagi Blachere, mushaf Abu Bakar merupakan mushaf pribadi yang memang dibuat untuk menghilangkan rasa inferior dalam diri khalifah terhadap mushaf-mushaf pribadi yang juga dimiliki oleh para sahabat lain. Sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai khalifah yang suci dan dipilih melalui konsensus menjadi alasan di balik pengatribusian mushaf Usman pada mushaf Abu Bakar. Tentunya, ini sebagai upaya peredaman munculnya api konflik dalam pemerintahan Usman dan misi standarisasi teks agar dapat diterima.

Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Menjawab Tuduhan Blachere

Dua klaim yang diutarakan Blachere ini setidaknya bisa direspon dengan menggunakan data historis dari dua cendekiawan muslim. Ketika mengomentari panitia komisi, Blachere alpa tentang kapabilitas dan integritas dari keempat orang tersebut. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani (w. 1449 M.) dalam Al-Ishabah fi Tamziz al-Shahabah, Zaid bin Tsabit yang menjadi ketua komisi merupakan seorang pemuda yang cerdas, alim, hafiz, dan juga mendapat mandat langsung dari Nabi saw. sebagai penulis wahyu. Lebih lagi, dia juga ditunjuk oleh Abu Bakar dalam pengumpulan Alquran di eranya.

Abdullah bin Zubair merupakan seseorang yang dikenal akan kedalaman ilmunya sehingga dia dijuluki abadillah. Demikian halnya dengan Sa’id bin Al-Ash, dia merupakan seorang yang terfasih lisannya dan paling dekat lahjah dengan Nabi saw. Sedangkan, Abdurrahman Al-Harits adalah seorang sahabat yang mulia dari kalangan Quraisy yang menikahi putri khalifah Usman.

Klaim Blachere ini juga semakin jelas tak berdasar jika melihat asal dari panitia tersebut. Sebagaimana ditulis oleh Subhi Salih (w. 1407 H.) dalam Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, h. 79, dari keempat orang yang ada, Zaid bin Tsabit dan Ibnu Zubair, mereka berasal dari Madinah, bukan lahir di Makkah. Hal lain yang juga semakin memperkuat ialah adanya keterlibatan para sahabat lain selain empat orang tersebut seperti Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Kutsayir bin Aflah, dan Ibnu Abbas. Tak semua dari mereka orang Muhajirun, melainkan juga Ansar.

al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah
al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah

Adapun penggunaan mushaf Abu Bakar sebagai basis tektsual dinilai sebagai bentuk aristokrasi politik sang khalifah juga merupakan rekasaya dan hasil imajinasi Blachere. Keberadaan mushaf Abu Bakar merupakan mushaf yang disepakati berdasarkan consensus, berbeda dengan mushaf para sahabat lainnya. Mushaf Abu Bakar yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit yang disaksikan dan berada dalam bimbingan langsung oleh Nabi saw. Artinya, tulisan Zaid merupakan representasi dari Nabi saw.

Sedangkan mushaf para sahabat lain tak mendapat koreksian dari Nabi. Ketika wahyu turun, mereka mendengar dan mencatatnya tapi tidak disodorkan kepada Nabi. Mashahif tersebut hanya menjadi koleksi pribadi mereka.

Oleh karenanya, kita akan mendapati banyak dalam tulisan mereka yang bukan bagian dari ayat tapi merupakan penafsiran dari Nabi. Masih tercantumnya ayat-ayat yang sudah dinaskh (diganti/dihapus). Begitu pula, dengan tartib susunannya yang masih menggunakan tartib nuzul (berdasarkan kronologi/asbab an-nuzul) atau ijtihad mereka sendiri agar lebih mudah menghafalkannya.

Tambah lagi dengan peran Zaid bin Tsabit, dia menjadi sahabat penulis wahyu di zaman Nabi kemudian diangkat menjadi ketua komisi di era Abu Bakar. Pun, demikian halnya di era Usman, dia mendapat tugas yang sama (sebagai ketua). Sederhananya, apa yang ditulis dan dikerjakan Zaid semuanya berada dalam satu jalur, tidak berbeda dan berlainan dari yang sebelumnya.

Dari sini jelas bahwa upaya Usman mengkodifikasi mushaf tidak mengatasnamakan kepentingan pribadi sebagai penguasa. Melainkan untuk kemaslahatan umat Islam bersama dan penyatuan umat Islam di bawah cara baca yang standar. Bukan sebagaimana yang diklaim oleh Regis Blachere. Selain itu, juga menghilangkan elemen-elemen yang non-Qur’an yang tertulis dalam mushaf-mushaf koleksi pribadi para sahabat yang biasanya mereka gunakan sebagai penjelasan teks yang didapat dari syarh Nabi Muhammad saw. Wallah a’lam.

Makna “al-‘Aziz” dan “ar-Rahim” Pada Surah Yasin

0
Makna al-Aziz dan ar-Rahim
Makna al-Aziz dan ar-Rahim

Pada surah Yasin, ada dua asmaulhusna yang terlihat kontradiktif disebut beriringan dalam satu ayat, yaitu al-‘Aziz dan ar-Rahim. Masing-masing dua kata ini disebut dua kali. Pertama, al-‘Aziz disebut bersamaan dengan ar-Rahim, terletak di ayat 5. Sedangkan di ayat 38, al-‘Aziz diiringi dengan kata al-‘Alim. Adapun kata ar-Rahim, selain disebut di ayat 5, kata ini juga disebut di ayat 58.

Di asmaulhusna memang ada beberapa nama Allah yang terkesan kontradiktif, ini semua tidak lain merupakan kemahasempurnaan Allah, namun jika dua sifat yang kontradiktif itu berkumpul dalam satu ayat, sangat mungkin ada pesan tersirat di balik itu yang coba disampaikan. Dalam konteks surah Yasin ini, kira-kira apa pesan yang ingin disampaikan melalui penyebutan asmaulhusna tersebut?

Baca Juga: Habib Al-Najar, Tokoh dalam Kisah di Surah Yasin

Asmaulhusna: Wasilah Mengenal Allah

Salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mengenali sifat-sifatNya. Sifat-sifat Allah itu terdapat pada nama-nama Allah yang baik (Asma al-Husna). Dilihat dari kesejarahannya, Imam al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul (h. 501), menyampaikan sebuah riwayat tentang turunnya surah al-Ikhlas, bahwa orang-orang musyrik pernah meminta kepada Nabi Muhammad untuk mengenalkan Tuhan yang disembahnya, lalu kemudian Allah memerintahkan Nabi untuk mengenalkan dan menyatakan nama dan sifat-Nya, dengan menurunkan QS. Al-Ikhlash [112]: 1-4.

Keterangan ini terkonfirmasi secara praktis-psikologis, misalnya, dengan memerhatikan apa yang dideskripsikan oleh Imam al-Qusyairi dalam mukadimah kitabnya, Syarh Asma‘ al-Husna (h.9), Imam al-Qusyairi menyampaikan alasan dan motivasinya untuk mengkaji secara dalam tentang Asma‘ al-Husna dan makna-maknanya. Menurutnya, setelah mendalami makna-makna Asma‘ al-Husna, beliau dapat merasakan pancaran makna nama-nama Allah dalam jiwanya, dan hal itu belum pernah diketahuinya sebelumnya, sehingga, Imam al-Qusyari mewajibkan dirinya untuk menzikirkannya, mentasbihkannya, dalam rangka ketaatan, kecintaan dan mendekatkan diri kepada Allah.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 37-40

Al-‘Aziz pada Q.S. Yasin [36]: 4, 38 dan Independensi Tuhan

Secara umum al-‘Aziz berarti Maha Perkasa, namun dalam perinciannya, menurut Sa’id bin ‘Ali al-Qahthani dalam Syarh Asma Allah al-Husna Fi Dhaw‘i al-Kitab wa al-Sunnah (h. 93-97), al-‘Aziz memiliki tiga makna keperkasaan, yaitu: (1) ‘Izzat al-Quwwah, yaitu keperkasaan dalam makna kekuatan Allah, yang sama sekali tidak tergantung kepada siapapun; (2) ‘Izzat al-Imtina’, Zat Allah Yang Maha Kaya dan tidak memerlukan siapapun; (3) ‘Izzat al-Qahrah, Allah memiliki kekuatan yang dominan, segala sesuatu berada dalam dominasi-Nya, semua tunduk pada kebesaran-Nya, segala makhluk berada dalam kuasa-Nya, tiada daya dan upaya, kecuali hanya milik Allah.

Sifat Allah al-‘Aziz, terhubung dengan sifat-sifat yang lain, yang juga merupakan nama kebesaran-Nya, seperti: al-Dharr (Yang Maha Memudaratkan), al-Nafi’ (Yang Maha Memberi Manfaat), al-Mu’thi (Yang Maha Memberi) dan al-Mani’ (Yang Maha Mencegah). Imam al-Qusyairi menambahkan dalam Syarh Asma‘ al-Husna (h. 87), al-‘Aziz juga mengandung sifat al-Qadir (Yang Maha Kuasa) dan al-Qawiy (Yang Maha Kuat).

Jalinan makna al-‘Aziz yang kompleks dan terikat dengan nama-nama Allah lainnya, tersemat dalam ayat tentang turunnya Alquran. Yaitu surah Yasin [36]: 5, sebagai berikut:

تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ

“(Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”

Al-‘Aziz pada ayat kelima ini, diiringi dengan nama Allah lainnya, yaitu ar-Rahim. Bentuk ini biasa disebut sebagai muqtaran (ganda), yaitu penyebutan dua nama Allah dalam satu ayat tertentu. Makna al-‘Aziz pada ayat ini, menurut Imam al-Khazin dalam  tafsir  Lubab al-Ta‘wil Fi Ma’ani al-Tanzil (juz 4, h. 3) adalah otoritas dan kewenangan tertinggi, yaitu Allah, yang telah menjadikan Alquran sebagai bentuk cinta-Nya kepada semua makhluk. Namun demikian, sifat al-‘Aziz Allah, tidak bisa dimaknai sebagai ketergantungan Allah kepada yang dicintai-Nya, karena tentu saja, itu menyalahi makna al-‘Aziz itu sendiri, yang independen, berdiri sendiri, serta tidak bergantung pada apapun dan siapapun juga.

Makna lain dari al-‘Aziz yang dikaitkan dengan turunnya Alquran itu, juga memiliki keterikatan dengan tema-tema yang terkandung di dalam Alquran, secara khusus pada surah Yasin. Kalau dikaji secara tematis, sifat Allah al-‘Aziz bersesuaian dengan tema utama Yasin yang berkaitan tentang: janji dan ancaman Allah, bukti-bukti kekuasaan Allah, serta pendustaan dan pembangkangan penduduk Antiokhia kepada Allah.

Independensi kemahaperkasaan Allah yang terlihat pada asma-Nya, al-‘Aziz pada surah Yasin ditujukkan pada dua hal, pertama, penurunan Alquran yang berada di bawah otoritasnya yang mutlak. Sifat-Nya al-‘Aziz memberi penekanan tentang kepastian-kepastian yang membuktikan kuasa-Nya, baik yang terjadi di dunia (seperti kisah penentangan penduduk Antiokhia) ataupun yang akan terjadi di akhirat.

Fakta-fakta dari kemahaperkasaan Allah itu, sebagian, secara historis, bisa dibuktikan, misalnya kebinasaan penduduk Antiokhia karena menentang para utusan Allah. Bukti nyata lainnya, adalah berkaitan dengan kekuasaan-Nya pada alam raya yang diciptakan-Nya. Selain hal itu, terdapat pula bukti yang menunjukkan sifat Allah al-‘Aziz, yaitu kepastian janji dan ancaman-Nya di akhirat kelak. Dengan demikian, kemahaperkasaan Allah yang terkandung dalam nama-Nya, al-‘Aziz, adalah suatu kenyataan yang bisa dibuktikan di dunia pada satu sisi, dan kepastian di akhirat yang dijanjikan, pada sisi lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-58

Ar-Rahim pada QS. [36]: 5, 58 dan Keterikatan Makna Asmaulhusna

Al-‘Aziz menemukan konteksnya dalam surah Yasin, melalui kemahaperkasaan-Nya yang tergambar dalam kandungan ayat-ayatnya. Pertanyaannya, apakah kemahaperkasaan Allah itu berdiri sendiri? Ternyata tidak. Terdapat Asma’ al-Husna yang mengiringi al-‘Aziz, yaitu ar-Rahim pada QS. Yasin [36]: 4 dan al-‘Alim pada QS. Yasin [36]: 38. Apa makna keduanya dalam surah Yasin? Maknanya adalah kemahaperkasaan Allah itu terjalin dan berkelindan dengan ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) dan al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui).

Dengan demikian, turunnya Alquran, selain karena kemahaperkasaan-Nya, juga karena kasih dan sayang-Nya. Hal ini senada dengan pendapat Imam al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma’an a-Tanzil (juz 4, h. 3) yang menyatakan bahwa turunnya Alquran itu merupakan bentuk cinta dan kasih sayang Allah kepada semua makhluk-Nya. Selain itu, Allah Yang Maha Penyayang (ar-Rahim) menurunkan Alquran melalui malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad yang juga adalah pribadi yang penuh kasih.

Penggambaran ar-Rahim lebih jauh, secara sufistik, dinarasikan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 166), Alquran yang diturunkan Allah, tidak lain adalah wujud kasih dan sayang-Nya untuk membangunkan manusia dari “tidur yang membuat lalai” dan dari “kantuk yang membuat lupa”.

Deskripsi ini tidak jauh beda dengan narasi sufistik Imam Ahmad bin ‘Umar, dalam Tafsir al-Ta’wilat al-Najmiyyah fi Tafsir al-Isyari al-Shufi (juz 5, h. 136) mempertegas ayat kelima dari surah Yasin dan mengisyaratkan kasih sayang dan kearifan-Nya, yang menjadikan Alquran sebagai “Tali Allah” bagi orang yang sedang berusaha mendekat kepadaNya.

Hubungan korelatif lainnya, adalah antara sifat Allah al-‘Aziz dan al-‘Alim pada QS. Yasin (36): 38 yang menandai arti penting kemahatahuan Allah dibalik kemahaperkasaan-Nya. Argumentasi untuk ayat ini adalah sebagaimana disebutkan dalam ayat, yaitu tentang matahari yang beredar di jalurnya, semuanya tersusun rapi dalam peredarannya, berkeseimbangan (tidak saling berlawanan) sehingga menjadi dasar yang pasti dalam pembagian perhitungan tahun. Melalui ayat ini dapat dipahami bahwa, kemahaperkasaan Allah itu tidak semata-mata karena Allah Kuasa, tetapi juga terdapat pengetahuan Allah yang tidak terbatas (al-‘Alim).

Adapun ar-Rahim di ayat 58, sifat ini disebut dalam ruang lingkup eskatologis, yaitu sifat ar-Rahim Allah yang ditujukan kepada para penghuni surga. Mereka memperoleh  salam dari Allah Yang Maha Penyayang,

سَلٰمٌۗ قَوْلًا مِّنْ رَّبٍّ رَّحِيْمٍ

(Kepada mereka dikatakan,) “Salam sejahtera” sebagai ucapan dari Tuhan Yang Maha Penyayang.

Sifat ar-Rahim yang dialamatkan kepada orang-orang beriman merupakan aspek implikatif dari keteguhan pada jalan iman. Hal itu berkebalikan dengan pengingkaran-pengingkaran, seperti yang dilakukan oleh penduduk Antiokhia.

Ar-Rahim seperti dinyatakan oleh Abi Ishaq Ibrahim al-Zujjaj dalam Tafsir Asma’ Allah al-Husna (h. 28), bahwa ar-Rahim adalah rahmat Allah yang secara khusus untuk para hamba-Nya yang beriman. Bagi mereka yang beriman, Allah akan memberikan ganjaran yang tiada  terputus.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 110, Asmaulhusna, dan Kisah di Balik Nama Rahman

Asmaulhusna dan Pencerahan Iman

Temuan penting dari kajian tentang al-‘Aziz dan ar-Rahim pada surah Yasin adalah keterikatan sifat-sifat Allah itu dengan kenyataan dan keghaiban, kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Sifat-sifat Allah itu, sebagiannya telah terjadi dan terbukti, misalnya, al-‘Aziz dan kenyataan sifat-Nya pada kebinasaan penduduk Antiokhia dan balasan yang mereka peroleh di akhirat. Begitu juga, tentang bukti kemahaperkasaan Allah atas alam raya.

Ar-Rahim dan kenyataan sifat Allah pada turunnya Alquran sebagai bentuk kasih dan sayang-Nya kepada umat manusia, serta balasan surga bagi orang-orang yang beriman. Pemahaman, perenungan dan penghayatan Asma’ al-Husna pada surah Yasin, akan menghadirkan kesadaran dan pencerahan keimanan yang realistik dan historis, tentu juga, yang bersifat eskatologis di akhirat kelak. Dengan memahami Asma’ al-Husna pada surah Yasin, sifat-sifat Allah menjadi semakin dekat, nyata dan dapat dirasakan oleh hati, serta diterima oleh akal. Wallah a’lam

Cara Rasulullah Saw Mengevaluasi Sahabatnya

0
Cara Rasulullah Saw Mengevaluasi Sahabatnya
Cara Rasulullah Saw Mengevaluasi Sahabatnya

Menurut Suprapno dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam: Kajian Tokoh-tokoh Pemikiran Islam (h. 65) menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan seorang evaluator handal dalam segala bidang. Ketika suatu tujuan belum tercapai, maka Rasulullah Saw. memberi masukan berupa materi atau nasihat agar segala kekurangan bisa segera diperbaiki. Inilah hakikat sebuah evaluasi, yakni berupaya melakukan perbaikan terhadap kekurangan atau kesalahan sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Berikut penjelasan terkait macam-macam evaluasi dan praktik Rasulullah Saw. mengevaluasi sahabatnya.

Isyarat Untuk Mengevaluasi Diri dalam Alquran

Gerak-gerik Rasulullah Saw. yang dianggap sebagai evaluator tentu berlandaskan dari dalil Alquran, Allah Swt. berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡس مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ  ١٨

Wahai orang-orang yang beriman. Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Alhasyr [59]: 18)

Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah (Vol. 13/h.552) menyatakan bahwa lafaz qaddamat atau tuqaddimu dalam ayat ini bermakna sebagai amal untuk meraih manfaat di masa yang akan datang. Amal inilah yang harus diperhatikan manusia, apakah ia akan menjadi penolong di hari akhir atau sebaliknya. Perintah memperhatikan apa yang telah dilakukan untuk hari esok merupakan perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah lewat. Dengan kata lain, orang yang selalu mengevaluasi dirinya merupakan bukti bahwa ia telah bertakwa kepada Allah Swt.

Baca Juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Dalam Tafsir Ibnu Katsir (h. 123) terhadap ayat ini juga disebutkan agar manusia menghisab dirinya sebelum dihisab oleh Allah Swt. Melihat apa yang sudah dilakukan dan ditabung untuk hari akhir saat bertemu Allah Swt. Apa yang sudah dilakukan inilah yang harus diperbaiki agar menjadi amal yang kemudian dibawa saat menghadap Allah Swt.

Mengenai evaluasi ini, Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang hamba tidak bisa disebut (golongan) orang yang bertakwa hingga ia bisa mengoreksi (me-muhasabah) dirinya. (HR. Maimun bin Mahran dalam kitab Ihya’ Ulumiddin/Juz IV/h. 404).

Praktik Evaluasi Ala Rasulullah Saw.

Ayat dan hadis di atas menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap kegiatan evaluasi. Ketika Alquran memberi isyarat dan Rasulullah Saw. sudah bersabda, maka sebagai utusan Allah Swt. dan penyebar risalah Islam, beliau pun melakukan praktik evaluasi tersebut kepada para sahabat.

Pertama, evaluasi aspek kognitif. Pada aspek kognitif, yang dievaluasi ialah pengetahuan atau materi. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam hadisnya Riwayat Bukhari (Hadis Nomor 60) yang bermakna: “Kami pernah bersama Nabi, lalu beliau dipertemukan dengan jamaah. Kemudian beliau bersabda: ‘Sesungguhnya di antara pohon ada satu pohon yang merupakan perumpamaan bagi seorang muslim.’ Aku ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma. Namun karena aku yang termuda, maka aku diam. Maka kemudian Nabi bersabda, ‘Itu adalah pohon kurma.’

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 45-46: al-Quran Mengajarkan Manusia Untuk Introspeksi Diri

Setelah kejadian ini, Ibnu Umar pun menceritakan sikapnya kepada ayahnya, Umar bin Khattab. Lalu, Umar pun berkata, “Engkau mengatakan itu (mengungkapkan jawabanmu) lebih aku sukai daripada engkau menceritakan bahwa engkau memiliki ini dan ini.” Dalam teori evaluasi pendidikan, dapat diambil pembelajaran bahwa ketika seseorang sedang dievaluasi oleh orang lain, terutama menyangkut aspek pengetahuan (kognitif) maka hendaknya ia mengungkapkan apa yang diketahui. Dengan demikian, peserta didik tidak dianjurkan malu dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru. Jawaban peserta didik inilah yang nantinya menjadi hasil evaluasi bagaimana ketercapaian pembelajaran yang sudah dilakukan. Hasil evaluasi inilah yang kemudian menjadi acuan bagi seorang guru untuk mengambil langkah berikutnya. Apakah berpindah ke materi yang lain atau mengulang materi yang ada terlebih dahulu. (Khairiah, Evaluasi Pendidikan dalam Perspektif Hadits Rasulullah SAW, dalam Al-Aulia: Jurnal Pendidikan dan Ilmu-ilmu Keislaman, h. 65)

Kedua, evaluasi aspek afektif.  Maksud evaluasi aspek afektif ini ialah terkait dengan sikap. Dikisahkan dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, Rasulullah Saw. pernah mengevaluasi seorang sahabat bernama Ka’ab bin Malik. Ketika itu ia sengaja tidak ikut dalam peperangan Tabuk tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Kemudian Rasulullah Saw. memanggilnya dan menanyakan perihal ketidakhadirannya tersebut. Ka’ab pun menyesali perbuatannya dan menunggu hukuman atas dirinya. Ia mengatakan bahwa saat peperangan terjadi dirinya tidak memiliki halangan apapun, ia dalam kondisi yang kuat dan lapang. Atas pengakuan Ka’ab tersebut, Rasulullah Saw. bersabda: “Adapun orang ini maka dia benar-benar jujur. Pergilah dan tunggulah keputusan Allah tentang dirimu.” Dengan evaluasi semacam ini, akhirnya mampu memberikan efek tersendiri bagi diri Ka’ab. Sejak saat itu ia sangat menyesal dan berjanji akan selalu ikut berperang menyertai Rasulullah Saw.

Ketiga, evaluasi aspek psikomotorik. Evaluasi ini merupakan penilaian yang terfokus dalam aspek keterampilan (psikomotor). Evaluasi ini pernah dilakukan Rasulullah Saw. ketika memeriksa Ibnu Umar yang ingin ikut dalam perang.

ابْنِ عُمَرَ قَالَ عَرَضَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي الْقِتَالِ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْنِي وَعَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي

Ibnu Umar berkata: “Rasulullah Saw. memeriksaku ketika hendak berangkat perang Uhud. Ketika itu saya berusia 14 tahun, sehingga beliau tidak membolehkan aku ikut berperang. Ketika hendak berangkat ke medan perang (Khandaq), beliau memeriksaku kembali. Saat itu aku telah berusia 15 tahun dan beliau membolehkanku ikut perang. (HR. Muslim No. 3473)

Berperang merupakan kegiatan yang membutuhkan keterampilan. Setelah dievaluasi oleh Rasulullah Saw. dalam satu tahun, Ibnu Umar kemudian dinilai mampu dan diizinkan oleh Rasulullah ikut dalam perang Khandaq di tahun berikutnya.

Kesimpulan

Demikian sedikit ulasan tentang isyarat perintah untuk mengevaluasi diri dalam Alquran beserta contoh yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Semoga tulisan ini dapat menambah keimanan dan wawasan serta menyadarkan kita bahwa apa yang telah kita perbuat hendaknya selalu dievaluasi agar jika terdapat kesalahan maka segera dapat diperbaiki. Sehingga di masa yang akan datang kesalahan tersebut tidak terulang kembali.

Wallahu a’lam

 

Habib Al-Najar, Tokoh dalam Kisah di Surah Yasin

0
Habib Al-Najar, Tokoh dalam Kisah di Surah Yasin
Masjid Habib Al-Najar di Antakya, Turki

Hal faktual dari kisah Alquran pada surah Yasin, yang hingga saat ini masih dapat dibuktikan secara arkeologis adalah keberadaan makam satu tokoh penting yang bernama Habib al-Najar. Berdasarkan data yang dirilis oleh atlasislamica.com, “Habib al-Najar rahmatullah ‘alayh and people of Yasin”, terdapat dua situs yang menjadi bukti kesejarahan Habib al-Najar serta keberadaanya di Antakya, yaitu masjid Habib al-Najar, yang merupakan masjid bersejarah di Antakya, Provinsi Hatay, Turki, dan makam Habib al-Najar yang terletak di bawah Gunung Silpius.

Di tempat yang sama, selain makam Habib al-Najar, terdapat pula makam Syam’un al-Shafa, yaitu seorang utusan Nabi ‘Isa yang mendakwahkan tauhid di Antiokhia. Narasi tentang Habib al-Najar dalam banyak kitab tafsir, digambarkan sebagai sosok heroik yang membela para utusan, sekaligus terlibat dalam mendukung dakwah tauhid para utusan kepada penduduk Antiokhia. Berdasarkan fakta-fakta itu, maka menjadi sangat penting untuk mengetahui bagaimana citra Habib al-Najar yang digambarkan oleh para ulama tafsir, agar kisahnya menjadi pelajaran, hikmah, dan teladan.

Laki-laki dari Ujung Kota

Habib al-Najar, merupakan tokoh yang ikut serta dalam misi dakwah para utusan Allah di Antiokhia. Perannya dalam dakwah disinggung oleh Alquran dalam surah Yasin. Meskipun tidak disebut secara implisit, tetapi nama Habib al-Najar muncul di banyak kitab tafsir, dan dikaitkan dengan penafsiran atas Q.S. Yasin [36]: 20:

وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ

Dan datanglah dengan bergegas dari ujung kota, seorang laki-laki. Dia berkata, “Wahai kaumku, ikutilah para rasul itu!

Berdasarkan ayat ini, para ulama tafsir seperti Imam al-Samarqandi (Bahr al-‘Ulum, Jilid 3, h. 97), Imam al-Gharnathi (al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, h. 631), Imam al-Khazin (Lubab al-Ta‘wil fi Ma’an al-Tanzil, Jilid 4, h. 6), Imam Makki bin Abi Thalib (al-Hidayah ila Bulugh al-Nihayah, Jilid 9, h. 6017), Ibnu ‘Ajibah (al-Bahr al-Madid fi Tafsir Alquran al-Majid, Jilid 4, h. 564), Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani (Tafsir al-Jilani, Juz 4, h.171), dan Ibnu ‘Arabi (Tafsir al-Qur’an, Jilid 2, h.160), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “lelaki dari ujung kota” adalah Habib al-Najar.

Imam Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 3, h. 568-569), bahkan mengutip sebuah hadis, yang menunjukkan penegasannya, bahwa Habib al-Najar adalah “Shahibu Yasin” atau seseorang yang namanya disebutkan di dalam surah Yasin, sebagaimana bunyi hadis yang disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim berikut.

Baca juga: Mengenal Mushaf Surah Yasin Kementerian Agama

“Dari ‘Abdul Malik Ibnu ‘Umayr yang mengatakan bahwa ‘Urwah Ibnu Mas’ud al-Tsaqafi r.a. pernah berkata kepada Nabi saw., ‘Utuslah aku kepada kaumku, aku akan menyeru mereka untuk memeluk Islam.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya aku merasa khawatir bila mereka nanti akan membunuhmu.’ Urwah berkata, ‘Seandainya mereka menjumpaiku sedang tidur, mereka tidak berani membangunkanku.’ Akhirnya Rasulullah saw. bersabda, ‘Pergilah kamu.’ Maka ‘Urwah berangkat menuju tempat berhala Lata dan ‘Uzza, lalu ia berkata, ‘Sungguh aku benar-benar akan melakukan suatu hal yang akan membuatmu celaka besok pagi.’ Maka orang-orang Tsaqif marah, dan ‘Urwah berkata, ‘Hai orang-orang Tsaqif, sesungguhnya tiada ketinggian lagi bagi Lata dan tiada kejayaan lagi bagi ‘Uzza. Maka masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.’ ‘Hai orang-orang yang tergabung di dalam persekutuan, sesungguhnya tiada kejayaan lagi bagi ‘Uzza dan tiada ketinggian lagi bagi Lata. Masuk Islamlah kalian, niscaya kalian selamat.’ ‘Urwah mengucapkan kalimat tersebut sebanyak tiga kali dengan suara yang lantang, lalu ada seorang lelaki dari kaum yang membidikkan anak panahnya ke arah dia dan mengenai anggota tubuh yang mematikan. Akhirnya ‘Urwah gugur. Ketika peristiwa tersebut sampai beritanya kepada Rasulullah Saw., maka beliau bersabda: Orang ini senasib dengan apa yang dialami oleh lelaki yang disebutkan di dalam surah Yasin. Ia berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (H.R. Al-Hakim)

Melalui riwayat ini menjadi jelas bahwa laki-laki dari ujung kota yang dimaksud oleh Q.S. Yasin [36]: 20 adalah Habib al-Najar. Kesimpulan yang dikuatkan oleh hadis riwayat Imam al-Hakim dan juga para mufasir.

Beberapa Citra Habib al-Najar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu makna citra adalah gambaran yang dimiliki banyak orang mengenai pribadi. Dalam hal ini, gambaran mengenai pribadi al-Najar menurut para ulama tafsir. Pertama, al-Najar dicitrakan sebagai orang yang beriman. Tanda keberimanannya adalah kepercayaannya terhadap para utusan yang datang ke Antiokhia untuk mendakwahkan tauhid kepada kaumnya. Bahkan al-Najar juga menyeru kepada kaumnya, penduduk Antiokhia, untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh para utusan, untuk beriman kepada Allah. Seperti bunyi Q.S. Yasin [36]: 21:

اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Kedua, Habib al-Najar adalah sosok yang peduli dan memiliki hati yang bersih. Kepribadian al-Najar digambarkan dalam Tafsir al-Baghawi  (jilid 7, h. 13-14). Dengan menukil pendapat Wahb, al-Baghawi menjelaskan pekerjaan al-Najar sebagai tukang sutra, yang gemar bersedekah dan membagi harta yang diperolehnya menjadi dua bagian, setengah untuk disedekahkan, setengah lainnya untuk keluarganya. Sedangkan Syaikh al-Thanthawi, dalam Tafsir al-Wasith (juz 12, h. 23), menambahkan bahwa al-Najar memiliki naluri yang sehat, jiwa yang murni, serta hati dan tekad yang tinggi.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 20-21: Orang yang Datang dari “Pinggiran Kota”

Ketiga, Habib al-Najar adalah hamba yang saleh. Keterangan tentang kesalehan al-Najar ini dapat ditemui dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 171) karya Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani. Dalam tafsir bercorak tasawuf ini, al-Najar digambarkan sebagai seseorang yang menghambakan dirinya dalam ibadah kepada Allah. Penjelasan lain yang menguatkan pendapat ini datang dari Ibnu ‘Ajibah dalam tafsir al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid (juz 4, h. 564). Habib al-Najar dicitrakan sebagai lelaki yang beribadah kepada Allah di sebuah gunung.

Keempat, Habib al-Najar bersikap kritis dan cinta pada kebenaran. Ciri ini dideskripsikan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 4, h. 171-172). Sikap kritis yang dimiliki oleh al-Najar tergambar dalam dialognya dengan para utusan Allah di Antiokhia. Disebutkan dalam tafsir ini, bahwa al-Najar pernah bertemu dengan dua utusan Allah. Ketika kedua utusan tersebut masuk ke Antiokhia, al-Najar mengucapkan salam kepada mereka dan juga bertanya. Pertanyaan al-Najar terfokus pada prinsip-prinsip teologis, seperti pertanyaan tentang: siapa kalian? jika kalian adalah utusan Allah, apa tanda dan bukti bahwa kalian adalah utusan Allah?

Kedua pertanyaan inipun dijawab dan dibuktikan langsung oleh para utusan. Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani meyakini bahwa salah satu dari dua utusan itu adalah Nabi ‘Isa a.s. Atas pertanyaan yang diajukan oleh Habib al-Najar, kedua utusan menjawab dan membuktikan bahwa mereka merupakan utusan Allah, dibuktikan dengan kemampuan menyembuhkan anak lelaki Habib al-Najar yang telah lama sakit dengan mengusap tubuhnya.

Baca juga: Identitas Penduduk Rass dan Kisahnya dalam Alquran

Setelah pembuktian sekaligus jawaban atas pertanyaan yang diajukannya, Habib al-Najar percaya dan beriman kepada Allah, lalu menyibukkan dirinya dengan beribadah kepada Allah. Sebagai informasi tambahan, tentang tanda kenabian yang terdapat pada dua utusan, Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani menyebut bahwa kedua utusan tersebut juga dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penyakit kusta.

Kelima, Habib al-Najar adalah seorang pemberani yang berdiri di atas dasar keimanan. Ketika para utusan Allah berdakwah ke dalam kota, al-Najar kemudian mengetahui bahwa kaumnya (penduduk Antiokhia) mengingkari dakwah para utusan, bahkan mereka bersepakat untuk membunuh kedua utusan tersebut. al-Najar kemudian bergegas menuju tempat bertemunya kedua rasul dengan penduduk Antiokhia. Di sana, al-Najar datang dan melihat kedua utusan tersebut berhadapan dengan orang banyak.

Akhir yang Baik Bagi Habib al-Najar dan Keteladanannya

Apa yang dilakukan oleh Habib al-Najar menunjukkan ketinggian kadar keimanannya. Ia adalah contoh ideal tentang keimanan. Keimanannya mewujud dalam banyak aspek kehidupan, membentuk kepribadian dirinya yang mulia. Meskipun demikian, keimanan yang didakwahkannya, tidak langsung diterima oleh kaumnya, bahkan ia dibunuh oleh penduduk Antiokhia.

Sedari awal, Habib al-Najar memang adalah tokoh yang “pasang badan” untuk membela para utusan Allah dalam menyampaikan dakwah. Ia pula yang menyeru kaumnya untuk tunduk dan taat kepada Allah dengan argumentasi yang dapat diterima akal. Bahkan al-Najar pula yang menyatakan kesaksian di hadapan kaumnya untuk beriman kepada Allah. al-Najar adalah penduduk Antiokhia yang beriman kepada para utusan Allah, yang juga berani menghadapi ancaman, bahkan siksaan dari kaumnya sendiri.

Dengan segala keberaniannya, Habib al-Najar sampai pada waktu kematiannya. Menurut Ibnu Mas’ud, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Khazin dalam tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (juz 4, h. 6), penyiksaan yang dilakukan penduduk Antiokhia kepada al-Najar, dengan cara diinjak-injak, sampai ususnya keluar dari duburnya. Disebutkan pula, bahwa ia dilempar dengan batu, (dalam keadaan itu) ia masih sempat untuk berdoa untuk kaumnya, “Ya Allah, berikanlah petunjuk bagi kaumku.” al-Najar kemudian wafat. Ia dikuburkan di Antiokhia.

Baca juga: Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

Keimanan Habib al-Najar menemukan relevansinya hari ini, pada saat sebagian orang hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran atas masalah-masalah dunia yang dihadapinya. Iman yang ada dalam hatinya, tidak membantunya keluar dari permasalahannya. Mentalitas menjadi sangat rentan, karena jauh dari nilai-nilai keimanan itu sendiri. Sebagian mereka terasing dari agamanya sendiri.

Persoalan itu kemudian menjadi penyebab munculnya berbagai permasalahan-permasalahan lain seperti sikap individualistik, tidak mau terhubung dengan lingkungan dan masyarakat, tidak rasional dan menolak kebenaran. Karena sesungguhnya, keimanan yang menyeluruh, menurut Muhammad Utsman Najati dalam al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs (h. 239), terimplementasi dalam akidah, peribadahan, hubungan sosial, hubungan keluarga, akhlak, emosi, perasaan, pemikiran, kehidupan praktis, serta citra diri yang baik. Habib al-Najar adalah contoh yang tepat dalam hal ini.

Baca juga: Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

Habib al-Najar, kehidupan dan kematiannya memberi nasihat bagi semua. Arti penting dari keberimanan, sebagaimana al-Najar, adalah kemauan yang kuat untuk menyatakan dan menyampaikan pencerahan-pencerahan keimanan kepada orang lain. Suatu kesan yang sangat terlihat dalam diri al-Najar. Dalam diri, iman harus menyala, menerangi hati dan pikiran, membimbing pada kebaikan dan kebenaran, menjadi penunjuk jalan diri sendiri dan juga orang lain.

Beriman berarti juga memberikan pengaruh baik bagi orang lain dengan berbagai cara dan metode yang baik, benar dan bijaksana, untuk menyeberluaskan nilai dan prinsip-prinsip keimanan. Iman kepada Allah dan rasul-Nya akan mengeluarkan manusia dari permasalahan dan persoalan-persoalan hidupnya. Beriman, sebagaimana Habib al-Najar, berarti memberikan pencerahan bagi sesamanya. Iman sudah seharusnya diwujudkan dalam diri dan dalam berbagai peran kehidupan, oleh siapapun yang mengaku beriman. Wa allahu a’lam bi al-shawab.

Meneguhkan Popularitas Tafsir al-Baghawiy di Masa Lalu

0
Teks Tafsir al-Baghawiy dalam catatan pias naskah Jalalain koleksi Museum MAJT.
Teks Tafsir al-Baghawiy dalam catatan pias naskah Jalalain koleksi Museum MAJT.

Dalam tulisan berjudul Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu, penulis sempat menyebutkan bahwa teks Tafsir al-Baghawiy secara apik “bergandengan” dengan teks lain dalam satu bundel naskah Jalalain koleksi Museum Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Kendati apa yang penulis sebutkan tersebut masih sebatas dugaan sementara, paling tidak hal tersebut menunjukkan tingkat popularitas Tafsir al-Baghawiy di masa lalu yang cukup tinggi.

Beberapa waktu yang lalu, penulis membaca tulisan lama milik Peter Riddell berjudul Controversy in Qur’anic Exegesis and its Relevance to the Malayo-Indonesian World yang dimuat dalam buku berjudul The Making of an Islamic Political Discourse in Southeast Asia yang terbit tahun 1993. Dalam tulisan tersebut, Pak Riddell secara khusus mengkaji relevansi penafsiran kontroversial ulama Timur Tengah di kawasan Melayu.

Meskipun studi kasus yang diambil oleh Pak Riddell dalam tulisannya tersebut adalah teks Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin. Hal ini barangkali disebabkan fokus kajian beliau adalah tafsir Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Rauf Sinkel (w. 1693 H.). Yang menarik, dalam tulisan tersebut beliau menyebutkan bahwa tafsir karya Baghawiy (w. 529 H.), Ma‘alim al-Tanzil, menjadi tafsir yang cukup prestise di dunia Melayu awal, khususnya di Kerajaan Aceh, bersama tafsir-tafsir lain, seperti Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidhawiy (w. 691 H.), Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin (w. 741 H.), serta Jalalain karya Al-Mahalliy (w. 864 H.) dan Al-Suyuthiy (w. 911 H.).

Baca juga: Popularitas Tafsir al-Baghawi di Masa Lalu

Tesis ini Pak Riddel dasarkan dari setidaknya beberapa naskah yang beliau temukan; pertama, naskah koleksi Perpustakaan Universitas Cambridge dari awal tahun 1600-an yang berisi tafsir Alquran surah ke-18 dalam bahasa Melayu; kedua, naskah Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf Singkel (w. 1693 M.); dan ketiga, beberapa naskah yang tersimpan di Museum Nasional (Indonesia) di Jakarta.

Apa yang Pak Riddell sebutkan ini agaknya sama dengan apa yang telah penulis ulas pada tulisan sebelumnya tentang popularitas Tafsir al-Baghawiy. Yang membedakan adalah koleksi naskah yang menjadi rujukan. Jika Pak Riddell menggunakan naskah-naskah “Melayu”, maka penulis menggunakan naskah pegon koleksi Museum MAJT sebagai dasar rujukan.

Di samping itu, merujuk pada informasi yang diberikan oleh Anasom dalam penelitian digitalisasinya terhadap naskah koleksi Museum MAJT, ada satu bundel naskah Tafsir al-Baghawiy juz ke-2 yang berisi penafsiran Alquran mulai surah Al-Kahfi [18] hingga surah An-Nashr [110]. Dalam naskah tersebut juga ditemukan sebuah catatan yang menyebutkan, “al-Juz al-tsani tafsir al-Baghawiy milik Sultan Surakarta”, yang menjelaskan asal kepemilikan naskah tersebut.

Baca juga: Mengenal Ma’alim al-Tanzil: Kitab Tafsir Corak Fikih Karya Al-Baghawi

Hadirnya persamaan yang ditemukan dalam kajian Pak Riddell dengan kajian yang tengah penulis lakukan, membuat penulis berpikir tentang beberapa hal. Pertama, adakah kajian tafsir yang terjadi di wilayah tengah atau timur Indonesia terpengaruh dengan kajian tafsir di wilayah Indonesia barat, mengingat proses islamisasi Indonesia berawal dari daratan Sumatera? Kedua, apakah Tafsir al-Baghawiy memiliki posisi khusus di kalangan bangsawan keraton atau kerajaan Islam di Indonesia, melihat koleksi yang ada berasal dari tradisi keraton atau kerajaan?

Sementara itu, dalam konteks perbandingan antara naskah Jalalain dan Baghawiy koleksi Museum MAJT, penulis juga berpikir bahwa apakah catatan (pias) yang diberikan pada naskah Jalalain koleksi Museum MAJT dulunya merujuk pada naskah Baghawiy yang berasal dari koleksi yang sama?

Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan, penulis hendak mengajak pembaca sekalian membandingkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh Pak Riddel dan penulis berkaitan dengan adanya perbedaan teks tafsir yang menjadi sumber atau rujukan interpolasi dalam naskah kajian keduanya.

Baca juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah

Mengambil studi pada naskah Tarjuman al-Mustafid karya ‘Abd al-Rauf Sinkel, Pak Riddell menemukan bahwa catatan interpolasi dalam naskah tersebut utamanya merujuk pada Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin. Hal ini berbeda dengan apa yang penulis temukan pada naskah Jalalain koleksi Museum MAJT yang justru merujuk pada Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy.

Padahal secara genealogis, baik Lubab al-Ta’wil karya Al-Khazin ataupun Ma‘alim al-Tanzil karya Al-Baghawiy sejatinya berada pada satu garis yang sama, yang mengarah pada Al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an karya Al-Tsa‘labiy. Hal ini karena Al-Tsa‘labiy banyak memberikan pengaruh terhadap Al-Baghawiy, sebagaimana Al-Baghawiy banyak memberikan pengaruh terhadap Al-Khazin.

Baca juga: Riwayat Manuskrip Alquran Bone Sulawesi Selatan di Museum Aga Khan Kanada

Namun demikian, penggunaan riwayat pada tafsir ketiganya memiliki perbedaan yang kemudian memberikan pengaruh terhadap penilaian para ulama. Al-Tsa‘labiy dianggap terlalu banyak menggunakan riwayat yang lemah, yang kemudian diikuti oleh “cucu muridnya”, Al-Khazin. Sedangkan Al-Baghawiy dinilai sangat berhati-hati dalam penggunaan riwayat dan tidak mengikuti “gurunya” tersebut.

Oleh Pak Riddell, pemberian interpolasi dari tafsir Al-Khazin ini, yang identik dengan riwayat yang lemah, dianggap tidak menimbulkan masalah dalam konteks Melayu atau Aceh. Akan tetapi, hal demikian ini tidak penulis dapati, sebab interpolasi yang diberikan diambil dari karya Al-Baghawiy. Karenanya, mungkinkah situasi dan kondisi sosial budaya yang melingkupi kedua masa penulisan tersebut berbeda? Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian 2)

0
prinsip transaksi finansial islami
prinsip transaksi finansial islami

Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa aturan-aturan muamalah dalam Islam bersifat fleksibel. Artinya, selagi tidak dijumpai dalil yang melarangnya, maka bagaimanapun bentuknya muamalah tersebut boleh dilakukan. Namun, harus tetap berada pada koridor prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Islam.

Dalam tulisan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai prinsip keadilan dan saling menguntungkan serta tidak merugikan pihak lain. Di bawah ini, ada beberapa prinsip lain yang melandasi praktek muamalah yang legal menurut pandangan Islam. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Dilandaskan Atas Unsur Suka Sama Suka (Al-Tharadhi)

Selain harus didasarkan atas prinsip keadilan, prinsip lain yang tak kalah penting dalam melakukan muamalah atau transaksi adalah harus dilandaskan atas dasar kerelaan. Hal ini sebagaimana ayat ke- 29 dari surah Alnisa’, Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْك 

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa lafal الا dalam ayat di atas adalah istitsna munqathi sehingga mengandung makna ‘akan tetapi’. Karenanya, ayat di atas mengandung pemahaman bahwa janganlah kalian makan harta orang lain melalui cara yang batil. Akan tetapi, yang halal bagi kalian adalah adalah melakukan perniagaan yang dilandaskan unsur suka sama suka. [Tafsir al-Qurthubi, Juz 5, 151].

Prinsip ini juga dipertegas oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya yang diriwayatkan dari sahabat Abu Said al-Khudri,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual beli didasarkan kepada kerelaan. HR. Ibnu Majah.

Dalam kesempatan yang lain, Nabi Saw bersabda,

أَلَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ شَيْءٌ، إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Ketahuilah, tidak halal bagi seseorang memperoleh sesuatu dari harta milik saudaranya kecuali dengan adanya kerelaan darinya. HR. Ahmad

Dari prinsip ini, ulama berhasil merumuskan beberapa hukum praktis, misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang terpaksa hukumnya batal (tidak sah). Sebab, ia melakukannya tidak atas dasar kerelaan atau keinginan sendiri.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

‘Adam Al-Gharar

Prinsip lain yang harus selalu menjadi spirit dalam muamalah Islam adalah bebas dari gharar atau spekulasi. Imam Haramain menjelaskan bahwa gharar adalah segala sesuatu yang masih belum jelas konklusi dan akibatnya. [Nihayah al-Mathlab, juz 5, hal. 403]. dengan prinsip ini, jual beli misteri box, misalnya, tidak diperbolehkan dalam Islam karena sifatnya yang spekulatif atau untung-untungan.

Terkait ketidakbolehan adanya aspek gharar dalam sebuah transaksi, sahabat Abu Hurairah berkata,

نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah saw melarang dari jual beli (yang mengandung) gharar. HR. Malik, Abu Daud dan al-Darimi.

‘Adam al-Riba

Selain tidak mengandung unsur spekulatif, muamalah dalam Islam juga harus berlandaskan prinsip bebas dari unsur riba. Ulama telah sepakat mengenai keharaman melakukan praktek transaksi riba berdasarkan beberapa dalil baik Alquran maupun Hadis. Di antara dalil yang melarang praktek ribawi adalah sebagai berikut

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)

(279)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا  تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.

Jika kamu tidak melaksanakannya maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi juka kamu bertobat maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). Q.S. Albaqarah [2]: 278-279.

Baca Juga: Tidak Semua Tambahan itu Riba, Berikut Penafsiran Fazlur Rahman atas Ayat Riba

Menurut keterangan dari Syekh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas merupakan tahapan terakhir dari larangan riba dalam Alquran. Sama seperti larangan minum khamer yang diharamkan secara gradual, Allah Swt mengharamkan praktek riba secara bertahap pula. Dan, ayat ini merupakan ayat pamungkas yang berisi larangan keras melakukan praktek riba sampai-sampai Allah Swt menyatakan perang kepada para pelaku riba. [Tafsir al-Munir, Juz 3, 93]

Dalam hadis, Rasulullah Saw juga telah menegaskan bagaimana kerasnya larangan akad riba sampai-sampai pelakunya dan setiap yang terkait dengannya akan mendapat laknat Allah. Beliau Saw bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَكَاتِبَهُ

Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, saksi dan notulen akad riba. HR. Ahmad.

Itulah beberapa prinsip-prinsip muamalah dalam Islam yang dapat penulis jabarkan dalam tulisan singkat ini. Sejatinya, ada beberapa prinsip lagi yang belum dijabarkan tetapi secara umum semuanya merujuk kepada prinsip keadilan dan kemaslaahatan. Hal ini sebagai representasi dari tujuan agama Islam itu sendiri untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (جلب المصالح و درء المفاسد).

Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

0
prinsip transaksi finansial islami
prinsip transaksi finansial islami

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya (hal 54) mengatakan bahwa secara naluri, manusia adalah makluk sosial. Ini berarti bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap individu secara alami akan berinteraksi dengan individu lain guna memenuhi kebutuhan dan mewujudkan keinginannya, tak terkecuali kebutuhan finansial.

Oleh karena hal itulah manusia akan selalu melakukan transaksi, termasuk transaksi finansial. Dengan kreatifitasnya, beberapa transaksi keuangan yang dilakukan oleh manusia mengalami dinamika dari masa ke masa, mulai dari yang paling kuno, seperti transaksi dengan model barter misalnya, sampai pada transaksi modern yang sudah serba digital seperti jual beli online.

Dalam Islam, kegiatan perekonomian dan transaksi finansial seperti itu diatur dalam segmen fikih muamalah. Namun, tidak seperti fikih ibadah yang praktiknya harus didasarkan kepada dalil afirmatif, praktik-praktik muamalah akan dinilai legal secara syara’ cukup hanya dengan tidak dijumpainya dalil yang melarang praktik tersebut.

Ada satu kaidah yang mengatakan bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Terkait hal ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:

فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ، وَالْأَصْلُ فِي الْعُقُودِ وَالْمُعَامَلَاتِ الصِّحَّةُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْبُطْلَانِ وَالتَّحْرِيمِ

“Pada dasarnya, setiap format ibadah hukumnya batal (haram dilakukan) sampai ada dalil yang memerintahkannya (melegalkannya). Sebaliknya, dalam muamalah pada dasarnya segala bentuk transaksi dihukumi sah sampai ada dalil yang mengharamkannya.” (I’lam al-Muwaqqi’in, juz 1, hal. 259)

Karakter fikih muamalah yang lentur dan fleksibel tersebut dimaksudkan agar manusia tidak merasa terkekang dengan aturan-aturan yang baku dan rigid. Hal ini juga mempertimbangkan dinamisasi peradaban manusia yang berkonsekuensi melahirkan kreasi-kreasi format akad baru yang dinilai lebih maslahat bagi manusia. Bayangkan jika Islam mengatur secara rinci mengenai seluk beluk muamalah manusia, dapat dipastikan akan muncul stagnasi peradaban, terutama dalam bidang ekonomi.

Namun, fleksibelitas fikih muamalah tidak lantas mutlak tanpa batasan-batasan. Dalam hal ini syariat memberikan beberapa aturan-aturan umum atau prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan utama dalam fikih muamalah atau muamalah islami. Artinya, manusia bebas melakukan kreasi dalam bidang transaksi finansial asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip berikut:

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Prinsip keadilan dan saling menguntungkan

Agaknya, tidak asing lagi bagi setiap umat Islam bahwa Islam adalah agama yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Prinsip ini menjadi primadona dalam Islam, tak terkecuali dalam bidang muamalah. Tidak sedikit ayat Alquran maupun hadis Nabi yang menyinggung prinsip keadilah ini, misalnya firman Allah swt. dalam surah an-Nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkarandan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Q.S. an-Nahl [16]: 90.

Ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat di atas adalah kesimpulan seluruh ayat Alquran atau bahkan agama Islam itu sendiri. Perintah untuk berlaku adil dan berbuat baik dalam ayat ini bersifat umum sehingga dapat mencakup pada adil dalam segala aspek. Salah satu manifestasi dari keadilan itu adalah dengan tidak bertindak semena-mena terkait hak milik orng lain. (Al-Tafsir al-Qurani li al-Quran, juz 7, hal. 350)

Sejalan dengan kesimpulan ulama tafsir sebelumnya, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa salah satu tujuan syariat (maqashid syariah) dalam aturan-aturan hukum terkait keuangan adalah menciptakan keadilan. Tujuan ini akan terwujud jika setiap individu tidak berlaku zalim dalam upaya memperoleh harta. (Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 205)

Keadilan dalam muamalah berlawanan dengan kebatilan. Islam melarang segala tindakan muamalah atau urusan finansial yang melalui proses yang batil. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. dalam surah an-Nisa’ ayat 29.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” Q.S. Al-Nisa’ [4]: 29.

Ayat di atas dengan tegas melarang tindakan batil dalam aspek harta benda. Sayyid Muhammad al-Thanthawi menjelaskan bahwa kata bathil dalam ayat di atas mengandung segala upaya memperoleh harta yang dilarang dalam syariat, termasuk mendapatkan harta dengan cara khianat, zalim dan sebagainya. (al-Tafsir al-Wasith, juz 3, hal. 125)

Baca Juga: Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 135; Prinsip Keadilan dalam Akuntansi

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa prinsip ini merupakan prinsip paling asasi dalam muamalah islami yang dapat melahirkan berbagai prinsip dan ketentuan lainnya. Misalnya dalam jual beli tidak boleh ada unsur judi, penipuan, dan segala hal yang merugikan orang lain. Rasulullah saw. pernah bersabda

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada (tidak boleh) memudaratkan orang lain.” HR. Malik, Ahmad, Ibnu Majah

Dengan demikian, jual beli yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan saling menguntungkan tentu akan menyusahkan dan merugikan orang lain. Dan hal tersebut dilarang dalam Islam. Wallah a’lam