Beranda blog Halaman 55

Ide Dekolonisasi Studi Alquran Joseph Lumbard

0
Ide Dekolonisasi Studi Alquran Joseph Lumbard
Joseph E. B. Lumbard (sumber: hbku.edu.qa).

Dekolonisasi, seperti dijelaskan oleh Dane Kennedy dalam buku Decolonization: A Very Short Introduction adalah penarikan diri oleh bekas jajahan dari kekuasaan kolonial atau akuisisi oleh suatu koloni untuk memperoleh kemerdekaan secara politik atau ekonomi.

Dalam perkembangannya, istilah dekolonisasi tidak lagi hanya diaplikasikan dalam konteks ekonomi-politik. Namun, ia juga diaplikasikan dalam konteks akademik seperti yang terefleksikan dalam istilah Intellectual atau Academic Imperialism yang digunakan oleh Syed Hussein Alatas atau Academic Dependence yang digunakan oleh Farid Alatas. Keduanya menulis ide dekolonisasi dalam konteks ilmu sosial humaniora.

Ide dekolonisasi juga menyentuh studi Alquran dan yang akan dielaborasi dalam artikel ini adalah pemikiran dekolonisasi studi Alquran Joseph Lumbard. Dia adalah seorang sarjana muslim Amerika yang merupakan associate profesor di bidang studi Alquran di College of Islamic Studies Universitas Hamad bin Khalifa, Qatar.

Dekolonisasi Studi Alquran Perspektif Joseph Lumbard

Joseph Lumbard dalam artikelnya yang berjudul “Decolonizing Qur’anic Studies” yang diterbitkan oleh jurnal Religion volume 13 nomor 176 tahun 2022, membangun ide dekolonisasinya dengan asumsi berikut:

While muslim lands are no longer directly colonized, intellectual colonialism continues to prevail in the privileging of Eurocentric systems of knowledge production to the detriment and even exclusion of modes of analysis that developed in the Islamic world for over a thousand years. This form of intellectual hegemony often results in a multifaceted epistemological reductionism that denies efficacy to the analytical tools developed by the classical Islamic tradition.

Baca juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Beberapa poin yang patut dicatat dari statement di atas adalah

1). Meskipun sudah tidak ada lagi penjajahan secara fisik atas umat Islam, realitanya penjajahan intelektual masih eksis dan termanifestasikan dalam sebuah sistem pengetahuan yang bersifat Eropa-Amerika-sentris.

2). Konsekuensi dari poin di atas adalah munculnya hegemoni keilmuan. Ilmu-ilmu yang berasal dari barat dianggap lebih superior, lebih komprehensif, lebih sistematis, lebih ilmiah, dan jadi lebih “benar” daripada ilmu yang berasal dari non-Barat.

3). Cara pandang seperti ini pada akhirnya mengakibatkan kolonisasi studi Alquran yang berorientasi pada keilmuan Barat. Pada saat bersamaan, hal ini mereduksi studi Alquran pada tataran epistemologis dengan adanya kecenderungan untuk menegasikan peran sarjana muslim dan perangkat analisis yang dikembangkan pada era Islam klasik.

Baca juga: Melihat Decentering Islamic Studies dari Kacamata Mushaf Nusantara

Misalnya dalam kajian sejarah Alquran, ada asumsi dari sebagian sarjana Barat bahwa konteks kesejarahan Alquran tidak dapat diambil dari dokumen-dokumen sejarah yang ditulis oleh para ulama klasik karena dianggap terdampak oleh bias-bias teologis dan politis (as they are deeply tainted by pious lore and political embellishment), sehingga tidak bisa dianggap sebagai sumber yang valid dan reliable. Walaupun secara empirik mereka masih mengutip karya-karya sarjana muslim klasik, terkhusus yang mendukung asumsi mereka, sembari keep silent terhadap data-data yang bertentangan dengan asumsi yang mereka bangun.

Hal ini, misalnya termanifestasi dari pernyataan Reynolds yang enggan membaca Alquran melalui kitab-kitab tafsir, melainkan harus dibaca melalui literatur bible. Dalam bukunya yang berjudul The Qur’an and Its Biblical Subtext, ia mengatakan:

I will argue that the Al-Qur’an-from a critical perspective at least-should not read in conversation with what came after it (tafsir) but with what came before it (Biblical literature).

Baca juga: Menelaah Kembali Konsep Darul Islam dan Darul Harb

Reynolds nampaknya ingin meneruskan ide para pendahulunya seperti Abraham Geiger dan Arthur Jeffery yang berusaha membuktikan adanya pengaruh agama-agama terdahulu (Yahudi dan Nasrasi) dalam Alquran. Demikian juga kajian-kajian rekonstruksi sejarah Alquran yang ditulis oleh Noldeke, Schwally, Bertgrasser, dan Pretzl yang biasa dijadikan sebagai sumber primer dalam studi Alquran.

Ide dekolonisasi studi Alquran bukan ide untuk menolak secara keseluruhan ilmu atau metodologi yang berasal dari Barat. Namun, ia sebuah framework yang mengajak para pengkaji Alquran untuk membaca secara kritis cultural, epistemological, and even ontological presuppotitions peneliti Barat dalam studi Alquran. Sehingga, tidak ada lagi anggapan bahwa Barat adalah “segala-galanya” atau lebih superior dan berada di hierarki teratas dalam dunia keilmuan yang bisa taken for granted dan menjadi tolok ukur kebenaran.

Kemudian secara bersamaan ide ini membuka peluang terhadap semua ilmu untuk berpartisipasi dalam studi Alquran dan menjadikan semua pengetahuan serta metodologi setara (equity between different ways of knowing and different kinds of knowledge). Demikian juga membuka pintu untuk ilmu-ilmu yang berasal dari tradisi Islam klasik-yang sering disebut sebagai residues from the past oleh para sarjana Barat-yang barangkali bisa diintegrasikan dengan metodologi Barat atau bahkan bisa menjadi benih bagi paradigma intelektual di masa depan.

Baca juga: Mengenal Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Penggagas Epistemologi Tafsir Metalinguistik (1)

Sebagai penutup, berikut kutipan pernyataan Lumbard mengenai dekolonisasi studi Alquran:

Such Decolonization can allow for new “ecologies of knowledge” that recognize the validity of multiple perspective to develop. Recognizing diverse ecologies of knowledge would allow for a different hierarchy of validation that does not privilege one methodology over others due to little more than the legacy of intellectual colonization.

Bolehkah Seorang Muslim Overthinking?

0
Bolehkah Seorang Muslim Overthinking?
Bolehkah Seorang Muslim Overthinking?

Secara bahasa, overthinking bermakna to think about something too much or for too long yakni memikirkan sesuatu terlalu lama atau terlalu banyak. Jadi, individu yang overthinking dapat dipahami sebagai orang yang memiliki kecenderungan untuk berpikir secara berlebihan. Dalam banyak kasus, overthinking hanya pikiran acak yang tidak berkesudahan.

Pada dasarnya overthinking bukanlah suatu penyakit fisik ataupun penyakit mental, melainkan suatu fenomena kecemasan yang umum terjadi. Namun faktanya, overthinking atau terlalu banyak memikirkan sesuatu dapat berdampak buruk bagi kesehatan seseorang. Sikap ini disinyalir merupakan salah satu pemicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan akut.

Kemudian, penting diketahui bahwa overthinking tidaklah sama dengan berpikir kritis walaupun keduanya sama-sama melibatkan otak secara intens. Keduanya bekerja dengan cara yang berbeda. Berpikir kritis adalah proses otak menganalisis fakta untuk membentuk suatu penilaian atau kesimpulan. Sedangkan overthinking adalah suatu pikiran berulang yang tidak punya arah tujuan dan manfaat.

Baca Juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Istilah overthinking belakangan cukup populer di antara kawula muda, khususnya Gen Z (Generasi yang lahir pada tahun 1997an hingga 2012). Hal ini dapat dilihat dari kata “overthinking” yang banyak ditemukan berseliweran di beranda sosial media mereka. Bahkan, bisa dikatakan bahwa overthinking sangat berkaitan erat dengan realitas kehidupan Gen Z (Lihat: Are You a Gen Z Overthinker?).

Jika fenomena overthinking yang terjadi di kalangan generasi muda dihubungkan dengan kehidupan seorang muslim, maka ada satu pertanyaan mendasar yang penting untuk dipikirkan secara saksama, yakni apakah overthinking dibolehkan dalam Islam? Atau bolehkah seorang muslim overthinking? Artikel ini secara singkat dan filosofis akan menjawab pertanyaan tersebut.

Bagaimana Posisi Overthinking dalam Islam?

Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan alami terhadap overthinking atau terlalu berpikir mengenai suatu hal, karena ini merupakan bagian dari naluri “survival instincts” sebagai cara bertahan hidup. Kendati demikian, menurut Smith, seorang psikolog, dalam bukunya The Book Of Overthinking, sikap tersebut perlu dievaluasi manakala mengganggu aktivitas harian.

Dalam diskursus keislaman, overthinking dapat dikaitkan dengan perasaan takut, cemas, khawatir, su’uzhan dan gelisah secara berlebihan terkait suatu hal. Sering kali pangkal dari overthinking adalah ketakutan dan kecemasan tentang sesuatu yang tidak diketahui. Implikasinya, seseorang yang memiliki sikap overthinking cenderung berprasangka buruk terhadap sesuatu yang dipikirkannya.

Berkenaan dengan sikap overthinking, khususnya prasangka buruk, Allah Swt telah mengingatkan untuk menghindarinya sebagaimana yang tertuang dalam QS. Alhujurat [49]: 12 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

Menurut Ali al-Shabuni dalam kitabnya Shafwat al-Tafasir, ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk menjauhi segala bentuk prasangka buruk kepada manusia, karena sebagian besar prasangka itu keliru dan dapat berakibat pada perbuatan dosa. Di samping itu, ayat ini juga memerintahkan muslim untuk tidak mencari dan mengungkap aib saudara sesama muslim.

Berkenaan dengan overthinking, Imam al-Farra’, salah satu mujtahid mazhab Hanbali, menyebutkan dalam bukunya Kitab al-Tawakkul, bahwa tindakan sering memikirkan sesuatu berulang kali atau kehawatiran adalah suatu sikap alami yang berada pada diri manusia. Sikap ini memiliki kategori hukum sesuai dengan kondisi kekhawatirannya.

Berdasarkan objek, kekhawatiran dibagi kepada dua kategori, yakni 1) kekhawatiran tentang dunia; dan 2) kekhawatiran tentang akhirat. Tipe yang kedua merupakan kekhawatiran yang terpuji sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai pusat perhatiannya, maka Allah akan menjadikan kekayaan di dalam hatinya, mengumpulkan baginya persatuannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan senang…”

Adapun kekhawatiran yang pertama, yakni kekhawatiran tentang dunia terbagi pada dua macam berdasarkan intensitasnya, yaitu; 1) kekhawatiran sepintas; dan 2) kekhawatiran yang menetap. Kekhawatiran sepintas adalah kekhawatiran tentang dunia yang terlintas sekejap di dalam hati seseorang terkait suatu permasalahan. Sedangkan kekhawatiran menetap adalah kekhawatiran yang terus menerus ada tanpa henti dalam diri seseorang.

Menurut al-Farra’, dari beberapa jenis kekhawatiran atau overthinking di atas, tipe kekhawatiran yang menetap tentang dunia adalah perbuatan yang tercela, karena itu memiliki dampak negatif bagi pelakunya, di antaranya: 1) dapat mengganggu aktivitas sehari-hari; 2) mendatangkan sikap tercela lain seperti tidak melaksanakan kewajiban karena hanya sibuk dengan pikirannya; 3) dapat menimbulkan prasangka buruk, baik kepada orang lain, diri sendiri atau bahkan Allah Swt.

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Lebih jauh, al-Farra’ menuturkan bahwa segala macam kekhawatiran atau overthinking dapat ditanggulangi dengan menegaskan sikap tawakal. Baginya, orang yang bertawakal sepenuh hati kepada Allah Swt. memiliki keyakinan bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik bagi dirinya. Sikap tawakal yang dimaksud di sini adalah pasrah kepada Tuhan seraya berikhtiar sesuai dengan ketentuan syariat.

Dalam kajian kontemporer, sikap overthinking dapat diatasi dengan banyak cara, salah satunya adalah strategi metakognitif, yakni pemahaman baru tentang bagaimana agar seseorang tidak terlalu cepat memberikan penilaian berdasarkan bukti yang tidak jelas dan belajar melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain, selama tidak ada bukit nyata, sesuatu tidak perlu dipikirkan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa banyak berpikir atau overthinking bukanlah suatu penyakit atau perbuatan dosa selama itu berada pada frekuensi yang wajar (tidak berlebihan). Jika overthinking sudah mencapai titik di mana mengganggu aktivitas atau dapat melalaikan pelakunya dari kewajiban sebagai seorang muslim, maka perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai sikap tercela.

Wallahu a’lam.

Perbedaan Adalah Keniscayaan, Toleransi Adalah Keharusan

0
perbedaan adalah keniscayaan
perbedaan adalah keniscayaan

Hidup dalam realitas kemajemukan seperti di Indonesia memang rentan menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung kepada perpecahan sehingga sikap yang tepat untuk menyikapi realitas tersebut adalah dengan berusaha menerima kelompok lain yang berbeda kultur, agama dan tradisi. Ini yang disebut dengan perbedaan adalah keniscayaan dan toleransi adalah keharusan.

Kita harus mengakui bahwa Allah swt. memang tidak menakdirkan dunia ini seragam agar keseimbangan alam dapat terjaga. Dualisme antara yang baik dan yang buruk, siang dan malam, laki-laki dan perempuan harus mewarnai kehidupan di dunia ini.

Baca Juga: Praktik Toleransi Antar Umat Beragama dalam Surah Yunus: 99-100

Ayat Alquran yang dikutip berikut ini bisa dijadikan sebagai pembenar bahwa memang perbedaan adalah keniscayaan. Dalam surah al-Maidah ayat 48, Allah swt. berfirman,

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” Q.S. al-Maidah [05]: 48.

Ayat serupa yang juga berbicara mengenai keniscayaan sebuah perbedaan sangatlah banyak. Di antaranya yaitu firman Allah dalam surat Yunus ayat 99,

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” Q.S. Yunus [10]: 99.

Menurut Sayyid Thanthawi, ayat di atas diproyeksikan untuk menghibur Nabi Saw. supaya dapat menerima kenyataan bahwa manusia tidak semuanya beriman. Sebagai seorang utusan Allah, beliau saw. sangat menginginkan semua umatnya menerima dan mengimani risalah yang beliau sampaikan, akan tetapi, takdir dan kehendak Allah berkata lain. Tugas beliau adalah tabligh (menyampaikan risalah) saja, sehingga ketika ada orang yang menolak ajarannya maka itu sudah menjadi bagian dari takdir Tuhan yang tidak bisa diubah oleh siapapun.

Baca Juga: Toleransi Tidak Terbatas untuk non-Muslim

Aturan Islam Mengenai Interaksi dengan Kelompok Lain

Merespon perbedaan yang niscaya, Islam sedari awal mempunyai semboyan yang cakupannya tidak hanya merupakan agama yang menebar kasih sayang kepada yang seagama, tapi juga terhadap agama lain, pun dengan perbedaan-perbedaan yang lain.

Adapun terkait interaksi dengan umat beragama lain, Islam telah menggariskan aturan-aturan yang sangat indah. Dalam kondisi damai, Islam sangat getol menyuarakan perlindungan hak-hak umat beragama lain untuk tetap hidup dengan tentram dan damai tanpa ada gangguan baik terhadap jiwa, harta maupun kehormatan.

Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. pernah memberi ancaman kepada orang yang menyakiti atau membunuh non-muslim yang dalam lingkungan damai. Beliau bersabda,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Seseorang yang membunuh orang kafir mu’ahad (non muslim yang beramai dengan umat islam) maka ia tidak akan pernah mencium wangi surga. Padahal, wangi surga dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun. (HR. al-Buhkari no. 3166)

Apa yang disabdakan Nabi Muhammad saw. Di atas sangat bertentangan dengan kelompok teroris yang melakukan bom bunuh diri yang mengatas namakan jihad. Mirisnya, tindakan yang mereka lakukan itu bukan hanya menyasar umat beragama lain tetapi terkadang orang-orang Islam juga kerap menjadi korban.

Jangankan sampai membuhuh, menyakiti non-muslim dalam bingkai suasana perdamaian juga sangat dikecam oleh Nabi. Dalam hadis lain Beliau saw. pernah bersabda

Barang siapa yang menyakiti kafir dzimmi (non muslim yang hidup di bawah perlindungan negara islam) maka dia sama dengan menyakitiku.

Baca Juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Dari sikap Nabi Saw. tersebut, dapat kita katakan bahwa Islam sangat menjaga kehormatan dan keselamatan non-muslim yang hidup bersama-sama umat islam. Menyakiti mereka dengan mengatasnamakan agama dan keyakinan adalah tindakan kriminal dan pelakunya harus segera ditindak dengan tegas. Sebab, tindakan tersebut dapat mengusik kerukunan dan ketentraman yang telah terjain di masyarakat.

Kita tidak bisa memaksa semuanya sama, karena seperti di awal telah dikatakan bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Hal yang harus dilakukan untuk merespon keniscayaan itu adalah toleransi, dan hal ini merupakan sebuah keharusan. Wallah a’lam.

Argumen Validitas Alquran Melalui Frasa “Lā Rayb Fīh”

0
argumen validitas Alquran melalui frasa La Rayb Fih
argumen validitas Alquran melalui frasa La Rayb Fih

Alquran diturunkan kepada sosok yang dijuluki “al-Amin”, sehingga sudah bisa dipastikan jika Rasulullah berkata itu adalah wahyu dari Allah, maka sudah dipastikan itu adalah wahyu dari Allah. Posisi Rasulullah yang juga merupakan “al-Umm” (tidak bisa membaca dan menulis) menjadi validasi yang lebih serius bahwa Alquran bukan tulisan tangan Rasulullah.

Lalu, mengapa Allah masih perlu menjelaskan keabsahan Alquran menggunakan frasa Lā Rayb Fīh (tiada keraguan di dalamnya) pada surat al-Baqarah ayat 2? Atau apakah sebenarnya itu bukan bermaksud untuk mengukuhkan validitas Alquran?

Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Ragam tafsir Lā Raib Fīh

Ibnu al-Jauzi dalam Zad al-Masir menyebutkan bahwa para mufassir memang memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait dengan penafsiran frasa Laa Raiba Fiih. Setidaknya menurut Ibnu Jauzi ada tiga pendapat mufassir mengenai frasa ini :

Pertama, bahwa memang secara tekstual frasa tersebut adalah frasa nafi. Frasa nafi merupakan peniadaan sebuah entitas dari hukum. Dalam hal ini Alquran ditiadakan dari hukum keraguan, sehingga tidak ada keraguan yang bisa menempel pada Alquran.

Namun secara kontekstual, frasa ini merupakan frasa nahi. Frasa nahi merupakan frasa yang menunjukkan larangan. Artinya maksud dari “tiada keraguan” adalah “jangan meragukan!”, sehingga maksud dari para mufassir ini adalah kita tidak diperkenankan membuka ruang keraguan bagi Alquran.

Jika kita mengaku sebagai muslim maka kita harus mantap soal keabsahan Alquran tanpa perlu mempertanyakan banyak hal. Argumen ini juga valid, karena kepercayaan kita terhadap Alquran sebagai kitab suci tanpa butuh bukti apapun menunjukkan kadar keimanan kita yang tinggi. Para pendukung pendapat ini diantaranya adalah al-Khalil bin Ahmad dan Ibnu al-Anbari.

Kedua, bahwa Alquran tidak mengandung keraguan bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka untuk menyadari bahwa Alquran tidak punya celah keraguan kita perlu mencapai derajat taqwa terlebih dahulu. Hal ini menurut para mufassir dijelaskan pada beberapa kata selanjutnya, yakni Hudan lil Muttaqin.

Jadi jika diurutkan, seseorang pertama-tama mencapai derajat taqwa (tentu dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan), dengan demikian seseorang tersebut akan menerima Alquran sebagai kitab suci serta firman Tuhan yang sempurna. Jika sudah demikian, maka seseorang tak akan ragu untuk menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup (Huda). Di antara yang mendukung pendapat ini adalah al-Mubarrad.

Ketiga, tiada keraguan bahwa Alquran itu berasal dari Allah. Pendapat ini menganggap memang yang dimaksud Lā Rayb di sini adalah bermakna tekstual. Sebenarnya pendapat inilah yang memancing pertanyaan di awal tulisan, yaitu ‘mengapa Allah perlu mengkonfirmasi keabsahan Alquran?’ Untuk beberapa orang, konfirmasi adalah proyeksi insekuritas.

Baca Juga: Perdebatan Orientalis tentang Historisitas Alquran

Lantas, apakah tujuan frasa ini justru menutup pertanyaan-pertanyaan tentang validitas Alquran? Atau memang frasa ini justru merupakan proyeksi keberanian Alquran sebagai sebuah kitab suci yang tak takut dikuliti luar-dalam terkait validitasnya dan orsinilitasnya.

Al-Baidhawi dalam tafsirnya, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil menjelaskan skema tersebut sebagai berikut,

لاَ رَيْبَ فِيهِ مَعناهُ أنه لِوُضوحِه وسطوع بُرْهانِه بِحَيْثُ لا يَرْتابُ الْعاقلُ بَعْد النَّظرِ الصَّحيحِ فِي كَوْنِه وَحْياً بالغاً حَدَّ الْإِعجازِ، لا أَنَّ أحداً لا يرْتابُ فِيه، ألا تَرَى إلى قوله تعالى: وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنا عَلى عَبْدِنا. الآية فإنه ما أَبْعَدَ عَنْهم الرَّيْبُ بل عرفهم الطَّريقُ المُريح له، وهو أن يَجْتهدوا في معارضة نجمٍ من نجومه ويبذلوا فيها غاية جهدهم حتى إذا عجزوا عنها تحقق لهم أن ليس فيه مجال للشبهة ولا مدخل للريبة

“Makna dari Laa Raiba Fiih adalah karena kejelasan dan kegamblangan banyak bukti, orang yang punya akal sehat tak akan ragu setelah melihat dengan benar eksistensi Alquran sebagai sebuah wahyu yang telah sampai pada level maksimal sebuah mukjizat. Bukan karena tiada seorangpun yang tidak meragukan al-Quran. Tahukah engkau firman Allah berikut, ‘dan jika sebagian di antara kalian ada yang masih meragukan apa yang kami turunkan kepada hamba kami, maka buatlah satu surah saja yang sepadan dengannya….(sampai akhir ayat).’ Keraguan itu bukannya akan menjauh, namun mereka akan ditunjukkan jalan yang nyaman untuk mencapai keyakinan. Yakni dengan cara mereka berusaha menentang Bintang dari sekian Bintang, dan semaksimal mungkin berusaha hingga mereka tak lagi mampu mewujudkan, bahwa (di dalam Alquran) tiada celah untuk tuduhan maupun keraguan”.

Dari penjelasan al-Baidhawi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa Alquran bahkan membuka peluang bagi siapa pun yang ingin membuat tandingannya, dalam rangka menjegal validitas Alquran dan orisinalitasnnya (ternyata Alquran mampu dibuat oleh manusia). Namun faktanya hingga saat ini manusia yang berusaha melakukannya, malah terjerumus pada kebungkaman karena memang Alquran berada pada level yang berbeda dengan kemampuan manusia, tanpa celah dan keraguan.

Misalnya Gary Miller seorang peneliti dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Amerika Serikat, yang justru masuk Islam dan menulis buku The Amazing Qur’an setelah berusaha meneliti kekurangan-kekurangan Alquran. Dengan demikian frasa Laa Raiba Fiih justru merupakan pemantik manusia untuk terus mempertanyakan validitas Alquran dan orisinalitasnya, hingga akhirnya justru membuktikan dengan sendirinya orisinilitas al-Quran dan tak lagi mampu berkata-kata. Wallah a’lam

Mengenal Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad, Ulama Asal Sumbar

0
Mengenal Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad, Ulama Asal Sumbar
Abdul Malik Ahmad (sumber: pwmu.co).

Sampai dewasa ini, setidaknya ada tiga gaya penafsiran Alquran yang berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim. Pertama, tafsir mushafi yang bertujuan untuk menemukan pesan di dalam teks Alquran sesuai dengan urutan mushaf Utsmani, model mushaf yang populer di kalangan umat muslim. Selanjutnya ada tafsir maudu’i yang memilah ayat-ayat tertentu dalam Alquran guna mendalami topik tertentu. Adapun yang terakhir ada tafsir nuzuli yang fokusnya untuk mengembalikan Alquran sesuai dengan konteks kelahirannya.

Berkaitan dengan tafsir nuzuli, Muhammad Izzat Darwasah dalam kitabnya, at-Tafsir al-Hadis: Tartib as-Suwari Hasab an-Nuzuli (2000) berpendapat bahwa, kemunculan tafsir nuzuli ini sebagai ikhtiar untuk membaca kenabian Muhammad dalam konteks historis. Lantaran menurutnya, Alquran merupakan satu-satunya kitab suci yang merekam sekian kejadian faktual berkenaan dengan kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad. Mulai dari kehidupan masyarakat Arab pra-kenabian, figur Kanjeng Nabi Muhammad, sampai pada laku dakwah pasca menerima risalah kewahyuan.

Adalah Abdul Malik Ahmad, salah satu mufasir Nusantara yang menggunakan gaya tafsir nuzuli dalam penafsirannya. Melalui kitab Tafsir Sinar ini, Abdul Malik Ahmad menghendaki agar setiap umat muslim dapat memahami gerak dakwah Kanjeng Nabi Muhammad di masa-masa itu. Dengan begitu, Alquran menjadi hidup lantaran berisi sekian pengetahuan yang sedang berkembang dalam kurun usia ajaran Islam yang masih belia.

Baca juga: Mengenal Izzat Darwazah dan Model Tafsir Nuzuli

Menurut Khairul Fikri dalam risetnya, Tafsir Nuzuli Karya Ulama Nusantara: Studi atas kitab Tafsir Sinar Karya Abdul Malik Ahmad (2022), pemilihan nama kitab Tafsir Sinar ini disandarkan pada surah Asy-Syu’ara [42] ayat 52. Menurutnya, ayat tersebut menyiratkan bahwa Alquran dapat menjadi sinar (nur) yang menerangi umat manusia lintas zaman.

Kitab Tafsir Sinar yang diproduksi ulama kelahiran Tanah Datar, Sumatera Barat ini memang belum rampung ditulis. Jilid pertama yang terdiri dari tafsir surah al-Alaq [96] sampai surah al-Muddassir [74] memang selesai pada tahun 1962. Kendati demikian, keinginan Abdul Malik Ahmad untuk menuntaskannya sampai surah at-Taubah [9] tidak kesampaian. Ia lebih dulu dikebumikan pada 3 Oktober 1993 di usianya ke-81 tahun. Total, ia hanya berhasil menyelesaikan penulisan kitab Tafsir Sinar sejumlah lima jilid.

Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab

  • Jilid 1 terdiri dari surah al-Alaq, surah al-Qalam, surah al-Muzzammil, dan surah al-Muddassir.
  • Jilid 2 berisi surah al-Fatihah, surah al-Hijr, surah asy-Syu’ara, surah al-Masad, surah at-Takwir, surah al-A’la, dan surah al-Lail.
  • Jilid 3 dimulai dari surah al-Fajr, surah ad-Duha, surah asy-Syarh, surah al-‘Asr, surah al-‘Adiyat, surah al-Kautsar, surah at-Takatsur, surah al-Ma’un, surah al-Kafirun, surah al-Fil, surah al-Falaq, dan surah an-Nass.
  • Jilid 4 memuat surah an-Najm, surah ‘Abasa, surah al-Qadr, surah asy-Syams, surah al-Buruj, surah at-Tin, surah al-Quraisy, serta surah al-Qari’ah.
  • Jilid 5 di dalamnya ada surah al-Humazah, surah Mursalat, surah Qaf, surah al-Balad, surah at-Tariq, surah al-Qamar, dan surah Sad.

Dari lima jilid kitab Tafsir Sinar ini, Abdul Malik Ahmad menguraikannya dengan cukup rinci. Ia menjelaskannya dengan detail dan mendalam terkait surah yang tengah ditafsiri. Misalnya saja surah al-Alaq [96] ayat 1-5. Lima ayat awal yang menjadi wahyu pertama dalam gerak dakwah Kanjeng Nabi Muhammad.

Baca juga: Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

Kelima ayat awal surah al-Alaq bagi Abdul Malik Ahmad bukan hanya sekadar perintah untuk membaca demi mengail pengetahuan. Akan tetapi, kelima ayat itu adalah penegasan ihwal ajaran tauhid. Lantaran kelima ayat itu memuat banyak hal yang bisa ditarik benang merah, utamanya bahwa Allah sebagai Maha Segala dan manusia merupakan makhluk yang lemah serta terbatas.

Singkatnya, kitab Tafsir Sinar karya Abdul Malik Ahmad ini merupakan karya tafsir yang layak untuk dikaji lebih mendalam. Kendati belum genap, tetapi eksplanasi khas ulama Nusantara yang satu ini pada surah-surah yang sudah ditafsiri, tidak dapat ditanggalkan. Minimal kitab Tafsir Sinar ini dapat dijadikan sebagai pembanding atas gaya penafsiran nuzuli yang ada di negeri ini maupun dunia muslim internasional. Begitu.

Makna Kata ‘al-Kitab’ dalam Surah Albaqarah Ayat 2

0
Makna Kata ‘al-Kitab’ dalam Surah Albaqarah Ayat 2
Makna Kata ‘al-Kitab’ dalam Surah Albaqarah Ayat 2

Salah satu yang menjadikan nama Alquran begitu istimewa bagi umat muslim adalah Alquran memiliki nama-nama lain yang juga secara official disebutkan dalam Alquran itu sendiri. Menurut Dr. Adam Bamba dalam karyanya Asma’ al-Qur’an al-Karim, ada tiga nama utama untuk Alquran: al-Qur’an, al-Kitab, dan al-Furqan. Tolok ukur keutamaan nama-nama tersebut adalah kemasyhuran penyebutannya dalam Alquran. Dengan kata lain, ketiga nama tersebut adalah tiga nama yang paling sering disebutkan dalam Alquran, terutama dua nama pertama: ‘al-Qur’an’ dan ‘al-Kitab’.

Menurut Fadhil as-Samarra’I dalam Lamasat al-Bayaniyah, pemilihan diksi ‘al-Qur’an’ atau ‘al-Kitab’ dalam pembukaan sebuah surat memiliki peran penting dalam gaya bahasa yang akan digunakan surah tersebut pada ayat-ayat berikutnya.

فيلاحظ أنه عندما يبدأ بالكتاب يتردد في السورة ذكر الكتاب أكثر بكثير مما يتردد ذكر القرآن، أو قد لا تذكر كلمة القرآن مطلقاً في السورة. أما عندما يبدأ بالقرآن فيتردد في السورة ذكر كلمة القرآن أكثر الكتاب، أو قد لا يرد ذكر الكتاب مطلقاً في السورة، وإذا اجتمع القرآن والكتاب يترددان في السورة بشكل متساو تقريباً

Maka dilihat dari hal tersebut, ketika (sebuah surah) di awali dengan (penyebutan) kata ‘al-Kitab’, maka penyebutan itu akan berulang di surah tersebut berkali-kali lebih banyak dibanding (penyebutan) kata ‘al-Qur’an’, atau bahkan kata ‘al-Qur’an’ tak akan disebutkan sama sekali. Sedangkan Ketika (sebuah surah) di awali dengan (penyebutan) kata ‘al-Qur’an’, maka penyebutan itu akan berulang di surah tersebut berkali-kali lebih banyak dibanding (penyebutan) kata ‘al-Kitab’, atau bahkan kata ‘al-Kitab’ tak akan disebutkan sama sekali. Sedangkan jika kata ‘al-Qur’an’ dan kata ‘al-Kitab’ dikumpulkan dalam satu ayat, maka keduanya akan diulang dengan kuantitas yang kurang lebih sama.

Baca Juga: Mengenal 55 Nama Al-Quran Beserta Alasan Penamaanya (1)

Hasil observasi yang dikemukakan oleh Fadhil As-Samara’I di atas bukanlah omong kosong belaka. Umat muslim tahu bahwa surah Albaqarah diawali dengan ayat dzalika al-kitabu laa raiba fiih. Sedangkan dalam surah Albaqarah, kata ‘al-Kitab’ diulang sebanyak 47 kali. Sementara itu, kata ‘al-Qur’an’ hanya disebut satu kali pada ayat syahru ramadhana alladzi unzila fiihi al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa dimensi semantika pada pemilihan kata ‘al-Kitab’ akan punya peran penting dalam sebagian besar muatan surah Albaqarah. Lalu apa maksud dari penggunaan kata ‘al-Kitab’ dalam surah Albaqarah?

Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 1, 87-88), penggunaan kata ‘al-Kitab’ merupakan kombinasi antara ‘al’ ta’rif dengan kata ‘kitab’. ‘Al’ pada kata tersebut menurut beliau adalah lambang kesempurnaan. Kesempurnaan kitab tersebut membuat tiada kitab-kitab lain yang pantas dijuluki ‘al-Kitab’ kecuali kitab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.

Jika menggunakan logika berfikir untuk menelaah penjelasan M. Quraish Shihab di atas, maka pasti akan mengerti bahwa terkadang sebuah brand akan bisa lebih mendefinisikan sebuah produk daripada produk itu sendiri. Hal itu merupakan pertanda bahwa brand tersebut sangat bagus kualitasnya, sampai-sampai jika dipikirkan sebuah produk tertentu, maka yang menjadi top mind adalah brand tertentu.

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al-Quran: Az-Zikr dan Al-Kitab

Misalkan, tidak perlu menyuruh seseorang membeli brand “aqua”, kita cukup menyuruh untuk membeli “air mineral”. Begitupula Alquran, dengan menyebut ‘al-Kitab’ saja (yang notabene kata umum) orang umum akan memahami bahwa yang dimaksud adalah bukanlah ‘kitab’ selain Alquran, karena Alquran merupakan kitab suci Allah Swt yang terbaik.

Lagi pula, menurut Al-Qurthuby dalam tafsirnya, surah Albaqarah ini isinya kebanyakan membahas tentang Bani Isra’il. Sedangkan masyarakat Bani Isra’il lebih familiar dengan kata ‘al-Kitab’. Injil dan Taurat memuat teks mengenai akan diturunkannya ‘kitab’ ini

وقيل: إن (ذلِكَ) إشارة إلى ما في التوراة والإنجيل. و(الم) اسم للقرآن، والتقدير هذا القرآن ذلك الكتاب المفسر في التوراة والإنجيل، يعني أن التوراة والإنجيل يشهدان بصحته ويستغرق ما فيهما ويزيد عليهما ما ليس فيهما.

Dan ada sebuah pendapat: sesungguhnya kata (dzalika) adalah isyarat terhadap Taurat dan Injil. Sedangkan (alif lam mim) adalah nama untuk Alquran. Dan disembunyikannya kata (hadza al-Quran) adalah kitab yang ditafsirkan dalam Taurat dan Injil. Bahwa Taurat dan Injil memuat validasi tersebut, kitab tersebut juga memuat ajaran Taurat dan Injil, serta menyempurnakan yang tidak dituliskan dalam keduanya.

Dengan demikian, meskipun yang dimaksud dalam kata “al-Kitab” tersebut adalah Alquran, penggunaan kata “al-Kitab” dinilai memiliki value yang lebih bermakna ketimbang sekadar ditulis secara langsung. Selain itu, penggunaan kata ini juga memantik diskusi ilmiah yang menarik bahkan semenjak pertama kali mempelajari ayat Alquran. Maka alangkah baiknya kita kaji lafaz-lafaz Alquran secara diakronis, untuk mengungkap lebih dalam penafsiran sebuah ayat.

Wallahu a’lam.

Rasm Alquran dalam Penulisan Rajah

0
Rasm Alquran dalam Penulisan Rajah
Ilustrasi rajah (sumber: NU Online).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan rajah sebagai suratan (gambaran, tanda, dan sebagainya) yang dipakai sebagai azimat (untuk penolak penyakit dan sebagainya). Azimat sendiri merupakan barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan digunakan sebagai pelindung pemiliknya, penangkal penyakit, dan lain sebagainya.

Dalam arti yang sedikit berbeda, Senata Adi Prasetia dalam tulisannya berjudul Performative Analysis of Rajah Syekh Subakir in Tawing Village, Trenggalek Perspective of Living Qur’an yang menukil dari Ali Nurdin menjelaskan bahwa rajah merupakan tulisan aksara Arab yang ditulis secara terpisah yang dipadukan dengan serpihan ayat Alquran.

Beberapa sumber yang penulis baca, ada yang menyamakan rajah dengan azimat sebagai objek yang berisi tulisan tertentu dari zikir atau ayat Alquran yang ditulis secara terpisah dengan teknik tertentu. Penyamaan ini boleh jadi disebabkan adanya perbedaan sudut pandang pada satu objek antara diksi rajah dengan azimat. Rajah lebih menekankan pada teknis penulisan. Sedangkan azimat lebih menyorot pada ‘kekuatan’ yang dikandung.

Dalam kajian Alquran, rajah sering kali dikaitkan dengan fenomena Alquran yang hidup atau Living Qur’an. Aspek yang ditekankan ada pada aktivitas penerimaan (resepsi)-nya, yang menurut Ahmad Rafiq sebagaimana juga dikutip oleh Senata Adi dalam Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan para Ulama, Simak Penjelasannya, disebut memiliki fungsi performatif atau praktis.

Sandaran praktiknya, seperti dijelaskan Al-Nawawiy dalam Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, adalah riwayat dari Ibn Mas‘ud r.a,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مَنْ قَرَأَ بِهِمَا فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ

Rasulullah saw. berkata: “Dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah yang barang siapa membacanya (sebelum tidur) maka akan mencukupinya.”

Menurut sebagian ulama, makna kata kafa dalam riwayat tersebut yang secara literal berarti mencukupi adalah menolak dari hal-hal yang tidak ia sukai.

Baca juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya

Terlepas dari unsur sosial dan antropik yang mendasari pembacaan fenomena rajah, penulis memandang adanya peluang pembacaan fenomena yang sama menggunakan perspektif ilmu rasm, ilmu yang memberikan perhatian khusus terhadap teknis penulisan setiap huruf dalam Alquran, tepatnya pada garis batang huruf tanpa menyertakan titik dan tanda baca harakat.

Peluang pembacaan ini dikarenakan kesamaan unsur yang ada pada fenomena rajah dan substansi kajian ilmu rasm. Rajah, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai penulisan ayat Alquran secara terpisah, huruf per huruf. Dengan demikian, ilmu rasm, yang berisi kaidah penulisannya, akan menjadi piranti pembacaan yang sangat tepat.

Kemungkinan peluang ini penulis dapatkan ketika penulis beberapa kali mendapatkan ijazah (dengan arti izin dari seorang guru terkait suatu amalan atau ilmu, bukan dengan arti surat tanda tamat belajar) untuk menulis rajah atau azimat yang terdiri dari ayat Alquran. Ketika menjumpai kata yang memiliki perbedaan penulisan dalam ilmu rasm, timbullah pertanyaan, “Model manakah yang harus penulis ikuti?”

Baca juga: Ayat Alquran Disisipkan ke dalam Mantra: Fenomena Unik Masyarakat Banjar

Sebagai contoh, Ayat Kursi (Al-Baqarah [2]: 255) memiliki dua kata al-samawat (berbentuk jam‘ al-mu’annats al-salim). Dalam ilmu rasm, kata tersebut ditulis tanpa menggunakan huruf alif setelah huruf mim dan waw. Sebagai gantinya, harakat yang digunakan adalah fathah berdiri. Padahal, beberapa mushaf yang belum mengikuti kaidah-kaidah ilmu rasm menulis kata tersebut dengan menggunakan huruf alif, sesuai model imla’i.

Dalam penulisan rajah, kedua model tersebut tentu saja akan menghasilkan perbedaan tulisan. Jika mengikuti kaidah ilmu rasm (model usmani), kata al-samawat akan ditulis menjadi, ‘ا ل س م و ت’. Sedangkan jika mengikuti model imla’i, kata tersebut akan ditulis menjadi, ‘ا ل س م ا و ا ت’.

Dalam hal ini, perbedaan tulisan akibat perbedaan model yang diikuti bukan menjadi permasalahan utama karena ilmu rasm ditempatkan sebagai piranti pembacaan. Lagi pula, penggunaan kaidah-kaidah ilmu rasm dalam penulisan masih diperdebatkan kewajibannya, sehingga ada peluang diperbolehkan ketika mengikuti pendapat yang tidak mewajibkan.

Baca juga: Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer

Masalah utamanya terletak pada pertanyaan apakah ada implikasi tertentu dari perbedaan penulisan tersebut terhadap fenomena penulisan rajah. Berdasar pengalaman yang penulis alami, pertanyaan tersebut sempat menimbulkan keraguan dalam diri seorang penulis rajah atas apa yang ia tulis. Karena jika merujuk pada ulasan di awal tulisan, rajah dipandang memiliki fungsi performatif dan praktis.

Sederhananya, penulis rajah dapat meragukan rajah yang ia tulis sendiri, benar atau tidakkah rajah yang ia tulis, manjur atau tidakkah rajah yang ia tulis nanti, dan lain sebagainya. Masih dari beberapa sumber yang penulis baca, rajah atau azimat memiliki tata cara penulisannya sendiri, seperti harus menghadap ke mana; ditulis di waktu apa; penulis dalam keadaan suci; dan lain sebagainya. Akan tetapi, tak satu pun yang menyinggung masalah rasm. Apa karena masalah rasm ini memang tidak menjadi pertimbangan dalam penulisan rajah? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Keesaan Allah dan Format Jamak dalam Alquran

0
keesaan Allah dan format jamak dalam Alquran
keesaan Allah dan format jamak dalam Alquran

Tauhid atau keesaan Allah merupakan harga mati akidah umat Islam. Bahkan dalam surat al-Ikhlas, Allah memerintahkan Rasulullah untuk merayakan keesaan Allah dengan cara mengungkapkannya dalam bentuk ucapan. Bahkan Salah satu zikir khas umat Islam adalah kalimat tahlil, yakni pendeklarasian akan keesaan Allah.

Meskipun demikian, dalam Alquran, eksistensi Allah itu sendiri sering disebutkan dalam format jamak. Misalkan dalam surah al-Hijr, Allah berfirman sebagai berikut:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Q.S Al-Hijr: 09)

Dalam ayat tersebut, Allah berfirman menggunakan dhamir mutakallim ma’a al-ghayr (kata ganti orang pertama jamak) yang berarti ‘kami’. Dari logika linguistik secara umum saja, ini bisa saja dipahami bahwa kata ganti semacam ini digunakan untuk menggambarkan bahwa subjek tidak bekerja sendirian.

Selain itu pada bagian takhir ayat, Allah juga menggunakan format jamak pada kata Hafidzuun (para penjaga) yang makin menguatkan argument, bahwa jika memang yang dimaksud dalam ayat ini adalah Allah, maka bagaimana mungkin Allah diilustrasikan sebagai dzat yang lebih dari satu?. Argumen ini sering digunakan oleh para orientalis untuk menjatuhkan keabsahan Alquran sebagai kitab suci umat Islam.

Baca Juga: Ketika Penafsiran Hanya Dengan Bahasa Arab, Ini Contoh Tafsir Lughawi yang Menyimpang

Di balik penggunaan format jamak 

Penggunakan kata ganti “kami” dalam Alquran bagi entitas ketuhanan menurut para ahli tafsir berfungsi sebagai sorotan keagungan Tuhan. Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menyebutkan bahwa salah satu dari lima metode Allah ketika menyoroti kekuasaannya dalam Alquran adalah dengan menggunakan format jamak.

الرَّابِعُ: عَبَّرَ عَنْ ذَاتِهِ بِصِيغَةِ الْجَمْعِ فِي هَذِهِ الصِّفَةِ قَالَ تَعَالَى: فَقَدَرْنا فَنِعْمَ الْقادِرُونَ، [الْمُرْسَلَاتِ: 23]

“keempat: mengungkapkan Dzat-Nya menggunakan format plural (jamak) untuk sifat ini. Sebagaimana firman Allah: lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan (Q.S al-Mursalat: 23)”

Penggunaan format ini sama sekali tidak mengganggu keesaan Allah. Dalam bagian lain tafsirnya yang menjelaskan surah al-An’am ayat 99, ar-Razi juga menekankan soal nirhubungan antara format jamak dan keesaan

وَالْبَحْثُ الرَّابِعُ: قَوْلُهُ: فَأَخْرَجْنا صِيغَةُ الْجَمْعِ. واللَّه وَاحِدٌ فَرْدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ، إِلَّا أَنَّ الْمَلِكَ الْعَظِيمَ إِذَا كَنَّى عَنْ نَفْسِهِ، فَإِنَّمَا يُكَنِّي بِصِيغَةِ الْجَمْعِ، فَكَذَلِكَ هَاهُنَا

“pembahasan keempat: ungkapan ‘maka kami gunakan format plural’. Sedangkan Allah itu satu nan tunggal, tiada sekutu bagiNya.  Hanya saja sesungguhnya sosok penguasa yang agung Ketika ia menjuluki dirinya, maka ia akan menjulukinya dengan format plural. Begitupulalah yang terjadi di ayat ini (al-An’am: 99)”

Maka, Ketika Allah berfirman menggunakan kata ganti “nahnu” atau “naa” itu berarti Allah sedang menekankan keagungannya, karena konteks yang terjadi memang perlu penguatan (taukid).

Misalkan pada surat al-Hijr di atas, maraknya praktik tahrif dan tasrif dalam kitab-kitab suci sebelumnya membuat kepercayaan umat terhadap orisinilitas kitab suci jadi menurun. Untuk menjaga kepercayaan ini, Allah menekankan penyataan bahwa Dzat-Nya lah yang akan menjaga orisinilitas Alquran, ditambah lagi menggunakan format plural sebagai bentuk penguatan.

Selain itu, As-Samin Al-Halabi dalam tafsirnya Ad-Durr Al-Masun fi ‘Ulum al-Kitab al-Maknun menyebutkan bahwa alasan mengapa Allah menggunakan kata ganti prulal selain untuk kepentingan ta’dzim juga karena Allah adalah sumber dari segala semesta (Asl al-Jami’). Maka sangat diperbolehkan bagi Allah menggunakan kata ganti plural, karena tanpa adanya Allah maka semesta yang menjadi tempatnya banyak tidak akan ada wujudnya

الخطاب في «خلقناكم وصوَّرناكم» لآدم عليه السلام وإنما خاطبه/ بصيغة الجمع وهو واحد تعظيماً له ولأنه أصلُ الجميع، والترتيب أيضاً واضح

“tuturan dalam ayat ‘dan kami ciptakan serta kami gambarkan kalian (al-A’raf: 11)’ kepada nabi Adam Alaihissalam. Dan sesungguhnya Allah berfirman menggunakan format plural sedangkan Dia itu esa, adalah karena untuk mengagungkan (ta’dzim) kepadaNya, dan karena Allah adalah sumber segala pluralitas (asl al-jami’), urutannya sudah jelas.”

Baca Juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Al-Quran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Melalui pendapat-pendapat, penafsiran, serta konteks dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan format jamak terhadap Dzat Allah bukanlah sebuah bentuk inkonsistensi Alquran dalam gramatika, apalagi sampai menimbulkan penafsiran bahwa konsep ketuhanan Islam adalah politeisme (menuhankan banyak entitas).

Hal ini juga memperkuat argumen  bahwasanya memahami Alquran tidak cukup hanya menggunakan keilmuan bahasa Arab secara mendasar saja, perlu banyak instrumen keilmuan lain untuk memahami isi Alquran. Maka sebagai muslim yang baik, untuk memahami Alquran perlu memahami pendapat para mufasir sebagai pakar Alquran yang sudah terpercaya kapabilitas keilmuannya. Wallah a’lam.

Mempertimbangkan Akibat dari Suatu Keputusan Hukum dalam Memahami Alquran

0
mempertimbangkan akibat suatu keputusan hukum dalam memahami Alquran
mempertimbangkan akibat suatu keputusan hukum dalam memahami Alquran

Proses perumusan hukum Islam selain harus mengacu kepada nas Alquran dan Hadis juga harus tetap menghadirkan maqasid syariah sebagai pertimbangan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam yang dihasilkan dari proses ijtihad senantiasa berorientasi kepada maslahat, baik maslahat di masa sekarang atau maslahat pada waktu mendatang.

Salah satu upaya yang harus ada dalam proses ijtihad adalah mempertimbangkan akibat dari keputusan hukum yang akan dirumuskan. Inilah yang dalam kajian ushul fikih dikenal dengan i’tibar al-ma’al atau ma’alat al-af’al.

Ulama yang pertama kali memperkenalkan konsep i’tibar al-ma’alat dalam proses ijtihad adalah Imam as-Syatibi dalam masterpiece-nya, al-Muwafaqat, tepatnya ketika membahas mengenai ijtihad. Selain i’tibar al-ma’alat, ada beberapa redaksi lain yang digunakan oleh ulama untuk mengungkapkan teori ini, yaitu i’tibar al-ma’alat, fiqh ma’alat, ijtihad ma’alat dan lain-lain.

Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

Pengertian Ma’alat Al-Af’al

Secara etimologi, istilah ma’alat merupakan bentuk plural dari kata ma’al yang berarti tempat kembali, sama persis dengan makna kata marja’. (Al-Qamus al-Muhith, juz 3, hal. 452), sedangkan al-af’al sendiri dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan.

Secara terminologi, Syeikh Abdurrahman bin Muammar as-Sanusi mendefinisikan ma’alat al-af’al atau i’tibar al-ma’alat sebagai upaya memberlakukan hukum sesuai dengan tuntutan parsial ketika ia diterapkan dalam kehidupan agar tujuan (yang berupa maslahat atau menolak mafsadat) dari tuntutan parsial itu dapat terwujud. (I`tibar al-Ma’alat wa Mura`atu Nata’ij al-Tasharrufat, hal. 19)

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teori maalat al-af’al merupakan suatu upaya melirik atau memprediksi akibat yang akan ditimbulkan oleh sebuah hukum atau suatu tindakan, apakah akibatnya baik sehingga perbuatan itu dianjurkan, atau justru berakibat kepada kemudaratan dan menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan maqasid syariah sehingga perbuatan tersebut menjadi terlarang.

Gampangnya, teori I’tibar al-Ma’alat adalah sebuah perspektif dalam mengambil sebuah keputusan hukum terhadap suatu fenomena berdasarkan pertimbangan tentang akibat yang mungkin ditimbulkan. Hal ini bertujuan untuk merealisasikan maslahat yang merupakan tujuan asasi dari penetapan sebuah hukum. Artinya, suatu fenomena akan dihukumi haram manakala berpotensi mengakibatkan mudarat. Sebaliknya, jika fenomena tersebut disinyalir mendatangkan maslahat maka ia akan dihukumi mubah (bahkan wajib).

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Legalitas Teori Ma’alat al-Af’al

Menurut Imam al-Syatibi, konsep I’tibar al-Ma’alat atau Ma’alat al-Af’al diakui eksistensinya oleh syariat. (Al-Muwafaqat, Juz 5, hal. 177). Artinya, dalam proses postulasi hukum Islam, seorang mujtahid harus memperkirakan terlebih dahulu dampak dari sebuah fenomena (baik berupa ucapan atau tindakan), apakah ia berpotensi mendatangkan kebaikan atau sebaliknya. Barulah kemudian dapat dirumuskan kesimpulan hukumnya berdasarkan akibat yang akan ditimbulkan.

Ada banyak contoh keputusan hukum yang dilandaskan pada teori I’tibar al-Ma’alat, baik yang terdapat dalam Alquran, Hadis atau pendapat para ulama. Di antara bebarapa contoh penerapan teori I’tibar al-Ma’alat dalam Alquran dan hadis yang dapat dijadikan hujjah bagi konsep ini adalah pemahaman surah Al-An’am: 108,

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. [Q.S. Al-an’am: 108]

Dalam ayat ini, Allah swt. melarang umat Islam menghina berhala-berhala orang kafir karena Allah swt. tahu bahwa jika hal itu terjadi maka kekafiran mereka malah akan bertambah.

Dalam Tafsir al-Qurtubi diterangkan bahwa keharaman menghina sesembahan orang kafir atau bahkan atribut-atribut keagamaan mereka seperti salib, gereja dan sebagainya akan terus berlaku di setiap masa dan situasi, selama tindakan tersebut dapat memicu aksi pembalasan dari mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa tindakan yang benar terkadang harus dihentikan lantaran ada bahaya yang dapat ditimbulkan bila tetap dilakukan. (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 7, hal. 61)

Baca Juga: Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

Substansi yang sama juga dapat dilihat pada firman Allah swt. berikut ini

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun perahu tersebut adalah milik orang-orang miskin yang bekerja sebagai nelayan di laut, maka saya bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua perahu” (Q.S. al-Kahfi: 79)

Ayat di atas mengisahkan tindakan yang dilakukan Nabi Khidir sewaktu menyeberangi sebuah sungai bersama Nabi Musa. Tiba-tiba saja beliau merusak perahu milik nelayan yang telah mengantarkannya ke seberang.

Tindakan ini spontan membuat Nabi Musa ingkar karena secara lahiriah, perbuatan merusak barang orang lain adalah hal yang dilarang, akan tetapi, di balik tindakan yang dilakukan Nabi Khidir ternyata ada maslahat besar yang akan didapatkan oleh pemilik perahu tersebut, yaitu perahunya tidak dirampas oleh orang-orang zalim di seberang sana yang hobi merampas perahu-perahu bagus. (Tafsir al-Sya’rawi, juz 14, hal. 8968)

Pada kisah Nabi Khidir a.s. di atas terdapat indikasi bahwa syariat memang mengakui prinsip Ma’alat al-Af’al. Dalam syariat, kita dituntut untuk menimbang-nimbang jika dihadapkan pada dua hal secara diametral. Kita harus memilih yang maslahat atau yang paling maslahat diantara beberapa maslahat lainnya. Dalam konteks kisah di atas, tentu lebih baik melobangi perahu yang nantinya masih bisa diperbaiki daripada membiarkannya dirampas tanpa sisa oleh para perampok.

Tindakan Nabi Khidir yang terdapat pada ayat di atas bisa dijadikan legitimasi syariat untuk konsep Ma’alat al-Af’al. Pasalnya,  sebab tidak diragukan lagi bahwa mengambil resiko yang lebih ringan jika akan dapat menolak kemudaratan yang jauh lebih besar adalah sesuatu yang terpuji dalam pandangan syariat. Maka bocornya perahu tadi akan dapat diatasi dengan cara memperbaikinya, sedangkan ketiadaan perahu karena dirampas akan menghilangkan semua harapan. (Tafsir al-Maraghi, juz 16, hal. 7)

Selain dua ayat di atas, terdapat beberapa contoh lain baik dalam Alquran atau hadis yang menunjukkan spirit Ma’alat al-Af’al.

Demikianlah penjelasan singkat prinsip Ma’alat al-Af’al dan legalitas serta contoh penerapannya dalam Alquran. Spirit Ma’alat al-Af’al ini juga dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari agar tindakan yang kita lakukan saat ini tidak akan menimbulkan penyesalan di masa mendatang. Wallah a’lam

Spiritualitas Manusia dan Alam dalam Perspektif Islam

0
Spiritualitas Manusia dan Alam dalam Perspektif Islam
Spiritualitas manusia dan alam semesta dalam perspektif Islam.

Ketika mengamati alam semesta, seseorang bukan hanya memahami bahwa fenomena itu sudah nyata terjadi. Fenomana yang mengitari kehidupannya bukan sekadar didorong untuk mengaitkan kealaman dengan ciptaan-Nya. Lebih dari itu, ada nalar berpikir yang mendorong kepada kesadaran. Alam semesta yang diciptakan-Nya bukan sekadar menjadi dalil bahwa Tuhan itu ada. Yang penting untuk diperhatikan, pengamatan secara saksama terhadap alam semesta menimbulkan kesadaran akan kebesaran Tuhan Yang Maha Menciptakan. Mulai dari mikro sampai dengan makro kosmos, semuanya terjadi berkat Tuhan, termasuk diri manusia yang memikirkannya.

Berpikir dengan mengaitkan satu fenomena pada yang lainnya berada dalam alur berpikir rasional. Gambaran hukum alam menyediakan lahan berpikir rasional.  Namun, ketika hal itu menimbulkan ruang kesadaran kepada Yang Maha Menciptakan, seseorang sudah beranjak ke persepsi spiritual. Persepsi ini akan menghadirkan jalinan akal dan hati pada kesadaran kebesaran Allah Swt.

Apa itu Persepsi Spiritual?

Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, fenomena alam dan Alquran adalah tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Tuhan. Ini menjadi cikal bakal lahirnya persepsi spiritual.

Persepsi spiritual sebagai tindakan mengetahui atau memahami alam semesta sebagai tanda-tanda bukti dan indikasi keberadaan dan kebesaran Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Persepsi spiritual merupakan kesadaran bahwa keragaman ciptaan, alam semesta, dan pengalaman manusia adalah tanda-tanda dan manifestasi dari keesaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.  Persepsi menghubungkan kesadaran akan pemahaman terhadap fenomena terhadap kehadiran Tuhan dan segala kebesaran-Nya.

Baca juga: Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?

Dalam konteks psikologi, persepsi spiritual akan mendorong seseorang menemukan kesadaran batin. Kesadaran batin yang mengaitkan dirinya pada Tuhan akan melahirkan sikap yang baik. Sebab, kesadaran tersebut akan berbuah bahwa dirinya hidup di alam semesta ini berdampingan dengan makhluk lain, dirinya lemah di hadapan-Nya, dan kehidupannya akan dipertanggungjawabkan.

Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam (2006) menegaskan bahwa melalui pengamatan dan refleksi terhadap tanda-tanda tersebut, manusia menyadari sifat-sifat khusus Tuhan.  Allah berfirman dalam Alquran bahwa ada tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Akan tetapi, tanda-tanda tersebut tidak dapat diketahui dan dipahami kecuali oleh mereka yang menggunakan akalnya, sebagaimana pada Q.S. 2: 164, 242, 266; 3: 118, 190; 6: 126; 7: 26; dan 20: 20-25.

Tiga Tahapan Persepsi Spiritual

Seseorang harus melalui tiga tahap proses berpikir sebelum dia dapat memahami pesan-pesan spiritual di alam semesta. Tahap pertama adalah pengumpulan data dari alam semesta melalui persepsi indera. Pada tahapan ini fenomena diindera dan diproses dalam nalar. Alur informasi dari dunia luar diproses melalui daya berpikir. Apa yang empirik menjadi sumber data atau informasi. Sebab, tidak mungkin hal ini diteruskan pada tahap konseptualisasi apabila belum ada tahapan empiris.

Tahap kedua adalah menafsirkan dan memahami data yang terkumpul melalui pemikiran rasional untuk mencapai pengetahuan. Pada tahap ini, data-data tersebut diamati, diselidiki, dan dieksperimenkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan secara ilmiah. Selain itu, proses analisis diarahkan untuk menguraikan sifat-sifatnya serta manfaat dan bahaya yang dapat ditimbulkannya bagi manusia, lingkungan, dan makhluk lainnya. Studi ini merupakan tahap yang sangat diperlukan dalam mencapai persepsi spiritual. Hasil akhir dari proses berpikir ini adalah pengetahuan filosofis dan ilmiah, teori, hukum, dan aplikasinya.

Baca juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial

Tahap ini berhubungan dengan metode ilmiah. Pendalamannya terdapat pada ruang konseptualisasi berupa teori, konsep, hukum, atau teorema.

Tahap ketiga adalah tahap wawasan spiritual. Pada tahap ini, manusia menyadari dan merasakan bahwa dalam pengetahuan tentang alam semesta dan pengalaman manusia terdapat pesan-pesan dan bukti-bukti keberadaan dan kebesaran Allah. Jembatan antara persepsi rasional dan persepsi spiritual adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti apa tujuan dari keberadaan, bagaimana saya hidup, dan apakah ada kehidupan setelah kematian? Pemikiran reflektif atas pertanyaan-pertanyaan ini membangun hubungan antara pemikiran rasional dan spiritual, seperti pernah dikemukakan Iqbal (2006).

Dari Pikir ke Zikir

Hasil persepsi spiritual diperoleh melalui refleksi dan kontemplasi dari realitas ciptaan dengan mempertanyakan metafisiknya. Objek yang direnungkan mengandung pesan-pesan dari Allah bahwa Dia ada dan berkuasa. Hal ini tentu ada di luar imajinasi untuk membuat objek yang dipelajari begitu indah dan harmonis dengan ciptaan lainnya.

Baca juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Pada tingkat kognisi ini, manusia juga menyadari keterbatasannya dan mengakui kebutuhan akan Tuhan untuk mencapai kebahagiaan yang memungkinkannya untuk mengakui Tuhan melalui tindakan yang benar. Dengan kata lain, melalui pendekatan spiritual, seseorang memahami dan menyimpulkan bahwa dirinya, alam semesta, dan pengalaman manusia adalah tanda-tanda yang mengarah kepada Tuhan yang menyebabkan dia mengenali dan mengakui keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Pada titik di mana seseorang menyadari bahwa semua keberadaan adalah tanda-tanda yang menandakan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, pemikiran reflektif (pikir) diubah menjadi perenungan (zikir).

Hal ini pernah ungkap oleh Ibn Qayyim dalam Miftāḥ Dār al-Saādah (2010) bahwa Hasan al-Basri mengatakan bahwa orang yang berilmu secara konsisten melakukan zikir (mengingat Allah) melalui fikr (berpikir). Ibn Qayyim pun menegaskan bahwa pikir dan zikir adalah benih-benih ilmu. Wallahu a’lam