Beranda blog Halaman 56

Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

0
Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas
Ilustrasi literatur keislaman.

Pembahasan mengenai dalil menempati posisi sentral dalam kajian Ilmu usul fikih. Hal ini wajar karena dalil merupakan objek kajian usul fikih. Di samping itu, keberadaan dalil juga sangat diperlukan untuk merumuskan sebuah preskripsi hukum mengenai suatu kasus, sehingga keputusan hukum yang akan dihasilkan memiliki landasan kuat dari sudut pandang syariat.

Pada tulisan ini akan dibahas seputar definisi dalil, klasifikasi dalil, dan legalitas dalil. Dengan memahami konsep mengenai dalil dalam kajian fikih dan usul fikih, diharapkan juga menjadi pengayaan bagi mereka yang menganggap bahwa dalil itu hanya terbatas pada Alquran dan hadis.

Definisi dalil

Secara bahasa, dalil dapat diartikan sebagai petunjuk. Menurut terminologi usul fikih, dalil adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh keputusan hukum syariat operasional melalui proses penalaran yang benar [Ghayah al-Wushul, hal 23]. Dengan pengertian ini, kata dalil atau adillah semakna dengan istilah al-mashadir al-tasyri’iyah dan al-ushul al-ahkam yang kesemuanya dapat diartikan sebagai sumber hukum.

Ada beberapa istilah yang saling bertautan antara satu sama lain ketika membicarakan dalil. Ketiga istilah itu adalah al-dal, al-dalalah dan al-madlul. Al-dal identik dengan dalil. Sedangkan ­al-madlul merupakan kesimpulan yang dihasilkan dari dalil tersebut. Proses kinerja sebuah dalil sehingga bisa menghasilkan sebuah ­al-madlul (kesimpulan) disebut sebagai al-dalalah (dalalah).

Macam-macam dalil

Umat Islam sepakat bahwa Alquran dan hadis merupakan sumber paling asasi dalam memutuskan hukum. Menurut K.H. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Am PBNU, suatu preskripsi hukum akan layak disebut hukum Islam manakala ia bernasab (berkaitan) kepada Alquran dan Hadis, baik secara langsung maupun melalui perantara.

Secara umum, ulama usul fikih mengklasifikasi dalil menjadi dua, yaitu al-adillah al-muttafaq alaiha (dalil-dalil yang disepakati otoritasnya) dan al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil yang masih diperselisihkan otoritasnya). Dalil-dalil yang masuk dalam kriteria pertama adalah Alquran, hadis, ijmak, dan kias. Ulama sepakat (selain kalangan al-dzahiri) bahwa keempat dalil ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses istinbat hukum.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Sementara al-adillah al-mukhtalaf fiha masih menjadi ranah perdebatan ulama mengenai keabsahan dalil-dalil tersebut sebagai acuan dalam merumuskan sebuah keputusan hukum. Dalil-dalil ini biasanya diaplikasikan dalam internal mazhab tertentu dan ditolak oleh mazhab lain, seperti Imam Hanafi dengan istihsannya, Imam Syafi’i dengan istishab-nya, dan Imam Malik dengan maslahat mursalah-nya.

Di antara dalil-dalil yang masuk kriteria kedua ini adalah: Istishab, Istihsan, maslahat mursalah, qaul al-shahabi, uruf, dan syariat umat terdahulu.

Dasar legalitas dari dalil

Agar dalil-dalil tersebut dianggap sahih dijadikan landasan hukum menurut sudut pandang syariat, dibutuhkan semacam legalisasi dari syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Dasar legalitas untuk ber-istidlal menggunakan dalil-dalil di atas adalah firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 59:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا } [النساء: 59]

Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An-Nisa: 59).

Dari ayat di atas, ulama menyimpulkan bahwa taat kepada Allah dan dan Rasul-Nya adalah dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunah. Adapun perintah untuk menaati ulil amri (pemegang otoritas) dimaknai sebagai perintah untuk mengikuti ijmak ulama. Sebab, dalam masalah hukum Islam, merekalah yang diberikan otoritas untuk merumuskan sebuah keputusan hukum. Sehingga mengamalkan ijmak adalah sebentuk pengamalan terhadap perintah menaati ulil amri.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Sedangkan legalitas kias diperoleh dari perintah untuk mengembalikan kasus-kasus al-mutanaza’ fih (kasus yang menjadi ajang perdebatan) kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunah) [Mafatih al-Ghaib, 112-114].

Di samping itu, ayat di atas juga mengindikasikan adanya hierarki antara satu dalil dengan dalil lain. Artinya dalam memutuskan sebuah keputusan hukum, seorang mujtahid harus mencari keterangannya terlebih dahulu di dalam Alquran. Jika tidak menemukan kejelasan dalam Alquran maka ia harus beralih kepada hadis.

Jika dalam dua sumber utama tersebut masih belum menemukan jawaban maka alternatif berikutnya adalah ijmak. Baru setelah itu menerapkan konsep kias untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ada penjelasan hukumnya dalam ketiga sumber di atas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diterapkan oleh para sahabat Nabi dalam beristidlal.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi, diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar r.a. dihadapkan kepada sebuah persoalan, beliau mencari jawabannya dalam kitab Allah. Jika jawabannya ditemukan, maka beliau memutuskannya sesuai dengan keterangan yang beliau dapatkan dalam Alquran.

Namun, jika beliau tidak mendapati jawabannya di dalam Alquran maka beliau mencari jawabannya dalam tuntunan-tuntunan yang diajarkan oleh Rasul (sunah). Jika masih belum ditemukan maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Jika mereka mencapai sebuah kesepakatan maka beliau memutuskan dengannya [Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 10, hal. 196].

Baca juga: Menelusuri Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren di Indonesia

Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sahabat Muadz bin Jabal r.a. pernah ditanya oleh Nabi saw. ketika hendak berangkat ke daerah Yaman untuk menyebarkan Islam. Nabi saw. bersabda:

«كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»،

“Jika dihadapkan sebuah kasus kepadamu maka dengan apa kamu akan memutuskannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Aku akan memutuskannya dengan kitab Allah (Alquran). Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kau temukan jawabannya dalam kitab Allah?” “Maka dengan sunah Rasulullah,” jawab sahabat Muadz. Nabi kembali bertanya, “Jika di dalam sunah Rasulullah masih tidak ditemukan jawabannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dan aku tidak akan main-main dalam ijtihadku.” Rasulullah pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusannya Rasulullah.” (HR. Abu Dawud).

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum ulama sepakat bahwa Alquran, sunah, ijmak, dan kias dapat dijadikan acuan untuk melakukan proses istinbath al-ahkam. Sementara dalil-dalil yang lain seperti istishab, istihsan, uruf  dan seterusnya masih diperselisihkan kehujahannya dan hanya dioperasikan di dalam internal mazhab-mazhab tertentu.

Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

0
Menapak tilas kisah Rasulullah saat merespons pluralitas
Menapak tilas kisah Rasulullah saat merespons pluralitas

Pluralitas adalah keniscayaan dalam setiap aspek kehidupan. Islam mengakui itu. Pada banyak ayat seperti Surah Alhujurat ayat 13; Yunus ayat 118; dan Almaidah ayat 48 tertera bahwa Allah menakdirkan manusia untuk terbagi dalam berbagai kelompok, ras, dan  suku.

Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai sunatullah, selayaknya disikapi secara arif, yakni dengan menjadikan keberagaman itu sebagai sumber kekuatan, alih-alih menjadikannya sebagai muasal perpecahan. Namun, faktanya, masih kerap terjadi aksi menyimpang sebab perbedaan kecenderungan yang dianut oleh dua belah pihak yang berseteru (sebagai contoh, bom bunuh diri yang menyerang polsek Astana Anyar Bandung pada akhir 2022 silam dan kesulitan mengakses layanan publik bagi penganut agama minoritas). Bisa karena beda suku, ras, keyakinan, atau bahkan pemikiran. Kejadian ini sejalan dengan survei dari setara instate bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap golongan minoritas mengalami eskalasi tahun 2023 ini.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Untuk menumbuhkan kesadaran bersikap arif di tengah perbedaan, kita dapat menapaktilasi perjalanan dakwah Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat majemuk. Beliau adalah penebar kedamaian bagi semesta alam, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Q.S. Alanbiya ayat 107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Dalam perjuangan mensyiarkan Islam, banyak laku Nabi yang sarat nilai toleransi. Dalam kapasitas sebagai pemimpin, Nabi pun mengayomi semua golongan.

Terbuka dalam merespons perbedaan

Rasulullah saw. adalah pemimpin yang memberikan teladan untuk berpikir dan bersikap terbuka. Di berbagai kesempatan, beliau tunjukkan sikap toleran terhadap liyan. Misalnya, sikap beliau saat mengadakan dialog lintas iman dengan kaum Nasrani Najran, dengan mempersilahkan mereka untuk beribadah sesuai yang diyakininya. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, jilid 4, 91)

Saat hijrah ke Habasyah Nabi saw., bersikap hormat kepada raja yang memimpin negeri tersebut, yakni Raja Hiraclius. Sampai saat mengajak Raja tersebut masuk Islam, Nabi mengirim surat yang berisi ajakan kedamaian, tanpa ada nada paksaan.

بسم الله الرحمن الرحيم

من محمد عبد الله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد: فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتيك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأرسيين يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Dari Muhammad hamba Allah untuk Heraclius pembesar Romawi.

Salam sejahtera atas orang yang mengikuti petunjuk kebenaran. Dengan ini, saya mengajak tuan  untuk menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, maka tuan akan selamat. Akan akan memberi pahala dua kali pada tuan. Jika engkau menolak, maka dosa-dosa orang Arisiyin menjadi tanggung jawabmu.

Wahai para ahli kitab, marilah kita bergabung pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apapun, bahwa yang satu tidak akan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Akan tetapi jika mereka menolak, katakanlah kepada mereka, “saksikanlah bahwa kami ini orang-orang yang berserah diri (pada Allah).” (Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 416)

Baca juga: Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Isi surat tersebut menandakan betapa sopan Nabi saat mengajak penganut agama lain untuk masuk Islam. Tidak ada ungkapan yang intimidatif. Sebaliknya, ungkapan pada surat itu justru memberi wawasan logis yang mempertegas identitas agama Islam, visi-misinya berupa ajakan pada kebaikan dan menghindari kesesatan.

Ajakan yang demikian ini kemudian menimbulkan dialog positif antara Nabi dan Raja Hiraclius. Merespons surat Nabi, Sang Raja mengakui eksistensi agama tersebut dan mengapresiasi Nabi dan ajaran yang dibawanya.

Pengujung surat yang memuat ungkapan bahwa jika pun mereka menolak, Nabi tetap menghormati keputusan tersebut, juga menunjukkan betapa Nabi terbuka pada opini atau keyakinan yang berseberangan dengannya.

Keterbukaan Nabi tampak pula dalam kehidupan pribadinya. Beliau menghargai Raihana, salah satu istrinya –budak milkul yamin, dalam pendapat lain-, yang kekeh memeluk agama Yahudi, meski sudah menyaksikan dakwah Nabi.

Raihana adalah penganut Yahudi dari klan Bani Quraidhah. Semula, Nabi mengajaknya masuk Islam, tetapi Raihana tetap teguh pada keyakinannya.

“Wahai Rasulullah, lebih baik Anda memilih akad milkul yamin (relasi suami-istri selain akad pernikahan)! Itu lebih ringan untukmu dan untukku,” tegas Raihana tatkala diajak oleh Nabi untuk masuk Islam.

Baca juga: Zoroastrianisme dalam Alquran: Usaha Mufasir dalam Menjelaskan Majusi

Nabi pun menghormati pilihan Raihana dan melakukan akad milkul yamin.

Syekh Ali Jum’ah, ulama kontemporer dari Mesir, menjadikan kisah tersebut sebagai contoh kebabasan beragama yang dipraktikkan oleh Nabi. Bahwa, terhadap keluarganya pun, Nabi tetap bersikap santun dan bijaksana tatkala mendakwahkan Islam sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Meski pada akhirnya ajakan itu ditolak, Nabi tetap legowo dan menghormati keputusan Raihana. (Syekh Ali Jum’ah, al-Musawah al-Insaniyah fi al-Islam, 77-78)

Sikap Nabi tersebut bukan hal mudah. Penghargaan terhadap perbedaan (respectful mind) merupakan prinsip moral universal tertinggi dan memang paling sulit untuk diterapkan secara kontinu (Howard Gardner dalam bukunya Five Minds for the Future). Meski begitu, tetap saja kita harus belajar untuk menirunya, karena kemajemukan tanpa kesadaran dan penerimaan hanya akan menimbulkan perpecahan.

Teladan dari Nabi saw. tersebut semestinya kita praktikkan pada diri kita sendiri. Bahwa muslim progresif, adalah hamba yang open minded dan senantiasa mengembangkan keterbukaan itu demi melestarikan nilai kedamaian Islam. Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, semangat Nabi saw. untuk mengayomi semua golongan dengan prinsip keterbukaan (openness) mesti digaungkan kembali sebagai dasar dalam mengatur kebijakan. Apalagi, saat banyak masyarakat menjadi korban intoleransi.

Dialog antarkeyakinan dan berkolaborasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat

Tak sedikit fragmen kisah Baginda Nabi yang mengisyaratkan pentingnya interfaith dialogue dan benefitnya. Antara lain, interaksi Nabi saw. dengan Waraqah bin Naufal, pakar kitab-kitab suci, yang kemudian mengembalikan dan meneguhkan kepercayaan diri Nabi atas mandat Tuhan kepadanya untuk menjadi rasul.

Nabi juga pernah mendelegasikan Sahabat Ja’far bin Abu Thalib untuk hijrah ke Habasyah dan mengadakan dialog dengan Raja Hiraclius, pada tahun 615 M. Dialog tersebut menghasilkan perlindungan kerajaan Abbisina yang dipimpin oleh Hiraclius terhadap para Muhajirin. (A Guillaume, The Life of Muhammad, 83-107, 146).

Di samping mengadakan dialog antarkeyakinan, Nabi juga kerap mengajarkan untuk berkolaborasi, baik antarpenganut Islam antau antarkeyakinan. Misalnya, instruksi Nabi kepada kaum Muhajirin dan Ansar untuk menjalin ukhuwah dan transaksi bisnis Nabi dengan umat Yahudi. (Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, hlm. 143).  Interfaith dialogue dan kolaborasi ini tak lain demi memupuk rasa solidaritas dan nilai kemanusiaan, yang mesti kita lestarikan dan kembangkan. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Alisra Ayat 26: Prioritas dalam Bersedekah

0
Tafsir Surah Al-Isra Ayat 26: Prioritas dalam Bersedekah
Ada skala prioritas siapa pihak yang lebih berhak untuk diberikan sedekah.

Salah satu filantropi Islam adalah sedekah. Sedekah berkontribusi besar dalam membantu sesama muslim yang sedang berada dalam kekurangan atau tidak mampu. Tidak heran ada banyak imbauan untuk bersedekah. Terlebih di era sekarang, sedekah dapat disalurkan melalui bermacam-macam kegiatan seperti mengunjungi panti asuhan, lelang amal untuk korban-korban bencana, hingga donasi untuk sesama muslim yang berada di luar negeri.

Filantropi Islam yang digemakan melalui sedekah merupakan tindakan yang mulia karena dapat membantu dan meringankan beban orang lain. Namun, perlu diingat kembali bahwa dalam melaksanakan sedekah, perlu melihat prioritas untuk menentukan pihak mana yang lebih dulu dibantu. Terkait hal tersebut, Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Alisra ayat 26 sebagai berikut.

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا

Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

Isyarat Perintah Bersedekah

Menurut Tafsir Kementerian Agama, melalui Q.S. Alisra ayat 26 di atas Allah menjelaskan bahwa orang-orang muslim diperintahkan untuk memenuhi hak-hak keluarga dekat. Di antaranya meliputi memperat tali persaudaraan, hubungan kasih sayang, mengunjungi rumah mereka, bersikap sopan santun, serta membantu kekurangan yang mereka hadapi.

Selain itu, Allah juga memerintahkan membantu orang-orang miskin dan orang yang sedang dalam perjalanan yang memerlukan bantuan. Kemudian di akhir ayat, Allah melarang kaum muslimin bersikap boros (mubazir) karena hal tersebut merupakan perbuatan setan.

Baca juga: Empat keutamaan Sedekah Menurut Alquran

Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya tentang perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Berbuat baik yang dimaksud tidak hanya sekadar bersilaturahmi atau bersikap sopan, tetapi sampai kepada meringankan beban hidup mereka jika berada dalam kondisi kekurangan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tentang urutan perintah berbuat baik, Rasulullah bersabda:Ibumu dan ayahmu, kemudian orang yang dekat denganmu,” atau “kemudian orang yang paling dekat denganmu lalu orang setelahnya.

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi juga menambahkan bahwa dalam ayat ini, perintah untuk memberikan hak para kerabat disebutkan terlebih dahulu sebagai upaya untuk mempersempit kesenjangan di antara keluarga tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketika seseorang dapat membantu orang lain, maka ia telah menjamin kesejahteraan kerabatnya terlebih dahulu.

Kerabat sebagai Prioritas Sedekah

Selain itu, menurut pandangan ilmu fikih, sebagaimana dinukil dari pendapat Abu Hanifah bahwa berbuat baik (memberi bantuan berupa harta) kepada kerabat seperti saudara kedua orang tua merupakan kewajiban. Meskipun imam yang lain ada yang mengatakan sunah. Namun, dapat digarisbawahi bahwa prioritas utama tetaplah berada pada keluarga (Fuad Abdurrahman, Kehebatan Bersedekah).

Baca juga: Surah Alfurqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah secara Proporsional

Alasan lain yang mengatakan bersedekah atau memberi bantuan kepada kerabat sebagai prioritas adalah karena ketika ada musibah yang datang, kerabatlah yang lebih dulu memungkinkan dapat membantu. Meskipun sejatinya ketika seseorang bersedekah hendaknya tidak pernah mengharapkan imbalan (Ubaidurrahim, Sedekah Bikin Kaya).

Selain itu, pandangan ini juga dikuatkan oleh sabda Rasulullah bahwa: “Sedekah kepada orang miskin mendapat satu pahala sedekah, sedangkan sedekah kepada karib kerabat terhitung dua pahala sedekah dan pahala menyambung silaturahmi.” (H.R. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Penutup

Bersedekah bukan hanya tentang memenuhi kegiatan amal atau kegiatan sosial belaka. Namun, bersedekah menjadi sebuah keharusan ketika seseorang mempunyai kelebihan harta. Dalam sedekah juga harus memperhatikan prioritas pihak yang lebih berhak menerimanya sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Alisra ayat 26 di atas, yaitu dimulai dari kerabat, orang miskin, kemudian ibnu sabil. Dengan demikian, realisasi filantropi Islam bisa lebih tepat dan sesuai sasaran. Wallahua’lam.

Obituari: Prof. M. Roem Rowi, Pakar Tafsir Alquran Kebanggaan Indonesia

0
Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi
Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi

Dini hari tadi, tepatnya tanggal 12 Agustus 2023, umat Islam di Indonesia kembali kehilangan sosok ulama besar pakar tafsir Alquran Indonesia. Beliau adalah Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi, Lc., M.A. (Guru besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya). Beliau wafat di usia 75 tahun (1947-2023). Kabar mengenai wafatnya membuat penulis tiba-tiba tersentak. Semua kolega maupun murid beliau ramai-ramai mengucapkan bela sungkawa dan mendoakan beliau di masing-masing media sosial mereka. Ini menjadi tanda bahwa kami keluarga besar UIN Sunan Ampel khususnya, dan masyarakat muslim pada umumnya merasa benar-benar kehilangan sosok figur yang menjadi panutan kami selama ini.

Prof. Roem, begitu kami akrab memanggil beliau, merupakan seorang cendekiawan muslim asal Ponorogo yang lahir pada tanggal 03 Oktober 1947. Nama “Prof. Roem” dan “Tafsir” itu sudah menjadi dua hal yang identik dan tidak dapat dipisahkan. Orang yang mengenal beliau pasti yang muncul pertama kali dari ingatannya adalah sosok pakar tafsir Alquran, terlebih beliau juga penghafal Alquran. Kepakaran beliau dalam bidang tafsir Alquran menjadikan banyak orang menyebut beliau selevel dengan Prof. M. Quraish Shihab.

Baca Juga: Obituari: Syekh Nuruddin Itr, Sang Mufasir dan Pembaharu Ilmu Hadis

Perjalanan Intelektual

Secara formal, beliau memulai pendidikan jenjang SD di Sekolah Rakyat Panjeng Jenangan, Ponorogo sembari menempuh Madrasah Diniyah di tempat yang sama hingga tahun 1960. Selepas itu, beliau kemudian melanjutkan jenjang pendidikan SMP-SMA di Pondok Modern Darussalam Gontor, ponorogo selama 7 tahun (1960-1967).

Memasuki fase perkuliahan, beliau sempat kuliah S1 di IAIN Ciputat Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Namun hal itu tak berselang lama karena beliau lebih memilih melanjutkan jenjang S1 di Universitas Islam Madinah dengan mengambil konsentrasi bidang Tafsir dan Ulumul Qur’an hingga lulus mendapatkan gelar Lc. pada tahun 1971. Beliau berangkat ke Madinah atas beasiswa dari Pusat Rohani Angkatan Darat yang saat itu sedang dipimpin oleh pamannya sendiri yaitu Mayjen Mukhlas Rowi.

Tidak berhenti disitu, beliau kemudian melanjutkan jenjang S2 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir melalui beasiswa yang ditawarkan oleh Jenderal A. H. Nasution yang beliau temui ketika di Makkah. Beliau mengambil konsentrasi yang sama dengan sebelumnya, dan beliau berhasil meraih gelar M.A. pada tahun 1973.

Dilansir dari Majalah Tokoh Indonesia edisi 28 yang berjudul “Ahli Tafsir Terkemuka Roem Rowi: Penyelam Rahasia Al-Qur’an”, semasa libur musim panas kuliah S2, Prof. Roem sempat pergi ke Belanda untuk mencari uang saku tambahan buat biaya pulang ke Indonesia dengan menjadi buruh pabrik dan pencuci piring di restoran. Beliau bekerja serabutan di Belanda biasanya selama 4 sampai 5 bulan (Juni-Oktober).

Beberapa tahun kemudian, Prof. Roem bertekad untuk merampungkan perjalanan keilmuan tafsir beliau dengan melanjutkan studi S3 bidang Tafsir dan Ulumul Qur’an di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Perjalanan jenjang doktor beliau tidaklah mudah. Sebetulnya beliau mendapat panggilan dari Al-Azhar untuk melanjutkan program doktor pada tahun 1975 akan tetapi beliau sudah pulang ke Indonesia karena mendengar berita “kepergian” ayahnya, dan beliau harus menjaga ibu juga nmengurusi adik-adiknya yang belum mandiri saat itu.

Mimpi menjadi doktor pun sempat hilang dalam pikirannya, namun beliau akhirnya memberanikan diri untuk melakukan kontak ke Kairo mulai tahun 1976. Sepuluh tahun kemudian baru dijawab oleh pihak Al-Azhar, sehingga pada tahun 1987 beliau baru bisa berangkat kembali ke Kairo. Mengingat beliau baru berangkat setelah meninggalkan bangku kuliah 11 tahun, sedangkan batas maksimal jenjang doktor adalah 12 tahun. Artinya, waktu studinya tinaggal 1 tahun. Oleh karena itu, beliau pun mencari cara untuk memperpanjang durasi studinya.

Baca Juga: Dunia Berduka, Intelektual dan Filsuf Asal Mesir Hasan Hanafi Wafat

Walaupun sudah menyampaikan alasan tidak bisa berangkat kuliah karena kepergian ayah dan mengurusi keluarga, alasan tersebut ditolak oleh pihak Al-Azhar. Satu-satunya alasan yang diperbolehkan adalah apabila mahasiswa tersebut mengidap penyakit kronis. Prof. Roem kemudian mendatangi temannya yang sedang kuliah kedokteran untuk memberinya surat keterangan mengidap penyakit stres (sakit jiwa). “Jadi harus berpura-pura gila. Setelah diberi perpanjangan waktu, saya ngebut.” Katanya kepada wartawan majalah.

Cobaan belum selesai juga, dalam proses menyelesaikan disertasi, Prof. Roem mengalami kesulitan untuk menemui Syaikh yang menjadi promotor beliau. Tak pantang arah, beliau pun memberanikan diri untuk datang ke rumah promotor tersebut. Beliau diuji oleh promotornya dari pagi sampai jam 9 malam nonstop. Tepat dua tahun semenjak kedatangannya di Kairo, beliau akhirnya lulus dan mendapatkan gelar doktor pada tahun 1989. Beliau akhirnya dijuluki sebagai doktor “tercepat”, walaupun hampir DO.

Prof. Roem Rowi ketika promosi doktor di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Prof. Roem Rowi ketika promosi doktor di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Pada saat penulis sowan ke ndalem Prof. Roem di tahun 2021, beliau menceritakan bahwa selama menempuh perjalanan intelektual di Madinah dan Kairo, beliau ditemani oleh sahabat karib beliau yaitu KH. Hasan Abdullah Sahal (putra pendiri Pondok Gontor KH. Ahmad Sahal) yang sekarang menjadi pengasuh Pesantren Darussalam Gontor.

Beliau juga menuturkan kepada penulis bahwa selama kuliah di Al-Azhar beliau berguru langsung kepada salah satu ulama tafsir yang paling berpengaruh di dunia pada zamannya, yaitu Syaikh Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, penulis kitab fenomenal, al-Tafsir wa al-Mufassirun.

Para penguji di sidang promosi doktor Prof. Roem Rowi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Para penguji sidang promosi doktor Prof. Roem Rowi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Karir dan Pengabdian

Semasa hidupnya, beliau banyak menghabiskan waktu hanya untuk mengabdikan diri kepada masyarakat, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Dalam bidang akademik, Prof. Roem memulai karir ke-dosenan-nya selepas pulang dari Kairo pada tahun 1974. Pada saat itu, beliau masih menjadi dosen honorer, hingga akhirnya diangkat menjadi dosen tetap pada tahun 1997. Sembari meniti karir sebagai dosen, beliau menikahi Nurul Fatimah yang merupakan mahasiswinya sendiri pada tahun 1980.

Beberapa jabatan yang diampu oleh Prof. Roem selama mengabdi di IAIN Sunan Ampel antara lain adalah: Ketua Biro Skripsi Fakultas Adab (1977-1989), Asisten Direktur Lembaga Bahasa IAIN Sunan Ampel (1979-1987), Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin (1990-1994), Plt. Ketua Program Pascasarjana (1994-1997), Asisten Direktur II Program Pascasarjana (1997-2005). Selain mengajar di IAIN Sunan Ampel, beliau sejak 1977 sudah aktif menjadi dosen pascasarjana di Unair, Surabaya; Undar, Jombang; Ikaha, Tebuireng Jombang; IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta; dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Baca Juga: Mengenang Sang Maestro Akademik Dr. AlFatih Suryadilaga

Puncaknya, pada hari Sabtu 20 Agustus 2005, Prof. Roem diangkat menjadi Guru Besar (Profesor) IAIN Sunan Ampel di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ketika proses pengukuhan, beliau menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Menimbang Kembali Signifikansi Asbab an-Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an”. Ulasan mengenai naskah pidato guru besar tersebut akan penulis uraikan pada artikel tersendiri.

Adapun di bidang non-akademik, beliau aktif mengabdi di LPTQ sebagai Wakil Ketua LPTQ Jawa Timur (s/d 2000), Bidang Perhakiman LPTQ Jawa Timur (s/d sekarang), Ketua Dewan Hakim MTQ Jawa Timur dan Nasional, Anggota Dewan Hakim MTQ Internasional di Mekkah (1992 dan 2002), Ketua Dewan Hakim MTQ Internasional di Jakarta (2003), dan Pembina Tafsir Kafilah Jatim & Indonesia untuk MTQ Nasional maupun Internasional.

Selain itu, Prof. Roem juga aktif di MUI, sebagai Plt. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jatim (1998-2000), Ketua MUI Jawa Timur (2000-2005), dan Anggota Dewan Penasehat MUI Pusat. Jabatan lain yang juga beliau emban antara lain adalah Ketua Lembaga Pendidikan Islam Al-Hikmah (1997-2004), Pembina Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah (2004-sekarang), Pembina Yayasan Masjid Al-Fa1ah Surabaya (s/d sekarang), Direktur Lembaga Pendidikan Ilmu Al-Qur’an Surabaya (s/d sekarang), Anggota Dewan Pakar ICMI Korwil Jatim (s/d sekarang), Direktur Imarah Masjid Al-Akbar Surabaya (2000-sekarang), Dai/Muballigh & Penyuluh Utama Kanwil Depag Jawa Timur, Ketua Dewan Syari’ah Lembaga Manajemen Infaq Jawa Timur, dan masih banyak lainnya.

Prof. Roem Rowi ketika menjadi narasumber di webinar Tasyakur Milad ke 3 tafsiralquran.id, April 2023
Prof. Roem Rowi ketika menjadi narasumber di webinar Tasyakur Milad ke 3 tafsiralquran.id, April 2023

Karya-karya Prof. Roem Rowi

Pada awal Februari tahun 2022, Prof. Roem menerbitkan sebuah karya tafsir yang berjudul Tafsir Mujaz. Namun, saat itu beliau baru merampungkan jilid 1 saja, yang meliputi penafsiran surat al-Fatihah, al-Baqarah, dan Ali Imran. Wafatnya beliau menyebabkan berhentinya proses penulisan Tafsir Mujaz untuk jilid-jilid berikutnya. Berikut beberapa karya tulis Prof. Roem Rowi:

  1. Abdul Wahab dan Gerakan Tajdidnya
  2. Surat Yasin: Tafsir, Rahasia, dan Hikmahnya
  3. Hamka dalam Karya Monumental Tafsir Al-Azhar
  4. Al-Qur’an, Manusia, and Moralitas (Ceramah Nuzul Al-Qur’an oleh Negara di Masjid Istiqlal 1997)
  5. Spektrum Al-Qur’an
  6. Sejarah Sosial Rukun Islam
  7. Menafsir Ulum Al-Qur’an
  8. Ragam Tafsir Al-Qur’an
  9. Menimbang Kembali Signifikansi Asbab Al-Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an
  10. Tafsir Mujaz: Al-Qur’an Terjemah Tafsiriyyah Jilid 1 (Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali-Imran)
  11. Beberapa artikel dalam jurnal terakreditasi

Baca Juga: Kabar Duka, Intelektual Lebanon Penyuara Pluralisme Agama Mahmoud Ayoub Wafat

Kesan Kolega dan Murid Tentang Prof. Roem Rowi

Kepergian Prof. Roem tentu menyisakan duka mendalam bagi siapapun yang telah mengenalnya, baik para kolega maupun murid beliau. Bagi murid-muridnya, beliau merupakan sosok guru yang memiliki kepribadian yang kharismatik, ‘alim, tegas, disiplin, sabar, ramah, rendah hati, dan sangat mengayomi murid-muridnya.

Ma’ruf Khozin (Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur), juga menyampaikan bahwa “Beliau tidak menampakkan keulamaannya karena lebih menonjol sisi akademisnya. Saya beberapa kali ikut seminar, pelatihan metode tafsir dan sebagainya, membuat saya takjub ketelitian dan mendalamnya telaah beliau pada makna-makna tersirat dari firman Allah.” tegasnya.

Akhir kata, sugeng tindak Prof. Roem, kami merasa sangat bangga dan beruntung pernah berguru langsung menikmati tetesan samudra keilmuan panjenengan. Tidak terhitung jumlah murid yang telah belajar kepada beliau, semoga pengabdian keilmuan beliau menjadi amal jariah bagi beliau. Lahu al-Fatihah

Pesan al-Ḥaddād untuk Penanya dan Orang yang Ditanya

0
pesan al-Haddad untuk penanya dan orang yang ditanya
pesan al-Haddad untuk penanya dan orang yang ditanya

“Di sini ilmu sudah mati.” Kurang lebih demikian kata Imam Sufyan as-ṡ-Ṡaurī ketika berada di daerah yang penduduknya enggan bertanya perihal ilmu. Dengan penuh kecewa, dia bergegas meninggalkan daerah tersebut (Ihyā` ‘Ulūm ad-Dīn, 1/19). Betapa komentar ulama ahli hadis dari Kufah ini sangat mendalam pesan moralnya.

Pasalnya, ilmu bisa berkembang dan semakin kuat salah satunya dengan bertanya. Tidak jarang sebuah peradaban besar lahir dari jawaban atas sebuah pertanyaan.

Saking pentingnya bertanya, Alquran yang salah satu fungsinya sebagai kitab petunjuk, memberi arahan kepada umatnya untuk bertanya, bahkan tentang hal yang terlihat remeh. Allah sendiri tidak sungkan untuk membahas dan menyebut sesuatu yang terlihat ‘kecil’ seperti nyamuk (Q.S. al-Baqarah [2]: 26) dan rumput (Q.S. ‘Abasa [80]: 31).

Mengenai perintah bertanya, dalam surah an-Nahl [16]: 43 Allah berfirman:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ…..

“…..Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Tidak berhenti pada anjuran untuk bertanya, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menjelaskan lebih lanjut tentang adab dan etika bertanya. Pesan al-Haddad ini tidak hanya ditujukan pada penanya saja, tapi juga pada orang yang ditanya.

Baca Juga: Banyak Bertanya itu Tidak Baik, Simak Tafsir Surah Al-Maidah Ayat 101-102

Etika Bertanya

Dalam karyanya yang berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad membahas banyak hal tentang bertanya. Kitab tersebut bernama Itāf as-Sā`il bi Jawāb al-Masā`il. Pembahasan ini bisa ditemukan pada bagian pendahuluan dari kitab ini. Berikut pesan-pesan pemilik Ratib al-Haddad untuk penanya dan yang orang ditanya.

  1. Perbanyak tanya sesuai tempatnya

Dalam surah al-Mā`idah [5]: 101, Allah melarang orang beriman untuk banyak bertanya kepada Nabi perihal sesuatu yang kemungkinan jawaban tersebut akan memberatkan diri mereka sendiri. Mengenai ayat ini, al-Ḥaddād menegaskan bahwa meskipun larangan ini bersifat umum, namun ia terbatas pada pertanyaan seputar hukum. Ayat ini tidak berlaku dalam proses belajar mencari ilmu. Pepatah Arab berkata as-su`ālu miftāḥ kulli ‘ulūm (bertanya adalah kunci setiap ilmu).

  1. Gunakan kalimat tanya yang efektif

Pesan al-Haddad berikutnya bagi penanya adalah saat akan mengajukan pertanyaan, tidak jarang seseorang bertele-tele dalam menyampaikan mukaddimah-nya. Meski tujuannya agar lebih terarah, acap kali hal ini membuat pertanyaan menjadi kurang bisa ditangkap dengan sempurna.

Dari sini, penentuan poin pertanyaan dan kalimat yang efektif sangat dibuthkan dalam bertanya. al-Ḥaddād mengungkapkan maksud ini dengan mengutip hadis Nabi yang berbunyi usn as-su`āl nif al-‘ilm. “Pertanyaan yang bagus merupakan setengah dari ilmu pengetahuan” demikian kurang lebih makna hadis hadis yang dinilai daif oleh para ulama ini (‘Umdatl-Qārī Syar aī al-Bukhārī; 34/243).

Jika diperhatikan, hadis ini sangat benar. Pasalnya, jawaban yang diberikan biasanya sesuai dengan pesan yang ditangkap dari pertanyaan. Jika pesan tersebut sudah tidak tepat, jangan berharap akan mendapatkan jawaban (ilmu) yang akurat.

  1. Perhatikan adab bertanya

Pertanyaan merupakan ungkapan seseorang yang motifnya tidak tunggal. Adakalanya bertujuan untuk mencari tahu jawaban, mengetes kemampuan seseorang, mengoreksi atau yang lainnya. Imam al-Ḥaddād menganjurkan murid atau pelajar untuk bertanya dengan tujuan mencari tahu (istifādah) saja. Beliau mengingatkan mereka agar tidak bertanya dengan tujuan imtiḥān (ngetes kemampuan gurunya), karena hal ini bisa menyebabkan terhalangnya ilmu dan keberkahannya serta kerugian diri mereka sendiri kelak.

Selain dalam rangka mencari tahu, hendaknya pertanyaan yang disampaikan berasal dari rasa kesungguhan ingin mengetahui suatu hal, rasa senang untuk mengetahuinya, dan adab yang baik. Di antara adab yang dianjurkan antara lain tidak meninggikan suara dalam menyampaikan pertanyaan. Hal ini tafa’ulan terhadap cara komunikasi para sahabat dengan Nabi. Melalui surah al-Ḥujurāṭ [49]: 2 Allah menghimbau mereka untuk tidak meninggikan suaranya ketika bersama Nabi dalam satu majlis.

Mengenai bertanya dengan tujuan imtiān (mencari tahu kemampuan yang ditanya), al-Ḥaddād hanya memperbolehkannya dalam dua hal. Pertama, ditujukan kepada orang yang merasa pintar hingga enggan belajar lagi dan tidak menghormati orang lain. Kedua, ditujukan kepada orang munafik yang hanya pandai menyampaikan materi saja.

Orang semacam ini, biasanya berani menyampaikan sesuatu tanpa ilmu. Untuk menghindari merebaknya materi keagamaan yang tidak benar, orang tersebut boleh dikasih pertanyaan di hadapan jamaahnya. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk nasihat baginya dan pemberitahuan kepada jamaahnya akan kekeliruan dan kebodohan orang tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 43-44

Pesan untuk Orang Alim

Pesan al-Haddad ditujukan pula untuk orang yang ditanya, karena hal ini juga dianggap berpengaruh pada jawaban yang diberikan. orang yang ditanya biasanya dianggap sebagai orang alim, yakni orang yang mempunyai ilmu tentang suatu perkara.

  1. Deklarasikan dirimu sebagai ahli ilmu

Seorang dokter biasanya mendeklarasikan diri sebagai dokter dengan memasang plang. Tujuannya agar masyarkat tahu harus ke mana ketika akan berobat. Jika yang berkaitan dengan penyakit fisik saja demikian adanya, bagaimana dengan penyakit batin dan bodoh? Dari sini, al-Ḥaddād menghimbau orang yang faham agama untuk mendeklarasikan diri sebagai orang alim. Tujuannya agar dikenal masyarakat dan menjadi rujukan mereka dalam bertanya. Hal ini sudah lazim dilakukan ulama salaf dan khalaf. Sebagaimana dikisahkan oleh sahabat Ali, Ibn Mas’ūd, Ibn ‘Abbās, Ibn ‘Umar, Abu Hurairah, dan lainnya.

  1. Jawab pertanyaan sesuai kemampuan

Setelah mendeklarasikan diri sebagai ahli ilmu, hendaknya seseorang tidak menyembunyikan ilmunya dari orang lain. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban, hal ini juga dalam rangka menghindari ancaman yang tidak diinginkan nanti. Al-Ḥaddād mengutip hadis Nabi yang artinya kurang lebih “orang yang ditanya kemudian dia menyembunyikannya, pada hari kiamat mulutnya akan dikekang dengan kekangan yang terbuat dari api”.

Namun demikian, hendaknya orang alim tadi tidak berlebihan dalam memberikan jawaban, termasuk ketika orang alim tersebut tidak menguasai perihal pertanyaan yang diajukan. Sekelas sahabat Abu Bakar (atau dalam riwayat yang lain sahabat Umar bin Khattab) dengan jelas mengatakan ketidaktahuannya tentang makna kata أبّا dalam ayat وفاكهة و أبّا. Oleh karena itu, dalam hal ini, dia harus menjunjung tinggi kejujuran.

  1. Perhatikan kondisi penanya

Tidak semua pertanyaan harus direspon sesuai apa adanya, karena adakalanya yang bertanya akan kesulitan memahami jawabannya, atau bahkan sebuah jawaban bisa membahayakan bagi penanya. Jawaban harus ditakar dan disesuaikan dengan kemampuan dan kesiapan yang bertanya. Rasulullah saw. memberi jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama dari beberapa sahabat, karena mempertimbangkan keadaan sahabat yang bertanya. Seorang guru ibarat ayah yang sangat sayang kepada anaknya. Dia akan senantiasa berkomunikasi berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan yang akan diperoleh putranya.

Demikian pandangan al-Ḥaddād terhadap pesan moral surah an-Nahl [16]: 43. Etika bertanya hendaknya selalu dipraktikkan, seperti menjaga adab, menggunakan kalimat yang efisien, dan tidak ada maksud lain selain ingin tahu. Adapun bagi orang alim –terlebih di era digital yang segala informasi bisa diketahui dengan mudah– hendaknya mendeklarasikan diri sebagai ‘dokter agama’ yang menjunjung tinggi kejujuran dan memahami kondisi orang yang bertanya. Wallāhu a’lam.

Refleksi Makna Kemerdekaan: Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

0
Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara
Mensyukuri Keamanan dan Kenyamanan Bernegara

Tidak lama lagi, kita akan memperingati salah satu hari paling penting dalam sejarah kehidupan bangsa indonesia, yakni HUT RI ke-78. Artinya, sudah sekitar tujuh puluh tahun lebih lamanya bangsa kita terbebas dari dominasi bangsa-bangsa asing yang menjajah bangsa Indonesia. Udara kebebasan yang kita hirup selama ini tidak lain merupakan rahmat Allah swt. dan juga hasil dari kegigihan para pahlawan yang telah berjuang melawan para penjajah.

Sebagai generasi yang dapat merasakan kebebasan dan kemerdekaan sejak lahir, kita patut bersyukur atas nikmat yang telah Allah swt. anugerahkan kepada bangsa kita tercinta ini. Tidak salah jika kemerdekaan, keamanan dan kenyamanan bernegara dan hidup berbangsa merupakan salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah swt kepada umat manusia, karena ajaran agama tidak dapat diaplikasikan secara harmonis ditengah-tengah kondisi bangsa yang sedang dijajah.

Keamanan dan kenyamanan bernegara sebagai salah satu nikmat terbesar telah terkonfirmasi dalam Alquran. Dalam surah al-Baqarah ayat 126, Allah swt mengisahkan bagaimana Nabi Ibrahim a.s. memohon kepada Allah swt. agar kota Makkah yang pada waktu itu masih tandus dijadikan sebagai negeri yang penuh berkah dan aman. Hal ini mengindikasikan bahwa betapa pentingnya keamanan dan kemakmuran di suatu daerah terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang berdomisili di dalamnya.

Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa ada kaitan yang sangat erat antara keamanan dan ketentraman di suatu negara dengan eksistensi ajaran agama. Negara yang aman dan tentram menjadi pondasi yang kuat bagi eksistensi dan implementasi ajaran-jaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ketika suatu negara atau daerah sedang dilanda kekacauan dan disintegrasi maka ajaran-ajaran agama sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena inilah, beliau dengan tegas mengungkapkan bahwa keamanan dan kenyamanan di suatu negara adalah salah satu pondasi agama yang paling agung. [Mafatih al-Ghaib, juz 4, hal. 47].

Baca Juga: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 6-7: Mengisi Momen Kemerdekaan dengan Bersyukur

Mengisi Kemerdekaan dengan Bersyukur

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengisi kemerdekaan ini adalah dengan bersyukur. Syukur sendiri oleh sebagian ulama diartikan sebagai mengingat-ingat serta menampakkan nikmat yang diterima. Lebih lanjut, Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa mensyukuri nimmat Allah adalah suatu upaya menggunakan nikmat tersebut untuk hal-hal yang diridai Allah swt. [Ruh al-Bayan,  juz 6, hal. 238, dan Tafsir al-Munir, juz 29, hal. 33].

Dalam hal ini, ulama membagi syukur menjadi tiga bagian. Pertama, Syukur dengan lisan, yaitu bersyukur dengan cara menyebut-nyebut nikmat Allah swt. sembari mengucap rasa puji syukur kepada Allah swt. karena telah memberikan nikmat tersebut. Kedua, syukur dengan hati, yaitu meyakini dan mengingat-ingat bahwa segala nikmat yang dia terima merupakan anugerah Allah. Ketiga syukur dengan anggota badan, yaitu dengan cara berusaha untuk mengaktualisasikan diri untuk melakukan tindakan-tindakan positif. [Al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, juz 4, hal. 481].

Selain dengan lisan dan hati, kita juga harus mensyukuri kemerdekaan ini dengan aksi nyata berupa tindakan-tindakan positif dan konstruktif sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Seorang pejabat harus mempergunakan otoritasnya untuk membuat program-program yang dapat mensejahterakan rakyat. Seorang pelajar juga dapat ikut andil mengisi kemerdekaan ini dengan semangat dan giat menuntut ilmu, dan begitu seterusnya.

Selain menjadi salah satu cara bersyukur kepada Allah swt, tindakan-tindakan kecil tersebut juga menjadi bentuk penghargaan dan rasa terima kasih kita kepada para pahlawan yang telah rela mengorbankan nyawa memperjuangkan kemerdekaan. Dengan melakukan hal-hal positif sesuai bidang kita masing-masing, kita turut andil dalam membangun bangsa melanjutkan perjuangan para pahlawan terdahulu. Rasulullah saw. bersabda:

«‌مَنْ ‌لَمْ ‌يَشْكُرِ ‌النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ»

“Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah swt.” HR. Ahmad.

Dengan bersyukur, kita juga telah melakukan upaya protektif supaya nikmat tersebut tetap eksis. Sebab, orang yang telah diberi anugerah berupa nikmat kemudian dia tidak mensyukurinya, maka Allah swt. akan mencabut nikmat tersebut dan tentunya akan mendapat siksa. Dalam hal ini, Allah swt berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيد

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” Q.S. Ibrahim [14]: 07.

Baca Juga: Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran

Akhir kata, fasilitas berupa keamanan dan kemerdekaan yang kita rasakan sekarang ini merupakan salah satu nikmat terbesar yang harus kita syukuri. Selain dengan lisan dan hati, kita juga harus mensyukuri nikmat tersebut dengan mengisi suasana kemerdekaan ini dengan hal-hal positif sesuai bidang dan kapasitas kita masing-masing. Selain untuk menunaikkan kewajiban kita untuk bersyukur kepada sang pemberi nikmat, hal tersebut juga menjadi salah satu cara kita berterima kasih kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Wallah a’lam.

Relasi Antara Konsep Sabar dan Gaya Hidup Frugal Living

0
Relasi Antara Konsep Sabar dan Gaya Hidup Frugal Living
Relasi Antara Konsep Sabar dan Gaya Hidup Frugal Living

Pasca pandemi covid 19 dan perang Rusia – Ukraina, para pakar ekonomi dunia saat ini menyebutkan bahwa akan terjadi gelombang wallet crisis atau krisis dompet. Kenaikan suku bunga dan lonjakan harga pangan dan energi membuat setiap orang harus berusaha untuk mencari solusi terhadap kondisi perekonomiannya masing-masing. Dalam artikelnya Anisa Maisyarah, dan Nurwahidin menjelaskan bahwa terdapat salah satu solusi yang dapat dipakai guna menghadapi krisis tersebut yakni dengan melakukan gaya hidup frugal living.

Menurut Deborah Taylor-Hough dalam bukunya Frugal Living For Dummies, Hidup hemat atau frugal living adalah membuat pilihan yang diperlukan untuk hidup sesuai kemampuan diri sendiri. Dengan hidup sesuai kemampuan  diri, maka dapat menjaga diri dan keluarga dari belenggu hutang. Hidup hemat tidak sama dengan menjalani gaya hidup yang suram dan menyedihkan. Hemat juga tidak sama dengan pelit atau murahan. Hidup hemat adalah gaya hidup yang sederhana secara ekonomis dalam penggunaan sumber daya yang dimiliki.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 155: Sabar adalah Kunci Kebahagiaan

Hubungan Konsep Sabar dan Gaya Hidup Hemat

Meski demikian, dalam upaya menjalani gaya hidup frugal living tidak semudah teori yang dituliskan di buku atau pun tutorial frugal living yang ada di media sosial. Bagi setiap muslim salah satu cara untuk menjalankan hidup hemat adalah dengan menekan hawa nafsu dengan bersabar. Konsep sabar sendiri dapat ditemukan dalam berbagai ayat yang menjelaskan tentang pentingnya memiliki kesabaran dalam hidup. Adapun kata sabar dengan berbagai derivasinya disebut dalam Alquran sebanyak 103 kali yang tersebar di 45 surah dan 93 ayat.

Terkadang dalam satu ayat kata sabar terulang sebanyak dua kali. Dengan demikian, sabar adalah hal terpenting yang harus dimiliki oleh setiap muslim dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Sabar juga menjadi sangat penting bagi manusia, karena sejak ia diciptakan, manusia selalu menghadapi berbagai tentangan dalam hidupnya (Tafsir Al-Qur’an Tematik : Spiritualitas dan Akhlak, 2010, 305-306).

Alquran memberi gambaran kesulitan yang dialami oleh manusia dalam firman Allah: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Q.S. Albalad [90]: 4). Adapun definisi sabar bagi setiap muslim dapat dilihat pada Q.S. Alra’d [13]: 22. “Dan orang-orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya.” Dengan demikian, sabar menurut Alquran adalah upaya menahan diri dari segala sesuatu yang tidak mengenakan, semata-mata karena mencari rida Allah, bukan untuk mendapatkan pujian atau popularitas di mata manusia (Tafsir Al-Qur’an Tematik : Spiritualitas dan Akhlak, 2010, 310).

Baca Juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Berdasarkan definisi sabar tersebut di atas, konsep sabar dan frugal living keduanya sama-sama menuntut kemandirian dalam mengambil keputusan dalam hidup. Lebih khusus kemandirian dalam hidup hemat adalah dalam membelanjakan harta yang dimiliki. Selain itu, sabar dan hemat memiliki kesamaan yakni bertujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam proses yang dilakukan.

Selanjutnya dalam Q.S. Ali‘imran [3]: 200 disebutkan bahwa sikap sabar selayaknya diiringi dengan sikap murabathah, melalui firman-Nya warabthu. Istilah murabathah telah dikenal oleh Bangsa Arab saat Alquran diturunkan yaitu mengikat kuda untuk berjaga-jaga, sebagai upaya antisipasi bila ada serangan dari pihak lawan.

Makna ini kemudian dipakai oleh Alquran untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang menunggu dengan mengikat dirinya untuk sebuah ketaatan kepada Allah. Dengan kata lain, ar-ribath atau murabathah adalah upaya setiap muslim guna menjaga celah di dalam hati agar tidak diserang oleh godaan setan (Tafsir Al-Qur’an Tematik : Spiritualitas dan Akhlak, 2010, 314).

Pada tataran aplikatif, sikap murabathah adalah dengan cara menanamkan sikap kreatif dalam hidup. Kreatifitas juga sesuatu yang penting dalam suksesnya gaya hidup hemat, seperti dengan membuat berbagai alat dan kebutuan hidup sendiri tanpa membeli, sehingga pengeluaran finansial menjadi lebih rendah.

Semoga dalam mengombinasikan gaya hidup hemat dan meningkatkan kesabaran akan dapat membantu kita tidak hanya mendapatkan kebahagiaan di dunia tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak.

Memahami Ummi sebagai Gelar Istimewa Nabi Muhammad

0
Memahami Ummi sebagai Gelar Istimewa Nabi Muhammad
Ummi: gelar istimewa Nabi Muhammad saw.

Disebutkan dalam Dala’il al-Khairat bahwa terdapat sebanyak 201 nama yang dimiliki Nabi Muhammad. Sebagaimana asmaulhusna yang disandarkan kepada Allah, penyematan nama-nama Nabi ini tidak lepas dari kemualian Nabi Muhammad sendiri. Pepatah Arab berkata, “Banyaknya nama menunjukkan keagungan pemiliknya.”

Nama-nama tersebut ada yang bisa ditemukan dalam Alquran dan juga dalam hadis. Dalam Q.S. al-Muzzammil [73]: 1 misalnya, Allah memperkenalkan Nabi sebagai muzzammil (orang yang berselimut), sebagai muddaṡṡir (orang yang berselimut) dalam Q.S. al-Muddaṡṡir [74]: 1, sosok yang ra’ūf dan raīm (Q.S. at-Taubah [9]: 128), sebagai ramah (bentuk sayangnya Allah kepada umat manusia) dalam Q.S. Yūnus [10]: 58, dan lain-lain.

Sementara itu, nama-nama yang diperkenalkan ulama berdasarkan hadis misalnya Muhammad, Ahmad, al-Ḥāsyir, al-‘Āqib, al-Māhī, al-Muqaffā, Nabiyy at-Taubah, dan Nabiyy ar-Raḥmah (Jāmi’ al-Uūl fī Aādī ar-Rasūl, 12/90).

Al-Ummi; Gelar Istimewa Nabi

Dari 201 nama yang diperkenalkan Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli ini, terdapat satu nama yang menjadi perhatian banyak ilmuwan, baik muslim maupun nonmuslim. Pasalnya nama tersebut menjadi salah satu jaminan bahwa lafal Alquran bukanlah buatan Nabi Muhammad sendiri. melainkan datang langsung dari Allah melalui perantara Malaikat Jibril. Nama tersebut adalah al-ummi.

Dalam Alquran, gelar istimewa Nabi yang satu ini disebutkan sebanyak dua kali di tempat yang berurutan, yakni dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 157-158. Pada ayat yang pertama (157), kata al-ummi diperkenalkan langsung oleh Allah dalam menggambarkan sosok utusan terkasih-Nya kepada umat manusia. Sementara pada ayat kedua (158), kata ini disebut sendiri oleh Nabi karena adanya perintah dari Allah.

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ

(Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca-tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. (Q.S. al-A’rāf [7]: 157).

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai manusia, sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tidak ada tuhan selain Dia, serta Yang menghidupkan dan mematikan. Maka, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi ummi (tidak pandai baca-tulis) yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. al-A’rāf [7]: 158).

Baca juga: Para Penulis Alquran di Zaman Nabi Muhammad

Bagi Nabi, tidak bisa baca-tulis menjadi sebuah keistimewaan. Sementara bagi yang lain adalah sebuah kekurangan yang menjadikannya tercela. Sebagaimana sifat sombong ketika disandarkan kepada Allah dan yang lain-Nya, akan menimbulkan penilaian yang berbeda.

Bagi Nabi, sifat ummi merupakan bagian dari mukjizat terbesarnya. Bagaimana tidak? Alquran yang dibacakan kepada sahabatnya kala itu, dalam jumlah yang sedikit demi sedikit sesuai jumlah yang turun, dengan urutan yang ditunjukkan oleh Nabi sendiri, tidak pernah berubah.

Urutan tersebut bahkan tidak ada perubahan kata maupun kalimat ataupun pengurangan dan penambahan sedikitpun selama tidak ada perintah dari Allah. Bagi kebanyakan orang, konsistensi semacam ini sangatlah berat sekali. Terlebih hal tersebut berlangsung dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.

Asal Usul Penisbatan al-Ummi

Qaḥṭān ‘Abdurraḥmān ad-Dūrī dalam Ummiyyāt ar-Rasūl Muammad menyebutkan empat penyebab penisbatan ummi kepada Nabi. Pertama, kata ini dinisbatkan kepada bangsa Arab kala itu yang umumnya tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Realita ini disebutkan Allah dalam Q.S. Ali Imran [3] 20, Q.S. Ali Imran [3]: 75, dan Q.S. al-Jumu’ah [62]: 2. Di sana Allah menyebut bangsa Arab sebagai al-ummiyyīn.

Kedua, kata tersebut dinisbatkan kepada sosok ibu (al-umm). Tidak ada satupun bayi yang terlahir ke dunia dalam kondisi sudah mampu membaca dan menulis kecuali Nabi Isa (Q.S. Maryam [19]: 30-33) yang sedari bayi sudah bisa berkomunikasi. Kondisi tidak mengenal baca-tulis ini berlangsung pada diri Nabi Muhammad hingga beliau wafat.

Baca juga: Unsur Linguistik dalam Tradisi Baca-Tulis Alquran

Ketiga, dinisbatkan kepada ummat dalam arti bawaan penciptaan. Saat menjelaskan kata ummat, Imam Rāgib al-Aṣfihānī menyitir Q.S. al-An’ām [6]: 38 yang menggunakan kata umam.

Di sana al-Aṣfihānī menjelaskan bahwa makna kata yang menjadi bentuk jamak dari ummat ini adalah “setiap jenis dari umat-umat (aneka ragam hewan) tersebut akan selalu dalam kondisi sebagaimana awal mula penciptannya” (Mufradāt Alfā al-Qur’ān: 86). Sebagaimana diketahui, kemampuan hewan-tanpa dilatih-tidak akan keluar dari kebiasaannya.

Keempat, kata ummi dinisbatkan kepada Umm al-Qurā (kota Makkah) yang penduduknya tidak bisa baca-tulis kala itu.

Baca juga: Perdebatan Akademik Tentang Apakah Nabi Muhammad Buta Huruf atau Tidak

Allah menyifati Nabi Muhammad sebagai ummi sebanyak dua kali, yakni dalam Q.S. al-A’rāf [7]: 157 dan 158. Kemudian nama ini diperkuat oleh informasi hadis-baik dari pengakuan Nabi sendiri atau sahabatnya-sebanyak enam kali (Ummiyyāt ar-Rasūl Muammad: 7-11). Kesemuanya itu menunjuk pada sosok yang tidak bisa membaca dan menulis.

Hal ini diperkuat oleh pandangan ahli bahasa terhadap term al-umm (Ibn Manẓūr, Lisān al-’Arab), firman Allah dalam Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 48, dan pendapat ulama dari tiga generasi; sahabat, tabi’in, dan tabi’u tabi’in. Aneka pendapat ini bisa ditemukan dalam Tafsir aabarī dan ad-Durr al-Manṡūr, saat menjelaskan Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 48 dan term al-ummi dalam Q.S. al-A’rāf [8].

Pandangan Ulama tentang Ke-ummi-an Nabi

Mengenai pandangan Ulama terhadap ke-ummi-an Nabi, tidak ada satupun ulama yang berbeda pendapat perihal ke-ummi-annya sebelum Nabi dilantik sebagai utusan Allah. Sedangkan setelah pelantikan, para ulama terpecah menjadi dua golongan. Mayoritas berpendapat bahwa Nabi masih tetap pada ke-ummi-annya. Sementara yang lain, tidak menilai demikian. Nabi pada akhirnya bisa baca-tulis.

Di kalangan kelompok yang kedua ini saling silang pendapat mengenai sebab kemampuan baca-tulisnya Nabi. Kelompok pertama seperti Al-Baji, al-Harawi, Abu al-Fatḥ an-Naisaburi, dan Umar bin Syabbah, berpendapat bahwa kemampuan tersebut diperoleh tanpa belajar. Sehingga hal ini menjadi mukjizat Nabi yang lain.

Baca juga: Diskusi Rasm Tentang Makna Ke-ummiy-an Nabi Muhammad saw.

Mereka berpegangan pada riwayat Imam Bukhari dari sahabat Ali tentang perjanjian Hudaibiyah, hadis tentang pahala sedekah (H.R. Ibn Majjah dari sahabat Anas bin Malik), hadis arahan Nabi kepada Mu’awiyah dalam menulis wahyu, dan petunjuk-petunjuk lainnya.

Kelompok kedua dari minoritas ini berpendapat bahwa kemampuan dalam baca-tulis sebagai hasil belajar Nabi. Bahkan menurut mereka, Nabi menguasai 72 atau 73 bahasa. (al-‘Āmilī, Miftāh al-Karāmah; 10/10-11).

Demikian gambaran sekilas pemahaman ulama terhadap salah satu gelar istimewa yang disematkan Allah kepada Rasul kesayangan-Nya. Wallāhu a’lam []

Memaknai Kembali Ayat-ayat Kekerasan dalam Alquran

0
Memaknai kembali ayat-ayat kekerasan
Memaknai kembali ayat-ayat kekerasan

Beberapa kasus kekerasan yang pernah terjadi tidak jarang mengatasnamakan agama, terutama atas dasar perintah Alquran. Peristiwa 9 September 2001 di New York, Bom Bali di Indonesia, hingga pengeboman di Makassar pada awal 2021 merupakan sebagian kecil dari tindakan radikal yang mengatasnamakan agama. Pengeboman di Makassar ini menewaskan dua orang dan menyebabkan puluhan orang luka-luka. Jika hal ini dibiarkan, tentu sangat bertentangan dengan esensi ajaran Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Lalu, bagaimana makna ayat-ayat di dalam Alquran tentang perintah perang? Apakah bisa diterapkan di zaman sekarang?

Pengelompokan Ayat-ayat ‘Kekerasan’

Seringkali ayat-ayat Alquran dijadikan sebagai landasan untuk melegitimasi perbuatan radikal yang telah terjadi. Karena itu, penting untuk memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan konteks dan pensyariatannya. Setidaknya, ada dua kelompok ayat yang jika dimaknai secara leksikal, dekat dengan ‘kekerasan’.

Pertama, ayat-ayat jihad. Menurut Seyyed Hosen Nasr dalam The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan (h. 313-314), terdapat 36 ayat Alquran yang mengandung kata ja-ha-da (jihad). Menurut Raghib al-Asfahani, arti kata jihad ialah mengerahkan segala upaya untuk mengalahkan musuh. Seperti dalam QS. Alhajj [22]: 78, QS. Attaubah [9]: 41 dan QS. Alanfal [8]: 72. (al-Mufradat fi Garib al-Quran, Jilid 1, h. 187).

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

Kedua¸ ayat-ayat perang. Selain ayat-ayat jihad, ayat-ayat yang kerap kali dijadikan dalil untuk mendukung aksi radikal adalah ayat-ayat perang. Istilah perang berasal dari bahasa Arab, yakni qital. Kata qital ini disebutkan dalam Alquran sebanyak 12 kali (CD Alquran, Holy Quran). Secara bahasa menurut al-Asfahani dalam kitab al-Mufradat fi Garib al-Quran (h. 655), lafaz al-qatl bermakna melenyapkan ruh/kehidupan dari tubuh seseorang. Ayat-ayat perang ini di antaranya ialah QS. Alhajj [22]: 39-40, QS. Albaqarah [2]: 190, QS. Annisa [4]: 75, QS. Alanfal [8]: 39, QS. Muhammad [47]: 4, dan lain-lain.

Kekerasan atas Nama Alquran

Menurut M. Quraish Shihab dalam kitabnya Wawasan Al-Qur’an (h. 506), aksi-aksi radikal atas nama agama yang sering terjadi dikarenakan oleh kesalahfahaman dalam memahami ayat-ayat tentang jihad maupun tentang perang. Misalnya saja, jihad hanya hanya difahami sebagai perjuangan fisik. Padahal makna jihad itu luas, seperti jihad menghadapi setan bahkan jihad melawan hawa nafsu.

Di antara ayat-ayat kekerasan yang seringkali disalahartikan serta dijadikan legitimasi oleh pihak Muslim untuk melancarkan aksi radikal ialah QS. Muhammad [47]: 4 sebagai berikut:

فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَضَرۡبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثۡخَنتُمُوهُمۡ فَشُدُّواْ ٱلۡوَثَاقَ فَإِمَّا مَنَّۢا بَعۡدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلۡحَرۡبُ أَوۡزَارَهَاۚ

Artinya: “Apabila kam bertemu dengan orang kafir, maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga, apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka ata menerima tebusan sampai perang berhenti.”

Jika ayat ini dipahami secara tekstual dan diamalkan, maka akan menimbulkan kekacauan di muka bumi. Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zilalil Quran (Juz. 26/h. 3281) makna “pertemuan” dalam ayat di atas ialah pertemuan untuk berperang dan bertempur. Bukan pertemuan biasa. Dan pada saat ayat ini turun, kaum musyrikin jazirah Arab terbagi atas kelompok yang memerangi Islam (harby) dan kelompok yang berdamai dengan Islam sehingga mereka aman (dzimmy). Yang harby inilah sebagai objek dalam ayat ini, itu pun saat kondisi memang sedang berperang.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Bahkan, peperangan dalam ayat inipun masih tergolong manusiawi. Menurut Nur Cholis Majid dalam bukunya, Kristen Bertanya Muslim Menjawab (h. 400) menyebut bahwa perintah memenggal kepala pada ayat ini pada hakikatnya memiliki nilai moral yang tinggi. Sebab, terbukti secara ilmiah bahwa memenggal bagian leher merupakan cara membunuh yang paling cepat sehingga korban tidak terlalu menderita kesakitan. Dengan demikian, ayat ini tidak dapat dipahami secara tekstual saja. Andaipun memang dalam kondisi di tengah perang, maka hakikat membunuhnya pun masih menjunjung tinggi nilai moralitas.

Selain QS. Muhammad 4, yang juga sering dijadikan legitimasi aksi radikal atas nama Alquran ialah QS. Attaubah [9]: 5 sebagai berikut:

فَإِذَا ٱنسَلَخَ ٱلۡأَشۡهُرُ ٱلۡحُرُمُ فَٱقۡتُلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ وَخُذُوهُمۡ وَٱحۡصُرُوهُمۡ وَٱقۡعُدُواْ لَهُمۡ كُلَّ مَرۡصَدۚ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُور رَّحِيم

Artinya: “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Perintah berperang dalam ayat ini bukanlah wajib, melainkan mubah saja. Sebab, larangan untuk berperang di bulan Haram lalu kemudian dibolehkan kembali untuk berperang setelah bulan haram tersebut telah habis. Terlebih lagi, makna membunuh orang musyrik yang dijumpai dan mengepung mereka ialah dalam konteks peperangan, bukan selainnya. Itupun setelah Rasulullah saw. menyampaikan dakwah. Bahkan, menurut ayat ini, Allah Swt. masih memberikan kesempatan bagi kaum musyrikin yang belum puas dengan dakwah atau belum mendengarkan dakwah. Jika mereka menolak pun, mereka masih diberikan hak keamanan terhadap jiwabnya serta bebas memeluk keyakinannya. Begitulah yang disebutkan dalam Tafsir a-Maraghi (Terj. K. Anshori Umar Sitanggal, Toha Putra, 1998).

Alquran sebagai Kitab Pengusung Kedamaian

Menurut Nur Cholis Majid (h. 403) walaupun terdapat ayat yang agaknya berbau kekerasan, namun pada hakikatnya ayat tersebut mengusung misi perdaiaman. Hal ini disesuaikan dengan konteks sosial masrakat Jazirah Arab yang pada saat penurunan ayat terbiasa dengan peperangan untuk mencapai tujuannya (Kristen Bertanya Muslim Menjawab/h. 403). Bahkan, makna jihad menurut Rodin dalam karyanya Islam dan Radikalisme (h. 50) sangatlah luas, seperti berjuang untuk melindungi kaum duafa, membangun sarana dakwah, mendorong kualitas hidup kaum muslimin yang berkaitan dengan kemajuan beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, tidak ada satu pun ayat Alquran yang menyatakan bahwa peperangan merupakan cara untuk mengubah agama suatu masyarakat.

Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita serta menyadarkan kita bahwa ayat-ayat ‘kekerasan’ haruslah dimaknai secara kontekstual. Jangan sampai keinginan yang kuat dalam beragama menjadikan pelaku agamanya menjadi sosok yang brutal dan berlawanan dengan prinsip agama itu sendiri, yakni mengusung nilai-nilai kedamaian. Wallahu a’lam.

Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan

0
Dakwah Berwawasan Ekologi sebagai Solusi Pelestarian Lingkungan
Melestarikan lingkungan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Pelestarian lingkungan merupakan salah satu isu penting pada saat ini. Limbah industri dan rumah tangga saat ini banyak yang secara material tidak dapat terurai dengan baik di alam. Misalnya, limbah plastik yang saat ini menjadi problem terbesar dalam pencemaran lingkungan, karena tidak mudah terurai di alam, sehingga mencemari baik tanah, air, maupun udara.

Guna mendukung kampanye pelestarian lingkungan, maka peran para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam upaya memperkuat landasan gerakan ini dari sisi agama dan spiritual. Dalam Islam muncul suatu gerakan yang disebut dengan tafsir ekologis yang berusaha untuk menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam Alquran guna memberikan pemahaman kepada masyarakat, khususunya penganut agama Islam, bahwa pelestarian lingkungan merupakan bagian dari bentuk keimanan kepada Sang Pencipta (Tafsir Ekologis dan Problematika Lingkungan, 2020, hal. 1-18).

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.(Q.S. Al-An’am [6]: 38).

Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]

Jika Q.S. Al-An’am ayat 38 di atas diperhatikan, dapat dipahami bahwa di hadapan Allah setiap makhluk-Nya, baik itu manusia dan sekalian binatang, adalah sama. Bahkan Allah menyebut binang-binatang tersebut dengan sebutan umat.

Menurut Syaikh Muḥammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi, disebutnya binatang-binatang tersebut sebagai umat, adalah dikarenkan di dalam diri binatang terdapat insting untuk ikhtiar mencari rezeki, menghindari bencana, dan berkumpul dalam suatu kelompok (Marah Labid li Kasyf Ma’ani al-Quran al-Majid, 1, hal. 316).

Kesemuanya itu adalah kasih sayang yang Allah berikan kepada mereka. Dengan demikian, pada hakikatnya kehidupan manusia di muka bumi ini, diharuskan untuk juga memberikan ruang bagi binatang-binatang baik yang hidup di darat, air, maupun udara untuk dapat menikmati kehidupan di muka bumi.

Aktualisasi dakwah berwawasan ekologis

Salah satu upaya manusia dalam memberikan ruang hidup bagi binatang-binatang yang ada di bumi adalah dengan tidak merusak habitat alami mereka. Maka, meskipun manusia dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan binatang, tidak lantas manusia dapat bersikap semena-mena terhadap binatang.

Memburu dan mengeksploitasi mereka hingga punah, akan berdampak buruk pula bagi kehidupan manusia. Misalnya, perburuan paus oleh manusia akan berdampak buruk tidak hanya bagi ekosistem yang ada di laut, tetapi juga bagi pengaturan suhu planet bumi.

Baca juga: Tafsir Ekologi: Prinsip-Prinsip dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Tubuh paus yang mati dan tenggelam ke dasar lautan, akan menenggelamkan karbon ke dalam lautan dan mencegahnya terlepas ke atmosfer. Selain itu, bangkai paus tersebut akan menjadi makan bagi ratusan spesies binatang laut. Namun, jika paus mati karena diburu oleh manusia, dan tidak tenggelam ke dasar lautan, maka karbon akan terlepas ke atmosfir dan akan berdampak pada meningkatkan suhu planet.

Demikianlah, bahwasanya melestarikan binatang adalah perintah langsung dari Allah kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi. Mengingat pentingnya hal ini, Rasululllah saw. bersabda: “Barang siapa yang membunuh seekor burung pipit dengan sia-sia, maka burung tersebut akan datang kepada Tuhan pada Hari Kebangkitan, dan mengatakan: Ya Tuhan, orang ini membunuhku dengan sia-sia, dia tidak memeliharaku, dan tidak pula membiarkan ku bebas makan di alam liar.” (H.R. al-Nasai).

Baca juga: Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim

Berdasarkan uraian tersebut, maka ajaran Islam sangat menghargai upaya untuk melestarikan alam. Islam memerintahkan manusia untuk memperlakukan binatang-binatang yang ada di bumi sebagai umat yang memiliki peran penting dalam ekosistem yang ada di bumi. Memburu binatang secara berlebihan sehingga mengakibatkan mereka punah, akan berdampak pada perubahan ekosistem yang pada umumnya mengarah kepada hal yang berdampak buruk pula bagi kehidupan manusia.