Beranda blog Halaman 56

Tafsir Surah Alqashah Ayat 26: Isyarat Profesionalisme dalam Pekerjaan

0
Tafsir Surah Alqashah Ayat 26: Isyarat Profesionalisme dalam Pekerjaan
Isyarat Alquran tentang profesionalisme dalam pekerjaan.

Profesionalisme telah menjadi tuntutan dalam setiap pekerjaan. Menurut KBBI V, Profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Fauzi Saleh dkk. dalam buku Prinsip Kerja Menurut Fikih Kontemporer (hal. 123) menjelaskan profesionalisme dalam pandangan hukum Islam bahwa profesionalisme mengharuskan adanya keahlian dan integritas moral dalam melaksanakan suatu kegiatan.

Secara implisit, Alquran telah mensinyalir tentang profesionalisme dalam pekerjaan dalam surah Alqashah ayat 26.

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.

Quraish Shihab menjelaskan ayat ini terkait dengan kekaguman salah seorang yang diyakini sebagian ulama sebagai anak perempuan Nabi Syu’aib terhadap Musa ketika dia melihat kekuatan fisik dan wibawanya saat mengambil air untuk ternak mereka.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, pertama-tama adalah melihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada penerima tugas. Dengan begitu kepercayaan akan mengikuti. Kepercayaan yang dimaksud adalah integritas pribadi, yang menghendaki sifat amanah itu sedemikian rupa sehingga seseorang tidak merasa bahwa apa yang dipegangnya adalah milik pribadi melainkan milik orang yang memberi kepercayaan, untuk dijaga dan jika diminta mengembalikannya, ia harus bersedia mengembalikannya (Tafsir Al-Misbah vol. 10, hal. 334).

Urgensi Bekerja Sesuai Keahlian

Melihat siapa yang menerima tugas menjadi hal penting ketika hendak memberikan penugasan kepada seseorang. Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto mengungkapkan bahwa setiap pekerjaan, harta, dan modal selayaknya diserahkan kepada ahli di bidangnya. Di tangan seseorang yang tidak ahli atau tidak memiliki kekuatan atau kemampuan, bisa dipastikan kebangkrutan dan kehancuran yang akan datang (Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, hal. 141). Karena itu, Islam memberikan pekerjaan, harta, dan modal kepada ahlinya sebagaimana firman Allah surah An-Nisa ayat 5 sebagai berikut.

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”

Baca juga: Nasihat Memberikah Upah Pekerja dalam Alquran

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (jilid 2 hal. 1100) menjelaskan terkait larangan pemberian harta kepada mereka yang tidak ahli karena ia tidak dapat mengendalikan harta bendanya, yang kalau diserahkan dalam sekejap akan musnah karena habis dengan hal-hal yang tidak berfaedah. Ia hanya pandai menghabiskan, tapi tak sanggup memperkembangkan harta itu. Adakalanya kurang akal, adakalanya juga karena masih kecil.

Fauzi Saleh dkk. juga menjelaskan bahwa surah Alqashah ayat 26 menggunakan dua term penting, yaitu qawi dan amin. Secara literal, qawi memiliki arti kuat dan secara luas, qawi dapat dimaknai setidaknya dengan tiga hal; kapabilitas keahlian, psikis, dan kepribadian. Ketiga hal ini telah mengakomodasi antara unsur dasar integritas kepribadian, religius, dan keahlian. Kedua, secara bahasa, amin diartikan amanah (orang yang dapat dipercaya). Kepercayaan ini dapat muncul jika terjadi tranparansi dan kejujuran yang secara akumulatif mengumpulkan akhlak yang mulia.

Amanah dalam Bekerja

Terkait amanah, salah satu alasan penciptaan manusia di bumi adalah sebagai khalifah (Q.S. Al-Baqarah ayat 30). Djaelany Haluty menjelaskan bahwa manusia tidak akan dapat mengemban amanah sebagai khalifah jika tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya jika ia tidak dibekali dengan potensi-potensi yang dibutuhkan. Artinya manusia memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan dengan baik sehingga dapat menjadi SDM berkualitas dan dapat menjalankan tanggung jawab sebagai khalifah dengan baik (Islam dan Manajemen Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, hal. 70).

Lebih lanjut, Djaelany Haluty menjelaskan bahwa kualitas itu tak cukup hanya dengan menguasai IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga pengembangan nilai-nilai rohani dan spiritual, yaitu iman dan takwa (Islam dan Manajemen Sumber Daya Manusia yang Berkualitas, hal. 71).

Baca juga: Fenomena Zakat Profesi dan Nasihat Berinfak Q.S. Albaqarah: 43

Senada dengan Djaelany Haluty, Khairan Muhammad Arif dalam Strategi Membangun SDM yang Kompetitif, Berkarakter dan Unggul Menghadapi Era Disrupsi (hal. 2) juga menjelaskan SDM yang baik memiliki karakter positif seperti; jujur, sabar, kerja keras, daya juang, kolaboratif, tekun, dan sebagainya serta meminimalisasi karakter negatif seperti; malas, dusta, mudah mengeluh, dan sebagainya.

Nabi Muhammad saw. menempatkan posisi karakter positif sama dengan posisi agama dalam kehidupan. Hal ini berdasar ketika Nabi ditanya oleh sahabat tentang apa itu agama? Nabi pun menjawab, “Agama adalah akhlak yang terpuji.” (H.R. Ahmad). Tak hanya itu, Nabi juga mengungkapkan bahwa iman yang paling sempurna adalah sempurna akhlaknya. “Orang yang paling tinggi imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad). Oleh karena itu, turunnya Nabi ke dunia bertugas menyempurnakan akhlak. “Hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (H.R. Bukhari).

Profesional yang Tak Sekadar Rasa Senang

Seorang profesional merupakan orang yang mengerjakan sesuatu tidak hanya karena hobi atau rasa senang, tetapi juga karena menempatkan pekerjaan yang diemban sebagai sumber mata pencaharian. Untuk itu, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.

Dalam pengertian ini, profesionalisme dalam pekerjaan juga tidak berkaitan langsung dengan keikhlasan, meski bukan berarti tidak ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Sebab, keikhlasan merupakan persoalan transenden atau tidak tampak (Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto, Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, hal. 114).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Dari pemaparan singkat di atas, dapat diketahui bahwa profesionalisme dalam pekerjaan membutuhkan keahlian. Jika tak ada keahlian akan hancur apa yang dikerjakannya. Meski begitu, untuk membentuk pekerja yang ahli dibutuhkan pembekalan sehingga akan dapat menjalankan tanggung jawabnya. Selain itu, amanah juga penting karena pembekalan IPTEK saja, misalnya, kurang karena bisa saja seseorang tidak amanah dalam melakukan pekerjaan itu sehingga butuh integritas moral dalam bekerja. Wallahu ‘alam.

Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

0
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Persoalan masalah israiliyat menjadi kajian penting dalam tafsir di abad pertengahan. Karena pada abad tersebut, tafsir-tafsir yang ditulis sudah mengalami sedikit perubahan dari tafsir-tafsir klasik. Tafsir klasik yang kental dengan penafsiran yang memuat semua aspek, pada abad pertengahan sudah mulai adanya filtrasi narasi israiliyat yang dinilai kurang tepat.

Cerita israiliyat sebenarnya sudah ada dari setelah Nabi Saw. wafat. Cerita israiliyat dalam riwayat, tidak lepas karena adanya sahabat Nabi yang masuk dari golongan Ahli Kitab. Sehingga, cerita-cerita yang mereka bawa dari sebelum masuk Islam, kembali dimunculkan setelah masuk Islam. Hal tersebut senada dengan pernyataan al-Dzahabi yang mengatakan bahwa periwayatan israiliyat dimulai dari masa sahabat (Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, 97).

Ada beberapa tokoh yang terkenal pada masa itu, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Ketika cerita israiliyat diriwayatkan dari nama-nama tersebut, mufasir klasik cenderung belum melakukan filtrasi yang ketat, apakah cerita tersebut bisa dibernarkan dan diterima, atau cerita tersebut menyalahi konsensus Islam.

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Seperti yang dikatakan al-Dzahabi dalam bukunya al-israiliyyat fi tafsir wa al-hadits bahwa tafsir al-Alusi adalah tafsir yang banyak memuat cerita-cerita israiliyat. Ada banyak cerita yang dimasukkan oleh al-Alusi dalam tafsirnya sebagai bentuk analisis yang disajikan kepada para pembaca. Bahkan menurutnya, cerita israiliyat tersebut diambil dari tafsir-tasfsir sebelumnya yang tidak mempunyai dalil jelas (Al-Dzahabi, Al-israiliyyat fi tafsir wa al-hadith, 136).

Ali Iyazi juga menyatakan pernyataan yang sama seperti al-Dzahabi, ia mengatakan bahwa tafsir al-Alusi adalah produk tafsir monumental yang ditulis setelah masa Fakhru al-Din al-Razi yang terkenal dengan tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Menurutnya, tafsir al-Alusi bisa dikatakan sebagai bentuk replika dari tafsir al-Razi. Sehingga, ketika membaca tafsir al-Alusi, pembaca seakan-akan sedang membaca tafsir al-Razi (Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wamanhajatuhum, Jilid 2, 819).

Dua pernyataan tersebut mencerminkan tafsir al-Alusi adalah karya tafsir yang kental dengan masa abad pertengahan, dengan dibuktikannya adanya kritik teologi dan filtasi dalam cerita israiliyat. Namun, narasi israiliyat dalam tafsir al-Alusi ditampilkan untuk di kritik. Hal tersebut juga yang menjadi pembeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Berikut salah satu contoh kritik al-Alusi:

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Albaqarah [2]: 102

Dalam cerita malaikat yang tertulis di ayat tersebut, al-Alusi menampilkan protes malaikat kepada Allah yang mengatakaan lau kunna makanahum ma ‘ashainaka (jika saja kita berada di tempat mereka, pasti kami tidak akan bermaksiat kepada-Mu). Kemudian Allah meminta kepada mereka untuk memilih dua di antara beberapa malaikat untuk disamakan seperti manusia dan diturunkan ke bumi.

Setelah itu, karena dua malaikat yang Allah turunkan ke bumi disamakan dengan manusia, artinya Allah juga memberikan sifat seperti manusia pada umunya. Sehingga, mereka menyukai satu perempuan yang bernama Zahrah. Mereka ingin meminang perempuan itu, akan tetapi sang perempuan tidak mau kecuali mereka menyembah patung atau meminum khamar atau membunuh orang lain. Akhirnya, rayuan sang perempuan berhasil meluluhkan dua malaikat tersebut (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 1, 339).

Menurut al-Alusi, narasi cerita yang tersebar luas tersebut adalah cerita yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin malaikat yang sudah ada nas khusus akan berdusta kepada Allah. Dalam narasi kritik tersebut, al-Alusi mengutip pendapat al-Razi yang mengatakan bahwa cerita demikian tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa diterima.

Selain itu, ia juga mengutip dari Shihab al-‘Iraqi dengan pernyataan yang ekstrem. Menurutnya, orang yang percaya atas cerita dustanya dua malaikat tersebut karena seorang perempuan, maka orang tersebut sudah kafir. Karena sifat malaikat sudah jelas dalam QS. Altahrim [66]: 6, QS. Alanbiya’ [21]: 19-20 yang menegaskan bahwa malaikat tidak  mungkin berdusta  (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 1, 340).

Baca Juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Q.S Almaidah [3] :12

Di sela-sela menafsirkan ayat QS. Almaidah [3] :12, al-Alusi menampilkan salah satu kritik narasi israiliyat tentang Auj bin Unuq. Al-Alusi mengutip riwayat dari al-Baghawi yang mengatakan bahwa tinggi Auj mencapai 3331 dzira’. Dari saking tingginya, ia bisa minum dari awan langsung dan bisa mengambil ikan dari dasar lautan, kemudian dipanggang di matahari. Bahkan ketika ada musibah banjir yang menggenangi seluruh bumi, air tersebut tidak sampai di lutut Auj. Konon, ia juga hidup 3000 tahun dan mati di tangan Nabi Musa (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 258).

Narasi mitos tentang Auj yang diitulis al-Alusi, tidak lepas dari komentar yang ia katakan setelah menjelaskan semua tentangnya. Dalam hal ini, al-Alusi menyatakan cerita yang tersebar tentang Auj sama sekali tidak mempunyai dalil yang bisa dibenarkan. Bahkan, narasi semacam itu adalah hasil kebohongan orang-orang Ahli Kitab yang memang sengaja dibuat-buat (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 259).

Kesimpulan

Cerita israiliyat yang ditampilkan oleh al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘ani merupakan salah satu keautentikan tafsir tersebut. Karena narasi israiliyat yang ditampilkan, tidak lain untuk dikritik dan dibenarkan jika memang perlu dibenarkan. Berbeda dengan tafsir-tafsir masa sebelumnya, yang cenderung tidak melakukan kritik terhadap narasi-narasi israiliyat.

Wallahu A’lam.

Ayat Mutasyabihat Perspektif Al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’aini

0
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Tulisan ini akan melengkapi artikel sebelumnya, yang membahas tentang teologi Al-Alusi dengan memfokuskan pembahasan pada ayat mutasyabihat.

Diskursus tentang ayat mutasyabihat masih menjadi pembahasan yang belum final, meskipun telah banyak orang dari berbagai golongan telah menafsirkan ayat tersebut, seperti Sunni, Mu’tazilah, Syi’ah, dan yang lainnya. Ayat mutasyabihat merupakan ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan makna yang dimaksud, kecuali sudah diteliti (Yūsuf Qaraḍāwī, Berinteraksi dengan Alquran, hal. 167).

Contoh ayat mutasyabihat adalah Q.S. Al-Baqarah [2]: 25 dan 70 yang menunjukkan makna-makna yang masih bermakna samar, serupa, sama, dan mirip. Dengan bahasa ini, kata mutasyabihat banyak dipakai pada penggunaan ayat yang masih sama dan belum jelas pada sebagian ayat Alquran.

Subhi Soleh dalam kitabnya mendefinisikan ayat mutasyabihat sebagai ayat yang tidak ada dalil yang bisa menunjukkan pada makna yang sebenarnya (Mabahith fi Ulum al-Quran, hal. 282). Definisi ini menunjukkan bahwa cakupan ayat yang masuk dalam kategori mutasyabihat ialah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), muawwal (ditakwil), dan mushkil (bermasalah).

Ayat yang mujmal (global) butuh tafsil (perincian), ayat yang muawwal (ditakwil) membutuhkan takwil, dan ayat mushkil ada dalil yang samar. Dengan demikian, perlu adanya perngalihan makna yang lain (Subhi Soleh, Mabahits fi Ulum al-Quran, juz 3, hal. 13). Tulisan ini sendiri akan membahas dua tema yang sering digunakan dalam menentukan teologi mufasir:

Makna Kata Yadullah

Term “yad” dalam Alquran jika dimaknai secara tekstual dalam bahasa Indonesia mempunyai makna “tangan”. Ayat yang menjadi kajian pembahasan ini yaitu Q.S. Al-Fath [48]: 10:

اِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ اِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللّٰهَ ۗيَدُ اللّٰهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ ۚ فَمَنْ نَّكَثَ فَاِنَّمَا يَنْكُثُ عَلٰى نَفْسِهٖۚ وَمَنْ اَوْفٰى بِمَا عٰهَدَ عَلَيْهُ اللّٰهَ فَسَيُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang melanggar janji (setia itu), maka sesungguhnya (akibat buruk dari) pelanggaran itu hanya akan menimpa dirinya sendiri. Siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan menganugerahinya pahala yang besar.”

Al-Alusi menganalisis term “yad” pada ayat di atas dengan ungkapan isti’arah (pinjaman). Makna kata yad Allah dikaitkan dengan tangan Nabi Muhammad saw. yang membaiat orang-orang pada masa itu. Ayat tersebut berhubungan dengan ayat sebelumnya, yaitu kata yubayi’un Allah yang mempunyai makna ketaatan kepada Allah. Dengan tafsir seperti itu, maka akan selaras dengan firman Allah Q.S. Al-Nisa’ [4]: 80, yaitu man yuti’i al-rasula faqad ata’allah (siapa yang taat kepada Rasul maka sungguh dia telah taat kepada Allah) (Al-Alusi, Ruh al-Ma’aini, juz 13, hal. 251).

Baca juga: Tinjauan Teologi al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Analisis yang ditulis oleh al-Alusi menunjukkan bahwa ia lebih condong pada takwil dalam masalah ini. Alasan yang dijelaskan al-Alusi juga menjadi penguat teologi yang dianut olehnya, yaitu karena Allah suci dari sifat-sifat jawarih (anggota badan) dan juga sifat-sifat ajsam (jisim). Sehingga al-Alusi menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut ialah akad perjanjian dengan Nabi Muhammad saw. yang sama seperti posisinya dengan perjanjian Allah.

Bahkan dalam ayat ini al-Alusi tidak menyentuh sisi sufistik seperti penafsirannya pada umumnya. al-Alusi hanya menjelaskan secara singkat pada akhir pembahasan ayat tersebut dengan mengutip pendapat al-Zujaj dengan memberikan makna pada kata yad Allah ialah pahala, taat, dan juga pemberian hidayah Allah kepada manusia.

Makna Kata Istawa

Salah satu ayat yang paling banyak menjadi polemik diskursus ayat mutasyabihat ialah Q.S. Taha [20]: 5:

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

“(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas ʻArasy.”

Al-Alusi menjelaskan makna kata istawa dengan menakwil kata tersebut. Al-Alusi memulai penafsirannya dengan menjelaskan bahwa Asry merupakan makhluk Allah yang agung yang diciptakan dari cahaya sha’sha’aniy (panjang) dan ditempatkan di tempat cahaya akal yang terbentang (Al-Alusi, Ruh al-Ma’aini, juz 8, hal. 521). Al-Alusi lebih memilih menakwil ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat tajsim Allah. Meskipun para ulama mempunyai pendapat yang berbeda dalam menafsirkan kata-kata yang berhubungan dengan tajsim.

Baca juga: Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Pemaknaan yang dijelaskan oleh al-Alusi lebih condong pada ulama yang menakwil kata istiwa’ dengan berargumen laisa kamithlihi shai’i. Menurutnya, jika istawa sebagai bentuk sifat Allah yang duduk, maka secara tidak langsung menisbatkan sifat yang tidak layak bagi Allah (Al-Alusi, Ruh al-Ma’aini, juz 2, hal. 85).

Al-Alusi banyak mengutip pendapat ulama-ulama salaf, salah satunya yaitu Abu Ismail al-Ansari yang bertanya pada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan la a’rifu rabbi subhanah fi al-sama’i am fi al-ardi (saya tidak tahu Tuhan saya ada di langit apa di bumi). Kemudian Abu Hanifah menjawab bahwa orang tersebut telah kafir karena Allah berfirman “Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ʻArasy” dan Arsy Allah di atas langit yang ketujuh (Al-Alusi, Ruh al-Ma’aini, juz 4, hal. 109).

Baca juga: Analisis Akidah asy-Syaukani  dalam Karya Tafsirnya

Namun, sisi corak sufi yang ditanamkan oleh al-Alusi sangat jelas ketika membahas ayat ini, karena selain memaknai Arsy adalah makhluk Allah yang agung, al-Alusi juga memaknainya sebagai isyarat pada hati orang mukmin tempat melihat yang hak dan panggung untuk tajalli. Wallahu a’lam.

Revitalisasi Nilai-nilai Keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan

0
Revitalisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya melestarikan lingkungan
Revitalisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya melestarikan lingkungan

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah terselenggaranya konferensi agama dan perubahan se-Asia Tenggara yang diadakan oleh Majelis Hukama Muslimin (MHM). Salah satu tema besar yang menjadi pembahasan dalam konferensi tersebut adalah “Meneguhkan Kembali Eksistensi Agama dalam Menjaga dan Melestarikan Lingkungan,” termasuk ancaman perubahan iklim dunia.

Akhir-akhir ini, dunia memang sedang mengalami krisis ekologis. Saat ini, di Indonesia sendiri kita juga sedang mengalami musim kemarau panjang dengan suhu panas yang tidak biasa. Akibatnya banyak wilayah yang terdampak kekeringan, persedian air menipis dan berpotensi menyebabkan kebakaran lahan akibat suhu yang begitu tinggi. bahkan baru-baru ini, Ibu Kota kita, Jakarta, tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Baca juga: Keadilan Agraria dalam Narasi Tafsir Alquran
Sebagian orang mungkin menganggap fenomena ini hanya sekedar musim panas yang akan berlalu seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, perubahan iklim yang terjadi di belahan negara manapun di dunia ini sejatinya tidak bisa dilepaskan dari menipinya lapisan ozon di angkasa akibat pemanasan global.
Ada semacam konsensus ilmiah bahwa kegiatan manusia terutama emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida mengakibatkan perubahan iklim bumi dengan laju yang mengkhawatirkan. Kegiatan perindustrian yang memerlukan bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan-bahan tak terbarukan lainnya menjadi pemicu utama es di daerah kutub mencair yang pada akhirnya menyebabkan lapisan ozon menipis.
Manusia sebagai subjek utama yang menghuni bumi ini menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologi yang melanda dunia saat ini. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Alquran surah Arrum ayat 41,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون  [الروم: 41]

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Q.S. Arrum [30]: 41.
Syaikh Mutawalli al-Syarawi dalam kitab tafsirnya menyebutkan bukti empiris mengenai dampak kegiatan manusia terhadap kelestarian lingkungan. Dapat kita bandingkan misalnya bagaimana suasana di hutan pedalaman atau pedesaan lebih asri ketimbang lingkungan di pusat industri. Udaranya lebih segar, air dapat diperoleh secara alami dan jernih, lingkungan hidup yang natural, dan seterusnya. ini membuktikan bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di alam ini merupakan tanggung jawab besar umat manusia.

Upaya yang Bisa Dilakukan

Seorang sejarawan sekaligus penulis terkenal, Yuval Noah Harari mengatakan dalam bukunya, 21 Lessons for The 21 Century bahwa masalah krisis ekologis merupakan problem dunia yang dampaknya bahkan bisa lebih mengerikan daripada bom nuklir sekalipun. Sebab dalam jangka panjang, krisis ekologis ini dapat mengancam kelangsungan hidup seluruh manusia di dunia. Disamping itu, ia juga merupakan masalah yang tersembunyi.

Tidak seperti ancaman bom nuklir di mana dunia pernah mengalami kenangan pahit dengannya sehingga sangat mungkin seluruh negara kerjasama untuk menanggulanginya, krisis ekologis ini bagaikan gunung es di lautan. Karena ia terlihat kecil di permukaan, banyak orang yang kemudian acuh tak acuh dengan masalah yang sejatinya sangat krusial ini.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah membangkitkan kesadaran mengenai problem ekologis yang mengancam eksistensi lingkungan hidup. Karena kita adalah penghuni bumi, seharusnya upaya untuk merawat dan menjaganya harus menjadi prioritas utama. Sebagai seorang muslim, kita sudah tidak asing lagi dengan narasi-narasi normatif mengenai posisi manusia sebagai khalifah (pemegang mandat Tuhan) di bumi.

Baca juga: Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan Konservasi Lingkungan
Mengutip pandangan para mufasir, Prof. KH. Moh. Tholhah Hasan menjabarkan tiga konsesi yang diberikan Tuhan kepada manusia terhadap alam raya. Pertama, konsesi intifa’ (memanfaatkan alam). Karena konsesi inilah Allah, Swt. menundukkan alam semesta sehingga manusia bisa hidup di atasnya dan memanfaatkan fasilitas yang ada di dalamnya. Kedua, konsesi i’tibar (merenung). Selain sebagai tempat tinggal yang menyediakan fasilitas-fasilitas kehidupan, Allah Swt. juga menjadikan alam ini sebagai bahan pelajaran dan ibrah bagi manusia. Tujuan utama dari konsesi ini adalah agar manusia menyadari dan meyakini eksistensi Zat yang menciptakan alam tersebut sehingga dapat melahirkan keimanan dan rasa syukur kepada-Nya.
Ketiga, konsesi ihtifadz (pemeliharaan). Allah Swt. memang menyediakan semua fasilitas kehidupan di dunia ini untuk kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi, manusia tidak boleh melakukan tindakan eksploitasi yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada alam itu sendiri. sebagai khalifah Allah di bumi, manusia berkewajiban untuk menjaga kelestarian dan eksistensi bumi yang mereka huni. Kalau boleh berpendapat, melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan hidup merupakan tindakan dosa besar mengingat dampaknya yang tidak hanya dirasakan oleh individu tertentu melainkan masyarakat secara kolektif juga terkena imbasnya.

Penutup

Akhir kata, upaya yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga kelangsungan lingkungan hidup kita adalah dengan mengurangi tindakan-tindakan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan. Misalnya, mengurangi penggunaan emisi gas rumah kaca, tidak memberantas hutan, dan lain sebagainya. Idealnya, upaya ini harus dilakukan secara kolektif dalam tingkat global. Namun, jika kita tidak mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dunia secara spontan, maka tindakan individual kiranya merupakan awal yang baik. Think globally, act locally.

Tafsir Surah Alahqaf Ayat 15: Bekal Memasuki Usia 40 Tahun

0
Tafsir Surah Alahqaf Ayat 15: Bekal Memasuki Usia 40 Tahun
Filosofi usia 40 tahun dalam Islam.

Life begins at forty! Istilah “hidup dimulai saat usia 40” ini dipopulerkan oleh seorang penulis asal Amerika Serikat, Walter B. Pitkin dalam bukunya, Life Begins at Forty. Menurutnya usia 40 tahun adalah permulaan hidup yang hakiki. Kata kunci usia 40 ini rupanya sudah banyak pula dibahas dalam literatur Islam.

Dalam Q.S. Alahqaf: 15, Allah Swt. Berfirman sebagai berikut.

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.

Asbab Nuzul Ayat

Imam Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya menyebutkan tiga pendapat ulama tafsir tentang asbabunnuzul ayat di atas.

Pertama, ayat ini turun berkaitan dengan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Beliau adalah sahabat Nabi saw. sejak muda hingga sampai Rasulullah saw. wafat. Beliau dengan Nabi saw. terpaut umur dua tahun, maka ketika Nabi saw. diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun, usia Abu Bakar r.a. menginjak 38 tahun. Pada saat usia Abu Bakar sampai 40 tahun, beliau berdoa seperti dalam ayat di atas. Imam ‘Atha’ meriwayatkan cerita ini dari Ibnu Abbas dan pendapat ini yang dipegang mayoritas ulama tafsir.

Kedua, ayat ini turun berkaitan dengan sahabat Saad bin Abi Waqash. Ini adalah pendapatnya adh-Dhahak dan as-Sudi. Ketiga, ayat ini turun secara umum. Ini adalah perkataannya Al-Hasan al-Bashri.

Makna Usia 40 Tahun

Tafsir dari lafaz arba’ina sanah (usia 40 tahun) dalam ayat di atas banyak dikemukakan para ahli tafsir. Ibnu Katsir menyatakan bahwa ketika seseorang berada dalam usia 40 tahun, maka sempurnalah akal, pemahaman, dan kelemah-lembutannya (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim, 6/623). Beliau juga mengatakan bahwa biasanya orang yang sudah berumur 40 tahun tidak berubah lagi karakternya.

Dalam Tafsir Jalalain juga disebutkan bahwa usia 40 tahun adalah puncak kematangan seseorang. Selain itu, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa orang yang telah mencapai usia 40 tahun, maka ia telah mengetahui besarnya nikmat yang telah Allah anugerahkan padanya, juga kepada kedua orang tuanya sehingga ia terus mensyukurinya. Beliau lalu menukil perkataan Imam Malik, “Aku mendapati para ulama di berbagai negeri, mereka sibuk dengan aktivitas dunia dan pergaulan bersama manusia. Ketika mereka sampai usia 40 tahun, mereka menjauh dari manusia.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 14/218).

Imam Asy-Syaukani juga menukil perkataan para ulama tafsir bahwa tidaklah seorang nabi diutus melainkan mereka telah berusia 40 tahun (Fathul Qodir, 5/24).

Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,

لِتَكُونُوا شُيُوخًا ثُمَّ

Kemudian (dibiarkan kamu hidup) sampai tua. (Q.S. Ghafir: 67).

Menurut al-Qurthubi, yang dimaksud tua pada ayat di atas adalah orang yang telah melewati 40 tahun” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 15/215).

Allah Swt. juga berfirman,

وَمَنْ نُعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ ۖ أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka tidak memikirkannya? (Q.S. Yasin: 68).

Menurut Ibnu Katsir, seorang hamba ketika usianya semakin panjang, maka ia dikembalikan ke keadaan lemah setelah kekuataan dan keadaan tidak berdaya setelah kondisi prima (Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim, 6/588). Juga menurut Ibnul Qayyim, bahwa setelah usia 40 tahun, kekuatan dan fungsi organ tubuh mulai menurun. Dan menurunnya kekuatan fisik berlangsung secara bertahap, sebagaimana dahulu kekuatan fisik berkembang dengan bertahap (Tuhfatul Maudûd, 178).

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa usia 40 tahun adalah usia puncak kematangan. Adapun usia setelahnya adalah awal fase penurunan kekuatan manusia dalam segala aspek, baik fisik, daya ingat, dan lain-lain.

Doa Memasuki Usia 40 Tahun

Q.S. Alahqaf: 15 di atas sekaligus juga berisikan doa yang bisa diamalkan seseorang yang memasuki usia 40 tahun. Berikut bunyi doa tersebut.

َ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang muslim.

Ulama menjelaskan, hendaknya doa ini diamalkan. Meskipun objeknya adalah mereka yang berusia 40 tahun. Namun, doa ini juga ditujukan kepada anak muda sebagai teguran untuk senantiasa bersemangat memperbaiki diri yang akan menentukan seperti apa puncak kematangan mereka di usia 40 tahun.

Hikmah dari doa di atas, bahwa ketika di masa muda terbiasa bersyukur, beramal saleh, maka di usia 40 tahun sebagai puncak kesyukuran seseorang. Dengan kata lain, doa ini hendaklah tidak disalahartikan bahwa seseorang boleh untuk tidak bersyukur maupun beramal saleh sebelum usia 40 tahun. Sebab, usia ini adalah puncak dari kebiasaan, bahkan menjadi penentu karakter seseorang. Di usia inilah cerminan kebiasaan masa mudanya.

Hal ini sebagaimana ditegaskan Ibrahim al-Nakha’i, ketika seseorang memasuki usia 40 tahun dan berada pada suatu perangai tertentu, maka ia tidak akan pernah berubah hingga datang kematiannya (Ath-Thabaqat al-Kubra, VI/277). Boleh jadi maksud kehidupan baru dari life begins at forty dalam sudut pandng Islam adalah awal mula puncak kematangan seseorang dari apa yang sudah menjadi kebiasaannya di masa muda. Tak heran jika dalam banyak literatur ditemukan kebiasaan para ulama ketika memasuki usia 40 tahun adalah lebih memfokuskan diri pada ibadah sebagai puncak kebiasaan ibadah mereka di masa muda.

Oleh karena itulah, sekalipun usia 40 tahun merupakan puncak kematangan seseorang, di sisi lain ayat ini juga sebagai peringatan agar di usia tersebut seseorang lebih memfokuskan diri dengan ibadah. Hendaknya seseorang di usia ini agar berhati-hati. Ibnul Jauzi berkata, “Terkadang suatu hukuman ditunda hingga akhir usia tiba. Duhai (betapa malangnya) orang yang terus tergelincir di hari tua karena sebab dosa-dosanya di masa muda.” (Shaidul Khatir, 315). Itulah mengapa Nabi saw. dalam hadisnya menyeru untuk memanfaatkan masa muda sebelum datang masa tua. Wallah a’lam.

Tinjauan Teologi al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

0
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani
Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Tafsir al-Alusi atau Tafsir Ruh al-Ma’ani dikenal dengan sebutan tafsir sufi yang bercorak isyari (Husna, 2020, hlm. 122). Dengan berbagai penafsiran yang ditulis oleh al-Alusi dalam tafsirnya, para pengkaji-pengkaji tafsir yang memasukkan tafsir tersebut pada corak sufi, karena kecondongan tafsir tersebut lebih banyak pada sufistik.

Tafsir isyari merupakan salah satu bentuk karya tafsir yang menggunakan corak sufi. Husain al-Dzahabi membagi tafsir sufi menjadi dua bagian, yaitu tafsir sufi isyari dan tafsir sufi nazhari (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, II: 261). Tafsir isyari lebih identik dengan corak yang menekankan pada makna-makna yang ditarik dari ayat Alquran dan tidak membatalkan makna asli lafaznya.

Meski dengan dominan corak sufi, tidak dipungkiri bahwa al-Alusi juga menyentuh penafsiran-penafsiran yang bersangkut-paut dengan masalah teologi. Penafsiran semacam ini bisa ditemukan dari berbagai ayat yang mempunyai indikasi pada teologi. Namun, penjelasan teologi itulah nanti yang digiring oleh al-Alusi untuk dikaitkan dengan sufi.

Baca Juga: Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Al-Dzahabi mengatakan bahwa al-Alusi adalah mufasir dengan akidah sunni yang banyak ditemukan penafsiran yang membantah golongan Mu’tazilah dan Syi’ah (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I:253). Bukan hanya itu, al-Alusi juga menyebutkan diskursus-diskursus dari golongan Qadariyah, Jabariyah dan Khawarij. Salah satu ayat yang ditafsirkan al-Alusi dan digiring dengan diskursus teologi kemudian masuk ke sufi, yaitu kata نستعين  pada surah Alfatihah.

وَتَمَسَّكَتِ الْجَبَرِيَّةُ وِالْقَدَرِيَّةُ بِهَذِهِ الْآيَةِ

Golongan Jabariyah dan Qadariyah berpegang teguh pada ayat ini (Ruh al-Ma’ani, I:89).

Al-Alusi memulai penafsiran kata نستعين dengan mendefinisikan kata isti’anah yang merupakan perubahan kata dari nasta’in. Al-Alusi mengaitkan hal tersebut sekilas dengan penjelasan teologis dari Jabariyah dan Qadariyah. Diskursus teologi disini lebih condong pada pembahasan apakah manusia punya kebebasan atas pekerjaan dirinya, atau tidak.

Pertama, menurut Jabariyah, bahwa manusia yang mempunyai kebebasan atas pekerjaannya, maka isti’anah di situ tidak ada gunanya. Karena jika manusia punya kebebasan atas pekerjaannya, tentunya dia tidak akan minta bantuan kepada yang lain. Kedua, Qadariyah memberikan pandangan bahwa justru jika manusia tidak mempunyai kebebasan atas pekerjaannya, barulah isti’anah tidak ada gunanya. Karena jika manusia mempunyai hak, maka tentunya dia akan meminta bantuan kepada yang lain. Sedangkan jika tidak, isti’anah di situ sia-sia (Ruh al-Ma’ani, I:89).

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan Mua’tazilah ada pada ayat وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ. (Q.S Alnisa’ [4]; 64)

وَاحْتَجَّ الْمُعْتَزِلَةُ بِالْآيَةِ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يَرِيْدُ إِلَّا الْخَيْرَ وَالشَّرُّ عَلَى خِلَافِ إِرَادَتِهِ

Golongan Mu’tazilah berhujjah dengan ayat bahwa Allah tidak mengehendaki kecuali kebaikan. Sedangkan keburukan terlepas dari kehendak-Nya (Ruh al-Ma’ani, III:68).

Sanggahan al-Alusi pada ayat ini merujuk ada pendapat al-Nasafi dalam tafsirnya al-Taysir fi Tafsir bahwa makna ialah untuk menaati Allah dengan izin dan kehendak-Nya dalam ketaatan. Sedangkan orang yang tidak dikehendaki, maka Allah ingin menghilangkan ketaatannya. Oleh sebab itu, orang tersebut tidak akan menaati Allah dan akan menjadi kafir.

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan golongan Syi’ah ada pada لا يَنالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ. (Q.S Albaqarah [2]: 124)

وَاسْتَدَلَّ بِهَا بَعْضُ ‌الشِّيْعَةِ عَلَى نَفْيِ إِمَامَةِ الصِّدِّيْقِ وَصَاحِبِيْهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ حَيْثُ أَنَّهُمْ عَاشُوا مُدَّةً مَدِيْدَةً عَلَى الشِّرْكِ

Sebagian golongan Syiah mengambil dalil dengan ayat tersebut sebagai peniadaan kepemimpinan Abu Bakar al-Siddiq dan sahabat lainnya, karena mereka hidup cukup lama dalam kesyirikan (Ruh al-Ma’ani, I:375).

Al-Alusi menyanggah bahwa yang dimaksud orang zalim tidak bisa mewarisi kepemimpinan hanya pada saat zalim saja. Sedangkan kepemimpinan yang diperoleh oleh sahabat Nabi Saw. pada waktu sempurnanya iman dan puncak keadilan mereka. Sehingga dengan alasan tersebut, para sahabat Nabi Saw. masih pantas menyandang kepemimpinan setelah Nabi Saw. wafat.

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan golongan Khawarij ada pada ayat وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ. (Q.S Almaidah [5]: 44-45)

وَاحْتَجَّتِ الْخَوَارِجُ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى أَنَّ الْفَاسِقَ كَافِرٌ غَيْرُ مُؤْمِنٍ

Golongan Khawarij berhujjah dengan ayat ini bahwa orang fasik adalah orang kafir yang bukan mukmin (Ruh al-Ma’ani, III:314).

Alasan golongan Khawarij karena kata مَنْ pada ayat tersebut masih bersifat umum yang mencakup semua orang yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang Allah turunkan tanpa terkecuali sama sekali. Sanggahan al-Alusi pada pernyataan Khawarij tersebut dengan memberikan alasan bahwa hukum meskipun mencakup pekerjaan hati dan anggota tubuh tetapi yang dimaksud pada ayat tersebut hanya pekerjaan hati, yaitu tasdiq (membenarkan Allah).

Baca Juga: Surah Ash-Shaffat Ayat 96: Apakah Allah Swt Mengatur Seluruh Tindakan Manusia?

Dengan adanya tafsir seperti itu, tidak akan ada pertentangan lagi bahwa siapapun yang tidak percaya Allah, maka dia kafir. Sehingga artinya menurut al-Alusi orang yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang Allah turunkan, tidak akan terjadi jika bukan orang yang tidak beriman kepada Allah (Al-Alusi, 1995, III:314).

Kesimpulan

Meskipun tafsir al-Alusi didominasi corak sufi, tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran selain masalah-masalah sufi, termasuk salah satunya penafsiran tentang teologi. Penafsiran al-Alusi memulai penjelasan dari berbagi golongan yang kemudian nanti disanggah dan digiring pada sufi.

Wallahu A’lam.

Antara Maslahat dan Nas Alquran

0
Antara maslahat dan nas Alquran
Antara maslahat dan nas Alquran

Dalam tulisan sebelumnya, dijabarkan mengenai progresivitas Umar bin Khattab dalam memahami dan menerapkan ayat-ayat hukum. Beliau berhasil memahami teks suci secara komprehensif dan mendalam sehingga berhasil menemukan inti sari dari aturan yang terkandung dalam syariat tersebut.

Inti sari yang dimaksud adalah hikmah di balik pnsyariatan hukum yang orientasinya adalah maslahat. Hal inilah yang mengantarkan sahabat Umar bin Khattab mampu mendialogkan antara teks dan konteks sehingga hukum Islam benar-benar menemukan momentumnya untuk menebar kemaslahatan bagi umat manusia.

Tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dalam upaya memahami ayat-ayat hukum belakangan menuai kontroversi. Banyak kalangan yang memahami bahwa sahabat Umar bin Khattab telah mengabaikan teks suci dan beralih kepada maslahat. Beliau dinilai lebih mendahulukan maslahat dari pada menerapkan teks Alquran atau hadis dalam beberapa kasus tertentu.

Sebagai penutup dari beberapa tulisan sebelumnya tentang progresivitas sahabat Umar bin Khattab dalam memahami ayat-ayat hukum, tulisan kali ini mencoba mengelaborasi diskursus mengenai maslahat di hadapan nas Alquran. Ada apa antara maslahat dan nas Alquran?

Baca Juga: Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 3)

Teori Maslahat; Definisi

Maslahat secara sederhana dapat diartikan kebaikan. Ditinjau dari perspektif syariat, maslahat adalah kebaikan atau kemanfaatan yang menjadi tujuan utama syariat terhadap umat manusia dalam setiap postulat hukumnya. Kemanfaatan yang berusaha diwujudkan syariat untuk umat manusia terdiri dari perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta benda, keturunan dan kehormatan mereka.

Dalam kitab Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, Imam Ibnu Asyur menjelaskan bahwa syariat itu hadir membawa kebaikan bagi manusia. Misalnya, syariat melarang minum minuman keras karena tindakan tersebut memicu kehilangan kesadaran yang jelas-jelas berdampak buruk bagi manusia. Menurut beliau, sudah terlalu banyak ayat maupun hadis yang mendukung tesis bahwa aturan-aturan dalam Islam dikaitkan dengan illat-illat (alasan-alasan), hikmah dan maslahat yang semuanya diproyeksikan untuk kemaslahatan individu maupun kolektif.

Baca Juga: Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

Klasifikasi Maslahat

Secara umum, ulama membagi maslahat menjadi tiga bagian. Yaitu maslahat mu’tabarah, maslahat mulgha dan maslahat mursalah. Maslahat mu’tabarah adalah maslahat yang diakui eksistensinya oleh syariat. Maslahat jenis ini yang kemudian dikenal dengan maqasid syariah atau al-kulliyat al-khamsah. Maslahat jenis ini tidak mungkin bertentangan dengan nas. alasannya karena keberadaanya dilegitimasi oleh syariat itu sendiri.

Sedangkan maslahat mulgha adalah maslahat yang secara eksplisit ditolak oleh nas. Misalnya seorang raja yang memiliki kewajiban membayar kafarat karena melakukan hubungan intim di siang hari pada bulan suci Ramadan, maka kewajibannya adalah secara hirarki memerdekakan budak, memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.

Raja tersebut sepertinya akan sangat mudah jika memerdekakan budak, sehingga maslahat berupa efek jera tidak akan timbul jika hanya dibebankan memerdekakan budak. Oleh karenanya, secara sepintas hukuman berpuasa dua bulan berturut-turut lebih pantas untuknya. Akan tetapi, maslahat atau pertimbangan tersebut tidak diakui oleh syariat.

Ketiga adalah maslahat mursalah. Maslahat mursalah adalah maslahat yang tidak ditemukan dalam teks suci yang mengakomodirnya dan di saat yang sama juga tidak ada penolakan dari syariat. Mursalah sendiri artinya lepas. Ia terlepas dari pengakuan maupun penolakan dari syariat.

Agaknya sulit membayangkan kontradiksi antara nas dengan maslahat mu’tabarah. Alasannya karena syariat langsung yang melegitimasi keberadaannya. Legitimasi tersebut menjadi syarat utama suatu maslahat bisa digolongkan sebagai maslahat mu’tabarah sehingga maslahat yang tidak atau belum mendapat legitimasi dari syariat tidak berhak disebut maslahat mu’tabarah.

Sedangkan untuk maslahat mulgha, pertentangan antara maslahat dan nas terlihat jelas. Akan tetapi ulama sepakat mengabaikan maslahat jenis ini karena ia dianggap secara tegas ditolak oleh nas. Dari namanya saja dapat kita tahu bahwa ia adalah maslahat yang diabaikan (mulgha). Di samping itu, banyak kalangan yang menilai bahwa maslahat jenis nini sejatinya bukan maslahat, melainkan hanya klaim maslahat belaka.

Berbeda dengan dua jenis masahat diatas, maslahat mursalah menurut penulis cukup unik namun agak rawan. Unik karena keberadaanya sebagai maslahat yang lepas dari penilaian syariat memberi kesan fleksibelitas yang cukup luas. Ia dapat menjelma sebagai perspektif teori untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum terekam status hukumnya dalam alquran maupun sunnah.

Akan tetapi, sifatnya yang fleksibel karena lepas dari penilaian nas membuatnya cukup rawan untuk dipertentangkan dengan nas. Oleh karenanya, para ulama memberikan semacan batasan operasional untuk maslahat jenis ini. Salah satu kitab yang cukup komprehensif mengkaji masalah ini adalah Dhawabit al-Maslahat karya al-Syahid Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Dalam kitab tersebut, beliau mengemukakan setidaknya ada beberapa batasan operasional maslahat mursalah. Diantaranya:

Pertama, tergolong sebagai salah satu bagian dari tujuan syari’ (yakni kulliyat al-khams, yaitu menjaga agama, jiwa akal, harta dan keturunan).

Pertama, tidak bertentangan dengan nas Alquran dan hadis.

Kedua, tidak kontradiksi dengan ketentuan qiyas.

Ketiga, tidak menegasikan masahat lain yang lebih kuat dan umum.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam, semuanya mengandung maslahat, sehingga sulit membayangkan adanya kontradiksi antara maslahat dan nas karena nas atau syariat adalah maslahat itu sendiri, akan tetapi secara lahiriyah terdapat beberapa jenis maslahat yang bertentangan dengan nas dan harus mengalah ketika berhadapan dengan nas, yaitu maslahat mulgha.

Sedangkan untuk maslahat mursalah, salah satu syaratnya adalah tidak bertentangan dengan nas, karena jika sampai bertentangan dengan nas maka akan tergolong sebagai maslahat mulgha. Wallah a’lam.

Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran

0
Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran
Dorongan menggunakan akal pikiran dalam Alquran.

Saat membaca Alquran, seseorang akan menemukan ratusan ayat yang mengingatkan pembaca berulang kali untuk menggunakan akal untuk berpikir. Ayat-ayat ini mempertanyakan mereka yang tidak menggunakan akal atau tidak mau berpikir. Fakta bahwa ada ratusan ayat yang menyebutkan akal dalam bentuk kata kerja menunjukkan bahwa berpikir itu perlu dan sangat dianjurkan.

Alquran tidak hanya meminta, tetapi juga mendorong, menantang, dan menghimbau para pembaca untuk menggunakan akalnya. Problematika dalam berpikir berasal dari kurangnya kesadaran dan pemahaman ayat-ayat Alquran tentang kekuatan akal, atau juga karena kelangkaan literatur tentang berpikir dari perspektif Alquran.

Dorongan untuk Berpikir

Pada awal ayat 44 di surah kedua Alquran, pembaca dipancing dengan pertanyaan negatif, afalā ta’qilūn (apakah kamu tidak menggunakan akal sehat?). Terdapat 13 ayat yang mempertanyakan pembaca dalam bentuk negatif karena tidak menggunakan akalnya, termasuk afalā ta’qilūn yang berarti “Apakah kamu tidak berpikir?” atau “Apakah kamu tidak mengerti?” atau “Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?”

Al-Qarḍāwi dalam al-‘Aql wa al-‘ilm fi al-Qur’ān al-Karīm (2001) menjelaskan bahwa Allah bertanya kepada manusia dalam bentuk negatif untuk memotivasi mereka agar memikirkan tanda-tanda-Nya agar dapat mengenal Allah dan menjadi yakin kepada-Nya.

Baca juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim

Ayat-ayat lain dalam bentuk kata kerja ta’qilūn yang berarti “kamu akan menggunakan akalmu” atau “kamu dapat berpikir atau kamu dapat memahami”. Kata ta’qilūn yang disebutkan sebanyak 11 kali dalam Alquran muncul setelah ayat-ayat yang menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah agar manusia memikirkan tanda-tanda itu, yaitu wahyu, ciptaan, dan sejarah pengalaman manusia untuk sampai pada kebenaran dengan pasti.

Hal ini misalnya dapat dilihat pada Q.S. al-Baqarah: 73, “Lalu, Kami berfirman, ‘Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.” “Agar kamu mengerti” pada ayat ini digunakan frasa la’allakum  ta’qilūn.  Pada Q.S. al-Baqarah: 242, “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti”. Pada ayat ini, “agar kamu mengerti” menggunakan frasa la’allakum ta’qilūn.  Atau pada Q.S. Yusuf: 109, “Sesungguhnya negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak mengerti?” Frasa “apakah kamu tidak mengerti” menggunakan redaksi afalā ta’qilūn.

Baca juga: Spirit Literasi dalam Nama-Nama Alquran

Selain ayat-ayat yang memotivasi manusia untuk berpikir, Alquran juga memuat ayat-ayat yang memperingatkan manusia yang tidak menggunakan akalnya. Frasa lā ya’qilūn  yang disebutkan dalam Alquran dalam pandangan Asad dalam The Message of the Qurān: Translated and Explained (2003) ditafsirkan sebagai “mereka tidak menggunakan akal mereka”. Sementara Yūsuf ‘Āli dalam The Holy Qurān: Text, Translation and Commentary (2007), menafsirkan lā ya’qilūn sebagai “orang-orang yang tidak memiliki akal”, “mereka tidak memiliki kebijaksanaan”, dan “mereka yang tidak mengerti”. Lā ya’qilūn adalah untuk menyampaikan kemurkaan Allah kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir.

Contohnya pada Q.S. al-Baqarah: 171, disebutkan bahwa mereka tidak mengerti karena mereka mengingkari Allah. Mereka diumpamakan seperti penggembala yang meneriaki gembalaannya yang tidak mendengar atau memahami selain panggilan atau teriakan. Mereka disebut tuli, bisu, dan buta sehingga mereka tidak mengerti. Kata yang digunakan untuk menarasikan kondisi mereka adalah fahum la ya’qilun.

Akal dan Berpikir

Selain ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan penggunaan akal, ada ratusan ayat dalam Alquran yang menyebutkan kegiatan lain yang sebanding dengan fungsi utama akal, yaitu berpikir. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah tafakkur (berpikir mendalam atau merenung), tadabbur (merenungkan atau memeriksa dengan seksama), nazhar (berpikir teoritis atau abstrak), tabāshur (wawasan), tadzakkur (mengingat), tafaqquh (memahami secara komprehensif), i’tibār (mengambil mengambil pelajaran dari sejarah pengalaman manusia agar tidak mengulangi kesalahannya), ta’aqqul (penerapan pikiran yang benar), dan tawassum (berpikir reflektif).

Terkait hal ini, penting untuk memahami bagaimana Alquran memaparkan kemampuan organ berpikir, yaitu al-‘aql (akal). Akal adalah organ spiritual (immaterial) yang vital yang mampu mengkonseptualisasikan dan mempertahankan makna yang memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang diperlukan untuk keberhasilan hidup mereka di dunia. Akal memiliki potensi untuk berpikir secara konseptual dan akal merupakan kemampuan tertinggi manusia, yang membuat mereka mampu merenungkan kebesaran Allah.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 62: Akal sebagai Tameng dari Godaan Setan

Dengan berkah akal, manusia dapat memikul beban sebagai khalifah di bumi dan bertanggung jawab atas tindakannya. Meskipun dibandingkan dengan hewan, manusia lebih lemah fisiknya.

Akal menjadi ciri utama manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Daya proses informasi adalah keunggulan dalam mengaitkan apa yang tampak di lapangan dengan proses mental dalam berpikir. Manusia adalah makhluk yang berpikir (al-insan hayawan nathiq) sejatinya karena ia diberikan potensi akal.

4 Landasan Dasar Asuransi dalam Alquran

0
4 Landasan Dasar Asuransi dalam Alquran
4 Landasan Dasar Asuransi dalam Alquran

Asuransi dalam bahasa Arab memiliki padanan kata yaitu takaful berarti saling menanggung, ta’min berarti saling menjamin dan tadhamun berarti saling memikul tanggungjawab, solidaritas. Asy’ari Suparmin dalam Asuransi Syariah: Konsep Hukum dan Operasionalnya menjelaskan bahwa asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah pihak atau orang melalui investasi dalam bentuk aset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui perikatan yang sesuai syariat (hal. 22).

Asuransi sendiri memiliki beberapa jenis. Dilansir dari sikapiuangmu bahwa secara garis besar ada dua yang biasa digunakan yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian meliputi  kendaraan bermotor, properti, kecelakaan diri, kredit, uang dan harta benda. Sedangkan asuransi jiwa meliputi asuransi jiwa berjangka, jiwa seumur hidup, dan  unit link.

Dari berbagai jenis asuransi yang ada, sebagai konsumen perlu mengetahui landasan dasar asuransi yang sesuai syariat di antaranya sebagai berikut.

Pertama, perintah Allah untuk merencanakan masa depan

Praktik asuransi sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf, namun dengan bentuk yang berbeda daripada sekarang.  Beliau mencontohkan praktik tersebut dengan menyimpan hasil bercocok tanam untuk menghadapi musim paceklik selama tujuh tahun sebagaimana dalam surah Yusuf [12]: 47-49.

Dia (Yusuf) berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. (47) Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. (48) Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur” (49).

Baca Juga: Belajar Investasi dari Nabi Yusuf, Tafsir Surah Yusuf Ayat 47-49

Menurut M. Quraish Shihab, dalam ayat tersebut terdapat perintah melalui mimpi yang disampaikan Nabi Yusuf untuk terus bercocok tanam selama tujuh tahun. Dari hasil bercocok tanam tersebut, diperintahkan untuk membiarkan hasil panen itu di dalam bulirnya kecuali sedikit yang tidak dibiarkan karena untuk kebutuhan makan. Hal ini bukan tanpa sebab, karena tujuh tahun setelahnya akan datang masa paceklik yang menghabiskan simpanan tujuh tahun sebelumnya. Baru setelah musim paceklik itu, akan datang musim yang padanya masyarakat diberi kecukupan dan kehidupan sejahtera (Tafsir Al-Misbah, 471-472).

Reza Ronaldo dalam Cara Mudah Mengenal Asuransi menjelaskan pentingnya persiapan masa depan melalui asuransi. Ada manfaat yang diberikan berupa perlindungan jiwa dan harta. Memberikan rasa aman dengan adanya proteksi atau perlindungan untuk menghadapi risiko yang tidak menentu. Untuk itu dilakukan juga upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kerugian bagi nasabah, sehingga risiko bisa terkendali. Serta, berperan sebagai sumber dana tunjangan pendapatan non-operasional melalui pendapatan hasil investasi atau premi-premi yang berakumulasi.

Kedua, saling tolong menolong dan kerjasama

Praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya yang digunakan untuk dana sosial merupakan implementasi dari tolong menolong yang terdapat dalam surah Almaidah [5]: 2.

…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.

Menurut Shihab, ayat ini menjadi prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selagi tujuannya untuk kebajikan dan ketakwaan (Tafsir al-Misbah, Vol.3, 14).

Kerjasama membuat orang mudah dalam menghadapi kesusahan. Hal ini juga sesuai dengan surah Albaqarah [2]: 185. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

Untuk itu, menurut Siti Mariyam, konsep asuransi bukanlah tentang untung-untungan atau perjudian, melainkan suatu sistem menajemen risiko yang terencana dan sistematis. Konsep ini berlandaskan pada prinsip saling tolong menolong dan saling berbagi risiko yang menjadi landasan dari keberadaan asuransi (Pengantar Hukum Asuransi, 6).

Ketiga, saling melindungi dalam kesusahan dan kekhawatiran

Yang namanya hidup memang tak pasti. Kesusahan dan kekhawatiran akan selalu membayangi. Maka, asuransi hadir untuk memberikan jaminan dari hal tersebut. Hal ini merupakan isyarat dari surah Quraisy [106]: 4.

Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Shihab menafsirkan ayat ini bahwa pemberian pangan itu bukan melalui keuntungan yang mereka raih dari perjalanan dagang, melainkan melalui fasilitas darat dan laut serta udara. Di sisi lain, keamanan yang terjamin di kota Mekkah, mengantar para pedagang merasa aman membawa kafilah dan barang dagangannya ke sana (Tafsir Al-Misbah, hal. 539).

Siti Mariyam juga menjelaskan bahwa asuransi memiliki fungsi melindungi dari risiko finansial ketika terjadi kerugian seperti kecelakaan, kematian, bencana alam atau kebakaran yang bisa mendapat kerugian sangat besar. Sehingga dengan berasuransi, risiko tersebut dapat ditransfer ke penanggung dengan klaim sesuai nilai polis yang disepakati (hal. 3).

Keempat, Perintah Allah untuk Bertawakal dan Optimis Berusaha

Segala bentuk musibah dapat datang kepada siapa saja atas izin-Nya. Untuk itu, manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Sebagaimana surah Altaghabun [64]: 11.

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

Shihab menafsirkan ayat ini terkait penciptaan sebab dan faktor-faktor terjadinya sesuatu yang diciptakan oleh Allah. Beliau mengutip Thabathaba’i bahwa  tidak ada satu aksi dari satu pihak, tidak juga satu reaksi kecuali melalui penglihatannya. Dengan demikian bahwa Dia adalah Allah, mengantar jiwa menemukan hakikat-hakikat di atas dan mengantar pula hati untuk tenang, tidak resah dan goncang (Tafsir Al-Misbah, hal. 275-276).

Muhammad Syakir Sula dalam Asuransi Syariah, Life And General: Konsep dan Sistem Operasional menjelaskan bahwa Allah meminta manusia untuk hidup rapi penuh rencana dan strategi. Perencanaan yang baik bukan hanya mencari nafkah dan menggapai ridho ilahi, tapi juga mengantisipasi musibah dan kemalangan. Di antara caranya adalah menabung atau meminjam. Namun seringkali dua cara tersebut terlalu kecil dibandingkan biaya musibah yang datang sehingga manusia mengupayakan cara lain dengan asuransi. Dengan paradigma ini, asuransi bukanlah upaya melawan takdir, tapi justru melakukan ikhtiar dan hidup penuh rencana sesuai anjuran Allah Swt (hal. xviii).

Dari pemaparan singkat terkait 4 landasan dasar asuransi dalam Alquran di atas, jika dalam praktiknya membawa kemaslahatan dan keberlanjutan kehidupan manusia, selagi tidak melanggar larangan Allah, maka asuransi syariah bisa menjadi alternatif dan solusi terbaik dalam asuransi.

Gus Iqdam dan Pesan Perdamaian Menjelang Pemilu

0
Gus Iqdam dan pesan perdamaian menjelang pemilu
Gus Iqdam dan pesan perdamaian menjelang pemilu

Indonesia akan menghadapi hajat besar, yakni Pemilihan Umum di tahun 2024 nanti. Di tahun politik seperti ini, perpecahan bangsa adalah hal yang menjadi perhatian penting bagi siapapun. Para ulama dan pendakwah juga turut menyoroti pesta rakyat lima tahunan ini. Salah satu pendakwah yang menyoroti hal ini adalah Gus Iqdam, pimpinan Majelis Sabilu Taubah. Beliau berpesan agar pemilu dijadikan ajang untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia cinta perdamaian, bukan sebaliknya.

“Ini sudah mendekati pilpres (pemilihan Presiden), nanti kalian tidak usah bingung, tidak usah gaduh kok tiba-tiba Gus Iqdam ini kedatangan calon-calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Tenang,” ujar Gus Iqdam di hadapan jamaah Majelis Sabilu Taubah, Blitar pada Pengajian Rutinan Malam Selasa (9/10) lalu.

Beliau menyatakan bahwa siapapun berhak datang di suatu majelis keagamaan. Bagi Gus Iqdam, apapun latar belakang tamunya harus diterima. Meskipun begitu, beliau mendorong agar kelak berjalannya proses demokrasi bisa lancar dengan damai dan siapapun berhak memilih calonnya masing-masing secara personal. Hal ini sesuai dengan asas Pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Jadi, kalau ada calon presiden sambut dengan baik. Ahlan wa sahlan bi hidurikum. Masalah mencoblos atau tidak itu nafsi-nafsi, urusan masing-masing. Buktikan kalau pilpres benar-benar damai. Pilpres hanya pesta rakyat lima tahunan, tenang saja,” imbuhnya.

Ungkapan Gus yang memiliki nama lengkap Muhammad Iqdam Khalid ini menegaskan bahwa Pilpres dan Pemilu adalah sarana untuk menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, tidak perlu sampai membawa perpecahan selama proses demokrasi nanti.

Baca Juga: Hukum Mempublikasikan Sisi Negatif Calon Pemimpin

Sesama Muslim adalah Saudara

Perdamaian merupakan kunci dari kehidupan berbangsa. Bagi sesama pengikut Islam, persaudaraan ini tidak hanya terbatas pada aspek keimanan, tapi juga atas dasar kemanusiaan. Dalam Alquran, hal ini bisa diketahui melalui surah al-Hujurat [49]: 10.

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ  وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati”.

Syekh Muhammad As-Shawi Al-Makki dalam Hasyiyah As-Shawi ala Tafsîr Jalâlain menyebutkan, ayat ini menunjukkan sesungguhnya umat mukmin semuanya bersaudara. Persaudaraan ini dinilai layaknya persaudaraan satu nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang kekal hingga hari akhir.

Selain itu, ayat ini juga berisi seruan untuk perdamaian.  Meskipun perintah ini secara khusus untuk orang atau pihak-pihak yang tengah bertikai, tetapi anjuran untuk berdamai juga bisa disampaikan sebelum ada konflik terjadi. Seperti dalam kasus sebelum terjadinya perpecahan karena Pemilu atau Pilpres kelak.

Dalam konteks ini Nabi Muhammad saw. menyampaikan suatu riwayat yang didokumentasikan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya, sebagai berikut,

عن ابن عمر رضي الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ».

“Muslim itu adalah saudara muslim yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya. Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah membantu kebutuhannya. Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesuliannya pada hari Kiamat. Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi kekurangannya pada hari Kiamat.” (Riwayat al-Bukhārī dari ‘Abdullāh bin ‘Umar).

Dalam kesempatan ini, Gus Iqdam juga menyampaikan salah satu hadis yang berbunyi sebagai berikut,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Dari Abdullah bin ‘Amr. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya…” (Shahih Bukhari).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 9-10

Selain berbicara mengenai perdamaian dalam konteks Pemilu, beliau juga menyinggung peran ulama dan mubaligh dalam menjaga perdamaian masyarakat. Beliau secara khusus menyoroti soal polemik sound horeg di daerah Jawa Timur. Laporan dari masyarakat soal sound horeg yang digunakan untuk joget DJ (Disk Jockey). Melalui penjelasan hadis ini, Gus Iqdam justru merangkul para pemilik sound. Beliau melarang para jamaahnya menghujat pemilik sound, dan justru karena rangkulan itu akhirnya pemilik sound berkhidmat agar digunakan untuk majelis ilmu.

Sebagai tambahan informasi, jamaah Gus Iqdam yang memiliki sebutan ‘ST Nyell’ ini memiliki latar belakang yang variatif. Bahkan, beberapa kali jamaah dari non-muslim turut hadir mengikuti majelis tersebut. Bagi Gus Iqdam, beginilah cara untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam