Beranda blog Halaman 57

Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman

0
Kisah Pengembala, Pemilik Kebun, dan Kebijaksanaan Nabi Sulaiman a.s.
Kisah pengembala, pemilik kebun, dan kebijaksanaan Nabi Sulaiman a.s.

Nabi Sulaiman a.s. merupakan figur seorang nabi yang sekaligus menjabat sebagai seorang raja. Beliau seorang nabi yang menjadi bukti sejarah bahwa ilmu pengetahuan merupakan bekal utama untuk menaklukkan dunia. Alquran banyak menuturkan kisah-kisah unik dan inspiratif mengenai sosok nabi yang satu ini. Dengan ilmu dan kebijaksanaan yang dianugerahkan Allah Swt., beliau mampu menguasai bukan hanya dunia manusia, tetapi juga bangsa jin dan binatang tunduk di bawah kekuasaan dan kebijakannya.

Nabi Sulaiman a.s. merupakan putra Nabi Daud a.s. Keduanya sama-sama dianugerahi kenabian dan kekuasaan sekaligus. Jadi, bisa dikatakan bahwa Nabi Sulaiman a.s. sebenarnya melanjutkan estafet kepemimpinan dan perjuangan Nabi Daud a.s.

Dalam Alquran, ada satu kisah unik yang diceritakan berkenaan dengan kebijaksanaan Nabi Sulaiman a.s. Kisah ini terjadi ketika Nabi Daud a.s. masih menjabat sebagai seorang raja, dan di saat itu Nabi Sulaiman a.s. masih berusia sekitar belasan tahun. Penggalan kisahnya disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya ayat 78, Allah Swt. berfirman:

{وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ} [الأنبياء: 78]

“Dan (ingatlah) kisah Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenaai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka.” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 78).

Baca juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Alquran

Ada setidaknya dua riwayat dari ulama tafsir terkait alur lengkap dari kisah di atas. Namun, secara substansi keduanya bermuara pada hal yang sama, yaitu ingin menggambarkan kebijaksanaan Nabi Sulaiman a.s.

Syahdan, dikisahkan bahwa pada kepemimpinan Nabi Daud as., terjadi sengketa antara seorang pengembala dan seorang tukang kebun. Tanpa disadari, kawanan kambing milik pengembala masuk ke kebun dan merusak tanaman yang ada di kebun tersebut.

Mengetahui hal tersebut, pemilik kebun tidak terima dan kemudian melaporkan masalah tersebut kepada Nabi Daud a.s. untuk meminta penyelesaian masalah. Setelah menaksir nominal harga kambing dan jumlah kerugian pemilik kebun yang ternyata sama, Nabi Daud a.s. kemudian memutuskan bahwa kambing-kambing tersebut harus diberikan seutuhnya kepada pemilik kebun sebagai ganti rugi atas tanamannya yang dirusak kambing tadi.

Setelah mendapatkan keputusan dari Nabi Daud a.s., keduanya pun pulang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Nabi Sulaiman a.s. yang pada waktu itu masih berusia sekitar sebelas tahun.

Baca juga: Riwayat Israiliyyat Batil dalam Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Karena mengetahui latar belakang masalah mereka, Nabi Sulaiman a.s. kemudian menanyakan hasil keputusan sang raja terhadap kasus yang menimpa mereka. Setelah mendapatkan penuturan dari keduanya tentang keputusan Nabi Daud a.s., ayahandanya, beliau kemudian berkomentar, “Keputusan itu bagus, tetapi sebenarnya ada keputusan lain yang lebih adil bagi kedua belah pihak.”

Mendengar bahwa ada keputusan yang lebih adil, mereka berdua kembali menghadap Nabi Daud a.s. dan mengabarkan bahwa putranya memiliki keputusan yang dirasa lebih dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kemudian, Nabi Daud a.s. memerintahkan agar Nabi Sulaiman dibawa menghadap untuk ditanyakan apa keputusan yang dinilainya lebih baik itu.

Dengan penuh rasa penghormatan kepada seorang raja dan rasul sekaligus ayahandanya, beliau menjelaskan bahwa keputusan yang lebih baik adalah dengan menyerahkan kebun kepada si pengembala untuk dirawat sampai tanaman yang rusak tadi kembali seperti semula. Dalam jangka waktu tersebut, kambing milik si pengembala diserahkan sementara kepada pemilik kebun. Dan, si pemilik kebun berhak atas manfaat dari kambing tersebut berupa, susu, bulu atau bahkan anak dari kambing tersebut selama masa pemulihan kebunnya berlangsung.

Baca juga: Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Setelah dirasa bahwa tawaran Nabi Sulaiman a.s. dinilal lebih adil bagi kedua belah pihak, akhirnya Nabi Daud a.s. memutuskan berdasarkan keputusan yang diawarkan oleh putranya [Mafatih al-Ghaib, juz 22, hal. 164].

Sejatinya, keputusan dari Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. sama-sama mengandung unsur keadilan. Akan tetapi, keputusan yang diambil oleh Nabi Sulaiman a.s. dirasa lebih pas dan bijaksana.

Sayyid Muhammad Thanthawi menjelaskan bahwa keputusan yang diambil oleh Nabi Daud a.s. hanya berorientasi kepada ganti rugi dari pihak pengembala kepada pemilik kebun. Namun, keputusan ini hanya berisi keadilan. Berbeda dengan keputusan yang diambil oleh Nabi Sulaiman yang mengandung keadilan sekaligus kebijaksanaan. Hal ini karena keadilan yang ditawarkan oleh Nabi Sulaiman a.s. berpotensi melahirkan keuntungan lebih bagi kedua belah pihak. Sayyid Thanthawi menyebutnya sebagai al-‘adl al-hayy al-ijabi (keadilan produktif-afirmatif). [Tafsir al-Wasith, juz 9, hal. 235].

Dalam ayat berikutnya, Allah Swt. menegaskan bagaimana Dia menganugerahkan pemahaman dan kecerdasan kepada Nabi Sulaiman; dan bagi setiap nabi dan rasul, Allah telah bekali dengan anugerah dan keistimewaan masing-masing. Allah Swt. berfirman:

{فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا} [الأنبياء: 79]

“Maka kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 79).

Baca juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Demikianlah sekelumit kisah inspiratif yang mengungkap kebijaksanaan Nabi Sulaiman a.s. Dari kisah tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa ilmu dan kebijaksanaan tidak memandang usia. Allah Swt. maha kuasa memberikan anugerah ilmu dan kebijaksanaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Di samping itu, sikap Nabi Daud yang terbuka atas kritik dan tidak segan-segan menerima kebenaran dari siapapun perlu diteladani, terutama oleh pemegang otorias dan pembuat keputusan. Jangan sampai senioritas apalagi egoisme menghalanginya dari sikap terbuka untuk menerima kebenaran.

Hukum Mempublikasikan Sisi Negatif Calon Pemimpin

0
Hukum mempublikasikan sisi negatif calon pemimpin
Hukum mempublikasikan sisi negatif calon pemimpin

Tidak lama lagi, tepatnya pada tahun 2024, masyarakat Indonsia akan melaksanakan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin negara yang baru. Sudah lumrah dalam sebuah pesta demokrasi bahwa jauh hari sebelum pemilihan dilakukan, para tim sukses dari berbagai calon mengadakan kampanye dan sosialisasi. Tujuannya adalah untuk meraup suara dan simpati masyarakat terhadap pasangan calon yang didukungnya.

Akan tetapi, tidak jarang ditemukan pengikut fanatik dari seorang calon presiden menyebar keburukan calon lain. Tidak hanya dilakukan ketika kampanye, berita-berita mengenai keburukan satu paslon juga berseliweran di media sosial. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, bagaimana hukum menyebarluaskan rekam jejak yang tidak baik dari seorang tokoh, dalam hal ini calon pemimpin negara?

Pada dasarnya, menceritakan keburukan seseorang adalah tindakan yang dilarang dalam agama. Dalam Alquran, Allah swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ} [الحجرات: 12]

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Q.S. Alhujurat [49]: 12.

Ayat di atas mengandung setidaknya tiga larangan; yaitu berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan gibah. Bahkan Allah Swt. memberi perumpamaan atas orang yang membicarakan keburukan orang lain dengan memakan bangkai saudara, dan itu tentu sangat menjijikkan.

Baca juga: Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

Ada perbedaan riwayat dari para ulama tafsir terkait latar belakang penurunan ayat yang berisi larangan gibah tersebut. Salah satunya diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa larangan gibah turun terkait peristiwa yang terjadi pada Sahabat Salman al-Farisi ra., yang ngorok saat tidur setelah selesai makan. Kemudian ada dua orang yang kemudian menceritakan perihal tersebut. Setelah itu, turunlah Surah Alhujurat ayat 12. [Al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-ma’tsur, juz 7, hal. 570].

Namun, keharaman gibah tidak berlaku mutlak. Terdapat beberapa kondisi yang memperbolehkan seseorang untuk membicarakan keburukan orang lain. dalam Kitab al-Adzkar, Imam al-Nawawi mengatakan:

اعلم أنَّ الغيبةَ وإن كانت محرّمة فإنها تُباح في أحوال للمصلحة. والمُجوِّزُ لهَا غرض صحيح شرعي لا يمكن الوصولُ إليه إلا بها

“Ketahuilah bahwasanya gibah, meski diharamkan, terkadang dibolehkan dalam beberapa kondisi karena alasan maslahat. Perkara yang membolehkan gibah adalah adanya tujuan yang benar secara syara yang bisa diperoleh hanya dengan gibah.” [Al-Adzkar, juz 1, hal. 340].

Masih dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi menyebutkan bahwa ada enam faktor yang melegalkan gibah. Diantaranya adalah memperingatkan orang lain dari keburukan seseorang. Salah satu contoh yang beliau kemukakan adalah memperingatkan seorang penuntut ilmu yang ingin menimba ilmu dari seorang guru yang ahli bidah, atau fasik, dan kriteria-kriteria lain yang dianggap berpotensi menggiring murid tersebut pada hal yang tidak baik.

Baca juga: Penjelasan tentang Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan

Akan tetapi, beliau menegaskan bahwa upaya tersebut harus dilandasi dengan niat yang ikhlas untuk semata-mata memberikan nasihat. Bahkan, menurut beliau, tindakan di atas merupakan hal yang seyogyanya diberi batasan-batasan ketat. Pasalnya, kerap kali tindakan tersebut dilakukan bukan berdasarkan niat yang tulus, melainkan karena dimotori oleh perasaan iri sehingga apa yang semula berupa nasihat dapat disusupi oleh tipu daya setan. [al-Adzkar, hal. 341]

Terkait hal ini, menyebarluaskan aspek negatif dalam diri seorang pemimpin atau calon pemimpin pada dasarnya boleh dilakukan karena disinyalir ada maslahat. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi di atas, hal tersebut harus benar-benar dilakukan dalam rangka untuk memberikan nasihat kepada kaum muslim agar mereka lebih selektif dalam memilih pemimpin. Artinya, sangat tidak dibenarkan jika tindakan tersebut dilakukan atas dasar persaingan atau bahkan menjatuhkan pasangan calon lain.

Dalam Kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan bahwa,

أَمَّا إِذَا كَانَ لأِجْل عَدَاوَةٍ أَوْ تَفَكُّهٍ بِالأْعْرَاضِ وَجَرْيًا مَعَ الْهَوَى فَذَلِكَ حَرَامٌ

“Adapun jika hal itu (gibah) dilakukan karena tujuan permusuhan, menfitnah atau dilakukan berdasarkan hawa nafsu maka hal itu dihukumi haram.”  [Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 12, hal. 44]

Selain itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah harus tetap mempertimbangkan aspek validitas dari informasi yang ingin disebarluaskan. Jangan sampai kita terjebak dalam lingkaran kedustaan akibat kurang selektif dalam memilah dan memilih berita.

Oleh karenanya, langkah paling selamat adalah sebaiknya kita tidak ikut cawe-cawe dalam narasi-narasi politik terutama yang bersangkutan dengan rekam jejak kurang baik dari seorang calon pemimpin. Terlebih dalam situasi menjelang pemilu seperti sekarang, banyak berita mengenai sisi negatif paslon tertentu yang belum terbukti kebenarannya. Parahnya lagi, tidak sedikit informasi-informasi serupa dipublikasikan dengan tujuan menjatuhkan nama baik paslon tertentu. Jika dalam kondisi seperti ini upaya menyebarkan sisi negatif tetap dilakukan, maka besar kemungkinan kita akan terjebak kepada dosa fitnah. Wallahu a’lam.

Keistimewaan Tafsir Al-Azhar dalam Pandangan Roem Rowi

0
Tafsir al-Azhar dalam Pandangan Roem Rowi
Tafsir al-Azhar dalam Pandangan Roem Rowi

Ada satu hal yang luput dalam diri penulis ketika menulis biografi Roem Rowi, yaitu tidak menyebutkan judul disertasinya ketika menempuh jenjang doktoral di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah menelusuri dari beberapa sumber, diketahui bahwa Roem Rowi menulis disertasi dengan judul Hamka wa Juhūduhū fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm bi Indunisiyya fi Kitābihi al-Azhar (1989).

Tentu sudah banyak peneliti—baik luar maupun dalam negeri—yang telah mengkaji Tafsir Al-Azhar. Beberapa nama seperti Karel Steenbink, Howard Federspiel, Yunan Yusuf, dan Wan Sabri Wan Yusof termasuk para peneliti awal yang mengkaji pemikiran Hamka dan tafsirnya.  Wan Sabri termasuk pengkaji Hamka tulen karena dia menulis disertasinya di Temple University dengan judul “Hamka’s Tafsir Al-Azhar: Qur’anic Exegesis as A Mirror of Social Change” (1997).

Melalui disertasi tersebut, Wan Sabri berkesimpulan bahwa Tafsir al-Azhar adalah cermin perubahan sosial: pra-kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan Indonesia. Semua persoalan tersebut digunakan untuk mengontekstualisasikan makna ayat-ayat Alquran agar lebih dipahami dan dikait-kaitkan dengan masyarakat Melayu-Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab. Dengan kata lain, Hamka mampu membumikan (mempribumikan) makna Alquran agar sesuai dengan pengalaman bangsa Indonesia.”

Jika dikomparasikan dengan karya Wan Sabri, disertasi Roem Rowi berusia lebih tua dan bisa jadi termasuk karya paling awal yang mengkaji Tafsir Al-Azhar secara serius melalui jalur dunia akademik. Nah, menarik kiranya untuk mengulas tentang bagaimana kesimpulan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar karya Hamka? Apakah sama dengan kesimpulan Wan Sabri atau justru berbeda?

Dalam proses penulisan artikel ini, penulis tidak memiliki akses terhadap file atau naskah utuh disertasi Roem Rowi. Namun, setidaknya terdapat ringkasan dari disertasi tersebut yang telah diterbitkan oleh Journal of Indonesian Islam Vol. 3 No. 2 tahun 2009 dengan judul yang sama yaitu, “Hamka wa Juhūduhū fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm bi Indunisiyya fi Kitābihi al-Azhar”. Artikel jurnal inilah yang penulis jadikan sebagai sumber primer dalam mengulas pandangan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar karya Hamka.

Baca Juga: Signifikansi “Asbab an-Nuzul” Menurut Roem Rowi

Mengapa Hamka Menulis Tafsir Al-Azhar?

Embrio kemunculan Tafsir Al-Azhar berangkat dari kajian rutinan tafsir setelah subuh yang diasuh oleh Hamka di Masjid Agung Kebayoran, Jakarta. Pada tahun 1960-an, Rektor Universitas Al-Azhar, yaitu Mahmud Syaltut berkunjung ke Indonesia dan menyampaikan ceramah di masjid tersebut. Merasa takjub dengan kemegahan arsitektur masjid, Mahmud Syaltut kemudian mengusulkan nama “Al-Azhar” sebagai ganti nama Masjid Agung Kebayoran. Usulan tersebut disetujui dan akhirnya berganti nama menjadi Masjid Al-Azhar.

Proses peralihan nama masjid tempat Hamka mendaras tafsir Alquran inilah yang kemudian dijadikan inspirasi untuk menamai karya tafsirnya dengan judul “Tafsir al-Azhar.” Selain itu, penamaan Tafsir al-Azhar juga sebagai wujud terima kasih Hamka terhadap Universitas Al-Azhar yang telah memberinya gelar kehormatan Doktor Honoris Causa pada tahun 1958.

Menurut keyakinan Roem Rowi, sebetulnya Hamka tidak berniat untuk kajian rutin tafsir Alquran secara lengkap 30 juz. Keyakinan ini dilandaskan berdasarkan dua alasan, yaitu: pertama, Hamka memulai kajian tafsirnya tidak dari juz 1, tetapi mulai dari juz 18 dan 19—dalam sumber lain dimulai dari Q.S. al-Kahfi juz 15—sebagaimana dipublikasikan dalam Majalah Gema Islam (1962-1964); kedua, jika diukur dari kesibukan Hamka yang luar biasa padat, seharusnya dia tidak mempunyai kesempatan waktu longgar untuk menyelesaikan karya tafsir Alquran lengkap 30 juz walaupun sampai durasi waktu 20 tahun atau bahkan hingga dia wafat.

Namun pada akhirnya, Hamka berhasil juga menyelesaikan karya tafsir Alquran secara lengkap 30 juz. Beberapa faktor penyemangat Hamka untuk menyelesaikan karya tafsirnya antara lain (1) dia merasa berutang budi kepada orang-orang yang telah berjasa besar terhadap dirinya, seperti Abdul Karim Amrullah (ayah), Siti Safiyah (ibu), A. R. Sutan Mansur (kakak ipar), dan Siti Raham (istri); (2) antusiasme kelompok pemuda Indonesia dan wilayah Melayu yang ingin memahami Alquran namun minim kemampuan bahasa Arab; (3) sebagai media dakwah Alquran; dan (4) sebagai balas budi atas penghargaan yang telah diberikan oleh Universitas Al-Azhar. Berdiamnya Hamka di penjara selama 2 tahunan akibat rezim orde lama, mungkin juga bisa menjadi faktor lain ia bisa fokus menyelesaikan tafsirnya.

Baca Juga: Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern

Keistimewaan Tafsir Al-Azhar

Menurut Roem Rowi, salah satu keistimewaan Tafsir Al-Azhar adalah karena Hamka menggabungkan nalar bayani (naql) dan nalar burhani (‘aql) dalam proses penafsiran ayat-ayat Alquran. Ketika bersentuhan dengan ayat-ayat ahkam, dia tidak fanatik terhadap suatu mazhab fikih tertentu. Hamka juga meminimalisir penggunaan israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat qasas.

Terkait sumber tafsir, Hamka banyak mengutip kitab-kitab tafsir, akan tetapi dia lebih banyak dipengaruhi oleh Tafsir al-Manar dan pemikiran-pemikiran Abduh. Hal ini sangatlah beralasan, karena ayahnya (Abdul Karim Amrullah) sendiri merupakan seorang ulama reformis yang mendirikan Majalah Al-Munir, mirip dengan Majalah Al-Manar milik Rasyid Ridha.

Kemudian, dari segi muatan isi tafsirnya, gaya bahasa penafsiran yang digunakan oleh Hamka mudah dipahami oleh kalangan awam sekalipun. Hamka juga seringkali mengkontekstualisasikan ayat Alquran sesuai dengan problematika sosial masyarakat yang sedang terjadi.

Misalnya, ketika menjelaskan Q.S. al-Baqarah [2]: 62, Hamka menekankan arti pentingnya hidup toleran, saling bertenggang rasa, dan damai antar umat beragama, yang pada saat bersamaan dia mengkritik keras sikap fanatisme beragama. Hal ini menjadikan Alquran benar-benar hadir sebagai solusi atas permasalahaan umat melalui Tafsir Al-Azhar.

Terakhir, keistimewaan lain yang menjadi daya tarik Tafsir Al-Azhar adalah keluasan sumber rujukan tafsir. Hamka tidak hanya mengutip kitab-kitab tafsir karangan ulama Timur Tengah, akan tetapi ia juga banyak merujuk pada pendapat-pendapat para mufasir lokal Indonesia, seperti Zainuddin Hamidy, A. R. Fachruddin, dan A. Hassan.

Hamka juga banyak mengutip pandangan atau teori dari para ilmuwan Barat secara apresiatif-kritis. Di satu sisi dia mengkritik pemikiran orientalis yang menyudutkan Alquran dan Islam. Namun, di sisi lain, dia juga mengadopsi sains modern dalam menjelaskan ayat-ayat kauniyah.

Misalnya ketika menafsirkan Q.S. Yasin [36]: 37-40, Hamka menjabarkan proses pergantian siang dan malam sebagai bukti bahwa Bumi itu bulat dan mengorbit mengitari Matahari, sebagaimana dalam teori heliosentris.

Berdasarkan berbagai kelebihan dan keistimewaan tersebut, maka Roem Rowi mengakhiri tulisannya dengan memandang Tafsir Al-Azhar sebagai sebuah kitab tafsir yang menempati posisi istimewa di antara karya para mufasir Indonesia yang lain. Tafsir Al-Azhar juga dianggap Roem Rowi sebagai kitab tafsir komprehensif terbaik yang pernah ada di Indonesia, yang kehadirannya berperan besar dalam membumikan Alquran bagi masyarakat Indonesia.

Dengan demikian, pandangan Roem Rowi terhadap Tafsir Al-Azhar kurang lebih hampir sama dengan kesimpulan Wan Sabri Wan Yusof. Tentu tulisan ini sama sekali belum mewakili keseluruhan isi disertasi Roem Rowi, akibat keterbatasan akses terhadap sumber primer. Namun setidaknya artikel pendek ini dapat memberi sedikit gambaran mengenai topik disertasi yang ditulis oleh Roem Rowi. Wallah A’lam

Jaminan Allah untuk Merdeka Memilih Jalan Kehidupan

0
Jaminan Allah untuk Merdeka Memilih Jalan Kehidupan
Jaminan Allah untuk Merdeka Memilih Jalan Kehidupan

Setiap manusia akan menempuh jalan hidupnya masing-masing. Ada yang memilih untuk berada pada jalan lurus sesuai tuntunan ajaran agama, sebaliknya, ada pula yang berada pada jalan tersesat. Tentu di setiap pilihan yang sudah diputuskan memiliki konsekuensi yang harus ditanggung oleh setiap individu.

Alquran sejatinya telah membicarakan tentang pilihan manusia dalam menempuh kehidupan, sebagaimana terdapat dalam surah Alkahfi [18]: 29 tentang redaksi penawaran atas dua hal terkait jalan kehidupan. Allah berfirman:

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَۗ بِئْسَ الشَّرَابُۗ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (dengan meminta minum), mereka akan diberi air seperti (cairan) besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek.

Baca Juga: Tafsir Al-Baqarah Ayat 28: Alasan dan Cara Mensyukuri Kehidupan Dunia

Memilih Beriman atau Kufur?

Menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat 29 ini menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk memberi penegasan kepada orang-orang kafir bahwa kebenaran yang disampaikan berasal dari Allah Swt. Mereka berkewajiban untuk meyakini dan mengamalkan kebenaran tersebut. Sebab manfaat dari melaksanakan kebenaran tersebut akan kembali kepada diri mereka sendiri.

Begitu pula sebaliknya, ketika mereka mengingkari kebenaran tersebut, dampaknya akan berimbas kepada mereka sendiri. Sebagaimana juga Allah tegaskan dalam ayat yang lain, Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (QS. Alisra’ [17]: 7)

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa redaksi ayat yang menyatakan jika hendak beriman, maka berimanlah! dan jika hendak kufur maka kufurlah!, bukan merupakan sebuah keringanan. Maksudnya adalah Allah tidak menawarkan dua pilihan yang sama baiknya, namun pilihan-pilihan tersebut adalah bentuk janji dan ancaman yang telah disediakan. Jika beriman, janji Allah adalah surga, jika kufur ancaman Allah adalah neraka.

Selanjutnya, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan dalam ayat tersebut, dinyatakan bahwa kebenaran merupakan aturan terbaik bagi kehidupan manusia. Siapa saja boleh beriman dengannya dan boleh menolaknya karena Allah tidak memerlukan manusia. Siapa pun yang berbuat kebajikan, maka sesungguhnya kebajikan tersebut adalah untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, siapa yang melakukan dosa, maka dia akan mendapat balasannya. Allah pasti akan menghisab segala perbuatan yang dilakukan manusia dengan seadil-adilnya.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Allah Tidak Pernah Memaksa

Berdasarkan keterangan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sejatinya telah menggambarkan secara rinci tentang masing-masing konsekuensi dari setiap pilihan yaitu beriman atau kufur. Bahkan Allah telah membimbing melalui utusan-Nya untuk benar-benar memahami langkah-langkah yang dilakukan dari setiap pilihan tersebut. Namun sekali lagi, Allah tidak pernah memerlukan keimanan bahkan ibadah manusia sekalipun. Sebab sejatinya yang memerlukan adalah manusia itu sendiri (Yunan Yusuf, Tafsir Juz 22).

Allah tak ingin memaksa manusia untuk beriman, sebab iman merupakan pilihan bebas manusia. Meski bebas, pilihan ini tidak pernah lepas dari Allah, sebab Dia memelihara, menerima, dan menanggapi pilihan manusia secara jelas maupun halus. Akan tetapi, bagi orang-orang yang bodoh dan irasional menolak pilihan ini, Allah membiarkan mereka tidak beriman dan berada dalam keadaan paling buruk. Pilihan, hidayah Allah, dan akal merupakan tiga kata kunci meraih iman sejati (Jeffrey Lang, Aku Beriman, Maka Aku Bertanya).

Baca Juga: Kontekstualisasi Makna Iman dan Takwa sebagai Kunci Hidup Berkah

Penutup

Sekali lagi bahwa Allah memberikan kemerdekaan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Namun dalam menentukan pilihan tersebut, Allah selalu menggambarkan konsekuensi dari setiap pilihan dan membimbing kepada pilihan yang tepat. Sehingga, ketika melakukan pilihan yang salah, maka harus siap menerima konsekuensi dari pilihan tersebut. Oleh sebab itu, kita harus memahami dan merenungi dengan cermat setiap konsekuensi dari pilihan yang kita tentukan.

Wallahu a’lam.

Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 2)

0
Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin
Alquran pembebas kaum mustadh’afin.

Membahas detail demi detail keberpihakan Alquran terhadap kaum lemah tidak akan pernah usai, terlebih dalam tulisan yang singkat dan serba terbatas ini. Hal ini disebabkan karena setiap ajaran dalam Alquran mengandung spirit untuk memberdayakan dan membebaskan kaum mustadh’afin dari ketertindasan.

Langkah yang ditempuh Alquran (atau Islam secara umum) dalam membebaskan kaum lemah dilakukan secara bertahap dan taktis. Pensyariatan zakat dan kafarat, misalnya, merupakan manifestasi paling terang bagi upaya pembebasan kaum mustadh’afin. Jika dua hal tersebut dilaksanakaan dan diatur dengan optimal, maka secara bertahap ketimpangan sosial yang kerap kali menjadi penyebab utama lahirnya kaum tertindas akan dapat segera di atasi.

Pembayaran kafarat atas pelanggaran yang dilakukan soerang muslim misalnya dilakukan dengan pembebasan budak, puasa, dan atau bersedekah kepada fakir miskin. Terlepas dari perbedaan ketentuan pembayaran kafarat yang sudah diatur sedemikian rupa dalam fikih, di sini terlihat bahwa Alquran memiliki proyeksi untuk menghapuskan perbudakan yang sudah menjadi budaya dunia kala itu.

Selain itu, Alquran juga menganjurkan kepada orang-orang berada untuk ikut andil dalam membantu kaum lemah sesuai kemampuan yang dimiliki. Terlalu banyak-jika ingin disebutkan satu per satu-ayat dalam Alquran yang menganjurkan umat Islam untuk membantu meringankan beban kaum tertindas. Salah satunya firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Balad ayat 11-16:

{فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16)} [البلد: 11 – 16]

Namun, dia tak menempuh hal yang diutamakan. Tahukah kamu hal yang diutamakan itu? (yaitu) Memerdekakan budak, atau memberi makanan pada hari kelaparan (kepada) anak-anak yatim terdekat atau golongan miskin yang tak berdaya.

Kata ‘aqabah (yang mengandung arti jalan terjal di pegunungan) dalam ayat di atas merupakan perumpamaan yang dibuat Alquran terhadap upaya seorang hamba untuk memerangi hawa nafsu dan setan. Ada juga yang menafsiri kata ‘aqabah dengan gunung di neraka. Dan, seseorang hanya akan selamat darinya hanya dengan menginfakkan harta untuk memberantas perbudakan dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin [al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, juz 5, hal. 485].

Baca juga: Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 1)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa upaya-upaya pelik tetapi dapat membebaskan seseorang dari hawa nafsu dan ancaman neraka adalah dengan membelanjakan harta untuk kepentingan kaum lemah. Misalnya melepaskan perbudakan dan menyantuni anak yatim serta fakir miskin ketika waktu sulit.

Bentuk kepedulian Alquran terhadap kaum mustadh’afin juga dapat dilihat dari stigmatisasi Alquran terhadap orang-orang yang abai terhadap nasib anak yatim dan fakir miskin. Bahkan Alquran melabeli mereka sebagai pendusta agama. Dalam Q.S Al-Ma’un, Allah Swt. berfirman:

{أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) [الماعون: 1 – 3]

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.

Dalam ayat di atas, terlihat bagaimana Allah Swt. menyifati para pendusta agama dengan karakter yang mencerminkan sikap abai dan bahkan merendahkan kaum mustadh’afin. Yaitu, menghardik anak yatim dan enggan berbagi kepada fakir miskin. Sejatinya, ada banyak karakter orang-orang kafir pendusta agama. Alasan Alquran mensimplifikasikanya hanya pada dua karakter tersebut adalah karena ia merupakan tindakan yang bukan hanya buruk dari sudut pandang agama, tetapi juga tercela dari aspek sosial dan kemanusiaan [Mafatih al-Ghaib, juz 32, hal. 302].

Baca juga: Empat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Alquran

Syaikh Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa secara umum, ada dua karakter pendusta agama yang tergambar dalam ayat di atas. Pertama, bersikap sombong dan congkak terhadap orang-orang lemah disertai merendahkan mereka. Kedua, enggan untuk mengulurkan bantuan kepada kaum mustadh’afin tersebut, baik dengan cara mendermakan sebagian harta atau bahkan hanya sekadar mendorong orang lain untuk ikut berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Lebih lanjut lagi, beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang abai terhadap kaum lemah disebut sebagai pendusta agama meskipun mereka rajin salat. Pasalnya, orang yang benar-benar yakin terhadap kebenaran agama yang dianut, ia tidak mungkin sombong di hadapan orang lemah dengan menghina dan menghardik mereka [Tafsir al-Maraghi, juz 30, hal. 249].

Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad Menebar Rahmat

Di sinilah terlihat bahwa saleh secara spiritual berbanding lurus dengan saleh secara sosial. Artinya, oang yang menjalankan ajaran agama dengan baik tentu akan meresapi makna ibadah yang dilakukan setiap hari. Penghayatan terhadap ibadah yang dilakukan itu akan menggiringnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi yang tentunya sangat sinkron dengan syariat Islam sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam.

Demikianlah elaborasi ayat-ayat mengenai keberpihakan Alquran terhadap kaum mustadh’afin. Sejatinya, ada banyak ayat-ayat Alquran yang dengan tegas membela hak kaum lemah dan tertindas. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Alquran (atau Islam secara umum) sangat pro terhadap kaum mustadh’afin. Sekian.

Signifikansi “Asbab an-Nuzul” Menurut Roem Rowi

0
Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi
Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi

Masih dalam suasana duka mengenang kepergian Prof. Roem Rowi (1947-2023), artikel ini ingin mengulas orasi ilmiah yang disampaikan oleh Roem Rowi ketika dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2005. Naskah orasi ilmiah tersebut telah terkodifikasi dalam sebuah buku yang berjudul Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer (IAIN Press, 2006).

Ridlwan Nasir, selaku Rektor IAIN Sunan Ampel saat itu sekaligus editor buku tersebut, berupaya untuk mengabadikan gagasan-gagasan cemerlang para guru besar IAIN Sunan Ampel periode 2005-2006 melalui pembukuan naskah-naskah orasi ilmiah mereka. Salah satunya adalah naskah milik Roem Rowi. Pakar tafsir Alquran asal Ponorogo tersebut menyampaikan sebuah orasi ilmiah dengan judul “Menimbang Kembali Signifikansi Asbāb an-Nuzūl dalam Pemahaman Al-Qur’an.”

Baca Juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Dualisme tentang Peran Asbab an-Nuzul

Sudah jamak diketahui, bahwasanya para ulama telah banyak menyebutkan akan urgensitas peran asbab an-nuzul dalam memahami ayat-ayat Alquran. Mulai dari Ibn Daqīq al-‘Īd (1228-1302), Ibn Taimiyah (1263-1328), az-Zarkasyī (1345-1394), as-Suyūṭī (1445-1505), Subhī Ṣālih (1926-1986), Mannā’ al-Qaṭṭān (1925-1999), Muhammad ‘Alawi (1944-2004), hingga as-Ṣābūnī (1930-2021), semuanya menyatakan bahwa pemahaman akan asbāb an-nuzūl merupakan cara utama dan unsur penentu dalam menafsirkan sebuah ayat Alquran. Bahkan, terdapat ayat-ayat yang akan keliru dipahami jika tidak mengetahui asbab an-nuzul-nya, seperti Q.S. al-Baqarah [2]: 115, 158; Q.S. Ali ‘Imran [3]: 188; dan Q.S. al-Ma’idah [5]: 93.

Di sisi lain, Muhammad Syahrur (1938-2019) justru menyatakan bahwa sejatinya Alquran itu tidak memiliki asbab an-nuzul karena kandungan Alquran sudah terprogram sejak di Lauh al-Mahfudz sebagaimana tercermin dalam terminologi kitab maknūn dan imām mubīn.

Alasan lain yang mendasari pemikiran Syahrur adalah dikarenakan Alquran sudah diturunkan satu paket utuh pada bulan Ramadan, sehingga tidak ada lagi kaitan antara peristiwa-peristwa qur’anik yang disebutkan dalam riwayat-riwayat hadis dengan ayat Alquran. Bagi Syahrur, andaikan pun ada hubungan, barangkali hal tersebut hanyalah bersifat kebetulan semata.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Meninjau Ulang Signifikansi Sabab an-Nuzul

Melalui potret dualisme pandangan tersebut, Roem Rowi ingin meninjau kembali sejauh mana signifikansi (posisi dan fungsi) asbāb an-nuzūl dalam kajian tafsir Alquran dengan dua pendekatan.

Pendekatan yang pertama adalah melakukan kuantifikasi jumlah surah dan ayat yang memiliki asbāb an-nuzūl, beserta hadis-hadisnya. Dalam proses kuantifikasi tersebut, Roem Rowi menggunakan tiga sumber kitab asbāb an-nuzūl, yaitu: (1) Asbāb an-nuzūl karya al-Wāḥidī (w. 468 H/1076 M); (2) Lubāb an-Nuqūl fi Asbāb an-Nuzūl karya as-Suyūṭī (w. 911 H/1505 M); dan (3) aṣ-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb an-Nuzūl karya Muqbil ibn Hadi al-Wadi‘ī (w. 1442 H/2001 M).

Berdasarkan proses analisis yang komprehensif, Roem Rowi menyimpulkan beberapa poin berikut:

  1. Tidak semua ayat Alquran mempunyai asbāb an-nuzūl. Dari total 6.234 ayat, jumlah ayat Alquran yang mempunyai asbāb an-nuzūl hanya sebanyak 715 ayat/11,46% (al-Wahidi), 711 ayat/11,40% (al-Suyuthi), dan 333 ayat/5,34% (al-Wadi‘i).
  2. Dari 114 surat, jumlah surat yang ayat-ayatnya memiliki asbāb an-nuzūl terdapat sebanyak 82 surat/71,90% (al-Wahidi), 103 surat/90,35% (al-Suyuthi), dan 55 surat/48,24% (al-Wadi‘i).
  3. Jumlah hadis yang memuat peristiwa asbāb an-nuzūl dari tiga kitab tersebut berjumlah sebanyak 885 hadis (al-Wahidi), 994 hadis (al-Suyuthi), dan kira-kira 330-an lebih hadis (al-Wadi‘i).

Melalui data kuantitatif ini, Roem Rowi berpendapat bahwa dalam memahami ayat-ayat Alquran, pengetahuan akan asbāb an-nuzūl bukanlah segala-galanya atau bersifat mutlak, yang seakan-akan tidak mungkin memahami suatu ayat Alquran tanpa asbāb an-nuzūl. Dengan kata lain, penggunaan asbāb an-nuzūl itu cukup diperlukan dalam memahami ayat-ayat yang apabila tanpanya tidak dapat dipahami dengan benar.

Kemudian, pendekatan kedua yang dilakukan Roem Rowi adalah mengkaji seberapa banyak jumlah ta‘addud al-nāzil wa al-sabab wāḥid (sekumpulan ayat yang lebih dari satu, tetapi sabab an-nuzūl hanya satu) di tiga kitab asbāb an-nuzūl yang dijadikan objek kajian.

Mengutip dari al-Zarqāni dalam Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, contoh dari ta‘addud an-nāzil wa as-sabab wāhid adalah suatu riwayat yang disampaikan oleh al-Ḥākim wa at-Tirmīdzi. Bahwasanya Ummu Salamah protes kepada Nabi akibat tidak disebutkannya perempuan dalam proses hijrah Nabi, maka turunlah Q.S. Ali ‘Imran [3]: 195. Dalam riwayat lain, al-Hakim menyebut kisah protes Ummu Salamah karena Alquran tidak menyebut peran perempuan, akhirnya turun Q.S. al-Ahzab [33]: 35 dan Q.S. Ali ‘Imran [3]: 195. Terakhir, al-Hakim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasanya dia protes kepada Nabi karena laki-laki boleh berjihad sedangkan perempuan tidak diperkenankan, maka turunlah Q.S. an-Nisa’ [4]: 32 dan Q.S. al-Ahzab [33]: 35.

Baca Juga: Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

Berdasarkan hasil perhitungan, Roem Rowi menyebut jumlah ta‘addud al-nazil wa al-sabab wahid terbanyak terdapat dalam karya as-Suyūṭī, kemudian al-Wāḥīdī, dan terakhir al-Wadi‘i. Ini mengindikasikan bahwa jumlah ayat-ayat yang memiliki asbab an-nuzul yang telah disampaikan sebelumnya itu masih bisa menyusut, karena beberapa di antaranya memiki sabab an-nuzul yang sama.

Oleh karena demikian, hal ini menuntut suatu kehati-hatian agar dalam menafsirkan atau ber-istinbath hukum terhadap suatu ayat Alquran, jangan sampai ada beberapa ayat yang berbeda namun melahirkan makna yang sama. Oleh karena itu, dalam konteks ini, lebih bijak menggunakan ijma’ ulama yang lebih memilih al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdz lā bi khuṣūṣ as-sabab.

Selanjutnya, terdapat satu catatan oleh Roem Rowi yang menurut penulis sangat penting dalam memposisikan suatu riwayat sabab an-nuzul, sebagaimana dalam kutipan berikut:

“Hal lain yang patut menjadi catatan penting dalam melihat persoalan asbab an-nuzul adalah penegasan sejumlah ulama bahwa tidak semua riwayat—baik itu dari Nabi, Sahabat, ataupun Tabiin—yang termuat dalam kitab-kitab asbab an-nuzul benar-benar menunjukkan latar belakang turunnya ayat.”

“Sebab riwayat yang dinilai ṣarih (jelas) sebagai asbab an-nuzul hanyalah yang memakai lafadz sabab nuzul hadhihi al-ayah (sebab turunnya ayat ini adalah), atau yang menggunakan fa’ ta’qibiyyah seperti lafadz fa anzala Allahu al-ayah setelah suatu peristiwa atau pertanyaan. Sedangkan ungkapan lain seperti nazalat al-ayah fi kadha atau ahsibu al-ayah nazalat fi kadha, itu belum bisa dipastikan sebagai sabab an-nuzul, karena itu hanya menunjukkan kepada siapa ayat diturunkan, cakupan, dan hukum yang dikandung ayat.”

Dengan demikian, berdasarkan data kuantitatif dan proses analisis yang telah dilakukan, Roem Rowi berkesimpulan bahwa tidak semua ayat Alquran membutuhkan penjelasan dengan perantara asbab an-nuzul, sehingga Alquran dapat lebih mudah dipahami dan dipelajari, sebagaimana yang dijanjikan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya. Namun hal ini bukan berarti mengurangi arti penting asbab an-nuzul, apalagi dianggap tidak diperlukan lagi. Wallahu a’lam.

Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 1)

0
Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin
Alquran pembebas kaum mustadh’afin.

Alquran merupakan kitab suci yang diproyeksikan untuk menebar petunjuk dan kemaslahatan untuk seluruh alam. Isi kandungannya sarat dengan ajaran-ajaran dan tuntunan-tuntunan agar manusia hidup dalam keselamatan dan kebahagiaan. Salah satu misi Alquran untuk menciptakan kenyamanan hidup bagi setiap manusia adalah membebaskan kaum mustadh’afin dari belenggu penindasan dan kesengsaraan.

Istilah mustadh’afin dapat diartikan dengan orang-orang tertindas dan lemah, baik lemah dari segi ekonomi, fisik maupun mental. Ia berasal dari akar kata yang sama dengan term dhu’afa, yakni dari kata ضعف yang berarti lemah.

Risalah ketuhanan yang diemban oleh para utusan Allah, selain untuk menyebar tauhid, juga bertujuan untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas dari kekejaman raja yang berkuasa kala itu. Bahkan ada semacam keyakinan bahwa setiap agama pasti pro terhadap kaum lemah. Pemberdayaan kaum-kaum lemah dan tertindas memang menjadi agenda utama agama-agama di dunia termasuk agama Islam.

Baca Juga: Pembelaan Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

Dalam Alquran, ditemukan beberapa kisah para nabi terdahulu dalam upaya membebaskan kaum mustadh’afin dari penindasan penguasa zalim pada saat itu. Misalnya kisah Nabi Musa as. yang diutus untuk membebaskan Bani Israil dari kekejaman raja Fir’aun yang menindas dan mempekerjakan Bani Israil dengan tidak manusiawi.

Lantas kemudian Alquran mengisahkan keberpihakan Tuhan kepada kaum mustadh’afin dengan menjadikan mereka sebagai penghuni ujung barat dan timur dari bumi yang telah diberkahi. Dalam Q.S. Ala’raf [7]: 137, Allah Swt. berfirman:

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ [الأعراف: 137]

Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir‘aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.

Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman,

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ [القصص: 5]

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Bani Israil memang merupakan kaum terpilih pada masanya. Oleh rezim raja Fir’aun, mereka mendapatkan penyiksaan dengan dipaksa bekerja tanpa pernah mendapatkan hak yang layak dari pekerjaannya. Bahkan sadisnya lagi, setiap anak laki-laki yang lahir dari keluarga Bani Israil harus dibunuh. Atas kesabaran mereka, akhirnya Allah Swt. mengutus Nabi Musa as. untuk membebaskan mereka dari belenggu kekejaman. (Tafsir Ibnu al-Katsir, Juz 6, 220)

Menurut Syekh Mutawali Sya’rawi, kenikmatan yang dijanjikan kepada kaum mustadh’afin bukan hanya pembebasan dari belenggu ketidakadilan. Akan tetapi, Allah Swt. akan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin di muka bumi atas kesabaran dan ketabahannya menghadapi cobaan. (Tafsir al-Sya’rawi, Juz 17, 10876)

Selain kisah-kisah pembebasan kaum mustadh’afin yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu, dalam Alquran juga terdapat aturan-aturan atau hukum-hukum yang diproyeksikan untuk membebaskan kaum mustadh’afin. Di antaranya, Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk berjihad melawan orang-orang Kafir Quraish guna membebaskan kaum Islam yang tertindas di Mekkah. Dalam Q.S. Alnisa’ [4]: 75, Allah Swt. berfirman:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا [النساء: 75]

Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.

Baca Juga: Kritik Alquran Terhadap Kesenjangan Sosial

Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa alasan utama perintah jihad dalam ayat di atas, selain untuk menjunjung tinggi agama Allah, adalah untuk membebaskan kaum mustadh’afin yang masih tinggal di Mekkah. Mereka adalah kaum muslim yang masih tinggal di Mekah dan tidak bisa ikut hijrah ke Madinah bersama Rasulullah Saw. Mereka terdiri dari anak-anak, wanita-wanita dan laki-laki yang tidak punya daya untuk hijrah bersama Nabi Saw. karena suatu alasan. (Mafatih al-Ghaib, Juz 10, 141)

Terlihat jelas bagaimana keberpihakan Alquran kepada kaum lemah dalam ayat di atas. Guna membebaskan mereka, Allah Swt sampai memerintahkan perang yang sejatinya berat untuk dilakukan. Akan tetapi, Allah Swt menegaskan bahwa kali ini kaum muslim tidak punya alasan untuk enggan berjihad sebab saudara sesama muslim yang masih tinggal di Mekah ditindas oleh Kafir Quraish.

Dua ayat di atas secara tegas menyebutkan nomenklatur mustadh’afin dengan berbagai derivasinya. Mereka adalah kaum lemah dan tertindas yang harus ditolong dan diselamatkan dari kesengsaraan dan penindasan. Dan, Alquran telah memberikan pelajaran untuk memerdekakan kaum mustadh’afin dari ketertindasan.

Merdeka dari Penjajahan Hawa Nafsu

0
Merdeka dari Penjajahan Hawa Nafsu
Merdeka dari penjajahan hawa nafsu.

Momentum peringatan hari kemerdekaan sebentar lagi akan dirasakan. Sejak 78 tahun yang lalu Indonesia merdeka, bangsa Indonesia patut bersyukur dengan anugerah kebebasan yang dirasakan hingga saat ini. Terbebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan serta berbagai diskriminasi yang menyudutkan. Namun, pernahkah kita melakukan refleksi terhadap sisi lain dari kemerdekaan? Jika secara sistem negara kita merdeka, sejatinya ada hal-hal lain yang juga perlu dipertanyakan misalnya apakah diri kita sendiri sudah merdeka dari hawa nafsu duniawi?

Pertanyaan-pertanyaan demikian sering terlewatkan karena terlalu fokus dengan kenikmatan duniawi itu sendiri. Alhasil, merdeka yang semestinya mencakup berbagai sisi, hanya dipahami pada aspek-aspek tertentu dalam ruang lingkup yang sangat kecil. Alquran menyuarakan dalam Q.S. Aljasiyah ayat 23 sebagai berikut.

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

“Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya. Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?”

Penjajahan Hawa Nafsu

Menurut Tafsir Kementerian Agama, melalui ayat ini Allah menjelaskan keadaan orang-orang kafir di Mekkah yang tenggelam dalam perbuatan jahat. Mereka melakukan perbuatan jahat tersebut karena terdorong oleh hawa nafsu mereka sendiri. Dorongan tersebut disebabkan oleh godaan setan yang terkutuk. Hawa nafsu yang mereka miliki seakan seperti Tuhan yang selalu mereka patuhi dan ikuti.

Baca juga: Menuai Spirit Kemerdekaan Melalui Ayat-Ayat Alquran

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah juga menjelaskan bahwa orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang yang menyembah hawa nafsunya hingga mereka tunduk dan patuh kepadanya. Oleh sebab itu mereka sesat dari jalan kebenaran. Padahal mereka mengetahui jalan kebenaran tersebut, tetapi Allah telah menutupnya. Alhasil, mereka tidak dapat menerima nasihat karena pendengaran mereka telah ditutup. Mereka juga tidak dapat melihat suatu peringatan karena Allah menutup penglihatan mereka.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang-orang yang diperbudak oleh hawa nafsunya tersebut mengira bahwa mereka akan diperlakukan sebagaimana orang beriman dan beramal saleh, yaitu sama antara saat hidup dan setelah kematian mereka. Padahal prasangka demikian adalah tidak tepat. Allah akan membalas setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya, sehingga tidak akan ada yang dirugikan.

Baca juga: Empat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Alquran

Prof. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan bahwa berkenaan dengan ayat tersebut disebutkan satu nama yaitu al-Harits Ibnu Qais. Diceritakan, dia selalu menuruti keinginannya tanpa mempertimbangkan rida Allah. Oleh sebab itu, Allah pun menyesatkannya sehingga tidak ada lagi yang dapat membimbingnya kepada kebenaran dan hak setelah Allah menyesatkannya. Sebagai bandingan dari ayat ini, Allah juga berfirman dalam Q.S. Annaziat ayat 40-41 yang artinya berbunyi:

Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggal (nya).

Melawan Penjajahan Hawa Nafsu

Akhir dari ayat 23 pada surah Aljasiyah berbentuk kalimat pertanyaan yang bertujuan agar menjadi muhasabah atau perenungan atas apa yang dinyatakan Allah dalam ayat tersebut. Ayat tersebut juga merupakan peringatan sekaligus ancaman untuk orang-orang yang terbuai dengan hawa nafsunya sendiri, sebab Allah bisa saja menyesatkan orang-orang yang terlalu mengagungkan hawa nafsu hingga mengalahkan kedudukan Allah bagi diri mereka.

Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga “hanya” karena memakan buah Khuldi yang dilarang Allah. Tujuan pelarangan Allah adalah sebuah keharusan untuk mendidik kemauan, memperkuat kepribadian, mendidik diri untuk tidak terbelenggu oleh keinginan, syahwat dan hasrat hawa nafsu. Oleh sebab itu, setiap orang perlu melatih dirinya sendiri agar tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan belenggu setan melalui riyadhah (latihan) yang terus menerus dilakukan (Ali Muhammad Ash-Shallabi, Adam: Penciptaan Manusia Pertama).

Penutup

Hakikat kemerdekaan sejatinya bukan hanya terbebas dari penjajahan yang dilakukan oleh sesama manusia atau pihak tertentu yang mengancam kesejahteraan. Namun, merdeka yang sesungguhnya kini terletak pada diri sendiri yang harus kuat dalam melawan penjajahan hawa nafsu. Sebab, ketika hawa nafsu telah merenggut kepatuhan seseorang, Allah justru akan terus menyesatkannya hingga tidak akan ada yang dapat membimbingnya kepada jalan kebenaran. Naudzubillah wallahu a’lam.

Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas

0
Konsep Dalil dalam Usul Fikih: Definisi, Klasifikasi, dan Legalitas
Ilustrasi literatur keislaman.

Pembahasan mengenai dalil menempati posisi sentral dalam kajian Ilmu usul fikih. Hal ini wajar karena dalil merupakan objek kajian usul fikih. Di samping itu, keberadaan dalil juga sangat diperlukan untuk merumuskan sebuah preskripsi hukum mengenai suatu kasus, sehingga keputusan hukum yang akan dihasilkan memiliki landasan kuat dari sudut pandang syariat.

Pada tulisan ini akan dibahas seputar definisi dalil, klasifikasi dalil, dan legalitas dalil. Dengan memahami konsep mengenai dalil dalam kajian fikih dan usul fikih, diharapkan juga menjadi pengayaan bagi mereka yang menganggap bahwa dalil itu hanya terbatas pada Alquran dan hadis.

Definisi dalil

Secara bahasa, dalil dapat diartikan sebagai petunjuk. Menurut terminologi usul fikih, dalil adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh keputusan hukum syariat operasional melalui proses penalaran yang benar [Ghayah al-Wushul, hal 23]. Dengan pengertian ini, kata dalil atau adillah semakna dengan istilah al-mashadir al-tasyri’iyah dan al-ushul al-ahkam yang kesemuanya dapat diartikan sebagai sumber hukum.

Ada beberapa istilah yang saling bertautan antara satu sama lain ketika membicarakan dalil. Ketiga istilah itu adalah al-dal, al-dalalah dan al-madlul. Al-dal identik dengan dalil. Sedangkan ­al-madlul merupakan kesimpulan yang dihasilkan dari dalil tersebut. Proses kinerja sebuah dalil sehingga bisa menghasilkan sebuah ­al-madlul (kesimpulan) disebut sebagai al-dalalah (dalalah).

Macam-macam dalil

Umat Islam sepakat bahwa Alquran dan hadis merupakan sumber paling asasi dalam memutuskan hukum. Menurut K.H. Afifuddin Muhajir, Wakil Rais Am PBNU, suatu preskripsi hukum akan layak disebut hukum Islam manakala ia bernasab (berkaitan) kepada Alquran dan Hadis, baik secara langsung maupun melalui perantara.

Secara umum, ulama usul fikih mengklasifikasi dalil menjadi dua, yaitu al-adillah al-muttafaq alaiha (dalil-dalil yang disepakati otoritasnya) dan al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil yang masih diperselisihkan otoritasnya). Dalil-dalil yang masuk dalam kriteria pertama adalah Alquran, hadis, ijmak, dan kias. Ulama sepakat (selain kalangan al-dzahiri) bahwa keempat dalil ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses istinbat hukum.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Sementara al-adillah al-mukhtalaf fiha masih menjadi ranah perdebatan ulama mengenai keabsahan dalil-dalil tersebut sebagai acuan dalam merumuskan sebuah keputusan hukum. Dalil-dalil ini biasanya diaplikasikan dalam internal mazhab tertentu dan ditolak oleh mazhab lain, seperti Imam Hanafi dengan istihsannya, Imam Syafi’i dengan istishab-nya, dan Imam Malik dengan maslahat mursalah-nya.

Di antara dalil-dalil yang masuk kriteria kedua ini adalah: Istishab, Istihsan, maslahat mursalah, qaul al-shahabi, uruf, dan syariat umat terdahulu.

Dasar legalitas dari dalil

Agar dalil-dalil tersebut dianggap sahih dijadikan landasan hukum menurut sudut pandang syariat, dibutuhkan semacam legalisasi dari syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Dasar legalitas untuk ber-istidlal menggunakan dalil-dalil di atas adalah firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 59:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا } [النساء: 59]

Wahai orang-orang yang beriman! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (Q.S. An-Nisa: 59).

Dari ayat di atas, ulama menyimpulkan bahwa taat kepada Allah dan dan Rasul-Nya adalah dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunah. Adapun perintah untuk menaati ulil amri (pemegang otoritas) dimaknai sebagai perintah untuk mengikuti ijmak ulama. Sebab, dalam masalah hukum Islam, merekalah yang diberikan otoritas untuk merumuskan sebuah keputusan hukum. Sehingga mengamalkan ijmak adalah sebentuk pengamalan terhadap perintah menaati ulil amri.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Sedangkan legalitas kias diperoleh dari perintah untuk mengembalikan kasus-kasus al-mutanaza’ fih (kasus yang menjadi ajang perdebatan) kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunah) [Mafatih al-Ghaib, 112-114].

Di samping itu, ayat di atas juga mengindikasikan adanya hierarki antara satu dalil dengan dalil lain. Artinya dalam memutuskan sebuah keputusan hukum, seorang mujtahid harus mencari keterangannya terlebih dahulu di dalam Alquran. Jika tidak menemukan kejelasan dalam Alquran maka ia harus beralih kepada hadis.

Jika dalam dua sumber utama tersebut masih belum menemukan jawaban maka alternatif berikutnya adalah ijmak. Baru setelah itu menerapkan konsep kias untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ada penjelasan hukumnya dalam ketiga sumber di atas. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diterapkan oleh para sahabat Nabi dalam beristidlal.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi, diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar r.a. dihadapkan kepada sebuah persoalan, beliau mencari jawabannya dalam kitab Allah. Jika jawabannya ditemukan, maka beliau memutuskannya sesuai dengan keterangan yang beliau dapatkan dalam Alquran.

Namun, jika beliau tidak mendapati jawabannya di dalam Alquran maka beliau mencari jawabannya dalam tuntunan-tuntunan yang diajarkan oleh Rasul (sunah). Jika masih belum ditemukan maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Jika mereka mencapai sebuah kesepakatan maka beliau memutuskan dengannya [Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 10, hal. 196].

Baca juga: Menelusuri Kitab Tafsir Ahkam dari Pesantren di Indonesia

Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sahabat Muadz bin Jabal r.a. pernah ditanya oleh Nabi saw. ketika hendak berangkat ke daerah Yaman untuk menyebarkan Islam. Nabi saw. bersabda:

«كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»،

“Jika dihadapkan sebuah kasus kepadamu maka dengan apa kamu akan memutuskannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Aku akan memutuskannya dengan kitab Allah (Alquran). Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kau temukan jawabannya dalam kitab Allah?” “Maka dengan sunah Rasulullah,” jawab sahabat Muadz. Nabi kembali bertanya, “Jika di dalam sunah Rasulullah masih tidak ditemukan jawabannya?” Sahabat Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dan aku tidak akan main-main dalam ijtihadku.” Rasulullah pun bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusannya Rasulullah.” (HR. Abu Dawud).

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum ulama sepakat bahwa Alquran, sunah, ijmak, dan kias dapat dijadikan acuan untuk melakukan proses istinbath al-ahkam. Sementara dalil-dalil yang lain seperti istishab, istihsan, uruf  dan seterusnya masih diperselisihkan kehujahannya dan hanya dioperasikan di dalam internal mazhab-mazhab tertentu.

Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

0
Menapak tilas kisah Rasulullah saat merespons pluralitas
Menapak tilas kisah Rasulullah saat merespons pluralitas

Pluralitas adalah keniscayaan dalam setiap aspek kehidupan. Islam mengakui itu. Pada banyak ayat seperti Surah Alhujurat ayat 13; Yunus ayat 118; dan Almaidah ayat 48 tertera bahwa Allah menakdirkan manusia untuk terbagi dalam berbagai kelompok, ras, dan  suku.

Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai sunatullah, selayaknya disikapi secara arif, yakni dengan menjadikan keberagaman itu sebagai sumber kekuatan, alih-alih menjadikannya sebagai muasal perpecahan. Namun, faktanya, masih kerap terjadi aksi menyimpang sebab perbedaan kecenderungan yang dianut oleh dua belah pihak yang berseteru (sebagai contoh, bom bunuh diri yang menyerang polsek Astana Anyar Bandung pada akhir 2022 silam dan kesulitan mengakses layanan publik bagi penganut agama minoritas). Bisa karena beda suku, ras, keyakinan, atau bahkan pemikiran. Kejadian ini sejalan dengan survei dari setara instate bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap golongan minoritas mengalami eskalasi tahun 2023 ini.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Untuk menumbuhkan kesadaran bersikap arif di tengah perbedaan, kita dapat menapaktilasi perjalanan dakwah Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat majemuk. Beliau adalah penebar kedamaian bagi semesta alam, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Q.S. Alanbiya ayat 107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Dalam perjuangan mensyiarkan Islam, banyak laku Nabi yang sarat nilai toleransi. Dalam kapasitas sebagai pemimpin, Nabi pun mengayomi semua golongan.

Terbuka dalam merespons perbedaan

Rasulullah saw. adalah pemimpin yang memberikan teladan untuk berpikir dan bersikap terbuka. Di berbagai kesempatan, beliau tunjukkan sikap toleran terhadap liyan. Misalnya, sikap beliau saat mengadakan dialog lintas iman dengan kaum Nasrani Najran, dengan mempersilahkan mereka untuk beribadah sesuai yang diyakininya. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, jilid 4, 91)

Saat hijrah ke Habasyah Nabi saw., bersikap hormat kepada raja yang memimpin negeri tersebut, yakni Raja Hiraclius. Sampai saat mengajak Raja tersebut masuk Islam, Nabi mengirim surat yang berisi ajakan kedamaian, tanpa ada nada paksaan.

بسم الله الرحمن الرحيم

من محمد عبد الله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد: فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتيك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأرسيين يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Dari Muhammad hamba Allah untuk Heraclius pembesar Romawi.

Salam sejahtera atas orang yang mengikuti petunjuk kebenaran. Dengan ini, saya mengajak tuan  untuk menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, maka tuan akan selamat. Akan akan memberi pahala dua kali pada tuan. Jika engkau menolak, maka dosa-dosa orang Arisiyin menjadi tanggung jawabmu.

Wahai para ahli kitab, marilah kita bergabung pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apapun, bahwa yang satu tidak akan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Akan tetapi jika mereka menolak, katakanlah kepada mereka, “saksikanlah bahwa kami ini orang-orang yang berserah diri (pada Allah).” (Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 416)

Baca juga: Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Isi surat tersebut menandakan betapa sopan Nabi saat mengajak penganut agama lain untuk masuk Islam. Tidak ada ungkapan yang intimidatif. Sebaliknya, ungkapan pada surat itu justru memberi wawasan logis yang mempertegas identitas agama Islam, visi-misinya berupa ajakan pada kebaikan dan menghindari kesesatan.

Ajakan yang demikian ini kemudian menimbulkan dialog positif antara Nabi dan Raja Hiraclius. Merespons surat Nabi, Sang Raja mengakui eksistensi agama tersebut dan mengapresiasi Nabi dan ajaran yang dibawanya.

Pengujung surat yang memuat ungkapan bahwa jika pun mereka menolak, Nabi tetap menghormati keputusan tersebut, juga menunjukkan betapa Nabi terbuka pada opini atau keyakinan yang berseberangan dengannya.

Keterbukaan Nabi tampak pula dalam kehidupan pribadinya. Beliau menghargai Raihana, salah satu istrinya –budak milkul yamin, dalam pendapat lain-, yang kekeh memeluk agama Yahudi, meski sudah menyaksikan dakwah Nabi.

Raihana adalah penganut Yahudi dari klan Bani Quraidhah. Semula, Nabi mengajaknya masuk Islam, tetapi Raihana tetap teguh pada keyakinannya.

“Wahai Rasulullah, lebih baik Anda memilih akad milkul yamin (relasi suami-istri selain akad pernikahan)! Itu lebih ringan untukmu dan untukku,” tegas Raihana tatkala diajak oleh Nabi untuk masuk Islam.

Baca juga: Zoroastrianisme dalam Alquran: Usaha Mufasir dalam Menjelaskan Majusi

Nabi pun menghormati pilihan Raihana dan melakukan akad milkul yamin.

Syekh Ali Jum’ah, ulama kontemporer dari Mesir, menjadikan kisah tersebut sebagai contoh kebabasan beragama yang dipraktikkan oleh Nabi. Bahwa, terhadap keluarganya pun, Nabi tetap bersikap santun dan bijaksana tatkala mendakwahkan Islam sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Meski pada akhirnya ajakan itu ditolak, Nabi tetap legowo dan menghormati keputusan Raihana. (Syekh Ali Jum’ah, al-Musawah al-Insaniyah fi al-Islam, 77-78)

Sikap Nabi tersebut bukan hal mudah. Penghargaan terhadap perbedaan (respectful mind) merupakan prinsip moral universal tertinggi dan memang paling sulit untuk diterapkan secara kontinu (Howard Gardner dalam bukunya Five Minds for the Future). Meski begitu, tetap saja kita harus belajar untuk menirunya, karena kemajemukan tanpa kesadaran dan penerimaan hanya akan menimbulkan perpecahan.

Teladan dari Nabi saw. tersebut semestinya kita praktikkan pada diri kita sendiri. Bahwa muslim progresif, adalah hamba yang open minded dan senantiasa mengembangkan keterbukaan itu demi melestarikan nilai kedamaian Islam. Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, semangat Nabi saw. untuk mengayomi semua golongan dengan prinsip keterbukaan (openness) mesti digaungkan kembali sebagai dasar dalam mengatur kebijakan. Apalagi, saat banyak masyarakat menjadi korban intoleransi.

Dialog antarkeyakinan dan berkolaborasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat

Tak sedikit fragmen kisah Baginda Nabi yang mengisyaratkan pentingnya interfaith dialogue dan benefitnya. Antara lain, interaksi Nabi saw. dengan Waraqah bin Naufal, pakar kitab-kitab suci, yang kemudian mengembalikan dan meneguhkan kepercayaan diri Nabi atas mandat Tuhan kepadanya untuk menjadi rasul.

Nabi juga pernah mendelegasikan Sahabat Ja’far bin Abu Thalib untuk hijrah ke Habasyah dan mengadakan dialog dengan Raja Hiraclius, pada tahun 615 M. Dialog tersebut menghasilkan perlindungan kerajaan Abbisina yang dipimpin oleh Hiraclius terhadap para Muhajirin. (A Guillaume, The Life of Muhammad, 83-107, 146).

Di samping mengadakan dialog antarkeyakinan, Nabi juga kerap mengajarkan untuk berkolaborasi, baik antarpenganut Islam antau antarkeyakinan. Misalnya, instruksi Nabi kepada kaum Muhajirin dan Ansar untuk menjalin ukhuwah dan transaksi bisnis Nabi dengan umat Yahudi. (Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, hlm. 143).  Interfaith dialogue dan kolaborasi ini tak lain demi memupuk rasa solidaritas dan nilai kemanusiaan, yang mesti kita lestarikan dan kembangkan. Wallahu a’lam[]