Beranda blog Halaman 57

Polemik Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian IV)

0
Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran
Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran

Etika Membaca Alquran

Membaca Alquran tidak hanya tentang tajwid al-huruf (memperindah huruf-huruf) dan ma‘rifah al-wuquf (mengetahui waqf) sebagaimana dimaksudkan ‘Ali r.a, yang diasosiasikan sebagai  prasyarat dan rukun pembacaan Alquran. Membaca Alquran juga tentang etika, yang dengannya, aspek batin setiap pembacanya mendapatkan manfaatnya.

Al-Ghazaliy dalam Al-Arba‘in fi Ushul al-Din menyebutkan,

أَنَّ التَّرْتِيْلَ فِيْ الظَّاهِرِ لِلتَّمَكُّنِ مِنَ التَّدَبُّرِ

“Bahwa sesungguhnya tartil pada lahir (-nya Alquran) adalah supaya menjadikannya mampu untuk tadabur.”

Hal ini, Al-Ghazaliy sampaikan dengan berdasar pada perkataan ‘Ali r.a,

لَا خَيْرَ فِيْ عِبَادَةٍ لَا فِقْهَ فِيْهَا، وَلَا فِيْ قِرَاءَةٍ لَا تَدَبُّرَ فِيْهَا

“Tiada kebaikan dalam ibadah yang tidak ada pemahaman di dalamnya, dan tiada kebaikan (juga) dalam bacaan (Alquran) yang tidak ada perenungan di dalamnya.”

 Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)

Pentingnya pemahaman (fiqh) dan perenungan (tadabbur) ini yang menjadi landasan pentingnya menerapkan adab dalam segala bentuk ibadah, termasuk membaca Alquran. Oleh para ulama ahli Alquran, dihimpunlah etika tertentu yang harus diketahui dan diamalkan ketika membaca Alquran. Dan hampir di setiap karya ilmu Alquran, pembahasan mengenai hal tersebut tidak akan ketinggalan.

Namun demikian, bukan detail etika tersebut yang akan menjadi fokus tulisan ini. Konteks pembahasan etika dalam tulisan kali ini masih sama dengan bagian-bagian sebelumnya, yakni pembacaan Alquran bagi komunitas tuna rungu. Oleh karenanya, etika membaca Alquran akan dilihat dari seberapa jauh ia dapat diterapkan.

Etika Membaca Alquran bagi Tuna Rungu

Ada begitu banyak etika yang harus dipedomani dalam membaca Alquran. 20-an lebih daftar etika yang penulis dapatkan dari berbagai literatur ilmu Alquran. Di antaranya seperti memurnikan niat, berwudu, menghadap kiblat, memperindah bacaan, memahami makna dan mengamalkan apa yang dibaca, dan lain sebagainya.

Etika tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan parameter tertentu, tetapi dalam tulisan ini penulis hendak membaginya berdasar kemungkinan etika tersebut diterapkan bagi pembacaan Alquran oleh komunitas tuna rungu, perlunya penyesuaian dilakukan, atau bahkan keberadaan etika yang khusus diterapkan dalam pembacaan isyarat.

Secara umum, etika-etika tersebut terbagi menjadi dua, yakni pertama, yang berkaitan dengan modal atau sarana produksi serta proses persepsual, seperti masalah membaca dengan jahr atau israr, membersihkan mulut, menggunakan siwak dan kedua, yang bersifat umum dan tidak bersinggungan langsung dengan modal dan proses persepsual, seperti memurnikan niat, tadabbur, dan lain sebagainya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fath Ayat 17: Islam Memberi Kemudahan Bagi Penyandang Difabel

Etika yang bersifat umum dan tidak bersinggungan dengan modal dan proses persepsual dapat diterapkan secara sama. Artinya, etika-etika ini tidak memerlukan penyesuaian tertentu karena sifatnya yang umum. Etika yang tergolong jenis ini selain yang telah disebutkan sebelumnya adalah menghadirkan hati, membaca dalam keadaan suci, membaca pada tempat yang suci, menjauhi keramaian, memakai pakaian yang indah, tidak berbicara di tengah pembacaan, membaca ta‘awwudz, membaca sesuai tartib mushaf, mengamalkan isi bacaan, dan lain sebagainya.

Sedangkan etika yang bersinggungan langsung dengan modal dan proses persepsual, agaknya membutuhkan beberapa penyesuaian mengingat adanya perbedaan yang dimiliki. Beberapa di antaranya, selain yang telah disebutkan sebelumnya, seperti tahrir al-nuthq atau memperjelas pelafalan, tahsin, dan kemakruhan membaca dengan mulut yang najis.

Modifikasi Etika Pembaca Tuna Rungu

Karena memiliki modal atau sarana produksi dan proses persepsual yang berbeda, maka untuk menerapkan etika-etika tersebut agaknya harus dilakukan modifikasi atau penyesuaian. Kebersihan mulut misalnya, dalam konteks pembaca tuna rungu, tanganlah yang harus dijaga kebersihannya. Sebelum membaca Alquran, etika yang harus dilakukan adalah membersihkan tangan dan bahkan memakai wewangian.

Pun demikian dengan masalah kemakruhan mulut yang najis. Dalam konteks pembaca tuna rungu, tangan yang digunakan untuk memproduksi gestur haruslah suci dari najis. Sebagaimana etika dalam berdoa, tangan seseorang yang terkena najis tidak dianjurkan untuk diangkat dan ditengadahkan ke atas. Tangan yang najis juga tidak seyogyanya digunakan untuk berisyarat.

Tahrir al-nuthq dan tahsin yang secara umum dapat dipahami sebagai memperjelas dan memperindah pelafalan dapat disesuaikan dengan memperjelas gestur tangan sebagai ganti dari artikulasi pembacaan. Di sini, unsur riyadlah al-lisan dalam fondasi dasar ilmu tajwid dapat diterapkan. Pembaca tuna rungu diharapkan dapat melatih (riyadlah) gerak gestur tangan mereka supaya jelas dan tidak terjadi kesalahan (lahn).

Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Sedangkan untuk masalah jahr dan sirr dalam membaca, penulis belum mengetahui modifikasi apa yang bisa diterapkan dalam pembaca tuna rungu. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan pendekatan oral bagi tuna rungu yang masih memiliki kemampuan dengar (hard of hearing atau kurang mampu mendengar), sehingga dimungkinkan memiliki peluang jahr dan sirr.

Salah satu etika yang mungkin khusus berlaku bagi pembaca tuna rungu adalah penggunaan tangan kanan. Tentunya etika-etika ini berlaku bagi mereka yang masih memiliki kedua tangannya dan mampu melakukan pembacaan. Karena pembacaan lisan tidak memungkinkan adanya opsi sebagaimana pembacaan isyarat, dan sebagaimana jamak diketahui, anggota kanan lebih dianjurkan dalam kebaikan ketimbang anggota kiri.

Satu hal yang menjadi pertanyaan penulis adalah, apakah dengan berpindah pada etika yang termodifikasi, etika asli yang disebutkan para ulama tetap bisa diterapkan berikut dengan implikasi hukum yang ditimbulkannya?

Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Zoroastrianisme dalam Alquran: Usaha Mufasir dalam Menjelaskan Majusi

0
zoroastrianisme dalam Alquran_tafsir surah Al-Hajj ayat 17
zoroastrianisme dalam Alquran_tafsir surah Al-Hajj ayat 17

Zoroastrianisme dianggap sebagai salah satu agama tertua yang masih eksis hingga saat ini, jauh lebih tua dari pada Kristen dan Islam. Kehadirannya banyak memengaruhi peradaban manusia terutama agama-agama yang lahir di daerah timur tengah. Agama ini digagas oleh Zoroaster, atau juga dikenal sebagai Zarathustra, seorang tokoh bersejarah yang hidup di antara abad ke-18 hingga ke-6 SM.

Zoroaster lahir di wilayah Persia (sekarang Iran) dan dipercaya oleh para pengikutnya sebagai seorang Nabi yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Penganut ajaran ini terbilang sangat sedikit, mungkin sekitar 130.000 orang yang mayoritas berada di India barat (Gujarat dan Mumbai), dengan beberapa komunitas kecil di Iran dan beberapa negara lain di seluruh dunia.

Pokok ajaran Zoroastrianisme adalah meyakini satu Tuhan tertinggi, yang mereka namai Ahura Mazda. Para sejarawan meyakini bahwa Zoroastrianisme merupakan agama monoteis pertama yang hadir di muka bumi.  Mereka mendeskripsikan Ahura Mazda sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana, Maha Kuasa, dan Pencipta segala sesuatu di alam semesta.

Zoroaster juga mengajarkan tentang dualitas antara kebaikan (Asha) dan kejahatan (Druj). Menurutnya, manusia harus memilih kebaikan dan kebenaran untuk mencapai kesempurnaan dan mendapatkan kemuliaan tempat di sisi Ahura Mazda, kelak setelah mereka mati. (John R. Hinnels, The Penguin Dictionary of Religions: from Abraham to Zoroaster, 361-363)

Salah satu konsep dasar dalam ajaran Zoroastrianisme adalah “Fravashi” yang berarti keterwakilan roh ilahi yang ada di dalam diri setiap manusia. Konsep ini mengajarkan bahwa seluruh manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan dan mengungkapkan aspek rohaniahnya.

Zoroaster menuliskan seluruh ajarannya dalam kitab suci yang dikenal sebagai Avesta. Kitab suci ini berisi himpunan tulisan yang sangat penting dalam agama tersebut dan merangkum berbagai aspek seperti doa, nyanyian, ritual, hukum, dan naskah literari lain yang membentuk inti keyakinan dan amalan dalam agama Zoroastrianisme.

Buku The Hymns of Zoroaster: A New Translation of the Most Ancient Sacred Texts of Iran karya Martin Litchfield West mencoba menghadirkan ulang puisi dan nyanyian yang berasal dari Yasna, salah satu bagian kitab suci Avesta.

Di antara nilai-nilai kebaikan yang diajarkan dalam Zoroastrianisme adalah tuntutan bagi manusia untuk senantiasa berada di jalan kebenaran dengan mengamalkan kebenaran tersebut dan menghindari segala bentuk kejahatan serta ketidakadilan. Penganut Zoroastrianisme juga selalu diingatkan untuk memelihara pemikiran, etika berbicara, dan bertindak dengan perbuatan baik.

Nilai-nilai kebaikan ini juga yang agaknya menginspirasi para tentara Jerman dalam Perang Dunia I untuk membaca karya sastra Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, selain juga membaca Alkitab. Dalam buku tersebut, Nietszche dianggap berhasil menghadirkan nilai perjuangan, arah hidup, pengorbanan dan dedikasi terhadap kebaikan, yang bersumber dari yang apa Dia pahami dari Zarathustra.

Baca Juga: Surat at-Tin dan Simbol Ketersinambungan Antaragama

Zoroastrianisme dalam Alquran

Islam merupakan agama yang datang belakangan, jauh setelah kemunculan Zoroastrianisme. Kehadiran Islam setelah Zoroastrianisme sendiri-pun masih diselingi oleh agama-agama Abrahamik lainnya, Yahudi dan Kristen. Kelahiran Zoroastrianisme, Yahudi, Kristen, dan Islam secara geografis tidak berselisih jauh. Hampir dipastikan semuanya muncul di wilayah timur tengah dan saling berdekatan satu sama lain.

Kedekatan geografis ini menjadikan genealogis dari keempat agama ini bisa jadi tidak terbantahkan, sekalipun kemudian tiga agama terakhir (Yahudi, Kristen, Islam) dianggap memiliki keterikatan yang lebih kuat sebagai agama samawi (berasal dari langit) atau agama abrahamik (berasal dari satu Bapak, Ibrahim atau Abraham).

Ketersinggungan tersebut semakin jelas dalam Islam ketika Zoroastrianisme disebutkan dalam firman Allah, Q.S. Alhajj [22]: 17 berikut:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصارى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

Zoroastrianisme dalam ayat di atas disebut dengan kata al-Majus atau Majusi, dituliskan berdampingan dengan penyebutan pemeluk agama lain; Haaduu (penganut Yahudi), al-Shaabi’in (penganut Sabiyan), al-Nashaaraa (penganut Nasrani). Majusi merupakan istilah historis yang merujuk kepada para penganut agama Zoroastrianisme yang tinggal di Persia pada masa kuno.

Pada saat agama ini masih berada di puncak pengaruhnya pada abad-abad awal Masehi, banyak orang Persia yang mengamalkan agama Zoroastrianisme. Namun, pada abad ke-7 M, ketika Islam mulai tersebar ke berbagai wilayah Persia, banyak penduduk Persia memeluk agama Islam, dan penganut Zoroastrianisme mengalami penurunan pesat. Sebagai hasilnya, istilah “Majusi” mulai digunakan oleh komunitas Muslim untuk merujuk kepada penganut agama Zoroastrianisme yang masih ada di Persia.

Sejak zaman itu, persepsi negatif tentang Majusi seringkali beredar di kalangan masyarakat Muslim, dan mereka sering diperlakukan dengan prasangka dan diskriminasi. Istilah “Majusi” lalu sering digunakan secara derogatif dan mencirikan sesuatu yang “kafir” atau “tidak Islami”. Seperti dalam penjelasan Zamakhsyari (w. 1143 M di Iran) dalam menafsirkan ayat tersebut.

Baca Juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

Zamakhsyari menerangkan bahwa dari beberapa golongan yang disebutkan pada ayat di atas, empat di antaranya merupakan para penganut setan dan satu sisanya adalah agama yang diridai oleh Yang Maha Pengasih (arba’atun li asy-syaiṭān wa wahid li ar-raḥmān). Satu agama yang dimaksud adalah Islam, sementara sisanya adalah Yahudi, Nasrani (termasuk Sabiyan), Majusi, dan golongan lain yang menyekutukan Tuhan. “Al-Kasysyaf (j.3 h.148)”

Bahkan dalam karya mufassir lainnya, Ibnu Asyur (w. 1973 di Tunisia) menjelaskan sentimen negatif tentang Majusi dengan mendeskripsikan pokok ajaran mereka secara keliru. Ibnu Asyur menyampaikan bahwa Majusi merupakan golongan yang menyembah dua Tuhan; Tuhan Kebaikan dan Tuhan Keburukan (fa ammā al-majūs: fa hum ahl dīn yutsbit ilāhayn: ilāh li al-khayr wa ilāh li asy-syarr).

Padahal tidak demikian adanya. Memang benar bahwa di dalam ajaran Zoroastrianisme dikenal dualisme kebaikan-keburukan, tetapi Tuhan yang mereka sembah tetap satu sebagaimana agama monoteis yang lain.

Kesalahpahaman Ibnu Asyur tersebut agaknya berhasil beliau tutupi pada penjelasan selanjutnya. Mufasir asal Tunisia ini menyampaikan bahwa salah satu inti ajaran kelompok Majusi adalah menafikan dan melarang penyembahan kepada berhala dan hal-hal lain yang diyakini sebagai Tuhan (wa min uṣūl syarī’atih tajannub ‘ibādat at-tamātsīl). “al-Tahrir wal-Tanwir (j. 17 h. 223-225)”

Meskipun demikian, tetap saja, argumentasi yang telah terbangun mapan hingga saat ini yang menyatakan bahwa agama Majusi atau Zoroastrianisme merupakan ajaran yang sesat dan harus dihindari sudah melekat di telinga dan pikiran bawah sadar umat Islam. Sebuah kenyataan yang pemahamannya perlu direkonstruksi ulang melalui pendekatan historis yang mendalam dan terukur. Wallah a’lam

Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian III)

0
Panduan belajar mushaf Alquran isyarat
Panduan belajar membaca mushaf Alquran isyarat terbitan LPMQ

Qiraat dan Tajwid

Pada trilogi tulisan berjudul Konsep Sunnah Muttaba‘ah, penulis pernah mengulas beberapa hal yang berkaitan dengan prinsip talaki dalam pembelajaran Alquran. Singkatnya, setiap dalam pembacaan Alquran, yang dilakukan pada dasarnya adalah menghadirkan kembali bacaan Nabi saw., yang untuk mencapainya disusunlah ilmu qiraat dan ilmu tajwid sebagai pirantinya.

Qiraat (qira’ah) dapat didefinisikan sebagai salah satu cara yang dipilih oleh seorang imam yang membedakannya dengan imam yang lain dalam membaca Alquran. Qiraat lebih fokus kepada tata cara pengucapaan (nuthq) lafaz, kalimat, dan dialek.

Sedangkan tajwid secara sederhana dapat didefinisikan dengan melakukan pembacaan dengan memperindah lafal-lafalnya dan bebas dari penyelewengan. Inti pembahasan tajwid dapat diringkas pada empat komponen dasar, yakni tempat keluarnya huruf (makharij al-huruf), karakter dan perilaku bunyi huruf (shifah al-huruf), hukum-hukum yang timbul akibat pertemuan huruf-huruf (ahkam al-huruf), dan melatih lidah dalam pelafalan (riyadlah al-lisan).

Baik ilmu qiraat ataupun ilmu tajwid, semuanya menjadi manifestasi dari perintah tartil yang Allah sebutkan dalam Surah Al-Muzzammil [73] ayat 4,

وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلاً

“Bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan.”

Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana perintah tartil tersebut diterapkan dalam konteks Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW)?

Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)

Konversi Sensorik Rungu Menuju Sensorik Netra

Pada tahun 2021, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) telah menyelesaikan penyusunan pedoman membaca Mushaf Alquran Isyarat. Di tahun berikutnya, LPMQ melakukan penyusunan Mushaf Alquran Isyarat yang diawali dari Juz ‘Amma. Dan pada tahun ini, Mushaf Alquran Isyarat secara resmi hadir dalam aplikasi Quran Kemenag.

Hal yang dilakukan oleh LPMQ di tahap awal ini merupakan upaya untuk menghadirkan mushaf Alquran yang terjangkau bagi para teman-teman tuli. Kehadiran Mushaf Alquran Isyarat ini juga diharapkan dapat menjadi media pembelajaran bagi proses belajar membaca Alquran. Bahkan, dikutip dari salah satu berita yang ditulis dalam laman resmi LPMQ, Mushaf Alquran Isyarat merupakan satu-satunya dan yang pertama di dunia.

Dari hasil telaah singkat, penulis memahami bahwa Mushaf Alquran Isyarat merupakan upaya ‘visualisasi’ bunyi dan suara. Hal ini tak lain karena terdapat perbedaan yang mendasar pada model pembacaan komunitas tunarungu yang dipersepsi oleh sensorik netra (visual), bukan oleh sensorik rungu (auditoris). Hasil dari visualisasi tersebut terlihat dari konversi huruf-huruf hijaiah berikut dengan atribut harakatnya ke dalam model isyarat.

Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian II)

Metode Kitabah dan Tilawah

Dalam buku Pedoman Membaca Mushaf Al-Qur’an Bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara terbitan LPMQ, disebutkan bahwa ada dua pendekatan yang dapat digunakan komunitas tuli dalam membaca Alquran, oral atau verbal dan isyarat. Pendekatan isyarat sendiri terbagi menjadi dua metode, yakni kitabah atau tulisan dan tilawah atau bacaan.

Metode kitabah, sebagaimana juga disebutkan dalam buku Panduan Belajar Membaca Mushaf Al-Qur’an Isyarat terbitan LPMQ, merupakan sistem isyarat yang digunakan berdasarkan tulisan, yakni mengisyaratkan setiap huruf, harakat, dan tanda baca yang tertulis dalam mushaf. Acuannya adalah Mushaf Standar Indonesia (MSI).

Sedangkan metode tilawah adalah mengeja huruf perhuruf serta harakat dan tanda bacanya melalui isyarat gerakan jari dan tangan sesuai dengan cara melafalkannya, dengan mengikuti hukum tilawah dan tajwid yang mungkin untuk diisyaratkan. Metode tilawah ini hampir sama dengan metode kitabah hanya acuan output-nya yang lebih menekankan pada hukum tilawah dan tajwid sejauh itu mungkin diisyaratkan.

Di antara contoh konkrit dari perbedaan metode kitabah dan tilawah adalah isyarat huruf lam pada kata yang mengandung al syamsiyyah. Pada metode tilawah, huruf lam tidak muncul dalam pembacaan isyarat. Hal ini karena metode tilawah lebih menekankan hukum tilawah dan tajwid, dan sebagaimana diketahui huruf lam pada al syamsiyyah akan melebur dan diganti dengan huruf bertasydid yang jatuh setelahnya.

perbedaan metode kitabah dan tilawah
Perbedaan metode kitabah dan tilawah

Perbedaan lainnya terlihat pada akhir ayat, yakni pada harakat huruf akhir. Metode kitabah akan mengisyaratkan huruf akhir tersebut sesuai dengan harakat aslinya, entah itu fatah, kasrah, atau dlammah. Sedangkan metode tilawah akan mengisyaratkannya dengan sukun sebagai ganti isyarat harakat aslinya.

Tartil dalam Metode Isyarat

Kembali pada pertanyaan penulis di awal, bagaimana tartil diterapkan dalam metode isyarat tersebut? Apabila merujuk pada makalah ‘Ali r.a sebelumnya yang menyebut tajwid dan mengetahui waqf sebagai arti tartil, serta dengan menelaah buku pedoman dan panduan membaca Alquran bagi komunitas tuli yang diterbitkan LPMQ, maka tartil dalam batas-batas tertentu sangat mungkin untuk dilakukan.

Tartil dimaksudkan seperti kejelasan dan konsistensi pendekatan serta metode pembacaan yang dipilih. Kejelasan dan konsistensi pendekatan dan metode ini sangat penting mengingat komponen-komponen dasar tajwid yang menjadi implikasi perbedaannya, seperti makhraj huruf (isyarat huruf) yang akan dipengaruhi oleh hukum bacaan (ahkam al-huruf) yang ada. Selain itu, tartil juga dapat dimaksudkan sebagai proses mengisyaratkan huruf, harakat, dan tanda baca secara jelas dan tidak tergesa-gesa, sehingga tidak terjadi kesalahan isyarat atau lahn.

Karena alasan tartil inilah, dalam berita yang juga ditulis pada laman resmi LPMQ disebutkan bahwa belajar membaca Alquran isyarat bagi komunitas tuli adalah sama dengan orang-orang yang mendengar pada umumnya, yakni harus dengan sanad, harus ada guru yang memandu untuk mengajarkannya. Artinya, tidak diperkenankan hanya bermodal telaah atas panduan dan pedoman yang tersedia.

Pertanyaannya kemudian, jika tartil dapat diterapkan ‘dalam batas tertentu’, maka apa saja kira-kira yang dapat dan yang tidak dapat diterapkan dalam model pembacaan isyarat ini? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial

0
Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial
Ilustrasi media sosial.

Asketisme dalam khazanah intelektual Islam disamakan dengan istilah zuhud. Istilah ini berasal dari kata bahasa Arab, yakni zahada, yang bermakna raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu) (Ilmu Tasawuf, 2022, 172).

Adapun zuhud secara bahasa bermakna berpaling dari sesuatu yang membuat pelakunya terhina. Sedangkan menurut syariat zuhud adalah mengambil seperlunya dari yang jelas kehalalannya. Perbuatan ini lebih khusus (utama) dari war’a, karena (wara’) meninggalkan yang syubhat (meragukan) (Sirājut Thālibīn, vol. 1).

Berdasarkan hal tersebut, hakikat zuhud adalah mengalihkan kesenangan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik. Zuhud adalah posisi paling utama setelah takwa kepada Allah Swt. karena menjadi sebab seseorang mencintai Allah (Ilmu Tasawuf, 2022, 46).

Zuhud dalam pengertian lain adalah menahan diri dari kemewahan keduniawian dan memilih untuk hidup dalam kesederhanaan. Orang yang menanamkan sikap zuhud akan menjaga hatinya dari kemewahan dunia yang melenakan. Zuhud merupakan amalan hati yang kemudian diwujudkan menjadi tindakan nyata dalam kehidupan. Ia merupakan lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia (Tarbiyatush Shahabah, 2020, 59).

Baca juga: Tafsir Surah Alhadid Ayat 23: Ciri-Ciri Zuhud

Zuhud erat kaitannya dengan wara’. Zuhud merupakan sikap yang menekankan untuk meninggalkan urusan dunia yang tidak dibutuhkan, sekalipun hal itu adalah halal, serta mencukupkan diri pada hal-hal yang perlu saja. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat (Syarah Hadits Arba’in, 2007, 340).

Imam Muḥammad bin Sa’id Al-Bushairī dalam Qasidah Burdah menggambarkan sikap zuhud yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Imam Al-Bushairī dalam syairnya menggambarkan betapa dirinya merasa malu dikarenakan telah zalim atau tidak mampu sepenuhnya mengikuti sunah-sunah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Meskipun Rasulullah adalah manusia yang memiliki derajat paling mulia di sisi Allah. Namun, ia tetap menjalankan laku zuhud yang di antaranya adalah, senantiasa menjalankan salat malam, puasa, dan menolak segala bentuk kemewahan dunia meskipun gunung-gunung yang tinggi rela menjadi emas untuk dia miliki.

Baca juga: Zaman Kapitalisme, Banyak Tipuan Dunia! Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 3]

Al-Imām al-Ḥafidz al-Faqīh Abī Zakariyyā Muḥyi al-Dīn Yaḥya al-Nawawī (w. 686 H) dalam Riyadh al-Shaliḥīn menjelaskan bahwa sikap zuhud terinspirasi oleh beberapa ayat Alquran. Di antaranya ayat berikut yang artinya:

“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berpikir.” (Q.S. Yunus [10]: 24).

Perilaku kontra asketis di media sosial

Perkembangan teknologi dan informasi saat ini menjadikan setiap orang dapat menunjukan eksistensi dirinya dengan cara memamerkan apa yang dimilikinya, baik kekayaan, jabatan, dan lain sebagainya ke media sosial secara instan. Fenomena pamer ini oleh generasi saat ini sebut sebagai flexing.

Bagi pelaku flexing, dengan melakukannya di media sosial dan dikomentari oleh netizen dianggap akan meningkatkan citra dirinya di hadapan semua orang. Ironisnya para pelaku flexing tidak selalu benar-benar memiliki apa yang dipamerkannya tersebut. Banyak di antara mereka yang memaksakan diri untuk memamerkan barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuan mereka untuk membeli atau memilikinya.

Hal ironis lainnya, mereka menyebut diri mereka sebagai influencer, yakni orang yang memberikan motivasi dan pengaruh kepada pemirsanya di media sosial. Namun, pada faktanya bukanlah para influencer tersebut yang mempengaruhi pemirsanya (netizen), sebaliknya komentar-komentar para netizen-lah yang banyak mempengaruhi pola pikir para influencer untuk terus melakukan flexing dengan membeli barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuannya.

Baca juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur

Fenomena kontra asketis lainnya di media sosial adalah fenomena mokbang. Mokbang adalah penyiaran audiovisual daring di mana seorang pemandu acara memakan sejumlah besar makanan sambil berinteraksi dengan audiens atau merekam aktivitas tersebut. Biasanya ini dilakukan melalui webmaster internet.

Pada awalnya kegiatan mokbang yang pertama kali populer di Korea Selatan pada tahun 2010-an dilakukan oleh anak muda yang tinggal sendirian di apartemen. Mereka merasa bosan ketika harus makan sendirian, sehingga mencari teman di internet untuk dapat berinteraksi dengannya.

Baca juga: Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Dalam perkembangannya, mokbang tidak hanya bertujuan memberikan terapi healing bagi orang-orang yang tinggal sendirian. Namun, ia menjadi pemicu perilaku makan yang berlebihan dan tidak sehat hanya sekadar untuk meramaikan konten video yang diunggah dan komentar dari netizen.

Perubahan ekstrem para pelaku mokbang dapat dilihat pada Nikocado Avocado yang berat badannya meningkat pada level ekstrem demi memuaskan netizen yang ingin melihatnya memakan makanan dalam porsi yang besar.

Simpulan

Pemahaman terhadap pentingnya berperilaku asketis (zuhud) perlu ditanamkan kepada umat Islam di era media sosial saat ini. Hal ini agar umat Islam tidak terjerumus dalam perilaku yang dapat merusak diri dan lingkungannya. Dengan berperilaku zuhud akan membuat seseorang mendapatkan kedewasaan dan independensi dalam berperilaku dengan cara mempertimbangkan apakah apa yang diunggah di media sosial tersebut memiliki nilai positif atau negatif.

Keamanan Negara Sebagai Rukun Agama

0
Keamanan negara sebagai rukun agama
Keamanan negara sebagai rukun agama

Kestabilan keamanan, terutama dalam komunitas kewarganegaraan dan kehidupan beragama merupakan hal yang amat penting. Apalagi dalam negara dengan penduduk yang memiliki latar belakang beragam, baik suku, warna kulit, atupun agama. Selaras pula dengan teori ilmu politik bahwa komunitas yang terdiri dari berbagai jenis etnis, serta berbeda keyakinan, strata sosial maupun ekonomi, akan cenderung mudah terjadi konflik yang menyebabkan keamanan negara tidak stabil. Hal ini karena memandang setiap dari mereka memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Lihat Musdah Mulia, Negara Islam (Depok: KataKita, 2010), 210.

Baca juga: Lima Tanda Kepahlawanan Perspektif Alquran

Oleh karena itu, keamanan negara amat perlu untuk dijaga. Alquran juga menyingung hal ini. Antara lain salah satu doa Nabi Ibrahim yang termaktub dalam firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 126 berikut;

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهيمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَه مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُه قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّه اِلٰى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan (hasil tanaman, tumbuhan yang bisa dimakan) kepada penduduknya, yaitu orang yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Akhir.” Dia (Allah) berfirman, “Siapa yang kufur akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. AL-Baqarah: 126)

Tanpa keamanan, mustahil roda perekonomian dapat berjalan normal. Juga tanpa negeri yang aman, tidak mungkin masyarakat hidup dengan tenang. Begitu pula, tanpa keamanan yang stabil, mustahil kegiatan keagamaan juga dapat berjalan dengan tenang. Maka, tidak heran jika kestabilan keamanan menjadi sesuatu yang dipanjatkan Nabi Ibrahim dalam doanya. Bahkan dalam ayat lain, Nabi Ibarahim terlebih dahulu memohon keamanan negara sebelum untaian permintaan agar dijauhkan dari kekufuran

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim : 35)

Ketika menjelaskan tafsir ayat ini, Imam ar-Razi menyatakan bahwa permintaan Nabi Ibrahim pada ayat tersebut sangat sesuai dengan kondisi Mekah yang tandus dan tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Maka secara otomatis perekonomian Mekah bergantung pada sektor perdagangan serta kebutuhan pangan masyarakatnya membutuhkan produk pangan impor dari luar. Jika kondisi mekah tidak aman, sangat sulit untuk menghidupkan sektor perdagangan tersebut. Maka dari itu, Nabi Ibrahim memanjatkan doa agar wilayah Mekah diberi keamanan sebelum memanjatkan permintaan lain. Lihat Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats, 1460 H), IV/48.

Baca juga: Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

Selanjutnya akan muncul pertanyaan lain, mengapa Nabi Ibrahim lebih memohon keamanan yang berhubungan dengan ekonomi dunia terlebih dahulu dari pada dijaga dari kesyirikan yang justru merupakan ihwal akhirat?

Menjawab hal ini, Ar-Razi menerangkan bahwa terdapat analogi yang rasional. Beliau menyatakan:

أَنَّ الدُّنْيَا إِذَا طُلِبَتْ لِيُتَقَوَّى بِهَا عَلَى الدِّينِ، كَانَ ذَلِكَ مِنْ أَعْظَمِ أَرْكَانِ الدِّينِ، فَإِذَا كَانَ الْبَلَدُ آمِنًا وَحَصَلَ فِيهِ الْخِصْبُ تَفَرَّغَ أَهْلُهُ لِطَاعَةِ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا كَانَ الْبَلَدُ عَلَى ضِدِّ ذَلِكَ كَانُوا عَلَى ضِدِّ ذَلِكَ

”Sungguh, ketika dunia dicari demi memperkuat agama, maka sejatinya hal itu adalah termasuk rukun agama yang paling agung.  Ketika suatu negara aman dan makmur maka rakyatnya akan dapat fokus untuk melaksanakan ketaatan pada Allah. Begitu pula, jika sebuah negara tidak aman dan makmur, maka rakyatnya tidak akan dapat fokus beribadah.” Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats, 1460 H), IV/48.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa keamanan negara sejatinya merupakan instrumen (rukun) yang sangat vital demi keberlangsungan agama. Tidak heran jika Al-Ghazali sampau berujar dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad:

”Agama dan negara adalah saudara kembar. Agama merupakan pondasi sedang negara adalah penjaga.” Wallahu a’lam[]

Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah (Bag. 3)

0
Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah
Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah.

Setelah menjelaskan dua golongan sebelumnya berikut karakteristik masing-masing, Allah Swt. kemudian menerangkan tentang golongan ketiga, yakni orang-orang munafik. Tidak seperti golongan mukmin dan golongan kafir yang hanya dijelaskan dalam beberapa ayat saja, karakter orang munafik dipaparkan dalam lebih banyak ayat, yakni 13 ayat, dari ayat ke-8 sampai ayat ke-20.

Menurut Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, dengan ini Allah Swt. ingin menunjukkan betapa potensi bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang munafik terhadap agama dan umat Islam lebih besar daripada orang kafir [Tafsir al-Sya’rawi, juz 1, hal. 146].

Dibandingkan terhadap orang kafir harbi atau mereka yang jelas-jelas memerangi kaum muslimin, tindakan antisipasi dari perlawanan dan bahaya yang datang dari orang-orang munafik biasanya kurang diperhatikan. Sebab, secara lahiriah, mereka ada di barisan umat Islam. Namun, sejatinya mereka tak lain hanyalah orang kafir yang sengaja masuk Islam untuk merongrong kekuatan agama dari dalam. Merekalah serigala berbulu domba.

Baca juga: Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah (Bag. 1)

Fenomena kemunculan orang-orang munafik di zaman Rasulullah dimulai setelah beliau hijrah ke Madinah dan memiliki kekuatan serta otoritas. Sedangkan ketika beliau masih berada di Makkah, para musuh beliau tidak perlu melakukan kamuflase menjadi muslim untuk menghancurkan Islam dan melindungi diri dari hukum Islam, sebab mereka adalah mayoritas.

Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:

{إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1) اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } [المنافقون: 1، 2]

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa engkau adalah rasul Allah.’ Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar rasul-Nya; dan Allah maha menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.

Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Sungguh betapa buruk apa yeng telah mereka kerjakan.” (Q.S. Almunafiqun [63]: 1-2).

Baca juga: Tafsir Surah Almunafiqun Ayat 1-4: Sifat dan Perilaku Orang Munafik

Sejatinya, Rasulullah saw. mengetahui sebagian besar orang-orang yang terjangkit kemunafikan tersebut. Di antara orang-orang munafik yang telah melakukan banyak tindakan yang merugikan umat Islam adalah Abdullah bin Ubay bin Salul yang disebut-sebut sebagai pentolan orang-orang munafik.

Meski Rasulullah saw. mengetahuinya, beliau tetap memperlakukan mereka secara manusiawi seperti muslim lainnya, padahal mereka berhak mendapatkan sanksi dan hukuman. Pernah suatu ketika sahabat Umar bin Khattab naik pitam hingga hendak berniat membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul, Beliau saw. lantas bersabda:

دَعْهُ لاَ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ

“Biarkan dia, jangan sampai orang-orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sikap yang diambil Nabi saw. terhadap orang munafik ini kemudian menjadi pedoman dalam ilmu fikih untuk menghukumi sesuatu sesuai dengan apa yang tampak. Dalam hadis yang lain, Nabi bersabda:

نحن نحكم بالظاهر والله متولي السرائر

“Kita menghukumi sesuai dengan yang tampak. Sedangkan Allah Swt. yang mengurusi hal-hal yang tersembunyi.” [al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, juz 6, hal. 2623].

Meskipun hadis ini diingkari oleh sebagian ulama, tetapi substansi makna hadis ini diakui dalam syariat. Bahkan, dalam kitab Sunan-nya, Imam al-Nasai membuat satu bab berjudul باب الحكم بالظاهر (bab tentang memutuskan hukum sesuai dengan yang tampak) dan meriwayatkan beberapa hadis semakna dengan hadis di atas.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Dalam hal ini, orang-orang munafik tampil sebagai orang muslim sehingga dihukumi sebagai muslim yang berhak dijaga jiwa dan hartanya. Meskipun demikian, Rasulullah saw. tidak mau mensalati jenazah orang yang sudah diketahui bahwa sebagai munafik. Hal ini juga dilakukan oleh sahabat Hudzaifah al-Yamani sebagai shahib sirri Rasulillah (juru kunci rahasia-rahasia Rasulullah), karena beliau-lah satu-satunya sahabat yang tahu daftar orang-orang munafik.

Begitulah kondisi orang munafik di zaman Rasulullah saw. Mereka sebenarnya kafir, tetapi tampil sebagai orang muslim.

Deskripsi munafik dalam surah Albaqarah

Dalam ayat ke-8 surah Albaqarah, Allah Swt. menjelaskan bahwa orang munafik adalah orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, tetapi sejatinya mereka tidak benar-benar beriman. Secara lahiriah, status sosial mereka adalah muslim karena mereka memang mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, syahadat yang diucapkan bertentangan dengan isi hati mereka yang sejatinya menyimpan kekufuran. Keimanan yang mereka tampakkan hanya sebagai kamuflase.

Dalam ayat-ayat berikutnya, Allah Swt. menyebutkan bagaimana perilaku yang mereka lakukan ketika berinteraksi dengan kaum muslim. Guna menutupi kebusukan hatinya, di hadapan orang muslim mereka mengatakan, “Kami orang beriman!”. Akan tetapi di belakang, pada saat berkumpul dengan dengan para komplotannya, mereka berkata, ”Hei, kami masih tetap bersama kalian. Tadi itu hanya sebatas pencitraan dan kamuflase saja.”

Kemudian di ayat 9, Allah Swt. menjelaskan bahwa mereka ingin menipu dan mempermainkan Allah dan orang-orang beriman dengan sok beriman agar mendapat perlindungan di bawah naungan Islam. Akan tetapi, mereka sejatinya menipu diri mereka sendiri, sebab kelak di akhirat mereka akan disiksa dengan siksaan yang sangat pedih [Al-Tahrir wa al-Tanwir, 1, hal 276].

Hadis tentang tanda-tanda munafik

Sebagai tambahan, dalam satu hadis, Rasulullah saw. menjelaskan apa saja ciri-ciri orang munafik. Beliau saw. bersabda:

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda orang munafik ada tiga; ketika ia berkata, ia dusta; ketika berjanji, ia ingkar; dan ketika dipercaya (diberi amanah), ia khianat (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama menganggap muskil hadis di atas. Pasalnya, ciri-ciri orang munafik yang disebutkan oleh Rasulullah saw. di atas dapat ditemukan hampir dalam diri setiap orang muslim. Di sisi lain, ulama sepakat bahwa orang yang masih membawa iman dalam hatinya tidak dihukumi sebagai orang kafir atau orang munafik yang kekal di dalam neraka.

Baca juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Albaqarah Ayat 17-20

Menurut Imam al-Nawawi, munafik dalam hadis di atas memiliki konotasi makna yang sedikit berbeda dengan munafik yang diterangkan dalam Alquran.

Orang-orang yang memiliki karakter di atas disebut sebagai munafik, atau lebih tepatnya mirip dengan orang-orang munafik. Dikatakan mirip karena ketiga sifat tersebut persis dengan tindakan yang dilakukan orang-orang munafik pada masa Rasulullah; lain di luar, lain di dalam. Dari sini, Imam al-Nawawi menegaskan bahwa yang dimaksud orang munafik dalam hadis di atas bukan munafik yang diancam dengan neraka tingkat paling bawah [Syarah al-Nawawi ‘ala Muslim, juz 2, hal. 47].

Dengan demikian, munafik yang disebutkan dalam surah Albaqarah adalah orang yang menampilkan keislaman tetapi sebenarnya di dalam hatinya bercokol kekafiran.

Itulah tiga golongan yang disebutkan dalam Q.S. Albaqarah. Mudah-mudahan kita sesantiasa diberi taufik untuk tetap istikamah dalam keimanan serta dapat memperoleh manfaat dari petujuk-petunjuk Alquran.

Maju Mundurnya Peradaban: Interpretasi Sosiologis Ibnu Khaldun atas Ayat Alquran

0
Interpretasi sosiologis Ibn Khaldun atas ayat Alquran
Interpretasi sosiologis Ibn Khaldun atas ayat Alquran

Manusia merupakan makhluk yang beradab dan memiliki insting untuk memajukan peradaban. Dalam bahasa Ibnu Khaldun, manusia seperti ini disebut sebagai manusia berorientasi ‘umran hadhari. Melalui karya fenomenal Muqaddimah, Ibnu Khaldun menuliskan interpretasi sosiologis atas ayat Alquran dengan konteks maju-mundurnya peradaban.

Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Waliyuddin Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Ishbili yang lahir di Tunisia tahun 732 H./1322 M. dan wafat pada tahun 1406 M. Dia terlahir setelah Dinasti Abbasiyah runtuh pasca serangan bangsa Mongol yang berhasil mengasai kota Baghdad tahun 1258 M. Kehidupannya di abad ke 14 hingga awal abad ke 15 mengalami persinggungan politik yang luar biasa. Saat itu, Kerajaan yang mewakili Islam terpecah-pecah dan disebut sebagai era kegelapan.

Dia pernah terlibat dalam perpolitikan pada pertengahan abad ke-14, di bawah Dinasti Hafsiyun (1229-1574 M.) Tunisa. Namun dia tidak begitu puas dengan dunia perpolitikan yang penuh intrik. Dia juga pernah memiliki relasi dengan Muhammad, seorang mantan penguasa Dinasti al-Muwahhidun (1128-1269 M.). Kontak relasi ini menyebabkan ia sebagai tahanan politik dan deportasi dari Tunisia. Dia pun akhirnya pindah ke Granada di bawah Dinasti Nashri. Setelah itu pernah kembali ke Tunisia dan pergi ke Maroko. Ibnu Khaldun memang terkenal sering pindah tempat, karena kondisi perpolitikan yang tidak stabil saat itu. Dengan kondisi perpolitikan yang demikian, sebagai intelektual ia mampu melahirkan karya dengan pendekatan sejarah, sosiologi, dan filsafat yang diakui dunia.

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Muqaddimah: Karya Pengantar yang Fenomenal

Sebenarnya Ibnu Khaldun menulis kitab pengantar (Muqaddimah) ini untuk mengantarkan kitab yang lebih besar yakni Kitab al ʻIbari Wa Diwan al-Mubtada’ wal-Ḥabar fi Ayam ail ʻArab wal ʿAjam wal Barbar, wa man ʻAsarahum min Dhawish Shalṭanil Akbar (Buku-buku pelajaran mengenai catatan dari awal mula dan berbagai peristiwa sejarah dari bangsa Arab, non-Arab, Barbar serta bangsa-bangsa kuat yang sezaman). Tapi karena Muqaddimah ini mencakup banyak bab, maka dianggap sebagai karya tersendiri.

Karya Muqaddimah ini ditulis oleh Ibnu Khaldun pada tahun 1377 M. dan digunakan banyak sarjana melalui pencatatan tradisional, yaitu tradisi menyalin manuskrip. Ahmad El-Syamsy dalam bukunya Rediscovering the Islamic Classics: How Editors and Print Culture Transformed an Intellectual Tradition menyebut bahwa karya ini baru dicetak pada tahun 1857 M. di Bulaq Press Kairo. Percetakan ini didukung penuh oleh tokoh pembaharu, yaitu Rifa’a at-Tahtawi. Melalui percetakan ini, Nasr al-Hurini yang bertugas sebagai pentahqiq kitab menempatkan Muqaddimah di jilid pertama disusul dengan enam jilid lainnya dari kitab al-‘Ibar.

Setelah ditahqiq, Muqaddimah ini dikelompokkan menjadi enam pasal atau bab. Bab pertama membahas karakter peradaban manusia secara umum, bab kedua tentang peradaban badui bangsa dan kabilah liar, bab ketiga tentang kerajaan, kepemimpinan dan hal yang berkaitan. Bab keempat tentang pembangunan kota, negeri dan hal yang berkaitan. Bab kelima tentang perekonomian, dan bab keenam tentang ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

Interpretasi Ibnu Khaldun atas Maju Mundurnya Peradaban

Syed Farid Alatas dan ilmuan lain menyepakati bahwa Ibnu Khaldun adalah Bapak Sosiologi. Uniknya, Ibnu Khaldun menjelaskan hal-hal yang bersifat sosiologis dan historis itu dalam bingkai Qur’ani. Memang dia tidak dikenal sebagai seorang mufasir. Namun dia mencantumkan beberapa ayat Alquran dalam menjelaskan fenomena sosial yang dia teliti. Salah satunya terkait maju mundurnya suatu pemerintahan bangsa.

Dalam Q.S. Al-Ahqaf (46) ayat 15 menyebutkan,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ

“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan. Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,…”

Menurut Ahmad bin Muhammad Al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Sawi ala Tafsir Jalalain yang dimaksud mencapai empat puluh tahun itu adalah usia yang matang dan kuat bagi manusia. Umur empat puluh merupakan sempurnanya usia manusia, meliputi kekuatan fisik, akal, gagasan dan lain sebagainya. Dalam usia tersebut Nabi Muhammad juga diangkat oleh Allah mendapatkan risalah kenabian. Hal ini didukung dengan suatu Riwayat hadis nabi dari Ibnu Abbas. Penafsiran serupa juga ditemukan dalam Tafsir Al-Qurthubi.

Ibnu Khaldun juga menekankan pada kalimat arba’îna sanah. Empat puluh sebagai usia matang manusia digunakannya sebagai standar usia per satu generasi. Sementara dia memiliki hipotesis bahwa masyarakat akan mengulangi siklus peradaban, dengan tiga generasi. Generasi pertama adalah generasi pendiri, generasi kedua adalah generasi pengembang serta penikmat, dan generasi ketiga adalah generasi lalai yang meruntuhkan. Jika satu generasi berumur 40 tahun, maka tiga generasi berarti 120 tahun.

Dia menambahkan, “Biasanya suatu kerajaan (pemerintahan) tidak dapat melampaui umur tersebut. Hanya saja memang terkadang ada kurang lebihnya, jika tidak ada gangguan lain seperti serangan bangsa lain”. Ibnu Khaldun lantas mengutip QS. Al-A’raf: 34 yang berarti, “Maka, apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula memajukannya.”

Dalam pandangan tafsir tradisional, apa yang diinterpretasikan oleh Ibnu Khaldun ini bukanlah suatu tafsir yang memenuhi persyaratan. Jenis interpretasi seperti ini menurut KH. Bisri Mustofa dalam Kitab Al-Iksir fi Tarjamah Nadhm Ilmi Tafsir masuk kategori pengambilan falsafah dari suatu ayat. Jika dianggap sebagai tafsir, maka barang tentu Ibnu Khaldun menampilkan berbagai riwayat untuk menyampaikan interpretasinya. Ia menyebut bahwa interpretasinya itu terinspirasi dari peristiwa paceklik yang dialami oleh Bani Israel, dan dia melihat sejarah itu dari gejala sosiologi.

Di sini bisa diambil kesimpulan bahwa Ibnu Khaldun memprediksi umur suatu pemerintahan atau peradaban bangsa secara umum 120 tahun. Peradaban akan maju jika sang pemimpin memiliki jiwa layaknya generasi pertama yang mendirikan atau generasi kedua yang mengembangkan. Namun, peradaban akan mundur jika sang pemimpin sudah menghilangkan kesadaran betapa besar peran pendahulunya. Pemimpin yang lalai, akan segera menjemput titik kejatuhannya. Wallah a’lam

Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian II)

0
quran isyarat dalam aplikasi quran kemenag
quran isyarat dalam aplikasi quran kemenag

Apa Itu Bahasa?

Mahmud Fahmi Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘abr al-Qurun menjelaskan bahwa bahasa merupakan sistem rumus bunyi. Penjelasan tersebut diilhami dari definisi yang diberikan Ibn Jinniy (w. 392 H.) yang mengartikan bahasa sebagai sekumpulan suara (ashwat) yang digunakan suatu komunitas tertentu dalam meredaksikan kehendaknya.

Pengertian bahasa yang secara spesifik menyebut sekumpulan suara ini, menurut Hijaziy dalam Madkhal ila ‘Ilm al-Lughah, merupakan definisi asal yang menjadi kontra-narasi atas mereka yang menganggap bahasa sebagai sesuatu yang berasal dari tulisan (kitabah), dan bukan suara. Oleh karenanya, inti dari suatu bahasa bukan terletak pada suara atau tulisan sebagai medianya.

Lebih lanjut, Hijaziy menjelaskan bahwa inti dari suatu bahasa adalah sekumpulan simbol atau rumus (ramz). Artinya bahwa bahasa merupakan kumpulan dari sistem simbol atau rumus kompleks yang saling menyempurnakan (nidzam mutakamil). Sistem simbol kompleks inilah yang membedakan bahasa manusia dengan simbol atau rumus lain.

Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)

Apakah Isyarat Bagian dari Bahasa?

Dalam konteks penjelasan Hijaziy di atas, bahasa mestinya turut memasukkan isyarat sebagai bagian darinya. Hal ini karena, pertama, bahasa tidak khusus pada suara (lisan) atau sensorik rungu, dan kedua, bahwa isyarat juga memiliki kompleksitas sistem simbol atau rumus tersendiri seperti halnya bahasa-bahasa lisan lainnya.

Di beberapa artikel yang penulis baca, isyarat sebagai bahasa (selanjutnya disebut bahasa isyarat) juga memiliki satuan-satuan bahasa layaknya bahasa lisan, dari yang kecil hingga yang besar. Bahasa isyarat juga memiliki sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya tersendiri yang membedakannya dengan sistem bahasa lisan.

Perbedaan mendasar antara bahasa isyarat dengan bahasa lisan terletak pada sarana produksi atau modal dan proses persepsual. Bahasa isyarat diproduksi dengan gerakan tangan atau gestur dan dipersepsi melalui sensorik netra (visual). Sedangkan bahasa lisan diproduksi oleh melalui mulut (oral) dan diterima oleh alat pendengaran (auditoris).

Baca Juga: Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian I)

Bahasa Isyarat dalam Kajian Islam

Dalam kajian Islam, pembahasan mengenai bahasa isyarat lebih dulu banyak dibicarakan oleh fikih. Hal ini mungkin saja karena masalah hukum yang menjadi kebutuhan komunitas tuli adalah bagian dari fikih yang membidanginya. Misalnya, Izzuddin bin ‘Abd al-Salam dalam karyanya berjudul Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyebutkan,

وَأَمَّا إشَارَةُ الْأَخْرَسِ الْمُفْهِمَةِ فَهِيَ كَصَرِيحِ الْمَقَالِ إنْ فَهِمَهَا جَمِيعُ النَّاسِ

“Isyaratnya orang yang disabilitas wicara dengan cara yang bisa dipahami oleh masyarakat hukumnya sama seperti perkataan.”

Meski demikian, isyarat mengenai keberadaan bahasa isyarat telah lebih dahulu diberikan Allah dalam Alquran. Surah Ali ‘Imran [3] ayat 41 menyebutkan,

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ

“Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda (kehamilan istriku).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu adalah engkau tidak (dapat) berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi hari.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 41)

Namun menarik untuk diperhatikan bahwa makalah Izzuddin sebelumnya terkait isyarat tuna rungu, ia masukkan dalam fashl fi tanzil dalalah al-‘adat wa qara’in al-ahwal manzilah sharih al-aqwal (pembahasan kebiasaan dan petunjuk atas situasi dan kondisi tertentu yang diposisikan sebagaimana ucapan yang eksplisit). Hal ini berarti bahwa isyarat bukan menjadi pokok pembahasan tersendiri (far‘) yang dalam penetapan hukumnya harus disamakan dengan hukum pembahasan lain (ashl).

Dengan mengaitkan hadis Nabi saw. dan makalah yang telah disebutkan pada bagian satu sebelumnya, seolah dapat dipahami bahwa bahasa isyarat di era awal perkembangan Islam belum mendapatkan tempat khusus dalam ruang pembicaraan atau pengkajian. Bahasa isyarat menjadi media sekunder bagi bahasa lisan seperti halnya tulisan atau kitabah.

Hal ini agaknya dapat sedikit memberi penjelasan mengapa perhatian para pengkaji Islam di berbagai bidang lebih terfokus pada bahasa lisan. Dalam konteks ilmu Alquran, hal tersebut misalnya terlihat dari cabang-cabang ilmu Alquran yang mayoritasnya berkaitan dengan bahasa lisan, seperti ilmu qiraat tentang dialek dan pengucapan lafaz, dan ilmu tajwid tentang perilaku bunyi dan hukum-hukum huruf.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di era modern saat ini, ketika interaksi menjadi sangat kompleks, penggunaan bahasa isyarat dalam pembacaan Alquran memunculkan polemiknya tersendiri. Dan polemik tersebut mau tak mau harus diselesaikan sekaligus dicarikan solusi hingga tak ada satu pihak pun yang merasa diabaikan.

Jika demikian, adakah solusi penggunaan bahasa isyarat sebagai media pembacaan Alquran telah ditemukan dan sejauh mana implementasinya? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

0
Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan
Bulan Muharam: Bulan Persaudaraan

Keistimewaan bulan Muharam dalam kalender hijriyah bisa dikatakan karena ‘endorse’ langsung dari Nabi Muhammad melalui sebuah hadisnya. Hadis tersebut kemudian oleh para mufasir seperti at-Ṭabarī, Ibn Katsīr, al-Qurṭūbī dan lainnya dijadikan sebagai tafsiran dari surah at-Taubah ayat 36 (ayat yang menginformasikan tentang jumlah bulan dan di antaranya ada empat bulan mulia). Dalam hadis Nabi itu, disebutkan bahwa empat bulan mulia yang dimaksud adalah Ẓul Qa’dah, Ẓul Hijjah, Muḥarram dan Rajab. Konsekuensi dari penamaan bulan mulia ini salah satunya adalah aturan pelarangan perang, karena diketahui bahwa salah satu tradisi (jelek) masayarakat Makkah-Madinah saat itu adalah berperang.

Mendukung status keistimewaan bulan Muharam, ulama yang lain, seperti ‘Abd ar-Raḥmān aṣ-Ṣafūrī dalam Nuzhat al-Majālis wa Muntakhab an-Nafāis, halaman 223, memaparkan tentang peristiwa-peristiwa bersejarah dari para Nabi yang terjadi di bulan Muharam, yaitu Nabi Adam bertaubat; Nabi Nuh dengan kapalnya berlabuh dengan selamat di bukit Judy; Nabi Ibrahim selamat dari kobaran api; Nabi Daud mendapat pengampunan Allah; Nabi Sulaiman mendapatkan kembali kerajaannya; Nabi Yunus keluar dari perut hiu dengan selamat; Nabi Ya’qub dipertemukan dan dikumpulkan kembali dengan Nabi Yusuf; Nabi Isa dilahirkan (ada yang mengatakan juga diangkat ke langit); Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah.

Mengingat, mempelajari dan merenungi kembali kejadian-kejadian baik yang menimpa para Nabi tersebut disemogakan bisa menjadi media tafā’ul (ketularan baik) bagi kita, umat Islam. Hal ini kurang lebih sama dengan mengingat momen-momen perjuangan para pahlawan ketika kita, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan Indonesia dan hari-hari besar nasional lainnya.

Sebagai media ber-tafā’ul, ‘Abd ar-Raḥmān aṣ-Ṣafūrī juga memaparkan beberapa amalan baik yang didasarkan pada hadis Nabi untuk dilakukan di bulan Muharram ini, antara lain membaca doa di awal bulan; puasa (mulai dari puasa pada jumat awal bulan Muharram; puasa tiga hari yakni kamis, jumat dan sabtu, puasa hari ‘āsyurā’ yakni tanggal 10 Muharram dan puasa di hari-hari bulan Muharram lainnya); memperbanyak membaca surah al-Ikhlāṣ; memperbanyak pemberian terhadap keluarga; salat sunah di hari ‘āsyurā’, dan masih banyak amalan baik lainnya.

Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya

Bulan Pertama dalam Kalender Hijriyah

Kalender Hijriyah ditetapkan secara resmi pertama kali oleh Umar bin Khattab (khalifah pada saat itu). Patokannya adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Madinah. Jika menelusuri waktu pelaksanaan hijrah ke Madinah, maka riwayat yang mengisahkan peristiwa tersebut, misal dalam keterangan Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī di kitab Fatḥ al-Bārī, menjelaskan bahwa hijrah ke Madinah itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun kenapa kemudian peringatan hijrah sering diidentikkan dengan bulan Muharam, bahkan Muharam dijadikan bulan pertama dalam kalender hijriyah?

Ibn Ḥajar dalam kitab yang sama juga menyinggung perihal di atas. Memang banyak keterangan yang menyatakan bahwa hijrah Nabi ke Madinah itu terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, namun ternyata niat dan rencana berhijrah itu sudah dibicarakan di pertengahan akhir bulan Dzul Hijjah pada saat Bai’at ‘Aqabah yang kedua. Pada saat itu, hijrah akan diagendakan di bulan berikutnya, yakni bulan Muharram, maka ditetapkanlah bulan ini sebagai bulan pertama kalender hijriyah. Berikut penjelasan Ibn Hajar,

وَإِنَّمَا أَخَّرُوهُ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ إِلَى الْمُحَرَّمِ لِأَنَّ ابْتِدَاءَ الْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ كَانَ فِي الْمُحَرَّمِ إِذِ الْبَيْعَةُ وَقَعَتْ فِي أَثْنَاءِ ذِي الْحِجَّةِ وَهِيَ مُقَدِّمَةُ الْهِجْرَةِ فَكَانَ أَوَّلُ هِلَالٍ اسْتَهَلَّ بَعْدَ الْبَيْعَةِ وَالْعَزْمِ عَلَى الْهِجْرَةِ هِلَالُ الْمُحَرَّمِ فَنَاسَبَ أَنْ يُجْعَلَ مُبْتَدَأ

Para sahabat mengakhirkan awal Hijriyah dari Rabiul Awal ke Muharram karena awal niat hijrah adalah pada Muharram, karena baiat (Aqabah yang kedua) adalah pada pertengahan bulan Dzulhijjah yang merupakan awal dari pelaksanaan hijrah, bulan pertama yang digunakan setelah ikrar dan tekad untuk hijrah adalah bulan Muharram. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya untuk memulainya.

Baca Juga: Asma Putri Abu Bakar, Sahabat dan Mufassir Perempuan yang Berjasa Dalam Hijrah Nabi

Jadilah bulan Muharam identik dengan momen peringatan hijrah Nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Madinah. Banyak hal yang bisa dipelajari dan dipraktikkan oleh umat Islam, khususnya dari peristiwa hijrah, salah satu yang paling utama mungkin adalah keputusan Nabi Muhammad saw. untuk mempersaudarakan golongan Muhajirin dan Ansar.

Muhajirin (orang-orang yang berhijrah) dengan Ansar (penduduk Madinah) pada saat itu dipersaudarakan oleh Nabi Muhammad. Ja’far bin Abī Ṭālib dipersaudarakan dengan Mu’aẓ bin Jabal; Ḥamzah bin ‘Abd al-Muṭṭalib dipersaudarakan dengan Zaid bin Ḥaritsah; Abū Bakar dengan Khārijah bin Zuhair; ‘Umar bin Khaṭṭāb dengan ‘Utbān bin Mālik; ‘Abd ar-Raḥmān bin ‘Auf dengan Sa’d bin ar-Rabī’ dan seterusnya. Dua orang dengan latar belakang kehidupan mereka masing-masing dipersaudarakan oleh Rasulullah saw.

Oleh Syaikh Muḥammad Ṣa’īd Ramāḍān al-Būṭī dalam Fiqh as-Sīrah an-Nabawiyah, langkah Nabi ini dinamakan sebagai tahapan kedua (setelah membangun masjid) dalam membangun pondasi masyarakat Islami. Berdasar pada tuntunan Nabi Muhammad ini, beliau memahami bahwa suatu masyarakat, bangsa dan negara tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya persatuan (masing-masing individu atau kelompok) di dalamnya; sedang persatuan ini tidak akan mungkin terlaksana jika tidak ada rasa persaudaraan dan saling mengasihi di dalamnya.

Oleh sebab itu, sembari memperingati dan merayakan Muharam, kita pelajari dan praktikkan kembali peristiwa-peristiwa yang baik yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. di bulan ini. Kita rayakan bulan Muharam ini dengan perbuatan baik agar menjadi awalan yang baik untuk bulan-bulan berikutnya. Kita rayakan pula bulan Muharam ini sebagai bulan persaudaraan, sebagaimana persaudaraan Muhajirin dan Anṣār yang sukses mengawali peradaban Islami hingga sekarang. Wallah a’lam.

Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)

0
Mushaf Alquran bahasa isyarat edisi Juz'amma
Mushaf Alquran bahasa isyarat edisi Juz'amma

Sekitar bulan September tahun 2022, seorang teman pernah bertanya kepada penulis tentang bagaimana hukum membaca Alquran dengan isyarat tangan. Menurutnya, aktivitas pembacaan Alquran bagi komunitas Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW) atau tuli cukup menimbulkan polemik.

Polemik pembacaan Alquran bagi komunitas tuli muncul seiring dengan lekatnya definisi ‘membaca’ terhadap suara yang berkaitan dengan sensorik rungu (pendengaran). Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas ‘membaca’ komunitas tuli yang condong kepada sensorik netra (mata atau penglihatan).

Seorang teman tadi lantas mengusulkan adanya pendefinisian ulang terhadap aktivitas ‘membaca’ sehingga dapat mengakomodasi pembacaan komunitas tuli. Pertanyaannya kemudian, perlukah hal itu dilakukan?

Baca Juga: Belajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang

Adakah yang Sudah Membahas?

Hasil pencarian singkat yang penulis lakukan di beberapa portal studi Alquran, penulis belum mendapati tulisan yang secara khusus membahas bahasa isyarat sebagai media pembacaan Alquran, paling tidak judul yang mendekati. Tulisan yang penulis dapati justru dalam portal kajian fikih yang sedikit menyinggung masalah bahasa isyarat dan pembacaan Alquran.

Di antaranya tulisan Moh. Juriyanto berjudul Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an dengan Bahasa Isyarat. Sebagaimana judulnya, tulisan ini membahas hukum penerjemahan Alquran dengan bahasa isyarat. Selain itu, ada tulisan yang meskipun tidak menyinggung masalah Alquran, tetapi menyebut aspek bahasa isyarat di dalamnya, yakni tulisan berjudul Hukum Menerjemahkan Khutbah Jumat dengan Bahasa Isyarat dan Bolehkah Orang Bisu Menggunakan Bahasa Isyarat dalam Salat?

Minimnya pembicaraan yang berkisar pada Alquran dan bahasa isyarat, tunarungu, atau topik sejenis agaknya menunjukkan rendahnya minat para pengkaji Alquran ‘populer’. Setidaknya demikian yang penulis dapatkan dari portal-portal online populer, bukan artikel ilmiah berbasis jurnal. Hal ini sekaligus menunjukkan peluang yang cukup besar bagi mereka untuk ‘berbicara’ pada topik-topik tersebut.

Baca Juga: Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah

Apa Itu Membaca?

Dalam bahasa Arab, ada dua diksi yang cukup populer digunakan sebagai terjemah dari ‘membaca’. Dua diksi tersebut adalah qara’a-qira’ah dan talā-tilāwah. Di beberapa kamus lughah, diksi qara’a-qirā’ah memiliki arti al-jam‘ dan al-dlamm yang berarti mengumpulkan. Syaikh Abu al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukrim ibn Mandhūr dalam Lisān al-‘Arab menyebutkan, “Segala sesuatu yang kamu kumpulkan maka kamu qara’a-qira’ah”.

Sementara diksi talā memiliki arti tabi‘, yakni mengikuti hingga dapat menyusul. Talā dengan bentuk nomina tilāwah -dengan dibaca kasrah huruf ta’-nya- memiliki arti yang sama dengan qara’a-qira’ah. Ia juga dapat berarti ‘umum al-kalam atau menyebarluaskan suatu pembicaraan.

Perbedaan makna dua diksi tersebut terlihat misalnya dalam kajian Living Qur’an. Qara’a-qirā’ah lebih menekankan pada aspek pemahaman atau understanding. Hal ini disebabkan kandungan arti tadabbur di dalamnya. Sementara ta-tilāwah lebih kepada pengamalan atau action karena kandungan arti tabi‘ atau ittiba‘ dalam arti harfiahnya. Demikian setidaknya penjelasan Abdul Mustaqim menukil dari Al-Rāghib al-Ashfihānī dalam Mu‘jam Mufradāt Alfā al-Qur’ān.

Dari dua diksi yang ada tersebut, nama Alquran (al-qur’an) diambil dari bentuk qara’a-qira’ah. Hal ini merujuk pada pendapat paling masyhur mengenai asal penamaan Alquran. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa Alquran merupakan nama yang memang dari awal peletakannya (‘alam murtajal) diperuntukkan bagi Alquran; atau menyebutkan bahwa nama Alquran berasal dari diksi qarn atau qarana; dan lain sebagainya.

Karena terbentuk dari akar kata qara’a-qira’ah, Alquran secara literal dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikumpulkan, mengikuti definisi model tasmiyah al-maf‘ul bi al-mashdar. Dalam konteks Alquran, sesuatu yang dikumpulkan tersebut adalah huruf dan kata.

Penggunaan diksi qara’a-qira’ah sebagai akar kata nama ini juga menjadi alasan mengapa pencarian terhadap arti kata qara’a-qira’ah dalam beberapa kamus lughah Arab justru mendapati definisi Alquran dituliskan di bagian awal, misalnya pada Lisān al-‘Arab atau Al-Qamūs al-Muhīth karya Al-Fairūzabadī.

Jika melihat definisi literal kata qara’-qira’ah, maka aktivitas ‘membaca’ pada dasarnya tidak terkhusus pada sensorik rungu saja, melainkan pada bentuk sensorik apapun selama itu dapat ‘mengumpulkan’ huruf dan kata yang dibaca, sehingga bahasa isyarat mestinya dapat terakomodasi dalam ragam media pembacaan Alquran.

Lantas, mengapa selama ini aktivitas pembacaan (qira’ah) Alquran selalu identik dengan sensorik rungu?

Baca Juga: Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an: Riwayat, Ilmu Qira’ah dan Tajwid

Tajwid al-Huruf

Dalam salah satu hadis Nabi yang dikutip oleh al-Suyūṭī dalam al-Jāmi‘ al-aghīr, yang ia nisbatkan kepada al-Ṭabrānī dalam Al-Awsa dan Al-Baihaqī dalam Syu‘ab al-Īmān, disebutkan,

اقْرَأُوْا القُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُوْنَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَأَهْلِ الفِسْقِ، فَإِنَّهُ سَيَجِئُ بَعْدِيْ قَوْمٌ يُرَجِّعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيْعَ الْغِنَاءِ وَالرُّهْبَانِيَّةِ، لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ مَفْتُوْنَةٌ قُلُوْبُهُمْ وَقُلُوْبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنَهُمْ.

“Bacalah Alquran dengan logat (lahn) Arab dan suara-suaranya. Takutlah kalian akan logat dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang fasiq. Sesungguhnya sepeninggalku nanti akan ada kaum yang mendendangkan bacaan Alquran sebagaimana dendangan para rahib dan para peratap. Tidaklah bacaan mereka itu melewati kerongkongan mereka. Hati mereka terfitnah, demikian juga hati orang-orang mengagumi perilaku mereka.”

Terlepas dari sahih tidaknya hadis tersebut, ada setidaknya tiga diksi yang mengidentikkan aktivitas ‘membaca’ dengan sensorik rungu, yakni lahn, shaut, dan tarji‘. Cakupan makna dari tiga diksi tersebut berkisar di antara dialek, cara pengucapan kata, bunyi yang keluar dari mulut, bunyi bahasa, dendangan dan sejenisnya. Hal ini berarti bahwa bahkan di era awal penurunannya, Alquran telah diidentikkan dengan sensorik rungu.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pada era berikutnya, pembahasan mengenai ‘membaca’ Alquran selalu identik dengan sensorik yang sama. Dalam beberapa literatur ilmu tajwid, maqalah dari ‘Ali r.a berikut ini menjadi pondasi awal selain hadis Nabi di atas. Maqalah ini pula yang kemudian diejawantahkan menjadi beberapa kajian turunan dalam ilmu tajwid dan ilmu qiraat.

هُوَ تَجْوِيْدُ الْحُرُوْفِ وَمَعْرِفَةُ الْوُقُوْفِ

“Yakni tajwid (memperindah) huruf-hurufnya dan mengetahui waqf”

Lalu, bagaimana proses identifikasi tersebut terjadi dan bagaimana persinggungannya dengan bahasa isyarat? Wallahu a‘lam bi al-shawab.