Beranda blog Halaman 57

Menjeda Ayat-Ayat Perang

0
Menjeda ayat-ayat perang_tafsir surah Muhammad ayat 4
Menjeda ayat-ayat perang_tafsir surah Muhammad ayat 4

Pada prinsipnya, setiap agama mengajar-anjurkan kepada pemeluknya untuk menunaikan kebaikan. Dalam agama Islam sendiri, melalui Alquran dan suri teladan Kanjeng Nabi Muhammad saw., ayat-ayat perdamaian lebih mendapat perhatian mendalam ketimbang ayat-ayat perang.

Kendati demikian, ayat-ayat perang sampai hari ini oleh sebagian muslim masih dijadikan sebagai prinsip dalam menunaikan laku keseharian. Hal ini tidak salah, mengingat Alquran sendiri juga bisa diposisikan sebagai pedoman hidup. Satu hal yang menjadi persoalan adalah, ketika ayat-ayat perang itu digunakan tidak sesuai dengan porsi dan proporsinya yang pas.

Misalnya, surah Muhammad [47] ayat 4:

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Maka, apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang). Akan tetapi, Dia hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Orang-orang yang gugur di jalan Allah, Dia tidak menyia-nyiakan amal-amalnya.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ayat ini dirasa kurang relevan jika diterapkan di negeri kita dengan sekian fakta keragaman yang ada. Di samping memang, banyak mufasir yang memaknai kata ‘bertemu’ dalam ayat tersebut bukan bertemu dalam rangka hidup bersosial-budaya, tetapi ‘bertemu’ saat di medan perang. Maka bertemu lantas membunuh, hanya boleh dilakukan dalam konteks berperang. Selainnya, kita, umat Islam harus menghargai hak dan martabat mereka yang non-muslim sebagai manusia yang utuh.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2002) malah menggarisbawahi ayat tersebut bukan sebagai ayat perang, tetapi sebagai ayat yang memberi alternatif pilihan kepada penguasa kaitannya dengan tawanan; membebaskan dengan tebusan atau tanpa tebusan. Dari sini terlihat bahwa, Quraish Shihab sendiri memilih mengamini pendapat ulama yang melarang membunuh tawanan.

Satu ayat lagi yang kerap dijadikan dalil bernilai pahala ihwal perang ialah surah at-Taubah [9] ayat 5. Sederhananya, ayat tersebut membolehkan umat Islam untuk membunuh mereka yang menyekutukan Allah. Hanya saja jika mereka mau bertaubat dengan meng-Esakan-Nya, maka laku membunuh itu mesti diurungkan.

Lina Aniqoh dalam artikelnya, Reinterpretasi Ayat-Ayat “Kekerasan”: Upaya membangun Islam Moderat (2018) berpendapat bahwa, fokus ayat ini bukan membunuh, tetapi ada pada pemberian kebebasan. Artinya, para musyrikin di masa itu, diberi kesempatan untuk mendengarkan dakwah yang utuh dari Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau pun nanti mereka tidak mau menauhidkan diri sesuai ajaran Islam, maka mereka tetap peroleh keamanan jiwa dan bebas untuk memeluk keyakinannya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Lawan Arah Ayat-Ayat Perang: Membaca Realitas Historis

Pembacaan yang moderat terhadap ayat-ayat perang semacam ini, saya rasa tidak terlepas dari pertimbangan historis ajaran Islam, sejak usia belia sampai dewasa ini. Pengikut Islam melulu bersinggungan, bahkan juga berelasi secara positif dengan penganut agama lainnya. Sebut saja Piagam Madinah yang mengakomodasi tidak hanya kepentingan pengikut ajaran Islam pada masanya, tetapi juga penganut agama selain Islam.

Di masa selanjutnya, Dinasti Abasiyyah misalnya. Dinasti yang kerap disanjung dengan sekian kemajuan ternyata juga tidak lepas dari relasi positif dengan penganut agama lain: Kristen, Yahudi, dan Majusi. Mun’im Sirry dalam bukunya, Koeksistensi Islam-Kristen (2022), dengan mengutip pendapat dari Ibn Khalikan di kitabnya, Wafayat al-A’yan menjelaskan bahwa, ada beberapa nama penganut agama lain yang diberi posisi strategis di masa Dinasti Abasiyyah. Salah satunya Fadhl bin Marwan.

Fadhl sendiri merupakan seorang Kristen yang bergabung di pemerintahan Abasiyyah pada masa al-Ma’mun. Kemudian di masa al-Mu’tashim, Fadhl diangkat sebagai wazir. Semacam orang nomor dua di pemerintahan Abasiyyah setelah posisi khalifah. Saking terampil dan cerdasnya, semua hal ada di bawah kendali Fadhl, tetapi Fadhl malah dinilai memiliki kekuasaan melebihi khalifah. Akhirnya dia pun diberhentikan oleh al-Mu’tashim.

Kisah di atas hanya jadi contoh konkret bahwa, ayat-ayat perang tidak melulu jadi pertimbangan awal saat bersua dengan mereka yang bukan pemeluk Islam. Ayat-ayat itu tetap terbaca dan berpahala, hanya pengejawantahannya tidak boleh sembarangan. Terlebih kondisi aktual umat Islam hari ini yang sudah bersinggungan dengan banyak orang dengan segenap keyakinannya. Saya sendiri mufakat dengan pernyataan KH Abdurrahman Wahid, “Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah”. Wallah a’lam.

Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 3)

0
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah

Pada saat sahabat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, umat Islam mengalami banyak kemajuan terutama dalam hal perluasan wilayah kekuasaan. Dengan sikap tegas dan kejeniusannya dalam memimpin negara dan agama, beliau menjadi figur pemimpin ideal yang tercatat memiliki segudang prestati dan inovasi gemilang dalam dunia Islam.

Salah satu keberhasilan yang tercapai pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab r.a. adalah penaklukkan besar di daerah Irak dan Syam. Penaklukkan daerah-daerah tersebut memberikan keuntungan besar kepada umat Islam terutama pasukan yang turut serta dalam proses tersebut. Mereka akan mendapatkan harta ghanimah dari harta kekayaan pasukan musuh yang kalah dalam perang.

Baca Juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

Ketentuan Pembagian Harta Ghanimah

Harta ghanimah secara sederhana dapat diartikan sebagai harta rampasan perang. Setelah peperangan usai dan dimenangkan oleh pasukan Islam, harta benda yang berhasil didapatkan dari pasukan musuh yang kalah perang menjadi hak umat muslim. Ketentuan distribusi harta ghanimah ini dijelaskan dalam Alquran, surat al-Anfal ayat 41,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  [الأنفال: 41]

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” Q.S. al-Anfal [8]: 41

Ayat di atas menjelaskan mekanisme pendistribusian harta rampasan perang. Pertama, harta rampasan perang yang sudah terkumpul disisihkan seperlima untuk dibagikan kepada golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut; Allah swt. (agama dan kemaslahatan umum), RasulNya, keluarga Nabi, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil (musafir). Kemudian sisanya menjadi hak para prajurit perang. Infanteri memperoleh satu bagian sedangkan kaveleri mendapatkan 2 bagian (menurut sebagian riwayat 3 bagian). [Tafsir Ayat al-Ahkam li al-Sayis, juz 1, hal. 433]

Baca Juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

Keputusan Khalifah Umar r.a. Terkait Status Tanah Ghanimah

ketika Kota Khaibar ditaklukkan oleh pasukan muslim, Rasulullah saw. membagi-bagikan harta ghanimah kepada para pasukan perang termasuk tanah Khaibar itu sendiri. Pendistribusian tanah rampasan perang juga sesuai dengan keumuman ayat 41 surah al-Anfal. Peristiwa pembebasan atau penalukkan wilayah juga terjadi secara besar-besaran pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra.

Ahmad Syalabi dalam kitab Mausuah al-Hadharah al-Islamiyah mengisahkan bahwa ketika daerah Syam berhasil ditaklukkan, Abu Ubaidah mengirim surat kepada sang Khalifah. Dalam suratnya itu Abu Ubaidah menyampaikan keinginan para pasukan perang agar khalifah segera membagi-bagikan tanah Syam kepada pasukan yang ikut serta dalam proses penaklukkan.

Ternyata, Khalifah Umar bin Khattab r.a. tidak mengamini keinginan mereka. Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, beliau memutuskan untuk tidak membagikan tanah taklukkan kepada veteran perang, melainkan dikuasai oleh negara. Tanah tersebut kemudian diserahkan kepada pemilik semula atau kepada orang yang sanggup mengelolanya dengan catatan mereka akan membayar sejumlah harta yang diistilahkan sebagai kharaj.

Secara sederhana, kharaj dapat diartikan sebagai pajak tanah. Menurut Imam al-Mawardi, kharaj adalah sesuatu yang dibebankan atas tanah dan dibayarkan dari hasil tanah tersebut. [Al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 227].

Keputusan untuk memberlakukan kharaj ini merupakan inovasi besar yang berhasil dilakukan Khalifah Umar bin Khattab r.a. demi mewujudkan kemaslahatn umum, beliau bersikukuh dengan hasil ijtihadnya tersebut meskipun tidak sedikit kalangan yang kontra terhadapnya.

Baca Juga: Penafsiran Umar bin Khattab sebagai Dasar Model Tafsir Kontekstual menurut Abdullah Saeed

Sebagai seorang khalifah yang visioner, beliau memiliki proyeksi dan pandangan jauh ke depan. Di bawah kekuasaannya, umat Islam telah mengalami kemajuan pesat dalam berbagai aspek, termasuk dalam hal kekuatan militer. Sistem negara juga telah terbentuk dengan cukup rapi pada masa kekhalifahan beliau, sehingga segala jenis kegiatan kenegaraan termasuk peperangan dan penaklukkan semuanya dibiayai oleh negara. Dengan kondisi seperti ini, beliau berpandangan bahwa akan lebih baik jika tanah-tanah taklukkan tidak dibagikan kepada para pasukan perang sebagaimana harta ghanimah lainnya, melainkan tetap dikuasai oleh negara.

Selain itu, alasan Umar bin Khattab r.a. tidak membagikan tanah-tanah taklukan kepada pasukan perang demi kepentingan jangka panjang. Tanah yang dikuasai oleh pemerintah diproyeksikan sebagai aset produktif yang secara berkala akan memberikan pemasukan kepada negara.

Kharaj yang menjadi sumber pendapatan negara tersebut kemudian akan menjadi kekayaan negara yang dapat dialokasikan untuk kepentingan orang banyak. Jika ini berjalan lancar bukan hanya generasi pada masa itu, melainkan generasi setelahnya juga akan mendapatkan manfaat dari hasil aset produktif tersebut.

Keputusan Khalifah Umar bin Khattab r.a. terkait alokasi tanah taklukan yang sepenuhnya dipegang negara tidak bertentangan dengan ayat Alquran di atas. Dalam hal ini, ulama memang memiliki pandangan yang berbeda terkait jenis harta ghanimah yang pendistribusiannya sesuai ayat tersebut.

Menurut Ulama Syafiiyah, ayat tersebut berlaku umum mencakup seluruh harta yang diperoleh dari pasukan musuh yang kalah perang, termasuk tanah atau wilayah yang mereka huni. Sedangkan menurut Mazhab Maliki, harta ghanimah yang tersebut dalam ayat diatas hanya khusus pada harta/aset bergerak. Tanah atau aset tak bergerak tidak masuk sebagai harta ghanimah yang harus dibagi-bagikan kepada pasukan perang. [Al-Jami li Ahkam al-Quran, juz 8, hal. 4-5]

Dari sini, dapat diambil benang merah bahwa keputusan yang diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. sama sekali tidak bertentangan dengan nas Alquran atau sunnah Nabi. Alih-alih mengabaikan nas, kebijakan yang diambil Umar bin Khattab r.a. justru memadukan antara teks dan konteks demi menggapai maslahat umum yang lebih besar. Wallah a’lam.

Al-Futuwwah dan Urgensinya: Refleksi Surah Alkahfi [18]: 13

0
Al-Futuwwah dan Urgensinya: Refleksi Surah Alkahfi [18]: 13
Al-Futuwwah dan Urgensinya: Refleksi Surah Alkahfi [18]: 13

Salah satu persoalan yang dihadapi oleh generasi hari ini adalah melemahnya ikatan-ikatan moral agama, kebudayaan dan sosial yang berdampak pada degradasi moral. Realitas faktual itu, menurut Shriya Agnihotri merupakan isu yang sangat mengkhawatirkan. Terlebih didukung oleh berkembangnya media digital yang dibanjiri dengan konten-konten yang tidak selalu baik, generasi muda tidak boleh gamang dan bimbang. Idealnya mereka hidup dalam idealisme-idealismenya, yang bersandar pada nilai-nilai luhur, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama. Berkenaan dengan hal tersebut, Alquran mengajukan satu konsep nilai, yaitu “al-futuwwah” (keperwiraan) pada QS. Al-Kahf [18] ayat 13.

Baca Juga: Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

Makna al-Futuwwah Menurut Tafsir Sufistik

Alquran memberi sifat al-futuwwah terhadap pemuda-pemuda yang berada di gua (Ashab al-Kahf), seperti tergambarkan dalam QS. Alkahfi [18]: 13:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَاَهُمْ بِالْحَقِّۗ اِنَّهُمْ فِتْيَةٌ اٰمَنُوْا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنٰهُمْ هُدًىۖ

Kami menceritakan kepadamu (Nabi Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami menambahkan petunjuk kepada mereka.

Ayat ini berkategori kisah, yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai bentuk pengajaran dari Allah. Kata al-futuwwah adalah derivasi dari kata fityah yang berarti para pemuda. Bin Jabbar Samiyah Amar Jidel dalam al-Tathawwur al-Dalali Li Mushthalah al-Futuwwah Fi al-Adab al-Shufi (h. 417-418) mendefinisikan al-futuwwah sebagai al-kabir min al-syabab (titik puncak dari masa muda) yang dinisbatkan kepada Ashab al-Kahf dengan merujuk pada ayat tersebut di atas.

Lebih lanjut, Bin Jabir menambahkan karakteristik pemuda yang dimaksud adalah memiliki tubuh yang kuat dan pandangan yang futuristik. Mereka berani mengambil inisiatif, pro-aktif terhadap berbagai persoalan yang berat, untuk menyelesaikannya, mereka akan melakukan yang terbaik. Mereka juga memiliki kedermawanan, kemuliaan dan independensi. Sebagaimana tafsir sufi yang juga menekankan makna batin, selain makna lahir dari ayat-ayat Alquran.

Fityah dalam konteks ayat ini tidak hanya dimaknai secara literal sebagai subjek, yakni para pemuda. Tetapi juga dimuati dengan makna batin dalam bentuk sifat-sifat mulia yang tersimpul dalam kata al-futuwwah. Para pemuda (fityah) dalam ayat ini merujuk pada Ashab al-Kahfi, sifat-sifat mulia tersemat pada mereka. Para mufasir-sufi mengidealkan mereka dan menyematkan al-futuwwah sebagai sifat yang melekat pada mereka. Untuk alasan itulah kiranya, konsep al-futuwwah ini diusung oleh para mufasir-sufi seperti Imam al-Sulami dan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.

Baca Juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran

Menurut Imam al-Sulami dalam Haqa‘iq al-Tafsir (h. 857), al-futuwwah adalah benarnya perkataan dan janji, beriman dengan sebenarnya, keadaan batin yang sejalan dengan sikap lahir (yang terlihat), berpegang teguh pada hukum-hukum syariat dan sunah Nabi, hati yang luas dan akhlak yang baik. Secara khusus, dalam kitab al-Muqaddimah fi al-Tashawwuf (h.9), Imam al-Sulami memperinci makna al-futuwwah sebagai sifat keperwiraan yang ditandai dengan menjaga lima perkara, yaitu: memiliki sifat amanah, memelihara kehormatan, jujur, memiliki rasa persaudaraan yang baik dan berusaha terus menerus memperbaiki hati.

Kualitas personal para pemuda yang memiliki futuwwah dijelaskan pula oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (jilid 3, h. 60), menurutnya, al-futuwwah tersemat pada para pemuda Ashab al-Kahf. Hal itu terlihat dalam budi pekerti yang mereka miliki. Selain akhlak yang mulia, orang-orang dengan sifat keperwiraan juga memiliki kualitas intelektual yang baik (‘aql al-kamil) dan memperoleh bimbingan Allah (al-rusyd al-tam).

Dengan kapasitas itu, mereka mampu melihat segala fenomena dengan pemikiran yang mendalam (al-ta‘ammul), dan dari pandangan itulah mereka merenungi segala kebesaran, kemuliaan dan kesempurnaan sifat-sifat Allah (al-tadabbur). Berdasarkan dua tafsir di atas, dapat dipahami bahwa al-futuwwah adalah karakter ideal. Realitas itu bahkan dinyatakan dalam sejarah melalui sekelompok pemuda yang menjaga idealismenya (Ashab al-Kahf) dalam keimanan kepada Allah.

Menuju Pribadi Yang Tercerahkan

Pemuda yang memiliki al-futuwwah adalah pemuda yang tercerahkan. Untuk mencapai kepribadian yang tercerahkan itu, kedua tafsir di atas mengisyaratkan dua cara, yaitu melalui jalan al-ladunni (anugerah Allah) dan al-kasbi (perolehan yang diusahakan). Jalan laduniyyah diisyaratkan melalui kalimat “kami menambahkan petunjuk kepada mereka”. Petunjuk Allah dalam narasi sufistik dapat berupa pancaran cahaya ketuhanan (Nur Ilahiyyah) dan pandangan mata hati yang tajam (bashirah/vision) dalam keimanan seperti dikatakan oleh Imam al-Tusturi dalam Tafsir al-Tusturi (h. 97).

Selain jalan anugerah Allah, untuk menjadi pribadi yang tercerahkan dapat ditempuh dengan jalan perolehan yang diusahakan, yaitu melalui komitmen dalam keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, memiliki kebaikan lahir dan batin, jujur dalam pikiran dan tindakan serta memaksimalkan fungsi akal dan dan hati dalam merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah (al-ta‘ammul wa al-tadabbur).

Baca Juga: Surat Yusuf Ayat 23-25: Seruan Kisah Pemuda (Nabi Yusuf) Ketika Keluar dari Zona Nyaman

Ashab al-Kahf dan sifat al-futuwwah, menurut Imam Ahmad bin ‘Umar dalam tafsir al-Ta‘wilat al-Najmiyyah fi Tafsir al-Isyari al-Shufi (Jilid 4, 121), merupakan orang-orang yang beriman dengan penyelidikan dalam mencapai kebenaran, bukan dengan taklid. Ashab al-Kahf digambarkan sebagai kelompok pemuda yang mencari jalan petunjuk Allah sesuai dengan pandangan dan tekad mereka. Dalam petunjuk Allah pada mereka, terdapat keutamaan dan kemuliaan.

Urgensi Al-Futuwwah

Konsep al-futuwwah bagi generasi muda bangsa Indonesia sangat urgen. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan proyeksi berdasarkan tren, akan terjadi peningkatan jumlah penduduk Indonesia mencapai 328,93 juta jiwa pada tahun 2050. Proporsi penduduk dengan usia 15-64 tahun diproyeksi mendominasi hingga 64,88 % dari total populasi pada 2050. Artinya, Indonesia akan memiliki kelompok produktif yang diharapkan mampu memberikan perubahan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia.

Dalam konteks bonus demografi Indonesia dan berdasarkan pemaparan para ulama sebelumnya berkenaan dengan al-futuwwah, setidaknya pemuda dengan sifat al-futuwwah akan memiliki tiga kualitas kepribadian, yaitu: kualitas spiritual, mental dan sosial. Secara spiritual, al-futuwwah bagi pemuda ditandai dengan keimanan, ketaatan dalam ibadah dan kehidupan yang berorientasi menuju Tuhan.

Selain itu, kualitas mental mereka dalam keadaan seimbang yang dicitrakan dengan perwujudan akhlak yang baik, termasuk di dalamnya kejujuran. Yang terakhir, pemuda yang memiliki al-futuwwah dalam diri mereka akan cenderung bekerjasama dan berkolaborasi dalam kebaikan, seperti ditunjukkan oleh Ashab al-Kahf. Yang terakhir, dengan keimanan mereka juga berusaha memberikan pengaruh-pengaruh baik kepada orang lain.

Dengan demikian, al-Futuwwah memiliki relevansinya dengan perubahan mentalitas generasi muda. Jika sifat dan sikap itu diimplementasikan secara masif oleh generasi muda dalam berbagai bidang, maka Indonesia berpotensi menjadi negara maju dan sejahtera. Hal itu dikarenakan, karakteristik al-Futuwwah yang menjadi antitesis dari kebohongan dan ketidakadilan. Dengan al-Futuwwah, seseorang akan cenderung untuk bersikap anti korupsi, mencintai kebenaran, menegakkan keadilan dan bijaksana. Melalui sumber daya manusia dengan karakteristik tersebut, Indonesia akan mencapai perubahan yang menyeluruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.

Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

0
Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran
Ilustrasi keruntuhan bangsa-bangsa terdahulu.

Di dalam Alquran terdapat banyak kisah yang dapat diambil hikmahnya. Kendati hikmah yang didapat itu, tidak bisa stagnan, menyeluruh, dan belum final. Hal ini lantaran hikmah dari kisah-kisah Alquran selalu peroleh interpretasi yang segar, baru, dan beragam dari pembaca muslim atau nonmuslim dengan latar belakang, kepentingan, dan kondisi aktual yang berbeda-beda. Pada titik ini, saya rasa Alquran membuktikan bahwa keberadaannya sebagai kitab suci, selalu relevan sampai nanti akhir zaman.

Misalnya saja kisah tentang keruntuhan bangsa-bangsa superior di masa silam: kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan Firaun yang direkam dalam surah Al-Fajr (89) di ayat 6-13. Dalam sejarah, ketiga kaum ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi peradaban umat manusia.

Kaum ‘Ad dengan kondisi bangsa yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam. Kemudian kaum Tsamud yang diriwayatkan menjadi penerus dari kaum ‘Ad. Kaum Tsamud sendiri menjadi kaum yang dinilai cukup kreatif karena ahli dalam seni memahat. Mereka memotong batu besar di lembah, memahatnya, dan menjadikannya sebagai istana. Terakhir adalah kaum Firaun atau Ramses II. Mereka merupakan kaum berperadaban tinggi. Mereka memiliki ahli teknokrat, akademisi, ekonom, sampai peramal dan tukang sihir yang membuat kaum Firaun di masa itu sangat superior.

Hanya saja kaum dari bangsa yang superior pada masanya itu, dikisahkan dalam Alquran peroleh kehancuran. Warisannya sampai hari ini hanya berbentuk cerita dan puing-puing yang mewakili masa keemasannya. Kenapa demikian?

Penyebab Keruntuhan Bangsa-Bangsa

Hidayatullah Ismail dan Nasrul Fatah dalam telaahnya di artikel Sebab Keruntuhan Suatu Bangsa (2018), mengidentifikasi ihwal penyebab keruntuhan bangsa-bangsa tersebut. Identifikasi itu didasarkan pada dua hal; teologis dan sosiologis.

Dari sisi teologis, ambruknya ketiga bangsa itu lantaran kepemilikan sikap arogan pada ajaran tauhid yang dibawa nabi-nabi pada zamannya. Rata-rata kaum dari ketiga bangsa itu menilai bahwa, mereka telah berdaya tanpa adanya ajaran tauhid. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, penodaan agama melalui simbol-simbol tertentu juga dilakukan oleh ketiga bangsa itu.

Baca juga: Kehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16

Selanjutnya dari sisi sosiologis, ketiga kaum ini pada dasarnya merupakan bangsa maju dengan segenap pengetahuan yang dimiliki pada masanya. Hanya saja karena hal itulah, mereka menjadi pongah. Seakan-akan pengetahuan yang hanya dititipkan itu, dapat membuat hidup mereka abadi dan berjarak dengan ragam penderitaan. Mereka luput dalam menyadari itu.

Selain itu, khususnya masa kepemimpinan Ramses II, merupakan prototipe dari kepemimpinan yang tirani. Saking tiraninya, ia emoh ada bayi laki-laki yang lahir lantas menjadi ancaman dari tahta yang ia duduki. Kendati begitu, dalam cerita yang sampai ke telinga orang-orang hari ini, Ramses II dengan sekian kemajuan yang dimilikinya juga ambruk oleh Nabi Musa.

Peran Sentral Pemimpin

Sebagai kitab yang lengkap, Alquran tidak hanya berisi kisah terdahulu sebagai pelajaran umat manusia hari ini. Alquran sendiri juga memberi rambu-rambu ihwal bangsa yang sehat. T. Mairizal dalam artikelnya, Stabilitas Pemerintahan dalam Perspektif Alquran (2018), menemukan ada beberapa tips agar sebuah bangsa bisa berjalan dengan menegasikan atau meminimalisasi kekacauan sekaligus bisa memberi kemanfaatan bagi para warganya. Tips ini diinterpretasikan dari surah An-Nisa (4): 58-59.

Pertama, pemimpin yang menunaikan amanat. Artinya, pemimpin mesti bisa menjamin hak-hak dari setiap warganya. Selanjutnya, pemimpin yang berupaya dengan keras memberi keadilan hukum, tanpa pilih kasih. Mereka yang salah mesti peroleh hukuman sesuai kadar kesalahan yang dilakukan, sekalipun yang salah adalah orang terdekatnya.

Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Alquran

Kemudian, perbedaan pendapat atas sesuatu perkara merupakan hal yang lumrah. Di ayat tersebut, pemimpin mesti “mengembalikannya” ke Alquran dan teladan Kanjeng Nabi jika mufakat tidak ditemukan. Saya rasa “kembali ke sumber” ini tidak semata-mata tekstual; tetapi juga mesti memahami konteks di masa lalu dan masa sekarang.

Hal itu lantaran seperti yang saya sebut di awal, selain Alquran itu memang relevan sampai akhir zaman, jika “kembali ke sumber” ini hanya tekstual semata, maka konklusi yang ditemukan malah akan mereduksi suatu perkara. Alih-alih memberi solusi, malah bisa memicu munculnya perkara lain.

Baca juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Memungkasi ini saya kira memang sangat pas jika Alquran diposisikan sebagai pedoman. Karena di dalamnya ada banyak sekali rekaman peristiwa yang, jika digali mendalam, maka nilai-nilai yang ditemukan tidak pernah usang. Sekian.

Tasbih Langit dan Bumi (Bagian I): antara Hakikat dan Majas

0
Tasbih langit dan bumi
Tasbih langit dan bumi

Tasbih dan tahmid menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari orang beriman. Kita meyakini dengan bertasbih mengingat Allah akan muncul berbagai kebaikan dalam hidup. Tasbih dianjurkan oleh Nabi saw., bahkan disebutkan akan memperoleh timbangan pahala yang berat dan dicintai oleh Allah yang Maha Pengasih. Tak hanya manusia, terdapat satu ayat yang secara zahir menyebutkan bahwa langit dan bumi beserta isinya bertasbih kepada Allah, yakni dalam surah Alisra’ ayat 44.

تُسَبِّحُ لَهُ السَّماواتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَاّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كانَ حَلِيماً غَفُوراً

“Tujuh langit dan bumi beserta seisinya bertasbih kepada-Nya. Dan tiadalah sesuatu kecuali bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Pengertian Maha Pengampun.”

Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam memaknai ayat di atas. Pendapat pertama berpegangan pada zahir teks dan menyebutkan bahwa segala hal bertasbih secara hakikat. Adapun pendapat kedua menyebutkan bahwa tasbih di atas adalah majas karena konteks ayat yang membincang kaum musyrikin.

Hakikat Alam Raya Bertasbih: Riwayat-riwayat Pendukung

Imam al-Baghawi dalam tafsir beliau Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, mengutip beberapa riwaya untuk menjelaskan tafsir ayat di atas. Riwayat dari Ibn Abbas disebutkan bahwa tiada sesuatu yang hidup kecuali bertasbih dengan memuji-Nya. Qatadah menyebutkan bahwa yang bertasbih adalah hewan-hewan dan tumbuhan. Ikrimah mengatakan bahwa pohon-pohon bertasbih sementara tiang pasak tidak bertasbih.

Adapun al-Miqdam bin Ma‘d secara lebih spesifik menyebutkan bahwa debu yang tidak basah bertasbih dan ketika terbasahi, ia tidak bertasbih lagi. Batu rubi bertasbih saat belum terangkat dari tempatnya. Ketika sudah diangkat, ia tidak lagi bertasbih. Dedaunan bertasbih ketika masih berada di pohonnya. Ketika gugur, ia berhenti bertasbih. Baju yang kita pakai bertasbih selama ia masih bagus. Ketika telah lusuh, ia berhenti bertasbih. Air yang mengalir bertasbih. Ketika berhenti, maka ia tidak lagi bertasbih. Binatang buas bertasbih ketika lapar. Apabila telah berhenti berburu, maka ia tidak bertasbih.

Baca juga: Penjelasan Al-Quran tentang Fenomena Alam Semesta Bertasbih kepada Allah

Ibrahim al-Nakhai meyebutkan bahwa benda-benda mati bertasbih memuji-Nya termasuk palang pintu dan langit-langit atap. Mujahid menyatakan bahwa segala sesuatu baik yang hidup atau mati pun bertasbih kepada Allah.

Imam al-Baghawi juga mengutip riwayat yang marfuk dari Abdullah ibn Mas’ud,

“Kami menganggap ayat-ayat sebagai berkah dan kalian menganggapnya sebagai teror. Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan ketika sangat sedikit persediaan air yang dibawa. Beliau katakan, “carilah kelebihan air.” Orang-orang pun memberikan beliau wadah yang berisi sedikit air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah kemudian berkata, “hiduplah atas kesucian yang memberkahi dan keberkahan dari Allah.” Sungguh, aku melihat air mengalir dari sela-sela jari Rasulullah saw. Sungguh kami mendengar tasbih makanan saat disantap.”

Baca juga: Hubungan Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Surah Albaqarah Ayat 30

Imam al-Baghawi menggarisbawahi bahwa Allah juga meletakkan ilmu pada benda-benda mati yang tidak diberikan kepada selainnya. Oleh karenanya beliau memaknai, akan tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka, yakni kalian tidak mengetahui tasbih dari sesuatu yang tidak menggunakan bahasa atau lisan kalian.

Sayangnya, al-Baghawi tidak menjelaskan lebih lanjut terkait pemaknaan frasa halim dan ghafur yang ada di akhir ayat ini. Berbeda dengan ketika beliau manfasirkan surah Alfurqan ayat 41 yang juga disebutkan kata halim. Di tafsir ayat tersebut beliau menjelaskan bahwa langit ingin menghukum orang-orang kafir namun Allah mencegah runtuhnya langit karena Pemurah dan Pengampunnya sehingga tidak disegerakan hukuman itu. Oleh al-Baghawi, halim dan ghafur tidak dijelaskan signifikansinya pada ayat ini.

Tasbih Semesta sebagai Majas: Konteks Ketidakpahaman Kaum Musyrikin

Berbeda dengan al-Baghawi di atas, menurut imam al-Razi signifikansi kata halim dan ghafur adalah untuk menunjukkan Pemurah dan Pengampunnya Allah terhadap dosa orang-orang musyrikin yang enggan memahami tasbih. Oleh karenanya, al-Razi tidak sepakat jika disebutkan bahwa benda-benda mati bertasbih karena jika dimaknai demikian, maka tidak ada dosa dalam ketidakpahaman akan tasbih yang menjadikan kata halim dan ghafur tidak signifikan.

Imam al-Razi menggarisbawahi bahwa yang hidup yang mukalaf bertasbih kepada Allah dengan dua cara. Pertama, yakni dengan perkataan lisan subhanallah. Kedua, dengan segala hal terkait ihwal pengesaan kepada Allah, mensucikan, dan memuliakan-Nya.

Adapun makhluk yang bukan mukalaf seperti hewan ataupun benda-benda yang tidak hidup, mereka hanya dapat bertasbih kepada Allah dengan cara kedua. Alasannya karena tasbih dengan cara pertama tidak dapat dicapai kecuali dengan pemahaman, ilmu, pengetahuan, dan kemampuan berbicara hal-hal yang muhal dilakukan oleh hewan ataupun benda-benda mati. Oleh karenanya mereka tidak akan mencapai tasbih secara hakikat kecuali dengan cara kedua.

Baca juga: Paham Antroposentrisme Agama (Sakhr) dan Upaya Merekonstruksinya

Silogisme yang diajukan imam al-Razi terkait tasbih menjadikan hidup sebagai kunci. Jika benda-benda mati dapat mengetahui sifat-sifat Allah dan bertasbih kepada-Nya sementara ia tidak hidup maka hidup bukanlah keniscayaan untuk sesuatu yang dapat mengetahui, berkehendak, dan berbicara. Premis ini menurut beliau dapat mengarah pada kesimpulan bahwa sifat Maha Hidup bukanlah keniscayaan bagi Allah yang Maha Mengetahui, Berkehendak, dan Berkalam yang mana hal ini termasuk kebodohan dan kekufuran.

Telah diketahui bahwa yang tidak hidup tidak akan dapat mengetahui, berkehendak, dan berkalam. Inilah kaul yang disepakati oleh para ulama otoritatif.

Pendapat ini dipertanyakan oleh al-Razi karena di dalamnya mengandung keganjilan.

وَكَأَيِّنْ مِنْ آيَةٍ فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْها وَهُمْ عَنْها مُعْرِضُونَ

“Dan betapa banyak ayat di langit dan bumi mereka berjalan atasnya sementara mereka berpaling darinya.”

Surah Yusuf ayat 105 di atas dikutip oleh al-Razi sebagai dalil bahwa orang-orang kafir tidak paham akan pertanda alam sebagai ayat dari Allah. Demikian juga dalam penetapan tentang ketuhanan, tidak ada pemikiran mendalam yang dilakukan oleh kaum musyrikin tentang berbagai macam dalil.  Ayat ini dijadikan penguat pendapatnya bahwa tasbih langit dan bumi hanya majas akan ketidakmampuan kaum musyrikin untuk melihat pertanda Allah yang ada di alam raya, tidak mampu menggapai keesaan-Nya. Pendapat al-Razi ini tidak jauh dari tafsir al-Zamakhsyari yang juga beliau kutip di awal tafsir ayat ini.

al-Zamakhsyari menyebutkan maksud dari ayat 44 surah Alisra’ yakni mensucikan Allah Swt. dari berbagai sekutu yang tidak pantas bagi-Nya. Terkait kalimat akan tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka, sementara lumrahnya tasbih dapat dipahami dan diketahui, sehingga khitab ayat adalah untuk kaum musyrikin. Ketika mereka ditanya siapakah pencipta langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah. Hanya saja mereka menjadikan menyekutukan-Nya, seakan mereka tidak dapat melihat dan menetapkan, karena pandangan yang sahih dan penetapan yang kuat berbeda dengan apa yang mereka yakini. Oleh karenanya mereka dikatakan tidak memahami tasbih dan tidak dapat melihat kejelasan yang menjadi dalil akan Sang Pencipta.

Tasbih dalam ayat ini menurut al-Zamakhsyari adalah majasi seperti yang telah dijelaskan di atas. Pemaknaan ini menurutnya dikuatkan dengan frasa di akhir ayat yang menyebutkan bahwa Allah Maha Pengertian dan Maha Pengampun, sehingga tidak disegerakan siksaan bagi mereka dengan paradigma yang sangat buruk terhadap Allah. Pendapat yang oleh al-Baghawi tidak disinggung sedikitpun. (bersambung)

Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum (Bagian 2)

0
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah

Dalam syariat Islam, hukuman bagi beberapa jenis pelaku kejahatan sudah dengan jelas ditegaskan dalam beberapa ayat Alquran. Pelaku perzinaan, misalnya, disanksi dengan hukum rajam sampai mati jika pelakunya sudah memiliki pasangan atau dicambuk seratus kali apabila belum pernah menikah. Pencuri dihukum dengan dipotong tangannya, sebagaimana disinggung dalam Q.S. Al-Maidah ayat 38.

Tujuan disyariatkan hukuman-hukuman tersebut dalam Islam adalah untuk memberikan efek jera dan menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa. Jika tujuan ini tercapai maka akan terwujud stabilitas sosial yang tentram dan harmonis.

Sanksi Pencurian dalam Islam

Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaku tindakan pencurian akan disanksi dengan hukuman potong tangan. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam ayat berikut.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa; Mahabijaksana (Q.S. Al-Maidah [5]: 38).

Berdasarkan ayat di atas, ulama sepakat bahwa orang yang mencuri akan dikenakan sanksi potong tangan. Meski demikian, ulama tetap memberikan beberapa kriteria dan batasan operasional hukuman tersebut. Misalnya, nominal yang dicuri senilai ¼ dinar dan barang tersebut memang disimpan di tempat yang semestinya [Al-Fiqh al-Manhaji, juz 8, hal. 76].

Keputusan Sang Khalifah Membebaskan Hukuman Pencuri

Dalam sejarah Islam, hukuman potong tangan ini tercatat pernah terjadi beberapa kali, baik di zaman Rasulullah maupun pada zaman Khulafa al-Rasyidun sepeninggalan beliau a.s. Pada masa kekhalifahan sahabat Umar bin Khattab pun fenomena hukuman potong tangan pernah diterapkan kepada Ibnu Samurah yang terbukti melakukan tindakan pencurian [Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 6. Hal 160].

Pada saat kekhalifaahn Umar bin Khattab juga, umat Islam dilanda kelaparan karena kekurangan bahan makanan akibat kemarau berkepanjangan. Akibatnya, tatanan masyarakat mulai tidak kondusif dan sering terjadi kejahatan, salah satunya pencurian.

Melihat fenomena tersebut, sikap yang diambil Umar bin Khattab dianggap cukup kontroversial sekaligus progresif. Para pencuri yang seharusnya dijatuhi hukuman potong tangan justru dibiarkan. Alasannya karena situasi yang tidak kondusif dan kelaparan yang melanda masyarakat disinyalir menjadi penyebab sebagian orang melakukan aksi pencurian. Dengan dasar itulah beliau mengambil keputusan bahwa hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan pada waktu itu mengingat kondusifitas sosial yang tidak stabil.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

Pandangan Khalifah Umar bin Khattab ini tidak bisa dinilai mengabaikan nas Alquran. keputusan tersebut justru mencerminkan progresivitas Umar bin Khattab dalam mengaitkan antara teks dan konteks. Sebagaimana diketahui bahwa hukuman potong tangan merupakan bagian dari syariat Islam yang postulat hukumnya sudah ditegaskan dalam Alquran. Akan tetapi, untuk diterapkan dalam suatu kasus pencurian diperlukan suatu kajian untuk memastikan apakah dalam realita tersebut sudah terpenuhi rukun dan syarat operasional hukuman potong tangan atau belum.

Di samping itu, menurut Syaikh Said Ramadhan al-Buthi, keputusan Umar bin Khattab ini sejatinya merupakan upaya mengkompromikan dua nas. Ayat di atas bersifat umum, sebagaimana yang dikatakan Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib. Artinya siapapun pelaku pencuri dalam kondisi apapun harus dihukum potong tangan. Namun di sisi lain, Rasulullah saw. memerintahkan agar sebisa mungkin hukuman itu dihindari. Beliau saw. Bersabda;

ادْفَعُوا الْحُدُودَ مَا وَجَدْتُمْ لَهُ مَدْفَعًا

Cegahlah hukuman-hukuman (al-hudud) selagi kalian menjumpai alternatif (H.R. Ibnu Majah)

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I) 

Atau dalam redaksi lain beliau bersabda;

ادْرءُوا الْحُدُودَ عَنِ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوا سَبِيلَهُ، فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يُخْطِيءَ فِي الْعُقُوبَةِ

Cegahlah hukuman-hukuman (al-hudud) terhaap kaum muslimin sebisa mungkin. Jika kalian menemukan celah maka bebaskanlah mereka. Sesungguhnya seorang imam yang salah dalam memberi maaf lebih baik daripaa salah dalam memberikan hukuman (H.R. Al-Baihaqi).

Selain mempertimbangkan konteks sosial, keputusan Khalifah Umar bin Khattab tersebut dinilai oleh Al-Buthi sebagai upaya memadukan antara nas Alquran dan hadis di atas. ketika ayat tersebut berlaku umum, maka hadis yang menjelaskan tentang anjuran untuk tidak memvonis hukuman kepada pelaku kejahatan dengan berbagai apologi (syubhat) telah membatasi keumuman ayat tersebut. Artinya hukuman potong tangan akan diterapkan selama tidak ditemukan kesangsian-kesangsian dan faktor-faktor lain yang dapat menggugurkan hukuman tersebut.

Yang menjadi subhat dalam kasus pencurian di masa Khalifah Umar bin Khattab di atas adalah kondisi terdesak sehingga secara normatif ia dibenarkan mengambil harta orang kaya–misalnya-sesuai kebutuhannya. Dalam fikih, hal tersebut diperbolehkan meskipun nanti ia diwajibkan untuk mengganti rugi atas harta yang diambil. Terlepas dari perdebatan mengenai dosa tidaknya, pencurian yang dilakukan dalam kondisi kelaparan atau terdesak menjadi salah satu alasan tidak diberlakukannya hukuman potong tangan [Dhawabit al-Mashlahah, hal. 146].

Baca juga: Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran

Jika ditelisik kembali, keputusan yang diambil Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bentuk penerapan dari Ijtihad bi Tahqiq al-Manath. Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa ijtihad model ini orientasinya adalah menerapkan atau mengaplikasikan hukum Islam yang ada. Dalam kasus ini, Khalifah Umar bin Khattab menganggap bahwa kondisi panceklik merupakan bagian dari kesangsian (syubhat) yang bisa melepaskan seseorang dari hukuman.

Tindakan Sahabat Umar bin Khattab ini merupakan pelajaran penting bagi para yuris Islam bahwa dalam menerapkan suatu postulat hukum dalam realita kehidupan tidak cukup hanya dengan bermodalkan rumusan hukum taklifi semata. Seorang yuris harus juga mempertimbangkan syarat-syarat, tidak adanya mani’, dan lain sebagainya yang dalam Usul Fikih dikenal dengan hukum wadh’i. Suatu hukum, misalnya hukuman potong tangan, boleh saja sudah final. Akan tetapi, menerapkan postulat hukum tersebut dalam sebuah realitas memerlukan pertimbangan-pertimbangan lain.

Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Beliau mempu mendialogkan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i sehingga hukum Islam yang sudah ada tidak diterapkan secara membabi buta. Wallahu a’lam.

Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

0
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah
Progresivitas Umar Bin Khattab Terkait Ayat-Ayat Hukum_Pembagian Ghanimah

Sahabat Umar bin Khattab ra. merupakan salah satu sahabat yang dianugerahi banyak keistimewaan, salah satunya adalah ketajaman akal dan kejernihan pikiran. Hal ini terbukti dari beberapa ayat Alquran yang turun menjustifikasi pandangan beliau. Pada saat menjabat sebagai khalifah, beliau juga berhasil melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam berbagai aspek, termasuk yang berkaitan dengan wacana hukum Islam.

Inovasi yang beliau lakukan dalam wacana hukum Islam dinilai cukup kontroversial, terutama menyangkut masalah kontradiksi antara nas Alquran dan maslahat. Pasalnya, ada beberapa pandangan dan kebijakan beliau yang dianggap murni berpedoman pada maslahat alih-alih berpijak pada nas Alquran. Akibatnya, belakangan ini banyak pemikir-pemikir Islam yang menjadikan pandangan dan kebijakan Umar bin Khattab ra. sebagai acuan untuk mendahulukan maslahat atas nas ketika terjadi pertentangan.

Baca Juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I) 

Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan membahas lebih lanjut seputar problematika paradoksal antara nas dan maslahat. Akan tetapi, tulisan ini akan berusaha mengelaborasi beberapa pandangan Umar bin Khattab yang diklaim mengabaikan bunyi teks Alquran oleh sebagian kalangan.

Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menegaskan bahwa anggapan sebagian kalangan terkait hasil ijtihad Umar bin Khattab yang dinilai mengabaikan nas Alquran adalah sebuah kesalahan besar. Alih-alih meninggalkan nas, hal tersebut justru menunjukkan ketajaman pemikiran dan kedalaman ilmu yang beliau miliki. Dengan demikian, beliau tidak hanya terpaku pada makna leterlek ayat, lebih dari itu beliau mampu menyingkap makna dan hikmah dari ayat Alquran, sehingga mampu memadukannya dengan konteks kehidupan. (Dhawabit al-Mashlahat, 142)

Di bawah ini beberapa contoh hasil ijtihad sahabat Umar bin Khattab yang dinilai mengedepankan maslahat dan mengabaikan bunyi teks. Namun jika ditinjau lebih dalam, ternyata keputusan-keputusan kontroversial tersebut menjadi bukti kejeniusan dan progresivitas dari Umar bin Khattab.

Baca Juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Menghapus bagian mualaf dari daftar penerima harta zakat

Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang ketentuan operasionalnya sudah ditegaskan dalam Alquran dan Hadis. Pihak-pihak yang berhak menerima harta zakat ada delapan golongan, sebagaima firman Allah Swt Q.S. Altaubah [9]: 60, Allah Swt berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة: 60]

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Salah satu kelompok yang berhak menerima harta zakat adalah وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ. Setidaknya mereka terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, orang-orang kaum kafir yang disinyalir memiliki kecenderungan terhadap Islam, sehingga perlu diberikan perhatian khusus agar semakin tertarik dengan Islam. Kedua, orang mualaf yang imannya masih lemah sehingga perlu diberikan perhatian khusus agar imannya kuat. (Al-Tafsir al-Munir, Juz 10, 270).

Pada masa Rasulullah Saw. dan kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq ra., ketentuan mengenai zakat bagi mualaf sepenuhnya diterapkan. Akan tetapi, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a, mereka tidak diberikan. Bahkan diriwayatkan pada suatu ketika ada orang non muslim yang minta bagiannya dari harta zakat, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi oleh Sayyidina Umar.  (Tafsir al-Maraghi, Juz 10, 144)

Tindakan Umar bin Khattab ra. ini tidak bisa dipahami sebagai pengabaian terhadap ayat Alquran. Pasalnya, aturan mengenai bagian zakat untuk mualaf dilandasi oleh illat (alasan) hukum berupa lemahnya kekuatan Islam, sehingga masih memerlukan massa dan personil. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, umat Islam sudah kuat sehingga tidak perlu mencari-cari tambahan massa untuk memperkuat barisan.

Baca Juga: Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat: Surah At-Taubah Ayat 60

Keputusan yang diambil oleh sahabat Umar bin Khattab untuk meniadakan bagian mualaf dalam harta zakat termasuk dalam Ijtihad bi tahqiq al-manath. Ijtihad tersebut dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menerapkan hukum Islam yang sudah mapan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, ijtihad model ini sudah tiak lagi berkutat dalam aspek linguistik teks ayat atau Hadis. Akan tetapi, kajiannya fokus pada realita yang menjadi lokus penerapan hukum syariat. (Al-Muwafaqat, Juz 5, 125)

Dengan memerhatikan kondisi sosial masyarakat muslim yang sudah kuat secara teologis dan politik, maka Umar bin Khattab memutuskan untuk tidak lagi memberikan harta zakat kepada kaum mualaf. Alih-alih mengabaikan nas, keputusan tersebut menunjukkan tingkat pemahamaan beliau terhadap suatu ayat serta hikmah dibalik keputusan dalam ayat tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum yang dicetuskan oleh Umar bin Khattab terkait peniadaan bagian mualaf dalam harta zakat bukan berarti mengabaikan ayat. Justru hal tersebut menunjukkan kedalaman dan progresivitas beliau dalam memahami dan mengamalkan sebuah teks.

‘Pepujian Jawi’ Surah Al-Fatihah

0
pepujian Jawi surah al-Fatihah
pepujian Jawi surah al-Fatihah

Bagi masyarakat muslim, surah al-Fatihah menjadi surah yang tidak dapat ditanggalkan. Surah berjumlah tujuh ayat itu mesti dihafalkan. Kendati penghafalan itu tidak disertai dengan ketaatannya dalam beribadah, pemaknaan mendalam dari masing-masing ayatnya, atau pelafalannya yang kadang tidak terlalu jelas. Tetapi tetap saja, siapa yang mendaku muslim, maka surah al-Fatihah mesti bisa terbaca tanpa membuka teks arabnya.

popularitas surah al-Fatihah, diakumulasi dengan ekspresi kreatif muslim nusantara, akhirnya membuahkan banyak sekali produk. Tidak hanya dalam bentuk benda semisal kaligrafi atau ukiran yang menyertai bangunan masjid. Produk surah al-Fatihah itu juga merambah dalam rupa pepujian Jawi sebelum salat fardhu didirikan, seperti yang ditunaikan salah satu pesantren pimpinan K.H. Edy Latif di Banyumas.

Edy Latif menuturkan bahwa pepujian Jawi surah al-Fatihah ini diproduksi oleh ayahnya, K.H. Achmad Gufron. Baik Edy Latif maupun saudaranya yang lain tidak tahu secara pasti, kapan pepujian ini dilantunkan sampai membumi di tengah-tengah masyarakat yang ada di Desa Sidabowa, Banyumas dan sekitarnya. Menurutnya ada dua alasan mendasar ihwal pepujian Jawi surah al-Fatihah ini diproduksi.

Pertama, tentu saja untuk berdakwah. Kyai kelahiran 1948 ini memahami bahwa masyarakatnya di masa itu masih belum mengenal ajaran Islam secara mendalam. Di sisi lain, K.H. Achmad Gufron, sang ayah menilai bahwa penting bagi setiap muslim untuk ‘bisa’ membaca surah al-Fatihah. Maka dibuatlah pepujian surah Al-Fatihah yang masih dalam bentuk bahasa Arab.

Alasan selanjutnya adalah terkait dengan sasaran dakwahnya yang ada di masyarakat akar rumput. Lantaran berada di Jawa, maka kyai yang pernah tercatat sebagai santri di Pesantren Tremas, Pacitan ini mengalihbahasakannya menjadi bahasa Jawa. Dari sini, masyarakat yang berada di luar pesantren juga bisa mengerti arti dari surah al-Fatihah lewat pepujian setelah adzan dikumandangkan.

Baca Juga: Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

Faiz Abdullah dan Elya Munfarida membaca fenomena ini, sebagai bentuk akulturasi antara budaya lokal dengan budaya Islam yang mulai menguat pasca kemerdekaan negeri ini dideklarasikan. Melalui artikelnya, Pemaknaan Puji-pujian Al-Fatihah KH Achmad Gufron dalam Perwujudan Akulturasi Masyarakat (2023), keduanya berargumentasi tentang keberhasilan dakwah itu lantaran empat hal; nilai Islam yang universal, afiliasi sosial kyai ke arah nahdliyin, dukungan kebudayaan setempat, dan keberhasilan mengintegrasikan kebudayaan lokal dengan ajaran Islam.

Dua poin teratas menjadi strategi dakwah pada konteks kekinian. Dakwah dengan mengemas sisi jenaka Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin misalnya, kemudian didukung dengan afiliasi pendakwah ke kelompok Islam tertentu, dapat menjadi modal kesuksesan dalam menyampaikan ajaran Islam. Masyarakat muslim akar rumput akan mendulang tawa tanpa disadari ada nasehat yang masuk dalam dirinya.

Kemudian dua poin yang bawah, menjadi strategi dakwah yang mempunyai nilai historis. Para Walisongo dan ulama nusantara terdahulu bisa dijadikan indikasinya. Agus Sunyoto dalam bukunya, Atlas Wali Songo (2012) misalnya, merekam jejak dakwah para wali yang tidak menegasikan tradisi lokal. Selain itu, ada banyak literatur dan atau riset lain yang menunjukkan konklusi serupa.

Berikut teks pepujian Jawi surah al-Fatihah yang diproduksi KH Achmad Gufron:

Nyuwun karekso ing Alloh saking syetan kang nggridu

Kelawan nyebut kanti asmane Alloh Kang Welas tur Kang Asih

Puji kaduwe Alloh pangerane ngalam kabeh

Kang Welas tur Kang Asih

Ngratoni ing Qiyamat

Kito nyembah ing Alloh serto nyuwun pitulung

Mugi paring pitedah dateng kito dedalan ingkang leres

Dedalane wong akeh kang den paringi ni’mat, sanes dalane wong akeh kang den bendu kesasar

Mugi Alloh kersoho nyembadani dateng panyuwun kito

Sekian.

Penyebab dan Solusi Alienasi Beragama

0
Penyebab dan solusi alienasi beragama
Penyebab dan solusi alienasi beragama

Dalam kenyataan sosial, tidak jarang kita menyaksikan orang beragama yang bersikap tidak berdasarkan nilai-nilai agama. Misalnya, sesorang yang mendaku diri sebagai muslim namun malah menjadi tersangka dalam kasus penipuan, korupsi, dan tindakan kejahatan lain. Hal itu sesungguhnya terjadi karena terdapat jarak antara seseorang dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.

Baca juga: Cara Menghayati Kebaikan Allah Swt dan Kebesaran-Nya dalam Al-Quran

Ibadah keagamaan yang dilakukannya hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Tidak ada makna mendalam yang ditemuinya dalam ibadah yang dia lakukan. Amal ibadah tidak memberikan pengaruh pada perubahan serta perbaikan diri. Keadaan semacam itu oleh para sarjana disebut sebagai alienasi atau keterasingan. Berkaitan dengan hal itu, bagaimana pandangan Alquran tentang alienasi dan penyelesaiannya?

Keterasingan dan Penyebabnya

Alienasi atau keterasingan menurut Phillip Stanworth, dalam “Encyclopedia of Religion and Society” adalah keadaan terasing yang dialami oleh individu atau masyarakat terhadap Tuhan, terhadap sesama, dan bahkan terhadap diri sendiri. Alienasi dalam makna negatif ini -dengan mengutip pendapat Erich Fromm- dalam artikelnya berjudul “Erich Fromm on the Alienation of Modern Man” mengkategorikannya sebagai ketidaksehatan mental. Alquran menyinggung persoalan ini pada QS. Alhasyr [59]: 19.

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.”

Keterasingan dalam narasi Alquran disebabkan karena lupa kepada Allah. Imam al-Mawardi dalam tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun (juz 5, h. 511), menyebut hubungan kausalitas dari melupakan Tuhan. Terdapat lima makna lupa yang menyebabkan seseorang menjadi terasing, yaitu:

  1. Orang yang melupakan Allah atau meninggalkan perintah Allah, maka dia akan melupakan diri mereka untuk melakukan kebajikan. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Hibban.
  2. Melupakan hak Allah akan menyebabkan lupa pada hak diri sendiri, sebagaimana pendapat Sufyan.
  3. Melupakan Allah dengan tidak bersyukur dan mengagungkan kebesaran-Nya akan menyebabkan lupa pada azab yang telah diingatkan oleh sebagian orang. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Isa.
  4. Melupakan Allah dengan melakukan perbuatan dosa, akan menyebabkan lupa melakukan taubat, seperti pendapat Sahl.
  5. Melupakan Allah dalam keadaan berkelimpahan, akan membuat lupa pada Allah saat kesusahan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: 3 Konsep Kesalehan dalam Harmonisasi Sosial

Dalam diskusi modernisasi yang ditandai dengan kelahiran era digital terdapat unsur kehidupan yang memungkinkan seseorang menjadi lupa kepada Tuhan. Sesuatu yang juga menjadi pangkal alienasi beragama. Haochen Bai dan Kexin Gao, dalam “ The Study of Social Media Alienation in the Digitized World” menyebut dua sebab seseorang menjadi terasing, yaitu: “worship of technology” dan konsumerisme.

“Worship of technology” secara sederhana dimaknai sebagai “penyembahan pada teknologi” dalam arti menjadikan teknologi informasi sebagai preferensi ideologis, sumber kesenangan, pengalaman, dan imajinasi. Teknologi informasi dianggap sebagai kunci yang akan menyelesaikan setiap permasalahan, meskipun sebenarnya tidaklah demikian.

Selain itu, terdapat pula faktor konsumerisme, yaitu perilaku masyarakat dalam aktivitas konsumsi yang berorientasi pada pengakuan orang lain, bukan karena kebutuhan. Tindakan ini biasanya dilakukan secara impulsif atau tiba-tiba. Dalam situasi semacam itu, seseorang kehilangan dirinya melalui ketidakterlibatan pertimbangan akal untuk mengonsumsi dan menggunakan sesuatu. Dirinya dikontrol oleh obsesi-obsesi yang  dibentuk oleh pasar dan komunitas tertentu.

Baca juga: Relasi Antara Konsep Sabar dan Gaya Hidup Frugal Living

Nurcholish Madjid dalam “Peranan Agama dalam Kehidupan Modern-Industrial” (h. 150-151) menyebut bahwa kontrol media informasi terhadap manusia atau urusan-urusan yang berkaitan dengan teknologi adalah sebagai bentuk objektivisme yang dengan sendirinya akan bertentangan dengan subjektivisme manusia. Terjebaknya manusia pada teknologi informasi, konsumerisme, dan objektivisme akan membuat manusia kehilangan perasaannya. Kediriannya didominasi oleh media, bukan berdasarkan interaksi nyata dalam kehidupan sosial.

Kehilangan perasaan itu juga berarti pengingkaran terhadap diri (depersonalisasi), yang menyebabkan kehilangan makna dan rasa kemanusiaan (dehumanisasi), yang pada akhirnya mengakibatkan seseorang tidak lagi mengenali hakikat dirinya, makna, dan tujuan hidup. Kehidupan serba digital yang mengalihkan fokus manusia akan mempersempit dan membatasi ruang komunikasi dengan Tuhannya melalui peribadatan yang penuh kekhusyukan dan perenungan. Melalui proses itulah manusia menjadi teralienasi atau terasing dari nilai-nilai tertinggi agama.

Baca juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Dengan perasaan asing terhadap agama dan Tuhan itulah, tidak mengherankan jika seseorang yang meskipun telah menginjak usia dewasa, dia masih mencari-cari makna hidup, kebingungan tentang tujuan hidup, serta bersikap tanpa berdasarkan nilai dan ajaran agama.

Agama tidak berperan sama sekali dalam kehidupan. Gejala-gejala itu sesungguhnya nyata dan terlihat dalam realitas faktual bangsa kita. Perusakan alam, penggelapan dan pencucian uang hasil korupsi, ketidakadilan aparat dan penegak hukum dan lain-lain dilakukan oleh orang-orang yang beragama.

Mereka teralienasi dari agama dan Tuhan. Semua itu terjadi karena tidak melibatkan Tuhan atau secara sengaja melupakan Tuhan dalam melakukan tugas-tugas dan pekerjaan.

Semua penyebab yang telah disebut di atas bermuara pada krisis dalam diri manusia. Menurut Alquran krisis itu berakar pada dua hal, yaitu: hati, akal, penglihatan, dan pendengaran yang tidak berfungsi dalam pengenalan kepada Allah serta sikap emosi yang ambivalen. Dalam QS. Ala’raf [7]: 179, Allah menjelaskan karakteristik orang-orang yang lengah.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”

Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (juz 7, h. 324), memberi penjelasan tentang akal yang tidak berpikir, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan akalnya untuk memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah, balasan, dan azab Allah.

Pada saat yang sama, telinga mereka tidak mau mendengarkam nasihat-nasihat kebaikan. Imam al-Baydhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (juz 3, h. 43), menambahkan tentang fungsi hati yang tidak digunakan untuk mengenal Allah Yang Maha Benar. Allah mempertegas hal tersebut pada QS. Annahl [16]: 108.

اُولٰۤىِكَ الَّذِيْنَ طَبَعَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَاَبْصَارِهِمْۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

“Mereka itulah orang-orang yang Allah kunci hati, pendengaran, dan penglihatannya. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam Khawathir Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (juz 13, h. 239), menjelaskan makna hati yang dikunci Allah. Ia adalah hati yang dipenuhi dengan keingkaran sehingga iman tidak dapat masuk ke dalamnya. Hati yang menjadi tempat segala informasi yang datang dari berbagai indera, terutama dari penglihatan dan pendengaran yang tidak berfungsi dengan baik. Hal kedua yang menjadi krisis manusia adalah perasaan ambivalensi. Hal itu disebut Alquran pada QS. Annisa [4]: 143.

مُّذَبْذَبِيْنَ بَيْنَ ذٰلِكَۖ لَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ وَلَآ اِلٰى هٰٓؤُلَاۤءِ ۗ وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ سَبِيْلًا

“Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”

Mudzabdzabin” pada ayat ini dimaknai sebagai orang-orang yang ragu. Yaitu sebuah keadaan psikologis seseorang saat diombang-ambingkan oleh setan dan nafsu. Keadaan mereka antara beriman dan kekafiran seperti dijelaskan oleh Imam al-Nasafi dalam tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil (juz 1, h. 408).

Segala perwujudan tindakan dan tingkah laku yang menggiring pada keterasingan bersumber pada krisis dalam diri. Hal itu menjadi faktor dominan yang menyebabkan seseorang menjadi terasing dari Tuhan dan dirinya sendiri.

Penyelesaian

Cara terbaik mengatasi alienasi beragama adalah dengan mengenali Tuhan sebagai tujuan utama dan tertinggi. Dengan pengenalan yang baik kepada Tuhan, seseorang akan mengerti tujuan hidupnya. Kesadaran dan pengenalan kepada Tuhan akan menjadi dasar segala kebaikan yang perwujudannya dapat dilihat dari niat, sikap, dan perbuatan yang mengandung nilai-nilai ideal.

Untuk sampai pada pengenalan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan terus menerus belajar, memahami, dan merenungi segala tanda-tanda yang datang dari Tuhan, baik yang tersurat maupun yang tersirat.

Langkah-langkah kehidupan yang berada di bawah bimbingan Tuhan tidak hanya menjadi ruang privat untuk dirinya dan Tuhannya, melainkan juga terwujud dalam berbagai kesalehan sosial. Untuk meraih tujuan itu, manusia harus memberi kesempatan dirinya mendekat kepada Tuhan agar memperoleh makna-makna terdalam tentang kehadirannya di dunia.

Hal tersebut di atas tidak hanya membuat seseorang menjadi terhindar dari perasaan terasing dengan diri dan agamanya, melainkan juga akan menjadikannya sehat secara mental. Seperti dikatakan oleh Matt Karamazov bahwa kesehatan mental ditandai dengan hidup yang produktif, tidak terasing, karena mampu menghubungkan diri kepada dunia dengan kasih sayang.

Ketidakterasingan juga ditandai dengan kemampuan menggunakan akal untuk memahami realitas secara objektif, menjalankan kehidupan dan menilai diri sebagai entitas individu yang unik -yang menyatu dengan sesama- serta tidak tunduk pada otoritas irasional yang mengontrol diri. Selain itu, memiliki kerelaan dan menerima otoritas rasional, yaitu hati, nurani, dan akal budi. Memahami kehidupan sebagai kesempatan berharga yang harus disyukuri.

Orang-Orang Yahudi dan Tindakan Politisasi Kitab Suci

0
politisasi kitab suci
politisasi kitab suci

Salah satu kepribadian dan kebiasaan yang dimiliki oleh sebagian dari orang-orang Yahudi yang diceritakan oleh Alquran adalah upaya politisasi kitab suci, pemalsuan dan pendistorsian terhadapnya. Di beberapa ayat, Allah swt. menunjukkan kelancangan mereka mengubah dan mendistorsi isi teks-teks suci mereka sesuai dengan hawa nafsu dan hasrat duniawi belaka.

Di antara ayat Alquran yang menyingkap tindakan mereka adalah firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 78,

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ [آل عمران: 78]

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” Q.S. Ali imran [03]: 78

Baca Juga: Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam

Kaum Yahudi dikenal sebagai kelompok yang sering kali menyembunyikan kebenaran. Salah satu misalnya adalah kebenaran tentang ciri-ciri nabi terakhir yang sudah tampak dalam diri Rasulullah saw. meski informasi tentang hal tersebut pernah disampaikan oleh seorang pendeta Yahudi yang amanah kepada paman Nabi, Abu Thalib ketika dalam perjalanan menuju Syam.

Dalam ayat di atas, diterangkan bahwa salah satu kebiasaan yang sering mereka lakukan adalah melakukan distorsi dan pemelesetan kata kemudian mengatakan bahwa apa yang mereka katakan itu adalah kitab suci berasal dari Allah swt. padahal nyatanya bukan. Hal itu mereka lakukan dengan motif-motif tertentu dan niat buruk yang terselubung. [Al-Tafsir al-Wasith, juz 2, hal. 156]

Mengutip dari al-Dahhak yang meriwayatkan dari Sahabat Ibnu Abbas ra., Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Kaum Yahudi dan Nasrani yang melakukan distorsi dan penyelewengan terhadap kitab taurat dan injil. [Tafsir al-Baghawi, juz 2, hal. 59] sehingga kesucian dan keautentikan dua kitab suci tersebut menjadi ternodai akibat ulah penambahan dan pengurangan di sana-sini. Hal itu mereka lakukan dalam keadaan sadar dan didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadi belaka.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini ingin mengabarkan prilaku sekelompok orang Yahudi yang kerap kali melakukan pembodohan dan penipuan kepada orang awam tentang isi kitab Allah. mereka melakukan tahrif atau perubahan seperlunya kemudian mengumumkan kepada khalayak bahwa itu berasal dari Allah swt. Padahal itu adalah suatu kedustaan belaka. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 65]

Prilaku menyimpang orang Yahudi yang diceritakan dalam Alquran di atas hendaklah menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak bermain-main dengan sakralitas agama demi kepentingan dunia, baik dalam bentuk politisasi kitab suci atau semacamnya.

Baca Juga: Beda Orientasi Politis Penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka

Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa tindakan penyelewengan terhadap al-kitab yang dilakukan oleh orang Yahudi setidaknya memberikan kita warning untuk tidak menjadikan agama sebagai tunggangan dalam memenuhi ambisi pribadi.

Seorang ulama tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dilatari oleh kepentingan pribadi. Seorang pemegang kekuasaan juga tidak boleh melakukan tipu daya dan cara kotor untuk mendapatkan dukungan dan kepentingan pribadi lantas mereka berdalih atas nama Alquran untuk menjustifikasi tindakan yang mengandung kepentingan pribadi dan hawa nafsu tersebut. [Al-Bahr al-Madid, juz 1, hal. 373].

Dari ayat ini, dapat diambil pelajaran bahwa sebagai umat Islam, kita jangan sampai mengikuti kebiasaan kaum Yahudi yang gemar melakukan politisasi kitab suci demi kepentingan pribadi. Terlebih menjelang tahun politik ini, kita jangan sampai cawe-cawe untuk menjustifikasi atau mendukung pilihan kita dengan berdalih atas nama agama atau kitab suci. Wallahu a’lam.