Beranda blog Halaman 58

Orang-Orang Yahudi dan Tindakan Politisasi Kitab Suci

0
politisasi kitab suci
politisasi kitab suci

Salah satu kepribadian dan kebiasaan yang dimiliki oleh sebagian dari orang-orang Yahudi yang diceritakan oleh Alquran adalah upaya politisasi kitab suci, pemalsuan dan pendistorsian terhadapnya. Di beberapa ayat, Allah swt. menunjukkan kelancangan mereka mengubah dan mendistorsi isi teks-teks suci mereka sesuai dengan hawa nafsu dan hasrat duniawi belaka.

Di antara ayat Alquran yang menyingkap tindakan mereka adalah firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 78,

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيقًا يَلْوُونَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُولُونَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَيَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ [آل عمران: 78]

“Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.” Q.S. Ali imran [03]: 78

Baca Juga: Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam

Kaum Yahudi dikenal sebagai kelompok yang sering kali menyembunyikan kebenaran. Salah satu misalnya adalah kebenaran tentang ciri-ciri nabi terakhir yang sudah tampak dalam diri Rasulullah saw. meski informasi tentang hal tersebut pernah disampaikan oleh seorang pendeta Yahudi yang amanah kepada paman Nabi, Abu Thalib ketika dalam perjalanan menuju Syam.

Dalam ayat di atas, diterangkan bahwa salah satu kebiasaan yang sering mereka lakukan adalah melakukan distorsi dan pemelesetan kata kemudian mengatakan bahwa apa yang mereka katakan itu adalah kitab suci berasal dari Allah swt. padahal nyatanya bukan. Hal itu mereka lakukan dengan motif-motif tertentu dan niat buruk yang terselubung. [Al-Tafsir al-Wasith, juz 2, hal. 156]

Mengutip dari al-Dahhak yang meriwayatkan dari Sahabat Ibnu Abbas ra., Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan Kaum Yahudi dan Nasrani yang melakukan distorsi dan penyelewengan terhadap kitab taurat dan injil. [Tafsir al-Baghawi, juz 2, hal. 59] sehingga kesucian dan keautentikan dua kitab suci tersebut menjadi ternodai akibat ulah penambahan dan pengurangan di sana-sini. Hal itu mereka lakukan dalam keadaan sadar dan didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadi belaka.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini ingin mengabarkan prilaku sekelompok orang Yahudi yang kerap kali melakukan pembodohan dan penipuan kepada orang awam tentang isi kitab Allah. mereka melakukan tahrif atau perubahan seperlunya kemudian mengumumkan kepada khalayak bahwa itu berasal dari Allah swt. Padahal itu adalah suatu kedustaan belaka. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 65]

Prilaku menyimpang orang Yahudi yang diceritakan dalam Alquran di atas hendaklah menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak bermain-main dengan sakralitas agama demi kepentingan dunia, baik dalam bentuk politisasi kitab suci atau semacamnya.

Baca Juga: Beda Orientasi Politis Penafsiran Sayyid Qutb dan Hamka

Syaikh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa tindakan penyelewengan terhadap al-kitab yang dilakukan oleh orang Yahudi setidaknya memberikan kita warning untuk tidak menjadikan agama sebagai tunggangan dalam memenuhi ambisi pribadi.

Seorang ulama tidak boleh menyampaikan sesuatu yang dilatari oleh kepentingan pribadi. Seorang pemegang kekuasaan juga tidak boleh melakukan tipu daya dan cara kotor untuk mendapatkan dukungan dan kepentingan pribadi lantas mereka berdalih atas nama Alquran untuk menjustifikasi tindakan yang mengandung kepentingan pribadi dan hawa nafsu tersebut. [Al-Bahr al-Madid, juz 1, hal. 373].

Dari ayat ini, dapat diambil pelajaran bahwa sebagai umat Islam, kita jangan sampai mengikuti kebiasaan kaum Yahudi yang gemar melakukan politisasi kitab suci demi kepentingan pribadi. Terlebih menjelang tahun politik ini, kita jangan sampai cawe-cawe untuk menjustifikasi atau mendukung pilihan kita dengan berdalih atas nama agama atau kitab suci. Wallahu a’lam.

Kisah Pemuda dan Raja Pembuat Parit: Kekejaman atas Dasar Agama yang Ditentang Nabi saw.

0
Kisah Pemuda dan Raja Pembuat Parit: Kekejaman atas Dasar Agama yang Ditentang Nabi saw.
Kisah pemuda dan raja pembuat parit.

Siksaan dan kekejaman atas dasar agama terjadi dengan sangat bengis sebelum Islam datang. Bahkan di awal dakwah Nabi saw. kaum muslim juga mengalami berbagai penyiksaan hingga pembunuhan hanya karena perbedaan keyakinan. Terdapat satu kisah yang diceritakan oleh Nabi saw. sendiri terkait orang-orang pembuat parit yang termaktub dalam surah Alburuj ayat 4. Kisah yang mengajarkan bahwa nilai kemanusiaan merupakan aspek penting dalam agama.

Imam al-Nasa’i dalam kitab beliau, Sunan al-Kubra, mengeluarkan riwayat yang marfu’ sampai kepada Nabi saw. terkait kisah orang-orang pembuat parit. Berikut kisah beliau.

Seorang raja sebelum kalian memiliki seorang penyihir. Ketika penyihir tersebut telah tua ia mengatakan kepada raja,

“Usiaku telah senja. Ajalku akan segera datang. Angkatlah seorang pemuda kepadaku. Aku akan mengajarinya sihir.”

Raja itu pun mendatangkan seorang pemuda kepadanya dan ia mengajarinya sihir. Di antara penyihir dan raja terdapat seorang Rahib. Pemuda itu mendatangi Rahib, mendengarkan perkataannya, dan terkesima akan sususan katanya. Saat pemuda itu datang kepada penyihir, ia dipukul.

“Apa yang menahanmu?” kata penyihir.

Saat pulang ia mampir lagi untuk ikut majelis Rahib. Ketika sampai rumah ia pun dipukul keluarganya. Mereka katakan, “Apa yang menahanmu?”

Baca juga: Kisah Dzulqarnain dalam Alquran, Raja yang Saleh dan Bijaksana

Pemuda itu pun mengadukan peristiwa yang dialaminya kepada Rahib. Sang Rahib memberi saran, “Jika penyihir hendak memukulmu katakanlah aku ditahan keluargaku. Jika keluargamu hendak memukulmu katakan kalau engkau ditahan penyihir.”

Demikian saran Rahib dilakukan oleh pemuda itu. Hingga pada suatu hari ia menjumpai ular besar menyeramkan yang menghalangi masyarakat. Mereka tidak bisa melewati jalan yang dihuni itu.

“Hari ini aku akan mengetahui apakah ajaran Rahib lebih dicintai oleh Allah ataukah ajaran penyihir,” kata pemuda itu dalam batin seraya mengambil sebongkah batu.

“Allah, jika ajaran Rahib lebih engkau cintai dan ridai daripada ajaran penyihir maka bunuhlah ular ini sehingga orang-orang dapat lewat kembali.” Ia pun melemparkan batu dan seketika membunuh si ular. Orang-orang kembali bisa melewati jalan itu. Ia memberitakan kejadian tadi kepada Rahib.

“Anakku engkau lebih baik daripada aku, sungguh engkau akan diuji. Jika datang ujian itu padamu maka jangan engkau menunjuk padaku,” kata Rahib.

Baca juga: Wahyu Alquran dan Keteladanan Nabi Muhammad saw. sebagai Pejuang Kemanusiaan

Pemuda itu kemudian dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Seorang buta yang memiliki kedudukan di sisi Raja mendatanginya dengan membawa banyak hadiah. “Sembuhkanlah aku maka semua ini untukmu,” kata si buta.

“Aku tidak menyembuhkan siapapun. Hanya Allah Swt. yang menyembuhkan. Jika engkau beriman kepada Allah maka aku akan berdoa kepada-Nya hingga Dia menyembuhkanmu,” kata sang pemuda. Si buta beriman dan pemuda itu berdoa kepada Allah Swt. untuk kesembuhannya, Dia pun menyembuhkan kebutaan orang itu.

Ketika ia kembali kepada Raja, menempati kedudukannya, Raja berkata kepadanya, “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?”

“Rabbku, Tuhanku,” jawabnya.

“Aku?”

“Bukan, tetapi Tuhanku dan Tuhanmu, Dialah Allah.”

“Engkau punya Tuhan selain aku?”

“Iya.”

Baca juga: Alquran dan Problem Sosial Kemanusiaan Perspektif Cendekiawan Muslim Kontemporer

Raja pun menyiksanya tanpa henti hingga ia menunjukkan tempat pemuda berada. Berangkatlah Raja menuju pemuda.

“Wahai anakku, telah sampai kabar kepadaku bahwa dari sihirmu kau bisa menyebuhkan berbagai penyakit?” tanya Raja.

“Aku tidak menyembuhkan seorang pun. Tiada yang dapat menyembuhkan selain Allah,” jawab pemuda.

“Aku?”

“Tidak.”

“Kau punya Tuhan selain aku?”

“Iya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”

Pemuda itu disiksa hingga menunjukkan tempat Rahib yang mengajarinya. Didatangilah Rahib itu dan dikatakan kepadanya, “Kembalilah dari agamamu!” Rahib itu menolak. Gergaji pun diletakkan di garis kepalanya hingga pecahannya jatuh ke tanah.

Kepada si buta dikatakan, “Kembalilah dari agamamu!” Ia menolak. Ditaruhlah gergagi di atas garis kepalanya hingga pecahan tengkorak jatuh ke tanah.

“Kembalilah dari agamamu!” Kata Raja kepada pemuda. Ia menolak. Ia lalu digeladak bersama pasukan ke gunung. “Jika telah sampai di puncak dan ia tidak mau kembali dari agamanya maka buanglah ia dari atas gunung,” pesan Raja kepada pasukan itu.

Mereka pun berangkat menuju gunung. Ketika sampai di puncaknya, pemuda tersebut berdoa, “Allah, lindungi aku dari mereka dengan kehendakmu.” Gunung itu berguncang dan jatuhlah seluruh pasukan itu. Pemuda itu kembali kepada Raja.

“Apa yang dilakukan pasukan yang bersamu tadi?” tanya Raja kepada pemuda.

“Allah Swt. menolongku,” jawab pemuda itu.

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kiai Memviralkan Kandungan Surah Alhujurat

Kembali ia digeladak ke atas perahu bersama satu pasukan. “Saat kalian berlayar di laut jika dia tidak kembali dari agamanya maka tenggelamkan dia di laut,” pesan Raja kepada pasukan itu.

“Allah, lindungilah aku dari mereka dengan kehendak-Mu,” ucap pemuda. Mereka semua pun tenggelam. Ia kembali datang kepada Raja. “Apa yang dilakukan pasukan yang bersamamu?” tanya Raja.

“Allah menolongku. Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melakukan apa yang aku perintahkan kepadamu. Jika engkau melaksanakannya maka engkau bisa membunuhku,” kata pemuda kepada Raja.

“Apa itu?” tanya Raja.

“Engkau mengumpulkan orang-orang di lapangan. Menyalibku di batang pohon. Kau ambil anak panah dalam wadah milikku. Kemudian engkau katakan, ‘Dengan nama Tuhan pemuda itu’. Jika engkau melakukan hal tersebut maka kau bisa membunuhku.”

Raja membidik, meletakkan anak panah pada busurnya kemudian melepaskannya seraya berkata, “Dengan nama Tuhan pemuda itu.” Anak panah mengenai pelipis pemuda itu. Ia meletakkan tangannya pada anak panah dan meninggallah yang dikasihi Allah.

“Kami beriman kepada Tuhan pemuda itu,” seru orang-orang, “apakah engkau tau apa yang paling kau takuti? Sungguh, demi Allah hal itu telah datang kepadamu. Semua orang telah beriman.

Raja memerintahkan untuk menutup mulut mereka dan membuatkan parit-parit yang diisi dengan api. “Siapa yang kembali dari agamanya maka akan kubiarkan, tetapi jika tidak maka aku akan membakarnya di dalam parit itu,” tegas Raja katakan.

Mereka saling berdebat dan saling dorong. Majulah seorang perempuan dengan anaknya yang masih menyusu. Perempuan itu pucat seakan ia yang akan dijatuhkan ke dalam api. Anak dalam gendongan itu pun berkata, “Bersabarlah, karena sungguh engkau dalam kebenaran.”

Kritik Alquran Terhadap Paham Al-Dahriyyah

0
Kritik Alquran Terhadap Paham Al-Dahriyyah
Kritik Alquran Terhadap Paham Al-Dahriyyah

Dalam sejarah Arab pra Islam, menurut Mahmud Muhammad al-Sayyid Khalaf dalam penelitiannya, “Juhud al-‘Ulama’ Fi Muwajahah Jama’ah al-Dahriyyah: Al-Imam Abi Hanifah Namudzajan (105-158 H/724 -775 M)” menyebut salah satu paham yang berkembang di tanah Arab adalah al-Dahriyyah al-Madiyyah (secara sederhana adalah sekularisme dan materialisme) yang dihubungkan dengan mazhab pemikiran al-Samniyyah (realisme) dari wilayah Sindh (provinsi bagian Tenggara Pakistan saat ini).

Atas realitas faktual itulah, Alquran turun dan Islam hadir di tengah-tengah masyarakat di antara eksistensi berbagai paham dan pemikiran. Al-Dahriyyah dalam hal ini, adalah salah satu paham yang disinggung oleh Alquran.

Definisi al-Dahriyyah

Alquran tidak turun di jazirah Arab dalam keadaan hampa sejarah. Orang-orang Arab pra Islam memiliki keyakinan tersendiri yang diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi. Alquran dalam konteks itu kemudian mengidentifikasi salah satu paham yang dianut oleh bangsa Arab, yaitu al-Dahriyyah pada QS. Aljatsiyah [45]: 24

وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ

Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal, mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga.

Baca Juga:  Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?

Tentang ayat ini, para ulama tafsir merumuskan secara konseptual tentang apa yang dimaksud dengan al-Dahriyyah. Menurut Imam al-Thabari, al-Dahriyyah adalah paham orang-orang musyrik Arab yang meyakini bahwa waktulah yang membinasakan manusia. Dunia adalah satu-satunya kehidupan.

Menurut penganut paham ini, kehidupan selain dunia, seperti hari kebangkitan adalah sebuah kebohongan. Bergantinya malam dan siang yang berada dalam waktu, itulah yang membuat mereka mati. Namun demikian, penganut al-Dahriyyah, melihat adanya kehidupan pada kematian, yaitu kehidupan pada keturunan-keturunan mereka. Kehidupan anak-anak mereka akan mengingatkan kehidupan orang tua mereka. Mereka seolah-olah hidup dan tidak mati. Meskipun mereka mati, mereka menghadirkan kehidupan sebelum kematian, yaitu dengan melahirkan keturunan.

Argumen di atas telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan al-Dahriyyah. Lebih lanjut, Imam al-Qurthubi melengkapi penjelasan tentang al-Dahr (waktu), yang oleh orang Arab pra Islam diposisikan sebagai subjek (fa’il).

Mahmud Muhammad al-Sayyid Khalaf menyatakan bahwa kelompok al-Dahriyyun meyakini kekekalan waktu. Segala takdir terjadi dalam waktu. Untuk itu, mereka mengingkari pencipta, hari kebangkitan dan para utusan. Waktu dan keabadiannya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia di alam raya. Sebagai implikasinya, kelompok al-Dahriyyah, menurut ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah al-Rajihi dalam Kitab Durus Fi al-‘Aqidah (Juz 2, 5), mengingkari monoteisme ketuhanan (tauhid). Mereka meyakini dunia berjalan dengan sendirinya, tidak ada yang mengaturnya dan menguasainya. Segala sesuatu terjadi dalam waktu.

Baca Juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

Dari semua argumentasi yang disebutkan di atas, posisi paham al-Dahriyyah bertolak belakang dengan tauhid. Paham al-Dahriyyah, menurut Imam al-Qurthubi berimplikasi pada keingkaran atas akhirat, hari kebangkitan dan balasan atas perbuatan baik dan buruk. Al-Dahriyyah dapat dikatakan dekat dengan paham al-Ladiniyyah (anti/ tidak beragama) atau ateisme. Imam Al-Syahrastani, bahkan menyebut kelompok ini dengan sebutan al-Mu’aththilat al-‘Arab (nihilis Arab).

Nurcholish Madjid dalam “Sekularisasi Ditinjau Kembali” (h. 310) menyebut sekularisme sebagai perwujudan modern dari al-Dahriyyah, dikarenakan prinsip pokoknya yang menolak adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi. Dengan alasan itu, tidak jarang pula  al-Dahriyyah dikaitkan dengan materialisme.

Orientasi Realistis al-Dahriyyah

Struktur dasar keyakinan kelompok al-Dahriyyah, pada tahap selanjutnya, tentu saja, membentuk orientasi-orientasi realistis tentang kehidupan dunia, yang mereka anggap menjadi satu-satunya eksistensi. Alquran menyinggung persoalan ini pada QS. Aln’am [6]: 29

وَقَالُوْٓا اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ

“Mereka pun akan mengatakan, “Hidup hanyalah di dunia ini dan kita tidak akan dibangkitkan.”

Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir menjelaskan bahwa sikap kelompok al-Dahriyyun yang menolak kehidupan setelah kematian serta tidak adanya kebangkitan merupakan bentuk pengingkaran atas Allah. Mereka berasumsi akan kembali ke dunia setelah menyaksikan kebangkitan.

Pandangan yang dibangun oleh al-Dahriyyun, menurut Imam al-Thabari, datang dari prasangka dan kebingungan. Imam al-Baydhawi menambahkan, bahwa dasar argumen kelompok al-Dahriyyah adalah taklid, mereka tidak mengetahui bahwa segala gerak yang terjadi di alam raya tidak berdiri sendiri, ada Allah dibalik segala gerak. Mereka, bahkan tidak mampu merasakan kekuasaan Allah dibalik gerak alam raya. Imam al-Syaukani menegaskan, bahwa kelompok al-Dahriyyun adalah para peragu yang tidak bersandar pada ilmu dan tidak mampu mencapai hakikat dari sesuatu.

Baca Juga: Sejarah Berhala-Berhala Di Sekitar Ka’bah: al-Lata, al-Uzza, dan Manat

Tauhid dan Paham al-Dahriyyah

Di sisi yang berlawanan dengan apa yang terjadi pada bangsa Arab pra Islam, Alquran turun dalam rangka mengkritisi realitas masyarakat Arab, memberi dasar bagi perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan etika masyarakat. Tauhid dalam hal ini menjadi respons atas paham al-Dahriyyah. Tauhid dalam narasi Alquran, menjadi pembawa manusia dari kegelapan menuju cahaya. Seperti dikabarkan Alquran pada QS. Albaqarah [2]: 257:

اَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَوْلِيَاۤؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ اِلَى الظُّلُمٰتِۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari aneka kegelapan menuju cahaya (iman). Sedangkan orang-orang yang kufur, pelindung-pelindung mereka adalah tagut. Mereka (tagut) mengeluarkan mereka (orang-orang kafir itu) dari cahaya menuju aneka kegelapan. Mereka itulah para penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.

Ayat ini, dijelaskan oleh Imam al-Mawardi dalam tafsir al-Nukat wa al-‘Uyun (Juz 1, 328), dalam dua perspektif,  eksistensi kehidupan dunia dan akhirat. Di dunia, Allah akan mengeluarkan orang-orang yang beriman dari gelapnya kesesatan menuju cahaya petunjuk. Di akhirat, orang beriman akan diselamatkan Allah dari gelapnya azab neraka menuju cahaya balasan Allah di surga.  Pandangan Alquran ini berbeda sama sekali dengan al-Dahriyyah yang meskipun terlihat berdasar pada kenyataan, namun seperti tidak memiliki harapan atas kehidupan.

Alquran dan nilai-nilai tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah berhasil mengubah lanskap sosial dan kebudayaan masyarakat Arab yang lebih beradab. Kehadiran Islam pada bangsa Arab bertujuan untuk merubah struktur dan sistem keyakinan. Hal itu juga mengandung makna perubahan pada berbagai aspek kehidupan dalam ruang lingkup yang lebih luas dengan tauhid sebagai nilai dasarnya yang sama sekali berbeda bahkan bertentangan dengan ateisme, materialisme, sekularisme dan nihilisme yang terkandung dalam paham al-Dahriyyah. Dilihat dari orientasinya, tauhid menjangkau dan mendorong tujuan-tujuan yang mulia di dunia dan akhirat.

Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.

Kehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16

0
Kehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16
Ilustrasi negeri yang hancur.

Sejarah mencatat kehancuran suatu daerah, negeri, atau kerajaan yang diawali dengan kefasikan bangsawan kaya. Posisi mereka sebagai ruling class yang sangat penting dalam menentukan nasib rakyat pada umumnya akan menimbulkan dampak besar jika mereka melakukan kefasikan. Kerajaan hingga dinasti lama runtuh digantikan dengan yang baru atau bencana besar melenyapkan seluruh negeri. Hal ini telah menjadi sunnatullah dan termaktub dalam nash Alquran surah Al-Isra ayat 16.

وَإِذا أَرَدْنا أَنْ ‌نُهْلِكَ ‌قَرْيَةً أَمَرْنا مُتْرَفِيها فَفَسَقُوا فِيها فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْناها تَدْمِيراً (16)

Dan jika kami menghendaki untuk menghancurkan suatu negeri, kami akan perintahkan para bangsawan kaya sehingga mereka berbuat kefasikan di dalamnya, maka sah perkataan atasnya dan kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi pada ayat di atas. Pertama yakni terkait zahir teks yang memberikan perintah kepada para bangsawan untuk berbuat kefasikan. Adapun yang kedua yakni kehendak Allah untuk menghancurkan dalam ayat ini, apakah ini menunjukkan kekejaman dan kezaliman Allah? Maha Suci Allah berlaku demikian! Berikut para ulama memaknai ayat di atas.

Para Bangsawan Fasik

Imam al-Razi menjelaskan jika kebanyakan ulama memaknai ayat ini bahwa Allah memerintahkan mereka agar taat dan berbuat baik, tetapi mereka mengingkari perintah tersebut dan berbuat kefasikan. Beliau juga mengutip al-Zamakhsyari yang menyatakan jika zahir lafaz ayat ini menunjukkan seakan Allah menyuruh mereka untuk berbuat fasik. Padahal ini adalah majas yang bermakna Allah membukakan mereka berbagai pintu kebaikan dan kesenangan, dalam keadaan ini mereka justru menjauh, berpaling, dan berbuat melampaui batas.

Fasik menurut al-Zamakhsyari adalah kata yang bermakna kebalikan dari yang diperintahkan. Jika mereka disebut fasik maka mereka telah meninggalkan hal yang telah diperintahkan. Demikian lafaz ini juga menunjukkan secara maknawi bahwa yang diperintahkan kepada mereka bukanlah kefasikan. Imam al-Razi menggarisbawahi bahwa mereka diperintahkan untuk beramal baik dengan beriman dan taat, tetapi justru lebih memilih untuk fasik dan menyelisihi perintah tersebut.

Baca juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Kata al-mutraf menurut al-Razi bermakna al-mutana‘im atau yang diberi nikmat dan keluasan penghidupan, orang kaya dalam bahasa Indonesia modern. Ketika mereka keluar dari perintah Allah maka berlakulah azab bagi mereka. Ayat ini menurut beliau identik dengan surah al-Qashash ayat 59 dan al-An’am ayat 131. Ayat-ayat ini menurut beliau adalah penetapan Allah yang tidak akan menghancurkan suatu negeri sampai penduduknya mengingkari perintah-Nya.

Al-Ka’bi menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan jika Allah tidak memulai azab, penghancuran, dan marabahaya. Jika demikian maka tentu bertentangan dengan ayat Alquran yang lain semisal al-Ra’d ayat 11, al-Nisa ayat 147, dan al-Qashash ayat 59, yang mana hal ini mustahil terjadi. Oleh karenanya manusialah yang memulai dan menyebabkan kehancuran itu sendiri.

Kehendak Allah Bukanlah Kezaliman

Al-Razi mengutip pernyataan al-Qaffal yang berpendapat bahwa Allah tidak mengazab seorang pun hanya berdasarkan ilmu-Nya, meskipun Dia Mengetahui bahwa perintah-Nya akan ditinggalkan, Dia hanya akan menyiksa manusia apabila telah tampak kemaksiatan mereka.

Ketika orang-orang yang diberikan nikmat kekuasaan yang menyangka bahwa harta, keturunan, dan relasi mereka akan menghindarkan dari siksaan Allah tanpa perlu beriman dan beramal salih. Oleh karenanya mereka berlaku fasik, maka ketika itu tetaplah takdir kehancuran atas mereka sebab nampaknya kemaksiatan mereka. Dalam penetapan kehancuran tidak cukup dengan Ilmu-Nya melainkan zahirnya kefasikan maka ditetapkan atas mereka azab yang dijanjikan.

Baca juga: Kaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian terhadap Sesama

Kemungkinan pemaknaan kedua menurut al-Qaffal yakni penghancuran atau azab untuk suatu negeri tidak tidak disegerakan pada awal munculnya kemaksiatan tersebut. Akan tetapi, orang-orang yang berpunya secara terus-menerus melakukan kemaksiatan tersebut.

Mengapa orang kaya akan hal ini disebut secara khusus? Menurut al-Qaffal ini karena orang kaya ialah yang diberikan kenikmatan, sementara semakin banyak kenikmatan Allah atas seseorang maka semakin wajib pula ia bersyukur. Ketika ia diperintahkan untuk bertobat kembali berkali-kali, pun Allah tiada memutus nikmat dari-Nya, akan tetapi mereka justru semakin bertambah jauh dari kata kembali kepada kebenaran. Di titik inilah Allah menetapkan bala kepada mereka.

Baca juga: Pendusta Nabi Shalih Adalah para Penguasa yang Kaya Raya

Jika merujuk pada surah al-Kahfi ayat 58-59, siksaan akan didapatkan pada waktunya, tidak langsung seketika saat mereka melakukan kemaksiatan, karena ampunan dan rahmat Allah. Kasih sayang Allah begitu besarnya, tetapi begitu jauh perbuatan mereka menyimpang dari jalan yang ditentukan, maka pantaslah apa yang terjadi. Seperti yang disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 57; Ali Imran ayat 117; al-A’raf ayat 160; al-Taubah ayat 70; Yunus ayat 44; al-Nahl ayat 33; dan seterusnya bahwa Allah tidak menzalimi mereka, tetapi mereka sendirilah yang berbuat zalim.

Ketika yang dipedulikan hanya kesenangan sendiri dan kelompoknya tanpa peduli terhadap kondisi sosial. Di saat rakyat pada umumnya mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Di sisi lain para bangsawan dan hartawan berpesta pora dengan biaya yang cukup untuk menghidupi orang-orang miskin selama setahun penuh, sementara mereka menenggak kesenangan itu hanya dalam tempo semalam. Semoga negeri kita diselamatkan dari bencana dan kehancuran. Wallahu a’lam.

I’rab Alquran: Ragam Badal dalam Alquran

0
I’rab Alquran: Ragam Badal dalam Alquran
I’rab Alquran: Ragam Badal dalam Alquran

Salah satu aspek Alquran yang seringkali dipelajari adalah dari segi i’rab, yang pada nantinya menjadi cikal bakal lahirnya ilmu i’rabul qur’an. I’rab sendiri didefinisikan oleh ulama nahwu sebagai perbedaan akhir kalimat yang disebabkan karena perbedaan amil yang masuk, baik secara tertulis maupun diperkirakan (al-Ta’rifat li Jurjani: 31). Ada beberapa macam pembahasan i’rab. Salah satunya adalah badal.

Badal merupakan salah satu dari tawabi’ yakni, kalimat yang i’rab nya mengikuti kalimat sebelumnya. Dalam syi’ir Alfiyah nya, Ibn Malik mendefinisikan badal sebagai;

التابع المقصود بالحكم بلا … واسطة هو المسمى بدلا

Kalimat yang ikut (pada mubdal minhunya) yang dituju (untuk dinisbatkan) dengan tanpa perantara (Alfiyah ibn Malik, 565)

Baca Juga:Balaghah Al-Quran: Keindahan Penggunaan Huruf Athaf Tsumma 

Mudahnya, badal adalah kalimat yang menggantikan kalimat yang digantinya yakni, mubdal minhu. Lebih lanjut, Ibn ‘Aqil membagi badal menjadi empat macam. Pertama, (بدل كل من كل) badal kull min kull. Yakni, badal yang selaras dengan mubdal minhu, yang sama dalam maknanya. Contohnya seperti lafaz صِرَاطَ الَّذِينَ dalam surah Alfatihah [1]: 6-7

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ ۙ صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ ࣖ

Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.

Dalam ayat di atas, lafaz صِرَاطَ الَّذِينَ dibaca nashab, mengikuti kedudukan mubdal minhunya yang merupakan maf’ul bih. Dari sini juga dapat dipahami bahwa “jalan” yang dimaksud dalam ayat ke-6 adalah jalannya orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah Swt. Sebab salah satu faedah badal adalah menafsirkan mubdal minhu.

Kedua, (بدل بعض من كل) badal ba’dh min kull. Yakni, badal yang merupakan isi, atau bagian dari mubdal minhu. Di dalam menjelaskan badal jenis ini, Ibnu Hisyam mensyaratkan adanya dhamir yang kembali pada mubdal minhu, baik itu tertulis dalam lafaz, atau diperkirakan (Audhahul Masalik ila Alfiyah ibn Malik: 2, 365). Contoh yang tertulis yakni lafaz كَثِيرٌ مِنْهُمْ dalam potongan ayat 71 surah Almaidah;

وَحَسِبُوْٓا اَلَّا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ فَعَمُوْا وَصَمُّوْا ثُمَّ تَابَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَمُوْا وَصَمُّوْا كَثِيْرٌ مِّنْهُمْۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi bencana apa pun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), karena itu mereka menjadi buta dan tuli, kemudian Allah menerima tobat mereka, lalu banyak di antara mereka buta dan tuli. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Baca Juga:I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah 

Lafaz كَثِيرٌ مِنْهُمْ  di atas, menjadi badal dari fa’il/subjek kalimat fi’il sebelumnya, serta mengandung dhamir yang kembali pada mubdal minhu. Adapun contoh dhamir yang diperkirakan adalah lafazمَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا dalam potongan surah Aliimran [3]: 97;

 وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.

Menurut Ibn Hisyam, lafaz مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا di atas, menyimpan lafaz yang dibuang, berupa dhamir yang kembali pada mubdal minhu yakni, lafaz منهم (Audhahul Masalik ila Alfiyah ibn Malik: 3, 365)

Ketiga, (بدل الاشتمال) badal al-isytimal. Yakni, badal yang berisi sesuatu yang dikandung oleh mubdal minhu (Syarah ibn Aqil: 3, 249). Contohnya seperti lafaz قِتَالٍ فِيهِ dalam surah Albaqarah [2]: 217

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang berperang pada bulan haram.

Lafaz قِتَالٍ فِيهِ dalam potongan ayat di atas, menjadi badal isytimal dari lafaz الشَّهْرِ الْحَرَامِ. Disebut demikian lantaran “peperangan” yang dimaksud adalah “peperangan” yang terjadi pada bulan haram. Maka demi kepentingan i’rab Alquran, asal kalimat di atas, jika diasumsikan bukan Alquran menjadi يسألونك عن القتال في الشهر الحرام (Taammulat Qur’aniyah: 2, 18)

Keempat, (بدل المباين) badal al-mubayin. Terkait penamaannya, Ibn Hisyam menjelaskan bahwa badal jenis ini hadir saat terdapat kesalahan pengucapan di dalam pelafalan orang fasih. Oleh karenanya, beliau menamakannya sebagai mub al-mubayin yang berarti kalimat yang berbeda dengan kalimat sebelumnya (Syarah Al-Ajurumiyah li Hasan Hifdzy, 229). Untuk badal macam keempat ini, tidak memiliki contoh dalam Alquran, sebab tidak ada kesalahan pelafalan dalam Alquran.

Baca Juga:Empat Fungsi Gramatika dalam Pemahaman Ayat Alquran 

Ibn ‘Aqil membagi badal al-mubayin menjadi dua macam. Pertama, (بدل الإضراب) badal al-idrob. Badal jenis ini merupakan badal yang dituju oleh mubdal minhu. Contohnya perkataan seseorang أكلت خبزا لحما (saya telah makan roti, eh daging) sembari awalnya bermaksud untuk bercerita bahwa ia telah makan roti, lalu tampak baginya, keinginan untuk menceritakan bahwa ia juga telah makan daging.

Kedua, (بدل الغلط والنسيان) badal al-ghalat wa al-nisyan. Berbeda dengan sebelumnya, Ini adalah badal yang tidak dituju oleh mubdal minhu. Disebut demikian karena muncul dari kesalahan atau kealpaan si pengucap. Contohnya perkataan seseorang رأيت رجلا حمارا (saya melihat seorang lelaki, eh keledai), awalnya dia bermaksud menceritakan bahwa dia telah melihat seekor keledai, namun dia salah ucap seorang lelaki (Syarah ibn ‘Aqil: 3, 239).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembahasan terkait badal dalam kajian i’rab terbagi menjadi empat, yakni badal kull min kull, badal ba’dh min kull, badal al-Isytimal, dan badal al-mubayin. Demikian ragam badal beserta contohnya dalam Alquran.

Wallahu a’lam.

Sejarah Berhala-Berhala Di Sekitar Ka’bah: al-Lata, al-Uzza, dan Manat

0
sejarah berhala-berhala di sekitar ka'bah_tafsir surah an-najm ayat 19-21

Salah satu hal yang diperjuangkan mati-matian oleh elit Quraisy adalah berhala-berhala di sekitar Ka’bah. Berhala-berhala tersebut memiliki sejarah masing-masing. Terdapat tiga berhala yang banyak disembah oleh masyarakat pada waktu itu hingga Alquran mempertanyakan tentang mereka dalam surah al-Najm ayat 19-21.

  (21) أَفَرَأَيْتُمُ ‌اللَاّتَ وَالْعُزَّى (19) وَ مَناةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثى

Apakah menurut kalian al-Lata dan al-Uzza. Pun manat tiga yang lain. Apakah bagi kalian lelaki dan baginya Perempuan.

Imam ar-Razi menjelaskan dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib bahwa berhala dipandang oleh kaum musyrikin sebagai sekutu Allah. Mereka meyakini bahwa mereka juga mendiami sidratul muntaha meminta kepada Allah untuk mengabulkan atau menolak suatu hal untuk hamba-Nya di bumi. Kebalikan dari keyakinan mereka, berdasarkan fenomena isra’ mi’raj Nabi saw., para malaikat mulia pun tidak dapat sampai di sidratul muntaha.

Berhala-berhala di sekitar Ka’bah ini menurut mereka adalah anak perempuan Allah, maka dipahat menyerupai bentuk perempuan dan dinamai dengan asma perempuan.  Di sisi lain pada masa itu masyarakat Arab merasa hina jika memiliki anak perempuan. Kondisi sosial ini menjadi premis kedua yang meruntuhkan analogi berpikir masyarakat pagan waktu itu.

Bagaimana mungkin menyandarkan suatu yang dianggap hina kepada suatu yang disifati sempurna? Bagaimana mungkin untuk Tuhan Yang Maha Sempurna mereka katakan memiliki puteri sementara mereka sendiri hanya menginginkan putera?

Logika berpikir sederhana adalah menyandarkan keagungan pada yang dianggap agung. Jika yang dianggap mulia juga disifati dengan hal yang menurut mereka hina, maka menurut ar-Razi hal ini telah jauh menyalahi adat berpikir dan berakal manusia. Jika ditelisik dari kacamata sejarah ketiganya bukanlah berasal dari malaikat yang terhubung kepada Allah melainkan ciptaan manusia.

Baca Juga: Dukungan Politik Elite Quraisy untuk Nabi Muhammad: Antara Prasyarat, Ujian, dan Kesempatan

Al-Lata: Seorang Pengadon Roti Untuk Para Peziarah

Imam al-Baghawi dalam kitab beliau, Ma’alim at-Tanzil menerangkan bahwasanya al-Lata adalah seorang yang mengadon tepung, mempersiapkan dan memberikan makanan, untuk para peziarah. Ketika ia meninggal para peziarah menyembahnya. Mujahid menyebutkan bahwa ia adalah seorang dengan gembala yang ia ambil susunya untuk dijadikan keju, ia mencampurnya dengan kismis dan jadilah makanan khas yang ia suguhkan untuk para peziarah.

Al-Kalbi menyebutkan bahwa al-Lata adalah seorang dari bani Tsaqif, elitnya Thaif, bernama Shirmah bin Ghanam. Ia senantiasa menyediakan minyak samin dan meletakkannya di atas batu, jika datang orang Arab kepadanya maka ia akan mengadonkan tepung mereka dengan saminnya. Saat ia mati orang Tsaqif memindahkan batu yang biasa dipakai itu ke tempat untuk disembah.

Al-Aini dalam kitab beliau, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari menyebutkan bahwa terdapat pendapat yang mengatakan kalau al-Lata adalah seorang yang bernama Rabi’ah bin Haritsah, yang berasal dari klan Khuza’ah. Ia menjamu para peziarah tanpa henti hingga ketika ia mati mereka masih mengenang batu tempatnya duduk membagikan jamuan hingga kemudian terlintas dalam benak mereka untuk menjadikan batu itu sebagai sesembahan, menjadikannya serupa berhala dan menamakannya al-Lata yang berasal dari frasa lat al-sawiq yang berarti mengadon tepung.

Al-Fakihi dari jalur Mujahid menyatakan bahwa al-Lata merupakan seorang di zaman Jahiliyah yang tinggal di bukit Thaif. Ia memiliki kambing yang dapat diperas susunya tiap hari di samping kismis dan keju yang dicampurkan dengan minyak untuk dijadikan hais, semacam roti khas yang banyak digemari kala itu. Ia memberi makan setiap orang yang berjalan dengannya sehingga ketika ia meninggal salah seorang di antara mereka berkata, ‘sesungguhnya ia tidak mati melainkan masuk ke dalam batu maka sembahlah ia dan dirikan rumah persembahan untuknya.’ Qatadah menyatakan bahwa al-Lata ini adalah berhala klan Tsaqif dari Thaif.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19

Al-Uzza: Sebongkah Pohon Kurma dari Ghathafan

Syaikh Musa Syahin dalam Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim menerangkan terkait al-Uzza, mengutip Mujahid yang menyebutkan bahwa ia adalah pohon di Ghathafan yang disembah masyarakat sekitarnya. Khalid bin Walid adalah sosok yang diutus Rasulullah saw. untuk menebang pohon itu. Beliau menggunakan kapak untuk menebangnya, sambil berkata, ‘wahai Uzza mengingkarimu tidak mensucikanmu, aku melihat Allah sungguh telah merendahkanmu.’ Keluarlah dari dalamnya setan perempuan dengan rambut terurai menjerit kesakitan memegangi kepalanya.

Riwayat lain menyebut bahwa ketika Khalid kembali kepada Nabi saw. dan melaporkan bahwa ia telah menebangnya beliau bertanya tentang apa yang dilihatnya. Khalid menjawab tidak melihat apa-apa. Oleh karenanya Nabi saw. menyuruhnya kembali untuk menebangnya lagi. Ia pun kembali lengkap dengan peralatannya, menebangnya hingga mencabut akarnya. Dari situ keluar perempuan tanpa busana yang kemudian ia bunuh. Setelah melapor lagi kepada Nabi saw. Beliau katakan bahwa itulah al-Uzza dan ia tidak akan disembah selamanya.

Ad-Dhahak menerangkan bahwa al-Uzza adalah berhala orang Ghatafan yang dibuat oleh Sa’ad bin Zalim. Demikian karena ia ketika sampai di Makkah dan melihat Shafa dan Marwa, masyarakat Makkah yang bertawaf di antara keduanya, ia pun berkata kepada kaumnya, bahwasanya penduduk Makkah punya Shafa dan Marwa sementara kaumnya tidak memiliki itu, penduduk Makkah punya Tuhan untuk disembah sementara kaumnya tidak.

Ia pun menyampaikan akan membuat berhala untuk mereka, dua batu besar ia letakkan di sisi kanan dan kiri pohon kurma dan satu batu ia sandarkan pada pokok pohon itu. Kemudian mereka pun bertawaf di antara dua batu seperti halnya Shafa dan Marwa seraya menyembah kepada pohon yang mereka sebut al-Uzza.

Baca Juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

Manat: Batuan antara Makkah dan Madinah  

Berhala terakhir yakni Manat yang merupakan batu yang ada di antara Makkah dan Madinah. Orang-orang Yatsrib menyembahnya sebelum mereka masuk Islam. Mereka memahat batu ini menjadi berhala dan meletakkannya di Ka’bah, Shafa, dan Marwah. Pada saat fath Makkah, Rasulullah menghancurkan berhala-berhala tersebut. Beliau juga mengutus al-Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan al-Lata di Thaif, Khalid bin al-Walid untuk memotong pohon kurma yang disebut al-Uzza, serta Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan Manat. Adapun Manat menurut ad-Dhahak adalah berhala klan Khuza’ah dan Hudzail yang disembah oleh penduduk Makkah.

Sejarah ketiga berhala di atas tidak relevan dengan anggapan masyarakat Arab pada waktu itu yang menyebut bahwa mereka adalah malaikat, dewi puteri Allah. Maha Suci Allah yang menciptakan alam raya. Sejarah yang disebutkan oleh para ulama justru membuktikan bahwa mereka adalah buatan belaka. Penyembahan berhala juga tidak memiliki dasar logika yang kuat jika dibenturkan dengan fakta sosial yang tengah terjadi saat itu.

Pertanyaannya adalah mengapa suatu yang tidak logis dan menyimpang dari sejarah mereka pertahankan mati-matian melebihi ajaran cinta dan kasih sayang? Propaganda untuk mempertahankan status quo dan kuasa bisa jadi adalah hal yang sebenarnya mereka perjuangkan, para elit yang tidak mau bagiannya terusik karena hadirnya ajaran baru. Wallahu a’lam

Contoh Qath’i dan Zhanni dalam Nas Alquran

0
Qath'i dan zhanni dalam nas Alquran
Qath'i dan zhanni dalam nas Alquran

Alquran merupakan sumber utama dalam merumuskan hukum Islam. Nas-nas yang memuat aspek hukum ternyata tidak selalu disajikan dengan redaksi yang jelas dan tegas. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar nas Alquran maupun hadis yang memuat hukum Islam hadir dengan ungkapan yang memicu perbedaan penafsiran di kalangan ulama.

Dalam ilmu ushul fikih, nas-nas yang sudah jelas maknanya itu disebut al-nushus al-qath’iyah, sedangkan teks yang memiliki relativitas makna diistilahkan dengan al-nushus al-zhanniyah. Menurut Prof. Umar Shihab (kakak kandung Quraish Shihab), istilah qathi dan zhanni merupakan hasil kreasi dan ranah kajian ulama ushul fikih meskipun sejatinya ia erat kaitannya dengan kajian tafsir Alquran dan hadis. [Kontekstualitas Alquran, hal. 338]

Baca juga: Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-ayat Hukum

Secara sederhana, qath’i diartikan sebagai suatu kepastian atau keputusan final, sedangkan zhanni sebaliknya. Dalam kajian ushul fikih, pembahasan mengenai qhat’i dan zhanni ini secara umum bercabang menjadi dua hal. Pertama, qath’i dan zhanni dalam aspek dalalah (signifikasi), dan yang kedua adalah qhati dan zhanni dalam hal wurud (transmisi). Artinya, Alquran dan hadis dapat dikaji dengan pendekatan qath’i dan zhanni baik dari aspek signifikasi redaksinya dan validitas keabsahan proses transmisinya.

Alquran dari Aspek Wurud-nya

Dilihat dari aspek wurud-nya (proses transmisi), Alquran adalah qath’i al-wurud. Artinya, tidak ada keraguan bahwa Alquran yang kita baca sekarang ini bahkan sampai hari kiamat merupakan Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. 14 abad yang lalu tanpa ada perubahan dan distorsi sedikitpun. Hal ini karena Allah Swt. telah menjamin validitas dan keabsahan Alquran sampai hari kiamat. Allah berfirman dalam Q.S. Alhijr ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” Q.S. Alhijr [15]: 9

Ditinjau dari sudut pandang ilmiah, proses transmisi Alquran dari satu generasi ke generasi berikutnya berlangsung secara mutawatir. Artinya, jumlah perawi (transmiter) Alquran dari tiap-tiap generasi mencapai jumlah sangat banyak, sehingga karena jumlah tersebut mustahil terdeteksi adanya pemalsuan dan kebohongan. Selain itu, ayat di atas juga secara langsung memaklumatkan penjaminan Allah terhadap eksistensi Alquran sampai hari kiamat sehingga segala upaya pemalsuan dan distorsi terhadapnya akan selalu gagal. [al-Tafsir al-Munir, juz 14, hal. 16]

Hal ini berbeda dengan hadis. validitas atau keabsahan hadis Nabi secara umum terbagi menjadi dua; ada yang qath’i al-wurud ada yang zhanni al-wurud. Artinya, hadis-hadis Nabi tidak semuanya dapat dinilai valid atau absah berasal dari Nabi saw.. Buktinya, dalam ilmu hadis kita mengenal banyak sekali klasifikasi hadis seperti hadis sahih, hadis dhaif, bahkan ada hadis maudhu’ (palsu). Yang dapat dinilai qath’i al-wurud dari hadis-hadis Nabi adalah yang diriwayatkan secara mutawatir.

Alquran antara Qath’i al-Dalalah dan Zhanni al-Dalalah

Sedangkan Alquran dilihat dari aspek dilalah-nya (signifikasi), terbagi menjadi dua; yaitu qath’i al-dalalah dan zhanni al-dalalah. Hadis pun demikian, ada yang qath’i al-dalalah dan ada yang zhanni al-dalalah. Syekh Wahhab Khallaf mendefinisikan qath’i al-dalalah sebagai suatu kalimat atau lafal yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mengandung kemungkinan adanya makna lain. Sedangkan zhanni al-dalalah adalah sebaliknya, yaitu suatu lafal atau kalimat yang mengandung sebuah makna tetapi masih berkemungkinan adanya makna lain.

Di antara teks atau ayat Alquran yang masuk kategori qath’i adalah ayat-ayat yang menunjukkan makna bilangan atau ukuran. Contoh ayat Alquran yang dinilai qath’i al-dalalah seperti Q.S. Annur ayat 2:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

 “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali,” Q.S. Annur [24]: 2.

Ayat di atas dinilai qath’i karena sudah dengan tegas disebutkan bahwa hukuman bagi pelaku zina adalah seratus kali cambukan. Jumlah ini tentu tidak bisa kita maknai dengan makna lain karena makna dari angka-angka sudah jelas.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak

Beda halnya dengan ayat-ayat yang bersifat zhanni. Memahami maksud dari ayat jenis ini kerap menjadi ajang perbedaan pandangan ulama dalam menafsirkan ayat tersebut. Hal ini karena secara redaksional, ia memang berkemungkinan untuk dimaknai dengan berbagai makna atau penafsiran.

Sebagai contoh, dalam Surah Albaqarah ayat 228 Allah Swt. Berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’” Q.S. Albaqarah [2]: 228.

Dalam bahasa arab, kata قُرُوءٍ mengandung dua arti; yaitu haid dan suci. Ambiguitas suatu kata inilah yang menyebabkan ulama kemudian berbeda dalam memutuskan ketentuan iddah berdasarkan ayat ini.

Imam al-Syafi’i dan Imam Malik yang memahami bahwa قُرُوءٍ adalah suci berpendapat bahwa masa iddah seorang perempuan yang dicerai suaminya adalah tiga kali suci. Sedangkan, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal memahami kata قُرُوءٍ sebagai haid. Oleh karenanya, beliau berpendapat bahwa waktu yang diperlukan perempuan untuk menyelesaikan masa iddahnya adalah tiga kali haid. [Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, juz 1, hal. 232-234].

Kesimpulan

Dari penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran secara keseluruhan adalah qath’i al-wurud, artinya validitas dan keabsahannya tidak dapat diragukan. Berbeda dengan Alquran, hadis-hadis Nabi tidak semuanya dipastikan valid. Artinya, ada hadis yang qath’i al-wurud yaitu hadis-hadis mutawatir, dan ada hadis yang zhanni al-wurud yakni hadis-hadis ahad.

Sedangkan dari aspek dalalah-nya, Alquran dan hadis sama-sama terbagi menjadi dua, ada yang qhat’i al-dalalah dan ada yang zhanni al-dalalah. Sekian.

Belajar dari Kehancuran Kaum ‘Ad dan Kota Iram

0
Belajar dari Kehancuran Kaum ‘Ad dan Kota Iram
Ilustrasi Kota Iram

Ahli geografi dari Anatolia bernama Yaqut al-Hamawi menulis sebuah ensiklopedia geografi yang berjudul Mu’jam al-Buldan. Di dalam mukadimahnya, ia mengutip satu pendapat yang dinisbatkan kepada Nabi ‘Isa a.s., yang berbunyi: “Dunia adalah tempat percontohan (keteladanan) sekaligus  tempat melangkah. Jadilah orang-orang yang berjalan-jalan di dalamnya. Pelajarilah apa yang ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu.”

Dari argumen ini, mengetahui sejarah adalah hal yang bermanfaat dikarenakan muatan pelajaran kehidupan yang terdapat di dalamnya. Tidak terkecuali, soal nama-nama suatu negeri dan atau kota-kota yang disebut di dalam Alquran. Dengan cara itu akan tersingkap penggambaran keadaan suatu tempat serta karakteristik yang dimilikinya.

Dalam hal ini, Iram adalah salah satu nama kota yang juga disebut oleh Alquran pada Q.S. al-Fajr [89]: 6-9. Berkaitan dengan hal tersebut, adakah argumen-argumen yang ditunjukkan oleh ulama tafsir tentang kota Iram dan ciri-ciri khusus yang terkait dengannya? Lalu, apa interpretasi moral atas peristiwa yang pernah terjadi di kota Iram, yang menjadi tempat tinggal bagi kaum ‘Ad tersebut?

Genealogi dan Nama Kota

Iram merupakan nama leluhur kaum ‘Ad. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (juz 8, h. 384) merunut silsilah kaum ‘Ad awal, yaitu: ‘Ad bin Iram bin ‘Awsh bin Sam bin Nuh. Beberapa pendapat juga turut menjelaskan maksud sebutan Iram. Qatadah bin Di’anah dan al-Suddi mengatakan: Iram adalah rumah (istana) kerajaan ‘Ad. Sedangkan Mujahid berpendapat bahwa Iram adalah umat terdahulu atau kaum ‘Ad periode awal.

Data lain tentang kota Iram datang dari Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir (juz 5, h. 529). Menurutnya, terdapat dua kabilah yang dinisbatkan ke Iram, yaitu ‘Ad Iram dan Iram Tsamud. Untuk alasan itulah sepertinya Imam Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (juz 31, h. 152), menyebut tiga kisah kelompok yang semuanya ingkar di masa lalu, yaitu ‘Ad, Tsamud, dan kaumnya Fir’aun. ‘Ad dan Tsamud-lah  yang dihubungkan sebagai bagian dari Iram.

Baca juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad dalam Alquran

Data lain, berkaitan dengan aspek geografis letak kota Iram. Imam al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (juz 24, h. 361), mengutip pendapat al-Qurazhi bahwa Iram terletak di Iskandariyah (Alexandria), Mesir saat ini. Sedangkan Abu Ja’far berpendapat bahwa Iram terletak di Damaskus. Imam Ibnu Katsir yang mengutip riwayat dari Sa’id bin al-Musayyab juga menyebut bahwa Iram adalah sebuah kota yang terletak di Damaskus.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terdapat satu kesamaan yang tidak saling bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya, yaitu keterhubungan antara Iram dan ‘Ad. Keduanya adalah satu bagian. Hanya saja para ulama berbeda pendapat soal status nama Iram dan ‘Ad, sebagai nama kabilah atau nama kota, begitu juga sebaliknya. Jawaban yang mengakomodasi hal ini adalah pendapat Imam al-Baydhawi dalam Anwar a-Tanzil wa Asrar al-Ta‘wil (juz 5, h. 310), bahwa Iram adalah nama bagi sebuah kabilah sekaligus nama sebuah negeri.

Karakteristik Kota Iram

Kota Iram dalam narasi tafsir Alquran dijelaskan dengan tiga karakteristik utama, yaitu ciri kota, ciri penduduk, dan ciri pekerjaan.  Hal tersebut disebut Alquran dalam Q.S. Al-Fajr [89]: 6-9:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ  *  إِرَمَ ذَاتِ ٱلْعِمَادِ  *  ٱلَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي ٱلْبِلاَدِ  *  وَثَمُودَ ٱلَّذِينَ جَابُواْ ٱلصَّخْرَ بِٱلْوَادِ

Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram (ibu kota kaum ‘Ad) yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang sebelumnya tidak pernah dibangun (suatu kota pun) seperti itu di negeri-negeri (lain)? (Tidakkah engkau perhatikan pula kaum) Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah.

Berdasarkan pendapat Imam Ibnu Katsir, kaum ‘Ad mendiami kota Iram. Mereka tinggal di gedung-gedung tinggi yang ditegakkan dengan pilar-pilar yang kokoh. Data ini dikuatkan oleh berbagai pendapat ulama tafsir.

Baca juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad

Tentang ciri fisik kaum ‘Ad, Imam Ibnu Katsir menyebut perawakan penduduk kota Iram besar, jika diukur pada zaman itu. Hal itu dipertegas dengan pendapat Imam al-Thabari yang menyatakan bahwa penduduk Iram adalah Dzat al-‘Imad, yang berarti memiliki ketinggian, hal itu berasal dari perkataan orang Arab untuk menggambarkan seseorang yang tinggi al-Rajul al-Thawil atau Rajul Mu’ammad, tinggi perawakannya.

Adapun perihal pekerjaan penduduk Iram, menurut Imam al-Baydhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (juz 5, h. 310), salah satu pekerjaan orang Iram adalah memahat gunung-gunung sebagai bahan untuk membuat bangunan. Ini seperti yang disinggung Q.S. Al-Syu’ara [26]: 149:

وَتَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا فٰرِهِيْنَ

“Kamu pahat dengan terampil sebagian gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah yang mewah.”

Apa yang dilakukan oleh kaum ‘Ad adalah di luar kebiasaan. Al-Thabari mengutip pendapat Ibnu Zayd, menjelaskan bahwa orang Iram membangun dan membuat bangunan tinggi yang memiliki rongga-rongga. Aktivitas semacam itu tidak didapati di tempat lain.

Kisah Kehancuran dan Pelajarannya 

Berdasarkan karakteristik kota, perawakan fisik, dan pekerjaan orang-orang Iram, dapat terlihat kelebihan dan kekhususan yang mereka miliki. Nabi Hud memperingatkan kaum ‘Ad atas segala karunia Tuhan itu, untuk taat kepada Allah. Akan tetapi, mereka sombong dengan segala kelebihan yang mereka miliki, seperti dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir. Fakta itu didukung oleh Q.S. Fushshilat [41]: 15:

فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ

Adapun (kaum) ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya daripada kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka itu lebih hebat kekuatan-Nya daripada mereka? Mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.

Menurut Imam al-Syaukani, kisah tentang kaum ‘Ad dan Tsamud sudah dikenal oleh masyarakat Arab karena letaknya yang juga berada di tanah Arab. Orang-orang Arab mendengar kisah tentang ‘Ad dan Tsamud dari ahli kitab, ketika bercerita tentang Fir’aun.

Imam al-Baydhawi menceritakan bahwa ‘Ad memiliki dua anak bernama Syadad dan Syadid. Mereka berkuasa dan menaklukkan. Kemudian, Syadid mati. Syadad lalu berkuasa dan menguasai banyak kerajaan di bawahnya. Mereka semua tunduk kepada Syadad. Syadad, kemudian mendengar kata surga dan segala keindahannya, lalu ia membangun hal serupa surga di salah satu gurun di Aden dan menamainya Iram.

Baca juga: Kaum Madyan dalam Alquran: dari Asal Usul Penamaan hingga Silsilah Keturunan

Imam al-Zamakhsyari, dalam al-Kasysyaf (juz 4, h. 748), melengkapi data di atas dengan menambahkan informasi tentang lamanya proses pembuatan bangunan-bangunan menyerupai surga tersebut, yaitu selama 300 tahun. Umur Syadad sendiri adalah 900 tahun. Dikabarkan, Iram adalah kota yang sangat megah; istana-istananya dibangun dari emas dan perak dan menara-menaranya terbuat dari batu zamrud dan batu permata. Di dalamnya terdapat berbagai jenis pepohonan dan sungai-sungai yang mengalir. Setelah Iram selesai dibangun, Syadad pergi ke Iram bersama penduduknya menempuh perjalanan sehari semalam. Lalu Allah kemudian menurunkan guntur dari langit yang membuat mereka binasa.

Berdasarkan kisah di atas, citra yang menonjol dari apa yang dilakukan oleh kaum ‘Ad adalah tentang kemajuan dalam hal teknik bangunan dan arsitektur yang mencapai taraf tertinggi pada masanya. Keberhasilan tersebut menjadi gambaran majunya peradaban kota Iram. Penduduk kota Iram atau kaum ‘Ad memang berhasil membangun bangunan fisik yang megah, tetapi gagal membangun kebijaksanaan dan kearifan diri di hadapan Tuhan atas segala anugerah yang mereka miliki. Orientasi pembangunan yang mereka lakukan adalah untuk kesombongan. Mereka berusaha “menentang” Allah dengan membuat sebuah kota menyamai surga yang bahkan belum pernah mereka lihat.

Baca juga: Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 1)

Masih tentang kemurkaan Allah atas kaum ‘Ad, Imam Ibnu Katsir berpendapat bahwa azab Allah turun disebabkan oleh beberapa sifat buruk kaum ‘Ad, di antaranya adalah: pembangkangan, zalim, tiran, dan tidak taat kepada Allah. Mereka juga mendustakan nabi dan mengingkari kitab-Nya.

Menurut Syaikh Isma’il Haqqi, dalam kisah kaum ‘Ad terdapat pengajaran Allah yang memuat relevansi kesejarahan, bahwa kehancuran umat terdahulu, sebagaimana kaum ‘Ad akan terjadi pula pada kaum Nabi Muhammad yang ingkar (Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juz 10, h. 422)

Tragedi hancurnya kaum ‘Ad berlaku umum, orang-orang yang membelakangi kebenaran dan berbuat kezaliman akan binasa. Sedangkan, orang-orang yang beriman dan mengikuti kebenaran akan selamat. Keimanan harus menjadi dasar sekaligus tujuan dalam pembangunan peradaban manusia. Wa allahu a’lam bi al-shawab.                                                           

Sikap Alquran Terhadap Flexing Culture

0
Flexing Culture
Flexing Culture

Di tengah kenyataan sosial media kita hari ini muncul kosa kata “flexing” sebagai subkultur baru yang tumbuh di era media informasi digital. Menurut later.com, “Social Media Glossary”, istilah “flex” berasal dari Bahasa Inggris Afrika-Amerika/ African-American Vernacular English (AAVE). “Flex” adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang pamer dan menyombongkan diri. Hal-hal yang dipamerkan dapat berupa pencapaian, keterampilan, atau kepemilikan materi sebagai sarana untuk menegaskan status atau dominasi seseorang dalam kelompok sosial.

Akar tindakan flexing memiliki ikatan kuat dengan materialisme. Menurut ahli psikologi, Tim Kasser dalam tulisan Emma Grey Ellis, “The Psychological Impact of Seeing Youtubers Spend Millions” berpendapat bahwa, setelah mengetahui lebih dari 200 penelitian, ia mendapati: semakin seseorang mendukung materialisme, semakin buruk kesejahteraan psikologisnya.

Hal baiknya adalah ia akan lebih kompetitif, namun kurang berempati, kurang pro-sosial dan lebih cenderung untuk mendukung keyakinan yang bersifat prasangka dan diskriminatif. Berkaitan dengan hal itu, dan dalam rangka menyikapi realitas faktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tersebut, adakah argumentasi konseptual dan moral ideal Alquran tentang flexing?

Baca Juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial 

Argumen Alquran Tentang Flexing

Flexing yang bertujuan untuk memamerkan sesuatu adalah hal yang tidak dapat dibenarkan. Misalnya, seseorang yang melakukan segala cara, bahkan melanggar batas-batas etika, hukum dan norma agar mendapat status sosial tertentu di tengah masyarakat, agar dikenal sebagai “crazy rich” atau “sultan”, atau status-status lain serupa sebagai  identitas yang melekat pada dirinya.

Bahkan, dalam taraf tertentu, tindakan dan perbuatan yang dilakukannya diarahkan untuk memperoleh atensi besar dari masyarakat luas. Kebanggaan, kegembiraan dan kesenangannya bergantung pada benda-benda yang dimilikinya serta penilaian dan validasi orang lain. Dalam situasi semacam ini, pelaku flexing tidak lain adalah seorang yang materialis. Alquran menyinggung hal tersebut pada QS. Altakatsur [102]: 1;

 اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ  (1)  حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ (2)

Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Secara historis, menurut Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Juz 20, 169), ayat ini berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang mengatakan, kami lebih banyak memiliki harta daripada bani fulan dan bani fulan. Mereka tenggelam dalam kesibukan memamerkan harta yang mereka miliki dan lupa untuk taat kepada Allah, sampai akhirnya mati dan dikuburkan dalam tanah.

Menurut al-Dhahhak, berbangga-bangga dapat membuat orang lupa dan sibuk karena persoalan kehidupan dan perdagangan. Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan berpendapat, objek yang dibangga-banggakan dapat berupa harta dan anak. Qatadah menambahkan, berbangga dengan suku dan keluarga.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Takatsur: Kritik Al Quran Kepada Mereka yang Bermegah-Megahan

Fakta sejarah ini memiliki kesamaan dengan perilaku flexing. Letak kesamaannya ada pada obsesi terhadap dunia dan perasaan lebih dari orang lain. Keadaan itu menjadi dinding bagi orang-orang yang berbangga dengan harta, untuk dapat melihat tujuan yang sesungguhnya, yaitu akhirat.

Secara teoritis, perilaku flexing juga menemukan kemiripannya dengan apa yang disebut sebagai “conspicuous consumption”, yaitu perilaku konsumen dalam menggunakan barang-barang dengan kualitas tinggi atau dalam jumlah yang lebih banyak daripada keperluan. Istilah ini pertama kali disebut oleh ahli ekonomi dan sosiolog, Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of The Leisure Class (1899).

Praktik yang demikian itu, menjelaskan motivasi dan perilaku konsumen terhadap barang-barang mewah. Sebagai contoh, mobil mewah, bagi mereka, kepemilikian mobil mewah lebih menunjukkan kemakmuran penggunanya. Mobil mewah juga merupakan simbol kehormatan, orang-orang akan kagum dengan hal itu. Kekaguman akan datang dari orang-orang yang tidak mampu memiliki mobil tersebut. Mobil mewah itu juga menjadi penanda status sosial di tengah-tengah masyarakat.

Selanjutnya, apakah perilaku flexing berdampak bagi pelakunya?. Tentu saja, dalam flexing terdapat potensi-potensi lahirnya sifat-sifat buruk. Berdasarkan penelitian yang ditulis oleh Rafli Maulana Lubis dan Hasan Sazali, “Analysis of the Flexing Phenomenon on Social Media: Islamic Perspective”, flexing dapat memunculkan sifat riya dan kesombongan, materialistik, tidak peduli keadaan sosial, individualis, menjadikan harta sebagai standar penilaian atas orang lain, memicu terjadinya kejahatan.

Sebagai satu tindakan yang berdampak luas dalam kehidupan seseorang, baik bagi pelakunya ataupun yang melihatnya, flexing adalah tindakan yang tidak benar. Pada surah Luqman [31]: 18, Allah melarang untuk berperilaku sombong, angkuh dan membanggakan diri:

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.

Kesan dari ayat ini adalah idealisasi Alquran tentang pola komunikasi yang egaliter. Menurut Imam al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Juz 14, 70), hendaknya seseorang menerima manusia lainnya dengan tidak berpaling muka, berkomunikasi dengan akhlak yang baik.

Baca Juga: Tafsir Surat Luqman ayat 18: Jauhi Sikap Sombong dan Angkuh!

Imam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir (Juz 4, 277) mengutip riwayat dari Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas, mengungkapkan maksud ayat ini sebagai dorongan untuk tidak bersikap sombong, tidak merendahkan, dan tidak berpaling muka saat berbicara kepada manusia. Tidak memalingkan lehernya jika ada yang mengucapkan salam, seperti yang dilakukan oleh orang yang sombong. Kaya atau miskin, berkedudukan atau tidak, idealnya seseorang berkomunikasi dengan baik.

Flexing dalam konteks ini adalah satu contoh komunikasi tidak setara. Intensi awal pelaku flexing adalah merasa lebih tinggi dari orang lain, atau objek komunikasinya. Lebih celaka lagi, itu ditampilkan dalam media sosial yang menjangkau lebih banyak orang (netizen). Hal itu tidak lain adalah demonstrasi keterbatasan akal dan etika pelakunya.

Berdasarkan ayat-ayat di atas, Alquran tidak membenarkan flexing, karena berpotensi merubah pelakunya secara menyeluruh, seperti: berubahnya orientasi dalam menilai kehidupan dan tujuannya, terganggunya aspek psikologis, menjadi seseorang yang “menghamba” pada kekaguman manusia, secara sosial menjadi terbatas, secara ekonomi, menjadi orang yang sangat terobsesi pada perolehan harta secara instan sehingga cenderung menghalalkan segala cara. Itu semua berkebalikan dari nilai-nilai moral Alquran yang mulia.

Wallahu a’lam.

Menepis Anggapan tentang Status Mansukh Ayat-ayat Perdamaian

0
Menepis Anggapan tentang Status Mansukh Ayat-Ayat Perdamaian
Menepis Anggapan tentang Status Mansukh Ayat-Ayat Perdamaian

Pada dasarnya, Islam mengajarkan bahwa dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang yang berbeda keyakinan, hendaknya harus mengedepankan sikap damai dan toleransi. Hal ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari rahmatan lil ‘alamin yang disandang agama Islam.

Dalam konteks perbedaan agama, Syaikh Wahab Khalaf mengatakan bahwa hubungan atau relasi antara kaum muslim dengan non-muslim pada dasarnya dibangun di atas asas perdamaian dan keselamatan. Asas ini tentu berlaku selama tidak ada permusuhan atau kejahatan yang mereka lakukan. [al-Siyasah al-Syar’iyah, hal. 83]

Alquran juga telah mengatur bagaimana seharusnya kita bersikap dengan non-muslim yang tidak sedang memerangi kita. Dalam surah Al-Mumtahanah [60] ayat 8, Allah swt. berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 8

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Klaim Bahwa Ayat-Ayat Perdamaian Telah Dinasakh

Islam merupakan agama yang mengusung kedamaian dan keselamatan. Oleh karenanya, ada banyak ayat-ayat maupun hadis yang mencerminkan ajaran Islam yang toleran, inklusif, dan tentunya membawa rahmat dan kasih sayang bagi semua kalangan. Meski tidak dipungkiri juga Islam juga memiliki ajaran-ajaran yang menunjukkan ketegasan dan sikap keras di beberapa kondisi tertentu.

Mengenai dua ayat yang sekilas tampak kontradiksi ini, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang membawa pesan damai dalam Alquran telah dinasakh oleh ayat lain yang secara diametral berlawanan dengan kedamaian. Di antara misalnya adalah surah al-Baqarah ayat 256

{….لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ}

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat….” Q.S. al-Baqarah [02]: 256.

Ayat di atas menjelaskan bahwa sejatinya tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Pasalnya, kebenaran agama Islam sudah terpampang jelas di hadapan mata sehingga tida perlu ada pemaksaan untuk mengajak orang lain masuk Islam. disamping itu, hakikat dari memeluk sebuah agama adalah keyakinan yang tertancap di dalam hati. Dan itu tidak akan terwujud hanya karena ritual agama yang dilakukan secara terpaksa. [Zaad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, juz 1, hal. 231]

Selain ayat di atas, banyak ayat lain yang diduga telah mengalami proses nasakh. Termasuk dalam contoh ini yaitu firman Allah swt. dalam surat al-Nisa ayat 90,

{فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلًا}

“Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangimu serta menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” Q.S. an-Nisa’ [04]: 90

Dalam ayat ini, dipahami bahwa Allah swt. tidak membenarkan tindakan peperangan dan penyergapan terhadap mereka yang meminta perdamaian dengan umat Islam. Dengan perjanjian damai tersebut, umat Islam pun dilarang menggangu jiwa dan harta mereka. [Fath al-Bayan fi Maqasid al-Quran, juz 3, hal. 197].

Masih banyak ayat yang semakna dengan dua ayat di atas, akan tetapi, ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat perdamaian tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat perang. Bahkan, sebagaimana dikutip oleh imam as-Suyuthi, sekitar seratus lebih ayat berisi perdamaian, kerukunan dan hidup berdampingan dengan non-muslim telah dinasakh dengan Q.S. at-Taubah ayat 5 tentang kewajiban berperang. [Al-Itqan fi Ulum al-Quran, juz 3, hal. 78].

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ayat-Ayat Perdamaian Tidak Dinasakh

Dianulirnya ayat-ayat perdamaian oleh sebagian ulama dianggap problem oleh sebagian ulama lainnya. Pergeseran paradigma dan adanya pengkajian lanjutan dari ulama berikutnya menghasilkan kesimpulan bahwa ayat-ayat yang berisi tuntunan damai, toleransi dan sebagainya tetap berlaku bahkan ada yang mengatakan termasuk ayat muhkam.

Imam az-Zarkasyi termasuk salah satu di antara sekian ulama yang menolak adanya nasikh-mansukh dalam ayat-ayat perdamaian di atas. Beliau menolak pendapat sebagian besar ulama tafsir yang  mengklaim bahwa ayat damai telah dinasakh.

Dalam kitabnya, Imam al-Zarkasyi memahami bahwa untuk memahami ayat-ayat yang tekesan kontradiksi seperti ayat perang dan ayat damai tersebut membutuhkan satu teori yang beliau istilahkan dengan al-munsa’ (المنسأ).

Teori ini erat kaitannya dengan kontekstualisasi, yakni mempertimbangkan situasi dan kondisi ketika ayat tersebut diturunkan. Artinya, masing-masing dari ayat damai dan ayat perang berlaku kondisional sesuai dengan alasan hukumnya. [al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, juz 2, hal. 42]

Perlu diketahui bahwa nasakh merupakan alternatif terakhir dalam metode penafsiran teks. Ia tidak bisa digunakan secara serampagan mengingat akan berimplikasi pada dianulirnya suatu hukum atau dalil hukum. Pendekatan nasakh hanya dapat digunakan manakala usaha melakukan kompromi terhadap dua dalil yang bertentangan menemui jalan buntu.

Maka dari itu, guru kami, KH. Afifuddin muhajir pernah menjelaskan bahwa apa yang diklaim sebagai nasikh-mansukh oleh ulama mutaqaddimin bisa jadi berubah ketika ulama berikutnya berhasil melakukan kompromi atas dalil-dalil tersebut. Wallah a’lam.