Beranda blog Halaman 59

Kitab Tafsir yang Tidak Ditulis oleh Mufasirnya

0
kitab tafsir yang tidak ditulis oleh mufasirnya_tafsir al-Imam asy-Syafii
kitab tafsir yang tidak ditulis oleh mufasirnya_tafsir al-Imam asy-Syafii

Ada beberapa tokoh atau ulama yang melakukan tindakan penafsiran, seperti upaya mengungkap pemahaman dan kandungan Alquran, baik dari segi hukum, akidah dan lainnya; juga upaya membangun metode atau cara memahami Alquran, namun beliau yang bersangkutan tidak mendokumentasikan ‘pekerjaannya’ tersebut dalam satu jilid tulisan.

Penafsiran non-tulis tersebut kemudian dihimpun dan ditulis oleh murid sang mufasir; atau juga oleh para peneliti setelah sang mufasir wafat. Sebagai bentuk kepemilikan tafsir, kumpulan penafsiran itu kemudian diberi judul sesuai nama pemilik tafsir, bukan penulisnya. Oleh karena itu, sangat mungkin bagi kitab tafsir yang dimaksud ini disebut dengan kitab tafsir yang tidak ditulis oleh mufasirnya.

Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

  1. Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās

Dikumpulkan dan ditulis oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi (w. 818 H). Kitab ini merupakan kumpulan riwayat-riwayat Ibn Abbas (w. 687 M./78 H.) tentang penafsiran Alquran yang dikutip oleh al-Fairuzabadi melalui serangkaian jalur periwayatan yang sampai kepadanya, meski masih tetap ada perbedaan pendapat mengenai kuat atau lemah jalur sanad ini. Terdapat penafsiran atas 114 surah dalam satu jilid.

  1. aḥīfah ‘Ali bin Abi alhah ‘an Ibn ‘Abbās fī at-Tafsīr (1989 M.)

Kitab tafsir ini ditulis oleh Ahmad bin Ayisy al-Latif al-‘Ani. Karya ini merupakan tesis dari pengarangnya di Universitas Umm al-Qura, Arab Saudi. Penelitian ini berdasar pada pernyataan para cendekiawan sebelumnya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Adz-dzahabi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, tentang adanya sebuah sahifah yang berisi tentang penafsiran Ibn Abbas yang berasal dari riwayat Ali bin Abi Talhah. Penjelasan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian. Pertama membahas seputar validasi sahifah; Kedua membahas riwayat-riwayat tafsir Ibn Abbas dalam sahifah tersebut.

  1. Tafsīr Sufyān ats-Tsaurī (1983 M.)

Kumpulan penafsiran Sufyan ats-Tsauri ini dihimpun oleh Imtiyaz Ali Arsyi. Kitab tafsir ini adalah kumpulan riwayat-riwayat tafsiriyah Sufyan ats-Tsauri (777 M.) yang tersebar di berbagai literatur. Tafsir ini menggunakan riwayat Abu Ja’far Muhammad dari Abu Hudzaifah an-Nahdy dari At-Tsaury. Kegiatan ini dilakukan oleh mudir di Maktabah Ridho, Rampur, India yang bernama Imtiyaz Ali Arsyi.

  1. Tafsīr Asy-Sya’rāwī (Khawāṭir aula al-Qur’ān al-Karīm) (1991 M.)

Penulisan dan penghimpunan kitab tafsir dilakukan oleh sebuah kepanitiaan yang di antara anggotanya adalah Muhammad al-Sinrawi dan Abd Waris al-Dasuqi. Kitab tafsir ini terdiri dari 20 jilid. Tafsir ini merupakan hasil dokumentasi ceramah asy-Sya’rawi yang kemudian diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum. Sebagai konfirmasi dan validasi dari pemilik materi tafsir, dalam versi cetaknya, disertakan pernyataan tertulis dari asy-Sya’rawi yang mengatakan bahwa isi kitab tafsir tersebut adalah benar pemikirannya dan dilengkapi pula dengan tanda tangannya.

  1. Tafsīr al-Imām asy-Syāfi’ī (2006 M.)

Sisi mufasir dari seorang Imam asy-Syafii coba ditunjukkan oleh penulis kitab ini, yaitu Ahmad bin Mustafa al-Farran. Karya ini merupakan hasil penelitian doktoral dari sang penulis di Universitas Khaurtum, Sudan tahun 2004. Sebelum masuk ke pembahasan seputar penafsiran Imam asy-Syafii, Ahmad al-Farran terlebih dahulu memberi penjelasan beberapa istilah seputar tafsir secara definitif; perkembangan penafsiran dari masa Nabi hingga era Imam asy-Syafii; posisi dan peran Imam asy-Syafii dalam dunia penafsiran dan seterusnya. Kitab ini hanya satu jilid, namun sangat tebal hingga 1500-an halaman.

Setidaknya lima kitab tafsir tersebut yang berhasil dihimpun dan dikumpulkan oleh murid sang pemilik tafsir atau oleh peneliti. Sangat mungkin masih banyak kitab tafsir yang mempunyai ‘kasus’ yang sama dengan kitab-kitab tafsir tersebut.

Propaganda Kaum Musyrikin: Utusan Allah Selayaknya Malaikat bukan Manusia

0
Propaganda Kaum Musyrikin: Utusan Allah Selayaknya Malaikat bukan Manusia
Propaganda Kaum Musyrikin: Utusan Allah Selayaknya Malaikat bukan Manusia

Keraguan kaum musyrikin akan kenabian Rasulullah Saw bukanlah hal baru dalam perkembangan dakwah tauhid. Nabi-nabi sebelum beliau juga mengalami penolakan yang sama oleh kaum mereka. Tidak berimannya kaum para Nabi terdahulu juga memiliki latar pemikiran yang sama, yakni mengandaikan bahwa utusan Allah selayaknya adalah malaikat, bukan manusia. Itu adalah propaganda yang mereka sebarkan  kepada masyarakat, sehingga menjadi paradigma fundamental untuk menolak kenabian. Paradigma malaikat sebagai rasul ideal yang membuat banyak kaum tidak mau beriman ini termaktub dalam surah Alisra’ [17]: 94-95.

وَما مَنَعَ النَّاسَ أَنْ يُؤْمِنُوا إِذْ جاءَهُمُ الْهُدى إِلَاّ أَنْ قالُوا أَبَعَثَ اللَّهُ ‌بَشَراً ‌رَسُولاً (94) قُلْ لَوْ كانَ فِي الْأَرْضِ مَلائِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنا عَلَيْهِمْ مِنَ السَّماءِ مَلَكاً رَسُولاً (95)

Dan tiada yang mencegah manusia untuk beriman ketika petunjuk datang kepada mereka kecuali mereka katakan, “Apa iya Allah mengutus manusia sebagai rasul?” Katakanlah seandainya di bumi para malaikat berjalan dengan tenang sungguh kami akan turunkan kepada mereka malaikat utusan dari langit.

Dalam kitab al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menjelaskan bahwa ayat ini menjadi illat al-ashliyah atau sebab fundamental mengapa kaum musyrikin senantiasa mengingkari dan mendustakan pesan dari Alquran. Mereka keberatan akan wahyu, karena dalam benak mereka mustahil Allah mengutus manusia seperti mereka untuk menyampaikan suatu risalah. Pemikiran inilah yang menjadi pokok dari berbagai alasan yang mereka ungkapkan, sehingga orang-orang dengan keyakinan ini tidak dapat diharapkan untuk beriman meskipun datang berbagai ayat kepada mereka.

Baca Juga: Dukungan Politik Elite Quraisy untuk Nabi Muhammad: Antara Prasyarat, Ujian, dan Kesempatan

Segala argumentasi yang mereka bangun hanyalah pembenaran atas pandangan mereka untuk menolak masuknya agama. Meskipun telah datang Rasul yang mereka minta, tidak akan berubah keyakinan yang telah dianut.

Propaganda Kaum Nabi-nabi Terdahulu

Propaganda mereka ini secara zahir membuat masyarakat tenggelam dalam paradigma berpikir terkungkung tersebut. Propaganda ini mencegah banyak orang untuk beriman, hal yang juga terjadi pada kaum sebelumnya seperti masyarakat Nabi Nuh as yang berkata;

مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلائِكَةً مَا سَمِعْنا بِهذا فِي آبائِنَا الْأَوَّلِينَ [الْمُؤْمِنُونَ: 24]

Bukanlah orang ini kecuali manusia seperti kalian yang menginginkan untuk dimuliakan atas kalian. Jika Allah berkehendak sungguh Dia akan menurunkan malaikat. Kita tidak mendengar akan hal ini terkait kakek moyang kita terdahulu.

Propaganda kaum Nabi Hud as;

مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ وَلَئِنْ أَطَعْتُمْ بَشَراً مِثْلَكُمْ إِنَّكُمْ إِذاً لَخاسِرُونَ [الْمُؤْمِنُونَ: 33- 34]

Bukanlah orang ini kecuali manusia seperti kalian yang makan dari apa yang kalian memakannya dan minum dari apa yang kalian meminumnya. Sungguh jika kalian menaati manusia seperti kalian, maka sungguh kalian benar-benar rugi.

Demikian pula propaganda yang dijalankan oleh kaum Nabi Shalih as, Nabi Syuaib as, dan Fir’aun yang terangkum dalam surah Alsyu’ara dan Almu’minun. Mereka semua keberatan jika manusia yang sama seperti mereka menjadi utusan Allah. Terlebih jika rasul tersebut membawa risalah yang bertentangan dengan status quo. Propaganda ini lebih diterima masyarakat melalui penyebaran yang masif dari para elit maupun penguasa seperti Fir’aun. Hasil akhir yang didapatkan umat terdahulu adalah datangnya azab dari Allah, karena rendahnya perhatian mereka terhadap kebenaran.

Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad

Keutamaan Nabi Muhammad Saw: Membangun Dialektika Berpikir  

Lebih lanjut, Ibn Asyur menjelaskan keutamaan Nabi Muhammad Saw yang diberikan kesempatan untuk mencerabut propaganda di atas hingga ke akarnya. Kesempatan yang tidak diajarkan kepada para rasul sebelumnya. Mereka menghadapi propaganda tersebut dengan pertolongan langsung dari Allah saat kaumnya dibinasakan dengan azab. Allah mengkhususkan Nabi Saw dengan adanya petunjuk untuk membatalkan propaganda kaum musyrikin karena beliau adalah penutup dari para Nabi Saw.

Adapun makna ayat 95 menurut Ibn Asyur yakni Allah mengutus seorang rasul kepada suatu kaum dari jenis mereka agar terwujud kemungkinan dialog. Alasannya menurut beliau karena jenis yang sama memudahkan pergaulan. Beliau juga mengutip surah Alan’am [6]: 9, jikapun malaikat yang diutus, maka akan dijadikan dalam bentuk manusia, agar memungkinkan untuk berkomunikasi dengan manusia.

Tuntutan kaum musyrik yang ingin malaikat bertindak sebagai rasul terlihat ganjil jika dibandingkan dengan sejarah manusia yang bermula dari Nabi Adam. Oleh karenanya, pada ayat 70 sebelumnya disinggung terkait kemuliaan bani Adam. Pada ayat tersebut Imam al-Razi menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus manusia dipandang lebih mulia dibandingkan dengan malaikat. Pertama adalah para Nabi yang lebih mulia dari malaikat dengan dalil bahwa para malaikat diminta untuk bersujud menghormati Nabi Adam. Demikian pula antara mukmin awam dan malaikat pada umumnya jika merujuk pada riwayat Abu Hurairah, maka Muslim lebih afdal dari malaikat. Kontra narasi terhadap propaganda kaum musyrikin di atas pada akhirnya menjadi pemikiran arus utama seiring dengan berkembangnya keilmuan.

Baca Juga: Narasi Sosial Penghambat Dakwah Rasulullah saw.

Dialektika di atas tidak pernah dapat dibangun pada umat sebelumnya, karena mereka telah menutup diri dari satu pemikiran baru. Oleh karenanya, kritis terhadap suatu propaganda usang yang kontraproduktif terhadap peradaban kemanusiaan menjadi keniscayaan jika kita hendak melanjutkan sunah Nabi Saw.

Wallahu a’lam.

Keadilan Agraria dalam Narasi Tafsir Alquran

0
Keadilan agraria dalam narasi Alquran
Keadilan agraria dalam narasi Alquran

Agraria menurut Center for Agrarian Studies (Pusat Studi Agraria) adalah hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria juga sering disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal agraria berhubungan erat dengan pertanian, karena pada awalnya keagrariaan muncul terkait dengan pengelolaan lahan. Dalam konteks itu, di Indonesia, persoalan agraria masih menyisakan banyak permasalahan, salah satunya berkaitan dengan konflik ketidakadilan agraria.

Mia Siscawati pada Laporan Final Pembelajaran Dari Mediasi Konflik Sumber Daya Alam di Indonesia dan Negara Lain, dengan menggunakan data Sawit Watch, mengungkapkan adanya 11,5 juta hektar ekspansi hutan tanaman industri termasuk kelapa sawit yang terjadi pada tahun 2012. Hal ini melampaui batas ekspansi resmi 400.000 hektar per tahun. Diperkirakan pada tahun 2025, ekspansi hutan tanaman industri mencapai 20 juta hektar. Hal ini tentu saja mengancam keanakeragaman hayati hutan Indonesia.

Baca juga: Tugas Khalifah dan Krisis Ekologi: Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 1]
Masih bersumber pada data yang sama, persoalan ketidakadilan penggunaan lahan juga diperparah dengan konflik antara perusahaan (khususnya kelapa sawit) dengan masyarakat lokal. Dari 22 provinsi dan 143 kabupaten kota, terdapat total 591 konflik pertanahan yang terkonsentrasi di Kalteng (250 kasus); Sumut (101 kasus); Kaltim ( 78 kasus), Kalbar (77 kasus) dan Kalsel (34 kasus).

Konflik lahan paling baru terjadi antara Pemerintah dengan penduduk Kampung Tua Rempang Kecamatan Galang Kota Batam, berkaitan dengan rencana pembangunan Rempang Eco City. Dalam konteks ini, Alquran sesungguhnya telah memberikan standar-standar etis yang dapat dijadikan sudut pandang dan titik pijak dalam menciptakan keadilan agraria.

Kedudukan Tanah dan Peruntukannya

Diskusi mengenai keadilan agraria dalam Alquran berkorelasi kuat dengan pemahaman dan kesadaran tentang kedudukan, fungsi, dan sikap manusia terhadap lahan (tanah). Sikap adil hanya akan dapat dicapai dengan memahami dan mengerti tiga hal itu.

Yang pertama adalah posisi dan kedudukan tanah sebagai makhluk Allah, menjadi subjek yang juga bertasbih kepada Allah, seperti tergambar pada Q.S. Alisra [17]: 44.

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا

“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”

Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith (juz 1, h. 13), terdapat makna khusus tanah (al-ardh), sebagai tempat yang di (atasnya) terdapat banyak tanaman (vegetasi). Melalui arti inilah, kata al-ardh dinilai dan diposisikan sebagai media tanam yang juga berkait erat dengan tumbuhnya berbagai tanaman.

Berkaitan dengan hal itu, Alquran memberi penegasan tentang kedudukan langit, bumi (tanah), benda-benda mati (jamadat) serta apa yang terdapat di dalamnya sebagai makhluk yang bertasbih kepada Allah. Dengan makna itu, maka kurang tepat jika manusia memposisikan tanah dan lainnya hanya sebagai objek semata. “Mereka” sesungguhnya adalah subjek yang turut bertasbih kepada Allah.

Bagaimana tasbih langit, bumi, dan benda-benda mati lainnya? Imam al-Baghawi dalam tafsir Ma’alim al-Tanzil (juz 5, h. 96), menjelaskan bahwa tasbih semua benda itu ditunjukkan dengan kompleksitas susunan dan strukturnya yang menjelaskan kesempurnaan pencipta-Nya. Itu adalah kedudukan tasbih “mereka.”

Ilmu tentang benda-benda mati dan tasbihnya hanya diketahui Allah. Manusia tidak memahaminya kecuali tasbih yang dilakukan oleh manusia. Sebagai subjek, tanah dalam hal ini memiliki relasi dengan semua makhluk lain termasuk manusia.

Kedua, tanah menjadi wasilah ketersediaan sumber pangan semua makhluk. Secara mekanis, tanah dan tanaman membutuhkan air hujan untuk menjadi subur agar didapatkan hasil perkebunan dan pertanian yang maksimal sehingga dapat menjadi sumber makanan semua makhluk hidup. Hal itu dinarasikan Alquran pada Q.S. Albaqarah [2]: 22.

الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Salah satu wujud keadilan agraria adalah memaksimalkan fungsi lahan sebagai sumber kehidupan. Syaikh Thanthawi dalam tafsir al-Wasith (juz 1, h. 72), bahkan menyebut alasan tentang mengapa bumi diciptakan terlebih dahulu daripada langit. Jawabannya adalah karena bumi lebih dekat dengan mukhathabin (objek yang dituju, yaitu makhluk). Kebutuhan manusia terhadap bumi lebih terlihat daripada kebutuhan mereka atas langit.

Namun demikian, dilihat dari fungsinya, langit juga berperan penting dalam menciptakan kesuburan tanah. Menurut Imam al-Wahidi dalam tafsir al-Wajiz (h. 95), tanah menyediakan apa yang diperlukan oleh makhluk hidup. Imam al-Thabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (juz 1, h. 367), menambahkan bahwa melalui langit dan bumilah kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain sejahtera. Tanah menjadi tempat menanam tanaman. Hasilnya menjadi rezeki bagi manusia dan semua makhluk lain.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl ayat 15-16: Nikmat Allah Bagi Penduduk Bumi
Ketiga, sikap mulia manusia atas kemanfaatan yang diterima dari alam adalah dengan cara merawat, menjaga, dan melestarikannya. Imam al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (juz 7, h. 226) dengan mengutip pendapat al-Dhahhak, berpendapat bahwa salah satu sikap menjaga bumi adalah dengan tidak merusak sumber air dan tidak menebang pohon karena akan mengakibatkan kerugian (bagi banyak makhluk).

Dengan demikian maka, pengelolaan atas alam (termasuk tanah) harus berkesinambungan, sejalan dengan keadilan ruang, kemanfaatan dasar bagi semua makhluk. Isyarat itu terdapat dalam Q.S. Ala’raf [7]: 56.

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”

Berdasarkan argumentasi di atas, keadilan agraria itu berpusat pada kesadaran untuk memposisikan tanah sebagai subjek penting dalam kehidupan, sehingga sikap dan kebijakan eksploitatif dan merusak terhadapnya adalah pelanggaran yang tidak bisa dibenarkan.

Selanjutnya, keadilan atas tanah juga berada pada aspek fungsionalnya, yaitu pemanfaatan lahan (ihya al-mawat) yang berdampak bagi kesejahteraan makhluk hidup, bukan sebaliknya. Yang terakhir, keadilan agraria bersesuaian dengan semangat menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem serta sumber-sumber energi yang menjadi kebutuhan dasar hidup semua makhluk. Pengelolaan lahan tidak bisa hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan banyak pihak lain.

Menjadi Adil

Sikap adil adalah keharusan moral bagi orang beriman. Untuk itulah tidak dibenarkan bagi individu, perusahaan, dan bahkan pemerintah untuk menguasai hak atas tanah yang dimiliki oleh rakyat, terlebih dengan maksud memonopoli ruang hidup dan sumber kehidupan mereka. Suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menunjukkan akibat dari perbuatan tersebut.

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

“Siapa yang mengambil sejengkal/sedikit saja dari tanah secara aniaya maka dia akan dikalungkan dengan tanah sebanyak tujuh bumi pada hari kiamat .” [HR. Muslim].

Hadis lain yang menguatkan keadilan dalam memperoleh manfaat lahan adalah larangan untuk memonopoli tiga hal yaitu rumput, air, dan api, sebagaimana hadis Nabi.

عَنْ رَجُلٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: فِي اْلكَلَإِ وَاْلمَاءِ وَالنَّارِ

“Dari salah seorang Sahabat radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku mendengar beliau bersabda: Manusia itu sama-sama berhak dalam tiga hal: dalam padang rumput, air, dan api.” [HR. Abu Dawud]

Setarikan nafas dengan semangat keadilan agraria, Alquran melarang perputaran uang terpusat hanya pada orang-orang kaya dan penguasa. Bahkan, menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani (juz 5, h. 169), hal itusama halnya seperti kebiasaan orang jahiliah. Semangat anti monopoli itu digambarkan Alquran pada Q.S. Alhasyr [59]: 7.

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”

Menurut Imam Al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghayb (juz 29, h. 507), harta rampasan perang hendaknya diberikan pula kepada fakir miskin untuk biaya kehidupan mereka. Hal ini bertujuan agar mereka tidak hidup dalam dominasi orang-orang kaya. Senada dengan hal itu, Alquran juga tidak membenarkan sebuah sistem yang eksploitatif. Oleh karenanya, pembebasan terhadap perbudakan adalah jalan mendaki yang sukar, seperti diungkapkan Alquran pada Q.S. Albalad [90]: 13.

وَمَآ أَدْرَاكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ  *فَكُّ رَقَبَةٍ

“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?. (Itulah upaya) melepaskan perbudakan.”

Dalam Haqa’iq al-Tafsir (juz 2, h. 396), Imam al-Sulami berpandangan bahwa membebaskan perbudakan adalah pembebasan atas rendahnya keserakahan.

Titik Temu dan Kemaslahatan

Nilai-nilai Alquran menjunjung tinggi keadilan agraria. Hal itu sejalan dengan tujuan-tujuan syariat yang memelihara dan menjamin keberlangsungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Perampasan tanah, penyeragaman tanaman industri yang merusak keanekaan tanaman hutan, eksploitasi pertambangan yang destruktif adalah wujud dari membelakangi nilai-nilai beragama.

Secara praktis, prinsip-prinsip keadilan agraria yang diusung Alquran adalah juga untuk melindungi orang-orang yang secara langsung bergantung pada sumber daya alam seperti masyarakat marjinal (Mustadh’afin), para petani, masyarakat adat, dan lain-lain.

Ketidakadilan agraria hanya akan menyebabkan sengketa dan konflik. Kesadaran untuk bersikap adil akan mengurangi potensi konflik lahan yang mungkin terjadi antar berbagai pihak. Tujuan idealnya adalah melahirkan kemaslahatan bersama. Hal itu sejalan dengan kerangka hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pasal 33 ayat (3) undang-undang dasar 1945 yang menyatakan: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

Jelang Hari Santri 2023, Kemenag Harap Jadi Momen Glorifikasi Pesantren

0
Pembukaan Kopdar Penguatan Media untuk Publikasi Hari Santri 2023
Pembukaan Kopdar Penguatan Media untuk Publikasi Hari Santri 2023

Bandung (16/9)-Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober adalah momentum yang tepat untuk mengglorifikasi capaian kalangan pesantren. Glorifikasi ini perlu karena santri telah melakukan berbagai kebaikan, namun jarang diketahui oleh publik luas.

Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama, Muhammad Ali Ramdhani, saat membuka acara “Kopdar Pengelola Media Pesantren untuk Penguatan Moderasi Beragama,” di Kota Bandung, Sabtu (16/09/2023) malam.

Menurut Ramdhani, selama ini setiap ada kejadian kecil di lingkungan pesantren yang sedikit mengganggu, maka kemudian langsung menjadi bahasan ramai di ruang publik.

“Salah satu kebaikan itu adalah program kemandirian pesantren. Bagaimana pesantren mengelola perekonomian yang berdampak luas perlu mendapatkan apresiasi lebih dari masyarakat,” ujarnya di hadapan puluhan pegiat media Islam dan pesantren.

Baca juga: Santri dan Prioritas Kewajiban Menjaga Nyawa

Kang Dhani, sapaan akrabnya, juga menyampaikan perlunya publikasi lebih masif mengenai Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) Kemenag. Menurutnya, program itu menunjukkan kalau santri tidak hanya belajar ilmu agama saja.

“Kalau selama ini masyarakat menilai santri tidak paham keilmuan umum, itu salah. Sebab ada 1000 lebih lulusan PBSB yang berhasil menjadi dokter,” terangnya.

Pihaknya akan melibatkan madrasah dan perguruan tinggi dalam peringatan hari santri tahun 2023 supaya mendapatkan atensi lebih luas dari masyarakat.

“Getaran Hari Santri 2023 harus lebih besar dirasakan masyarakat luas. Pesantren yang biasanya dapat image buruk harus kita bantah dengan menampilkan prestasi-prestasinya,” tegas Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu.

Pada momen yang sama, Plt. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pontren, Waryono berharap peringatan Hari Santri terus digaungkan supaya mendapatkan penerimaan publik yang luas.

Waryono menyebut, selama ini pesantren telah berjasa merawat keragaman bangsa, khususnya di tahun politik yang rawan perpecahan seperti sekarang ini.

Baca juga: Semarak Ramadhan: Resepsi Khatmil Qur’an Santri dan Alumni Putri Congaban

“Bagaimana pesantren membingkai kerukunan bangsa perlu kita tegaskan dalam peringatan Hari Santri tahun ini,” ujar pria yang juga guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Sementara itu, Mohammad Nuruzzaman, Staf Khusus Menteri Agama, menekankan pentingnya afirmasi kepada santri. Ia menilai, afirmasi dimaksud dapat diberikan dalam bentuk pelatihan digital sebagai respons kaum santri terhadap perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat cepat.

“Kalau ada puluhan atau ratusan santri yang kita beri afirmasi untuk mengikuti pelatihan digital, maka akan lahir talenta-talenta digital dari kalangan santri yang akan berkontribusi bagi Negeri,” harapnya.

Dukungan Politik Elite Quraisy untuk Nabi Muhammad: Antara Prasyarat, Ujian, dan Kesempatan

0
Keistimewaan baitullah dalam tafsir surah Ali Imran ayat 96-97
Keistimewaan baitullah dalam tafsir surah Ali Imran ayat 96-97

Dukungan politik serta modal tentu dibutuhkan dalam menjalankan suatu agenda, terlebih dalam lingkup gerakan sosial. Hal ini disadari oleh setiap agen sosial hingga politisi, termasuk elite Quraisy pada masa awal dakwah Nabi Muhammad saw. Mereka menyadari bahwa Nabi saw. memerlukan dukungan, terbukti dari segenap dakwah beliau kepada tokoh-tokoh strategis. Oleh karenanya mereka siap memberikan dukungan politik melalui beberapa prasyarat. Apa yang mereka ajukan itu disebutkan dalam surah Al-Isra’ ayat 73-74.

وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا ‌‌(73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا ‌‌(74)

Dan mereka hampir memalingkan engkau dari yang Kami wahyukan kepadamu agar engkau mengada-ada yang lain atas nama Kami; dan jika demikian tentu mereka akan menjadikanmu sahabat setia. Jika saja tidak Kami kukuhkan engkau, sungguh nyaris engkau condong kepada mereka barang sedikit.

Tiga Prasyarat Dukungan Elite Quraisy terhadap Gerakan Nabi saw.

Imam al-Baghawi menyebutkan dalam kitab tafsir beliau, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, mengutip pernyataan Said bin Jubair, bahwa Nabi saw. menerima Hajar Aswad, sebagai salah satu relikui di samping Ka’bah, yang mana elite Quraisy keberatan akan hal ini. Mereka meminta agar beliau juga menerima berhala-berhala sebagai relikui dan menyentuhnya laksana beliau menyentuh Hajar Aswad.

Disebutkan bahwa  para elite Quraisy menghendaki agar beliau saw. menyentuh berhala-berhala sebagai syarat agar mereka masuk Islam dan mengikuti beliau. Oleh karenanya turunlah ayat ini. Ibn Abbas menyatakan bahwa beberapa utusan mereka menemui Nabi saw. menyatakan akan mengikuti dan menaati beliau dengan tiga syarat. Tidak diwajibkan salat, tidak menghancurkan berhala dengan tangan mereka sendiri, dan bersama mempersembahkan sesuatu untuk berhala Lata tanpa menyembahnya. Nabi saw. menjawab mereka;

لَا خَيْرَ فِي دِينٍ لَا رُكُوعَ فِيهِ وَلَا سُجُودَ وَأَمَّا أَنْ تَكْسِرُوا أَصْنَامَكُمْ بِأَيْدِيكُمْ فَذَاكَ لَكُمْ وَأَمَّا الطَّاغِيَةُ -يَعْنِي اللَّاتَ وَالْعُزَّى-فَإِنِّي غَيْرُ مُمَتِّعِكُمْ بِهَا

Tiada kebaikan dalam agama tanpa rukuk dan sujud di dalamnya. Adapun terkait penghancuran berhala kalian maka itu adalah urusan kalian sendiri. Mengenai (berhala) Lata dan Uzza maka aku bukanlah orang yang menyenangkan kalian melaluinya.

Baca juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy

Mereka katakan, “Wahai Rasulullah, kami ingin agar bangsa Arab mendengar bahwa engkau memberi sesuatu kepada kami yang tiada diberikan kepada selain kami. Jika engkau takut bangsa Arab mengatakan, ‘Engkau memberi mereka apa yang tidak engkau berikan pada kami,’ maka katakanlah! ‘Allah yang memerintahkanku demikian.”

Rasulullah terdiam mendengar hal tersebut, maka mereka pun berharap pengabulan akan permintaan tersebut dari diam beliau. Setelah peristiwa ini turunlah ayat 73 di atas.

Aspek Politik dalam Prasyarat Elite Quraisy

Imam al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib mengutip pernyataan al-Qaffal yang menyebut bahwa ayat ini memiliki kemungkinan masuk dalam tema pembahasan terkait upaya elite Quraisy dalam menguji agama dan mengguncang manhaj yang dibawa oleh Nabi saw. Oleh karenanya Allah menjelaskan melalui ayat ini bahwa Dia telah menetapkan Nabi saw. di atas agama yang tegak dan manhaj yang lurus.

Pendapat yang diajukan al-Qaffal dapat diperdalam lebih lanjut. Jika saja Rasulullah saw. mengiyakan untuk menyentuh pula berhala-berhala mereka maka gugurlah substansi tauhid. Menyentuh berhala adalah simbol penerimaan karena dalam konteks ini ia disejajarkan dengan Hajar Aswad yang diletakkan di sisi Ka’bah. Sentuhan Nabi saw. terhadap relikui tertentu akan menjadi dalil pembenaran akan perbuatan tersebut.

Oleh karenanya beliau tidak melakukan tindakan sesederhana menyentuh meskipun keuntungan yang didapatkan adalah penerimaan elite Quraisy. Dapat dibaca bagaimana siasat mereka yang hendak menempatkan Nabi saw. sebagai sosok yang lebih mengutamakan elektabilitas daripada nilai ideal yang diajarkan.

Baca juga: Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Terkait permintaan mereka agar dibebaskan dari salat jika saja dibiarkan oleh Nabi saw. maka gugurlah rukun Islam yang menempatkan salat sebagai salah satu intinya. Di titik ini terlihat bagaimana elite Quraisy menguji bagaimana suatu regulasi dijalankan oleh Nabi saw,  dalam hal ini terkait salat. Jika mereka berhasil dalam negosiasi keringanan salat maka hal ini mengarah pada pengertian akan Nabi saw. sebagai regulator Islam. Sementara dalam ideal mereka semestinya penentunya hanya Allah. Mereka mengandaikan jika percobaan ini berhasil, maka tentu Nabi saw. beserta seluruh ajarannya setara dengan aturan manusia yang bisa diamandemen.

Permintaan terakhir mereka yang menuntut timbal balik Nabi saw. jika mereka beriman akan dilebihkan dari bangsa Arab lain, memiliki beberapa risiko politik. Pertama yakni bahwa kerjasama mereka yang telah terjalin erat di seluruh jazirah Arab. Fakta ini menjadikan pernyataan mereka terkesan pretensius untuk menjatuhkan marwah keadilan Nabi saw. di kalangan seluruh bangsa Arab jika beliau mengiyakan permintaan mereka. Terlebih permintaan agar beliau menyatakan bahwa hal tersebut adalah wahyu seakan hendak menimbulkan kesan bahwa Alquran adalah dalil transaksional untuk kepentingan yang bisa diatur.

Ujian yang mereka lakukan di atas dapat dibaca sebagai upaya untuk membuktikan bahwa Nabi saw. adalah sosok pencari kuasa, bukan murni untuk mengajarkan risalah ilahi. Jika Nabi saw. mengiyakan salah satu saja apa yang mereka tawarkan, maka fungsi beliau sebagai pembawa wahyu dapat ternodai. Pendapat ini jika mengacu dari cara baca al-Qaffal terkait fenomena ini.

Baca juga: Walid bin Mughirah, Tokoh Kafir Quraish yang Memuji Alquran

Terdapat kemungkinan lain selain yang diajukan al-Qaffal di atas jika merujuk pada redaksi akhir ayat 73 yang menyebut bahwa mereka, elite Quraisy, akan menjadikan Nabi saw. sebagai teman setia. Secara historis Nabi saw. adalah kader Quraisy yang digadang-gadang sebagai pemimpin potensial, bahkan sejak beliau masih belum diangkat sebagai Rasul.

Nilai yang tidak mereka setujui dari Nabi saw. adalah terkait tauhid dan ubudiyah. Oleh karenanya mereka mengajukan negosiasi terhadap peribadatan. Mereka khawatir Makkah akan sepi pengunjung jika secara simultan menegasikan berhala-berhala yang juga disembah oleh para peziarah. Selain itu mereka tetap menganggap Nabi saw. sebagai sosok yang memiliki integritas bahkan mereka sendiri menjuluki beliau al-amin atau yang dapat dipercaya.

Momentum akan kepemimpinan yang kompeten di bawah Nabi saw. juga dapat menjadi potensi untuk meningkatkan daya saing baik ekonomi maupun militer. Oleh karenanya mereka mencoba untuk menawarkan modal kekuatan dan sebagai balasannya mereka meminta dilebihkan dari bangsa Arab yang lain dan Nabi saw. menjadi teman setia. Beruntung Nabi saw. tidak sepakat dengan segenap tawaran yang mereka ajukan meskipun di depan mata secara logis dakwah Islam akan lebih mudah jika beliau mengiyakannya. Wallahu a’lam

Syekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam a.s Bukan Surga

0
Syekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam as Bukan Surga
Syekh al-Sya’rawi; Tempat Persinggahan Nabi Adam as Bukan Surga

Sebagai seorang muslim, wajib meyakini kisah-kisah yang diceritakan dalam Alquran, termasuk kisah penciptaan dan perjalanan hidup Nabi Adam as. sebagai manusia pertama. Kisah mengenai kehidupan Nabi Adam as. dan Siti Hawa memang selalu menarik untuk di bahas. Mulai dari peristiwa pohon khuldi hingga statusnya sebagai manusia pertama dunia untuk mengemban tugas khilafah.

Dalam Alquran, kisah hidup Nabi Adam as. bisa dijumpai dalam surah Albaqarah [2]:30-39, Ala’raaf [7]:11-25, Alhijr [15]:26-38, Alisra’ [17]:61-65, Thaha [20]:115-127, dan Shad [38]:71-78. Dalam surah Albaqarah disebutkan bahwa Nabi Adam tinggal di jannah sebelum akhirnya beliau diturunkan ke dunia dengan skenario yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah Swt.

Syekh Wahbah al-Zuhaili menandaskan bahwa terdapat beberapa kemusykilan dalam kisah perjalanan hidup Nabi Adam dalam Alquran yang kemudian menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam di kalangan ulama. Di antara kemusykilan tersebut adalah makna dari kata jannah yang menjadi tempat persinggahan sementara bagi Nabi Adam. Apakah ia jannah yang sering dimaknai sebagai surga, atau hanya sebagai tempat pelatihan dan uji coba sebelum akhirnya beliau diberi beban penuh untuk menjadi khalifah di muka bumi? (Al-Tafsir al-Munir, Juz 1, 139-140)

Baca Juga: Tafsir al-Azhar: Nabi Adam, Benarkah dari Surga Diturunkan di Sumatera (Pulau Swarna Dwipa)?

Sebelum dikaji lebih lanjut, berikut salah satu ayat Alquran yang mengisahkan tentang kondisi Nabi Adam as. sebelum ‘turun’ dari jannah,

وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ

Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim!. Q.S. Albaqarah [02]: 35

Pada ayat di atas, disebutkan bahwa Nabi Adam bersama istrinya Siti Hawa dipersilahkan untuk tinggal di ‘surga’ dan berhak menikmati seluruh fasilitas dan kenikmatan didalamnya. Satu-satunya yang menjadi larangan Allah bagi Nabi Adam. dan Siti Hawa adalah mendekati satu pohon yang konon disebut pohon khuldi.

Secara umum, ulama terpolarisasi menjadi dua kelompok dalam memahami jannah yang dimaksud pada ayat di atas. Menurut jumhur ulama, jannah tersebut adalah taman-taman kenikmatan abadi yang kita kenal dengan surga. Sedangkan menurut sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa jannah tersebut adalah taman-taman kenikmatan yang Allah persiapkan di dunia untuk tempat persinggahan Nabi Adam as. (Mafatih al-Ghaib, Juz 3, 452)

Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

Pandangan Syekh Mutawalli al-Sya’rawi

Salah seorang ulama yang berpendapat bahwa Nabi Adam as. tidak pernah singgah di surga adalah Syekh Mutawalli al-Sya’rawi. Pengarang Kitab Khawatir Imaniyah atau yang lebih populer dengan nama Tafsir al-Sya’rawi itu berpendapat jannah yang dimaksud dalam ayat di atas bukanlah surga yang manusia akan hidup abadi di dalamnya dengan penuh kenikmatan. Akan tetapi, jannah dalam ayat tersebut bermakna sebuah tempat penuh kenikmatan yang memang dipersiapkan Allah Swt untuk melatih dan menguji kesiapan Nabi Adam as. dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. (Tafsir al-Sya’rawi, Juz 1, 260)

Dari aspek linguistik, beliau berargumen bahwa kata jannah dalam Alquran ternyata tidak hanya digunakan untuk makna surga abadi di akhirat. Akan tetapi, istilah jannah juga terkadang menunjukkan makna kebun-kebun yang ada di dunia. Hal ini seperti dalam firman Allah swt dalam surat al-Kahfi ketika mengisahkan tentang seorang yang memiliki dua kebun,

واضرب لهُمْ مَّثَلاً رَّجُلَيْنِ جَعَلْنَا لأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعاً

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (yang kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang. Q.S. Alkahfi [18]: 32.

Baca Juga: Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

Selain itu, memahami bahwa Nabi Adam pernah singgah di surga yang kekal abadi di akhirat akan menimbulkan banyak kejanggalan. Di antaranya adalah keleluasaan iblis untuk masuk ke dalam surga tersebut dan menggoda Nabi Adam as. Padahal, setelah iblis tidak mau menaati perintah Allah Swt untuk sujud kepada Nabi Adam as. lantaran rasa sombongnya, ia dikutuk dan diusir oleh Allah Swt dari surga.

Pendapat ini juga diperkuat dengan adanya taklif berupa larangan untuk mendekati pohon khuldi yang pada tahap berikutnya larangan tersebut dilanggar oleh Nabi Adam as. Hal ini dianggap bertentangan dengan status surga itu sendiri sebagai tempat kenikmatan abadi yang tentunya free dan bersih dari taklif dan pelanggaran.

Hal inilah yang membawa Syekh al-Sya’rawi dan beberapa ulama lain sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya jannah yang disebutkan dalam ayat diatas bukanlah surga tempat kenikmatan abadi. Ia merupakan tempat yang dipersiapkan oleh Allah sebagai ‘simulasi’ atau ‘tutorial kehidupan’ yang harus dilalui sebelum menempuh kehidupan sebenarnya di dunia.

Baca Juga: Benarkah Nabi Adam AS Penghuni Pertama di Bumi?

Maka dari itu, di dalam jannah tersebut Allah Swt memaklumatkan kepada Nabi Adam untuk berhati-hati dengan iblis karena ia adalah musuh utama umat manusia yang tidak akan pernah bosan menggoda manusia supaya terjerumus dalam kemaksiatan. Selain itu, Allah Swt juga memperkenalkan taklif pertama kali kepada Nabi Adam berupa larangan mendekati pohon khuldi agar umat manusia nantinya siap dengan berbagai aturan dan taklif yang akan dibebankan kepadanya di dunia.

Akhir kata, ulama masih berselisih pendapat mengenai kebenaran lokasi yang menjadi tempat persinggahan Nabi Adam as. Bahkan, sebagian ulama ada yang mengambil jalan tengah dengan tidak mau mengomentari lebih dalam mengenai kepastian hal tersebut. pasalnya, argumentasi dari masing-masing kelompok sama-sama kuat.

Wallahu a’lam.

“Travelling” dan Orientasi Idealnya

0
Tujuan ideal travelling
Tujuan ideal travelling

Perasaan penat dan bosan dengan rutinitas pekerjaan dan aktivitas sehari-hari adalah sesuatu yang normal, manusiawi, dan alamiah. Untuk alasan itulah, manusia mencari solusi untuk mereduksi dan merelaksasi pikiran dan tubuh, salah satunya adalah dengan travelling atau berpergian dengan maksud berlibur. Dilihat dari tujuannya, berdasarkan TGM Global Survey (2023), 71 % orang Indonesia berpergian ke luar negeri (terhitung dalam 12 bulan terakhir) adalah untuk bersantai menikmati waktu senggang (leisure). Faktor lain yang menjadi alasan untuk melakukan perjalanan menurut “2023 Global Travel Trends Report”, yang dirilis oleh americanexpress.commenemukan bahwa: 75 % responden melakukan  travelling ke destinasi spesifik karena terinspirasi oleh sosial media; 64 % responden terinspirasi untuk berpergian dari acara tv, berita, dan film; dan 48 % responden menyetujui bahwa mereka ingin melakukan travelling ke suatu tempat yang dapat mereka pamerkan di media sosial.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Data-data tersebut di atas, secara sederhana memberikan gambaran tentang aktivitas travelling yang hanya berorientasi pada pencarian kesenangan dan kebutuhan pengakuan sosial. Jika demikian, maka, travelling hanya menjadi pelarian sementara dari kesibukan. Tidak ada tujuan-tujuan ideal yang mentransformasi dan mencerahkan diri. Pada posisi inilah, konsepsi Alquran tentang travelling menjadi sangat urgen. Persoalan mengenai apa orientasi ideal dan implikasi travelling dalam sudut pandang Alquran adalah sesuatu yang penting untuk didedah dan dipahami oleh manusia modern.

Travelling yang Kontemplatif

Berpergian dalam Alquran, setidaknya, diistilahkan dengan dua asal kata, yaitu rahala dan sara. Sara memilki makna kepergian dan perjalanan, dalam bentuk lainnya terdapat pada Q.S. Al’ankabut [29]: 20 dan Annaml [27]: 69. Sedang kata rahala, dalam bentuk lain, rihlah,  terdapat pada Q.S. Quraisy [106]: 1-4. Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya Khawathiru Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (juz 18, h. 118) memaknai derivasi kata tersebut, al-sayr, dengan makna al-Intiqal (perpindahan), yaitu perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Sedang, al-rihlah, menurut Jibran Mas’ud dalam Mu’jam al-Ra’id al-Lughawi (jilid 1, h. 1060) adalah al-irtihal meninggalkan satu tempat ke tempat lain, seperti halnya perjalanan untuk berwisata (rihlah al-siyahiyyah). Dua kata itu, dalam konteks masing-masing, memiliki makna yang berbeda-beda. Travelling yang menggunakan kata sara bersifat kontemplatif, sedangkan rahala adalah jenis perjalanan berkepentingan ekonomi.

Pertama sekali, orientasi dan nilai penting tentang konsep travelling yang digagas oleh Alquran adalah aspek kontemplatifnya. Istilah ini disebut oleh Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dengan istilah al-siyahah li al-ta‘ammul wa al-i’tibar, yaitu perjalanan kontemplatif, sebuah perjalanan yang bernilai, menjadi wasilah perenungan dan pembelajaran atas segala bukti keuasaan Allah. Hal ini tergambar pada Q.S. Al-Ankabut [29]: 20.

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ بَدَاَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللّٰهُ يُنْشِئُ النَّشْاَةَ الْاٰخِرَةَ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Katakanlah, “Berjalanlah di (muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan (semua makhluk). Kemudian, Allah membuat kejadian yang akhir (setelah mati di akhirat kelak). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Menurut Syaikh al-Thanthawi dalam tafsir al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (juz 11, h. 25), ayat ini mendorong manusia untuk berjalan dan menelusuri segala ciptaan Allah, tentang bagaimana permulaan, tahapan, sifat dan karakteristik serta keberagaman segala ciptaan-Nya. Perjalanan yang dilakukan manusia, hendaknya, tidak hanya berorientasi pada menikmati segala keindahan ciptaan-Nya, tetapi juga berusaha untuk memahami secara mendalam tentang proses penciptaan segala keindahan itu, yang semuanya bermuara pada kebesaran dan kekuasaan Allah. Inilah yang disebut dengan travelling komtemplatif jenis pertama, perjalanan untuk menikmati dan merenungkan keindahan alam. Objek-objek wisata dalam konteks ini adalah alam di antaranya: gunung, lautan, hutan, sungai dan sejenisnya.

Jenis kedua dari travelling kontemplatif adalah, perjalanan yang berorientasi pada proses pembelajaran dan memahami peringatan Tuhan. Hal itu terkandung dalam Q.S. Annaml [27]: 69:

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِيْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa.”

Ayat ini, menurut Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani (juz 3, h. 421) mengisyaratkan bumi yang menjadi tempat tinggal manusia adalah wasilah untuk memetik ‘Ibrah (pelajaran), sekaligus merupakan tempat turunnya insight (wawasan). Bumi harus menjadi objek yang terus dipikirkan secara mendalam. Di dalamnya, terdapat kesempurnaan kekuasaan Allah dengan segala kehendak-Nya. Bumi juga menjadi bukti kesempurnaan ciptaan-Nya. Di bumi, telah terbentang berbagai pelajaran yang mengajarkan kebaikan dan dorongan untuk menjauhi keburukan.

Imam al-Alusi dalam kitab tafsir Ruh al-Ma’ani (juz 10, h. 227), menjelaskan bahwa Keburukan terdapat pada pendustaan yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu terhadap para Nabi dan akhir yang celaka bagi mereka, serta kebaikan bagi orang-orang yang beriman, yang mempercayai para utusan. Isyarat-isyarat itu adalah kelembutan Tuhan bagi orang-orang beriman agar mengesakan Allah dan meyakini hari akhir. Dalam rangka mempelajari hal-hal tersebut, maka tujuan perjalanan sejarah dan religi adalah sesuatu yang tepat, seperti mengunjungi: masjid, museum, makam para utusan Allah dan orang-orang saleh, situs-situs suci, kota-kota bersejarah dan sejenisnya yang mendorong untuk merenungkan berbagai pelajaran kebaikan dan memahami akibat-akibat buruk dari membelakangi kebenaran dan perbuatan jahat.

Travelling Berkepentingan Ekonomi

Selain travelling yang kontemplatif, Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi juga menyebut travelling yang berorientasi pada perdagangan dan investasi (al-Siyahah li al-Tijarah wa al-Istitsmar). Di dalam Alquran ayat yang memberi gambaran tentang perjalanan jenis ini adalah Q.S. Quraisy [106]: 1-4:

لإِيلاَفِ قُرَيْشٍ  * إِيلاَفِهِمْ رِحْلَةَ ٱلشِّتَآءِ وَٱلصَّيْفِ  *فَلْيَعْبُدُواْ رَبَّ هَـٰذَا ٱلْبَيْتِ  * ٱلَّذِيۤ أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ

Disebabkan oleh kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas (sehingga mendapatkan banyak keuntungan), maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.”

Surah ini dijelaskan oleh para ulama tafsir, secara historis titik tekannya terdapat pada siapa, kapan dan bagaimana melakukan travelling yang berkepentingan ekonomi. Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an (juz 20, h. 204), dengan mengutip pendapat al-Harawi, menjelaskan profil orang-orang Quraisy yang memiliki dominasi kuat dalam perdagangan antar wilayah adalah empat orang bersaudara, yaitu: Hasyim, ‘Abdus Syams, al-Muthallib dan Naufal bin ‘Abdi Manaf. Empat saudara ini membangun jaringan dagang dengan berbagai wilayah. Hasyim membangun relasi dengan raja Syam. ‘Abdus Syam membangun komunikasi dagang ke Habasyah. al-Muthallib terhubung dengan jaringan dagang Yaman. Naufal bin ‘Abdi Manaf berhubungan dagang ke Persia.

Semua komunikasi dan relasi perdagangan itu dimaksudkan untuk menjamin keamanan mereka dalam misi rihlah (perjalanan) dagang. Empat bersaudara dari Quraisy tersebut, yang telah membangun jaringan ke berbagai wilayah tujuan dagang, disebut dengan al-Mujirin (orang-orang dijamin keamanannya). Selain itu, keistimewaan orang-orang Quraisy juga, disebabkan oleh kesucian tempat tinggal mereka yaitu Mekah. Kehormatan kedudukan mereka sebagai orang Mekah membuat perjalanan perdagangan mereka tidak diganggu.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Travelling bermotif ekonomi yang dilakukan oleh orang Quraisy, menurut Syaikh Thanthawi dalam tafsir al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (juz 15, h. 515) terjadwal dengan baik. Ketika musim dingin mereka melakukan perjalanan ke Yaman, dan ketika musim panas ke Syam. Tujuan perjalanan mereka adalah memperoleh keuntungan perdagangan untuk kebutuhan dan kepentingan pangan serta sandang.

Melihat tujuan berdagang orang-orang Quraisy, sesungguhnya, adalah sesuatu yang baik dan mulia. Tetapi idealnya, orientasi perjalanan yang mereka lakukan itu tidak hanya soal keuntungan (profit), melainkan juga bertujuan kepada Tuhan; bernilai tauhid. Hal inilah, yang menurut Imam al-Samarqandi dalam tafsir Bahr al-‘Ulum (juz 3, h.524) menjadi tugas Nabi Muhammad, yaitu untuk mengajak orang-orang Quraisy berkumpul atas dasar keimanan, menyembah Allah pemilik Ka’bah yang menciptakan kebaikan, yang memuliakan di dunia dan akhirat, yang memberi makan (mengenyangkan) saat ditimpa kelaparan, yang memberi keamanan dari segala ketakutan yang datang dari musuh, dan dari penyakit kusta.

Travelling dan Pembaharuan Berbagai Kesadaran

Pada semua jenis dan karakteristik perjalanan yang digambarkan oleh Alquran -bahkan, pada yang bermotif ekonomi sekalipun- terikat dengan satu semangat utama, yaitu berorientasi ketuhanan. Dibalik keindahan alam ada Allah Yang Maha Pencipta. Di balik tempat dan simbol-simbol keagamaan, terkandung peristiwa yang memberikan pelajaran untuk semakin beriman. Dalam perjalanan yang memiliki kepentingan ekonomi, terdapat penjagaan dan keamanan yang dijamin oleh Allah. Melakukan travelling, adalah kesiapan mendayagunakan akal dan hati untuk belajar, memahami, dan merenungi tanda-tanda kebesaran Tuhan. Seorang traveller, adalah Ulil Abshar, yang menggunakan rasio dan intuisi untuk memahami isyarat Tuhan melalui segala ciptaan-Nya. Dengan melakukan perjalanan, seseorang idealnya menjadi “tercerahkan”, mencapai pembaruan kesadaran tentang hubungannya dengan Maha Pencipta dan segala makhluk-Nya yang terwujud dalam sikap dan tindakan: menjadi orang yang dekat dengan Tuhan, mencintai manusia lain, menjaga alam (flora dan fauna) dan memahami dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari merusak alam. Konsep travelling dalam Alquran benar-benar menyelisihi model travellling yang hanya bertujuan untuk memuaskan keinginan dan status sosial. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

Narasi Sosial Penghambat Dakwah Rasulullah saw.

0
surah al-Isra' ayat 90-93_narasi sosial penghambat dakwah Rasulullah saw
surah al-Isra' ayat 90-93_narasi sosial penghambat dakwah Rasulullah saw

Perjuangan Rasulullah saw. dalam menyampaikan Alquran tidak begitu saja disambut dengan baik. Terlebih saat periode Makkah beliau justru mendapatkan berbagai tantangan sosial dari elit Quraisy. Ajaran tauhid dan keadilan yang disampaikan Rasulullah saw. mereka anggap sebagai ancaman yang memecah belah bangsa, menghina agama, serta sejarah moyang mereka.

Berbagai cara mereka lakukan seiring berkembangnya Muslim yang mengimani kenabian Rasulullah saw. Jika kebanyakan pengikut ajaran Nabi saw. adalah rakyat biasa, mereka yang mengingkari beliau justru dari kalangan terpandang. Narasi yang mereka gunakan untuk menghambat dakwah Rasulullah saw tercantum dalam surah al-Isra’ ayat 90-93.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 90-93

Tawaran Para Elit yang Ditolak Nabi saw.

Al-Baghawi dalam tafsir beliau, Ma’alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an mengutip riwayat Ikrimah dari Ibn Abbas terkait empat ayat tersebut. Bahwasanya beberapa kalangan elit Quraisy, termasuk Utbah bin Rabi’ah; Abu Sufyan; al-Walid bin Mughirah; Abu Jahl; dan lainnya, berkumpul setelah matahari terbenam di luaran Ka’bah. Mereka berdiskusi hingga memunculkan wacana agar memanggil Nabi Muhammad saw. untuk berdebat hingga mereka menerima alasan darinya.

Diutuslah seseorang kepada Nabi Muhammad saw. dan beliau pun datang dengan segera melihat kesempatan beliau untuk berdialog mengajak mereka beriman. Ketika beliau telah duduk, mereka pun berkata, “wahai Muhammad, kami memanggilmu untuk menerima alasan darimu, karena sungguh, demi Allah kami tidak pernah mendapati seorang yang menghina kaumnya seperti kamu menghina kaummu. Sungguh kamu telah menghinakan kakek moyang, agama, ramalan, dan para tuhan. Kamu juga memecah belah persatuan, tiada satu hal laten yang jelek kecuali kamu membawanya. “

“Jika kamu datang dengan perkataan (wahyu) itu untuk mencari uang makan, kami akan sediakan untukmu sehingga kau jadi yang paling kaya. Jika kamu menghendaki kemuliaan, maka kami akan pertuankan kamu. Jika kamu ingin jadi raja, maka kami angkat kamu sebagai raja kami. Namun jika ini adalah perkara jin yang ada di dalam dirimu, kamu lihat dirimu tak sanggup melenyapkannya, kami akan mengganti biaya pengobatanmu hingga kau terbebas darinya, atau kami mendengar argumentasimu.”

Rasulullah saw. menjawab, “tiadalah aku datang kepada kalian dengan apa yang kalian katakan, bukan untuk mencari uang, kemuliaan, dan kekuasaan. Allah menjadikanku utusan-Nya kepada kalian dan menurunkan kitab kepadaku. Dia memerintahkan kepadaku menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan bagi kalian. Oleh karenanya aku menyampaikan risalah Tuhanku dan menasihati kalian. Jika kalian menerima pesan dariku maka itu adalah keberuntungan kalian di dunia dan akhirat. Jika pun kalian menolaknya maka aku akan bersabar terhadap keputusan Allah hingga Dia menentukan atara aku dan kalian.”

Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad

Permintaan Di Luar Nalar Manusia untuk Menghambat Dakwah Rasulullah saw.       

“Wahai Muhammad, jika kamu tidak sepakat dengan kami maka kami tidak akan berpanjang mendengarmu berargumentasi. Kamu mengerti bahwa kita adalah negeri yang sempit dan sulit air. Jadi mintakan kepada Tuhan yang mengutusmu agar memindahkan gunung-gunung  dan mengalirkan sungai-sungai seperti halnya di Syam dan Irak. Selain itu bangkitkan pula kakek moyang kita yang salah satu di antara mereka adalah Qushay bin Kilab, karena dia adalah tetua yang dapat dipercaya, lalu kita tanya kepada mereka terkait wacana yang kamu bawa, apakah hal tersebut benar atau tidak. Jika mereka membenarkan maka kami pun akan membenarkannya.

Jika kamu tidak dapat melakukannya, maka mintalah kepada Tuhanmu untuk mengirim malaikat kepada kita yang membenarkanmu. Mintalah juga kepadanya untuk memberimu istana dan harta dari emas dan perak yang membuatmu kaya dalam pandangan kami. Menurut kami, kamu pun berdagang di pasar-pasar dan menyentuh penghidupan seperti kami menyentuhnya. Maka runtuhkanlah langit seperti yang kamu kira bahwa jika Tuhanmu berkehendak maka akan terjadi.”

“Hal itu terserah Allah jika Dia menghendakinya maka Dia akan melakukannya,” jawab Nabi saw.

“Kami tidak akan beriman kepadamu hingga kamu mendatangkan Allah dan malaikat di hadapan kami.”

Ketika mereka mengatakan hal itu, Rasulullah saw pun berdiri, diikuti pula oleh Abdullah bin Abi Umayyah, anak dari bibi beliau, Atikah binti Abdul Muthalib, dia berkata: “wahai Muhammad kaummu telah menunjukkan kepadamu dan kamu tidak menerimanya kemudian mereka meminta beberapa hal saja agar dapat mengetahui posisimu di sisi Allah, dan kamu pun tidak melakukannya. Kemudian mereka meminta agar disegerakan azab seperti yang kamu ancamkan kepada mereka, namun kamu juga tidak mekakukannya. Maka demi Allah, aku tidak beriman kepadamu selamanya hingga kamu dapat mengambil tangga menuju langit, kamu menaikinya dan aku melihatmu sampai kamu membawa naskah yang terbuka bersamamu dan beberapa malaikat menyaksikan apa yang kamu katakan.”

Kembalilah Rasulullah saw. kepada keluarganya dengan bersedih hati melihat dan mendengar respon para elit Quraisy tersebut. Demikian Allah menurunkan ayat 90-93 surat al-Isra’. Mereka meminta hal yang ada di luar nalar dengan narasi pembuktian kedekatan Rasulullah saw. di sisi Allah yang tidak lain tujuannya untuk menghambat dakwah Rasulullah saw.

Jika dikaitkan dengan peristiwa isra mi’raj Nabi saw., maka apa yang mereka minta secara langsung bertemu Allah adalah bentuk dari pandangan mereka yang merendahkan Kesucian dan Ketinggian Allah yang juga dimuat dalam surah ini pada ayat 43.

سُبْحانَهُ وَتَعالى عَمَّا ‌يَقُولُونَ ‌عُلُوًّا كَبِيرا

“Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang agung”

Kaya Versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad ﷺ: Kepedulian Terhadap Sesama

0
Kaya versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad_Kepedulian terhadap Sesama
Kaya versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad_Kepedulian terhadap Sesama

Dari zaman Firaun hingga kini nyaris setiap orang ingin menjadi kaya, tercukupi segala kebutuhan dari primer hingga tersier. Bagi kita yang sudah kaya atau pun yang ingin menjadi kaya penting untuk memahami bagaimana tokoh besar dalam sejarah peradaban manusia memandang kekayaan. Terdapat dua tokoh besar dalam sejarah yang memiliki kesamaan dalam memaknai kekayaan, yakni kepedulian terhadap sesama. Berikut ini kaya versi Zulkarnain dan Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: Melacak Zulkarnain: Tafsir, Israiliyyat, dan Sejarah (Bag. 1)

Zulkarnain dan Mega Proyek Tembok Raksasa

Dikisahkan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 84 bahwa Zulkarnain adalah sosok yang diberi posisi tinggi di bumi oleh Allah pun dia diberi jalan untuk meraih segala sesuatu yang dia inginkan. Ibn Ishaq menyebut daerah manapun yang didatanginya akan ditakhlukkan olehnya. Dari ujung timur hingga ujung barat bumi telah dikuasai olehnya.

Terdapat satu kisah, ketika sampai dalam perjalanannya di lembah di antara dua gunung yang termaktub dalam ayat 93-98 surah al-Kahfi, Ibn Abbas berpendapat dua gunung ini terletak di antara Armenia dan Azebaijan. Zulkarnain bertemu dengan satu kaum yang nyaris tidak memahami perkataannya. Uniknya karena terdesak suatu kebutuhan mereka pun berusaha berkomunikasi dengan Zulkarnain dan mengatakan bahwa Yakjuj dan Ma’juj telah merusak bumi, menawarinya dengan imbalan jika dia mau membuat pemisah antar mereka.

Dengan tegas Zulkarnain katakan bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya lebih baik dari pada tawaran dari pada kaum tersebut, dan dia hanya meminta bantuan untuk membuat tembok pemisah tersebut. Bayangkan, untuk sebuah mega proyek pembangunan tembok besi yang membentang di antara dua gunung dia tidak hendak meminta balasan sedikit pun.

Mega proyek tersebut diselesaikan olehnya dengan sempurna dan Ya’juj Ma’juj tidak dapat naik melubangi tembok besi berlapis tembaga itu. Usaha Zulkarnain ini tentu prestisius mengingat bagaimana wujud Ya’juj Ma’juj yang mengerikan. Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan menurut sahabat Ali karramallahu wajhah, mereka memiliki cakar binatang buas menyalak seperti serigala, berbulu lebat, bertelinga besar, dan tidak akan mati hingga mereproduksi seribu keturunan.

Mengamankan diri dari Ya’juj Ma’juj merupakan usaha tersendiri di samping pengembangan tembok besi berlapis tembaga yang tidak dapat mereka panjat dan lubangi. Zulkarnain sudah tidak butuh imbalan akan jasanya. Satu gambaran konkret dalam Alquran tentang kekayaan harta dan jiwa dari seorang manusia.

Baca Juga: Melacak Zulkarnain: Koresh dan Agama Kuno (Bag. 2)

Nabi ﷺ dan Proyek Sosial Kebahagiaan Manusia

Seperti kaya versi Zulkarnain, demikian juga Nabi ﷺ yang berdakwah tanpa mengharap apa pun dari umatnya. Menyebarkan ajaran Alquran meskipun nyawa beliau taruhannya. Yang beliau harap dari kita hanya iman dan amal saleh yang pada akhirnya juga kembali kepada kita kemanfaatannya. Beliau bagikan setiap hartanya untuk memberikan teladan akan pemerataan dan stabilitas ekonomi. Setiap kelas sosial dapat menemukan manisnya keimanan dalam sabar dan syukur.

Di siang yang terik Abdullah bin Umar menemui Nabi Muhammad ﷺ  yang tengah qailulah, istirahat siang. Beliau tertidur dengan hanya beralaskan tikar dari anyaman pelepah kurma hingga tampak jelas bekas garis-garis pada wajah rupawan itu. Tidak sampai hati melihat hal ini, Abdullah mohon izin menawarkan kepada beliau tempat tidur yang lebih layak. Bagaimana mungkin sosok yang diimaninya paling mulia terlihat sedemikian kasihan.

Padahal di sisi lain Nabi ﷺ disebutkan dalam Alquran berhak mendapatkan seperlima dari harta kemenangan pasca perang. Beliau juga pimpinan utama baitul mal. Madinah merupakan daerah yang stabil perekonomian dan pertahanannya, jika mau tentu beliau akan menjadi manusia terkaya di kota tersebut. Menanggapi permohonan Ibn Umar, beliau justru menjawab,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا وَالدُّنْيَا ‌إِلَاّ ‌كَرَاكبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمّ رَاح وَتَرَكَهَا

“Bukanlah untukku dan untuk dunia, tidaklah aku berada di dunia kecuali seperti musafir yang berteduh di bawah pohon kemudian meninggalkannya.”

Al-Shan’ani dalam kitab beliau al-Tanwir Syarah al-Jami’ al-Shaghir menjelaskan maksud dari hadis di atas yakni tiada ketertarikan atau kecintaan Nabi saw. terhadap dunia. Al-Shan’ani bahkan mengisahkan tentang Nabi Isa yang mengatakan kepada Hawariyyun, “siapakah di antara kalian yang mampu membangun rumah di atas ombak lautan?” Mereka menjawab, “siapakah yang mampu?” “Kalian dan dunia jangan menjadikannya sebagai tempat tinggal,” jawab Nabi Isa as. Singkatnya demikian pula maksud dari apa yang disampaikan Nabi ﷺ kepada para sahabat beliau.

Apa yang disabdakan Nabi ﷺ kepada Ibn Umar itu bukan pertama kalinya. Hal serupa juga terjadi sebelum beliau hijrah ke Madinah ketika elit Quraisy ingin berdamai dengan beliau. Mereka merasa pengaruh beliau kian tak terbendung. Melalui Utbah bin Rabiah, Nabi ﷺ sempat medapatkan tawaran dijadikan sebagai orang paling kaya di suku Quraisy dan dapat memilih wanita manapun untuk dinikahi.

Tawaran ini ditujukan agar Nabi ﷺ berhenti mengusung diskursus bahwa tiada Tuhan selain Allah, berhenti menyebarkan logika masuk akal yang ‘mengganggu’ stabilitas ekonomi mereka.  Nabi ﷺ tegaskan pada saat itu dengan membacakan Alquran surah Fusshilat ayat satu hingga empat belas, menolak penawaran yang diberikan kepada beliau.

Lantas apa gerangan yang diinginkan Nabi ﷺ? Dari cara beliau menyikapi tawaran tersebut tentu bukan harta pun wanita seperti yang dituduhkan kalangan orientalis. Nyatanya kesempatan untuk meraih keduanya terbuka lebar untuk beliau dan terbukti Nabi ﷺ bukanlah sosok oportunis. Nabi ﷺ diutus menjadi Rasul dengan mega proyek menyampaikan risalah Alquran tanpa sedikit pun mengharapkan keuntungan materil dari kerja keras ini.

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Manusia modern mungkin saja beranggapan jika ada orang di masa ini yang tidur hanya beralaskan tikar anyaman tentu dia orang tidak mampu. Bisa jadi karena malas bekerja, bisa jadi juga karena kurang cerdas secara finansial. Bayangkan! Untuk kasur saja tidak terbeli. Betapa sialnya.

Namun beranikah kita menyebut Nabi ﷺ tidak cerdas secara finansial, sementara beliau merupakan bapak dari baitul mal. Atau beranikah kita menyebut Nabi ﷺ pemalas, sementara tiap siang beliau curahkan waktu untuk kemaslahatan umat dan tiap malam beliau doakan kita tanpa henti. Selawat dan salam untuk beliau. Hidup dalam kesederhanaan adalah pilihan Nabi ﷺ sekaligus teladan bagi kita untuk kaya hati.

Sebelum beliau mendakwahkan ayat 26 surah Al-Isra tentang perintah untuk memberi harta kepada orang-orang miskin dan ibn sabil, juga larangan untuk menghambur-hamburkan harta, Nabi ﷺ dapat saja membangun istana beserta segala pernik penampilan mewah untuk menunjukkan wibawa. Namun beliau lebih memilih keindahan dalam kesederhanaan, kepatutan penampilan tanpa berlebih-lebihan. Beliau menyalurkan anugerah dari Allah kepada sesama yang juga membutuhkan. Mengajarkan kepada kita kenikmatan berbagi alih-alih untuk kesenangan ego sendiri.

Barangkali mustahil bagi kita umatnya di masa kini untuk meniru beliau sepenuhnya. Namun apakah kita menyerah dengan keadaan, tak siap dengan kepedihan yang senantiasa menjadi pengiring kesederhanaan. Terlebih di zaman ini ketika seluruh iklan berada dalam genggaman sehingga banyak sekali hal yang kita inginkan. Apakah kita menyerah pada ego diri dan mengorbankan tangisan hati yang memiliki fitrah berbagi. Meskipun tidak sepadan dengan debu yang menempel pada ujung jari Nabi ﷺ, semoga kita tidak putus asa untuk berusaha mengikuti jalan beliau ﷺ.  Wallah a’lam

KH. Afifuddin Muhajir: Peran Alquran Terhadap Karakterisasi Syariat Islam

0
KH. Afifuddin Muhajir: Peran Alquran Terhadap Karakterisasi Syariat Islam
KH. Afifuddin Muhajir: Peran Alquran Terhadap Karakterisasi Syariat Islam

Sebagai agama samawi terakhir yang membawa misi menebar maslahat di setiap zaman, syariat Islam harus memiliki karakter yang dapat membuatnya bisa diterima dalam lintas waktu. Pasalnya, ajaran agama atau keyakinan apapun akan lekas ditinggalkan jika tidak ramah terhadap perubahan dan dinamisasi peradaban.

Dalam salah satu tulisannya, KH. Afifuddin Muhajir menjelaskan bahwa syariat Islam tampil dengan dua dimensi yang saling bersinergi, yakni antara ketegaran dan kelenturan. (Fikih Tata Negara, 169) Artinya, syariat Islam merupakan perpaduan dari sejumlah aturan yang rigid/kaku dengan aturan-aturan yang bersifat lentur/fleksibel.

Baca Juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Aturan yang tidak bisa berubah dalam Islam biasanya merepresentasikan aturan-aturan dalam hal peribadatan atau aturan-aturan yang sifatnya asasi, dan yang berperan menjaga keautentikan ajaran Islam itu sendiri. Sedangkan kelenturan atau fleksibelitas ajaran Islam dapat dilihat dari hukum-hukum muamalah, yang seyogianya harus terus berubah dan berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan manusia.

Perpaduan inilah yang menurut Kiai Afif menjadikan syariat Islam sebagai ajaran yang unik, tidak seperti benda cair yang bisa hanyut dan mengalir begitu saja namun juga tidak kaku karena menentang arus dan dinamika zaman.

Kiai Afifuddin menyebutkan bahwa ketegasan syariat Islam tersebut disamping fleksibelitasnya tidak bisa dilepaskan dari alquran sebagai sumber utamanya. Seperti diketahui bahwa Alquran tidak monoton dalam menjelaskan satu keputusan atau postulat hukum. Ada yang dijelaskan dengan tegas sehingga menafikan segala macam penafsiran, tetapi ada juga yang dijelaskan dengan redaksi-redaksi yang relatif, multitafsir bahkan tentatif.

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Dalam term ushul fikih, teks-teks alquran atau hadis yang menjelaskan hukum dengan tegas disebut dengan qath’i al-dalalah. Sedangkan teks atau nas yang masih mengandung berbagai pemahaman dan penafsiran diistilahkan dengan zhanni al-dalalah.

Menurut Kiai Afif, hukum Islam yang bersifat kaku dan anti terhadap perubahan lahir dari dalil-dalil juz’i-qath’i (partikular-monotafsir). Sedangkan aturan-aturan dalam Islam yang fleksibel dan dapat berdialog dengan perubahan situasi dan kondisi lahir dari teks-teks kulli (universal) dan zhanni (multitafsir).

Beliau mengklasifikasi dalil-dalil yang dapat mengukuhkan eksistensi syariat Islam sebagai ajaran yang lentur dan fleksibel sebagai berikut.

Pertama, nas atau teks yang masih ambigu (mujmal). Seperti ayat-ayat yang memberikan aturan langsung terkait sebuah persoalan tetapi tidak menjelaskan rincian aplikatifnya. Sehingga, hal tersebut memberi ruang kepada ayat lain atau Hadis untuk menjelaskan aturan aplikatifnya.

Kedua, ayat-ayat atau nas Alquran yang mengandung legitimasi terhadap dalil-dalil sekunder (al-adillah al-far’iyah), seperti ayat yang menjelaskan legitimasi ‘urf, istihsan, maslahat dan lain sebagainya. Kehadiran dalil-dalil sekunder tersebut dapat memberikan tawaran perspektif yang beragam dalam menghukumi sebuah peristiwa, sehingga ia dinilai lebih terbuka terhadap perubahan dan dinamika kehidupan manusia.

Ketiga, nas-nas Alquran yang berisi penjelasan tentang tujuan syariat Islam (maqasid syariah), seperti misalnya ayat-ayat tentang keadilan, kesetaraan, rahmat dan sebagainya. Dari ayat-aat tersebut, ulama kemudian berhasil merumuskan suatu kesimpulan bahwa syariat Islam diproyeksikan untuk memberikan maslahat dan kemanfaatan bagi manusia dan menolak bahaya dan mafsadat terhadap mereka. Sehingga pada tahap selanjutnya, tujuan-tujuan syariat tersebut dapat menjadi persektif dalam menentukan hukum Islam dari berbagai kasus baru yang belum ditemukan kepastian hukumnya dalam nash Alquran maupun hadis.

Baca Juga: Gus Baha: Belajar Tafsir Harus Berbasis Fikih

Keempat, nas-nas yang berperan sebagai kaidah universal yang membawahi banyak kasus-kasus parsial, baik yang sudah ada kejelasan hukumnya maupun kasus baru yang identik. Sebagai contoh ayat-ayat yang masuk kategori keempat ini adalah Q.S. Alhajj [22]: 78,

   {وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ}

Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. Q.S. Alhajj [22]: 78.

Contoh lain, firman Allah swt dalam surah Albaqarah,

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Q.S. Albaqarah [02]: 286.

Dengan demikian, Alquran sebagai sumber asasi dalam perumusan hukum Islam telah berperan besar menentukan karakter hukum Islam itu sendiri. Dari klasifikasi di atas, dapat dikatakan bahwa Alquran memang telah men-setting hukum Islam sebagai syariat yang akan selalu kokoh dengan prinsip-prinsipnya, tetapi tidak abai terhadap dinamika dan perubahan.

Wallahu a‘lam.