Beranda blog Halaman 59

Penjagaan Allah Terhadap Nabi Saw Menurut Alquran dan Hadis

0
Penjagaan Allah Swt Terhadap Nabi Muhammad Saw Menurut Alquran dan Hadis
Penjagaan Allah Swt Terhadap Nabi Muhammad Saw Menurut Alquran dan Hadis

Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah Swt yang diberi wahyu untuk disampaikan pada umatnya. Perjalanan beliau dalam menyampaikan wahyu tidaklah berjalan mulus tanpa tantangan dan rintangan, akan tetapi justru sebaliknya. Banyak kaum yang menentang ajaran yang dibawa oleh beliau, bahkan mencela dan mencaci makinya. Akan tetapi, Allah memberi perlindungan kepada Nabi Muhammad Saw. supaya tetap terjaga dan kuat menghadapi tantangan dan rintangan yang menimpanya. (Muhammad Muhyiddin, Metode Pendidikan Islam dalam Perspektif Al-Qur’an, 4)

 Allah Swt berfirman dalam surah Alma’idah [5]: 67

يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 67-68

Penafsiran Ayat

Dari surah Alma’idah [5]: 67 jika dipahami secara tekstual sudah terlihat maksud dari diturunkannya ayat ini, yaitu berupa perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan risalah-Nya dan janji Allah untuk senantiasa menjaga beliau. Sedangkan untuk penafsiran dari beberapa mufasir dijelaskan sebagaimana berikut:

Ath-Thabari

Para ahli takwil berbeda pendapat tentang sebab turunnya ayat tersebut. Sebagian berpendapat sebab turunnya adalah adanya orang Arab yang berniat membunuh Nabi Saw. Sebagian yang lain berpendapat bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan ketakutan Nabi Saw. pada orang-orang Quraisy, kemudian ayat ini diturunkan untuk memberi ketentraman pada hati beliau. Segala hal yang dilakukan oleh mereka (para musuh) berarti mencelakakan dirinya sendiri, selama ia melakukannya tidak atas perintah Allah,  dan Allah akan senantiasa melindunginya dari kejahatan manusia. (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Vol. 4, 616-618).

M. Quraish Shihab

Allah Swt benar-benar memberi perlindungan dan penjagaan terhadap Nabi Saw. Yang membuktikan hal ini adalah meskipun para kaum musyrik di Makkah dan orang-orang Yahudi memiliki banyak cara untuk melakukan pembunuhan terhadap beliau, akan tetapi beliau tetap terjaga karena adanya perlindungan dari Allah Swt. (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol 3, 153)

Baca Juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat

Wahbah al-Zuayli

Allah Swt senantiasa menjaga, memelihara dan melindungi serta memberikan jaminan perlindungan kepada Nabi Saw.  dari musuh-musuhnya, menggagalkan usaha para musuh untuk membunuhnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepadanya supaya  tidak perlu memedulikan mereka. Ini merupakan janji dari Allah untuk melindungi, merawat dan menjaga beliau, dan janji Allah pasti terlaksana. (Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir, Vol. 3, 613-615.)

Kesan Kontradiktif dengan Hadis

Dalam Alquran dijelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk menjalankan perintah-Nya,  yaitu perintah untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya, tanpa menghiraukan besarnya tantangan yang ada, karena Allah akan senantiasa menjaga dan melindunginya dari kejahatan manusia. Hal ini terkesan bertentangan dengan hadis riwayat Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasul Saw. pernah terkena sihir.

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dari Hisyam dari ayahnya dari ‘Aisyah radhiallahu’anha dia berkata, “Seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin Al A’sham telah menyihir Rasulullah, sehingga Rasulullah  pun dibuat seakan-akan telah melakukan sesuatu pekerjaan yang beliau tidak kerjakan. (Shahih al-Bukhari).

Jika dipahami secara tekstual, hadis tersebut tidak membuktikan adanya perlindungan terhadap Nabi Saw. Akan tetapi, terkait hadis ini Ibnu Hajar al-Asqalani memberi penjelasan bahwa, Rasul Saw. ketika terkena sihir dibuat seakan-akan melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya. Ketika  itu, beliau dishir hanya terkena zahirnya saja, dan beliau masih bisa membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah.

Sihir yang menimpa Nabi Saw. juga tidak sampai bisa membunuhnya, karena Allah menangkalnya dengan surah muawwidzatain (Alnas dan Alfalaq). (Ibnu Hajar al-Asqalani, Syarh Fath al-Bari, Vol. 12, 418)

Oleh karena itu, seberapa besar usaha seseorang untuk mencelakai orang lain, seperti halnya memanfaatkan sihir untuk mencelakakan orang lain, bahkan Nabi Muhammad Saw sekalipun, tidak akan pernah berhasil kecuali atas izin Allah Swt.

وَمَا هُمْ بِضَاۤرِّيْنَ بِه مِنْ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ

“Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan (sihir)-nya, kecuali dengan izin Allah”.

Baca Juga: Tantangan Alquran kepada Penentang Risalah Nabi Muhammad

Kesimpulan

Nabi Muhammad Saw. adalah nabi utusan Allah yang ditugaskan oleh Allah untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada seluruh umat di dunia. Nabi Muhammad Saw. mendapat jaminan perlindungan dari Allah Swt dari segala tantangan dan kejahatan-kejahatan yang menimpanya. Hal tersebut dijelaskan Allah dalam surah Almaidah [5]: 67.

Semasa hidupnya, Rasul Saw.  pernah terkena sihir dari orang Yahudi, akan tetapi bukan berarti Allah Swt tidak memberi perlindungan untuknya. Dari penjelasan ayat dan hadis yang telah dipaparkan sebelumnya bentuk perlindungan Allah terhadap beliau berupa; terlindunginya dari pembunuhan.

Allah senantiasa menghalangi maksud jahat yang hendak ditimpakan kepada Nabi Muhammad Saw. Jadi, segala hal yang dianggap akan mencelakai orang lain tidak akan bisa berhasil jika tidak mendapat izin Allah Swt. Dan, ketika terkena sihir, Allah menangkalnya dengan surah muawwidzatain (Alnas dan Alfalaq), sehingga ketika beliau disihir hanya terkena zahirnya saja dan masih bisa membedakan antar yang baik dan buruk.

Wallahu a’lam.

Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah

0
Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah
Ilustrasi pembelajaran Alquran dengan metode talaqqi.

Term qiraat, talaqqi, dan tilawah bukanlah suatu hal yang asing bagi pegiat studi Alquran dan tafsir. Ketiganya memiliki hubungan yang erat dengan konteks penggunaan yang berbeda. Tulisan ini akan membedah apa hubungan dan perbedaan antara qiraat, talaqqi, dan tilawah.

Qiraat

Dimulai dari term qiraat, Secara terminologi, qira’at (قراءات) merupakan bentuk jama‘ dari kata qira’ah (قراءة) yang merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a-yaqra’u (قرأ – يقرأ) yang berarti bacaan. Adapun secara istilah, Al-Zarqani menjelaskan pengertian istilah qira’at sebagai suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ (ahli qiraat).

Setiap mazhab berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Alquran dengan kesesuaian riwayat dan cara baca darinya, baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf maupun pengucapan bentuknya.

Pengertian secara istilah juga dikemukakan oleh Ibnul Jazar sebagaimana yang dikutip oleh Sya’ban Muhammad Ismail, yakni ilmu mengenai cara membaca lafaz-lafaz Alquran serta perbedaan cara membacanya menurut versi orang-orang yang menukilnya. Sedangkan Abduh Zulfidar Akaha menawarkan definisi qira’at (قراءات) secara istilah sebagai “ilmu yang mempelajari tata cara menyampaikan atau membaca kalimat-kalimat Alquran dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya.”

Baca juga: Perbedaan Qiraah, Riwayah, dan Thariq serta Contohnya dalam Ilmu Tajwid

Dilihat dari macam-macam jenis qira’at dari segi sanadnya, al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, membaginya menjadi enam, yakni mutawattir, masyhur, ahad, dan syaz, maudu‘, dan mudraj.

Sedangkan qira’at dilihat dari jumlahnya terbagi menjadi tiga, yakni qira’at sab‘ah (menisbatkan qira’ah-nya pada imam qurra’ tujuh yang masyhur yakni Nafi’, Ibn Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashir, Hamzah, dan Kisa’i), qira’at ‘asyrah (yakni qira’at sab‘ah ditambah dengan tiga qira’at yang disandarkan pada Abu Ja‘far, Ya‘qub, dan Khalaf Al-‘Asyir), dan qira’at arba‘ ‘asyrah (yakni qira’at ‘asyrah ditambah dengan empat qira’at yang disandarkan pada Ibnu Muhaishin, Al-Yazadi, Hasan Al-Bashri, dan Al-A‘masy).

Dari ketiga qira’at tersebut, qira’at sab‘ah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira’at ‘asyrah.

Talaqqi

Pada perkembangannya, qira’at tidak dapat lepas dari talaqqi, maksudnya yang dijadikan pengambilan Alquran ketika pada masa Nabi hingga sekarang ini adalah melalui periwayatan dan talaqqi dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Talaqqi dan riwayat inilah yang menjadi kunci utama dalam membaca Alquran secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah kepada sahabatnya.

Tilawah

Adapun tilawah secara etimologi, kata tersebut merupakan bentuk mashdar dari kata tala-yatlu-tilawah (تلاوة – تلا – يتلوا) yang berarti membaca atau menelaah. Selain itu, dalam kamus Al-Munawwir, kata tilawah (التلاوة) sama dengan (القراءة) yang artinya bacaan. Begitu pun dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, tala تلا artinya membaca, sedangkan bentuk mashdar-nya تلاوة memiliki arti bacaan atau tilawah.

Tilawah sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pembacaan (ayat Alquran) dengan baik dan indah. Dari sekian pengertian secara bahasa sebagaimana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tilawah merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi salah satu kata (tilawah) dalam bahasa Indonesia yang memiliki arti bacaan atau pembacaan kitab suci Alquran.

Baca juga: Mengenal Klasifikasi Qiraat dan para Imam Mazhabnya

Kata utlu (أتل) terambil dari kata (تلاوة) tilawah, yang pada mulanya memiliki arti mengikuti. Seorang yang membaca adalah seorang yang hati atau lidahnya mengikuti apa yang terbilang dari lambang-lambang bacaan, huruf demi huruf, bagian demi bagian dari apa yang dibacanya. Jika misalnya seseorang berkata “aba”, maka untuk membacanya seseorang harus melihat dan memperhatikan ketiga huruf itu dan mengikuti satu demi satu, sehingga lahir bacaan “aba”.

Kata tilawah sendiri tercatat dalam Alquran, salah satunya pada Q.S. Al-Baqarah: 121, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya. Mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

Ibnu Katsir dalam Tafsir ibn Al-Katsir menjelaskan حَقَّ تِلَاوَتِهِ yang berarti menghalalkan apa yang dihalalkan Allah, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, membacanya (Alquran) seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah, tidak men-tahrif kalimat perkataan dari tempatnya, dan tidak mentakwilnya dari sesuatu selain apa yang mestinya ditakwilkan.

Baca juga: Beda Qiraat Alquran, Beda Pula Penetapan Hukumnya

Terdapat penjelasan lain yang diutarakan oleh Nashir Al-Din Abu Sa‘id dalam kitab tafsirnya, Tafsir Al-Baidawi. Adapun yang dimaksud dengan يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ adalah mempertimbangkan atau memperhatikan pengucapan lafaz agar tidak tahrif, mentadaburi makna yang dikandungnya, dan mengamalkan apa yang ditetapkannya.

Adapun tilāwah menurut istilah sebagaimana yang diungkapkan Ziad Khaled Moh al-Daghamen adalah mengikuti petunjuk dan aturan-aturan kitab suci. Ini berarti keharusan berkesinambungan dalam memahami makna dan kebenaran-kebenaran (haqaiq)-nya dalam hati.

Qira’ah berbeda dengan tilāwah yang lebih dikhususkan untuk Alquran saja. Menurut Abu Hilal al-‘Askari yang dikutip dari Ar-Raghib al-Asfahani di dalam al-Furq al-Lughawiyah dan Murtadha al-Zubaidi di Taj al-‘Ursy menyatakan bahwa al-tilawah itu dikhususkan untuk makna mengikuti kitabullah dengan membaca (qira’ah) dan mematuhi (irtisam) kandungannya; baik perintah, larangan, motivasi atau ancaman. Jadi dapat dikatakan bahwa tilawah lebih khusus dari qira’ah. Setiap tilāwah merupakan qira’ah, tetapi tidak setiap qira’ah merupakan tilāwah.

Baca juga: Alquran: Antara Ragam Qiraat dan Sumber Ilmu Nahwu

Alquran sendiri membedakan penggunaan kata tilāwah dengan kata qira’ah. Meskipun secara harfiah memiliki kesamaan definisi, tetapi dalam Alquran jika menyebut kata tilāwah dengan berbagai bentuk kalimatnya yang bermakna membaca (karena ada makna lain dari kata ini), maka objek bacaan yang dimaksud adalah sesuatu yang agung dan suci atau benar. Adapun qira’ah, maka objeknya lebih umum, mencakup yang suci atau tidak suci, kandungannya boleh jadi positif atau negatif.

Hal tersebut yang menjadi sebab Q.S Al-Baqarah: 121 menggunakan kata utlu, karena objeknya adalah wahyu. Sedangkan perintah membaca pada wahyu pertama adalah iqra’ yang objeknya dapat mencakup segala macam bacaan, termasuk di dalamnya adalah wahyu-wahyu Alquran. Boleh jadi, kata utlu yang secara harfiah berarti mengikuti teks-teks yang dipilih yang objeknya suci atau benar, untuk mengisyaratkan bahwa apa yang dibaca itu hendaknya diikuti dengan pengamalan.

Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran

0
Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran
Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran.

Salah satu peran hadis adalah sebagai penjelas bagi Alquran. Sebagian hadis hadir untuk menjelaskan atau menafsiri kata atau kalimat dalam Alquran yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Jumlah hadis kategori ini amat banyak sebab inilah fungsi yang paling esensial bagi hadis. Hal ini telah ditegaskan dalam surah An-Nahl ayat 44:

{وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ} [النحل: 44]

Kami turunkan Ad-Dzikr (Alquran) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan (Q.S. Al-Nahl [16]: 44).

Dalam hal ini hadis berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) atau sebagai bayan tafsiri, yaitu menafsiri ayat-ayat Alquran serta mengungkapkan rahasia makna yang dikandungnya [al-Dhau’ al-Lami’ al-Mubin ‘an Manahij al-Muhaddisin, hal. 59].

Fungsi hadis sebagai penafsir terhadap Alquran ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam. Meskipun ada yang menghitungnya hanya tiga.

Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat mujmal

Lafal mujmal adalah satu kata atau kalimat yang konotasi maknanya masih belum jelas dan mengandung unsur ambiguitas [Syarah Jam’u al-Jawami’, juz 2, hal. 65].

{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ} [البقرة: 83]

Dirikanlah salat dan tunaikkanlah zakat… (Q.S. Al-Baqarah [2]: 83).

Ayat di atas mengandung perintah melakukan salat, tetapi Alquran tidak menjelaskan bagaimana tata cara pelaksanaan salat. Perincian cara pelaksanaannya justru diketahui dari Baginda Rasulullah saw. Beliau bersabda:

صلواكما رأيتموني أصلِي

Salatlah kalian sebagaiman kalian melihat aku salat (H.R. Bukhari).

Baca Juga: Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Alquran

Berdasarkan hadis tersebut dapat diketahaui bahwa tata cara pelakasanaan salat adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Tata cara salat dapat diketahui melalui hadis fi’li (hadis yang berasal dari perbuatan Rasul) yang diriwayatkan oleh para sahabat yang melihat langsung salat yang dilakukan Rasul.

Rasulullah sendiri telah mendemonstrasikan tata cara salat di hadapan para sahabat. Mulai dari takbir, bacaan dalam salat, gerakan-gerakan dalam salat, dan segala hal yang berkaitan dengan salat.

Mengkhususkan ayat-ayat umum

Maksudnya hadis berfungsi mengkhususkan cakupan ayat yang bersifat umum seperti dalam masalah waris yang disinggung dalam surah An-Nisa’ ayat 11:

{يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 11]

Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu; bagian anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan (Q.S. An-Nisa’ [04]: 11).

Baca juga: Hadis sebagai Muqarrir terhadap Alquran

Kata أَوْلَادِكُمْ (anak-anak) yang tersebut di atas bersifat umum mencakup semua anak, bahwa setiap anak mendapatkan hak waris dari orang tuanya meskipun dia adalah anak keturunan nabi. Keumuman hadis ini kemudian dikhususkan atau dibatasi cakupan hukumnya oleh hadis bahwa keturunan nabi tidak mendapatkan warisan. Sabda beliau:

لا نورث ما تركناه صدقة

Kami (para nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah sedekah (H.R. Bukhari).

Selain hadis di atas, ayat tersebut juga di-takhsis oleh hadis lain yang menyatakan bahwa anak yang membunuh orang tuanya tidak mendapatkan warisan. Seperti dalam termaktub dalam Sunan al-Darimi sebagai berikut:

لا يرث القاتل

Orang yang membunuh tidak mendapatkan warisan (H.R. Al-Darimi).

Membatasi ayat-ayat mutlak.

Terkadang ayat Alquran menggunakan kalimat muthlaq yang mengandung berbagai kemungkinan makna. Dalam hal ini, hadis memberikan batasan terhadap ayat-ayat yang bersifat muthlaq sehingga menjadi jelas makna yang dikehendaki. Contohnya adalah hadis Nabi yang memberikan penjelasan tentang batasan pemotongan tangan pencuri yang disebutkan dalam Alquran secara muthlaq, yaitu:

{ وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا } [المائدة: 38]

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukuman bagi Pencuri dan Beberapa Ketentuannya

Bila diperhatikan ayat di atas, Alquran tidak menjelaskan secara rinci tangan apa yang dimaksudkan; kiri ataukah kanan atau kedua-duanya? Begitu juga batasan tangan yang dikehendaki. Dalam hal ini hadis datang untuk menjelaskan kepada umat bahwa tangan yang dimaksud punya batasan yaitu tangan kanan dari ujung jari-jari hingga pergelangan tangan saja [ad-Dhau’ al-Lami’ al-Mubin ‘an Manahij al-Muhaddisin, hal. 59].

Menjelaskan lafal musykil

Lafal musykil adalah lafal yang konotasi maknanya masih samar sehingga butuh instrumen pendukung untuk bisa didapatkan pemahaman yang tepat [Ushul Fiqh al-Islami, juz 1, hal. 326]. Sebagian ulama tidak menyebutkan taudihul musykil (penjelas yang musykil) ini bagian dari fungsi mubayyin-nya hadis terhadap Alquran.

Menurut ulama yang menambahkan taudihul musykil dalam fungsi hadis mencontohkannya dengan hadis yang menjelaskan makna lafal al-khaith al-abyath (benang putih) dan al-khaith al aswad (benang hitam) dalam ayat:

{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ} [البقرة: 187]

Makan dan minumlah kalian sampai tampak jelas bagi kalian antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar (Q.S. Al-Baqarah [02]: 187).

Baca juga: Tidak Semua Lafal Alquran Mudah Dipahami, Kenali Lafal-Lafal Khafi ad-Dalalah

Sebagian sahabat memahani maksud ayat itu adalah benang secara hakikat sampai-sampai dia menyediakan dua benang putih dan hitam di kasurnya lalu melihat keduanya menjalang subuh untuk memastikan apakah fajar masuk atau belum [Mafatih al-Ghaib, juz 5, hlm. 273].

Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan bahwa maksud ayat itu bukan seperti yang dipahami sahabat tersebut, tetapi maksudnya adalah gelap malam dan sinar fajar. Beliau bersabda:

إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ

Sesungguhnya (yang dimaksud dengan) hal itu adalah hitam (gelap)-nya malam dan putih (cerah)-nya siang (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran

0
Hadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran
Hadis Sebagai Muqarrir Terhadap Alquran

Ada beberapa istilah yang digunakan ulama untuk menyebut peran hadis terhadap Alquran yang satu ini, di antaranya taqrir atau muqarrir yang berarti pengukuh dan penguat apa yang sudah ada. Istilah tersebut di antaranya digunakan oleh Nawir Yuslem dalam bukunya yang bertajuk Ulumul Hadis.

Namun, kebanyakan ulama mengungkapkannya dengan bayanus sunnah lil kitab ‘ala ma fil kitab (Abdul Halim Mahmud, Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami, 34),  atau qad turadu al-sunnah muwafiqatan lima fi al-Qur’an dan lain sebagainya. (Ahmad Mahram asy-Syekh Naji, Ad-Dhau’ al-Lami’ al-Mubin ‘an Manahij al-Muhaddisin, 59)

Baca Juga: Empat Peran Hadis dalam Menafsirkan Al Quran

Semua istilah itu memiliki pengertian yang sama bahwa hadis berfungsi sebagai penegas pada keterangan yang terdapat di dalam Alquran. Hadis yang datang dengan fungsi pertama ini sesungguhnya bukan untuk menetapkan hukum baru yang belum dibicarakan Alquran.

Tetapi ia datang sejalan dengan kandungan ayat Alquran tanpa sedikitpun penambahan dan pengurangan. Itu sebabnya sebagian ulama menyebut fungsi ini sebagai bayan taqrir, karena posisi hadis dalam hal ini tidak lain adalah sebagai penguat dan pengukuh ketetapan hukum yang sudah ditetapkan oleh Alquran.

Kelompok hadis jenis pertama ini cukup banyak tersebar dalam kitab-kitab kompilasi hadis, seperti sabda Nabi Saw. yang berbicara mengenai kewajiban salat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya yang termuat dalam sebuah hadis populer:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima (pondasi): bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa di bulan Ramadan.” H.R. Bukhari Muslim

Baca Juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Hadis sahih ini berfungsi menegaskan kembali (men taqrir) ayat-ayat berikut:

{وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ} [البقرة: 43]

“Laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukukQ.S. Albaqarah [2]: 43

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ } [البقرة: 183]

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa” Q.S. Albaqarah [2]: 183

{وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا} [آل عمران: 97]

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.Q.S. Ali‘imran [3]: 97

Meskipun Alquran tidak menyebutkan secara khusus bahwa semua itu adalah rukun-rukun Islam, tetapi yang menjadi konteks pembicaraan di sini adalah bahwa hadis di atas mengungkapkan kembali apa yang telah dimuat dan terdapat di dalam Alquran, tanpa menjelaskan apa yang termuat dalam ayat-ayat tersebut.

Contoh lain adalah mengenai kewajiban puasa yang dikaitkan dengan muculnya hilal Ramadan. Dalam hadis riwayat Imam muslim, Rasulullah Saw bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا

“Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan) maka berpuasalah. Dan tatakala kalian melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah (jangan puasa). H.R. Muslim.

Hadis di atas semakna dengan Q.S. Albaqarah [2]: 185;

{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} [البقرة: 185]

“Barang siapa di antara kalian yang melihat bulan (Ramadan) maka berpuasalah…” Q.S. Albaqarah [2]: 185

Ayat di atas, yang kemudian di taqrir kembali kandungannya oleh hadis, membicarakan mengenai kewajiban berpuasa yang dikaitkan dengan hilal Ramadan. Bahwa puasa Ramadan wajib dilakukan manakala seseorang telah melihat hilal. 

Baca Juga: Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam

Contoh lain, dalam kitab al-Manhal al-Lathif, Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki mencontohkan hadis Nabi Saw. yang berbunyi (al-Manhal al-Lathif fi Usul al-Hadits al-Syarif, 13):

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ

Sesungguhnya Allah akan menangguhkan siksaan bagi orang yang berbuat aniaya, tatkala Allah menghukumnya maka Dia tidak akan melepaskannya. H.R. Al-Bukhari

Hadis ini selaras dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. Hud [11]: 102 sebagai berikut:

{وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ} [هود: 102]

Dan begitulah siksa Tuhanmu apabila Dia menyiksa (penduduk) negeri-negeri yang berbuat zalim. Sungguh, siksa-Nya sangat pedih, sangat berat. Q.S. Hud [11]: 102.

Hadis dan ayat Alquran di atas sama-sama membicarakan siksaan Allah kepada orang-orang yang berbuat zalim. Dalam hal ini, hadis hanya sebatas memperkuat dan menekankan betapa besarnya ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang berbuat zalim agar manusia selalu berusaha menjauhinya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hadis sebagai taqrir atau muqarrir berfungsi sebagai penguat atau penegas terhadap beberapa ayat Alquran, tanpa adanya tujuan untuk memunculkan hukum baru, melainkan untuk mengukuhkan ketetapan hukum yang telah ada dalam Alquran.

Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri 

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Suatu bangsa dapat bangkit pun terpuruk tergantung dari kelakuan setiap individu dari bangsa tersebut. Sehebat apapun kemajuan suatu bangsa tanpa diiringi dengan moralitas dan etika dari individu di dalamnya maka kehancuran mereka adalah keniscayaan. Semisal jika seseorang mencintai bangsa Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah menjaga moral dan etika diri sendiri. Jika moral dan etika diri telah tiada, bagaimana seseorang bisa dengan percaya diri melakukan perbaikan? Setiap perbaikan dimulai oleh sosok-sosok yang terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri.

Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Kegagalan dalam memperbaiki moral dan etika diri jika dibiarkan begitu saja kian lama akan terakumulasi menjadi kegagalan sosial dalam memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat. Kegagalan semacam ini pernah dialami oleh bangsa Bani Israil ketika mereka secara individu gagal mengikuti petunjuk Taurat, maka secara sosial mereka pun gagal melakukan perbaikan. Justru ketika datang suatu semangat perbaikan dari Nabi tertentu, mereka akan melenyapkannya, sehingga pada akhirnya mereka sendiri yang menerima akibat buruk dari gagalnya sistem sosial. Dalam surat Alisra’ [17]: 4-5 disebutkan kisah tentang mereka.

وَقَضَيْنا إِلى بَنِي إِسْرائِيلَ فِي الْكِتابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيراً (4) فَإِذا جاءَ وَعْدُ أُولاهُما بَعَثْنا عَلَيْكُمْ عِباداً لَنا أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجاسُوا خِلالَ الدِّيارِ وَكانَ وَعْداً مَفْعُولاً (5)

Dan kami tetapkan kepada Bani Israil di dalam kitab sungguh kalian akan berbuat kerusakan di bumi dua kali dan sungguh kalian akan berlaku sewenang-wenang dengan merasa superior nan besar. Maka ketika datang janji yang pertama dari keduanya, kami utus kepada kalian hamba-hamba yang bagi kami memiliki kekuatan hebat lalu mereka memorakporandakan setiap celah rumah-rumah, dan itulah janji yang pasti terlaksana.

Menjauhi Petunjuk Kebenaran

Al-Razi menyebut bahwasanya ayat ini merupakan konfirmasi dari ayat 2. Setelah Allah memberikan kenikmatan kepada Bani Israil dengan turunnya Taurat, menjadikannya sebagai petunjuk, tetapi mereka justru berbuat kerusakan.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Makna kata qadhaina pada ayat 4 ini menurut al-Razi yakni ‘kami wahyukan’, sehingga masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Mereka melakukan kerusakan yakni dengan menjalankan kemaksiatan yang menyelisihi hukum Taurat. Kesewenangan meninggikan diri terhadap masyarakat di luar hak yang telah diberikan, karena setiap mutajabbir atau otoritarian disebut ala dan taadzdzama yang berarti meninggikan dan mengagungkan diri.

Ketika orang-orang fasik tersebut merajalela, maka kepada mereka diutus suatu kaum yang memiliki kekuatan besar dalam peperangan untuk melawan mereka, merendahkan Bani Israil karena kesombongan yang telah dilakukannya. Di saat mereka menghalalkan yang telah diharamkan dalam Taurat, membunuh para nabi dan menumpahkan darah, maka Allah menguasakan kaum itu pada lawan mereka. Raja Majusi Bukhtanshir menumpas empat puluh ribu para pembaca Taurat  sehingga tinggallah kaum Bani Israil dalam kerendahan.

Al-Razi juga menyebut pendapat lain yang mengatakan bahwa sebelumnya Allah menjadikan ketakutan ada dalam hati kaum Majusi terhadap Bani Israil. Ketika kemaksiatan banyak dilakukan oleh para pembaca Taurat, maka ketakutan tersebut dihilangkan oleh Allah, sehingga kaum Majusi berani menyerang dan menghancurkan mereka.

Ibrah Kisah Bani Israil: Gambaran untuk Memulai dari Diri Sendiri

Peristiwa ini menjadi gambaran bagi kita umat Muslim tanah air, bagaimana bangsa Bani Israil yang digdaya pun hancur karena kelakuannya. Suratan takdir yang telah dikabarkan bahwa mereka akan melakukan kerusakan tidak dapat dihindarkan.

Seakan peristiwa ini ditakdirkan untuk menjadi titik reflektif Bagi umat masa kini. Bagi al-Razi, seandainya saja mereka tidak melakukan kerusakan itu, tentu kabar dari Allah yang benar akan menjadi kebohongan, hukum-Nya yang tetap menjadi batil, dan ilmu-Nya yang hakiki menjadi kejahilan yang mana kesemua hal ini mustahil adanya.

Baca Juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri

Kerusakan yang dilakukan Bani Israil tersebut menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihapuskan. Mereka dibebani tanggung jawab untuk meninggalkannya dan dilaknat karena melakukannya. Al-Razi menuturkan bahwa demikianlah Allah memerintahkan kepada sesuatu namun memalingkan darinya dan Dia melarang akan sesuatu namun menetapkan hal itu dapat dicapai.

Bani Israil dengan segala kehebatan mereka dapat terpuruk karena secara sosial telah terbentuk kebersamaan untuk melalaikan pesan kitab suci. Kitab suci mereka ada, namun semangat untuk memperjuangkan ajaran di dalamnya telah tiada. Semangat untuk berlaku adil terhadap sesama, tidak membuat kerusakan pada alam, dan tidak berlaku sewenang-wenang menjadi hal yang hilang dari peradaban yang dihiasi oleh para Nabi tersebut. Secara sosial, mereka sepakat melakukan kerusakan karena individu-individu yang gagal memperbaiki diri sendiri.

Sejarah mereka dapat menjadi gambaran bagi kita untuk memulai dari diri sendiri. Tidak perlu menuntut muluk-muluk kepada penguasa untuk membenahi diri, jika memang hal ini jauh dari lingkup kuasa kita. Hal positif dapat dimulai dari diri sendiri. Terlebih di dunia digital dewasa ini kita semestinya dapat memutuskan apa yang mesti kita lihat dan klik. Setiap hal negatif akan hilang dari gawai kita jika kita memustuskan untuk tidak melihatnya, meskipun berat karena algoritma terkadang dapat menjebak.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Semua dapat dimulai dengan berlaku adil dengan hak hati kita akan kebutuhan ilmu yang mesti dipenuhi. Menjaga diri dari konten yang berpotensi merusak produktifitas dan kesehatan mental. Terakhir tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kuasa kita akan jari dan diri karena di setiap detik kita terdapat hak Allah atas nafas yang telah diberikan-Nya.

Semoga kita umat Muslim tanah air bisa lebih mencintai Alquran demi perbaikan diri. Semoga kita tidak dipalingkan dari apa yang diperintahkan serta dapat menahan diri dari larangan yang senantiasa mendekati.

Wallahu a’lam

Isyarat Media Pendidikan Islam dalam Kisah Nabi Sulaiman

0
isyarat media pendidikan dalam kisah Nabi Sulaiman
isyarat media pendidikan dalam kisah Nabi Sulaiman

Tidak jarang kisah beberapa Nabi dalam Alquran dapat memberi inspirasi bagi sebagian pembacanya. Membaca kisah para Nabi tersebut tidak hanya mendapat informasi tentang kejadian di masa lalu, tapi juga memperoleh isyarat tentang hal yang lain, misal yang dilakukan oleh Ahmad Nur Cholis dengan bukunya, Peace Ducation & Pendidikan Perdamaian Gusdur.

Di buku ini, Nur Cholis menyebut bahwa Alquran merupakan sumber utama bagi dasar dan pengembangan pendidikan Islam. Salah satunya ialah media pendidikan Islam. Uniknya isyarat tentang pengembangan media pendidikan Islam itu diambil dari kisah Nabi Sulaiman dalam Alquran.

Baca Juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Kisah Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Bilqis

 Salah satu ayat Alquran yang mengisyaratkan tentang media pendidikan Islam tertuang dalam kisah Nabi Sulaiman a.s.

قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰب كَرِيمٌ إِنَّهُۥ مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ

Berkatalah ia (Balqis), “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat iu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Naml [27]: 29-31)

Ibrahim bin Umar al-Biqa’i dalam tafsirnya menyebut bahwa Ratu Bilqis menyambut baik burung Hud-hud sebagai pengantar surat kepadanya. Ratu Bilqis pun menerima surat itu dan kemudian memberitakan mengenai siapa pengirimnya sekaligus menjelaskan isinya kepada para pejabatnya.

Adapun menurut Tafsir Kementerian Agama, ayat di atas menceritakan tentang kisah Nabi Sulaiman yang mengirimkan surat kepada Ratu Bilqis. Surat tersebut dinamakan kitabun karim (surat yang mulia). Hal ini dikarenakan surat itu ditulis dalam bahasa yang baik serta memakai stempel sebagai tanda surat resmi. Bahkan menurut suatu riwayat, surat dari Nabi Sulaiman tersebut merupakan surat yang pertama kali diawali dengan basmalah.

Baca Juga: Mengaji ‘Bismillah’ [1], tuntunan Allah yang mentradisi di kalangan para Nabi

Surat: media penghubung pendidik dan terdidik

Dari ayat ini terlihat bahwa surat yang digunakan oleh Nabi Ibrahim untuk berdakwah kepada Ratu Bilqis dan rakyatnya merupakan media yang berisi nilai-nilai pendidikan. Makna media yang berarti ‘penghubung’ dalam teori pendidikan sangat sesuai dengan makna ‘pembesar-pembesar’ dalam QS. An-Naml [27]: 29-31 di atas.

Jika dalam Pendidikan, media akan menghubungkan posisi pendidik (guru) dan terdidik (siswa) yang mana terdidik ini biasanya bersifat massal, maka dalam ayat tersebut menurut Khatibah yang dimaksud dengan pembesar-pembesar itu ialah ‘publik’, sehingga yang menjadi tujuan dari media surat tersebut ialah khalayak ramai. Surat dari Nabi Sulaiman a.s. inilah yang menjadi perantara antara Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Bilqis serta rakyatnya.

Substansi surat yang baik sebagai media pendidikan Islam

Dilihat dari isi surat Nabi Sulaiman a.s. pun mengisyaratkan bahwa substansinya berisikan hal-hal yang positif, sehingga surat ini disebut dengan kitabun karim (surat yang mulia). Dalam kitab Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib disebutkan bahwa surat itu menjadi mulia dikarenakan beberapa hal, yakni karena kebagusan substansinya, kemuliaan pengirimnya, yakni Nabi Sulaiman a.s. dan stempel yang ada di dalamnya. Inilah media pendidikan Islam yang sesungguhnya.

Sudah seharusnya media pendidikan mengandung nilai-nilai kebaikan. Menurut Asmuki dan Hasanah dalam Jurnal Studi Pendidikan dan Pedagogi Islam menyatakan bahwa media dalam pendidikan Islam haruslah mengandung nilai-nilai Islam guna memfasilitasi masyarakat untuk mengakses sumber pengetahuan dari pendidikan Islam tersebut. Nilai-nilai Islam (tauhid) inilah yang jauh sudah termuat dalam surat Nabi Sulaiman a.s.

Baca Juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

Nilai dakwah dalam surat Nabi Sulaiman a.s: tujuan media pendidikan Islam

Selain itu, surat Nabi Sulaiman a.s. dan hubungannya dengan media pendidikan Islam juga dapat dilihat dari kesamaan tujuannya. Surat yang ditulis oleh Nabi Sulaiman a.s. kepada Ratu Bilqis merujuk kepada suatu kegiatan dakwah yang berisikan nilai tauhid. Dengan kata lain, objek yang menjadi tujuan surat tersebut diharapkan mendapatkan siraman kebaikan berupa nilai tauhid.

Begitu pula dengan tujuan media pendidikan Islam, media pendidikan yang baik adalah media yang mampu memberikan nilai tambah seperti perubahan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. Hadirnya suatu media seyogyanya dapat membelajarkan masyarakat, meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup mereka.

Begitulah isyarat Alquran tentang media pendidikan Islam dalam kisah Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Bilqis. Media pendidikan Islam hari ini boleh berkembang, rupanya bermacam-macam, hal seperti ini memang tuntutan, asal substansi dan tujuannya tetap mengandung nilai-nilai keislaman, semuanya tidak jadi persoalan. Wallah a’lam.

Nabi Nuh dan Gelar ‘Hamba yang Bersyukur’

0
Nabi Nuh dan gelar hamba yang bersyukur
Nabi Nuh dan gelar hamba yang bersyukur

Kita mengenal Nabi Nuh dan gelar beliau sebagai Ulul Azmi. Salah satu prinsip yang juga ada dalam sosok Nabi Nuh dalam Alquran adalah ‘pribadi yang bersyukur’. Pada surah al-Isra ayat 3 Nabi Nuh disebut oleh Allah sebagai Abdan Syakuran.

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كانَ ‌عَبْداً ‌شَكُوراً

“Keluarga yang kami bawa bersama Nuh. Sungguh dia adalah hamba yang bersyukur.” (Q.S al-Isra [17]: 3)

Terdapat kaitan erat antara ayat 3 ini dan ayat 2 sebelumnya meskipun secara zahir terlihat pembahasan yang berbelok cukup jauh. Apabila didalami secara kontekstual bagaimana ayat lain menerangkan terkait Nabi Nuh maka akan terlihat alur yang jelas tujuan ayat ini diarahkan.

Baca Juga: Isyarat Kreativitas Manusia dalam Kisah Nabi Nuh

Bahtera Nabi Nuh dan Simbol Keimanan

Al-Razi menyebut bahwa kalimat keluarga yang kami bawa bersama Nuh dimaksudkan untuk segenap manusia. Hal ini karena menurutnya seluruh keturunan manusia yang tersisa adalah putera Nuh yang selamat dalam bahtera.

Salah satu penjelasan yang menarik tentang kaitan ayat 3 ini dengan ayat sebelumnya disebutkan oleh Al-Alusi dalam kitab beliau, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Adzim wa Sab’ al-Matsani. Penyebutan Nabi Nuh a.s. pada ayat 3 ini, menurut al-Alusi untuk mengingatkan nikmat pertolongan dari Allah yang telah menyelamatkan moyang kita dan Bani Israil dari tenggelam akibat banjir bandang dalam bahtera beliau.

Saat ketika tidak ada yang dapat menolong mereka kecuali Allah maka di titik itulah rasa tawakkal hanya tertuju kepada-Nya, karena tidak ada yang lain selain Dia yang mampu menolong kita. Oleh karenanya keterangan tentang bahtera dan lautan juga didapati dalam surat al-Isra ayat 67

وَإِذا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي ‌الْبَحْرِ ‌ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَاّ إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكانَ الْإِنْسانُ كَفُوراً (67)

Dan ketika bencana menimpa kalian di laut lenyap sudah yang kalian seru kecuali hanya Dia. Ketika kami selamatkan kalian menuju daratan maka kalian berpaling

Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa yang menumpangi bahtera Nabi Nuh hanyalah orang-orang yang beriman. Ayat di atas menegaskan bagaimana keimanan dapat utuh kembali karena manusia mengidentifikasi suatu bahaya yang hanya Allah dapat menolong mereka, titik nadir kepasrahan manusia.

Terlihat bagaimana keimanan pengikut Nabi Nuh dan mereka yang diterjang badai lautan hanya memohon kepada Allah semata. Sebenar-benarnya Mukmin adalah mereka yang mengetahui bahwa pembangkangan terhadap Allah merupakan marabahaya sesungguhnya.

Kesadaran akan bahaya jauh dari Allah dan melepaskan diri dari tawakkal kepadanya hanya akan dirasakan setiap Mukmin. Dunia dengan berbagai permasalahnya ibarat lautan dengan berbagai marabahaya sehingga tanpa pertolongan Allah mustahil kita dapat selamat mengarunginya hingga akhir hayat tiba.

Adapun bentuk pertolongan Allah yang nyata adalah kalam-Nya yang sampai kepada kita melalui Rasulullah saw. Oleh karenanya penyebutan keluarga Nabi Nuh dalam ayat 3 ini masih terkait dengan ayat 2 karena kunci dari pertolongan Allah adalah petunjuk darinya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As

Wahyu, Kemalangan, dan Rasa Syukur Nabi Nuh

Petunjuk dari Allah yakni wahyu untuk hamba yang dikehendakiNya salah satunya adalah kitab suci, beberapa merupakan wahyu untuk Nabi, dan beberapa lagi diberikan untuk yang bukan nabi. Seperti ibu Nabi Musa yang mendapatkan wahyu untuk menghanyutkan puteranya ke sungai, meletakkannya di dalam kotak.

Beberapa Nabi menerima wahyu namun tidak ditetapkan sebagai kitab suci seperti Nabi Nuh. Dalam surah an-Nisa ayat 163 disebutkan,

إِنَّا أَوْحَيْنا إِلَيْكَ كَما ‌أَوْحَيْنا ‌إِلى ‌نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنا إِلى إِبْراهِيمَ وَإِسْماعِيلَ وَإِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْباطِ وَعِيسى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهارُونَ وَسُلَيْمانَ وَآتَيْنا داوُدَ زَبُوراً (163)

Sesungguhnya kami memberikan wahyu kepadamu seperti halnya kami mewahyukan kepada Nuh dan para Nabi setelahnya. Dan kami berikan wahyu kepada kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub beserta keturunannya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman, dan kami berikan Zabur kepada Dawud.

Nabi Nuh mendapatkan wahyu seperti disebut pada ayat di atas untuk mengajak kaum beliau kepada tauhid. Bahkan dalam surah Ali Imran ayat 33 disebutkan bahwa Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran di atas segala umat, pada masa masing-masing.

Sederet pencapaian spiritual tersebut ternyata tidak membuat istri Nabi Nuh terlepas dari mengkhianati keyakinan suaminya, tidak beriman kepadanya. Mayoritas mufasir, ketika memaknai surah  at-Tahrim ayat 10, menyebut bahwa pengkhianatan istri Nabi Nuh bukanlah mengenai selingkuh ataupun zina, melainkan dia turut menuduh Nabi Nuh gila karena apa yang didakwahkan olehnya.

Bayangkan jika pasangan yang kita cintai termasuk dari golongan para pengingkar yang mengolok-olok kita dengan sebutan gila. Terlebih tidak ada riwayat bahwa Nabi Nuh menceraikan istrinya tersebut. Beliau pun sama sekali tidak mengeluhkan perihal istrinya kepada Allah, justru dalam surah Nuh yang beliau keluhkan hanyalah kaumnya saja.

Nabi Nuh dengan begitu kuatnya tetap menjalankan dakwah yang diwahyukan kepadanya meskipun orang terdekat yang semestinya dapat meringankan bebannya justru turut mengingkarinya. Kondisi yang demikian menyakitkan dijalani oleh beliau dengan rentang waktu yang panjang hingga wahyu untuk membuat kapal diturunkan. Penerimaan Nabi Nuh akan keadaan tersebut jika dikaitkan dengan ayat 3 maka dapat kita pahami mengapa beliau mendapatkan predikat prestisius, disebut Allah sebagai hamba yang bersyukur.

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh

Mensyukuri Pemberian Allah

Ayat 3 ini menuntun kita pada hikmah untuk mensyukuri pemberian yang datang dari Allah terlebih jika itu adalah petunjuk darinya. Nabi Nuh tetap melaksanakan perintah wahyu dari Allah meskipun secara zahir banyak kemalangan yang menimpa beliau, namun kesadaran akan keberuntungan bagi siapapun yang berpegang pada janji Allah menjadi kabar gembira yang dapat melipur luka seberapapun dalamnya.

Prinsip yang ada dalam sosok Nabi Nuh dalam ayat 3 tersebut dapat dijadikan sebagai tauladan bagi umat Muslim pun Bani Israil dalam konteks sambungan dengan ayat sebelumnya. Sebagian kaum Bani Israil mengambil keuntungan dunia melalui penyelewangan terhadap wahyu dalam bentuk kuasa dan harta. Titik balik dari yang mereka lakukan adalah gambaran pada ayat ini di mana seorang Nabi berteguh pada wahyu meskipun justru mendapatkan pertentangan, olokan, dan hal yang bagi kita merupakan kemalangan.

Hal yang menurut kita adalah kemalangan dan kesusahan bisa jadi bukanlah menjadi soal besar bagi sosok luar biasa seperti Nabi Nuh a.s. Bagi Nabi Nuh, jika melihat ayat 3 ini, justru kenikmatan yang sebenarnya adalah wahyu atau petunjuk dari Allah yang mengantar pada ridha-Nya.  wallahu a’lam.

Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern

0
Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern
Tafsir al-Azhar dan Kategorisasi Tafsir Modern

Sebuah kitab tafsir pada dasarnya merupakan respons terhadap peradaban pada masanya. Selain itu, produk penafsiran ini mencerminkan kondisi sosial-historis dan konteks keadaan serta kecenderungan di sekitar penafsirnya. Terlebih pada karya tafsir era modern yang lahir sebagai respons terhadap persoalan-persoalan yang terjadi pada saat tafsir tersebut dikembangkan. Salah satu contohnya adalah Tafsir al-Azhar yang disusun oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Tafsir ini kemudian menjadi salah satu khazanah tafsir modern di Indonesia.

Apa itu Tafsir Modern?

Namun, sebelum melihat lebih dalam tentang Tafsir al-Azhar, perlu juga dipahami apa yang dimaksud dengan tafsir modern. Tafsir modern berkaitan erat dengan tafsir kontemporer. Kedua istilah ini, menurut Ahmad Syukri dalam Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman sering kali digunakan secara bergantian. Tafsir modern adalah penafsiran yang cenderung mencari relevansi teks Alquran dalam kehidupan masa kini, serta memperhatikan isu-isu kekinian yang dihadapi umat muslim. Pendekatan ini juga mencoba memahami pesan dan nilai-nilai universal Alquran secara lebih luas dan mendalam.

Tafsir modern merujuk pada pendekatan penafsiran yang muncul dalam konteks zaman sekarang dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, konteks sosial, dan pemahaman kontemporer. Ada tiga pendekatan pemikiran utama dalam tafsir modern, yaitu tafsir ‘ilmi yang didapat melalui pendekatan ilmu pengetahuan, tafsir linguistik-filologis yang cenderung pada kajian bahasa dan makna kata, dan tafsir adabi ijtima’i yang menekankan nilai-nilai sosial dan etika yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran. (J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, xiii)

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Beda hal dengan tafsir klasik yang merujuk pada pendekatan penafsiran yang dikembangkan pada masa awal Islam dan dipraktikkan oleh para ulama dan mufassir terkemuka pada zaman itu. Metode ini mencakup berbagai pendekatan seperti tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Metode klasik cenderung menekankan pada pemahaman teks secara literal dan mempertimbangkan konteks sejarah dan linguistik dalam penafsiran. (Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 332)

Kedua metode ini memiliki peran dan kegunaan mereka masing-masing. Metode klasik mengacu pada warisan penafsiran tradisional dan otoritas ulama masa lalu, sementara metode modern mencoba menghubungkan Alquran dengan konteks zaman sekarang dan memperbarui pemahaman terhadap teks suci. Penggunaan metode penafsiran Alquran dapat bervariasi tergantung pada tujuan, konteks, dan pendekatan yang diambil oleh mufassir.

Awal Kemunculan Tafsir Modern

Munculnya tafsir modern dimulai oleh tokoh-tokoh modernisme Islam di Mesir dan India, di antaranya adalah Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Hal Ini juga didorong oleh pergerakan modernisasi dalam era tersebut, yang merupakan suatu proses perubahan dan pembaharuan dalam hal nilai-nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, struktur lembaga masyarakat, serta lapisan masyarakat dari berbagai tingkatan dan interaksi sosial dan kekuasaan.

Meskipun tafsir modern ditujukan untuk masyarakat dan memiliki perbedaan dengan tafsir klasik, secara keseluruhan bentuk dan isi tafsir tersebut masih mengandung unsur tradisional. Dengan demikian, tafsir modern dapat dikatakan sebagai bagian dari warisan tafsir klasik. (J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, 26)

Baca Juga: Mengenal Tafsir Al-Azhar, Tafsir Bahasa Indonesia Karya Ulama Minangkabau

Aspek Modern dalam Tafsir Al-Azhar

Tafsir al-Azhar sangat dipengaruhi oleh Tafsir al-Manar, sebuah tafsir yang terkenal dan fenomenal pada zamannya. Pengaruh ini terlihat dari penjelasan Hamka pada QS. Ali ‘Imran [3]:19. Hamka memiliki pemahaman yang serupa dengan Rida tentang konsep al-din (agama) dan al-Islam. Dalam hal ini, Hamka menegaskan bahwa Tafsir al-Azhar mengadopsi gaya tafsir yang dipopulerkan oleh Tafsir Al-Manar. (Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang pendidikan Islam, 15)

Tafsir al-Azhar tidak hanya mengadopsi perspektif agama Islam, tetapi juga relevan dengan isu-isu politik dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada era modern. Salah satu contohnya adalah konsep Islam KTP yang didefinisikan oleh Hamka sebagai seseorang yang mengaku sebagai Muslim namun tidak mempraktikkan ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Tafsir al-Azhar tidak hanya mengikuti pendekatan agama semata, tetapi juga mempertimbangkan isu-isu kontemporer dan lokal yang ada. (Mun’im Sirry, What’s Modern about Modern Tafsir? A Closer Look at Hamka’s Tafsir al-Azhar, 202)

Lebih lanjut, ketika Hamka menafsirkan ayat QS. Al-Maidah [5]:3, ia memahaminya sebagai kesempurnaan Islam yang harus dipahami sebagai alasan untuk melakukan reinterpretasi berdasarkan sejarah dan konteks lokal yang berbeda. Ia berargumen bahwa sulit bagi Islam abad ke-7 untuk secara relevan diterapkan di semua tempat dan konteks. Hamka juga menegaskan bahwa individu dipengaruhi oleh tempat dan waktu di mana mereka hidup. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tafsirnya, Hamka tidak hanya mempertimbangkan aspek teologis, tetapi juga faktor sosial dan sejarah.

Hamka juga menekankan pentingnya perubahan hukum dalam tafsirnya. Sebagai contoh, ia membahas cerita mengenai pemisahan laki-laki dan perempuan menggunakan tirai dalam pertemuan sebelum Perang Dunia II yang melibatkan salah satu pemimpin Muhammadiyah. Hamka menegaskan bahwa tidak ada ayat yang secara khusus membicarakan tentang hal tersebut, dan tafsir yang berhubungan dengan etika dalam pertemuan dapat ditemukan dalam ayat QS. An-Nuur [24]:30-31. Hamka menekankan pentingnya menjaga etika dalam pertemuan, sementara perubahan hukum dapat dilakukan melalui ijtihad dengan mempertimbangkan konteks tempat dan peraturan yang berlaku.

Dalam perspektif Mun’im Sirry, tafsir modern tidak hanya terkait dengan perubahan sosial, tetapi juga berkaitan dengan penerimaan hermeneutika. Tafsir al-Azhar mencerminkan bagaimana ia mencari keseimbangan antara teks Alquran dengan sejarah, sosial, politik, dan intelektual pada saat Alquran diturunkan. Ini sejalan dengan konsep the fusion of horizons yang diperkenalkan oleh Gadamer. Menurut Mun’im, tafsir modern adalah hasil dari waktu dan tempatnya sendiri. Meskipun menggunakan Alquran, hadis Nabi Saw, dan tafsir generasi awal sebagai sumbernya, tafsir modern memiliki pandangan dan isu yang berkembang pada saat itu.

Baca Juga: Karya-Karya Tafsir Bercorak Sosial di Era Modern

Sebagai contoh konkret, ketika Hamka menafsirkan ayat QS. Al-Maidah [5]:51, Hamka mendefinisikan auliya sebagai pemimpin, bukan sebagai teman. Ini berbeda dengan beberapa kamus yang menerjemahkan auliyasebagai teman. Penafsiran Hamka ini berkaitan dengan konteks politik pada saat itu, di mana rezim Soeharto mencurigai kelompok Muslim dan melarang mereka menduduki posisi strategis. Dalam konteks tersebut, Hamka mengarahkan makna auliya kepada kelompok non-Muslim. (Mun’im Sirry, What’s Modern about Modern Tafsir? A Closer Look at Hamka’s Tafsir al-Azhar, 207)

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Tafsir al-Azhar karya Hamka tidak sekadar mengulang tafsir-tafsir sebelumnya, tapi juga menghubungkan Alquran dengan konteks dan isu kehidupan modern. Tafsir ini mempertimbangkan perubahan sosial dan menekankan nilai-nilai etika dan keadilan dalam Islam. Dengan pendekatan ini, Hamka memberikan pemahaman yang relevan dan kontekstual terhadap ayat-ayat Alquran, sehingga dapat menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang.

Integrasi Teknologi Augmented Reality (AR) dalam Tafsir Alquran Digital

0
Integrasi Teknologi Augmented Reality (AR) dalam Tafsir Alquran Digital
Integrasi Teknologi Augmented Reality (AR) dalam Tafsir Alquran Digital

Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, terdapat sebuah pendekatan inovatif yang menjanjikan untuk memperkaya pemahaman umat Islam terhadap Alquran, yaitu pemanfaatan teknologi Augmented Reality (AR) dalam tafsir Alquran digital.

Teknologi Augmented Reality (AR) merupakan teknologi yang menggabungkan elemen virtual dengan dunia nyata untuk menciptakan pengalaman interaktif yang ditingkatkan. Dalam AR, perangkat digital seperti smartphone, tablet, atau kacamata AR digunakan untuk memproyeksikan objek virtual, gambar, atau informasi tambahan ke dalam lingkungan nyata pengguna (Vladimir Geroimenko, Augmented Reality in Education, 182).

Sementara tafsir Alquran adalah proses penting dalam memahami dan menginterpretasikan pesan-pesan suci yang terkandung di dalamnya (Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an, 48). Namun, seringkali tafsir tradisional hanya memanfaatkan teks tulisan untuk menjelaskan makna ayat-ayat Alquran. Inilah saatnya untuk memanfaatkan teknologi AR sebagai pendekatan inovatif dalam tafsir Alquran digital.

Baca juga: Alquran di Era Digital dan Kemunculan Generasi Muslim Melek Digital

Penggunaan Augmented Reality (AR) dalam tafsir Alquran digital membuka pintu baru bagi pemahaman yang lebih mendalam dan interaktif terhadap teks kitab suci Alquran. Dengan memadukan dunia virtual dengan realitas fisik, AR memungkinkan pengguna untuk menjelajahi dan mengalami ayat-ayat Alquran secara visual, audio, dan bahkan taktil, menciptakan pengalaman yang lebih imersif dan memikat.

Salah satu manfaat utama dari penggunaan AR dalam memvisualisasikan ayat-ayat Alquran adalah kemampuannya untuk menyajikan konteks yang lebih kaya dan mendalam. Melalui penggunaan perangkat digital, pengguna dapat melihat dan berinteraksi dengan elemen virtual yang secara langsung terhubung dengan ayat-ayat Alquran.

Misalnya, pengguna dapat mengarahkan perangkat mereka ke sebuah ayat yang berbicara tentang alam semesta, seperti ayat-ayat tentang penciptaan langit dan bumi. Dengan AR, pengguna dapat melihat simulasi visual tentang bagaimana alam semesta terbentuk, dengan planet-planet, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi yang terlihat secara virtual. Hal ini membantu pengguna untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang kebesaran Allah Swt. dan kompleksitas ciptaan-Nya.

Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Penggunaan AR dalam memvisualisasikan ayat-ayat Alquran juga dapat membantu pengguna untuk memahami konteks sosial, budaya, dan geografis di balik ayat-ayat tersebut. Misalnya, saat membaca tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ka’bah, pengguna dapat melihat visualisasi 3D tentang bagaimana Ka’bah terlihat pada masa Nabi Ibrahim. Mereka dapat melihat detail arsitektur, ukuran, dan posisi geografis Ka’bah, yang membantu mereka untuk memahami makna dan pentingnya tempat suci ini dalam sejarah Islam.

Dalam penggunaan Augmented Reality (AR) dalam tafsir Alquran, pengguna juga dapat melihat animasi atau gambar yang memvisualisasikan konsep-konsep yang sulit dipahami secara abstrak. Misalnya, konsep ruh atau alam akhirat sering kali sulit untuk dipahami hanya melalui teks tulisan. Maka dalam konteks ini pengguna dapat melihat animasi yang menggambarkan bagaimana alam akhirat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang lebih hidup.

Dengan demikian, penggunaan AR dalam memvisualisasikan ayat-ayat Alquran memberikan konteks yang lebih kaya dan mendalam bagi pengguna. Hal ini membantu mereka untuk merasakan kehadiran fisik, memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang makna dari suatu ayat.

Baca juga: Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Alquran: Talaqqi Digital

Selain memvisualisasikan ayat-ayat Alquran secara virtual, teknologi AR juga dapat digunakan untuk menyediakan penafsiran dan penjelasan tambahan. Dalam aplikasi AR yang khusus dirancang untuk tujuan ini, pengguna dapat mengarahkan kamera perangkat mereka ke ayat-ayat tertentu dan mendapatkan penafsiran atau konteks tambahan yang disajikan dalam bentuk teks, audio, atau video.

Penggunaan teknologi Augmented Reality dalam memvisualisasikan ayat-ayat Alquran juga memiliki potensi untuk meningkatkan pengalaman pembelajaran dan pemahaman bagi individu yang sedang mempelajari Alquran. Dalam lingkungan pendidikan formal atau informal, penggunaan AR dapat membantu memperkuat pemahaman konsep-konsep Alquran, menghidupkan kembali sejarah dan kisah-kisah di dalamnya, serta memfasilitasi diskusi dan refleksi yang lebih dalam.

Baca juga: Memahami Alquran Melalui Sinematografi

Namun, perlu diingat bahwa teknologi Augmented Reality hanya merupakan alat bantu. Pemahaman yang mendalam tentang Alquran tetap bergantung pada studi, refleksi, dan pengajaran yang komprehensif. AR hanya dapat memberikan gambaran visual yang membantu, tetapi tidak dapat menggantikan pengetahuan yang diperoleh melalui studi yang komprehensif.

Oleh karena itu, penggunaan teknologi AR dalam tafsir Alquran haruslah didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang teks suci ini. Pengguna perlu memastikan bahwa informasi dan interpretasi yang disajikan melalui teknologi AR sesuai dengan prinsip-prinsip tafsir yang sahih dan diakui dalam tradisi keilmuan Islam.

Kesimpulan

Pemanfaatan teknologi Augmented Reality (AR) dalam tafsir Alquran digital merupakan sebuah pendekatan inovatif yang menawarkan potensi besar untuk memperkaya pemahaman dan interaksi pengguna terhadap Alquran. Dengan AR, pengguna dapat menyelami tafsir Alquran secara visual dan interaktif, memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang konteks sejarah, budaya, dan konsep-konsep abastrak yang sulit dipahami.

Memahami Alquran Melalui Sinematografi

0
Memahami Alquran Melalui Sinematografi
Film “The Message” (1976) salah satu bentuk interpretasi Alquran melalui sinematografi.

Di balik layar sinematografi yang memukau, terdapat potensi yang tak terbatas untuk menyampaikan pesan-pesan spiritual dan menggali makna mendalam. Dalam beberapa dekade terakhir, sinematografi telah menjadi salah satu medium yang paling efektif dalam menyampaikan pesan dan nilai-nilai kepada penonton.

Salah satu bidang yang menarik untuk dieksplorasi adalah bagaimana Alquran dapat dipahami melalui sinematografi. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana sinematografi digunakan untuk memahami Alquran dan bagaimana pesan-pesan Alquran diinterpretasikan melalui film.

Sebelum memahami bagaimana Alquran dapat dipahami melalui sinematografi, penting untuk memahami esensi sinematografi itu sendiri. Sinematografi merupakan seni dan teknik dalam menciptakan gambar bergerak dalam film (Hilmawan Pratista, Memahami Film, 129).

Dalam sinematografi, seorang sinematografer bertanggung jawab untuk menciptakan komposisi visual yang menarik, memilih pencahayaan yang tepat, dan mengatur gerakan kamera untuk menciptakan pengalaman visual yang memukau bagi penonton (Sim Chee Cheang, Asas Apresiasi Seni, 5-7).

Sinematografi juga melibatkan penggunaan berbagai teknik seperti framing, pencahayaan, pengaturan warna, dan penggunaan lensa khusus untuk mencapai efek yang diinginkan (Amy Villarejo, Film Studies: The Basics, 41). Maka melalui sinematografi, seorang sutradara dapat mengungkapkan visi artistiknya dan menyampaikan cerita dengan cara yang unik dan memikat.

Interpretasi Alquran Melalui Film

Film-film yang terinspirasi oleh Alquran sering kali memberikan interpretasi baru tentang pesan-pesan Alquran. Sinematografi memungkinkan para pembuat film untuk menggambarkan cerita dan peristiwa dalam Alquran secara visual, sehingga penonton dapat melihat dan merasakan pesan-pesan Alquran dengan cara yang berbeda.

Interpretasi baru ini juga dapat membantu penonton memahami pesan Alquran dengan cara yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Film-film Alquran tersebut dapat menggambarkan situasi dan konteks yang lebih modern, sehingga memberikan penafsiran yang relevan dengan tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.

Salah satu contoh interpretasi Alquran melalui sinematografi adalah film “The Message” (1976) yang disutradarai oleh Moustapha Akkad. Film ini mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad saw. dan penyebaran Islam di Makkah. Dalam film ini, sinematografi digunakan untuk menggambarkan suasana dan lokasi yang autentik, serta menghadirkan momen-momen penting dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. dengan visual yang kuat.

Baca juga: Perjalanan Teks Alquran: Transisi Media dan Otoritas

Melalui penggunaan sinematografi yang indah, penonton dapat merasakan keindahan dan keagungan ajaran Islam yang disampaikan melalui Alquran. Selain itu, penggunaan sinematografi dalam film ini juga membantu menyoroti pesan-pesan universal dalam Alquran, seperti kedamaian, keadilan, dan kasih sayang.

Film-film seperti “The Message” adalah contoh bagaimana sinematografi dapat digunakan untuk menginterpretasikan dan menggali makna Alquran. Dengan menggunakan teknik dan estetika sinematografi, film-film semacam ini dapat memperkaya pemahaman penonton tentang ajaran-ajaran Alquran dan menginspirasi mereka untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain menginterpretasikan pesan Alquran, sinematografi juga dapat digunakan sebagai medium untuk refleksi dan kontemplasi tentang ajaran-ajaran Alquran. Melalui sinematografi yang kuat, film-film tersebut dapat menghadirkan momen-momen yang memukau dan menginspirasi, memberikan kesempatan bagi penonton untuk merenungkan dan menghubungkan diri dengan ajaran-ajaran Alquran secara lebih mendalam.

Baca juga: Memetik Replika Kehidupan dari Film Viral Squid Game

Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi baru ini harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keakuratan dan keautentikan pesan-pesan Alquran. Film-film ini harus tetap menghormati dan mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Alquran tanpa mengubah atau mengurangi esensinya.

Berikut adalah beberapa poin penting untuk memahami Alquran melalui sinematografi, yang dapat membantu menghadirkan pengalaman visual yang mendalam dan memperluas pemahaman tentang ajaran dan nilai-nilai Alquran.

Pertama, memilih cerita yang relevan dengan pesan Alquran. Dalam memilih cerita untuk diangkat dalam film, penting untuk memilih cerita yang memiliki pesan dan nilai yang sejalan dengan ajaran Alquran. Hal ini akan membantu penonton untuk memahami dan mengaplikasikan ajaran Alquran dalam kehidupan mereka.

Kedua, menggunakan simbol dan metafora Alquran dalam penggambaran visual. Sinematografi dapat menggunakan simbol dan metafora yang terdapat dalam Alquran untuk menggambarkan pesan-pesan Alquran secara visual. Misalnya, menggunakan air sebagai simbol kesucian dan kehidupan, atau cahaya sebagai simbol kebenaran dan petunjuk.

Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Ketiga, menggunakan dialog dan narasi yang mengutip ayat-ayat Alquran. Film dapat menggunakan dialog dan narasi yang mengutip ayat-ayat Alquran untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Hal ini akan membantu penonton untuk lebih memahami konteks dan makna ayat-ayat tersebut.

Misalnya, dalam adegan yang menampilkan kebaikan dan kasih sayang seorang tokoh terhadap sesama, narasi film dapat mengutip ayat Alquran yang menyatakan, “Dan berlaku baiklah kamu kepada orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh” (Q.S. An-Nisa [4]: 36).

Keempat, menggambarkan nilai-nilai Alquran dalam karakter dan plot. Film dapat menggambarkan karakter yang mewakili nilai-nilai Alquran, seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, dan kasih sayang. Plot film juga dapat menggambarkan perjuangan dan transformasi karakter yang sejalan dengan ajaran Alquran.

Kelima, menggabungkan suara dan musik yang menginspirasi. Soundtrack dan musik dalam film dapat digunakan untuk menciptakan suasana yang menginspirasi dan menggugah emosi penonton. Musik yang diambil dari tradisi musik islami atau musik yang mencerminkan keindahan alam dan ketaatan kepada Tuhan dapat meningkatkan pengalaman spiritual penonton.

Baca juga: Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Keenam, mendorong refleksi dan introspeksi. Film Alquran dapat mendorong penonton untuk merenung dan melakukan introspeksi terhadap kehidupan mereka. Melalui penggambaran visual dan narasi yang kuat, film dapat mengajak penonton untuk mempertanyakan nilai-nilai dan tindakan mereka sendiri, serta menginspirasi perubahan ke arah yang positif.

Ketujuh, menghadirkan perspektif yang inklusif. Film Alquran harus menghadirkan perspektif yang inklusif dan menghormati keragaman umat Islam serta masyarakat lainnya. Hal ini penting untuk memperluas pemahaman dan toleransi antarbudaya.

Dengan memperhatikan poin-poin ini, film yang menginterpretasikan Alquran melalui sinematografi dapat menjadi sarana yang efektif untuk memahami dan mengaplikasikan ajaran Alquran dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai catatan akhir, penulis ingin menegaskan bahwa sinematografi adalah alat yang efektif dalam memahami dan menginterpretasikan pesan-pesan Alquran. Melalui penggunaan sinematografi yang tepat, film-film yang terinspirasi oleh Alquran dapat menghadirkan pesan-pesan Alquran secara visual dan emosional kepada penonton.