Beranda blog Halaman 60

Perintah Menjaga Nasab dalam Alquran

0
Perintah Menjaga Nasab dalam Alquran
Perintah Menjaga Nasab dalam Alquran

Menjaga nasab atau hifdzun nasl merupakan salah satu aspek penting dalam syariat Islam. Hal ini dikarenakan nasab memiliki implikasi keperdataan anak dengan keluarganya, baik dari garis ayah maupun ibu, serta mengikat hak dan kewajiban anak  terhadap keduanya, seperti hak anak mendapatkan  warisan, kewajiban ayahnya menjadi wali, tanggungjawab ayah atau suami terhadap ibu atau istri dan sebagainya. Maka dalam rangka menjaga nasab ini, Islam mensyariatkan menikah sebagai cara yang sah untuk menjaga nasab. Dengan menjaga nasab, maka agama akan tetap terpelihara, karena keturunan dari pernikahan yang sah diharapkan bisa menjalankan syariat-syariat Islam.

Pengertian Nasab

Secara bahasa, nasab berasal dari bahasa arab, yaitu نسبا nasaba yang merupakan derivasi dari kata nasaba-yansibu-nasaban yang berarti kerabat, keturunan atau menetapkan keturunan. Sedangkan secara terminologis, Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mengartikan nasab dengan hubungan turun temurun membentuk keluarga-keluarga lewat hubungan yang berasal dari perkawinan.

Kata  nasab juga telah disebutkan dalam Alquran, salah satunya terdapat dalam surah Alfurqan [25]: 54 yang menerangkan  asal usul manusia beserta asal usul  keturunannya.

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ مِنَ ٱلْمَآءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

Baca Juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir menafsirkan ayat فَجَعَلَهُۥ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ (lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan perbesanan). Makna النسب adalah hubungan kelahiran dan hubungan-hubungan yang terbentuk darinya seperti hubungan dengan ayah, ibu, kekek, anak, saudara, paman dan keturunannya. Adapun makna الصهر adalah hubungan antara suami dan keluarga istrinya yang terbentuk dari pernikahan, serta hubungan antara istri dan keluarga suaminya,  dan juga hubungan antara keluarga suami dan keluarga istri. Kerabat istri disebut dengan الأختان, sedangkan kerabat suami disebut dengan الأحماء, dan keduanya termasuk dari perbesanan.

Dari penafsiran di atas dapat dipahami bahwa hubungan nasab dan penisbatan anak kepada ayah  hanya bisa terjadi dengan sebab pernikahan. Artinya, anak yang lahir sebelum adanya pernikahan tidak bisa dinisbatkan kepada garis keturunan si ayah, meskipun secara medis anak tersebut merupakan ayah biologisnya. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dari hubungan luar pernikahan atau zina  hanya bisa dinisbatkan kepada jalur ibu. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan dalam hadis.

قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا ” لأهل أمه من كانوا” (رواه أبو داود)

Nabi Saw bersabda tentang anak hasil zina: Bagi keluarga ibunya …(HR. Abu Dawud).

Dengan tidak adanya hubungan nasab antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan hanya dengan ibunya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya yang lain yaitu al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh  menjelaskan bahwa tetapnya nasab seorang anak kepada ibunya adalah dikarenakan kelahiran (wiladah), baik secara syariat maupun tidak.

Baca Juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini

Pentingnya Kejelasan Nasab

Dalam Alquran, Allah pernah menegur Nabi Muhammad Saw. karena mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian, ia dinasabkan kepada Nabi Saw. Atas kejadian itu  Allah Ta’ala menegur Nabi Saw., dan kemudian menjadi sebab turunnya surah Alahzab [33]: 4-5;

مَّا جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِى جَوْفِهِۦ ۚ وَمَا جَعَلَ أَزْوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔى تُظَٰهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمْ ۚ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَٰهِكُمْ ۖ وَٱللَّهُ يَقُولُ ٱلْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى ٱلسَّبِيلَ

اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir menafsirkan وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ  (dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu), yakni Allah tidak menjadikannya anak kalian yang sesungguhnya atau secara syariat. Dan makna (الأدعياء) yakni anak-anak angkat. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz  dalam ayat ini dijelaskan tentang  pembatalan pemberian nasab yang dilakukan oleh Nabi Saw. sebab mengangkat Zaid bin Haristah menjadi anak Nabi Saw.

Baca Juga: Wasiat Terbaik Orang Tua untuk Anak dalam Al-Qur’an

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa menjaga hubungan nasab merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dengan jelasnya nasab seseorang akan terjaga hak dan kewajibannya antara anak dengan ayah maupun ibunya. Tak hanya itu, dengan jelasnya nasab maka akan terpeliharanya garis keturunan atau hifdzun nasl serta menjaga hak-hak keperdataan  yang melekat kepada anak seperti hak waris, nafkah serta bagi anak perempuan adalah hak ayahnya menjadi wali nikah.

Wallahu a’lam.

Spirit Moderasi dalam Surah al-Isra Ayat 29 dan 110

0
spirit moderasi dalam surah al-Isra
spirit moderasi dalam surah al-Isra

Dalam salah satu tulisannya, Syaikh Nasir bin Sulaiman berusaha mengelaborasi ayat-ayat Alquran yang menjustifikasi sikap moderasi. Beliau mengatakan bahwa konsep moderasi dalam Islam tidak hanya berlaku dalam satu dua hal, melainkan dalam segala aspek ajarannya. Misalnya moderasi dalam ranah keyakinan, akhlak, ibadah, muamalah, jihad amar makruf nahi mungkar dan seterusnya.

Landasan qurani mengenai konsep moderasi (wasathiyah) tidak hanya dapat dijumpai dari ayat yang secara langsung menyebutkan terma wasath, bahkan, terdapat sejumlah ayat-ayat yang sangat gamblang menjelaskan spirit moderasi (wasathiyah) meski sifatnya parsial dalam bab-bab tertentu. Misalnya didapati dalam firman Allah swt., surah al-Isra ayat 110. Spirit moderasi dalam surah al-Isra ini terlihat ketika membas tentang adab berdoa.

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا [الإسراء: 110]

“Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 110)

Baca Juga: Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

Menurut sebagian ulama, ayat di atas turun untuk memperingatkan Nabi Muhammad saw. supaya tidak terlalu nyaring ketika salat. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, orang-orang musyrik akan mencaci dan menghina Nabi saw. beserta Alquran yang beliau baca dalam salat, namun juga jangan terlalu lirih sampai suaranya tidak bisa didengar oleh para sahabat.

Sebagian riwayat lain mengatakan bahwa ayat di atas membahas perihal doa. Jadi, kata salat dalam ayat tersebut dimaknai sebagai doa. Artinya, ketika kita berdoa, hendaklah jangan terlalu nyaring juga jangan terlalu lirih, tetapi sedang-sedang saja. (Tafsir al-Baghawi, juz 3, hal. 168)

Lebih lanjut, Imam Fakruddin al-Razi menjelaskan bahwa dalam kajian etika dan akhlak, menapaki dua sisi yang sama-sama ekstrem merupakan perkara tercela. Maka dari itu, orang adil adalah orang yang berada di antara dua aspek yang saling bertolak belakang (wasath). (Mafatih al-Ghaib, juz 21, hal. 419)

Contoh lain adalah spirit moderasi dalam surah al-Isra ayat 29, tentang tuntunan cara membelanjakan dan menginfaqkan harta benda. Dalam surah al-Isra ayat 29, Allah swt bersabda:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا [الإسراء: 29]

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” Q.S. Al-Isra’ [17]: 29.

Baca Juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran

Melalui ayat di atas, Islam mengajarkan umatnya bagaimana etika membelanjakan harta dengan baik dan benar agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Dalam mengelola keuangan, seseorang dituntut bijak dalam menggunakan hartanya, tidak boros tetapi jangan terlalu kikir. Sebab dua perilaku tersebut merupakan prilaku menyimpang yang seharusnya dihindari oleh seorang muslim dalam mengelola harta.

Dua ayat di atas menunjukkan manifestasi moderasi yang menjadi ciri khas dari syariat islam. Dari ayat tersebut dan dalil-dalil yang lain (baik berupa ayat atau hadis), terlihat cara Islam memerintahkan umatnya untuk mengambil sikap moderat dalam setiap aspek, baik tindakan maupun pola pikir (manhaj). Bersikap ekstrem (baik ekstrem kanan atau kiri) dalam beragama akan melahirkan mazhab konservatif yang cenderung mengancam stabilitas dan harmonisasi masyarakat. Dan, atau bahkan berimplikasi kepada tercerabutnya seseorang dari prinsip-prinsip agama.

Dalam satu riwayat, Rasulullah saw. pernah memperingatkan bagaimana ekstrem dalam beragama itu menimbulkan bencana. Beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْن

“Waspadalah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama. Maka sesunguhnya umat sebelum kalian celaka lantaran terlalu ekstrem dalam beragama.” HR. Ahmad, al-Nasa’i, Ibnu Majah dan Al-Hakim.

Akhir kata, gerakan moderasi beragama menjadi alternatif untuk meng­counter wacana-wacana dan tindakan-tindakan ekstrem yang beredar di tengah-tengah mayarakat. Spirit moderasi dalam surah al-Isra dalam tulisan ini bisa menjadi sampel dalam implementasi sikap moderasi di bidang ibadah dan muamalah. Wallah a’lam

Kalimat Insyaallah dan Asal Usul Disyariatkannya

0
kalimat insyaallah dan asal usul disyariatkannya
kalimat insyaallah dan asal usul disyariatkannya

Dalam Islam, dikenal beberapa kalimat yang dibaca pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya kalimat basmalah ketika memulai sesuatu, hamdalah ketika mengakhiri sesuatu, kalimat tarji’ (innalillah) dibaca pada saat mendapat atau mendengar musibah, dan insyaallah ketika berkomitmen untuk melakukan suatu perkara di masa mendatang.

Kalimat insyaallah sendiri mengandung makna kepasrahan penuh seorang hamba atas takdir dan ketetapan dari Allah. seseorang boleh saja punya niat dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan suatu pekerjaan, akan tetapi terealisasi pekerjaan tersebut tetap bergantung pada kehendak dan keputusan Allah Swt.

Perintah untuk mengaitkan perkara di masa yang akan datang dengan ucapan insyaallah termaktub dalam Q.S. al-Kahfi ayat 23-24.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (24)

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” (23)Kecuali (dengan mengatakan), “Insyā Allah.”1 Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” Q.S. al-Kahfi [18]: 23-34

Baca Juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran

Melalui ayat di atas, Allah swt. seperti ingin mengajarkan Nabi-Nya (berlaku umum juga kepada semua orang) untuk menyandarkan setiap janji atau agenda di masa mendatang dengan masyiatillah (kehendak atau takdir Allah). Pasalnya, tidak ada yang mengetahui prihal kejadian di masa mendatang kecuali Allah swt. Oleh karenanya, ketika kita berazam untuk melakukan sesuatu, hendaklah diiringi dengan ucapan insyaallah.

Menurut Imam al-Baghawi, ayat di atas mengandung arti bahwa jika besok pagi -misalnya- kamu ingin melaksanakan suatu pekerjaan, maka ucapkanlah insyaallah. (Tafsir al-Baghawi, juz 3, hal. 186).

Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi mengatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang mengatakan ‘aku akan melakukannya besok’, tetapi harus dikaitkan dengan kehendak Allah dengan cara mengucapkan insyaallah. Pasalnya, setiap orang tidak mengetahui sampai kapan dia akan hidup di dunia juga tidak bisa memastikan apakah dia mampu melakukan perbuatan tersebut atau tidak.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia setidaknya mengandung lima unsur; pelaku, objek, waktu, tempat dan sebab. Jika salah satu dari lima unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu perbuatan tidak akan pernah terealisasi. Namun perlu diingat bahwa kelima unsur tersebut semuanya milik Allah. Artinya, Allah-lah yang menjadikan manusia sebagai pelaku, menyediakan objek, waktu dan seterusnya, sehingga bisa dikatakan bahwa terwujud tidaknya suatu perbuatan tergantung kehendak allah. (Tafsir al-Sya’rawi. Juz 2, hal. 1286-1287)

Maka dari itu, kita diperintahkan untuk mengucapkan insyaallah dalam setiap rencana atau agenda yang kita buat agar kita terbebas dari penilaian dusta ketika rencana tersebut tidak terealisasi. Tuntunan mengucapkan kalimat insyaallah ini juga menunjukkan bahwa kepasraan seorang hamba terhadap Tuhan itu hendaknya diekspresikan, dan dalam konteks ini adalah ucapan kalimat insyaallah.

Baca Juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

Sebab Turunnya Ayat

Dalam Kitab at-Tashil li ‘Ulum at-Tanzil, dijelaskan bahwa orang kafir Quraish pernah bertanya kepada kaum yahudi prihal baginda Nabi saw. Untuk membuktikan kenabian Muhammad saw., mereka menanyakan tiga hal, yaitu kisah Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, dan hakikat ruh. Jika beliau (Nabi Muhammad saw.) berhasil menjawab dua pertanyaan pertama dan tidak menjawab tentang hakikat ruh maka dia benar-benar seorang nabi.

Singkat cerita, berangkatlah orang-orang Quraish untuk menemui Nabi Muhammad saw. dan menanyakan tiga perkara tadi. Setelah mengajukan tiga pertanyaan tersebut, Nabi saw. tidak langsung menjawab dan meminta waktu untuk menjawabnya besok pagi (dengan anggapan bahwa besok pagi akan turun ayat menjawab pertanyaan tersebut). Tanpa disertai ucapan insyaallah, beliau bersabda “Besok, saya akan menjawabnya besok!”.

Setelah menunggu beberapa hari, wahyu yang dinanti-nanti tidak kunjug datang. Akhirnya, masyarakat Quraish waktu itu gempar dan mulai memperbincangkan hal tersebut. Nabi Muhammad saw. merasa sedih dengan fenomena yang terjadi sampai pada akhirnya Malaikat Jibril turun membawa ayat yang berisi kisah Ashhabul Kahfi dan Raja Dzul Qarnin yang keduanya terdapat dalam surah al-Kahfi. Untuk pertanyaan ketiga, Malaikat Jibril turun membawa ayat ke 85 surah al-Isra yang berisi bahwa hanya Allah yang mengetahui hakikat ruh.

Kejadian inilah (yang menurut beberapa ulama) menjadi sebab Allah swt. menurunkan surah al-Kahfi ayat 23-24. Hal ini untuk mengajarkan Nabi saw. (serta umatnya) untuk mengaitkan setiap rencana dan agenda kepada kehendak Allah, yaitu dengan mengucap insyaallah. (al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, juz 1, hal. 463)

Akhir kata, sebagai manusia yang lemah, kita tidak pernah tahu kejadian di masa depan. Oleh karena itu, hendaklah setiap akan berkomitmen atau membuat agenda selalu diiringi dengan ucapan insyaallah. Di antara faedahnya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Sa’di, terhindar dari kebohongan manakala agenda yang direncanakan tidak jadi dilakukan, mendatangkan barakah, dan sebagai bentuk permohonan seorang hamba kepada Tuhannya supaya agendanya dilancarkan. [Tafsir al-Sa’di, juz 1, hal. 474]. Wallah a’lam.

Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan Konservasi Lingkungan

0
Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan untuk Konservasi Lingkungan
Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan untuk Konservasi Lingkungan

Lingkungan alam adalah salah satu anugerah Allah yang diberikan kepada umat manusia. Kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama untuk dijaga dan dilestarikan. Artikel ini menjelajahi konsep keharmonisan alam dalam Alquran dan bagaimana konsep ini dapat menjadi panduan yang penting dalam upaya konservasi lingkungan.

Dalam Alquran, terdapat ayat-ayat yang menunjukkan keagungan ciptaan Allah, keindahan alam, dan keterkaitan antara manusia dengan alam. Alquran mengajarkan bahwa alam semesta ini ditata dengan penuh kebijaksanaan dan keseimbangan yang mencerminkan keagungan dan kekuasaan-Nya.

Salah satu ayat dalam Alquran yang menyoroti keharmonisan alam adalah dalam surah Alrahman [55]: 5-6, yang berbunyi:

اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ

“Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan, keduanya tunduk kepada-Nya.

Ayat tersebut menegaskan bahwa alam semesta ini beroperasi dalam harmoni dan keteraturan yang sempurna. Matahari dan bulan beredar sesuai dengan perhitungan yang ditentukan oleh Allah, sedangkan tumbuhan dan pohon-pohonan tunduk kepada-Nya. Ayat ini memberikan gambaran tentang bagaimana alam semesta ini mengikuti aturan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Allah.

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Dalam konteks konservasi lingkungan, ayat ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dan keteraturan alam. Matahari dan bulan yang beredar dengan perhitungan yang tepat menunjukkan pentingnya menjaga keselarasan antara alam semesta dan kehidupan manusia. Begitu pula, tumbuhan dan pohon-pohonan yang tunduk kepada Allah menunjukkan pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem dan menjaga keseimbangan alam.

Maka untuk mencapai tujuan tersebut, Allah menciptakan manusia sebagai “khalifah.” Dalam surah Albaqarah [2]: 30, Allah berfirman:

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (seorang khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah berencana untuk menjadikan seorang khalifah di bumi. Khalifah dalam konteks ini merujuk pada manusia yang memiliki tanggung jawab sebagai pengelola dan pemelihara alam semesta. Namun, para malaikat meragukan kemampuan manusia untuk menjalankan peran ini dengan baik, mengingat potensi manusia untuk membuat kerusakan dan pertumpahan darah.

Ayat ini mengandung pesan bahwa manusia memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keteraturan alam semesta. Konsep ini menegaskan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlak alam, tetapi sebagai pengelola yang bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan dan memelihara alam sesuai dengan kehendak Allah.

Baca Juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani

Ibrahim Abdul-Matin (seorang cendikiawan Muslim yang memfokuskan perhatiannya pada isu-isu lingkungan), berpendapat bahwa sebagai khalifah, umat Muslim harus mengambil tindakan nyata dalam upaya menjaga keharmonisan alam (Gonibala, dkk., Ulama Era Milenial dan Kesalehan Sosial, 46).

Ini melibatkan sikap yang bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya alam, seperti mengurangi pemborosan, menggunakan energi terbarukan (seperti energi matahari, angin, atau air) untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berdampak buruk pada lingkungan, serta mendukung inisiatif yang berkelanjutan, seperti pengembangan lingkungan hijau, pelestarian alam, dan sebagainya.

Lebih jauh Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man menegaskan bahwa penghormatan terhadap alam sebagai kewajiban agama. Selain itu, ia berpendapat bahwa ekologi sejati tidak hanya melibatkan aspek fisik dan material, tetapi juga memiliki dimensi spiritual (Hossein Nasr, Man and Nature, 152).

Dalam bukunya tersebut, ia mengajukan gagasan bahwa keberadaan manusia dalam alam semesta ini memiliki tujuan yang lebih dalam, yaitu untuk mengembangkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan ciptaan-Nya. Dalam konteks ini, krisis spiritual dianggap sebagai akar masalah dalam ekologi.

Ia menyoroti bagaimana materialisme, konsumerisme berlebihan, dan pemisahan manusia dari alam telah menyebabkan ketidakseimbangan dan kerusakan lingkungan. Maka salah satu yang dapat dilakukan adalah pemulihan hubungan manusia dengan alam, sebagai langkah penting dalam memecahkan krisis ekologi.

Selanjutnya, konsep keharmonisan alam dalam Alquran juga menekankan pentingnya menjaga mizan atau keseimbangan dalam alam semesta. Dalam surah Alrahman [55]: 7, Allah berfirman:

وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ

“Langit telah Dia tinggikan dan Dia telah menciptakan timbangan (keadilan dan keseimbangan).”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah menciptakan langit dengan tinggi yang sempurna dan juga menciptakan mizan atau timbangan yang menunjukkan keadilan dan keseimbangan dalam alam semesta. Konsep ini mengajarkan bahwa alam semesta ini beroperasi dalam keseimbangan yang sempurna yang ditentukan oleh Allah.

Baca Juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Dengan demikian, manusia memiliki tanggung jawab untuk tidak mengganggu keseimbangan ini dengan tindakan yang merusak lingkungan. Misalnya, penebangan hutan yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pencemaran air dan udara juga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan kesehatan manusia.

Manusia juga harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan dirinya dengan keberlanjutan alam. Dalam melakukan aktivitas ekonomi dan sosial, manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan memastikan bahwa tindakan mereka tidak menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan alam semesta.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran memberikan pedoman yang kuat dan relevan bagi umat Muslim dalam menjaga keharmonisan alam dan melaksanakan konservasi lingkungan. Konsep keharmonisan alam dalam Alquran menekankan pentingnya penghormatan terhadap alam, tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi, dan perlunya tindakan nyata untuk menjaga kelestarian alam.

Artikel ini menggarisbawahi bahwa keharmonisan alam dalam Alquran bukan hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga bagian integral dari praktik keagamaan yang sejalan dengan ajaran Alquran. Dengan memahami dan menerapkan konsep ini, umat Muslim dapat menjaga keseimbangan ekosistem, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan menjadi pelindung alam semesta yang Allah ciptakan.

Meruwat Anak dalam Islam

0
eruwat Anak dalam Islam
Meruwat anak dalam Islam.

Anak menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya, masa depan segala yang ada di bumi ada di tangannya. Maka tidak heran jika sekian tindakan baik dialamatkan kepada anak ketika usianya masih dini. Tradisi, budaya, konsepsi berdalih penemuan ilmiah, sampai agama yang ditopang kitab-kitabnya juga menaruh perhatian pada anak, bahkan beberapa malah memberi perhatian sejak anak dalam kandungan.

Ajaran Islam misalnya. Ketika anak di dalam kandungan, sudah dianjurkan untuk didengarkan beberapa surah tertentu. Tujuannya tidak lain adalah untuk membentuk perangai anak kelak ketika lahir di bumi, anak bisa mewarisi nilai-nilai kebaikan di dalam Alquran. Kendati dalam praktiknya, ada beberapa muslim yang membaca surah Yusuf agar anaknya yang lahir bisa cakep seperti halnya Nabi Yusuf atau, membaca surah Maryam supaya anak perempuannya bisa menawan layaknya Maryam.

Atik Wartini dalam artikel Tafsir Tematik Kemenag: Studi Alquran dan Pendidikan Anak Usia Dini (2016) memberi interpretasi beberapa ayat yang bertalian erat dengan anak, khususnya dalam fase tumbuh kembangnya di dalam keluarga. Interpretasi itu ia ramu dari Tafsir Tematik yang diproduksi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia lantas diselaraskan dengan konteks sosial masyarakat dewasa ini.

Baca juga: Parenting Demokratis ala Nabi Ibrahim dalam Q.S. As-Saffat: 102

Ketika anak baru lahir ada beberapa anjuran dari ajaran Islam yang perlu ditunaikan untuk si anak. Seperti mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamah di telinga kiri. Laku baik ini disandarkan pada hadis: “Barang siapa dikaruniai seorang anak, lalu ia melafalkan azan di telinga kanannya dan ikamat di telinga kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh setan.

Hadis ini menurut Atik Wartini memiliki dua akibat positif sekaligus. Pertama, sebagai bentuk pengajaran tauhid pertama kali kepada si anak. Laku semacam ini tentu saja selaras dengan ayat 56 di dalam surah Az-Zariyat, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Kedua, azan dan ikamah juga sebagai bentuk pengamanan kepada si anak yang baru saja lahir dari gangguan setan.

Setelah lahir, pendidikan anak masih berlanjut di dalam keluarga. Orang tua, terutama ibu didapuk menjadi guru pertama bagi si anak. Maka dari itu, terdapat hadis anjuran lebih memilih pasangan yang menguasai ilmu agama dibanding nasab, harta, dan rupa. Lantaran pasangan yang fasih beragama kemungkinan bisa memberi pendidikan bagi anak-anaknya dengan baik sejak masih usia dini.

Baca juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

Akan tetapi, terutama di masyarakat muslim Indonesia, anak menjadi bagian penting dari kebanggaan orang tua. Kerap dijumpai antaranak dibandingkan capaiannya yang kadang tidak relevan dengan keterampilan si anak. Misalnya saja, anak dari orang tua A mendapat juara 1 lomba mewarnai, sementara juara tersebut diperoleh lantaran “paksaan” di luar bakat anak sebagai penghafal Alquran. Kemenangan lomba itu diwartakan pada masyarakat di sekitarnya.

Fakta semacam ini tidak serta merta bisa dihakimi salah atau benar. Hanya saja jika merujuk pada ayat 46 di surah Al-Kahfi yang artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Baca juga: Privilese bagi Pasangan yang Tidak Dikaruniai Anak

Mufasir nasional, Quraish Shihab, di Tafsir Al-Misbah memberi keterangan bahwa ayat tersebut tidak berpretensi untuk merendahkan kedudukan anak. Hanya saja jika anak sekadar difungsikan sebagai perhiasan duniawi, seperti menjadi objek untuk ajang memamerkan kesuksesan orang tua dalam mendidik dibandingkan orang tua yang lain, akibatnya malah menjadi bencana.

Jadi sederhananya, anak dalam ajaran Islam memang peroleh perhatian yang serius. Orang tua perlu meruwat anak dan mendidiknya sejak dalam kandungan, lahir, sampai nanti menginjak masa remaja. Tetapi anak juga tidak diperbolehkan menjadi objek pamer oleh orang tuanya. Anak dididik untuk menjalani kehidupannya sendiri sesuai potensi, pengetahuan, dan kondisi zamannya. Begitu.

Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian III)

0
Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya
Alquran

Dalam studi ilmu Alquran, ada satu kajian yang menurut penulis memiliki kaitan sekaligus juga menjadi bukti lain dari apa yang telah penulis ulas dalam dua bagian sebelumnya. Al-Suyuthiy dalam Al-Itqan  menyebut kajian tersebut dengan ma waqa‘ fih (al-qur’an) bi ghair lughah al-‘arab atau dalam bahasa sederhananya, mu‘arrab.

Mu‘arrab merupakan kajian tentang ‘kemungkinan’ adanya diksi dan kata bukan bahasa Arab dalam Alquran. Kajian tersebut berisi perbedaan di antara ulama terkait dengan kebenaran ada dan tidaknya, argumentasi dari masing-masing pihak, serta contoh diksi dan kata bukan bahasa Arab bagi mereka yang menganggap ada.

Hasil ikhtisar Al-Suyuthiy dari karyanya yang lain berjudul Al-Muhadzdzab fi Ma Waqa‘ fi al-Qur’an min al-Mu‘arrab menyebut adanya dua kubu pendapat ulama terkait dengan mu‘arrab. Imam Syafi‘iy, Ibn Jarir, dan Abu ‘Ubaidah adalah sekian dari ulama yang merepresentasikan kubu penolak adanya mu‘arrab. Di antara argumentasi teologis yang mereka gunakan adalah surah Yusuf [12] ayat 2 yang secara tersurat menyebut bahwa Alquran adalah berbahasa Arab.

إِنّا أَنْزَلْناهُ قُرْآناً عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (kitab suci) berupa Alquran berbahasa Arab agar kamu mengerti.”

Selain itu, surah Fushshilat [41] ayat 44 juga menjelaskan hal yang sama, yakni akan timbul kejanggalan dari umat Muhammad tatkala Alquran tidak menggunakan bahasa Arab (‘ajm).

وَلَوْ جَعَلْناهُ قُرْآناً أَعْجَمِيًّا لَقالُوا لَوْلا فُصِّلَتْ آياتُهُءَ أَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ

“Seandainya Kami menjadikannya (Alquran) bacaan dalam bahasa selain Arab, niscaya mereka akan mengatakan, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan (dengan bahasa yang kami pahami)?” Apakah patut (Alquran) dalam bahasa selain bahasa Arab, sedangkan (rasul adalah) orang Arab?”

Sementara mereka yang menganggap adanya kemungkinan mu‘arrab dalam Alquran membantah argumentasi teologis sebelumnya dengan keberadaan unsur bahasa non-Arab (‘ajm) dalam skala kecil (tertentu) tidak akan merusak kemutlakan penyebutan Arabiy bagi Alquran sebagaimana termaktub dalam surah Yusuf [12] ayat 2 di atas.

Baca juga: Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian I)

Al-Suyuthiy sendiri secara subyektif (ikhtiyariy) membenarkan pendapat kubu kedua, yang menganggap kemungkinan adanya mu ‘arrab. Ia menyitir riwayat Ibn Jarir dari Maysarah al-Tabi‘iy dengan sanad sahih yang menyebutkan, “Di dalam Alquran (ada) dari setiap bahasa”.

Al-Suyuthiy menambahkan bahwa hikmah dari ditemukannya bahasa non-Arab (‘ajm) dalam Alquran adalah keumuman isi kandungannya. Alquran yang isinya mencakup kisah-kisah umat terdahulu serta kabar tentang ‘segala sesuatu’ sudah semestinya menggunakan bahasa yang beragam sebagai isyarat akan hal tersebut.

Pun demikian dengan risalah Nabi Muhammad saw. yang berlaku bagi seluruh umat (al-‘alamin). Sudah seharusnya juga ia berisi bahasa-bahasa umat seluruh alam, kendati bahasa yang dominan adalah bahasa Arab mengingat Nabi Muhammad saw. adalah Arab. Hal ini Al-Suyuthiy pahami dari isi surah Ibrahim [14] ayat 4.

وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلاّ بِلِسانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.”

Baca juga: Kompleksitas Bahasa Arab sebagai Bahasa Alquran

Di antara diksi dan kata mu‘arrab yang dijumpai di dalam Alquran adalah abariq (أباريق). Kata ini terdapat dalam surah Al-Waqi‘ah [56] ayat 18. Al-Tsa‘alibiy dalam Fiqh al-Lugah menjelaskan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Persia.

بِأَكْوابٍ وَأَبارِيقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ

“Dengan (membawa) gelas, kendi, dan seloki (berisi minuman yang diambil) dari sumber yang mengalir.”

Selain itu, ada juga kata (i)bla‘iy (ابلعى), yang disebutkan dalam surah Hud [11] ayat 44. Abu al-Syaikh dari riwayat (thariq) Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya (Muhammad), mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Hind.

وَقِيلَ يا أَرْضُ اِبْلَعِي ماءَكِ وَيا سَماءُ أَقْلِعِي

“Difirmankan (oleh Allah), ‘Wahai bumi, telanlah airmu dan wahai langit, berhentilah (mencurahkan hujan).”

Baca juga: Gus Awis: Tidak Cukup Menafsirkan Alquran Hanya Bermodalkan Bahasa Arab

Serta kata akhlad (أخلد) yang disebutkan dalam surah Al-A‘raf [7] ayat 176. Menurut Al-Wasithiy dalam Al-Irsyad, kata tersebut berasal dari bahasa Ibrani.

وَلَوْ شِئْنا لَرَفَعْناهُ بِها وَلكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاِتَّبَعَ هَواهُ

“Seandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya.”

Logika mengenai adanya kaitan mu‘arrab sebagai bukti penerjemahan Allah atas bahasa rasul-Nya adalah gagasan tentang hakikat wahyu yang diterima Nabi saw., apakah dalam bentuk verbal atau hanya sebatas ide. Dalam hal ini, Taufik Adnan Amal dalam Rekonstruksi Sejarah Al-Quran menukil perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim.

Sebagian menganggap bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide, Nabi Muhammad saw.-lah yang meredaksikannya dengan kata-katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian lain menganggap bahwa Jibril-lah yang meredaksikannya dalam bahasa Arab untuk kemudian menyampaikan kepada Nabi saw. Sedangkan mayoritas dari mereka berpendapat bahwa Alquran diwahyukan dalam bentuk lafaz dan makna oleh Allah sendiri.

Baca juga: Empat Hikmah Keberadaan Kata Ajam (Non Arab) di dalam Alquran

Maka jika menggabungkan seluruh penjelasan ini, penerjemahan Allah terhadap bahasa rasul-Nya adalah murni ‘kesengajaan’ dari Allah. Hal ini karena, pertama, seluruh diksi dan kata dalam Alquran adalah murni pilihan Allah karena merujuk pendapat mayoritas ulama tentang gagasan mengenai wahyu; kedua, keberadaan mu‘arrab dalam Alquran menunjukkan bahwa Allah bisa saja tetap menggunakan bahasa asli para rasul-Nya, tetapi yang ada Allah tetap mewahyukan dalam wujud bahasa Arab.

Dari seluruh rangkaian ulasan yang telah penulis berikan, dari bagian satu, dua, dan tiga, agaknya dapat menjadi bukti kebenaran pernyataan Khan sebelumnya, bahwa Allah telah menerjemahkan seluruh dialog rasul-Nya dalam Alquran. Namun apakah benar-benar demikian, wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Ibnu Mas’ud dan Penafsiran Alquran Berbasis Maqasid Syariah

0
Ibnu Mas'ud dan Penafsiran Alquran Berbasis Maqasid Syariah
Ibnu Mas'ud dan Penafsiran Alquran Berbasis Maqasid Syariah

Ibnu Mas’ud (w. 32 H.) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad saw. yang dikenal sebagai ahli Alquran. Dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa Ibnu Mas’ud dipuji oleh Nabi atas kecerdasan dan keahliannya dalam memahami Alquran. Hal ini juga dikarenakan Ibnu Mas’ud sangat dekat dengan Nabi saw., sehingga memungkinkannya untuk melihat dan mendengar bagaimana Nabi dalam memutuskan suatu hukum yang dihadapinya.

Sebab itu, Ibnu Mas’ud dikenal di kalangan sahabat sebagai sosok yang berani berbeda pendapat dengan sahabat lainnya dalam masalah-masalah tertentu, termasuk dalam penafsiran Alquran. Hal ini disebabkan karena dia memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat Alquran (Ibnu al-Qayyim, al-Shawaiq al-Mursalah, jilid 1, 206).

Baca juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Ibnu Mas’ud sering kali menggunakan metode penafsiran Alquran yang berbasis pada maqasid syariah. Metode penafsiran Alquran berbasis maqasid syariah ini bertujuan untuk memahami makna-makna dalam Alquran yang berkaitan dengan tujuan-tujuan universal syariat Islam (Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi, 3), seperti menjaga agama (hifzu al-din), jiwa (hifzu al-nafs), akal (hifzu al-‘aql), harta (hifzu al-mal),  dan keturunan (hifzu al-nasl).

Meskipun tidak secara eksplisit merumuskan teori maqasid syariah, Ibnu Mas’ud telah mempraktikkannya dalam penafsiran Alquran. Oleh karena itu, fatwa-fatwa yang diberikan oleh Ibnu Mas’ud seringkali menjadi rujukan dalam penetapan hukum Islam, karena dianggap memiliki dasar yang kuat dan sesuai dengan kemaslahatan umat.

Langkah-langkah Metodologis Ibnu Mas’ud dalam Penafsiran

Secara umum, langkah-langkah metodologis Ibnu Mas’ud dalam penafsiran Alquran tidak jauh berbeda dengan sahabat lainnya. Umumnya penafsiran Alquran era sahabat merujuk kepada Alquran itu sendiri, perkataan Nabi saw. (sebagai mufasir pertama) dan pendapat para sahabat lain yang dianggap lebih mengerti tentang Alquran. Namun yang membedakan Ibnu Mas’ud dengan lainnya adalah metode penafsiran yang senantiasa berpegang kepada maqasid syariah dan mempertimbangan aspek kemaslahatan umat.

Dalam implementasinya, pertama dia memerhatikan konsistensi antara ayat-ayat Alquran yang satu dengan yang lain (Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, 63). Dia memahami bahwa Alquran adalah suatu kitab yang konsisten dan tidak bertentangan dengan dirinya sendiri. Seperti dalam penafsirannya tentang hukum makanan halal dan haram. Dia memperhatikan bahwa Alquran menyebutkan kriteria makanan yang halal dan beberapa jenis makanan yang haram seperti babi, bangkai, dan darah.

Namun, Ibnu Mas’ud juga memerhatikan ayat-ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, seseorang diperbolehkan untuk memakan makanan yang haram untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud menyimpulkan bahwa hukum makanan halal dan haram harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dan harus memerhatikan prinsip-prinsip konsistensi antara ayat-ayat Alquran yang satu dengan yang lain.

Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Dalam hal ini, Ibnu Mas’ud menunjukkan bahwa Alquran mengandung ajaran yang menekankan pada pewujudan kemaslahatan dan penolakan segala bentuk kemudharatan “jalbu al-mashalih wa dzar’u al-mafasid.” Ta’bir (ungkapan) ini kemudian digunakan dalam ilmu ushul fiqih atau rumusan tentang maqasid syariah. Istilah ini merujuk pada prinsip yang mengatakan bahwa tujuan dari hukum Islam adalah untuk memperoleh kemaslahatan (mashlahah) dan menghindari kemudaratan (mafsadah).

Selain melihat konsistensi antar ayat, Ibnu Mas’ud juga memerhatikan konteks sejarah dan budaya di mana Alquran diturunkan, dipahami, dan ditafsirkan (Nurhakim, Metodologi Studi Islam, 114). Dia memahami bahwa Alquran diturunkan dalam konteks sejarah dan budaya tertentu, sehingga dia memperhatikan konteks tersebut dalam penafsirannya. Hal ini meliputi pengetahuan tentang latar belakang ayat dan kondisi sosial masyarakat.

Misalnya ketika dia menafsirkan ayat tentang talak tiga (talak ba’in), pada saat dia berada di Kufah, Iraq. Ketentuan talak tiga dalam Alquran hanya terjadi apabila suami menceraikan istrinya secara berturut-turut sebanyak tiga kali, sebagaimana dinyatakan dalam Surah Albaqarah [2]: 229-230. Sehingga, talak tiga yang diucapkan sekaligus dianggap jatuh satu. Ini merupakan pendapat mayoritas Sahabat.

Sementara kalau melihat konteks masyarakat Kufah pada masa itu, mereka seringkali menceraikan istrinya dengan ungkapan “saya ceraikan kamu dengan talak tiga” atau “aku ceraikan kamu delapan kali” dengan mudah dan sembarangan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kaum perempuan (Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud, 280). Hal ini dilihat oleh Ibnu Mas’ud sebagai kemudaratan yang besar, karena dapat merugikan kaum perempuan secara sosial dan ekonomi.

Ini merupakan bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan yang harus diatasi dengan cara-cara yang lebih bijak dan manusiawi. Oleh karena itu, dia memandang bahwa perlu dilakukan reformasi dalam sistem hukum Islam terkait dengan masalah talak, sehingga dapat memberikan perlindungan dan keadilan yang lebih baik bagi kaum perempuan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak

Fatwa Ibnu Mas’ud pada saat itu adalah mewajibkan adanya dua saksi dalam talak dan rujuk (Ali Akbar, Ibnu Mas’ud: Pemikiran Fikih dan Fatwanya, 171), serta talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu sekaligus dianggap jatuh talak tiga (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, jilid 10, 118). Ketentuan tersebut memiliki tujuan untuk memperketat praktik talak.

Persyaratan dua saksi bertujuan agar proses talak menjadi lebih transparan dan menghindari kemungkinan penyalahgunaan atau keputusan yang dibuat dengan cepat tanpa pertimbangan yang matang. Dengan adanya saksi, suami akan lebih berpikir dua kali sebelum mengucapkan talak, karena tindakan tersebut akan memiliki konsekuensi yang lebih berat dan tidak bisa dianggap enteng.

Selain itu, dengan menganggap talak tiga yang diucapkan dalam satu waktu sebagai jatuh talak tiga, fatwa ini juga mempersempit praktik talak tiga. Dalam konteks ini, suami akan lebih berhati-hati dan berpikir panjang sebelum mengucapkan talak tiga secara bersamaan, karena tindakan tersebut akan mengakhiri pernikahan secara permanen.

Maka ketentuan tentang disyaratkannya dua saksi dalam talak merupakan salah satu reformasi hukum Islam yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud yang tidak ditemukan dalam pendapat-pendapat sahabat lainnya. Ini juga membuktikan bahwa dia dalam ijtihadnya senantiasa berpegang kepada prinsip maqasid syariah. Dalam konteks ini, setidaknya ada dua tujuan syariat yang diimplementasikan, yaitu menjaga jiwa (hifzu al-nafs), menjaga harta (hifzu al-mal).

Kesimpulan

Melalui uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Mas’ud layak disebut sebagai pionir dalam metode maqasid syariah era sahabat karena dia menggunakan pendekatan maqasid syariah dalam penafsiran Alquran sebelum konsep ini secara resmi dirumuskan. Pendekatan Ibnu Mas’ud dalam penafsiran Alquran kemudian memberikan kontribusi yang berharga dalam pengembangan ilmu tafsir Alquran pada era berikutnya.

Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik

0
Memposisikan Kajian Living Qur’an: Sebuah Refleksi Akademik
Ilustrasi praktik Living Qur’an.

Living Qur’an menjadi mata kuliah yang wajib dipelajari bagi setiap mahasiswa tafsir dan hadis. Eksisnya kajian ini terus dikembangkan dari jenjang strata 1 hingga scope keilmuan guru besar (profesor). Tema-tema dalam Alquran tidak hanya bicara tentang ibadah, tetapi juga berbicara tentang keadilan, musyawarah, hubungan sosial dan tema sosial lainnya serta sejauh mana tema-tema tersebut dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat (Adibah, 2017: 15).

Kajian living Qur’an pada dasarnya merupakan upaya pengkajian tentang masyarakat muslim modern dalam menerima, merespons, dan menghidupkan Alquran yang berbahasa Arab di tengah komunitas berbahasa non-Arab, baik yang tersurat maupun yang tersirat, bahkan sampai kesan yang timbul dari pembacaan teks (Fidiana, 2017: 4).

Jika sejak dahulu kalangan sahabat menerima dan memahami ayat Alquran secara keseluruhan, masyarakat modern saat ini ada sebagian yang hanya meresepsi satu ayat atau bahkan memenggal kata dalam ayat untuk memperoleh sebuah pemahaman. Hal ini dalam kacamata penulis agaknya dapat menimbulkan kekhawatiran dan sedikit miskonsepsi.

Baca juga: Living Qur’an; Melihat Kembali Relasi Alquran dengan Pembacanya

Alquran sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk tentunya memberikan dampak pemahaman yang berbeda bagi pembacanya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan latar belakang yang dimiliki pembaca. Urgensi penelitian living Qur’an yang ada selama ini merupakan kajian sosiologis yang melihat agama bukan sebagai doktrin spiritual melainkan sebagai fenomena sosial (Farhan, 2017: 92).

Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman penulis dalam mempelajari perkembangan living Qur’an sebagai penelitian ilmiah yang bersifat keagamaan (religious researech). Peneliti living Qur’an umumnya tidak meletakan posisi dirinya dalam mengkaji masyarakat dan resepsi Alquran.

Dengan konsep living Qur’an yang dikatakan Ahmad Rafiq (2021: 471)-masih dialogis-maka penulis menawarkan pemetaan dua posisi yang ada dalam penelitian living Qur’an, yakni posisi netral dan posisi kritis yang akan dibahas sebagai berikut.

Posisi Netral Living Qur’an

Kajian living Qur’an semakin dikembangkan dalam penelitian sosio-kultural PTKI seluruh Indonesia. Para akademisi mengkaji respons masyarakat terhadap ajaran-ajaran serta nilai-nilai Alquran yang kemudian mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses “living Qur’an” atau juga disebut quranisasi adalah praktik yang memasukan Alquran dalam segala aspek kehidupan. Manusia sebagai animal symbolicium yang memahami simbol-simbol untuk menyatakan ide-ide, pernyataan, dan gagasan sebagai fungsi produktif atau fungsi reseptif (Lubis, 2015: 63).

Baca juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Living Qur’an dalam posisi analisis-netral menempatkan manusia sebagai objek yang memaknai simbol (teks Alquran) sebagai simbol keyakinan (symbolic faith) yang hanya sebatas pada resepsi simbolik. Posisi analisis-netral tidak mencari kebenaran agama lewat pemahaman Alquran atau bersifat menghakimi, tetapi lebih mengedepankan tradisi di masyarakat dari perspektif kualitatif.

Beberapa contoh kajian yang menempati posisi netral living Qur’an adalah karya Ziauddin Sardar (2011) yang menceritakan bagaimana Alquran ia pelajari dan mempengaruhi hidupnya hingga dewasa. Selain itu, Neal Robinson (2003) yang menjelaskan beberapa term dalam Alquran yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti basmalah, salam, dan lainnya. Kemudian beberapa kajian lokal (jurnal dan skripsi) yang mengkaji praktik ibadah, wirid, dan Alquran sebagai media pengobatan.

Posisi Kritis Living Qur’an

Peneltian living Qur’an yang ada pada umunya tidak berbicara tentang benar dan salahnya resepsi (penerimaan/pemaknaan), melainkan hanya membahas respons masyarakat dalam berinteraksi dengan Alquran sesuai dengan pemahaman mereka. Yang menjadi problem akademik adalah bahwa peneliti sepatutnya memberikan analisis-kritis dan menegaskan keberpihakan argumentasi untuk memastikan penafsiran yang mendekati kebenaran atau resepsi estetik, hermeneutik, atau fungsional.

Alquran secara linguistik berada dalam posisi yang sinkronik (luas dan tidak terbatas waktu), sementara tafsir sendiri bersifat diakronik (terbatas). Artinya pengkajian living Qur’an dalam analisis-kritis tidak sebatas melihat resepsi yang ada pada konteks budaya dan pergaulan sosial sebagai resepsi simbolik semata melainkan membumikan Alquran sebagai hudan (petunjuk).

Baca juga: Mengenal Rasm Alquran sebagai Bentuk Resepsi Alquran dan Hadis

Dengan kata lain, kajian living Alquran sangat penting untuk kepentingan dakwah sehingga tidak hanya berorientasi pada kajian ilmiah. Kajian ini juga hendaknya bertujuan memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang pesan kebenaran dari Alquran untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Analisis-kritis bermaksud mengintervensi pemahaman masyarakat terhadap Alquran yang sudah tepat atau tidak. Sehingga kajian living Alquran mengandung unsur dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Beberapa contoh kajian yang menempati posisi kritis adalah kajian Amin, dkk. (2020) yang menggambarkan betapa surah Al-Kafirun dimaknai dengan baik oleh kelompok kejawen yang menjaga toleransi, tetapi terkadang mendapat gangguan dari kelompok muslim mayoritas. Kemudian, skripsi Uswatun Hasanah (2008) yang menjelaskan beberapa praktik living Qur’an berupa peribadatan, media penyembuhan, pemikat/mahabbah, dan sebagai jimat.

Baca juga: Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Alquran

Pemaknaan atau respsi yang berorientasi dalam penggunan ayat sebagai jimat atau praktik ibadah yang menyimpang (bid’ah) merupakan aspek yang dapat diperhatikan dalam posisi kritis living Qur’an. Apakah pemaknaan tersebut memiliki kesesuaian dalam penafsiran Alquran, hadis dan sunah Nabi atau bahkan dalam kaidah fikih.

Kesimpulan

Pengembangan metode dan kajian living Qur’an yang masih berlangsung menuntut adanya pembenahan dan kajian mendalam. Semangat untuk membumikan Alquran dalam kajian ilmiah living Qur’an memberikan akomodasi pada nilai suci agama dan nilai luhur budaya.

Penempatan posisi pengkaji living Qur’an setidaknya dapat memberikan analisis dan argumentasi yang jelas terkait tujuan dan ranah kajian living yang dilakukan, baik yang mengkaji resepsi secara sosiologis atau kritis-diakronis yang mengandung klaim atau klarifikasi. Keduanya merupakan ranah kajian yang dapat ditempuh pada kajian living Qur’an. Wallahu a’lam bisshawab.

Huseyin Atay dan Pendekatannya dalam Memahami Alquran

0
Huseyin Atay
Huseyin Atay

Alquran, kitab suci umat Islam, telah menjadi objek studi dan interpretasi yang luas sepanjang sejarah. Banyak ulama dan cendekiawan telah mencoba memahami dan menafsirkan pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu tokoh yang mengusulkan pendekatan baru dalam memahami Alquran adalah Huseyin Atay.

Biografi Singkat Huseyin Atay

Huseyin Atay lahir pada tahun 1930 di Guneyce, Turki, memiliki awal kehidupan yang terkait erat dengan Alquran. Saat masih remaja, dia memulai pendidikan Alquran dan menghafalnya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, Atay melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah di Baghdad, dan berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1954. Pada tahun 1956, dia memulai karir mengajar di Fakultas Teologi di Universitas Ankara, Turki. Dia kemudian melanjutkan pendidikan doktoral, yang berhasil diselesaikannya pada tahun 1960. (https://www.huseyinatay.com/Biyografi.html)

Latar belakang pendekatan Atay dalam memahami Alquran

Fokus utama Atay dalam studinya adalah studi Islam secara umum, termasuk kajian tentang Alquran. Dia adalah seorang akademisi dan penulis Muslim kontemporer, memiliki pendekatan yang unik dalam memahami Alquran. Dia berangkat dari keyakinan: 1) bahwa Alquran adalah teks yang shalih (valid) sepanjang zaman, 2) tidak setuju dengan konsep naskh-mansukh, yaitu penghapusan dan penggantian ayat-ayat Alquran. (Osman Tastan, Huseyin Atay’s Approach to Understanding the Qur’an, 248)

Baginya, seluruh teks Alquran memiliki keabsahan dan relevansi untuk semua zaman. Pendekatan Atay dalam memahami Alquran didasarkan pada pemahaman bahwa ayat-ayat yang tampaknya bertentangan atau kontroversial tetap menjadi bagian integral dari kehidupan umat Muslim. Dia berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut harus dipahami dalam konteks sosial dan historis yang relevan. Namun, Atay tidak sepenuhnya mengadopsi pendekatan kontekstual.

Alasannya adalah dia khawatir bahwa pendekatan semacam itu dapat mengurangi otoritas Alquran untuk zaman sekarang. Baginya, Alquran harus dipahami dengan cara yang lebih langsung, tanpa terlalu banyak memperhatikan konteks sejarah. Hal ini memungkinkan teks Alquran dapat dipahami pada waktu dan tempat yang berbeda, serta untuk menemukan solusi yang berbeda terhadap masalah yang berbeda.

Pendekatan Atay juga menekankan pentingnya penggunaan akal dalam memahami Alquran. Dia menentang pandangan bahwa hadis, yaitu perkataan dan tindakan Nabi Muhammad, harus dijadikan sumber utama dalam masalah kepercayaan. Baginya, akal memiliki peran yang penting dalam menilai keaslian dan kebenaran suatu hadis. Atay menekankan bahwa akal dalam pengertian praktisnya harus digunakan sebagai pengawas untuk mencegah penyalahgunaan atribusi terhadap Nabi.

Baca juga: Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran Perspektif Muhammad Arkoun

Atay juga beranganggapan bahwa Alquran, akal, dan situasi atau konteks sebagai tiga sumber yang saling terkait dalam menentukan legitimasi pendapat agama. Baginya, akal memiliki status yang setara dengan Alquran dalam memberikan legitimasi. Atay juga mengkritik taklid, yaitu mengikuti secara buta tanpa pemikiran kritis dan formalisme dalam pemikiran agama. Baginya, formalisme yang berlebihan dapat menghalangi pemahaman yang autentik terhadap Alquran.

Dalam pendekatan Atay, Alquran dipandang sebagai sumber yang kaya untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Dia menekankan pentingnya membaca teks Alquran secara langsung dan membebaskan pikiran dari ketergantungan pada tradisi formalistik. Atay juga menyoroti pentingnya mencapai pemahaman yang autentik terhadap Alquran dengan membebaskan diri dari pengaruh budaya dan sejarah yang dapat menghalangi pemahaman yang tepat.

Namun, pendekatan Atay juga menuai kritik dari berbagai tokoh. Mereka berpendapat bahwa pendekatannya terlalu mengabaikan konteks sejarah dan tradisi yang mempengaruhi pemahaman Alquran. Mereka berpendapat bahwa pemahaman yang tepat terhadap Alquran memerlukan pemahaman konteks sosial dan sejarah pada waktu wahyu tersebut. (Salih Atçeken, Hüseyin Atay’in Dine Yaklaşimi, 12)

Contoh penerapan terhadap ayat Alquran

Salah satu contoh yang dibahas Atay adalah terkait dengan ritual wudu sebagai prasyarat diperbolehkan menyentuh Alquran. Pandangan ini berbeda dengan pemahaman umum yang telah mendominasi umat Muslim. Atay menolak pandangan umum tersebut dengan mengacu pada beberapa referensi, termasuk Ibn Hazm, yang menyangkal adanya perintah untuk menyentuh Alquran dalam keadaan suci. Dalam konteks ini, Atay merujuk pada ungkapan dalam Surah Al-Waqi’ah [56]: 79,

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۗ

Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba (Allah) yang disucikan.

Dalam pandangan Atay, ayat ini tidak dimaksudkan sebagai larangan untuk menyentuh mushaf Alquran. Ayat ini menurut Atay tidak berkaitan dengan mushaf. Hal ini disebabkan pada saat ayat ini turun, Alquran belum menjadi satu kesatuan mushaf yang utuh. Secara singkat, Atay berpendapat bahwa ayat ini tidak mengacu pada teks Alquran yang ada saat ini, melainkan merujuk pada Alquran yang terdapat di dalam lawh al-mahfudz, suatu tempat yang melebihi dimensi fisik manusia. Pendapat ini membawa pandangan bahwa Alquran dapat disentuh oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun, meskipun dalam bentuk teks yang ada. (Osman Tastan, Huseyin Atay’s Approach to Understanding the Qur’an, 251)

Baca juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Dengan demikian, Atay memberikan perspektif yang berbeda terkait pemahaman tentang kondisi berwudu dalam menyentuh Alquran. Pendekatan rasionalitas dan pemikiran bebas menjadi landasan dalam menafsirkan dan mengimplementasikan ajaran Alquran. Atay menekankan bahwa Alquran harus dipahami secara holistik, dengan mengedepankan akal sebagai alat penting dalam memahami makna yang terkandung dalam teks tersebut.

Pendekatan Huseyin Atay dalam memahami Alquran menawarkan perspektif yang menarik dan kontroversial. Dia menekankan pentingnya mengembangkan pemahaman langsung terhadap teks Alquran menggunakan akal sebagai pengawas dan membebaskan pikiran dari tradisi formalistik. Namun, pendekatannya yang kurang memperhatikan konteks sejarah dan tradisi juga menimbulkan kritik. Penting bagi umat Muslim untuk terus melakukan studi dan diskusi yang mendalam untuk memperkaya pemahaman mereka terhadap Alquran.

Memahami Prinsip Demokrasi dalam Alquran

0
Memahami prinsip demokrasi dalam Alquran
Memahami prinsip demokrasi dalam Alquran

Segala sesuatu yang ada di dunia harus dijalani dan disertai dengan sebuah prinsip,  apapun profesi dan jabatan manusia di muka bumi. Tanpa berpegang pada prinsip, maka kehidupan yang dijalaninya tidak akan terlaksana dengan kondusif. Tendensi manusia di dunia hanyalah dua, yaitu sebagai pemimpin atau yang dipimpin, hingga kemudian terbentuklah pemerintahan, baik itu mulai dari pemerintahan kecil, seperti keluarga, atau pemerintahan berskala besar, seperti negara.

Suatu pemerintahan terdiri dari seorang pemimpin dan masyarakat (yang dipimpin). Dalam suatu pemerintahan prinsip demokrasi sangatlah penting, yakni saat pemimpin tidak memustuskan suatu persoalan sendiri, akan tetapi juga melibatkan masyarakatnya untuk memberikan aspirasi dan pendapat demi tujuan bersama. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah, sebagaimana telah disebutkan dalam Alquran yang dijelaskan di bawah ini.

al-‘Adalah (keadilan)

Prinsip demokrasi yang pertama ialah ‘keadilan’. Prinsip keadilan  dalam suatu negara sangat diperlukan untuk menjaganya agar tetap lestari dan jauh dari kehancuran. Keadilan yang dimaksud berupa pemenuhan hak-hak manusia baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, terutama dalam hal menegakkan kebenaran yang harus dilakukan dengan adil dan bijaksana tanpa kolusi dan nepotisme. Urgensi menegakkan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam surah Almaidah (5) ayat 8:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,  karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada  Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Q.S. Almaidah (5): 8.

Baca juga: Reinterpretasi Kepemimpinan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut memerintahkan agar seseorang selalu menjadi penegak kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau mencari popularitas. Janganlah kebencian terhadap seseorang membuat tidak bisa berbuat adil kepada mereka, tetapi berbuat adillah kepada siapa pun tidak pandang bulu, baik itu kawan maupun lawan.  Karena keadilan lebih mendekatkan pada ketakwaan. [Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 45-46]

Dengan demikian, sistem pemerintahan Islam yang ideal ialah yang menerapkan keadilan. Keadilan yang meliputi persamaan hak di depan hukum, keseimbangan (proporsional) dalam mengelola kekayaan alam, serta adanya keseimbangan antara pihak pemerintah dengan rakyat.

al-Syura (musyawarah)

Prinsip demokrasi yang kedua adalah ‘musyawarah’. Kegiatan musyawarah sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah saw., yaitu ketika beliau hijrah ke Madinah. Kemudian, budaya musyawarah dikembangkan oleh kalangan Sahabat. Mengenai pola dan bentuk musyawarah, Alquran tidak menjelaskan secara rinc, sepenuhnya dikembalikan kepada masing-masing masyarakat. Hal ini dilakukan, karena masing-masing masyarakat memiliki kondisi sosial dan kebudayaan yang berbeda. Namun, ada beberapa sikap dan sifat yang harus dimiliki ketika hendak melakukan musyawarah, sebagaimana terangkum dalam surah Ali Imran (3) ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Q.S. Ali Imran (3) : 159.

Dari ayat di atas, terdapat tiga sifat dan sikap yang disebutkan secara berurutan dan diperintahkan kepada seseorang yang hendak melakukan musyawarah, antara lain:

Pertama, ialah berlaku lemah-lembut, tidak kasar dan tidak berhati keras. Apabila seseorang melakukan musyawarah, khususnya seorang pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan pergi meninggalkan.

Baca juga: Surat As-Syura Ayat 38, Dalil Demokrasi dalam Al Quran

Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Memaafkan merupakan menghapus bekas luka hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar. Hal ini perlu dilakukan karena tiada musyawarah tanpa adanya pihak lain. Selain itu, yang bermusyawarah juga harus menyiapkan mentalnya agar selalu bersedia memberi maaf, karena bisa jadi ketika bermusyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau munculnya kalimat dan pendapat yang menyinggung dari pihak lain. Karena jika hal tersebut masuk ke hati, akan mengeruhkan pikiran dan dapat mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.

Ketiga, sikap yang harus mengiringi musyawarah ialah permohonan maghfirah (ampunan) Ilahi. Karena untuk mencapai hasil yang terbaik dari musyawarah, hubungan dengan Tuhan juga harus harmonis. [Tafsir al-Misbah, jilid 2, hal. 259-260]

al-Amanah dan al-Mas’uliyyah (amanah dan tanggung jawab)

Prinsip demokrasi yang ketiga adalah ‘amanah dan tanggung jawab’. Amanah ialah sikap terpenuhinya kepercayaan yang telah diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh karena itu, amanah atau kepercayaan harus dijaga dengan baik. Penggambaran manah  dalam konteks kenegaraan adalah pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebagaimana firman Allah dalam surah Annisa ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”  Q.S. Annisa (4) : 58.

Ayat tersebut ditujukan kepada para pemimpin umat muslim agar melaksanakan amanah kepada orang-orang yang telah menyerahkan urusan dan hak mereka, serta berbagai urusan yang telah dipercayakan kepada para pemimpin. Oleh karena itu, para pemimpin sebaiknya berlaku bijak dalam memberikan keputusan serta berlaku adil dalam membagi-bagikan hak mereka, karena itu menunjukkan sikap yang bertanggung jawab. [Tafsir At-Thabari, jilid 7, hal.245]

Firman Allah dalam surah Almuddatsir (74) ayat 38:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Q.S. Almuddasir (74) : 38.

Perlu kita ketahui bahwa kekuasaan dan jabatan merupakan sebuah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri. Oleh karena itu, tanggung jawab sebagai pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Sementara itu, kekuasaan sebagai amanah memiliki dua arti, yaitu amanah yang harus dipertanggung jawabkan di depan rakyat serta amanah yang harus dipertanggung jawabkan di depan Allah.

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Alquran tidak menjelaskan mengenai demokrasi secara konkret, namun  Alquran menjelaskan mengenai beberapa prinsip demokrasi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Prinsip tersebut antara lain; al-‘Adalah (keadilan), al-Syura (musyawarah). al-Amanah dan al-Mas’uliyah (amanah dan tanggung jawab). Dengan menerapkan beberapa prinsip tersebut, maka akan tercipta sistem pemerintahan yang ideal dan kondusif. Wallahu a’lam bissawab.