BerandaTafsir TematikKalimat Insyaallah dan Asal Usul Disyariatkannya

Kalimat Insyaallah dan Asal Usul Disyariatkannya

Dalam Islam, dikenal beberapa kalimat yang dibaca pada kondisi-kondisi tertentu. Misalnya kalimat basmalah ketika memulai sesuatu, hamdalah ketika mengakhiri sesuatu, kalimat tarji’ (innalillah) dibaca pada saat mendapat atau mendengar musibah, dan insyaallah ketika berkomitmen untuk melakukan suatu perkara di masa mendatang.

Kalimat insyaallah sendiri mengandung makna kepasrahan penuh seorang hamba atas takdir dan ketetapan dari Allah. seseorang boleh saja punya niat dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan suatu pekerjaan, akan tetapi terealisasi pekerjaan tersebut tetap bergantung pada kehendak dan keputusan Allah Swt.

Perintah untuk mengaitkan perkara di masa yang akan datang dengan ucapan insyaallah termaktub dalam Q.S. al-Kahfi ayat 23-24.

وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا (23) إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا (24)

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” (23)Kecuali (dengan mengatakan), “Insyā Allah.”1 Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.” Q.S. al-Kahfi [18]: 23-34

Baca Juga: Arti Lafaz Insya Allah dan Pemaknaannya dalam Al-Quran

Melalui ayat di atas, Allah swt. seperti ingin mengajarkan Nabi-Nya (berlaku umum juga kepada semua orang) untuk menyandarkan setiap janji atau agenda di masa mendatang dengan masyiatillah (kehendak atau takdir Allah). Pasalnya, tidak ada yang mengetahui prihal kejadian di masa mendatang kecuali Allah swt. Oleh karenanya, ketika kita berazam untuk melakukan sesuatu, hendaklah diiringi dengan ucapan insyaallah.

Menurut Imam al-Baghawi, ayat di atas mengandung arti bahwa jika besok pagi -misalnya- kamu ingin melaksanakan suatu pekerjaan, maka ucapkanlah insyaallah. (Tafsir al-Baghawi, juz 3, hal. 186).

Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi mengatakan bahwa tidak mengapa jika seseorang mengatakan ‘aku akan melakukannya besok’, tetapi harus dikaitkan dengan kehendak Allah dengan cara mengucapkan insyaallah. Pasalnya, setiap orang tidak mengetahui sampai kapan dia akan hidup di dunia juga tidak bisa memastikan apakah dia mampu melakukan perbuatan tersebut atau tidak.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa setiap perbuatan manusia setidaknya mengandung lima unsur; pelaku, objek, waktu, tempat dan sebab. Jika salah satu dari lima unsur tersebut tidak terpenuhi maka suatu perbuatan tidak akan pernah terealisasi. Namun perlu diingat bahwa kelima unsur tersebut semuanya milik Allah. Artinya, Allah-lah yang menjadikan manusia sebagai pelaku, menyediakan objek, waktu dan seterusnya, sehingga bisa dikatakan bahwa terwujud tidaknya suatu perbuatan tergantung kehendak allah. (Tafsir al-Sya’rawi. Juz 2, hal. 1286-1287)

Maka dari itu, kita diperintahkan untuk mengucapkan insyaallah dalam setiap rencana atau agenda yang kita buat agar kita terbebas dari penilaian dusta ketika rencana tersebut tidak terealisasi. Tuntunan mengucapkan kalimat insyaallah ini juga menunjukkan bahwa kepasraan seorang hamba terhadap Tuhan itu hendaknya diekspresikan, dan dalam konteks ini adalah ucapan kalimat insyaallah.

Baca Juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

Sebab Turunnya Ayat

Dalam Kitab at-Tashil li ‘Ulum at-Tanzil, dijelaskan bahwa orang kafir Quraish pernah bertanya kepada kaum yahudi prihal baginda Nabi saw. Untuk membuktikan kenabian Muhammad saw., mereka menanyakan tiga hal, yaitu kisah Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, dan hakikat ruh. Jika beliau (Nabi Muhammad saw.) berhasil menjawab dua pertanyaan pertama dan tidak menjawab tentang hakikat ruh maka dia benar-benar seorang nabi.

Singkat cerita, berangkatlah orang-orang Quraish untuk menemui Nabi Muhammad saw. dan menanyakan tiga perkara tadi. Setelah mengajukan tiga pertanyaan tersebut, Nabi saw. tidak langsung menjawab dan meminta waktu untuk menjawabnya besok pagi (dengan anggapan bahwa besok pagi akan turun ayat menjawab pertanyaan tersebut). Tanpa disertai ucapan insyaallah, beliau bersabda “Besok, saya akan menjawabnya besok!”.

Setelah menunggu beberapa hari, wahyu yang dinanti-nanti tidak kunjug datang. Akhirnya, masyarakat Quraish waktu itu gempar dan mulai memperbincangkan hal tersebut. Nabi Muhammad saw. merasa sedih dengan fenomena yang terjadi sampai pada akhirnya Malaikat Jibril turun membawa ayat yang berisi kisah Ashhabul Kahfi dan Raja Dzul Qarnin yang keduanya terdapat dalam surah al-Kahfi. Untuk pertanyaan ketiga, Malaikat Jibril turun membawa ayat ke 85 surah al-Isra yang berisi bahwa hanya Allah yang mengetahui hakikat ruh.

Kejadian inilah (yang menurut beberapa ulama) menjadi sebab Allah swt. menurunkan surah al-Kahfi ayat 23-24. Hal ini untuk mengajarkan Nabi saw. (serta umatnya) untuk mengaitkan setiap rencana dan agenda kepada kehendak Allah, yaitu dengan mengucap insyaallah. (al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil, juz 1, hal. 463)

Akhir kata, sebagai manusia yang lemah, kita tidak pernah tahu kejadian di masa depan. Oleh karena itu, hendaklah setiap akan berkomitmen atau membuat agenda selalu diiringi dengan ucapan insyaallah. Di antara faedahnya adalah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Sa’di, terhindar dari kebohongan manakala agenda yang direncanakan tidak jadi dilakukan, mendatangkan barakah, dan sebagai bentuk permohonan seorang hamba kepada Tuhannya supaya agendanya dilancarkan. [Tafsir al-Sa’di, juz 1, hal. 474]. Wallah a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

Peran Alquran dalam Melestarikan Bahasa Arab

0
Bahasa Arab telah berkembang ratusan tahun sebelum Nabi Muhammad saw. lahir. Meski telah berusia lama, bahasa ini masih digunakan hingga hari ini. Bahasa Arab...