Beranda blog Halaman 186

Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

0
Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13
Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

Istilah pluralitas tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, di manapun dan kapanpun. Istilah ini akan terus melekat dan berbaur dalam ruang lingkup aktivitas manusia yang dinamis, beragam, dan berkembang. Pluralitas ataupun pluralisme berasal dari akar kata yang sama, yakni plural yang berarti jamak/beragam. Terkadang, pluralitas dan pluralisme dipahami sama, padahal keduanya berbeda. Pluralitas merupakan kenyataan realitas sosiologis, sedangkan pluralisme adalah sebuah kesadaran akan realitas tersebut.

Dalam konteks kehidupan beragama, pluralime adalah penggabungan antara persamaan nilai pada semua agama dan pemeliharaan identitas yang beragam, yaitu ide kesalingpahaman (ta’aruf) yang merupakan fondasi dari toleransi (Budi Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, 2010).

Al-Quran juga menyinggung topik toleransi beragama ini, di antaranya dalam QS. Al-Hujurat: 13, Al-Kafirun: 1-6, dan Al-Maidah: 48. Dalam ayat-ayat tersebut, al-Quran mengakui adanya pluralitas, baik dalam ranah teologis, etnis, dan sosial. Ini mengindikasikan bahwa Islam, melalui al-Quran, sangatlah toleran, terbuka dalam memandang perbedaan, senantiasa mengajak kepada keharmonisan, tanpa meniadakan keyakinan yang teguh terhadap agama Islam itu sendiri.

Adapun tulisan ini berfokus pada QS. Al-Hujurat: 13. Ayat ini memuat nilai pluralisme yang dirasa sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society).  Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Baca juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8: Al-Quran Ketika Menyikapi Pluralitas Beragama

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13

Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an menjelaskan bahwa kata khalaqnakum min zakarin wa untsa maksudnya adalah Allah menciptakan manusia melalui air yang keluar dari laki-laki dan perempuan, atau bahasa lainnya adalah keluar dari air yang terpancar, berasal dari tulang punggung (shulb) dan tulang dada (tara’ib) (QS. 86: 07), sehingga terciptalah manusia yang berkembang menjadi syu’ub dan qabail.

Adapun syu’ub merupakan bentuk jamak dari kata sya’bun, yakni al-Jumma’, sifanya menyeluruh. Sedangkan qaba’il, jamak dari kata Qabilah dimaknai sebagai suku/bani (klan), yang arenanya sedikit lebih sempit. Al-Thabari juga mengutip beberapa pendapat, bahwa baik syu’ub maupun qabail keduanya masih memiliki hubungan nasab, bedanya adalah syu’ub hubungan nasabnya lebih dekat daripada qaba’il yang jauh (al-Thabari: Jami’ al-Bayan, Juz 21).

Alasan Allah menciptakan manusia yang terdiri dari syu’ub dan qaba’il menurut Ibnu ‘Asyur adalah lita’arafu, saling mengenal satu sama lain –sekaligus wujud harmonisasi dalam kehidupan sosial– dan menyadari bahwa di antara golongan tersebut berasal dari satu wadah yang samaو yakni min zakarin wa untsa.

Ibnu ‘Asyur juga menilai tidak sedikit hikmah di balik saling mengenal; selain untuk memperkuat ikatan persaudaraan, saling menghargai, dan menciptakan hubungan harmonis antar sesama, ayat ini juga sebagai peringatan (warning) kepada manusia untuk tidak memantik perpecahan yang justru dapat memberikan dampak buruk dalam kehidupan sosial. Sedangkan sumbu perpecahan dalam masyarakat yang plural adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah yang sama ayat 11, yaitu; mengolok-olok, mencaci, mencemooh, dan sebagainya (Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 26).

Baca juga: Konsep Lita’arafu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Agama, Budaya, dan Pluralisme

Ayat di atas menurut Haidar Bagir adalah isyarat adanya hubungan intim antara “agama” dan “budaya”, serta mengindikasikan bahwa Islam sangat menghargai budaya sebagai sumber kearifan (wisdom). Ini terlihat melalui kata lita’arafu, yang berarti perintah untuk belajar kearifan dalam kehidupan yang plural.

Ia melanjutkan, hubungan agama dan budaya juga bisa disaksikan dalam QS. Yunus [10]: 47); “bagi tiap-tiap umat seorang rasul”. Ayat tersebut menujukkan bahwa budaya adalah warisan hikmah yang diturunkan Allah melalui nabi-nabi yang pernah diutus sepanjang sejarah manusia. Sedangkan nabi yang diutus menurut mayoritas ulama tidak kurang dari 124.000 nabi.

Karena itu, selama budaya bisa dibuktikan dan tidak dipertentangkan dalam agama, maka budaya itu bisa dianut dan sedikit banyak itu merupakan peninggalan para nabi. Kalau demikian, budaya bukan hanya bisa dianut, lebih jauh, ia memiliki tempat yang absah (legitimate), atau bahkan kesakralan pada tingkat tertentu (Haidar Bagir: Islam Tuhan Islam Manusia, 2019).

Dalam ilmu biologis disebutkan bahwa manusia berasal dari spesies yang sama, atau yang diistilahkan oleh Erikson (1985) dengan genetic-speciation. Di saat yang sama, manusia memilah diri menjadi ratusan ribu suku bangsa dengan keragaman bahasa, adat-istiadat, agama, dan ideologi. Karena perbedaan budaya tersebut, manusia kemudian menjadi terkotak-kotak dalam berbagai kelompok sosial, dan hanya menggunakan satu sudut pandang saja dari padangan sekitar yang luas. Inilah yang diistilahkan dengan pseudo-speciation.

Menyambung istilah ini, Yayah Khisbiyah menyoroti pengotakan budaya tersebut. Menurutnya, pemilahan itu memberi sense of identity yang membuat suatu golongan merasa superior dan berbeda dibanding kelompok lain. Masing-masing kelompok merasa lebih baik dan hadir dengan tujuan supranatural yang “paling” mulia daripada kelompok lain. Ini akhirnya beruntut pada asa untuk mendapatkan ruang dan momentum di tengah alam semesta, dengan “meng-ada” dan “men-jadi”. Hal ini semakin mengafirmasi superioritasnya di atas kelompok lain.

Sikap demikian yang belakangan ini dikenal dengan politik identitas. Sebuah promblem yang dinilai menggerogoti peran pluralitas sebagai fitrah manusia. Menurut Syafi’i Ma’arif, munculnya isu politik identitas diawali masalah minoritas; jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Kemudian merambah pada aspek keagamaan, ideologi, budaya, dan ikatatan kultural lain yang beragam, sehingga nilai superioritas (unggul) atas yang lain tidak bisa dihindarkan (Ma’arif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, 2010).

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Meluruskan Salah Paham Makna Pluralisme

Bisa dikatakan, politik identitas adalah sebuah gerakan anti-pluralisme, yang diakibatkan kesalahan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Pluralisme dipahami sebagai sebuah paham yang berkeyakinan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Agaknya, paham demikian keliru, sebab pluralisme tidaklah meyakini akan kebenaran agama lain, akan tetapi lebih kepada paham menghargai keyakinan (kebenaran) yang dianut oleh agama lain.

Maka, pluralisme dalam agama harus dipahami sebagai pertalian dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan menurut Amir Hussain, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia (Hussain, Muslims, Pluralism and Interfaith Dialogue, 2004). Sebagaimana Islam yang membawa peran rahmatan lil ‘alamin, yang harus dirasakan oleh semua orang. Artinya Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga terhadap sesama ciptaan-Nya (Ma’arif: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009).

Walhasil, menurut hemat penulis, pluralisme adalah salah satu dari ajaran al-Qur’an untuk menumbuhkan nilai-nilai kesatuan, saling menghargai, dan menciptakan keharmonisan antara agama, budaya, etnis, dan keragaman lainnya. Sekaligus sebagai upaya preventif dari sikap yang kiranya dapat mengancam keutuhan sebuah bangsa dan negara, atau kedamaian sebagai sesama manusia. Wallahu a’lam.

Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24 mennceritakan dua kisah dengan subyek yang berbeda namun objek yang dibahas adalah sama. Disatu sisi, menceritakan tentang keingkaran umat Nabi Nuh, yaitu kaum ‘Ad, yang kemudian ditimpa azab berupa angin topan dan membinasakan mereka.

Disisi lain, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24 membicarakan sikap Rasulullah ketika ada angin dan hujan. Beliau terkadang panik, lalu berdo’a, namun sikap yang demikian mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyandarkan segala keadaan kepada Allah Swt. Sebab, Dialah yang mengirimkan hujan dan angin secara bersamaan, dan Dia pula yang berhak atas keduanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23


Ayat 24

Segala macam usaha telah dilakukan Nabi Hud untuk mengajak kaumnya menganut agama yang benar. Bahkan dalam ayat-ayat yang lain diterangkan bahwa Nabi Hud menantang kaumnya agar mereka semua dan dewa-dewa mereka itu bersama-sama melawan dan membunuh dirinya.

Namun tantangan itu tidak mereka hiraukan, sehingga Allah memutuskan untuk menimpakan azab kepada mereka.

Azab itu dimulai dengan datangnya musim kemarau panjang yang menimpa negeri mereka. Dalam keadaan demikian, mereka melihat awan hitam berarakan di atas langit dan bergerak menuju negeri mereka.

Mereka semua bergembira menyambut kedatangan awan itu. Menurut mereka, awan itu adalah tanda akan hujan dalam waktu dekat, yang selama ini sangat mereka harapkan.

Mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang membawa hujan.” Lalu Nabi Hud menatap awan itu dan memperhatikannya dengan seksama, kemudian beliau berkata, “Awan yang datang bergumpal-gumpal itu bukanlah sebagai tanda akan datangnya hujan sebagaimana yang kamu sangka, tetapi awan itu sebagai tanda datangnya azab yang kamu inginkan dan kamu tunggu-tunggu.

Azab yang akan datang untuk menghancurkan kamu berupa angin kencang yang akan membinasakan kamu dan semua yang dilandanya.

Dia akan membinasakan kamu dan semua hartamu dan akan menghancurkan seluruh kekuatan dewa-dewa yang selalu kamu bangga-banggakan, sesuai dengan tugas yang diperintahkan Tuhan kepadanya.”

Dalam ayat yang lain diterangkan bentuk azab yang ditimpakan kepada kaum ‘Ad itu. Allah berfirman:

وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧  فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ   ٨

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka. (al-Haqqah/69: 6-8). Dan firman Allah:

وَفِيْ عَادٍ اِذْ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيْحَ الْعَقِيْمَۚ    ٤١  مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ اَتَتْ عَلَيْهِ اِلَّا جَعَلَتْهُ كَالرَّمِيْمِۗ   ٤٢

Dan (juga) pada (kisah kaum) ‘Ad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan. (Angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk. (az-Zariyat/51: 41-42)

Baca Juga:

Bagaimana kedahsyatan azab yang telah ditimpakan kepada kaum ‘Ad itu tergambar pada sikap Rasulullah saw sewaktu angin kencang bertiup. Di dalam suatu hadis diterangkan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا عَصَفَتِ الرِّيْحُ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّى أََسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَافِيْهَا وَخَيْرَ مَا أَرْسَلْتَ بِهِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَافِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَإِذَا تَخَيَّلَتِ السَّمَاءُ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ وَخَرَجَ وَدَخَلَ وَاَقْبَلَ وَاَدْبَرَ فَإِذَا اَمْطَرَتْ سُرِّىَ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لاَ اَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمُ عَادٍ  هٰذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا  . (رواه مسلم والترمذى و النسائي)

()

‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw apabila ada angin kencang bertiup, beliau berdoa, “Wahai Tuhan, aku mohon kepada Engkau angin yang paling baik; baik isinya dan paling baik pula yang dibawanya, dan aku berlindung kepada Engkau dari angin yang buruk; buruk isinya dan buruk pula yang dibawanya.” Apabila langit memperlihatkan gejala-gejala akan turunnya hujan berubahlah muka Rasulullah saw. Beliau mondar-mandir keluar- masuk rumah, ke muka dan ke belakang. Maka apabila hujan telah turun legalah hati beliau, lalu aku bertanya kepada beliau, beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui, mudah-mudahan saja seperti yang dikatakan kaum ‘Ad, ‘Awan yang datang ini menurunkan hujan kepada kita.” (Riwayat Muslim, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i) .

Rasulullah juga bersabda sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ مُسْتَجْمِعاً ضَاحِكاً حَتىَّ اَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ وَاِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ وَكاَنَ إِذَا رَأَى غَيْمًا اَوْ رِيْحًا عُرِفَ ذٰلِكَ فِي وَجْهِهِ قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَرَى النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْغَيْمَ فَرِحُوْا رَجَاءً اَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ الْمَطَرُ وَاَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَتْ فِي وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ قَالَ: يَا عَائِشَةَ وَمَايُؤْمِنُنِى اَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالِّريْحِ وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ قاَلُوْا هٰذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا . (رواه البخارى و مسلم)

‘Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw tertawa lebar hingga kelihatan anak lidahnya. Beliau hanya tersenyum, sedang apabila beliau melihat awan dan angin, berubah raut mukanya. Aku bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah aku lihat orang apabila melihat awan mereka bergembira karena mengharapkan semoga awan itu membuat hujan, sedangkan engkau aku lihat bila melihat awan kelihatan perasaan kurang senang di mukamu.” Rasulullah saw menjawab, “Ya ‘Aisyah, siapa yang dapat menjamin bahwa awan itu tidak membawa azab? Pernah suatu kaum diazab dengan angin itu. Sesungguhnya kaum itu melihat azab, tetapi mereka menyangkanya awan yang membawa hujan, maka berkatalah mereka, ‘Awan itu datang membawa hujan kepada kita.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Pada hadis lain yang diriwayatkan Muslim diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نُصِرْتُ بِالصَّبَا وَاُهْلِكَتْ عَادٌ بِالدَّبُوْر.ِ (رواه مسلم)

Ibnu ‘Abbas menerangkan bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Saya ditolong oleh angin timur, dan kaum ‘Ad dihancurkan dengan angin barat.” (Riwayat Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 25-26


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23 diawali dengan kisah Nabi Hud yang diceritakan Rasulullah kepada orang-orang musyrik. Dalam cerita itu, Rasulullah ada berbicara tentang nama subuah bukit yang disebut dengan ‘Ahqaf’, dan nama bukit inilah yang kemudian dijadikan nama dalam surah ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20


Ayat 21

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah kisah Nabi Hud yang berasal dari kaum ‘Ad, ketika ia memperingatkan kepada kaumnya yang berdomisili di Ahqaf itu akan azab Tuhan.

Allah menjelaskan bahwa mengutus para rasul dan nabi kepada kaumnya masing-masing adalah suatu hal yang biasa, dan sudah menjadi sunatullah.

Sebelum Nabi Hud, Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi yang memberi peringatan kepada kaum mereka masing-masing, begitu pula sesudahnya.

Nabi Hud menyeru kaum itu agar tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan mereka, yang memberi rezeki sehingga mereka dapat hidup dengan rezeki itu dan menjaga kelangsungan hidup.

Hendaklah mereka takut akan malapetaka yang akan menimpa nanti akibat kedurhakaan itu. Di akhirat nanti mereka akan mendapat azab yang pedih.

Keadaan pada hari Kiamat itu diterangkan pada firman Allah:

اِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ اَجْمَعِيْنَ ۙ   ٤٠  يَوْمَ لَا يُغْنِيْ مَوْلًى عَنْ مَّوْلًى شَيْـًٔا وَّلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَۙ   ٤١

Sungguh, pada hari keputusan (hari Kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya, (yaitu) pada hari (ketika) seorang teman sama sekali tidak dapat memberi manfaat kepada teman lainnya dan mereka tidak akan mendapat pertolongan. (ad-Dukhan/44: 40-41).

Al-Ahqaf berarti “bukit-bukit pasir”. Kemudian nama itu dijadikan nama sebuah daerah yang terletak antara negeri Oman dan Mahrah. Daerah itu dinamai demikian oleh kaum ‘Ad.

Sekarang daerah itu terkenal dengan nama “Sahara al-Ahqaf”, dan termasuk salah satu daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saudi Arabia bagian selatan. Daerah itu terletak di sebelah utara Hadramaut, sebelah timur dibatasi oleh laut Yaman, dan sebelah selatan berbatasan dengan Nejed.

Semula kaum ‘Ad menganut agama yang berdasarkan tauhid. Setelah berlalu beberapa generasi, kepercayaan tauhid itu dimasuki unsur-unsur syirik, dimulai dengan penghormatan kepada pembesar-pembesar dan pahlawan mereka yang telah meninggal dunia, dengan membuatkan patung-patungnya.

Lama-kelamaan, pemberian penghormatan ini berubah menjadi pemberian penghormatan kepada patung, yang akhirnya berubah menjadi penyembahan kepada dewa, dengan arti bahwa pembesar dan pahlawan yang telah meninggal mereka anggap sebagai dewa.

Untuk mengembalikan mereka kepada agama yang benar yaitu agama tauhid, Allah mengutus seorang rasul yang diangkat dari keluarga mereka sendiri, yaitu Nabi Hud. Hud menyeru mereka agar kembali kepada kepercayaan yang benar, yaitu kepercayaan tauhid, dengan hanya menyembah Allah semata, tidak lagi mempersekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim


Ayat 22

Ketika Nabi Hud menyeru kaumnya untuk beriman, kaum ‘Ad menjawab seruan itu dengan mengatakan, “Apakah kamu diutus kepada kami untuk memalingkan kami dari agama nenek moyang kami sehingga kami tidak lagi menyembah tuhan-tuhan kami dan hanya menyembah Tuhanmu?”

Mereka meminta kepada Hud membuktikan kerasulannya dengan segera mendatangkan azab yang pernah dijanjikan kepada mereka, seandainya mereka tidak beriman. Bahkan pada ayat yang lain, mereka menuduh Hud sebagai orang gila. Allah berfirman:

اِنْ نَّقُوْلُ اِلَّا اعْتَرٰىكَ بَعْضُ اٰلِهَتِنَا بِسُوْۤءٍ

Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. (Hud/11: 54)

Ayat 23

Pada ayat ini dijelaskan jawaban Nabi Hud atas tantangan orang kafir agar segera didatangkan azab yang pernah dijanjikan kepada mereka jika mereka tidak beriman. Nabi Hud menjawab bahwa yang mengetahui kapan azab yang diancamkan itu datang hanyalah Allah. Nabi Hud sendiri juga tidak tahu kapan azab itu akan datang. Tugas nabi hanya menyampaikan risalah dari Allah.

Seharusnya kaum ‘Ad bersyukur dengan diutusnya salah seorang dari kaum mereka menjadi nabi yang memberi peringatan, petunjuk tentang hukum, pokok-pokok akidah, dan cara-cara beribadah yang benar. Semua itu disampaikan karena perintah Allah, Tuhan Maha Pencipta segala sesuatu.

Tanpa adanya petunjuk dari Allah tak ada yang mengetahui hakikat agama yang benar. Manusia tidak tahu manakah Tuhan yang benar-benar berhak disembah dan siapa yang berhak menentukan bagaimana cara beribadah yang benar.

Oleh karena itu, wajar jika ada manusia yang tidak memahami semua hal, karena pikiran manusia memang terbatas. Di sinilah perlunya Allah mengutus para nabi dan rasul, dan manusia harus berusaha untuk memahami dan meyakininya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 24


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 diawali degan penegasan sifat adil Allah ketika mengadili makhluknya, baik dari golongan jin atau manusia, kafir atau mukmin, semuanya akan mendapatkan balasan sesuai kadarnya masing-masing.

Selanjutnya, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 memperingatkan manusia bahwa salah satu aspek yang menyebabkan mereka bisa terjerumus kedalam neraka adalah terlalu cinta kepada dunia.

Maka dari itu, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 mengajarkan kepada kita agar senantiasa hidup sederhana, seperlunya, dan welas asih kepada sesama. Mengajarkan kita untuk bisa mengontrol hawa nafsu yang kerap mengajak pada kenikamtan sesaat, dan melupakan kenikmatan yang kekal nan abadi.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 18-19


Ayat 20

Setelah menerangkan bahwa setiap jin dan manusia akan mem-peroleh balasan yang adil dari Allah, Dia menerangkan keadaan orang-orang kafir pada saat mereka dihadapkan ke neraka. Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang kafir keadaan mereka ketika dibawa ke dalam neraka.

Kepada mereka dikatakan bahwa segala macam kebahagiaan dan kenikmatan yang diperuntukkan bagi mereka telah lengkap dan sempurna mereka terima semasa hidup di dunia.

Tidak ada satu pun bagian yang akan mereka nikmati lagi di akhirat. Yang tinggal hanyalah kehinaan, kerendahan, azab pedih yang akan mereka alami sebagai pembalasan atas kesombongan, kefasikan, kezaliman, kemaksiatan, dan kekafiran yang mereka lakukan selama hidup di dunia.

Ayat ini memperingatkan manusia agar meninggalkan hidup mewah yang berlebih-lebihan, meninggalkan perbuatan mubazir, maksiat, dan menganjurkan agar kaum Muslimin hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan menggunakan sesuatu sesuai dengan keperluan dan keadaan, dan disesuaikan dengan tujuan hidup seorang Muslim.

Seandainya ada kelebihan harta, hendaklah diberikan kepada orang-orang miskin, orang-orang terlantar, dan anak yatim yang tidak ada yang pertanggung jawabnya, dan gunakanlah harta itu untuk keperluan meninggikan kalimat Allah.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lain-lain dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar melihat uang dirham di tangan Jabir bin ‘Abdullah, maka beliau berkata, “Uang dirham apakah itu?”

Jabir menjawab, “Aku bermaksud membeli sepotong daging yang sudah lama diidamkan oleh keluargaku.” ‘Umar berkata, “Apakah setiap kamu menginginkan sesuatu, lalu kamu beli? Bagaimana pendapatmu tentang ayat ini? Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja, dan kamu telah bersenang-senang dengannya?”

Dari riwayat di atas dapat kita tarik pelajaran bahwa ‘Umar bin Khattab menasihati Jabir bin ‘Abdullah dengan ayat ini agar tidak terlalu menuruti keinginannya dan mengingatkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini hanya bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan yang abadi ada di akhirat.

Oleh karena itu, kita harus menggunakan segala rezeki yang telah dianugerahkan Allah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ketentuan yang digariskan agama.

Tentang hidup sederhana ini tergambar dalam kehidupan keluarga Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadis:

عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ كَانَ اَخِرَ عَهْدِهِ مِنْ اَهْلِهِ بِفَاطِمَةَ. وَاَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْهُمْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَقَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ فَاَتَاهَا فَإِذَا يَمْسَحُ عَلَى بَابِهَا وَرَأَى عَلَى الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ قُلْبَيْنِ مِنْ فِضَّةٍ فَرَجَعَ وَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا فَلَمَّا رَاَتْ ذٰلِكَ ظَنَّتْ اَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ مِنْ أَجْلِ مَارَاَى فَهَتَكَتِ السِّتْرَ وَنَزَعَتْ قُلْبَيْنِ مِنَ الصَّبِيَّيْنِ فَقَطَعَتْهُمَا فَبَكِيَا فَقَسَمَتْ ذٰلِكَ بَيْنَهُمَا فَانْطَلَقَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَهُمَا يَبْكِيَانِ فَأَخَذَ ذٰلِكَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْهُمَا وَقَالَ يَا ثَوْبَانُ اِذْهَبْ بِهٰذَا اِلَى بَنِى فُلاَنٍ وَاشْتَرِ لِفَاطِمَةَ قِلاَدَةً مِنْ عَصَبٍ وَسِوَارَيْنِ مِنْ عَاجٍ فَإِنَّ هٰؤُلاَءِ مِنْ اَهْلِ بَيْتِى وَلاَ اُحِبُّ         اَنْ يَأْكُلُوْا طَيِّبَاتِهِمْ فِي حَيَاتِهِمُ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والبيهقي)

Diriwayatkan dari ¤aub±n, ia berkata, “Rasulullah saw apabila akan bepergian, keluarga terakhir yang dikunjunginya adalah Fatimah. Dan keluarganya yang lebih dahulu didatanginya apabila ia kembali dari perjalanan ialah Fatimah. Beliau kembali dari Gazah (peperangan), lalu beliau datang ke rumah Fatimah, dan beliau mengusap pintu rumah dan melihat gelang perak di tangan Hasan dan Husain, beliau kembali dan tidak masuk. Tatkala Fatimah melihat yang demikian, ia berpendapat bahwa Rasulullah saw tidak masuk ke rumahnya itu karena beliau melihat barang-barang itu. Maka Fatimah menyobek-nyobek kain pintu itu dan mencabut gelang-gelang dari tangan kedua anaknya dan memotong-motongnya, lalu kedua anaknya menangis, maka ia membagi-bagikannya kepada kedua anak itu. Maka keduanya pergi menemui Rasulullah saw dalam keadaan menangis, lalu Rasulullah saw mengambil barang-barang itu dari keduanya seraya berkata, ‘Hai ¤aub±n, pergilah membawa barang-barang itu kepada Bani Fulan dan belikanlah untuk Fatimah kalung dari kulit lokan dan dua gelang dari gading, maka sesungguhnya mereka adalah keluargaku, dan aku tidak ingin mereka menghabiskan rezeki mereka yang baik sewaktu hidup di dunia ini.” (Riwayat A¥mad dan al-Baihaqi).

Hadis ini maksudnya bukan melarang kaum Muslimin memakai perhiasan, suka kepada keindahan, menikmati rezeki yang telah dianugerahkan Allah, melainkan untuk menganjurkan agar orang hidup sesuai dengan kemampuan diri sendiri, tidak berlebih-lebihan, selalu menenggang rasa dalam hidup bertetangga dan dalam berteman.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Taubah Ayat 122 : Perintah Memperdalam Ilmu Agama


Jangan sampai harta yang dimiliki dengan halal itu menjadi sumber iri hati dan rasa dengki tetangga dan sahabat. Jangan pula hidup boros, dan berbelanja melebihi kemampuan. Ingatlah selalu bahwa banyak orang lain yang memerlukan bantuan, masih banyak biaya yang diperlukan untuk meninggikan kalimat Allah.

Rasulullah saw selalu merasa cukup bila memperoleh sesuatu dan bersabar bila sedang tidak punya; memakan kue jika ada kesanggupan membelinya, meminum madu bila kebetulan ada, dan memakan daging bila mungkin mendapatkannya.

Hal yang demikian itu menjadi pegangan dan kebiasaan hidup beliau. Beliau selalu bersyukur kepada Allah setiap menerima nikmat-Nya.

Yang dilarang ialah memakai perhiasan secara berlebih-lebihan, bersenang-senang tanpa mengingat adanya kehidupan abadi di akhirat nanti. Memakai perhiasan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan iri hati orang lain dibolehkan. Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ  كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ   ٣٢

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik- baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (al-A’raf/7: 32)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 21-22


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 18-19

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 18-19 adalah lanjutan tafsir sebelumnya yang menerangkan tentang anak durhaka. Bahwa anak durhaka akan digolongkan bersama dengan kaum terdahulu yang mendurhakai Allah, Rasul, dan orang tuanya, baik dari golongan jin ataupun manusia. Sebab, dihadapan Allah, semua mahluk akan mempertanggungjawabkan amalnya semasa di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 16-17


Ayat 18

Allah mengancam setiap anak yang bersikap seperti yang di-terangkan ayat di atas kepada orang tuanya.

Mereka pasti akan ditimpa azab di akhirat nanti, mendapat murka dan kemarahan Allah, dan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala, bersama umat-umat dahulu yang mendurhakai Allah, mendustakan para rasul, dan melecehkan kedua orang tuanya, baik mereka dari golongan jin maupun manusia.

Dengan demikian, neraka itu akan dipenuhi dengan mereka semua seperti yang dijanjikan oleh Allah.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jin itu adalah makhluk Allah yang sama kewajibannya dengan manusia. Di antara mereka, ada yang menganut agama Islam seperti kaum Muslimin, dan ada pula yang kafir. Mereka hidup berketurunan dan mati seperti manusia.

Abu Hayyan berkata, “Al-Hasan al-Bashri berkata dalam suatu halaqah (majlis) pelajaran, “Jin itu tidak mati.” Maka Qatadah membantahnya dengan mengemukakan ayat ini. Lalu al-Hasan al-Bashri terdiam.

Pada akhir ayat ini diterangkan sebab Allah mengazab mereka, jin dan manusia, adalah karena mereka adalah golongan yang merugi. Mereka merugi karena telah menyia-nyiakan fitrah yang telah diberikan Allah kepada mereka.

Sejak dalam kandungan, manusia telah diberi Tuhan suatu naluri, yaitu potensi untuk menjadi orang yang beriman.

Akan tetapi, potensi yang ada pada dirinya itu disia-siakannya, dengan menuruti hawa nafsu dan godaan setan, serta terpengaruh oleh kehidupan dunia dan lingkungan sehingga mereka menjadi orang-orang merugi di dunia apalagi di akhirat.

Berbahagialah orang-orang yang dapat memanfaatkan fitrah yang telah ditanamkan Allah pada dirinya sehingga ia beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan senantiasa mendapat bimbingan, hidayah, dan taufik dalam kehidupannya. Firman Allah swt:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ   ٣٠

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rum/30: 30)


Baca Juga: Mengenal Hasan At-Turabi, Mufasir Kontemporer asal Sudan


Ayat 19

Allah menerangkan bahwa manusia dan jin mempunyai martabat tertentu di sisi-Nya pada hari Kiamat, sesuai dengan perbuatan dan amal yang telah mereka kerjakan semasa hidup di dunia.

Golongan yang beriman dan beramal saleh terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda tingginya, sedangkan golongan yang kafir kepada Allah juga terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda rendahnya.

Perbedaan tinggi atau rendahnya martabat disebabkan adanya perbedaan iman dan amal seseorang, di samping ada pula perbedaan kekafiran dan kedurhakaan. Dengan perkataan lain, Allah menentukan martabat yang berbeda itu karena perbedaan amal manusia dan jin itu sendiri. Ada di antara mereka yang teguh iman dan banyak amalnya, sedangkan yang lain lemah dan sedikit.

Demikian pula tentang kekafiran, ada orang yang sangat kafir kepada Allah dan ada yang kurang kekafiran dan keingkarannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.

Allah menyediakan martabat-martabat yang berbeda untuk membuktikan keadilan-Nya kepada makhluk-Nya, dan agar dapat memberi balasan yang sempurna kepada setiap jin dan manusia itu. Perbuatan takwa diberi balasan sesuai dengan tingkat ketakwaannya, dan perbuatan kafir dibalas pula sesuai dengan tingkat kekafirannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 20


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 16-17

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 16-17 menjelaksan tentang anak yang saleh dan yang durhaka. Anak yang saleh, tentu taat kepada Allah, juga taat kepada kedua orang tuanya (dalam hal kebaikan). Maka, anak yang demikian akan mendapatkan surga sebagai balasannya.

Sementara, anak yang durhaka seringkali tidak berbuat baik kepada orang tuanya. Tidak hanya pada aspek kewajiban, hal-hal yang mubah saja mereka enggan untuk mematuhi ajakan orang tuanya. Lebih jelas, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 16-17 akan banyak menerangkan tentang larangan menolak ajakan yang baik dari orang tua.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (2)


Ayat 16

Dalam ayat ini diterangkan balasan yang akan diterima oleh orang saleh yang memiliki sifat sebagai anak yang saleh sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya.

Orang-orang yang semacam itu adalah orang-orang yang mempunyai amal yang paling baik selama ia hidup di dunia menurut pandangan Allah karena keikhlasan, kepatuhan, dan ketaatan mereka melaksanakan agama-Nya.

Orang-orang yang seperti itu akan dimaafkan segala kesalahannya karena selalu bertobat kepada-Nya dengan tobat yang sebenarnya. Ia memperoleh surga yang penuh kenikmatan di akhirat.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa balasan yang disebutkan itu adalah datang dari Allah, dan semua yang pernah dijanjikan-Nya, baik janji akan memberi pahala kepada orang-orang yang beriman maupun peringatan akan mengazab orang-orang kafir pasti ditepatinya; tidak satu pun yang akan dipungkiri-Nya.


Baca Juga: Surat Al-Ankabut Ayat 30: Doa Nabi Luth as. yang Diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran


Ayat 17

Ayat ini menerangkan ancaman Allah kepada orang yang ketika diajak oleh kedua orang tuanya untuk beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia berkata, “Ah, apakah yang bapak-ibu katakan ini; aku tidak senang kepada bapak-ibu yang mengatakan bahwa aku akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan hidup, sesudah aku mati dan hancur luluh bersama tanah.

Apakah mungkin daging-daging yang telah hancur luluh bersama tanah dan tulang-belulang yang telah berserakan itu akan dapat kembali dikumpulkan dan menjadi tubuh yang hidup seperti semula? Alangkah aneh dan lucunya kepercayaan itu, wahai kedua orang tuaku.

Bukankah telah banyak umat dahulu, sebelum kita, yang telah melakukan semua hal sesuai dengan keinginan mereka? Ada di antara mereka yang mengikuti ajaran rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka, dan banyak pula di antara mereka yang mengingkarinya, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang telah dibangkitkan seperti yang ibu dan ayah katakan itu.

Seandainya benar yang dikatakan ayah dan ibu itu, tentu kita akan melihat bukti-buktinya sekarang, dan tentu kita akan bertemu dengan nenek moyang kita yang telah mati dahulu.”

Mendengar jawaban anaknya itu, timbullah rasa sedih dan kasihan dalam hati orang tua itu. Mereka merasa sedih karena sikap anaknya yang seakan-akan tidak menghormatinya lagi.

Mereka merasa kasihan karena yakin bahwa anaknya itu kelak akan mendapat azab Allah di akhirat. Sekalipun demikian, mereka tidak putus asa untuk menyeru anaknya itu dan memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah.

Mereka berkata, “Percayalah wahai anakku, bahwa Allah pasti menepati janji-Nya, dan hendaklah engkau yakin bahwa engkau benar-benar akan dibangkitkan nanti, karena janji Allah adalah janji yang hak, yang pasti ditepati, semoga Allah memberi kamu petunjuk.”

Allah melarang anak berkata ah kepada ibu dan ayahnya, atau kata-kata lain yang menyakitkan hati orang tuanya, karena keduanya telah berjasa memelihara dan mendidiknya sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan sampai dewasa, sebagaimana firman Allah:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ  ١٤

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31: 14)

Jika orang tua mendidik anaknya untuk beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian sang anak menolak dan mengatakan ah, yang demikian merupakan kedurhakaan yang besar dan kesesatan yang nyata. Pada ayat yang lain disebutkan:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا  ٢٣

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra’/17: 23).

Menanggapi ajakan kedua orang tuanya, anak itu menjawab dengan sikap melecehkan keduanya dengan mengatakan bahwa ajakan orang tuanya untuk mempercayai Allah dan hari akhir itu hanya dongengan orang dahulu kala. Ia beranggapan kedua orang tuanya telah terpengaruh dongengan bohong sehingga mengakui kebenarannya.

Menurutnya, adanya hari kebangkitan adalah suatu kepercayaan yang mustahil akan terjadi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 18-19


Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (5): Surah Al-Hajj Ayat 77

0
dalil maulid Nabi dalam Al-Quran (5)_surah Al-Hajj ayat 77
dalil maulid Nabi dalam Al-Quran (5)_surah Al-Hajj ayat 77

Dalil atau petunjuk ihtifal (perayaan) maulid Nabi berikutnya adalah surah al-Hajj ayat 77. Kita simak ayat berikut;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Tafsir kata al-Khair

Kata al-khair yang berarti kebaikan pada ayat tersebut merupakan isim jins yang menunjukkan banyak arti. Dengan kata lain, al-khair merupakan makna (kebaikan) yang umum.

Ketika menafsiri waf’alul khaira, Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir (1984) menukil perkataan Ibn Abbas, “(lakukanlah kebaikan) di antaranya silaturahmi dan akhlak yang mulia. Dan dari urutan dalam ayat tersebut tampak bahwa mereka (orang-orang beriman) diperintah untuk; pertama, salat (salah satu praktik ibadah), kedua dengan ibadah (salah satu praktik kebaikan) dan yang ketiga melakukan kebaikan (ini lebih umum daripada ibadah). Artinya, Allah memulai ayat tersebut dengan sesuatu yang khusus (salat), kemudan umum (ibadah), lalu yang lebih umum (al-khair; kebaikan).”

Wajh dalalah (petunjuk) dari ayat tersebut adalah bahwa ihtifal Maulid Nabi berisi berbagai amal kebaikan; di antaranya adalah selawat Nabi, sedekah, amal makruf, mengekspresikan kebahagiaan dan berderma kepada kaum papa. Hal tersebut menujukkan bolehnya ihtifal Maulid Nabi yang juga berisi amal kebaikan sebagaimana diperintahkan oleh al-Quran.

Lalu dalam Jawahir al-Bihar Syaikh Yusuf al-Nabhani mengutip al-Hafiz Ibn Hajar al-Haitami menegaskan, “sesungguhnya orang yang menghendaki kebaikan, menampakkan kebahagian dan mahabbah atas Maulid Nabi Saw itu cukup dengan mengumpulkan orang-orang baik bersama para fakir miskin, lalu bersedekah dan memberi kepada mereka makanan sebagai wujud mahabbah kepada Nabi Muhammad Saw.”

“Lalu jika mereka ingin lebih dari itu,” lanjut Ibn Hajar al-Haitami, “maka dengan memerintahkan seseorang untuk menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi (madaih al-nabawiyyah) dan syair-syair yang berisi pelajaran akhlak luhur. Sebab hal tersebut dapat menggerakkan hati untuk melakukan kebaikan dan menahan perilaku bidah yang mungkar. Selain itu, mendengarkan lantunan indah pujian-pujian Nabi merupakan salah satu sebab tumbuhnya mahabbah kepada Nabi dalam hati seseorang.”

Baca Juga: Irhash Kenabian Muhammad, Bukti Allah Merayakan Maulid Nabi

Bidah dan Macamnya

Kemudian sebagian kalangan bertanya, kenapa Anda melakukan sesuatu yang tak pernah dilakukan Rasulullah Saw? Perlu kita ketahui bahwa tak semua yang ditinggalkan Rasulullah, artinya tak pernah dilakukan beliau, itu  hukumnya haram atau bidah. Betapa banyaknya perkara yang tak pernah beliau Saw lakukan tetapi justru dilakukan oleh para sahabat dan tabiin, bahkan perkara itu masih kita lakukan sampai sekarang.

Contohnya adalah pengumpulan al-Quran yang dilakukan Sayyidina Abu Bakar r.a. atas inisiasi Sayyidina Umar. Mulanya, Sayyidina Abu Bakar meragukan usulan itu,“bagaimana aku melakukan hal itu sementara Rasulullah tak pernah mencontohkannya?” tetapi Sayyidina Umar segera menjawab, “wallahi, itu adalah hal baik.”

Mahmud Ahmad al-Zain dalam al-Bayan al-Nabawi (2005) menegaskan, “jawaban  Sayyidina Umar tersebut adalah jawaban untuk semua orang yang mengingkari bidah dengan dalih tak pernah dilakukan Rasulullah atau para sahabat. Karena yang diperintahkan dalam al-Quran adalah kebaikan dan dijanjikan sebuah keberuntungan bagi yang melakukannya; la’allakum tuflihun. Selain dijanjikan keberuntungan, kita juga diperintahkan untuk mengajak pada kebaikan sebagaimana dalam Ali Imran [3]: 104

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Dari uraian di atas, jika ada perkara baru dan tak pernah dilakukan Rasulullah, tapi baik dan sesuai dengan dalil-dalil syariat maka perkara baru itu bukan bidah secara syara’, melainkan bidah secara bahasa saja.

Baca Juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan

Dalam Manaqib Imam Syafii, al-Baihaqi meriwayatkan, “perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara yang menyelisihi al-Quran, hadis, ijma’ atau atsar. Maka perkara ini adalah bidah dhalalah (sesat). Kedua, perkara baik yang tidak menyelisihi satu pun dari al-Quran, hadis, ijma’ ataupun atsar. Maka perkara ini bidah hasanah (baik).” Senada dengan riwayat tersebut, Abu Nuaim dalam Hilyah al-Auliya juga mengutip perkataan Imam Syafii bahwa, “bidah itu ada dua macam; bidah mahmudah (terpuji) ialah yang sesuai dengan hadis dan bidah madzmumah (tercela) ialah yang menyelisihi hadis.”

Dr. Izzat Ali Athiyyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mawaqif al-Islam minha menegaskan bahwa para sahabat tidak memperingati maulid karena mereka disibukkan dengan hal yang lebih penting seperti jihad, mempersiapkan daulah islamiyah baik dari segi pengetahuan, politik, ekonomi dan militer.

Walhasil, dari uraian di atas dapat dibuat ke dalam premis begini; ihtifal Maulid Nabi adalah perkara baik—semua perkara baik itu (masyru’) disyariatkan—maka ihtifal Maulid Nabi adalah baik dan sesuai syariat. Allahumma shalli ‘ala Muhammad.

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (2)

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Sebelumnya telah dijelaskan alasan kenapa seorang ibu memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Adapun Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (2) akan melanjutkan keutamaan lainnya dari seorang ibu selain; mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat.

Peran besar seorang ibu yang juga penting untuk diperhatikan adalah mendidik. Maka, tidak heran jika ada ungkapan bahwa “ibu adalah pendidik pertama bagi seorang anak”. Berikut uraian dari Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (2).


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (1)


Ayat 15 (2)

  1. Ibu adalah orang tua yang paling banyak berhubungan dengan anak dalam memelihara dan mendidiknya, sampai anaknya sanggup mandiri. Kewajiban ibu memelihara dan mendidik anaknya itu tidak saja selama ibu terikat dengan perkawinan dengan bapak si anak, tetapi juga pada saat ia telah bercerai dengan bapak si anak. ;Kecintaan dan rasa sayang ibu terhadap anaknya adalah ketentuan dari Allah, sebagaimana firman-Nya:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. (Luqman/31: 14).

Sehubungan dengan persoalan di atas, Rasulullah saw menjawab pertanyaan seorang sahabat dalam salah satu hadis:

عَنْ بَهْزٍ بْنِ حَكِيْمٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ اَبَرُّ قَالَ: اُمَّكَ. قُلْتُ ثُمَّ مَنْ. قَالَ: اُمَّكَ. قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ. قَالَ: اُمَّكَ. قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ. قَالَ: اَبَاكَ ثُمَّ اْلاَقْرَبَ فَاْلاَقْرَبَ. (رواه ابو داود والترمذي)

Dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya, mudah-mudahan Allah meridainya, ia berkata, “Aku berkata, “Ya Rasulullah, kepada siapa aku berbakti?” Rasulullah menjawab, “Kepada ibumu.” Aku berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu.” Aku berkata, “Kemudian kepada siapa?” Jawab Rasulullah, “Kepada ibumu.” Aku berkata, “Kemudian kepada siapa?” Rasulullah berkata, “Kepada ayahmu, kemudian kepada karibmu yang paling dekat, lalu yang paling dekat.” (Riwayat Abu Dāwud dan at-Tirmizi).

Adapun tanggung jawab ayah sebagai orang tua adalah sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memelihara, memberi nafkah, dan menjaga ketenteraman dan keharmonisan keluarga.

Ayah sebagai pemimpin keluarga dapat membagi tugas-tugas kepada istri, anak-anak yang lebih tua, maupun anggota-anggota keluarga lain yang tinggal dalam keluarga tersebut.

Tanggung jawab spiritual sebagai ayah ialah membawa keluarga pada kedekatan kepada Allah, melaksanakan ibadah dengan benar dan melahirkan generasi baru, sebagaimana firman Allah:

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا   ٧٤

Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan/25: 74).

Ayat ini menerangkan sikap yang baik dari seorang anak kepada orang tuanya yang telah mengasuhnya sejak kecil sampai dewasa, pada saat-saat orang tuanya itu telah berusia lanjut, lemah, dan pikun.

Baca Juga:

Waktu itu si anak telah berumur sekitar 40 tahun, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah aku bimbingan dan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-Mu yang tiada taranya yang telah engkau berikan kepadaku, baik yang berhubungan dengan petunjuk sehingga aku dapat melaksanakan perintah-Mu dan menghindari larangan-Mu, maupun petunjuk yang telah Engkau berikan kepada kedua orang tuaku sehingga mereka mencurahkan rasa kasih sayangnya kepadaku, sejak aku masih dalam kandungan, waktu aku masih kecil sampai aku dewasa. Wahai Tuhanku, terimalah semua amalku dan tanamkan dalam diriku semangat ingin beramal saleh yang sesuai dengan keridaan-Mu, dan bimbinglah pula keturunanku mengikuti jalan yang lurus; jadikanlah mereka orang yang bertakwa dan beramal saleh.”

Sehubungan dengan ayat ini Ibnu ‘Abbas berkata, “Barang siapa telah mencapai umur 40 tahun, sedangkan perbuatan baiknya belum dapat mengalahkan perbuatan jahatnya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk masuk neraka.”

Pada riwayat yang lain Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah telah memperkenan¬kan doa Abu Bakar.

Beliau telah memerdekakan sembilan orang budak mukmin di antaranya Bilal dan Amir bin Fuhairah. Beliau tidak pernah bermaksud hendak melakukan suatu perbuatan baik, melainkan Allah menolongnya. Beliau berdoa, “Wahai Tuhanku, berikanlah kebaikan pada diriku, dengan memberikan kebaikan kepada anak cucuku.

Jadikanlah kebaikan dan ketakwaan itu menjadi darah daging bagi keturunanku.” Allah telah memperkenankan doa beliau. Tidak seorang pun dari anak-anaknya yang tidak beriman kepada Allah; ibu-bapaknya dan anak-anaknya semua beriman. Oleh karena itu, tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah yang memperoleh keutamaan seperti ini.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dalam Sunan-nya bahwa Rasulullah saw pernah mengajarkan doa berikut ini:

اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ اِلَى النُّوْرِ وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَبَارِكْ لَنَا فِي اَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَاَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَاجْعَلْنَا شَاكِرِيْنَ لِنِعْمَتِكَ مُثْنِيْنَ بِهَا عَلَيْكَ وَاَتِمَّهَا عَلَيْنَا. (رواه ابو داود)

Wahai Tuhanku, timbulkanlah rasa kasih sayang dalam hati kami; timbulkanlah perdamaian di antara kami, bimbinglah kami ke jalan keselamatan. Lepaskanlah kami dari kegelapan dan bimbinglah kami menuju cahaya yang terang. Jauhkanlah kami dari segala kekejian baik yang lahir maupun yang batin. Berkatilah kami pada pendengaran kami, pada penglihatan kami, pada hati kami, pada istri-istri kami, pada keturunan kami. Terimalah tobat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Jadikanlah kami orang yang selalu mensyukuri nikmat Engkau serta memuji-Mu, karena pemberian nikmatmu itu dan sempurnakanlah nikmat-Mu itu atas kami. (Riwayat Abu Dawud)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 16-17


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (1)

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (1) secara umum menjelaskan tentang keutamaan berbakti kepada orang tua, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Berbakti yang dimaksud adalah berbuat baik kepada keduanya, sebab, mereka ada kunci bagi seorang anak untuk mendapatkan keridoan Allah Swt.

Kedudukan seorang ibu dalam beberapa riwayat lebih tinggi/utama dari sosok ayah. Ada beberapa alasan terkait hal itu, sebagaimana yang akan diurai dalam Tafsir Surah Ahqaf Ayat 15 (1) berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 12-14


Ayat 15 (1)

Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan Abu Bakar. Beliau termasuk orang yang beruntung karena beliau termasuk sahabat yang paling dekat dengan Nabi saw. Salah satu putri beliau, yaitu ‘Aisyah, adalah istri Rasulullah saw, dan kedua orang tuanya yaitu Abu Quhafah dan Ummul Khair binti Shakhar bin Amir telah masuk Islam, demikian pula anak-anak beliau yang lain dan saudara-saudaranya.

Beliau bertobat, bersyukur, dan berdoa kepada Allah karena memperoleh nikmat yang tiada tara.

Allah memerintahkan agar semua manusia berbuat baik kepada ibu-bapaknya, baik ketika keduanya masih hidup maupun telah meninggal dunia.

Berbuat baik ialah melakukan semua perbuatan yang baik sesuai dengan perintah agama. Berbuat baik kepada orang tua ialah menghormatinya, memelihara, dan memberi nafkah apabila ia sudah tidak mempunyai penghasilan lagi.

Sedangkan berbuat baik kepada kedua orang tua setelah meninggal dunia ialah selalu mendoakannya kepada Allah agar diberi pahala dan diampuni segala dosanya.

Berbuat baik kepada kedua orang tua termasuk amal yang tinggi nilainya di sisi Allah, sedangkan durhaka kepadanya termasuk perbuatan dosa besar.

Anak merupakan penerus kehidupan bagi kedua orang tuanya, cita-cita atau perbuatan yang tidak dapat dilakukan semasa hidupnya diharapkan dapat dilanjutkan oleh anaknya.

Oleh karena itu, anak juga merupakan harapan orang tuanya, bukan saja harapan sewaktu ia masih hidup, tetapi juga harapan setelah meninggal dunia.

Dalam hadis Rasulullah saw, diterangkan bahwa di antara amal yang tidak akan putus pahalanya diterima oleh manusia sekalipun ia telah meninggal dunia ialah doa dari anak-anaknya yang saleh yang selalu ditujukan untuk orang tuanya.

Rasulullah saw bersabda:

اِذَا مَاتَ الاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ . (رواه مسلم عن أبي هريرة)

Apabila manusia meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa orang tua hendaklah mendidik anaknya agar menjadi orang yang taat kepada Allah, suka beramal saleh, melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya.

Pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan pendidikan di sekolah, pendidikan di rumah, memberikan contoh yang baik, dan sebagainya. Hanya anak-anak yang saleh yang taat kepada Allah dan suka beramal saleh, yang dapat berbakti dan berdoa untuk orang tuanya.

Pada ayat ini, Allah menerangkan secara khusus mengapa orang harus berbuat baik kepada ibunya.

Pengkhususan itu menunjukkan bahwa ketika anak akan berbuat baik kepada orang tuanya, ibu harus didahulukan daripada ayah.

Sebab perhatian, pengorbanan, dan penderitaan ibu lebih besar dan lebih banyak dalam memelihara dan mendidik anak dibandingkan dengan perhatian, pengorbanan, dan penderitaan yang dialami oleh ayah. Di antara pengorbanan, perhatian, dan penderitaan ibu ialah:

  1. Ibu mengandung anak dalam keadaan penuh cobaan dan penderitaan. Semula dirasakan kandungan itu ringan, sekalipun telah mulai timbul perubahan-perubahan dalam dirinya, seperti makan tidak enak, perasaan gelisah, kadang-kadang mual, muntah, dan sebagainya. Semakin lama kandungan itu semakin berat. Bertambah berat kandungan itu bertambah berat pula cobaan yang ditanggung ibu, sampai saat-saat melahirkan. Hampir-hampir cobaan itu tidak tertanggungkan lagi, serasa nyawa akan putus.
  2. Setelah anak lahir, ibu memelihara dan menyusuinya. Masa mengandung dan menyusui ialah 30 bulan. Ayat Al-Qur’an menerangkan bahwa masa menyusui yang paling sempurna ialah dua tahun. Allah berfirman:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (al-Baqarah/2: 233)


Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’


Dalam ayat ini diterangkan bahwa masa menyusui dan hamil adalah 30 bulan. Hal ini berarti bahwa ibu harus menumpahkan perhatiannya selama masa hamil dan menyusui, yaitu 30 bulan.

Sehubungan dengan ayat ini, ada riwayat yang mengatakan bahwa seorang wanita melahirkan dalam masa kandungan enam bulan. Maka perkara itu diajukan kepada ‘Utsman bin ‘Affan, khalifah waktu itu. ‘Utsman bermaksud melakukan hukum had (merajam) karena wanita itu disangka telah berbuat zina lebih dahulu sebelum melakukan akad nikah.

Maka ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan pendapat kepada ‘Utsman dengan berkata, “Allah swt menyatakan bahwa masa menyusui itu dua tahun (24 bulan), dan dalam ayat ini dinyatakan bahwa masa mengandung dan masa menyusui 30 bulan.

Hal ini berarti bahwa masa hamil itu paling kurang 6 bulan. Berarti wanita tidak dapat dihukum rajam karena ia melahirkan dalam masa hamil yang ditentukan ayat.” Mendengar itu, ‘Utsman bin ‘Affan mengubah pendapatnya semula dan mengikuti pendapat ‘Ali bin Abi Thalib.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Apabila seorang wanita mengandung selama sembilan bulan, ia cukup menyusui anaknya selama 21 bulan, apabila ia mengandung 7 bulan, cukup ia menyusui anaknya 23 bulan, dan apabila ia mengandung 6 bulan ia menyusui anaknya selama 24 bulan.

Oleh karena itu, maka amat bijaksana kalau seorang anak disusui dengan air susu ibu (ASI), sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sesuai pula dengan tuntunan ilmu kedokteran, kecuali kalau karena keadaan terpaksa bisa diganti dengan susu produk lain.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 15 (2)


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 12-14

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Masih berkaitan dengan al-Qur’an, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 12-14 secara umum menerangkan tetang dua sikap berbeda dari orang yang beriman dan orang musyrik.

Suguhan pertama yang ditampilkan dalam Tafsir Surah Ahqaf Ayat 12-14 adalah argumen untuk membantah tuduhan orang musyrik yang menolak kebenaran al-Qur’an. Dalil khusus yang akan diutarakan disini adalah melalui kitab suci sebelumnya, yaitu Taurat, yang telah mengulas terlebih dahulu kebenaran al-Qur’an dan diutusnya Muhammad Saw.

Kedua, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 12-14 akan menerangkan tentang sikap orang beriman yang senantiasa taat kepada Allah, diantara bentuk ketaatan itu adalah istiqamah, yaitu sifat kontinuitas dalam ketaatan pada-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 11


Ayat 12

Ayat ini menolak tuduhan orang-orang musyrik terhadap Al-Qur’an dan membuktikan kebenarannya dengan mengatakan;

“Hai orang-orang kafir, kamu semua telah menyaksikan bahwa Allah telah menurunkan Taurat yang mengandung pokok-pokok agama yang dibawa oleh Nabi Musa dan sebagai rahmat bagi Bani Israil.”

“Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa mengisyaratkan kedatangan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir yang membawa Al-Qur’an yang berbahasa Arab, membenarkan kitab-kitab terdahulu yang diturunkan Allah agar dengan kitab itu ia memperingatkan semua manusia, memberi kabar gembira kepada orang-orang yang mengamalkan isinya, dan memperingatkan bahwa azab serta ancaman Allah akan menimpa orang-orang yang ingkar kepadanya.”

Sekalipun kitab Taurat yang ada sekarang telah banyak dinodai oleh tangan manusia, masih banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir yang paling sempurna.

Hal ini dapat dibaca dalam kitab Kejadian 13: 2, 3 ; 15; 16: 10, 12 dan masih banyak lagi. Dalam kitab Kejadian 21: 13, diterangkan kedatangan nabi yang paling besar dari keturunan Nabi Ismail, “Maka anak sahayamu itu pun akan aku jadikan suatu bangsa karena ia pun dari benihmu.”

Demikian juga dalam Kejadian 21: 13, “Bangunlah engkau, angkatlah budak itu, sokonglah dia karena aku hendak menjadikan dia suatu bangsa yang besar.”

Juga dalam kitab Kejadian 17: 20, “Maka akan hal Ismail itu pun telah kululuskan permintaanmu: bahwa sesungguhnya Aku telah memberkati akan dia dan membiarkan dia dan memperbanyak dia amat sangat dan dua belas orang raja akan berpencar daripadanya dan Aku akan menjadikan dia satu bangsa yang besar.”

Sudah tentu yang dimaksud ayat-ayat Taurat di atas adalah Nabi Muhammad. Nabi Musa dalam kitab Ulangan 18: 17-22 juga telah menyatakan kedatangan Nabi Muhammad saw:

Maka pada masa itu berfirmanlah Tuhan kepadaku (Musa). Benarlah kata mereka itu (Bani Israil). Bahwa Aku (Allah) akan menjadikan bagi mereka itu seorang Nabi dari antara segala saudaranya (yaitu dari Bani Ismail) yang seperti engkau (hai Musa), dan aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya dan dia akan mengatakan kepadanya segala yang Kusuruh akan dia.

Bahwa sesungguhnya barang siapa yang tiada mau mendengar akan segala firman-Ku yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku, niscaya Aku menurut orang itu kelak.


Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran


Tetapi yang melakukan dirinya dengan sombong dan mengatakan firman dengan nama-Ku, yang tiada Kusuruh katakan, atau yang berkata dengan nama dewa-dewa. Nabi itu akan mati dibunuh hukumnya.

Maka jikalau kamu kira berkata dalam hatimu demikian: Dengan apakah boleh kami ketahui akan perkataan itu bukannya firman Tuhan adanya.

Bahwa jikalau Nabi itu berkata demi nama Tuhan lalu orang dikatakannya tiada jadi atau tiada datang, yaitulah perkataan yang bukan firman Tuhan adanya, maka Nabi itu pun telah berkata dengan sombongnya, janganlah kamu takut akan dia.

Dalam ayat-ayat Taurat yang enam di atas terdapat beberapa isyarat yang dapat dijadikan dalil untuk menyatakan nubuwat tentang Nabi Muhammad.

Dari perkataan “seorang nabi dari antara segala saudaranya” menunjukkan bahwa orang yang dinubuwatkan oleh Tuhan itu akan datang dari saudara-saudara Bani Israil, bukan dari Bani Israil sendiri.

Adapun saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail (bangsa Arab) sebab Ismail adalah saudara tua dari Ishak, bapak dari Israil (Yakub). Dan Nabi Muhammad saw jelas berasal dari keturunan Ismail.

Kemudian kalimat “Yang seperti engkau” memberi pengertian bahwa nabi yang akan datang itu haruslah yang seperti Nabi Musa, maksudnya, nabi yang membawa agama baru seperti Musa. Seperti diketahui, Nabi Muhammad itulah yang membawa syariat baru (agama Islam) yang juga berlaku untuk Bani Israil.

Lalu diterangkan lagi bahwa Nabi itu tidak sombong dan tidak akan mati dibunuh. Muhammad saw, seperti dimaklumi, bukanlah orang yang sombong, baik sebelum menjadi nabi maupun setelah menjadi nabi.

Sebelum menjadi nabi beliau sudah disenangi masyarakatnya terbukti dengan gelar  al-Amin artinya “orang terpercaya”. Kalau beliau sombong, tentulah beliau tidak akan diberi gelar yang amat terpuji itu. Sesudah menjadi nabi, beliau justru lebih ramah.

Umat Nasrani mengakui nubuwat itu kepada Nabi Isa di samping mereka mengakui pula bahwa Isa mati terbunuh. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat nubuwat itu sendiri, sebab nabi yang dimaksud itu haruslah tidak mati terbunuh (tersalib atau sebab lain).

Itulah penegasan-penegasan yang diberikan para nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Semuanya diketahui oleh orang-orang kafir Mekah yang mengingkari kenabian Muhammad saw.

Ayat 13

Ayat ini menerangkan keadaan orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yaitu orang-orang yang mengakui dan mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian ia istikamah, yakni tetap dalam pengakuan itu, tidak dicampuri sedikit pun dengan perbuatan-perbuatan syirik.

Orang tersebut konsisten mengikuti garis yang telah ditentukan agama, mengikuti perintah Allah dengan sebenar-benarnya, dan menjauhi larangan-Nya. Maka orang yang semacam itu tidak ada suatu kekhawatiran dalam diri mereka di hari Kiamat, karena Allah menjamin keselamatan mereka.

Mereka tidak perlu bersedih terhadap apa yang mereka tinggalkan di dunia setelah wafat, begitu juga terhadap sesuatu yang luput dan hilang dari mereka selama hidup di dunia itu serta tidak ada penyesalan sedikit pun pada diri mereka.

Ayat 14

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah kemudian istikamah dalam keimanannya dengan melaksanakan ibadah dan perintah-perintah Allah, tetap bertawakal, dan menghindari larangan-larangan-Nya, akan memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat, yaitu menjadi penghuni surga dan kekal di dalamnya. Bagi mereka disediakan berbagai kenikmatan di surga, sebagai balasan atas amal saleh mereka di dunia.

Sikap istikamah setelah beriman dan melaksanakan ibadah kepada Allah merupakan hal yang penting dan sangat terpuji, sebagaimana hadis Nabi saw yang memerintahkan kepada kita semua:

قُلْ اٰمَنْتُ بِاللهِ فَاسْتَقِمْ. (رواه مسلم عن سفيان بن عبد الله الثقفي)

Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah,” lalu beristikamahlah. (Riwayat Muslim dari Sufyan bin ‘Abdullah ats-Tsaqafi)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 15 (1)