Beranda blog Halaman 187

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 7-10

0

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 7-10 berbicara tentang bai’at yang dilakukan oleh para sahabat kepada Rasulullah, sebagai ikrar kesetiaan mereka akan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sementara kaum munafik menyangka bahwa Nabi begitu terlena dengan Perjanjian Hudaibiyah hingga melupakan kerajaan besar seperti Persia dan Romawi. Berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 5-6


Ayat 7

Diriwayatkan bahwa setelah Perjanjian Hudaibiyyah, Ibnu Ubay berkata, “Apakah Muhammad mengira bahwa setelah terjadi perdamaian Hudaibiyyah, ia tidak mempunyai musuh lagi?

Bukankah masih ada kerajaan Persia dan Romawi?” Maka turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa Allah mempunyai tentara langit dan bumi, yang dapat mengalahkan tentara atau kekuatan apa pun jika Dia menghendakinya.

Orang-orang munafik dan orang-orang musyrik tidak akan dapat menantang kekuasaan dan kehendak Allah karena Dia mempunyai tentara yang kuat di langit dan di bumi, yang terdiri dari malaikat, jin, manusia, petir yang dahsyat, angin kencang, banjir, gempa yang dahsyat, dan sebagainya.

Semuanya itu dapat dikerahkan Allah kapan saja Dia kehendaki untuk menghancurkan orang-orang yang ingkar kepada-Nya.

Dalam ayat 4 telah diterangkan pula bahwa Allah mempunyai tentara di langit dan di bumi. Dalam ayat ini diulang lagi perkataan tersebut. Fungsinya ialah untuk menjelaskan bahwa Allah mempunyai tentara untuk menyampaikan rahmat dan menurunkan azab-Nya.

Ayat 4 menerangkan tentara yang menyampaikan nikmat, sedangkan ayat ini menerangkan tentara yang menurunkan azab.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah Mahaperkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan dan menandingi-Nya. Dia Maha-bijaksana melakukan segala macam tindakan sesuai dengan faedah dan manfaatnya.

Ayat 8

Allah menyatakan bahwa sesungguhnya Dia mengutus Muhammad sebagai saksi atas umatnya mengenai kebenaran Islam dan keberhasilan dakwah yang beliau kerjakan. Nabi bertugas menyampaikan agama Allah kepada semua manusia, serta menyampaikan kabar gembira kepada orang- orang yang mau mengikuti agama yang disampaikannya.

Mereka yang mengikuti ajakan Rasul akan diberi pahala yang berlipat ganda berupa surga di akhirat. Nabi juga bertugas memberikan peringatan kepada orang-orang yang mengingkari seruannya untuk mengikuti agama Allah bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai akibat dari keingkaran itu.


Baca Juga: Membaca Urgensi Konteks Al-Qur’an dari Tiga Karya Fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi


Ayat 9

Allah melakukan yang demikian agar manusia beriman kepada-Nya dan kepada Muhammad saw, sebagai rasul yang diutus-Nya; membela dan menegakkan agama-Nya dengan menyampaikan kepada manusia yang lain; mengagungkan-Nya dengan membesarkan nama-Nya; dan bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya pada setiap pagi dan petang.

Ayat 10

Ayat ini menerangkan pernyataan Allah terhadap baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw bahwa hal itu juga berarti mengadakan baiat kepada Allah. Baiat ialah suatu janji setia atau ikrar yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang berisi pengakuan untuk menaati seseorang misalnya karena ia diangkat menjadi pemimpin atau khalifah.

Yang dimaksud dengan baiat dalam ayat ini ialah Bai’atur Ridhwan yang terjadi di Hudaibiyyah yang dilakukan para sahabat di bawah pohon Samurah. Para sahabat waktu itu berjanji kepada Rasulullah saw bahwa mereka tidak akan lari dari medan pertempuran serta akan bertempur sampai titik darah penghabisan memerangi orang-orang musyrik Mekah, seandainya kabar yang disampaikan kepada mereka bahwa ‘Utsman bin ‘Affan yang diutus Rasulullah itu benar telah mati dibunuh orang musyrik Mekah.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Qatadah bahwa ia berkata kepada Sa’id bin al-Musayyab, “Berapa jumlah orang yang ikut Bai’atur-Ridhwan?” Sa’id menjawab, “Seribu lima ratus orang.” Ada pula yang berpendapat jumlahnya seribu empat ratus orang.

Dalam ayat ini, diterangkan cara baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw, yaitu dengan meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang-orang yang berjanji. Dalam posisi demikian, diucapkanlah kata baiat.

Maksud kalimat “tangan Allah di atas tangan mereka” ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah saw sama hukumnya dengan berjanji kepada Allah.

Tangan Allah dalam konteks ayat ini merupakan arti kiasan, karena Allah Mahasuci dari segala sifat yang menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu, ada ahli tafsir yang mengartikan tangan di sini dengan kekuasaan.

Kemudian diterangkan akibat yang akan dialami orang-orang yang mengingkari perjanjian itu, yaitu mereka akan memikul dosa yang besar. Dosa besar itu diberlakukan terhadap mereka karena tidak mau membaiat Nabi saw, sedangkan kaum Muslimin membaiat beliau secara pribadi.

Sebaliknya diterangkan pula pahala yang akan diperoleh orang-orang yang menepati baiatnya. Mereka akan memperoleh pahala yang berlipat ganda di akhirat dan tempat mereka adalah surga yang penuh dengan kenikmatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 11


Tafsir Surah Al-Fath Ayat 5-6

0

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 5-6 berbicara tentang nikmat yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman pasca Perjanjian Hudaibiyah, yaitu berupa ampunan atas segala dosa dan balasan berupa surga. Sebaliknya, Perjanjian Hudaibiyah menjadi peristiwa yang tidak berpihak pada orang-orang munafik, kenapa demikian? Berikut penjelasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 2-4


Ayat 5

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari bahwa Anas bin Malik bertanya kepada Rasulullah saw mengenai turunnya ayat 1 sampai dengan ayat 3 surah ini, dalam perjalanan pulang ke Medinah, setelah Perjanjian Hudaibiyyah.

Rasulullah saw berkata, “Sesungguhnya telah turun kepadaku ayat yang lebih aku suka daripada apa yang ada di permukaan bumi ini.” Kemudian beliau membacanya.

Para sahabat berkata, “Alangkah baiknya ya Rasulullah, sesungguhnya telah diterangkan apa yang akan dianugerahkan kepada engkau, tetapi apakah yang akan dianugerahkan Allah kepada kami?” Maka turunlah ayat ini, yang menerangkan anugerah yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman.

Kaum Muslimin yang membaiat Nabi Muhammad dan menerima Perjanjian Hudaibiyyah memperoleh tambahan nikmat dari Allah yang lebih besar lagi dengan menghapus dosa kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dan menyediakan tempat yang penuh kebahagiaan bagi mereka di surga. Hal itu merupakan kemenangan yang besar bagi mereka.

Ayat 6

Baiat kaum Muslimin kepada Nabi, dan penerimaan Perjanjian Hudaibiyyah, dijadikan Allah sebagai alasan untuk:

  1. Mengazab orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan, berupa kekalahan di dunia di samping timbulnya kebingungan, ketakutan, dan kesedihan pada diri mereka karena melihat kemenangan kaum Muslimin atas mereka, ditawannya sebagian mereka oleh orang-orang yang beriman, terbunuhnya sebagian keluarga mereka dalam peperangan, dan sebagainya.

Semula mereka menyangka pasti akan menang dan mengalahkan kaum Muslimin, bahkan sanggup membunuh semuanya. Mereka pada waktu itu yakin bahwa keadaan mereka lebih baik daripada keadaan kaum Muslimin. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya dan segala macam penyesalan mereka itu tidak ada gunanya.


Baca Juga: Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an


  1. Memurkai mereka sehingga kehidupan mereka celaka di dunia dan di akhirat.
  2. Melaknat mereka sehingga mereka tersiksa hidup di dunia.
  3. Memasukkan mereka ke dalam neraka Jahanam.;Dalam ayat ini, “orang-orang munafik” disebut lebih dahulu daripada “orang-orang musyrik”. Hikmahnya ialah untuk menekankan bahwa orang-orang munafik lebih banyak menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang beriman, dibandingkan dengan orang-orang musyrik.

Orang munafik merupakan musuh yang tidak tampak dan sukar dihadapi, sedangkan orang-orang musyrik adalah musuh yang tampak dengan jelas sehingga mudah menghadapinya. Sehubungan dengan sikap orang-orang munafik ini, Allah berfirman:

بَلْ ظَنَنْتُمْ اَنْ لَّنْ يَّنْقَلِبَ الرَّسُوْلُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ اِلٰٓى اَهْلِيْهِمْ اَبَدًا وَّزُيِّنَ ذٰلِكَ فِيْ قُلُوْبِكُمْ وَظَنَنْتُمْ ظَنَّ السَّوْءِۚ وَكُنْتُمْ قَوْمًاۢ  بُوْرًا   ١٢

Bahkan (semula) kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin sekali-kali tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka selama-lamanya dan dijadikan terasa indah yang demikian itu di dalam hatimu, dan kamu telah berprasangka dengan prasangka yang buruk, karena itu kamu menjadi kaum yang binasa. (al-Fath/48: 12)

Di samping bencana, orang-orang munafik dan orang-orang musyrik juga akan menerima kemurkaan Allah, dijauhkan dari rahmat-Nya, dan disediakan neraka Jahanam yang membakar hangus mereka di akhirat nanti. Neraka Jahanam itu adalah tempat paling buruk yang disediakan bagi mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 7-10


Tafsir Surah Al-Fath Ayat 2-4

0

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 2-4 menerangkan bahwa pasca terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, umat Islam semakin merasakan ketenangan, dan bisa lebih fokus untuk mensyiarkan ketauhidan Allah Swt tanpa mendapat hambatan dari kaum kafir Mekah. Disisi lain, ternyata Perjanjian Hudaibiyah adalah anugerah yang Allah berikan kepada Rasulullah dan umat-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2)


Ayat 2-3

Ayat ini menerangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah saw. Nikmat-nikmat itu ialah:

  1. Mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw yang dilakukan sebelum dan sesudah terjadi Perjanjian Hudaibiyyah. Tentu saja yang dimaksud dosa dalam ayat ini ialah yang tidak mengurangi atau merusak fungsi kenabiannya karena Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terpelihara dari perbuatan dosa besar.
  2. Tersebarnya agama Islam ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke beberapa daerah kerajaan Romawi. Hal itu menjadikan Rasulullah saw sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus persoalan agama dan juga sebagai kepala negara. Dalam sejarah, jarang terjadi hal yang demikian.

Di antara nabi dan rasul yang merangkap sebagai kepala negara, hanya Nabi Daud dan putra beliau, Nabi Sulaiman.

  1. Membimbing Rasulullah saw ke jalan yang lurus dan diridai-Nya.
  2. Menolong Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satu pun yang dapat menyerang dan membunuhnya.

Menurut Mujahid, Sufyan ats-Tsauri, Ibnu Jarir, al-Wahidi, dan beberapa ulama lain, yang dimaksud dengan memberi pengampunan dalam ayat ini ialah mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi rasul.

Az-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasysyaf, mengatakan, “Allah menjadikan penaklukan kota Mekah itu sebagai sebab bagi pengampunan dosa Muhammad, karena Allah menjadikannya sebagai penyebab Rasulullah mendapat empat hal, yaitu: pengampunan dosa, penyempurnaan nikmat, petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemenangan yang gemilang.”


Baca Juga: Biografi Al-Zamakhsyari: Sang Kreator Kitab Tafsir Al-Kasysyaf


Ayat 4

Allah menganugerahkan nikmat-Nya dengan menanamkan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman, terutama dalam hati para sahabat yang ikut bersama Rasulullah saw dalam Perjanjian Hudaibiyyah. Dengan ketenangan hati itu, para sahabat patuh kepada hukum Allah dan keputusan Rasul-Nya. Dengan ketenangan hati itu juga, Allah menambah iman para sahabat.

Imam al-Bukhari menetapkan kesimpulan berdasarkan ayat ini bahwa iman itu tidak sama kadarnya dalam setiap hati orang beriman, ada yang tebal, ada yang sedang, dan ada pula yang tipis. Di samping itu, iman dapat pula bertambah dan berkurang pada diri seseorang.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menurunkan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman ialah menghilangkan perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw tentang Perjanjian Hudaibiyyah.

Dengan timbulnya ketenangan hati, semua sahabat Nabi akhirnya mengikuti keputusan Rasulullah. Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Khatthab termasuk di antara sahabat yang tidak menyetujui Perjanjian Hudaibiyyah sehingga beliau berkata, “Bukankah kita pada jalan yang hak, sedangkan mereka di jalan yang batil?”

Dengan rahmat Allah, perbedaan pendapat itu hilang. Para sahabat menyadari kebenaran pendapat Rasulullah saw, termasuk ‘Umar bin Khatthab yang akhirnya menyetujui pendapat Rasululah.

Ayat ini dapat berarti umum dan dapat pula berarti khusus. Dalam arti umum, ayat ini berarti bahwa Allah akan menanamkan ketenangan hati, kesabaran, dan ketabahan bagi setiap orang yang beriman sehingga tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara mereka yang dapat menimbulkan perpecahan.

Hanya orang-orang yang kurang imannya saja yang mudah berselisih dengan orang yang beriman lainnya. Sedangkan arti khususnya adalah bahwa Allah menimbulkan ketenangan hati pada setiap orang yang bersama Rasulullah saw dalam menghadapi Perjanjian Hudaibiyyah. Arti khusus inilah yang dimaksud dalam ayat ini karena ini yang sesuai dengan sebab turunnya.

Allah menerangkan bahwa Dialah yang mengatur dan menguasai langit dan bumi. Dia mempunyai “tentara langit” dan “tentara bumi”, yang dapat melaksanakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu pun dari tentara-Nya yang mengingkari perintah-Nya.

Di antara “tentara-tentara” itu ada yang berupa malaikat, binatang, angin topan, gempa yang dahsyat, banjir, aneka rupa penyakit, dan sebagainya. Jika Allah menghendaki, Dia dapat menghancurkan segala sesuatu dengan satu macam tentara-Nya saja termasuk menghancurkan setan.

Tetapi Dia tidak berbuat demikian, bahkan Dia memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berjihad dan berperang di jalan-Nya. Semuanya itu ditetapkan sesuai dengan hikmah, tujuan, dan kemaslahatan yang diketahui-Nya, sedangkan manusia boleh jadi tidak mengetahuinya.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 5-6


 

Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12

0
Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam
Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam

Menjadi seorang istri yang baik untuk suaminya adalah suatu kewajiban. Bagi suami, hal itu juga merupakan suatu hadiah yang berharga dalam kehidupan rumah tangga. Sebab istri yang baik dan solehah adalah perhiasan yang menenangkan dan bahkan mengalahkan keindahan bidadari di surga. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua istri dapat bersikap sesuai harapan. Dengan begitu, adakah tipe istri yang dijelaskan dalam surah Al-Quran?

Baca juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa

Terkait dengan tipe-tipe istri, sejatinya Al-Qur’an menggambarkan beberapa model istri dengan kekhasannya masing-masing. Hal itu sebagaimana diungkapkan dalam QS. A-Tahrim [66]: 10-12 sebagai berikut.

ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱمۡرَأَتَ نُوحٖ وَٱمۡرَأَتَ لُوطٖۖ كَانَتَا تَحۡتَ عَبۡدَيۡنِ مِنۡ عِبَادِنَا صَٰلِحَيۡنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمۡ يُغۡنِيَا عَنۡهُمَا مِنَ ٱللَّهِ شَيۡ‍ٔٗا وَقِيلَ ٱدۡخُلَا ٱلنَّارَ مَعَ ٱلدَّٰخِلِينَ وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱمۡرَأَتَ فِرۡعَوۡنَ إِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ٱبۡنِ لِي عِندَكَ بَيۡتٗا فِي ٱلۡجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ وَمَرۡيَمَ ٱبۡنَتَ عِمۡرَٰنَ ٱلَّتِيٓ أَحۡصَنَتۡ فَرۡجَهَا فَنَفَخۡنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتۡ بِكَلِمَٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِۦ وَكَانَتۡ مِنَ ٱلۡقَٰنِتِينَ

Terjemah: “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”. Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim [66]: 10-12)

Tafsir Surah At-Tahrim Ayat 10-12

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah Swt. membuat perumpamaan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth untuk orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang Nabi dan Rasul yang selalu bersama keduanya siang dan malam, memberi makan kepada keduanya, mencampuri dan menggauli mereka dengan perlakuan yang baik. Namun keduanya berkhianat kepada suami-suami mereka dalam hal keimanan.

Mereka tidak sepakat untuk satu iman dengan mereka serta tidak memercayai risalah yang diemban keduanya. Maka akibat dari perbuatan mereka tersebut, mereka tidak akan dapat menolak petaka yang akan ditimpakan Allah kepada mereka.

Al-Qurthubi menambahkan bahwa pada ayat berikutnya, Allah juga mnjadikan istri Fir’aun (Asiyah binti Muzahim) perumpamaan bagi orang-orang yang beriman. Mengutip pendapat dari Yahya bin Salim berkata, “Allah menjadikan istri Fir’aun dan Maryam putri Imran sebagai perumpamaan untuk Aisyah dan Hafsah menyangkut pertentangan mereka, agar Aisyah dan Hafsah berpegang teguh pada ketaatan dan konsisten dalam agama Islam.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Wahbah Az-Zuhaili juga menjelaskan bahwa dalam ayat itu Allah Swt. membuat contoh, perumpamaan, dan permisalan bagi kaum Mukminin, yaitu dengan keadaan istri Fir’aun yang bernama Asiyah binti Muzahim a.s. dan sekaligus merupakan ‘ammah (bibi dari jalur bapak, saudara perempuan bapak) Nabi Musa a.s..

Ia beriman kepada Nabi Musa a.s. ketika mendengar kisah tongkat Nabi Musa a.s.. Fir’aun pun menyiksa dirinya dengan siksaan yang keras disebabkan keimanannya, namun siksaan yang diterimanya itu tiada sedikit pun membuat dirinya mundur dari keimanannya.

Melalui ayat itu, Allah menggambarkan keteguhan hati Asiyah yang tetap beriman kepada Allah melalui ajaran Nabi Musa meskipun ia hidup bersama musuh Allah yaitu Fir’aun suaminya sendiri. Hingga ia diketahui beriman kepada Allah dan Fir’aun menyiksanya, ia tetap sabar dalam menjalani siksaan tersebut.

Allah Swt. juga membuat contoh, perumpamaan, dan permisalan bagi orang-orang yang beriman, dengan Maryam binti ‘lmran a.s. Ibunda Nabi Isa a.s.. Allah Swt. memberinya kombinasi antara kemuliaan dunia dan akhirat, serta menjadikannya sebagai perempuan pilihan melebihi seluruh kaum perempuan dunia pada masanya kala itu.

Padahal ia hidup di tengah-tengah kaum pendurhaka. Ia memelihara kemaluannya dari kaum laki-laki dan dari perbuatan-perbuatan keji sehingga ia menjadi contoh dan teladan dalam hal ke’iffihan (menjaga kehormatan) dan kesucian. Meski ia tidak memiliki suami, tetapi hal itu adalah teladan yang semestinya dilakukan oleh para istri untuk senantiasa menjaga kesucian dan kehormatan mereka dari lelaki lain yang bukan suaminya.

Baca juga: Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Al-Qur’an

Melalui ayat di atas, setidaknya terdapat tiga tipe istri yang digambarkan Allah di dalam Al-Qur’an. Pertama, istri yang durhaka dan tidak taat terhadap suaminya, padahal suaminya telah memperlakukannya dengan sangat baik. Namun karena keingkarannya terhadap Allah menjadikan ia berubah dan tidak mau mengikuti suaminya.

Tipe yang pertama ini nampaknya juga banyak terjadi di masyarakat. Ada istri-istri yang rela bercerai dan meninggalkan suaminya karena hal-hal yang membuatnya tidak leluasa. Misalnya dilarang melakukan hal-hal yang disukainya sebab itu melangar perintah agama.

Kedua, tipe istri yang senantiasa taat pada perintah Allah. Tipe istri ini menunjukkan keteguhan iman yang sangat kuat sebagaimana Asiyah istri Fir’aun yang menjaga keimanannya kepada Allah, walaupun suaminya menentang hal tersebut. Istri seperti inilah yang seharusnya dijadikan figur bagi para istri dalam keluarga.

Seorang istri semestinya tetap berada pada jalan Allah, meski suaminya tidak demikian. Artinya seorang istri harus dapat memfilter hal-hal yang diperintahkan suaminya. Jika bertentangan dengan perintah Allah, maka tidak usah dilakukan bahkan istri harus memperingatkan suaminya jika ada perbuatan salah yang dilakukan.

Ketiga, tipe istri yang senantiasa menjaga kehormatannya sebagaimana Siti Maryam yang menjaga kesucian dan kehormatan meski saat itu ia hidup ditengah para pendurhaka. Teladan ini menjadi contoh bagi para istri untuk tetap menjaga muru’ah dan kesucian dirinya untuk para suami. Jika Siti Maryam yang tidak bersuami saja dapat menjaga, maka semestinya para istri yang mempunyai suami justru mempunyai kewajiban yang lebih besar.

Baca juga: Ini 2 Cara Ulama Memahami Kata-Kata Ambigu dalam Al-Qur’an

Demikian Al-Qur’an dalam surah At-Tahrim ayat 10-12 di atas menggambarkan tipe-tipe istri yang patut tidak diikuti dan yang patut diikuti. Tipe yang tidak patut diikuti adalah istri Nabi Nuh dan Nabi Luth yang durhaka, sedangkan tipe yang patut diikuti adalah istri Fir’aun yang senantiasa taat kepada Allah dan percontohan Siti Maryam dalam menjaga kesucian yang harus diikuti oleh para istri. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2)

0

Sebelumnya telah diterangkan tentang awal mula terjadinya peristiwa penaklukan Mekah dan Perjanjian Hudaibiyah. Adapun berikut, Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2) berbicara tentang isi dari perjanjian tersebut.

Perjanjian Hudaibiyah adalah peristiwa besar dalam sejarah Islam yang masih terekam hingga saat ini. Dan bisa dikatakan bahwa peristiwa itu sebagai pintu awal yang semakin mengantarkan syiar Islam semakin meluas ke seantero dunia. Berikut penjelasan Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2).


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (1)


Ayat 1 (2)

Isi perdamaian itu ialah:

  1. Menghentikan peperangan selama 10 tahun.
  2. Setiap orang Quraisy yang datang kepada Rasulullah saw tanpa seizin wali yang mengurusnya, harus dikembalikan, tetapi setiap orang Islam yang datang kepada orang Quraisy, tidak dikembalikan kepada walinya.
  3. Kabilah-kabilah Arab boleh memilih antara mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin atau dengan orang musyrik Mekah. Sehubungan dengan ini, maka kabilah Khuza’ah memilih kaum Muslimin, sedangkan golongan Bani Bakr memilih kaum musyrik Mekah.
  4. Nabi Muhammad dan rombongan tidak boleh masuk Mekah pada tahun perjanjian itu dibuat, tetapi baru dibolehkan pada tahun berikutnya dalam masa tiga hari. Selama tiga hari itu, orang-orang Quraisy akan mengosongkan kota Mekah. Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata lengkap memasuki kota Mekah.

Setelah perjanjian itu, Rasulullah saw beserta kaum Muslimin kembali ke Medinah. Perjanjian perdamaian itu ditentang oleh sebagian sahabat karena mereka menganggap perjanjian itu merugikan kaum Muslimin dan lebih menguntungkan orang-orang musyrik Mekah.

Apabila dilihat sepintas lalu, memang benar anggapan sebagian para sahabat itu, seperti yang tersebut pada butir dua dan butir empat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa setiap orang musyrik yang datang kepada nabi tanpa seizin walinya harus dikembalikan, sebaliknya kalau orang Muslimin datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan.

Di samping itu, kaum Muslimin dilarang masuk kota Mekah pada tahun itu. Sekalipun dibolehkan pada tahun berikutnya, namun hanya dalam waktu tiga hari, sedang kota Mekah adalah kampung halaman mereka sendiri.

Pada waktu itu, kaum Muslimin merasa telah mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi dan mengalahkan orang-orang musyrik, mengapa tidak langsung saja memerangi mereka?

Lain halnya dengan Rasulullah saw dan para sahabat yang lain, yang memandangnya dari segi politik dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Sesuai dengan ilham dari Allah, beliau yakin bahwa perjanjian itu akan merupakan titik pangkal kemenangan yang akan diperoleh kaum Muslimin pada masa-masa yang akan datang.

Sekalipun butir dua dan empat dari perjanjian itu seakan-akan merugikan kaum Muslimin, beliau yakin bahwa tidak akan ada kaum Muslimin yang menjadi kafir kembali, karena mereka telah banyak mendapat ujian dari Tuhan mereka. Keyakinan beliau itu tergambar dalam sikap beliau setelah terjadinya perjanjian itu.

Jika dipelajari, maka apa yang diyakini oleh Rasulullah saw dapat dipahami, di antaranya ialah:

  1. Dengan adanya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti orang-orang musyrik Mekah secara tidak langsung telah mengakui secara de facto pemerintahan kaum Muslimin di Medinah. Selama ini, mereka menyatakan bahwa Nabi dan kaum Muslimin tidak lebih dari sekelompok pemberontak yang ingin memaksakan kehendaknya kepada mereka.
  2. Dengan dibolehkannya Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah pada tahun yang akan datang untuk melaksanakan ibadah di sekitar Ka’bah, terkandung pengertian bahwa orang-orang musyrik Mekah telah mengakui agama Islam sebagai agama yang berhak menggunakan Ka’bah sebagai rumah ibadah mereka dan hal ini juga berarti bahwa mereka telah mengakui agama Islam sebagai salah satu dari agama-agama yang ada di dunia.
  3. Dengan terjadinya perjanjian itu, berarti kaum Muslimin telah memperoleh jaminan keamanan dari orang-orang musyrik Mekah. Hal ini memungkinkan mereka menyusun dan membina masyarakat Islam dan melakukan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru tanah Arab, tanpa mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Mekah.

Baca Juga: Kata Ganti Jamak dalam al-Qur’an Tidak Selalu Bermakna Banyak, Ini Penjelasannya


Selama ini, setiap usaha Rasulullah saw selalu mendapat rintangan dan gangguan dari mereka. Sejak itu pula, Rasulullah dapat mengirim surat untuk mengajak raja-raja yang berada di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya untuk masuk Islam, seperti Kisra Persia, Muqauqis dari Mesir, Heraklius kaisar Romawi, raja Gassan, pembesar-pembesar Yaman, raja Najasyi (Negus) dari Ethiopia dan sebagainya.;

Pada tahun kedelapan Hijriah, orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah, sekutu kaum Muslimin. Dalam Perjanjian Hudaibiyyah disebutkan bahwa penyerangan kepada salah satu dari sekutu kaum Muslimin berarti penyerangan kepada kaum Muslimin.

Hal ini berarti bahwa pihak yang menyerang telah melanggar secara sepihak perjanjian yang telah dibuat. Oleh karena itu, pada tahun kedelapan Hijriah tanggal 10 Ramadan, berangkatlah Rasulullah bersama 10.000 kaum Muslimin menuju Mekah.

Setelah mendengar kedatangan kaum Muslimin dalam jumlah yang demikian besar, maka orang-orang Quraisy menjadi gentar dan takut, sehingga Abu Sufyan, pemimpin Quraisy waktu itu, segera menemui Rasulullah di luar kota Mekah. Ia menyatakan kepada Rasulullah saw bahwa ia dan seluruh kaumnya menyerahkan diri kepada beliau dan ia sendiri menyatakan masuk Islam saat itu juga.

Dengan pernyataan Abu Sufyan itu, maka Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan suasana aman, damai, dan tenteram, tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, sempurnalah kemenangan Rasulullah saw dan kaum Muslimin, yang terjadi dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah.

Sejak itu pula, agama Islam tersebar dengan mudah ke segala penjuru Jazirah Arab. Sejak itu pula, pemerintahan Islam mulai melebarkan sayapnya ke daerah-daerah yang dikuasai oleh negara-negara besar pada waktu itu, seperti daerah-daerah kerajaan Romawi dan kerajaan Persia.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 2-4


 

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (1)

0

Surah al-Fath merupakan surah ke 48 dalam al-Qur’an berdasarkan urutan mushafi, terdiri dari 29 ayat dan tergolong sebagai surah Madaniyah. Adapun Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (1) terkait penaklukan Mekah dan awal mula terjadinya peristiwa Hudaibiyah.

Ayat 1 (1)

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata “kemenangan” (fath) dalam ayat ini. Sebagian mereka berpendapat penaklukan Mekah. Ada yang berpendapat, penaklukan negeri-negeri yang waktu itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi, dan ada pula yang berpendapat, Perdamaian Hudaibiyyah. Kebanyakan ahli tafsir mengikuti pendapat terakhir ini. Di antaranya ialah:

  1. Menurut pendapat Ibnu ‘Abbas, kemenangan dalam ayat ini adalah Perdamaian Hudaibiyyah karena perdamaian itu menjadi sebab terjadinya penaklukan Mekah.
  2. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Kalian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini ialah penaklukan Mekah, sedangkan kami berpendapat Perdamaian Hudaibiyyah.

Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Surah al-Fath ini diturunkan pada suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Medinah, setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyyah, mulai dari permulaan sampai akhir surah.

  1. Az-Zuhri mengatakan, “Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah.”

Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah. Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan.

Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam.

Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah.

Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat kota Mekah. Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Mekah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan.

Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah.

Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.

Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyan al-Ka’b. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin.


Baca Juga: Tuntunan dalam Membangun Relasi Antar Umat Beragama


Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin. Mereka sedang berkumpul di ªi °uwa. Rasulullah saw lalu mengutus ‘Utsman bin ’Affan menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah ‘Utsman.

Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan ‘Utsman, tetapi ia tidak juga kunjung kembali. Hal itu terjadi karena ‘Utsman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa ‘Utsman telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy.

Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya. Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan hal itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir.

Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Anshri. Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai’atur-Ridhwan yang berarti “baiat yang diridai”.

Bai’atur-Ridhwan ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian ‘Utsman, sebagaimana yang mereka duga.

Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan ‘Utsman itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah saw. Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulhul-Hudaibiyyah).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Fath Ayat 1 (2)


Jaminan Dipermudah Mempelajari Al-Qur’an: Tafsir Surah Al-Qomar Ayat 17

0
Jaminan Dipermudah Mempelajari Al-Qur'an
Jaminan Dipermudah Mempelajari Al-Qur'an

Al-Quran secara umum mengandung hukum yang membimbing manusia untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa memahami apa yang terkandung dalam Al-Quran secara tepat bahkan banyak juga yang tidak tahu arti dari bacaan Al-Quran. Hal ini dilatar belakangi banyak faktor, diantaranya adalah kemampuan menguasai bahasa Arab, dan keterbatasan pemahaman mengenai kaidah-kaidah penafiran, seperti ‘am khos, mutlaq muqoiyad, naskh mansukh, mujmal mubaiyan. Lalu adakah jaminan dipermudah mempelajari Al-Qur’an bagi orang yang sungguh niat ingin memahami ilmu Al-Qur’an?

Baca juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa

Proses memahami kitab suci Al-Qur’an sangatlah tidak mudah, maka tak heran jika kesalahan pemahaman tentang kandungan ayat Al-Qur’an ini sudah terjadi sejak zaman sahabat dulu, seperti pemahaman sahabat Adī bin Ḥātim yang memahami ayat:

( أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ)

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Q.S. al-Baqarah (2): 187

Said Tantāwī dalam Tafsīr al-Wasīṭ menjelaskan bahwa sahabat  ‘Adī bin Ḥātim memahami makna al-khaid al-abyaḍ min al-khaid al-aswad adalah makna asli bahasa, yaitu benang putih dan benang hitam. Sampai akhirnya kejadian ini dilaporkan kepada Rasullah dan dijawab al-Qur’an dengan turunnya potongan ayat, yaitu min al-fajr yang memberi penjelasan bahwa yang dimaksud adalah dari terbitnya fajar sampai permulaan malam atau magrib.

Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa memahami Al-Qur’an dengan benar meskipun dia adalah sahabat. Untuk bisa memahami Al-Qur’an dengan baik maka harus menguasai kaidah-kaidah bahasa dan penafsiran. Kesulitan dalam memahami Al-Qur’an semakin dirasakan oleh umat Islam setelah Islam menyebar luas di berbagai daerah luar Arab. Faktor utama yang melatar belakangi permasalahan ini adalah keterbatasan orang non Arab dalam memahami bahasa Al-Quran yang mana menggunakan bahasa Arab. Dengan begitu, para ulama melakukan menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa mereka untuk menyebarkan nilai-nilai luhur al-Quran.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

Problem kesulitan dalam memahami Al-Qur’an yang dirasakan umat Islam ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai hakikat arti dari firman Allah:

( وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ)

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Q.S. al-Qamar (54): 17

Ayat ini disebutkan al-Quran sebayak 4 kali, yaitu di surat Q.S.al-Qomar (54): 17, 22, 32, 40. Dalam ilmu balagha pengulangan kalimat adalah berfaedah untuk menegaskan pernyataan. Selain itu dalam susunan kalimat ayat itu sendiri juga mengandung makna penegasan, yaitu terletak pada قد dan لام الابتداء. Setelah melihat realita yang ada, maka bisa dirumuskan maslah: apakah arti memudahkan Al-Qur’an di sini yang dimaksud adalah kemudahan mengucapkannya saja, atau juga memudahkan dalam memahaminya?.

Baca juga: Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

Tafsir Surah Al-Qomar ayat 17

( وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ)

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?. Q.S. al-Qamar (54): 17

يَسَّر secara bahasa adalah fi’il maḍi al-stulasi al-mazīd dengan ditambahi ‘ain fi’ilnya. Salah satu faedah stulasi mazid pada bab fi’il jenis ini adalah membuat fi’il lāzim (tidak membutuhkan objek) menjadi muta’adi (membutuhkan objek). Asal kata يَسَّرَ adalah يسر yang memiliki arti mudah, kemudian dipindah menjadi stulasi mazid dengan menambahkan ‘ain fi’ilnya, maka maknanya berubah menjadi memudahkan. Sedangkan الذِّكْرُ dalam Lisanul Arab memiliki arti الحِفْظُ للشيء تَذْكُرُه والذِّكْرُ أَيضاً الشيء يجري على اللسان والذِّكْرُ جَرْيُ الشيء على لسانك (menjaga sesuatu, sesuatu yang berkenaan dengan lisan, atau melakukan sesuatu dengan lisan)

Allah Mempermudah Bagi yang Mempelajari Al-Qur’an

Dari dua arti kata lafadz di atas bisa dipahami bahwasanya yang dimaksud وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ adalah Allah sungguh telah memudahkan al-Qur’an untuk dihafalkan dan diucapkan. Al-Samarqandī dalam kitab Baḥr al-‘Ulūm juga menafisirkan Allah telah memudahkan al-Qur`an untuk dihafal atau ada yang mengatakan Allah telah memudahkan al-Qur`an untuk dibaca.

Sedangkan Ṭanṭāwī dalam Tafsīr al-Wasīṭ menambahi al-Qur`an mudah dihafalkan bagi yang menginginkan. Lebih luas dari ini, al-Sta’labī dalam kitab al-Kasyaf Wa al-Bayān ‘An Tafsīr al-Qur`an memberi tiga wajh penafsiran,yaitu. Pertama, Allah memudahkan membaca al-Qur`an untuk semua lisan, dan ini termasuk mu’jizat al-Qur`an karena orang non Arab bisa membaca al-Qur`an seperti orang Arab. Kedua Allah memudahkan mengetahui isi al-Qur`an dan mengeluarkan hukum dari makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Pendapat ini diambil dari pendapat Muqātil. Ketiga Allah memudahkan Al-Quran untuk dihafalkan.

Baca juga: Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

Peluasan penafsiran yang dilakukan al-Sta’labī untuk wajh kedua, yaitu “Allah memudahkan mengetahui isi al-Qur`an dan mengeluarkan hukum dari makna yang terkandung dalam al-Qu`an”  jika diberlakukan untuk semua umat Islam kiranya belum bisa dipahami secara kontekstul untuk zaman sekarang, karena pada kenyataanya banyak sekali orang Islam yang tidak tahu kandungan al-Qur`an. Penafsiran al-Sta’labī untuk wajh kedua ini bisa diartikan khusus untuk orang-orang yang serius mengkaji dan mempelajari al-Qur`an dan yang dikehendaki Allah. Hal ini senada dengan penafsiran ibn Kaṭīr dalam kitabnya Tafsīr al-Qur`an al-`aẓīm yang mengatakan “Kami telah memudahkan lafadz Al-Qur’an, dan kami memudahkan makna Al-Qur’an bagi orang yang Allah kehendaki”. Tafsir ibn Kaṭīr dengan jelas mengatakan bahwasanya memudahkan memahami makna Al-Qur’an dengan syarat bagi yang Allah kehendaki.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya yang dimaksud وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ adalah Allah memudahkan Al-Qur’an dalam segi bacaan, untuk dihafal dan juga dipahami maknanya bagi mereka yang ingin berusaha mempelajari dan dikehendaki Allah.

Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa

0
Bertaubat
Bertaubat

Bertaubat merupakan salah satu kunci penting yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupan ini. Sebab, setiap manusia mempunyai kesalahan dan dosa. Kesalahan dan dosa itu terjadi akibat pelanggaran yang dilakukannya terhadap perintah Allah. Jika seseorang melanggar perintah Allah, maka dia berdosa.

Perbuatan dosa itu bisa muncul dari lidah, dari mata, dari tangan, dari kaki, dari pikiran, dan juga bisa muncul dari hati. Banyak pintu dari diri manusia yang terbuka untuk perbuatan dosa. Kata Rasulullah dalam salah satu hadisnya, “Setiap manusia pasti punya dosa. Tetapi, manusia yang paling baik yang telah melakukan dosa adalah manusia selalu memohon ampun kepada Allah dari dosa-dosanya itu.”

Di dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan manusia untuk bertaubat atas dosa-dosa mereka. Di antaranya terhadap di dalam QS. Hud [11]: 52:

وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ

“Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa”.

Di ayat yang lain Allah di dalam QS. Hud [11]: 90 Allah menyatakan:

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ

“Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”

Baca Juga: Kunci Kedua Menggapai Kebahagiaan: Memiliki Ilmu yang Luas

Taubat haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Tahrim [66]: 8: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Orang-orang yang melakukan tobat atas kesalahan dan dosa mereka adalah orang-orang yang beruntung dalam kehidupan mereka karena dosa-dosa mereka dihapus oleh Allah swt. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. al-Nur [24]: 31: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Rasulullah dalam hadis-hadis memerintahkan umatnya untuk selalu bertaubat kepada Allah atas dosa-dosa mereka. Hal ini antara lain dinyatakan oleh Allah dalamnya yang diriwayatkan oleh Ibn Majah: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata bahwa Rasulullah berkhutbah kepada kami. Beliau berkata: “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah sebelum engkau mati, segeralah melakukan amal shaleh sebelum engkau sibuk, dan sambunglah hubungan yang baik antara kalian dengan saudara kalian dengan memperbanyak sedekah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dan antara kalian dengan Tuhan kalian, dengan cara memperbanyak berzikir kepada-Nya. Dengan begitu, kalian akan dilimpahkan rezeki, diberi pertolongan, dan diberi keberkahan oleh Allah.”

Rasulullah menggabarkan bahwa beliau senantiasa memohon ampun beristighfar kepada Allah sebanyak 100 kali dalam sehari. Pada hal beliau adalah orang yng suci dari segala dosa. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mulsim, sebagai berikut: “Dari Ibn Umar, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Wahai manusia bertaubatlah kalian kepada Allah karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah 100 kali dalam sehari.” (HR Muslim).

Baca Juga: Kunci Ketujuh dan Kedelapan Menggapai Kebahagiaan: Menjaga Hubungan dengan Tuhan dan Alam

Rasulullah memerintahkan isterinya, Aisyah untuk bertaubat kepada Allah. Rasulullah menyatakan hal ini dalam sebuah hadis riwayat Bukhari sebagai berikut: “Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: … Kemudian, ya ‘Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku berita begini-begitu tentang engkau. Apabila engkau bersih (tidak berbuat dosa), Allah akan tetap memberishkan kamu, dan jika engkau mengetahui bahwa engkau mempunyai dosa maka mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah. Karena sesungguhnya seorang hamba, apabila ia mengakui dosanya, kemudian ia bertaubat kepada Allah, maka Allah akan mengampuni dosanya….” (HR Bukhari).

Orang yang mau bertaubat karena perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukannya, diancam oleh Allah bahwa kelak dia akan diazab dengan siksaan api nereka Jahanam. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Buruj [85]: 10: “Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”

Demikianlah penjelasan dari rangkaian artikel tentang kunci kebahagiaan yang ditutup dengan bertaubat sebagai kunci terakhir. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Hukum Makruh Berwudhu Dengan Air Musyammas

0
air musyammas
air musyammas

Beberapa ulama menjelaskan tentang hukum makruh berwudhu dengan air musyammas. Air Musyammas secara Bahasa adalah air yang bersuhu panas sebab terkena panas matahari. Dengan beberapa catatan khusus, sebagian ulama’ menyatakan makruh berwudhu dengan air tersebut. Hal ini seiring adanya sabda Nabi terkait air jenis seperti itu. Lalu benarkah air seperti itu dimakruhkan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini.

Definisi Air Musyammas

Imam Ar-Razi di sela-sela menjelaskan air yang dapat digunakan bersuci menjelaskan, bahwa beberapa ulama’ mazhab syafi’i menyatakan bahwa hukumnya makruh berwudhu dengan air yang sengaja dipanaskan dengan matahari. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Malik serta Ahmad yang menyatakan tidak adanya hukum makruh (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).

Imam Ar-Razi menyodorkan hadis yang menjadi dasar hukum dengan hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas dan berbunyi:

« من اغتسل بماء مشمس فأصابه وضع فلا يلومن إلا نفسه »

Barang siapa mandi dengan dengan air yang dipanaskan oleh sinar matahari lalu terkena sesuatu, maka janganlah ia mencaci kecuali pada dirinya sendiri (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).

Imam Al-Qurthubi tidak secara jelas menjelaskan tentang hukum air musyammas. Namun beliau sempat menyinggung adanya riwayat sahih bahwa Sahabat Umar ibn Khattab mandi dengan air yang dipanaskan dalam bejana. Ia juga menyinggung hadis yang dinilainya bermasalah dan menjadi dasar hukum makruhnya air musyammas. Hadis tersebut diriwayatkan dari Jabir dan berbunyi:

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا شَمَّسَتْ مَاءً لِرَسُولِ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} ، فَقَالَ النَّبِيُّ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} : ” لَا تَفْعَلِي يَا حُمَيْرَا فَإِنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ “

Sesungguhnya ‘Aisyah memanaskan air untuk Rasulullah. Lalu Nabi bersabda: “Jangan berbuat seperti itu, hai ‘Aisyah. Hal itu bisa menyebabkan penyakit kusta (HR. Al-Baihaqi).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Bekas Jilatan Anjing?

Berdasar hadis di atas, ulama’ dari kalangan mazhab syafi’i yang salah satunya adalah Imam Mawardi menyatakan, hukumnya makruh berwudhu dengan air musyammas. Yang dimaksud air musyammas adalah air dalam wadah yang kemudian terkena panas matahari. Bukan air di laut, sumur, dan sebagainya yang terkena panas matahari kemudian menjadi panas. Imam Mawardi juga menjelaskan berbagai pendapat ulama’ mengenai hukum makruh menggunakan air musyammas.

Ada yang menyatakan kemakruhan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah diantaranya Makkah dan Madinah, tetapi ada pula yang menyatakan secara umum. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa hukum makruh berlaku pada penggunaan langsung ke tubuh, entah itu dengan tujuan ibadah atau tidak. Sedang penggunaan untuk selain langsung ke tubuh, semisal untuk mencuci baju, maka tidak makruh. Selain itu, beberapa ulama’ juga menyatakan bahwa hukum makruh air musyammas menjadi hilang dengan hilangnya hawa panas dari air tersebut (Al-Hawi Al-Kabir/1/53).

Pendapat Imam An-Nawawi

Yang menarik dari permasalahan air musyammas ini adalah pendapat Imam An-Nawawi; seorang pakar perbandingan mazhab dari kalangan mazhab syafi’i dan sekaligus diakui memiliki kapasitas menilai dan mengkoreksi pendapat ulama’ sebelumnya. Imam An-Nawawi menilai bahwa hadis yang menjadi dasar hukum makruhnya air musyammas adalah hadis lemah. Ia menyatakan bahwa ahli hadis sepakat bahwa hadis yang disampaikan Imam Al-Qurthubi di atas dan diriwayatkan dari Jabir adalah hadis lemah.

Imam An-Nawawi juga menyatakan, pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada hukum makruh dalam air musyammas dan dinilai lemah oleh beberapa ulama’ mazhab syafi’i, justru itu adalah pendapat yang benar dan sesuai dengan kaidah penggalian hukum yang ditetapkan oleh Imam Syafi’i. Sebab hukum makruh tidak memiliki dasar sama sekali.

Imam Syafi’i sendiri tatkala mengomentari surat Al-Furqan ayat 48 menyatakan: “Setiap air baik itu air laut yang asin, air tawar, air sumur, air hujan, air embun, air salju, entah itu dipanaskan atau tidak, hukumnya sama. Bersuci dengannya diperbolehkan. Dan aku tidak menghukumi makruh air musyammas kecuali sebab unsur kedokteran. Karena Umar tidak menyukai hal itu (Tafsir Imam Syafi’i/3/1157).

Baca Juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Ucapan Imam Syafi’i tersebut difahami oleh Imam An-Nawawi bukan sebagai keputusan hukum makruhnya air musyammas, tetapi hanya pemberitahuan bahwa kemakruhannya bergantung pada komentar para dokter. Dimana bila mereka menyatakan bahwa air tersebut tidak berbahaya, dan memang demikianlah adanya menurut Imam An-Nawawi berdasar keterangan para dokter, maka tidak ada hukum makruh (Al-Majmu’/1/87).

Dari berbagai kesimpulan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mayoritas ulama meyakini tidak ada hukum makruh dalam air musyammas. Bagi yang menyakini hukum makruh, kemakruhan tersebut hanya berlaku pada air pada sebuah wadah yang kemudian dipanaskan dengan panas matahari. Tidak berlaku secara mutlak untuk setiap air yang terkena panas matahari. Wallahu a’lam bish showab.

Sanggahan Terhadap Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg: Problematika Pembacaan Ulang Al-Qur’an Menggunakan Bahasa Syiriak-Aramaik

0
Sanggahan Terhadap Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg
Sanggahan Terhadap Pandangan Orientalis Christoph Luxenberg

Kajian studi Al-Qur’an beserta disiplin ilmu yang menopangnya semakin hari semakin menarik untuk dikaji, tidak hanya umat Islam, pun demikian bagi para pemerhati Islam di Barat. Hal ini, selain karena Al-Qur’an menjadi kitab suci yang diyakini bersumber dari wahyu sekaligus pedoman bagi pemeluknya, juga karena Al-Qur’an menyisakan banyak misteri yang membuat para Orientalis tertarik dan tertantang untuk mengkajinya. Salah satunya ialah pandangan orientalis Christoph Luxenberg terhadap kajian linguistik Al-Qur’an. Sehubungan dengan itu, penulis hendak menyajikan bagaimana linguistik Al-Qur’an dalam pandangan Christoph Luxenberg dan bantahan pengkaji keislaman atas kajian tersebut.

Selayang Pandang tentang Christoph Luxenberg

Christoph Luxenberg ialah satu diantara orientalis yang tertarik mengkaji Al-Quran. Luxenberg sendiri merupakan nama samaran dari Ephraem Malki. Adapun alasan Luxenberg menggunakan nama samaran menjadi Christoph Luxenberg ialah agar menjaga dirinya dari berbagai bahaya. Ia merupakan warga negara Jerman yang berasal dari Lebanon, penganut fanatik Kristian (Syriac Orthodox), memperoleh gelar M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik. Pada 28 Mei 2003 yang lalu ia sempat dijemput memberikan syarahan di Universitat des Saarlandes berkenaan pengaruh bahasa Aramaik ke atas bahasa al-Qur’an (Der Einfluss des Aramaischen auf die Sprache des Korans). Di samping bertugas sebagai pensyarah, ia juga aktif menulis dan memberikan interview untuk media masa.(Syamsudin Arif, 2005).

Baca juga: Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

Pemikiran Christoph Luxenberg Terhadap Linguistik Al-Quran

Dalam bukunya yang telah diterjemah ke dalam bahasa Inggris yang bertajuk The Syro-Aramaic Reading of The Quran: A Contribution to the Decoding of the Quranic Language (Cara Membaca al-Qur’an dengan bahasa Syiriak-Aramaik: Sebuah Sumbangsih Upaya Pemecahan Kesulitan Memahami Bahasa Al-Qur’an), Luxenberg kemudian melontarkan kritik terhadap otentisitas bahasa Al-Quran. Menurutnya, ada banyak hal yang harus direkonstruksi dan diulik kembali dalam Al-Quran, yakni mengenai asal bahasa Al-Quran. Baginya, bahasa asli Al-Qur’an bukanlah berbahasa arab melainkan banyak dipengaruhi oleh bahasa Syiriak-Aramaik. Metode pengkajian Luxenberg ini sebenarnya bukan produk baru. Sebelumnya, Abraham Geiger juga pernah melakukan pengkajian yang sama melalui bukunya yang berjudul “Was hat Muhammed aus dem Judenthume Aufgenommen?”.

Jika ditelisik lebih dalam, pemikiran Luxenberg dan Geiger memang memiliki kesamaan, sebab idenya sama-sama berangkat dari pendekatan kritik sumber (source-critical approach). Sehubungan dengan itu, pendekatan ini sukses diaplikasikan pada Teks Injil dan Perjanjian Baru, atas dasar itu maka Luxenberg berinisiatif mengaplikasikan pendekatan yang serupa terhadap Al-Quran. Melalui pendekatan ini, Luxenberg kemudian mengidentifikasi bahwa Al-Quran mengandung multi sumber yang berasal dari Pagan, Yahudi, Zoroastrian, Christian, Mandean, Manichean dan lain sebagainya. Luxenberg juga menilai terkait banyaknya kosa kata di dalam Al-Quran yang disalah artikan oleh para sarjana tafsir muslim sehingga menghasilkan makna-makna yang kabur. Karena berbagai kesalahan inilah kemudian Luxenberg dan beberapa pakar lainnya mencanangkan berbagai upaya untuk merekonstruksi Al-Quran agar terbebas dari segala keraguan dan kesukaran makna.

Baca juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Mengutip dari Adian Husaini, bahasa Syro-Aramaic atau Syiriak adalah bahasa komunikasi tulis di Timur Dekat mulai abad ke-2 sampai ke-7 Masehi. Bahasa Syiriak dialek Aramaik merupakan bahasa di kawasan Edessa, sebuah negara kota di Mesopotamia Atas. Bahasa ini menjadi media penyebaran budaya Syiriak ke wilayah Asia, Malabar dan bagian Timur Cina. Sampai munculnya Alquran.

Bahasa Syriak adalah media komunikasi yang luas dan penyebaran budaya Arameans, Arab, dan sebagian Persia. Budaya ini telah memproduksi literatur yang sangat kaya di Timur Dekat sejak abad ke-4, sampai digantikan oleh bahasa Arab pada abad ke-7 dan ke-8 M. Satu hal penting, menurut Luxenberg literatur the Syriac-Aramaic dan matrik budaya ketika itu, praktis merupakan literatur dan budaya Kristen. Sebagian studi Luxenberg menyatakan bahwa literatur Syiriak lah yang telah menciptakan tradisi Arab Tulis yang ditransmisikan melalui media Kristen.

Adanya perbedaan-perbedaan bacaan dalam Al-Qur’an menjadi faktor munculnya pertanyaan seputar belum sempurnanya bahasa Arab sebagai bahasa tulis. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi Luxenberg menggunakan analisis filologis bahasa Syiriak dalam mengkaji bahasa Al-Qur’an. Agar para pembaca bukunya lebih yakin, Luxenberg kemudian menyisipkan beberapa contoh kata. Ia menyebutkan bahwa kata ( قران ) qur’an yang dipahami sebagai masdar dari qara’a atau qarana dianggap keliru. Baginya yang benar ialah qeryana (bahasa Syiriak-Aramaik) yang bermakna ajaran liturgi dari Injil Kuno.

Baca juga: Fungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

Contoh kata lainnya yang ia yakini bersumber dari bahasa Syiriak-Aramaik terdapat pada kata (قسورة ) “qaswarah” semestinya menjadi “qasuurah” (QS. Al-Mudassir [74]: 51), kata ( اذنك) “azannaka” semestinya menjadi “izzaka” (QS. Fussilat [41]: 47). Selanjutnya kata ( سربا) “saraba” semestinya menjadi “syarya” (QS. Al-Khafi [18]: 61).

Dari beberapa contoh kata yang telah disebutkan, Luxenberg seakan menopang asumsinya, bahwa Alquran bukan berbahasa Arab, akan tetapi “kekhilafan” penulisan dari bahasa Syiriak Aramaik. Lanjutnya, bagian Al-Qur’an yang diadopsi dari Syiriak-Aramaik tidak hanya kosa kata namun juga mencakup isi ajaran dari tradisi kitab Yahudi dan Kristen-Syria.

Dan Ia menyimpulkan Alquran tidak “cakap” dalam menggantikan dua ajaran yang datang lebih dulu darinya (ajaran Yahudi dan Kristen). Sehingga Al-Qur’an yang ada dihadapan kita sekarang tidaklah orisinal dan otentik. Maka hal ini perlu ditindak lanjuti dengan melakukan pengkajian ulang dan meng-edit kata-kata di dalam Al-Qur’an agar senada dengan bahasa Syiriak-Aramaik.

Kemudian Al-Quran dalam penyebarannya tidak melalui lisan tetapi tulisan. Hal ini dikarenakan banyaknya kesalahan baca yang ditemukan Luxenberg di dalam al-Quran yang jika tradisi ini memang ada, semestinya kesalahan tersebut sudah ditangguhkan sejak awal. Salah baca (misreading) ini berlanjut pada penyelewengan makna. Hal ini disebabkan pengenalan tanda baca harakat (vowel sign) dan penambahan tanda titik (diacritical point) dari yang sebelumnya dikemas berupa huruf gundul (original consonantal script). Asumsi-asumsi inilah yang kemudian memprakarsai Luxenberg untuk mengusulkan metode pembacaan ulang Al-Quran dengan menggunakan bahasa Syiria-Aramaik.

Baca juga: Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an (Perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan)

Sanggahan Atas Teori Luxenberg

Pembacaan ulang Luxenberg atas Al-Quran dengan bahasa Syiria-Aramaik membuahkan hasil yang sangat bertentangan dengan pandangan tradisional muslim dalam banyak hal, seperti ungkapan Al-Quran sangat terpengaruh ajaran Kristen Syiria-Aramaik, baik bahasa maupun teologis, lalu bahasa Al-Quran bukanlah Arab melainkan bahasa campuran Aramaik-Arab.

Kekeliruan pandangan Luxenberg juga terdapat pada kesimpulannya terkait qira’at dalam Al-Qur’an. Padahal media pengkajiannya bukan manuskrip gundul melainkan kitab suci Alquran yang sudah ditetapkan dan disepakati seluruh bacaannya. Tentu ini sebuah sikap ketidakbijakan Luxenberg yang tetap bersikeras mengubah bacaan Alquran.

Asumsi-asumsi inilah yang mendapat banyak sorotan dan kritik dari pengkaji Alquran baik sarjana Muslim maupun sarjana Barat. Salah satunya tokoh orientalis dari Jenewa yang bernama Dr. Tyler, beliau mengkritik pernyataan Luxenberg dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya, di dalamnya tidak saling bertentangan, memiliki sanad, sehingga tidak ada keraguan lagi pada lafadz Al-Qur’an yang bersumber dari Allah.

Teori Luxenberg ini merupakan pengandaiannya saja, menganggap bahwa Al-Qur’an sama dengan Bibel yang bisa diubah-ubah sesuai dengan nalar manusia. Bahasa Al-Qur’an memang bahasa Arab asli, jika memang ada kesamaan dengan bahasa Syiriak-Aramaik maka itu kebetulan saja. Kemiripan tidak selalu menunjukkan pada keterpengaruhan/pencurian kata. Metode ini tidak layak untuk diyakini, karena pada hakikatnya hanyalah sebagai jalan untuk meragukan autoriti dan keabsahan tradisi keilmuan Islam. Wallahua’lam bishawab