Beranda blog Halaman 188

Tiga Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur’an

0
Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur'an
Karakter Pemuda Ideal Menurut Al-Qur'an

Membaca bagaimana gerak laju para pemuda selalu menarik. Perubahan sosial dan dinamika masyarakat secara substansial biasanya tidak dapat luput dari serba-serbi aktivitas pemuda. Isu-isu hangat dan tren dewasa ini tentu sebagian besar merupakan implikasi pemuda dalam berbagai gelagatnya. Dalam Al-Qur’an ataupun hadis, banyak diungkapkan bagaimana karakteristik sebagai pemuda ideal menurut Al-Qur’an yang dapat dijadikan teladan bagi para pemuda.

Eksistensi dan peranan para pemuda sangat penting. Melalui merekalah perjalanan serta suksesi bangsa ini ditentukan. Bagaimana tidak, peran yang begitu besar oleh para pemuda nampak jelas apabila kita hendak menengok pada muka sejarah bangsa Indonesia, di mana mereka tercatat sebagai penggerak sekaligus penginisiasi satu peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa ini, yakni sumpah pemuda. Peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober 1928 dan diperingati setiap tahunnya ini merupakan buah dari kegigihan para pemuda yang hendak mengintegrasikan serta memperkuat kesadaran akan kebangsaan dan persatuan Indonesia. Oleh karenanya, tak salah apabila kita mengakui bahwa pemuda adalah agent of change.

Baca juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

Di antara sekian banyak karakteristik pemuda ideal dalam Al-Qur’an ialah sebagai berikut.

Beriman dan Beramal Saleh

 وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ ٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (Q.S. al-‘Asr [103]: 1-3)

Tafsir QS. Al-Asr [103]: 1-3 Tentang Urgensi Waktu Sebagai Sarana Untuk Beramal Saleh

Imam asy-Syafi’i dalam mukadimah kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi disebutkan bahwa beliau berkata, “Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya, kecuali surah ini, tentu itu sudah cukup bagi mereka.” Perkataan Imam Syafi’i ini mengindikasikan bahwasanya kandungan surat Al-Asr ini sarat akan makna untuk kita pelajari dan amalkan.

Prof. Quraish Shihab, penulis Tafsir al-Misbah (15, 587) menafsirkan surat di atas dengan menegaskan bahwa seluruh manusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam. Kemudian, pada ayat terakhir dalam surat al-‘Asr mengecualikan (tidak termasuk golongan yang merugi) bagi mereka yang melakukan empat kegiatan pokok, yakni: orang-orang yang beriman dan melakukan amalan-amalan yang saleh, yaitu yang bermanfaat, serta saling berwasiat tentang kebenaran, kesabaran, dan ketabahan.

Sementara itu, Ibnu Katsir (4, 675) menafsirkan illaladzîna âmanû wa ‘amilusshâlihât dengan mengecualikan (dari golongan yang merugi) yakni umat manusia yang beriman dengan hatinya dan mengerjakan amal saleh dengan anggota tubuhnya. Kemudian, lafaz wa tawâshau bilhaqq ditafsirkan dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan hal-hal terlarang. Setelah itu, lafaz wa tawâshau bishabr ditafsirkan dengan sabar terhadap musibah dan takdir, serta mencelakakan orang yang hendak mencelakakan orang lain, memerintahkan untuk berbuat baik (amar ma’rûf) dan melarang mereka berbuat mungkar (nahi munkar).

Baca juga: Fungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

Berwawasan Luas

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ١١

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11)

Tafsir QS. Al-Mujadalah [58]: 11 Tentang Urgensi Ilmu Pengetahuan Sebagai Perhiasan Diri

Prof. Quraish Shihab, penulis Tafsir al-Misbah (13, 491) menafsirkan ayat di atas dengan menekankan bahwasanya alladzîna ûtul ‘ilm berarti mereka (orang-orang) yang beriman dan menghiasi dirinya dengan pengetahuan. Menurut beliau, ayat ini membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar. Pertama, ialah mereka sekadar beriman dan beramal saleh. Kedua, orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Oleh karenanya, derajat kelompok kedua ini lebih tinggi, bukan saja karena nilai (value) ilmu yang ada padanya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain, baik secara verbal ataupun non-verbal (keteladanan). Ilmu pengetahuan yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama, melainkan ilmu apapun yang bermanfaat. Hal ini senada dengan hadis Nabi Muhammad Saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَمَنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ

Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a berkata: Salah satu doa yang biasa dipanjatkan Nabi Saw. adalah: Allahumma inni a’udhu bika min ‘ilmin la yanfa’u, wa mindu’a’in la yusma’u, wa min qalbin la yakhsha’u, wa min nafsin la tashba’u [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari doa yang tidak didengar, dari hati yang tidak takut (pada-Mu) dan dari jiwa yang tidak puas. (H.R. Ibnu Majah No. 250)

Berakhlak Mulia

وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا ٥٣

“Katakan kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (dan benar). Sesungguhnya setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 53)

Tafsir QS. Al-Isra’ [17]: 53 Tentang Urgensi Akhlak Mulia Melalui Bertutur Kata

Buya Hamka, penulis Tafsir al-Azhar (6, 4071-4073) menafsirkan bahwasanya ayat di atas merupakan pesan Allah SWT. yang disampaikan melalui perantara Rasul-Nya kepada orang-orang yang beriman. Kemudian Allah berkenan memanggil mereka (orang-orang yang beriman) dengan ungkapan, “hamba-hamba-Ku”, betapa lembutnya! Di mana itu merupakan panggilan yang menjadi kebanggaan mukmin diakui statusnya sebagai hamba Allah.

Lebih jauh, Hamka menjelaskan bahwa di dalam mengucapkan kata-kata, seyogyanya kita memilih dan memilah kata-kata yang lebih baik. Kalau ada beberapa kalimat yang serupa maksudnya, maka pilihlah kata-kata yang enak didengar telinga, yang menunjukkan sopan santun atas orang yang mengucapkannya, baik bercakap kepada sesama muslim ataupun selainnya. Sebab, menurut beliau terkadang kita sebagai manusia pada umumnya berucap dengan kata-kata yang tidak terpilih (spontan), di mana maksud ucapan tersebut boleh jadi baik pada mulanya, yaitu hendak mengajak orang lain kepada kebenaran. Akan tetapi, cara menyampaikannya keliru sehingga yang tadinya memiliki maksud mulia malah berakhir sebaliknya.

Baca juga: Kunci Kesebelas dan Keduabelas Menggapai Kebahagiaan: Bersabar dan Bersyukur

Pada intinya, ayat ini mengajak kepada kita untuk memilih kata-kata yang baik ketika hendak berucap. Sebab, kata-kata yang baik merupakan salah satu dari akhlak yang mulia.

Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa apabila seorang muslim, terutama para pemuda sebagai aset bangsa mampu mengamalkan nilai-nilai dan karakter pemuda ideal dalam Al-Qur’an dan hadis, yakni beriman dan beramal saleh, berwawasan luas, serta berakhlak mulia maka bukan tidak mungkin bangsa Indonesia ini akan menjadi bangsa yang makmur, sejahtera, serta mampu bersaing dengan negara lain dengan berlandaskan nilai-nilai luhur Islam. Wallahu a’lam[]

Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Al-Quran

0
semangat perjuangan pemuda ashabul kahfi
semangat perjuangan pemuda ashabul kahfi

Hari sumpah pemuda adalah momen berharga untuk menguatkan kembali jiwa kepemudaan. Mengingat, para pemuda menjadi tonggak bagi generasi di masa depan. Sehingga, para pemuda harus selalu memiliki jiwa besar, semangat juang dan keyakinan yang kukuh.

Pemuda di Indonesia sudah bersumpah dengan menjunjung nilai-nilai mulia. Mereka berkomitmen untuk menjaga tanah air, bangsa dan persatuan Indonesia. Tentu, janji ini harus dibuktikan dengan perbuatan konkrit di masa sekarang. Namun, untuk menyempurnakan makna hari peringatan sumpah pemuda, mari kita renungkan Kembali pesan dan kandungan surat Al-Kahfi di dalam Al-Qur’an. Surat ini merupakan surat yang memiliki beragam “gua-gua maknawi”. Satu dari sekian kedalaman maknawi itu adalah tentang kepemudaan.

Baca Juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara

Ashabul Kahfi; Sosoknya tidak pernah jelas, kisahnya sangat populer

Alkisah, ashabul kahfi adalah sekelompok pemuda yang lari dari kejaran rezim yang memaksa mereka pada kekafiran. Kemudian mereka melarikan diri ke gua untuk bersembunyi. Tidak diduga, mereka ditidurkan oleh Allah selama 309 tahun. Dalam masa yang lama itu mereka dijaga oleh Allah. Kemudian setelah zaman berganti mereka kembali terbangun dengan membawa keimanan. Mereka adalah tujuh pemuda yang berjuang menjaga keyakikan kepada Allah.

Berikut adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengkisahkan mereka dan sifat-sifatnya:

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Artinya: “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.”

Asy-Sya’rawi menjelaskan sekaligus menegaskan sosok ashabul kahfi. Ia menjelaskan bahwa kisah ini tidak menyebutkan bahwa ashabul kahfi adalah dari golongan tua yang sudah ringkih atau sekelompook perempuan. Akan tetapi mereka adalah para pemuda; mereka yang memiliki jiwa dan spirit muda. Selain itu, mereka adalah orang yang beriman kepada Allah. (Tafsir Surah Al-Kahfi)

Sementara Quraish Shihab menegaskan, bahwa Allah memantapkan keimanan mereka karena semangat kepemudaan yang berada dalam jiwa mereka. Khususnya tatkala mereka mempertahankan keyakinan mereka di hadapan kaum atau penguasa. Mereka tampil berdiri tanpa keraguan sedikitpun dan berkata, “Tuhan kami adalah Tuhan Pencipta dan Pemelihara langit dan bumi, Dia adalah Yang Maha Esa; kami sekali-kali tidak menyeru satu tuhan pun dan menyembah selain-Nya, sesungguhnya kami kalau demikian, yakni kalau menyeru dan menyembah selain Allah Yang Maha Esa itu, maka kami telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran.” (Tafsir Al-Misbah)

Baca Juga: Ashabul Kahfi: Representasi Perjuangan Pemuda dalam Al-Quran

Semangat Juang Ashabul Kahfi

Setelah melihat keteguhan dan keimanan pemuda ashabul kahfi, ayat berikutnya menjelaskan semangat juang mereka, yaitu ayat 16:

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقً

Artinya: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.”

Semangat juang para pemuda ini dijelaskan oleh Abdurahman As-Sa’di dalam tafsirnya. Mereka rela mengasingkan diri ke gua; yaitu sebuah lubang di antara gunung untuk bersembunyi. Tak hanya itu, mereka dengan mantapnya lari, betapapun tak mengerti apakah itu tempat yang aman atau tidak. Namun, mereka berjuang menuju gua dengan membawa agama dan keyakinan mereka. (Tafsir As-Sa’di)

Yang menarik adalah penjelasan dari Asy-Sya’rawi. Menurutnya, para ashabul kahfi dengan semangat juang dan kemantapan iman tidak pernah diungkap siapa mereka di dalam Al-Qur’an. Hal ini memberi hikmah yang luar biasa. Baginya, kisah di dalam Al-Qur’an tidak berbicara tentang siapa, akan tetapi tentang apa yang dilakukan.

Ia menegaskan, bahwa kisah ashabul kahfi adalah tentang pemuda yang lari, berjuang untuk menjaga keimanannya tetap terjaga dan teguh dalam hati. Untuk itu, tidak penting kita mencari siapa mereka, yang terpenting adalah kita meneladani sifat dan perbuatan mereka. Jika tidak, kita hanya akan berdebat dan membuang waktu. Sementara tujuan Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk untuk manusia. (Tafsir Surah Al-Kahfi)

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin ayat 23-25: Kisah Pemuda Mukmin Berakhir Indah

Hikmah Kisah Ashabul Kahfi

Melalui uraian di atas, ada hikmah yang dapat diambil. Pertama, pemuda sebagai simbol kekuatan. Artinya, pemuda adalah seorang yang berani melawan rezim yang zalim demi menjaga keimanan, keadilan dan kesejahteraan.

Kedua, semangat juang. Betapapun jalan perjuangan terasa berat, semangat juang pemuda tidak boleh padam, karena Allah akan memberikan rahmat dan petunjuk sebagaimana ashabul kahfi.

Adapun yang ketiga, tentang kontribusi pemuda. Ashabul kahfi tidak penting mereka siapa, namun yang penting adalah kontribusi mereka dalam menjaga keimanan. Melalui mereka, kita sebagai seorang pemuda tidak boleh minder tentang siapa dan berasal dari latar belakang siapa kita. Akan tetapi kita harus optimis terhadap apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat, tentu dengan kapasitas kemampuan kita.

Terakhir, semoga tulisan ini dapat memantik kembali jiwa muda kita. Agar tetap membara dan menjadi api yang terus mengiringi perjuangan. Mulai dari perjuangan melawan diri sendiri, hingga perjuangan melawan berbagai tindak kezaliman di level yang lebih besar. Selamat hari sumpah pemuda. Wallahu’alam bishawab.

Fungsi Al-Quran, Kitab Samawi yang Lain dan Cara Mendakwahkannya

0
fungsi Al-Quran dan kitab samawi yang lain
fungsi Al-Quran dan kitab samawi yang lain

Istilah kitab samawi merupakan sebutan yang dinisbatkan pada agama samawi. Agama samawi atau agama langit merupakan agama yang berdasarkan wahyu Tuhan. Istilah kitab samawi tidak lain merujuk pada pengertian tersebut; yang membedakannya adalah term ‘agama’ dan ‘kitab’-nya. Dengan demikian, kitab samawi adalah kitab yang menjadi rujukan empat agama samawi tersebut.

Kitab samawi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Quran. Kitab-kitab tersebut diturunkan kepada orang-orang pilihan Allah. Setelah kitab tersebut diturunkan dan diterima, maka langkah selanjutnya adalah membumikannya; atau dalam istilah umum mendakwahkannya. Tujuan utamanya adalah mefungsikan kitab tersebut sebagai pedoman dan rambu-rambu kehidupan.

Permasalahan ‘mendakawahkan’ semakin menemui problem yang kompleks setelah orang pilihan (Rasul) tersebut wafat. Penerusnya terkadang memberikan perubahan dan sisipan menurut kehendak nafsunya. Hanya Al-Qur’an yang dijamin kemurnian dan keabsahannya, baik dari segi konten atau kandungannya. Oleh karena itu, tulisan ini akan memberikan ulasan terkait dengan fungsi kitab-kitab samawi secara global. Kemudian, akan dibahas pula konsep untuk mendakwahkan dan sekaligus menjelaskan cara bersikap ketika kita dipercaya sebagai pendakwah.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Sebelum masuk lebih jauh, ayat yang mendasari tulisan ini adalah Q.S Al-Maidah [5]: 44. Ayat ini diturunkan kepada kaum Yahudi yang mengingkari hukum Taurat terkait dengan hukum pidana (lebih spesifik hukum rajam). Adapun maksud hukum di dalam ayat tersebut telah diuraikan oleh M. Najih Arromadloni. Perspektif lain mengatakan bahwa ayat tersebut dipandang sebagai ayat ideologi.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِن كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًاۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ  (٤٤)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Ada dua aliran dalam memberlakukan ayat tersebut; pertama, ayat itu dipandang sebagai ayat khusus untuk orang Yahudi; kedua, ayat yang berlaku umum. Dualisme tersebut menimbulkan efek yang berbeda. Apabila yang digunakan adalah perspektif pertama, maka ayat tersebut tidak berlaku untuk umat Muslim. Berbeda dengan yang pertama, dalam pandangan kedua umat Muslim ada di dalamnya, karena berlaku umum.

Tidak hanya berlaku pada vonis kafir tidaknya, keumuman tersebut berlaku juga pada kitab lain selain Taurat. Termasuk di dalamnya ada fungsi dan anjuran bagaimana untuk mendakwahkannya.

Baca Juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Fungsi kitab-kitab Allah dan aturan menyampaikan pesannya

Fungsi kitab-kitab Allah dalam ayat tersebut adalah sebagai petunjuk dan cahaya. Fakhruddin al-Razi penulis Tafsir al-Kabir (12, 365) menafsirkan, petunjuk (huda) dalam ayat di atas adalah sebagai penjelas hukum-hukum, syari’at, dan taklif (beban hukum); sedangkan cahaya (nur) mencakup tauhid, kenabian, dan tempat kembali (akhirat). Perbedaan makna tersebut merupakan dampak dari adanya hukum ma’thuf dan ma’thuf alaih.

Menurut Musthafa al-Maraghi, kitab Taurat sebagai petunjuk menuju kebenaran, sehingga Bani Israil dapat keluar dari penyembah patung murni (min watsaniyah al-mishriyyin) dan kesesatan. Sedangkan cahaya tersebut akan menampakan sesuatu dari kesesatannnya, sehingga mereka akan melihat jalan/cara tersendiri dalam urusan agama dan dunia (Tafsir al-Maraghi 6, 123).

Dua fungsi Taurat di atas pada hakikatnya berlaku pula pada kitab samawi secara umum, termasuk Al-Qur’an. Sebab, tidak ada kitab yang sumbernya dari Allah kecuali di dalamnya mengandung seruan untuk bertauhid, memperbaiki ibadah, dan menjaga urusan dunia.

Setidaknya ada tiga fungsi dari kitab samawi bagi umat manusia; pertama, untuk menjaga fitrah manusia dan sekaligus menguatkannya; kedua, menjaga ekosistem kehidupan dunia; ketiga, keseimbangan urusan dunia dan akhirat.

Akan tetapi, fungsi di atas seringkali tidak di indahkan oleh mereka yang mengajarkan pesan-pesan kitab-kitab Allah tersebut, terlebih sepeninggal Rasul pembawa kitab. Ayat di atas juga memberikan gambaran, bahwa setelah mereka diberikan kepercayaan untuk membumikan kitab Allah, mereka tidak takut kepada Allah; bahkan mereka ‘menukar’ ayat tesebut dengan bentuk materi.

Baca Juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Kalimat falā takhsyaw al-nās wakhsyawnī sebagai peringatan bahwa mereka menginginkan dan berharap adanya manfaat yang datang dari manusia, bukan dari Allah. Selain itu, mereka juga sering memperjual belikan kitab-kitab tersebut dengan harga yang sangat murah.

Al-Maraghi menafsirkan walā tasytarū biāyātī tsamanan qalīlā yang ada dalam ayat di atas dengan tidak memberi penjelasan, baik dalam bentuk teladan perbuatan maupun istibath dan hukum dari kitab tersebut, karena mereka merasa manfaat duniawinya sedikit. Dari pernyataan di atas, Allah secara tegas melarang kepada siapa saja yang menjadikan ayat-Nya sebagai alat tukar atau dijadikan media untuk meraup keuntungan dunia yang sedikit.

Bagaimanapun cara dakwahnya, dua konsep di atas harus dipegang kuat oleh pendakwah atau orang yang berilmu. Konsep tersebut sebagaimana yang tertuang dalam potongan ayat falā takhsyaw al-nās wakhsyawnī dan walā tasytarū biāyātī tsamanan qalīlā.

Ketika seseorang tidak mengindahkan peringan tersebut, maka mereka akan menyembunyikan dan bahkan meninggalkan ayat-ayat Allah yang tidak sesuai dengan kemauan dirinya atau kelompoknya. Memilih ayat yang sesuai menurut hawa nafsu dan menguntungkan kelompoknya sendiri tidal lain merupaka perbuatan yang tidak dibenarkan dalam konsep dakwah dan Islam. Padahal Nabi SAW telah memperingati, “sampaikanlah walaupun itu terasa pahit”.

Ayat dan penjelasan di atas berkesimpulan bahwa fungsi dari kitab-kitab Allah adalah sebagai petunjuk dan cahaya. Sedangkan dalam konsep mendakwahkannya meliputi empat butir; pertama, dakwah bukan karena keinginan nafsu dan manusia; kedua, harus memiliki rasa takut kepada Allah; ketiga, sampaikanlah sebagaimana fakta dan realita yang ada dalam kitab tersebut; keempat, dilarang keras tebang pilih hukum dan aturan yang ada dalam kitab tersebut, sehingga yang cocok disampaikan; yang tidak, disembunyikan. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Najiskah Air Bekas Jilatan Anjing?

0
Bekas Jilatan Anjing
Hukum Air Bekas Jilatan Anjing

Hidup diantara non muslim atau masyarakat perkotaan kadang memunculkan problem tersendiri terkait masalah najisnya air. Salah satunya adalah, bagaimana hukum air bekas jilatan anjing? Apakah benar najis sebagaimana hukum hewan yang menjilatinya? Sebab kadang ada anjing yang dipelihara tetangga meminum air di timba tempat penyimpanan air yang kebetulan di luar rumah. Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Hukum Air Bekas Jilatan Anjing

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menjelaskan, tatkala ada anjing menjilati air, maka ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum air tersebut. Imam Malik menyatakan bahwa wadah air tersebut dibasuh 7 kali, sedang airnya hukumnya suci serta tidak dapat digunakan berwudhu. Sedang ulama’ lain diantaranya Imam Abu Hanifah, Ahmad dan Syafi’i menyatakan bahwa anjing najis dan wadah bekas jilatan anjing harus dicuci sebab dianggap najis (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/45).

Sumber perbedaan pendapat tersebut bermuara salah satunya pada hukum anjing itu sendiri. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah meyakini bahwa anjing hukumnya najis. Selain itu, mayoritas ulama’ berpendapat, bahwa anjing membuat apa yang dijilatinya menjadi najis dan harus dibasuh 7 kali. Sedang Imam Malik meyakini bahwa anjing hukumnya suci (Al-Majmu’/2/567).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga?

Dasar yang dipakai ulama’ yang meyakini bahwa anjing najis adalah hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah:

« إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ »

Ketika anjing menjilati wadah salah seorang dari kalian, maka tumpahkan isinya dan basuh tujuh kali (HR. Imam Muslim).

Selain itu, Abu Hurairah juga meriwayatkan:

« طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ »

Kembali sucinya wadah salah seorang dari kalian ketika anjing menjilatinya, adalah dengan membasuhnya tujuh kali dan yang pertama dengan debu (HR. Imam Muslim).

Dari berbagai hadis di atas, ulama’ yang meyakini anjing najis menyatakan, andai kata anjing tidak najis tentu Nabi tidak memerintahkan menumpahkan isi wadah yang dijilatnya. Selain itu, di hadis di atas ada redaksi “sucinya” yang menunjukkan ada hukum najis sebelumnya.

Imam Malik meyakini bahwa perintah membasuh bekas jilatan anjing hanyalah sekedar ta’abbudi atau perintah yang tidak dapat difahami oleh akal alasannya, bukan karena najisnya anjing. Sedang dasar yang dipakai Imam Malik untuk menyatakan kesucian anjing salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan Abdullah ibn ‘Umar dan berbunyi:

كَانَتِ الْكِلاَبُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِى الْمَسْجِدِ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Anjing kecing dan mondar mandir dalam masjid di zaman Rasulullah -salallahualaihi wasallam-. Mereka tidak menyiram sedikitpun darinya (HR. Imam Bukhari).

 Imam Mawardi menyatakan, Imam Malik meyakini bahwa anjing hukumnya suci. Maka wadah yang dijilati beserta isinya hukumnya suci. Salah satu dasar yang dipakai adalah hukum bolehnya berburu dengan anjing. Apabila anjing najis, tentu ia bisa membuat najis hewan yang ia tangkap dengan mulutnya (Al-Hawi Al-Kabir/1/588).

Baca Juga: Hoax Makin Marak di Medsos, Ini Kiat-Kiat Menghindarinya dari Al-Quran

Meski Imam Malik meyakini bahwa anjing suci serta apa yang dijilatnya juga suci, tapi ia menganjurkan untuk membuang saja isi wadah yang dijilatinya kalau memang sekedar air. Sebab air dipandang sesuatu yang tidak begitu berharga. Dan hukumnya makruh menggunakan wadah serta air tersebut (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/45 dan Mausu’ah Fiqhil Islami/16).

Perlu diketahui bahwa pendapat bahwa anjing suci hanyalah salah satu pendapat yang dikenal dalam mazhab malikiyah. Pendapat yang lain dalam mazhab yang sama menyatakan bahwa anjing hukumnya najis. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili bahkan menganggap pendapat kedua sebagai pendapat yang unggul. Namun pendapat bahwa anjing suci tetaplah dapat dijadikan solusi di masyarakat yang kesulitan menjaga interaksinya dengan anjing (Al-Fiqhul Islami/1/286). Wallahu a’lam bish showab.

Kunci Kesebelas dan Keduabelas Menggapai Kebahagiaan: Bersabar dan Bersyukur

0
Sikap Sabar
Sikap Sabar dalam al-Quran

Kunci selanjutnya dalam menggapai kebahagiaan adalah bersabar. Allah Swt selalu menguji manusia dengan berbagai ujian dan musibah. Ujian Allah itu bermacam-macam. Manusia dalam kehidupannya di dunia ini selalu mendapatkan ujian. Ada ujian yang ringan, ada berat, dan ada pula yang sangat berat. Ujian itu datang dengan tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, dan bahkan tidak diketahui dari mana datangnya. Ujian yang bermacam-macam itu bisa berbentuk kekurangan, penderitaan, sakit, dan bahkan kematian. Allah telah menggambarkan ujian itu dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, di antaranya di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Di ayat yang lain Allah di dalam QS. Muhammad [47]: 31 Allah menyatakan:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.”

Untuk menghadapi semua ujian yang diberikan Allah itu, kita harus memiliki kunci. Kunci untuk menghadapi ujian itu adalah sabar. Oleh sebab itu, sabar menjadi salah satu kunci penting dalam menghadapi berbagai ujian, kesulitan dan musibah yang selalu menimpa itu. Bersabar adalah salah satu sikap yang diperintahkan oleh Allah. Allah menyatakan di dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 200: “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”

Di dalam QS. Luqman [31]: 17 Allah menyatakan: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

Dalam banyak hadisnya Rasulullah juga menyatakan pentingnya sikap sabar dalam menjalani kehidupan ini. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudhri di bawah ini menerangkan keutamaan sabar: “Dari Abu Sa’id al-Khudhri ra, ia berkata, aku diutus oleh kelaurgaku untuk mendatangi Rasulullah saw, aku meminta kepadanya makanan, lalu aku mendatangi Rasulullah saw, sementara beliau berkhutbah. Ketika itu aku mendengar beliau berkata: Siapa yang bersabar, Allah akan membuatnya menjadi sabar, siapa yang meminta menjadi kaya, Allah akan menjadikannya kaya, siapa yang meminta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, Allah akan menjauhkannya. Tidak ada rezeki yang diberikan Allah kepada seorang hamba yang lebih luas baginya kecuali kesebaran itu.” (HR Ahmad)

Setelah sabar dari segala ujian, kunci menggapai kebahagiaan berikutnya adalah bersyukur. Allah telah memberikan banyak nikmat kepada manusia. Nikmat begitu banyak sehingga tidak sanggup manusia untuk menghitung jumlahnya. Nikmat itu, ada pada dirinya, dan ada di luar dirinya. Semua kenikmatan yang dinikmati oleh manusia adalah nikmat Allah yang tidak terhingga. Manusia tinggal menikmati nikmat-nikmat itu. Atas nikmat-nikmat Allah itu, setiap manusia wajib bersyukur atas nikmat-nikmat itu. Bersyukur terhadap nikmat Allah akan menjadikan seseorang merasa puas, tidak sombong, dan tidak terlena dalam kenikmatan. Bahkan, jika manusia bersyukur atas nikma-nikmat Allah, maka Allah akan menambahkan baginya.

Banyak ayat Al-Qur’an yang berisi perintah dari Allah agar manusia menyatakan syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Di antaranya Allah menyatakan di dalam QS. al-Baqarah [2]: 152:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[rahmat dan ampunan-Ku kepadamu], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”

Di dalam QS. al-Baqarah [2]: 172: Allah menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”

Allah mengancam orang-orang yang tidak mau bersyukur atas nikmat-nikmat Allah dengan azab yang keras. Hal ini dinytakan oleh Allah di dalam QS. Ibrahim [14]: 7: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Rasulullah menggambarkan bahwa manusia harus bersyukur, tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada manusia. Rasulullah menyatakan: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata. Rasulullah saw telah bersabda: Seseorang yang tidak bersyukur kepada Allah tidak akan pernah bersyukur kepada sesama manusia. (HR Ahmad)

Demikianlah penjelasan mengenai kunci kesebelas dan keduabelas dalam menggapai kebahagiaan. Yaitu bersabar dari segala ujian dan bersyukur atas segala nikmat. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-ayat Hukum

0
Nalar Balaghah
Nalar Balaghah

Nalar Balaghah adalah aktivitas berpikir yang berangkat dari pemahaman dan pertimbangan aspek balaghah dalam menangkap pesan, kesan, keindahan dan rahasia kata, kalimat dan teks kebahasaan yang bernilai sastra. Artikel ini akan mengulas dan memberikan contoh bagaimana nalar balaghah berfungsi sebagai metodologi tafsir terutama dalam ayat-ayat hukum.

Obyek kajian nalar balaghah dalam berinteraksi dengan teks Al-Qur’an adalah diksi kata, pilihan frasa dan kalimat, susunan persandingan kata, taqdim wa ta’khir (tata urut peletakan kata) dan keserasian fashilah (kalimat penutup), dll

Dan dalam kaitannya dengan ayat-ayat hukum, nalar balaghah turut berperan dalam menyimpulkan beberapa hukum syar’i dari rahasia-rahasia ungkapan Al Qur’an.

Berikut ini adalah beberapa contoh pendekatan balaghah dalam menggali hukum dalam Al Qur’an berdasarkan beberapa fan balaghah

1- Al Muhtamil ad Dhiddain (mengandung dua makna yang berlawanan)

Contoh dalam Surat Al Baqarah ayat 228

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.”

Kata “qur’u” dalam ilmu balaghah bisa dimasukkan katagori “al muhtamil ad dhiddain” karena menunjuk pada dua makna yang berlawanan artinya, yaitu:

Makna pertama: haid, ini adalah makna yang dipilih oleh Imam Abu hanifah, sehingga mereka berpendapat bahwa iddah wanita yang diceraikan adalah tiga kali haid.

Makna kedua: suci, dan ini adalah makna yang dipilih oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i, sehingga mereka berpendapat bahwa Iddah wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci.

Perbedaan penafsiran kata ini menghiasi berbagai kitab tafsir khususnya tafsir ayat ahkam.

2- At Tankit (mengandung faidah atau rahasia ungkapan).

Contoh dalam Surah Al Baqarah ayat 229

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”

Penyebutan kata “marratani” mengandung sebuah faidah yang dalam ilmu balaghah bisa dimasukkan katagori “at tankiit”, faidah itu adalah tholaq yang dikeluarkan ini harus terjadi dalam waktu yang berbeda dan tidak boleh sekaligus, setidaknya inilah yang dipahami oleh fuqoha’ madhab Hanafi ketika memahami ayat ini, dan ini bisa dilihat dalam Ahkam al-Qur’an karya Imam al Jassas.

3- Majaz Aqli.

Contoh dalam Surah Al A’raf ayat 27

 كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ

“sebagaimana ia (setan) telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga”

Pada hakikatnya yang mengeluarkan nabi Adam dan Ibu Hawa dari surga adalah Allah, penisbatan kata kerja “akhraja” (mengeluarkan) kepada setan merupakan sebuah majaz aqli karena setan menjadi sebab dikeluarkannya mereka dari surga. Imam al Jasshas penganut madhab Hanafi berhujjah dengan ayat ini bahwa barang siapa yang bersumpah untuk tidak menjahit bajunya atau bersumpah untuk tidak memukul budaknya, lalu ia menyuruh orang lain memukulnya maka ia dianggap melanggar sumpah, begitu juga seumpama ia bersumpah tidak membangun rumahnya lalu ia menyuruh orang lain membangunnya, maka ia dianggap melanggar sumpahnya. Dalam hal ini ia berdalil dengan majaz aqly dalam ayat di atas.

4- Taqdim wa Ta’khir.

Contoh surah al Hajj ayat 27

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta yang kurus”

Tata urut penyebutan pejalan kaki sebelum penunggang hewan menegaskan bahwa pahala haji pejalan kaki lebih besar dibanding naik kendaraan karena tingkat kesulitan yang lebih berat, hal ini ditegaskan oleh Imam Ibnu al Arabi dalam Ahkam Al-Qur’an, lalu beliau menambahkan: “Hanya saja nabi Muhammad haji dengan menunggang unta bukan dengan berjalan, karena beliau (adalah panutan) jika ditiru oleh pengikutnya, maka mereka tidak akan mampu, dan jika mereka tidak mampu maka mereka merasa sedih dan merugi, sedangkan beliau sangat berbelas kasihan kepada kaum beriman”.

5- Iijaz bilhadzf (meringkas ungkapan dengan pola elipsis).

Contoh Surah Al-Baqarah ayat 184

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan …, maka … sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain.”

Dalam ungkapan singkat di atas telah terjadi proses elipsis dengan menghapus kalimat “lalu ia berbuka” dan kalimat “maka wajib baginya berpuasa”, Imam Baidhowi dalam tafsirnya mengatakan penghapusan beberapa kalimat ini karena itu maknanya sudah diketahui. Dan jika dibaca فَعِدَّةً (dengan fathah) maka yang dihapus adalah kalimat “maka hendaklah ia berpuasa” – sebanyak hari itu pada hari-hari yang lain.

6- Penggunaan isim nakirah.

Dalam menafsirkan ayat 184 Surah Al-baqarah di atas, Imam Alkiya Al Harasi juga menangkap isyarat hukum dalam penggunaan isim nakirah pada kata أَيَّامٍ, Beliau mengatakan penggunaan isim nakirah menunjukkan bahwa mengqadha puasa bisa dikerjakan secara runtut atau secara terpisah.

Demikianlah beberapa contoh hasil interaksi nalar balaghah dengan ayat-ayat Al Qur’an dalam pengambilan kesimpulan hukum. Wallahu A’lam.

Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!

0
Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!
Mari Berlomba dalam Kebaikan dan Sudahi Saling Klaim Kebenaran!

Menyambut kelahiran Nabi Muhammad seharusnya dirayakan dengan penuh kedamaian. Mengingat, Rasulullah adalah wujud nyata kasih sayang Allah untuk semesta alam. Namun, masih saja ada beberapa kalangan yang menodai perayaan semacam ini. Kemudian saling menyalahkan dan merasa diri paling benar.

Selain perayaan Maulid Nabi, masih banyak tema yang menjadi perdebatan dari tahun ke tahun. Seakan tidak ada tema yang lebih layak untuk dibicarakan demi kebaikan umat dan bangsa. Padahal, masih banyak kebaikan-kebaikan yang harus terus diupayakan sebagai bentuk khidmat kepada masyarakat dan bangsa.

Satu dari penyebab pertikaian semacam ini adalah klaim kebenaran. Kebenaran yang seharusnya menjadi modal untuk melakukan kebaikan, malah digunakan untuk menyalahkan dan merusak relasi antar golongan dan umat beragama. Tentu seharusnya kebenaran harus diolah agar menjadi kebaikan dan melahirkan keindahan.

Untuk menegaskan pentingnya kebaikan, berikut akan diuraikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk berlomba dalam kebaikan. Melalui ayat ini akan kita ambil beberapa hikmah yang menjadi penting dan relevan dalam mengelola kebenaran dan terus melakukan kebaikan.

Perintah Berlomba dalam Kebaikan

Terdapat dua perintah yang sama dalam dua ayat yang berbeda. Keduanya memerintahkan untuk kita menyibukkan diri berlomba dalam kebaikan. Berikut dua ayat tersebut beserta terjemahannya.

Surah Al-Baqarah ayat 147-148

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Baca juga: Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Qurasih Shihab menerangkan ayat ini perihal kebenaran dan kebaikan. Pertama, bahwa kebenaran hanya berasal dari Allah Sang Maha Benar. Kedua, ayat ini menjelaskan bahwa setiap umat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya, sesuai dengan kecenderungan dan keyakinan masing-masing. Jika mereka menghadap kiblat masing-masing dengan mengharap ridha Allah, maka umat Muslim tetap harus belomba dalam kebaikan dengan mereka. (Tafsir al-Misbah, jil. 1, hal. 355-356).

Asy-Sya’rawi menerangkan lebih lanjut, bahwa manusia memiliki ikhtiar masing-masing untuk memilih apa yang dia ingin perbuat. Namun, pada akhirnya setiap manusia dengan keyakinan masing-masing akan dinilai dari perbuatan baiknya kepada siapapun selama di dunia. Dengan catatan selama mengharap keridhaan Allah Swt. (Tafsir Asy-Sya’rawi, hal. 638).

Artinya, melalui penafsiran ini ada titik tekan dari Al-Qur’an untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Baik itu dengan yang satu keyakinan atau dengan keyakinan yang lain, mengingat setiap kelompok memiliki keyakinan beserta dalil-dalinya sendiri.

Sementara ayat berikutnya juga senada, namun dengan penjelasan tentang Allah yang tidak menghendaki hanya satu umat saja. Kemudian diakhiri dengan perintah berlomba-lomba dalam kebaikan. Ini tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 48:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Artinya: “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”

Berkaitan ayat ini, Makarim Syirazi menerangkan bahwa bagi masing-masing, Allah berikan aturan dan jalan yang terang. Kemudian Allah tidak menjadikan manusia menjadi umat yang satu, karena manusia memiliki potensi untuk memilih beragam jalan menuju Allah. Lalu, diperintahkan untuk berlomba dalam kebaikan. Karena tolok ukur kemanusiaan adalah bagaimana ia melakukan kebajikan dan kebaikan. (Tafsir Al-Amthal, jil. 4, hal. 27)

Quraish Shihab juga menegaskan bahwa kata “law/sekiranya” dalam firman-Nya (law syaallah), yang artinya “sekiranya Allah menghendaki”. Ini menunjukkan kemustahilan bahwa Allah menjadikan manusia satu pendapat, satu kecenderungan, dan satu keyakinan. Dimaksudkan agar manusia bebas memilah dan memilih, termasuk memilih keyakinan dan agama.

Lebih lanjut diterangkan bahwa, kebebasan memilah dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai. (Tafsir Al-Misbah, jil. 3, hal. 115-116).

Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran

Hikmah Ayat

Melalui dua ayat dan penjelasan di atas dapat kita ambil beberapa hikmah penting. Pertama, bahwa perbedaan menjadi niscaya dan tidak dapat dihindarkan. Lalu, Allah memang memberi kebebasan tanpa paksaan. Artinya, kita juga tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan kita.

Adapun yang Kedua, penekanan ayat ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan demikian, fokus kita harus pada kebaikan, bukan saling klaim kebenaran. Karena kebenaran hanya berasal dari Allah semata. Tugas kita sebagai manusia adalah terus berlomba dalam kebaikan, kepada siapapun dan di manapun kita berada.

Semoga dengan mengkaji dua ayat ini, dapat meluaskan pikiran kita, melapangkan dada kita untuk menerima perbedaan. Kemudian menyikapi perbedaan bukan dengan menyalahkan, akan tetapi dengan berlomba-lomba dalam kebaikan untuk meraih keridaan Allah.

Wallahu’alam bisahawab.

Baca juga: Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

Hoax Makin Marak di Medsos, Ini Kiat-Kiat Menghindarinya dari Al-Quran

0
Berita Hoax Makin Marak di Medsos, Ini Kiat-Kiat Menghindarinya dari Al-Quran
Berita Hoax Makin Marak di Medsos

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat memudahkan orang-orang dalam berkomunikasi. Asal terhubung dengan jaringan internet, akses komunikasi lewat platform media sosial pun bisa dinikmati seakan tanpa batas.

Tentu selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yang ikut mengiringi fenomena ini, seperti maraknya hoax atau berita bohong. Hoax bisa timbul karena berbagai macam faktor, seperti kebencian, kurangnya informasi mengenai fakta yang sesungguhnya, atau bahkan sebagai alat adu domba demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Sering pula lewat platform grup media sosial seperti Whatsapp, Telegram, Instagram, dan lainnya kita disuguhkan informasi yang sepotong-sepotong. Ditambah lagi misalnya, minimnya keterangan hingga memancing kecurigaan sampai saling tuduh, dan puncaknya adalah konflik sosial. Padahal bisa jadi informasi yang tersebar tidak benar dan itu mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Lantas bagaimana cara menangkal berita bohong atau hoax?

Mencari sumber informasi dan meminta klarifikasi

Al-Quran memberikan arahan kepada umat Islam agar tidak termakan kabar bohong, karena sebenarnya kabar bohong merupakan salah satu akar masalah dari timbulnya permusuhan. Kiat menghindari berita hoax sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 6;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ

Artinya: wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Wajiz (hal. 517) menjelaskan bahwa apabila orang beriman mendapati suatu berita penting dari orang-orang fasik maka jangan langsung diterima, namun hendaknya mencari informasi yang sebenarnya terjadi sebelum berita itu dapat mempengaruhi pikiran. Karena dikhawatirkan orang-orang yang beriman ikut terkena imbas buruk dari kabar bohong yang tersebar.

Ayat di atas turun berkaitan dengan Walid bin Uqbah bin Abi Mu’aith yang diutus Rasulullah saw kepada Bani Musthaliq sebagai orang kepercayaan beliau mengambil zakat hewan ternak. Saat mengetahui hal itu, mereka (orang-orang Bani Musthaliq) mendekati Uqbah, lalu dia merasa takut dengan mereka dan kembali. Uqbah lalu berkata: “Sesungguhnya kaum itu ingin membunuhku dan mencegah sedekah mereka.”

Mendengar hal itu, Rasulallah saw ingin menyerang mereka. Sebelum hal itu terjadi, datanglah utusan dari kaum itu dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah mendengar utusanmu. Kami hendak mendekatinya untuk memuliakannya dan mau melaksanakan apa yang dia (Uqbah) sampaikan, yaitu menunaikan sedekah (zakat).”

Dari penjelasan sebab turun ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa klarifikasi atas informasi yang simpang siur kejelasannya sangat dibutuhkan sebelum bertindak, bahkan Rasulullah saw ketika itu pun hampir saja mengambil keputusan yang salah akibat dari informasi yang keliru.

Dalam ayat yang lain (surah Al-Hajj ayat 30), Allah Swt menjelaskan larangan berkata dusta yang disandingkan dengan larangan menjauhi berhala-berhala;

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَٰتِ ٱللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ ٱلْأَنْعَٰمُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلرِّجْسَ مِنَ ٱلْأَوْثَٰنِ وَٱجْتَنِبُوا۟ قَوْلَ ٱلزُّورِ

Artinya: Demikianlah (perintah Allah) dan barangsiapa mengagungkan apa saja yang terhormat di sisi Allah, maka hal itu adalah baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, kecuali yang telah (jelas) diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.

Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita

Menghindari menyebarkan berita yang belum jelas

Berita hoax merupakan ancaman serius bagi ketenteraman kehidupan sosial. Tak jarang akibat berita bohong yang beredar, timbulah konflik, pertikaian, dan permusuhan. Oleh karena itu, cara selanjutnya agar terhindar, bahkan memutus berita bohong adalah dengan tidak ikut menyebarkan berita yang belum jelas keasliannya.

Dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 15 Allah Swt berfirman:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ

Artinya: Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun. Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.

Ayat di atas merupakan salah satu ayat yang menjelaskan tentang larangan menyebarkan berita bohong. Sebab turunnya ayat di atas juga tidak terlepas dari tuduhan yang keliru terhadap sayyidah Aisyah ra, hingga Allah Swt menurunkan surah An-Nur ayat 11-18 sebagai klarifikasi atas tuduhan tersebut.

Menurut Hamka, ayat ini mengandung informasi yang amat kaya untuk mengetahui apa yang dinamai “llmu Jiwa Masyarakat” atau “Mass Psychology“. Tukang provokasi yang menyebarkan kabar-kabar bohong di zaman perang dahulu dinamai “Radio Dengkul”. Tidak tentu dari mana pangkalnya dan apa ujungnya, kabar-kabar bohong itu disebarkan melalui lisan saja, sambut-menyambut dari lisan ke lisan. Kadang-kadang timbullah kebingungan dan kepanikan dari penyebaran tersebut.

Orang-orang yang hendak dirugikan dengan menyebarkan berita itu kadang-kadang tidak diberi kesempatan berpikir, sehingga dia sendiri pun kadang-kadang jadi ragu akan kebenaran pendiriannya. Orang-orang yang lemah jiwa, yang hidupnya tidak mempunyai pegangan mudah terjebak kepada provokasi yang demikian. Tetapi orang-orang yang masih sadar, karena teguh persandaraannya kepada Tuhan, hanya sebentar dapat dibingungkan oleh berita itu.

Di sini nampaklah kebesaran pribadi Aisyah. Dia yakin bahwa dia tidak salah, hingga akhirnya kemudian ayat tersebut turun membersihkan namanya dari tuduhan yang nista itu (Tafsir Al-Azhar, juz 18, hal. 906). Wallahu A’lam.

Baca juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits

Tafsir Ahkam: Najiskah Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga?

0
Tafsir Ahkam: Najiskah Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga?
Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga

Salah satu hal yang sulit dihindari dalam permasalahan menjaga air dari benda najis, adalah menjaga air dari bangkai serangga. Ada bermacam-macam serangga yang biasa masuk air. Mulai dari semut yang kadang mencari tempat lembab saat musim panas, serangga laron yang amat menyukai genangan air, maupun lalat yang menyukai makanan bertekstur cair.

Pada dasarnya, hukum bangkai, terlebih hewan yang tidak dapat dikonsumsi adalah najis. Lalu bagaimana hukum air yang dimasuki semut, laron, lalat, dan serangga kecil lain yang umumnya sering ditemukan mendekati air dan mati di dalamanya? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Hewan Dengan Darah Tidak Mengalir

Dalam permasalahan air yang dapat dibuat bersuci, Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an dan Syaikh Wahbah Zuhaili di dalam Tafsir al-Munir menjelaskan, bahwa hewan-hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, ia tidak mempengaruhi hukum suci dan mensucikannya air. Meski air tersebut sedikit dan selama ia tidak merubah sifat-sifat air. Hal ini sebagaimana dalam permasalahan semut yang masuk ke dalam segelas air dan mati di dalamnya. Maka air dalam gelas tersebut tetap suci dan mensucikan (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/46 dan Tafsir al-Munir/19/88).

Beberapa hewan yang dikategorikan tidak memiliki darah yang mengalir menurut ulama’ antara lain: lalat makanan, lalat kerbau, tawon, semut, kumbang, kutu, nyamuk, kalajengking, anak kecoak, kutu rambut dan kutu kulit (Al-Majmu’/1/129).

Imam Al-Mawardi menjelaskan, pendapat yang diutarakan oleh Imam Al-Qurthubi adalah pendapat mayoritas ulama’. Dasar yang dipakai adalah hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda (Al-Hawi Al-Kabir/1/627):

إِذَا سَقَطَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِى الآخَرِ شِفَاءً

Apabila ada lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian, maka benamkan seluruhnya lalu ambil dan buanglah. Sesungguhnya di salah satu sayapnya ada penyakit, dan di sayap yang lain terdapat obat (HR. Al-Bukhari, Al-Baihaqi, dan Abu Dawud).

Imam Al-Mawardi juga menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Salman yang berbunyi:

يَا سَلْمَانُ كُلُّ طَعَامٍ وَشَرَابٍ وَقَعَتْ فِيهِ ذُبَابَةٌ لَيْسَ لَهَا دَمٌ فَمَاتَتْ فِيهِ فَهُوَ حَلَالٌ أَكْلُهُ وَشُرْبُهُ وَوُضُوءُهُ

Hai Salman, setiap makanan dan minuman yang terdapat lalat yang jatuh di dalamnya lalu mati, maka halal makan, minum dan berwudhu dengannya (HR. Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi).

Baca juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Antara Merubah Sifat Air Dan Tidak Merubah Sifat Air

Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa dalam permasalahan bangkai hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, ada dua permasalahan yang perlu diperhatikan. Yakni mengenai apakah bangkai tersebut tersebut merubah sifat-sifat air atau tidak? Apabila sampai merubah sifat-sifat air, misalnya bangkai hewan tersebut berjumlah banyak dan telah berdiam di air dalam waktu yang lama? Menurut pendapat yang kuat air tersebut najis.

Apabila tidak sampai merubah sifat-sifat air, maka menurut mayoritas ulama’ hukumnya tidak najis. Meski air tersebut sedikit atau kurang dari dua kullah (setara 270 liter). Perlu diketahui bahwa beberapa ulama’ membedakan hukum najisnya air tidak hanya lewat berubah atau tidak sifatnya, melainkan juga dari jumlah air tersebut mencapai dua kullah atau tidak. (Al-Majmu’/1/129-130).

Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa tidak perlu membuang minuman dalam gelas atau makanan berkuah dalam baskom semisal, hanya sebab ada serangga kecil yang masuk dan kemudian mati di dalamnya. Ini adalah salah satu keringanan dalam Islam. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Sisa Air Minum Kucing?

Tafsir Ahkam: Najiskah Sisa Air Minum Kucing?

0
Najiskah Sisa Air Minum Kucing?
Najiskah Sisa Air Minum Kucing?

Memelihara kucing adalah sebuah hal yang lumrah di masyarakat. Kucing biasa berkeliaran di dalam rumah dan makan sekaligus minum di dalam rumah. Namun kadang prilaku kucing menimbulkan problem tersendiri bagi orang-orang yang amat menjaga diri dari najis. Misalnya kucing minum di gelas minum manusia atau di baskom maupun timba tempat penyimpanan air, yang kebetulan saat itu terbuka. Bagaimana hukum sisa air minum kucing tersebut? Apakah najis sebab mengingat kadang kucing memakan benda najis sebagaimana bangkai? Atau tidak najis mengingat sulit menghindarinya? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kontroversi Hukum Air Musta’mal

Air Bekas Minum Kucing Di dalam Tafsir

Salah satu permasalahan tafsir ahkam yang diulas oleh para ahli tafsir adalah permasalahan sisa air minum kucing. Di antara yang menyinggungnya adalah Imam Al-Qurthubi dan Imam Ar-Razi, di sela-sela membahas ayat tentang air mutlak. Sisa air minum kucing cukup menyita perhatian karena memang Nabi secara khusus menyinggung kebiasaan hewan tersebut yang biasa hidup di sekitar manusia.

Imam Ar-Razi menyebut bahwa menurut Abi Hanifah, hadis tentang kesucian air sisa minum kucing adalah dasar, bahwa air yang telah mengalami perubahan tetap suci dan mensucikan. Sedang Imam Al-Qurthubi malah mengulas Panjang lebar tentang air sisa minum kucing. Ia menyebut bahwa mayoritas ulama’ dari kalangan sahabat, tabi’in dan dan ahli fiqih sezamannya, menyatakan bahwa air bekas jilatan kucing hukumnya suci. Dan tidak apa-apa berwudhu dengannya. (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496 dan Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/47).

Dasar yang dipakai salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari Abi Qatadah dan berbunyi bahwa sesungguhnya Abi Qatadah masuk, lalu Kabsyah menyiapakan air wudhu untuknya. Lalu datanglah kucing. Abi Qatadah lalu memiringkan wadah ke kucing tersebut sampai ia bisa minum darinya. Melihat raut muka keheranan dari Kabsyah, Abi Qatadah lalu menerangkan pada Kabsyah bahwa Nabi bersabda (Al-Bayan/1/52):

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

Kucing tidaklah najis. Ia hanya hewan-hewan yang berkeliaran di antara kalian (HR. Imam Malik, Abi Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para ahli fikih meyakini bahwa air sisa minum kucing hukumnya suci dan mensucikan. Hanya Imam Abu Hanifah yang menyatakan hukumnya makruh menggunakan air sisa minum kucing untuk bersuci. Dan ini, mengutip keterangan Imam Malik, sepertinya disebabkan hadis di atas belum sampai pada Abu Hanifah (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/47).

Baca juga: Moderasi dalam Islam dan Upaya Preventif Tindakan Radikal di Internet

Imam An-Nawawi menyatakan, menurut mazhab syafi’i, bekas air minum hewan lain selain kucing juga disamakan dengan kucing. Entah itu hewan yang dapat dikonsumsi dagingnya, maupun yang tidak dapat dikonsumsi. Imam An-Nawawi menyontohkan kuda, keledai, tikus dan ular. Hanya anjing dan babi yang dihukumi najis air bekas minumnya (Al-Majmu’/1/172).

Perlulah diingat bahwa permasalahan di atas di luar permasalahan apabila di mulut kucing tersebut tampak najis secara jelas. Sebab apabila tampak keberadaan najis secara jelas, maka yang membuat air bekas minum kucing menjadi najis adalah najis di mulut kucing itu sendiri.

Lalu bagaimana apabila kita memergoki kucing tersebut baru saja memakan benda najis? Apakah apabila meminum air maka air yang diminumnya menjadi najis. Imam Al-‘Umrani menerangkan berbedaan pendapat terkait hal ini. Ada yang menyatakan najis, ada yang menyatakan tidak najis sebab sulit menghindarinya. Adapula yang memberi rincian, apabila kucing tersebut pergi dan dimungkinkan najis di mulutnya menghilang, maka air bekas minumnya dihukumi suci. Apabila sebaliknya, maka najis (Al-Bayan/1/52)Wallahu a’lam bish showab.