Beranda blog Halaman 188

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 1-3

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Surah Ahqaf merupakan surah ke 46 dalam al-Quran. Penamaan surah Ahqaf sendiri terambil dari ayat ke 21, dimana kata Ahqaf dimaknai dengan bukit-bukit pasir. Adapun tafsir kali ini diawali dengan Tafsir Surah Ahqaf Ayat 1-3.

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 1-3 secara umum berbicara tentang al-Qur’an, bahwasanya al-Qur’an adalah Kitabullah yang diturunkan kepada manusia. Kandungan didalamnya juga tidak ada keraguan, ia adalah petunjuk bagi manusia dalam meniti jalan kehidupan.

Ayat 1

“Ha mim” termasuk huruf-huruf hijaiah yang terletak pada permulaan beberapa surah Al-Qur’an. Para mufasir berbeda pendapat tentang maksud huruf-huruf itu. Untuk jelasnya dipersilakan menelaah kembali uraian yang ada pada permulaan Surah al-Baqarah jilid I “Al-Qur’an dan Tafsirnya” dengan judul “Fawatihus-suwar”.

Ayat 2

Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an ini benar-benar bersumber dari-Nya, tidak ada keraguan sedikit pun tentang itu, diturunkan kepada Nabi Muhammad, berisi ketentuan-ketentuan, bimbingan, dan pedoman hidup bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Allah yang menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad saw, adalah Tuhan yang Mahaperkasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi-Nya. Dia Mahabijaksana.

Semua perintah, larangan, dan tindakan Allah adalah sesuai dengan sifat, kegunaan, dan faedah dari yang diciptakan-Nya dan hal itu tidak lepas dari hikmah penciptaan alam seluruhnya.

Karena Al-Qur’an itu bersumber dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, maka hendaklah setiap manusia beriman kepadanya, mengakui kebenaran dan mengamalkan semua isinya.

Beriman kepada Al-Qur’an berarti keharusan beriman pula kepada Nabi Muhammad sebagai rasul Allah, yaitu dengan mengikuti semua sunahnya.

Ayat 3

Setelah menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu-Nya, bukan karangan Muhammad saw, Allah menerangkan bahwa Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Penciptaan ini mengandung hikmah, meskipun manusia belum mampu mengetahui semua hikmah tersebut.

Manusia harus selalu berusaha menggali hikmah tersebut agar bisa memanfaatkan pesan-pesan Al-Qur’an.

Dalam ayat lain diterangkan bahwa di antara tujuan Allah menciptakan bumi dan semua yang ada padanya ialah untuk kepentingan manusia. Allah berfirman:

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ   ١٩١

Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (Ali ‘Imran/3: 191).

Dalam ayat yang lain diterangkan bahwa Allah menjadikan langit dan bumi bukanlah untuk menimbulkan kezaliman dan kebinasaan, tetapi untuk melahirkan dan membuktikan kebenaran serta keadilan.


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi


Dalam menyatakan keadilan itu, Allah membedakan antara orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat buruk atau jahat, baik dalam sikap-Nya terhadap mereka, maupun dalam memberi balasan terhadap perbuatan mereka. Allah berfirman:

وَخَلَقَ اللّٰهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّ وَلِتُجْزٰى كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ  ٢٢

Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar setiap jiwa diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (al-Jatsiyah/45: 22).

Allah menciptakan langit dan bumi untuk waktu yang ditentukan-Nya sehingga dalam masa itu ada kesempatan bagi manusia melakukan segala sesuatu yang baik baginya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah agar ia dapat menikmati kebahagiaan hidup yang hakiki. Hal ini tentu sesuai pula dengan potensi dan hak ikhtiar yang diberikan Allah kepadanya.

Karena Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan segala hikmah dan manfaatnya, maka untuk menunjukkan keadilan-Nya dan membuktikan hikmah penciptaan keduanya, Allah menciptakan hari pembalasan.

Dengan adanya hari pembalasan itu, segala perbuatan manusia dapat dibalas dengan adil. Hari pembalasan akan datang setelah berakhirnya masa yang ditentukan bagi langit dan bumi.

Pada hari pembalasan itu, ditetapkan pahala bagi orang-orang yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya berupa kebahagiaan abadi di dalam surga.

Adapun orang-orang yang mengingkari perintah Allah dan melanggar larangan-Nya memperoleh kesengsaraan yang dialaminya di dalam neraka.

Pernyataan mengenai penciptaan langit dan bumi dilakukan dengan suatu tujuan yang benar banyak ditemui dalam Al-Qur’an (antara lain Surah Ibrahim/14: 19).

Pada ayat 3 Surah al-Ahqaf/46 ini, ditambahkan kata “dalam waktu yang ditentukan.”

Kata-kata ini dapat diartikan bahwa Tuhan memberi tahu kita mengenai waktu yang diperlukan hingga bumi terbentuk dan layak dihuni.

Uraian yang lebih lugas mengenai waktu atau masa dari penciptaan terdapat pada Surah al-A’raf/7: 54 (lihat penjelasan pada juz 8).

Pada akhir ayat ini diterangkan keingkaran orang-orang musyrik terhadap peringatan yang telah disampaikan kepada mereka.

Diterangkan bahwa sekalipun kepada mereka telah disampaikan bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah, pengangkatan Muhammad saw sebagai rasul-Nya, dan agama yang dibawa Muhammad saw, namun mereka tetap dalam kemusyrikan.

Mereka tetap berpaling dari peringatan itu dengan mengingkari perintah Allah dan melanggar larangan-Nya, bahkan mereka menolak dalil-dalil dan bukti-bukti itu tanpa alasan yang benar.

Mereka seakan-akan orang yang tuli, bisu, buta dan tidak berakal sehingga tidak dapat mendengar dan memahami seruan dan peringatan itu.

Mereka tidak mau percaya bahwa kelalaian dan keingkaran mereka akan menimbulkan penyesalan yang terus-menerus di akhirat kelak, di samping mengalami siksaan yang amat berat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 4-6


Kunci Kelima dan Keenam Menggapai Kebahagiaan: Ikhlas dan Menjaga Hubungan

0
Ikhlas
Ikhlas dan Menjaga Hubungan

Kunci kelima dalam menggapai kebahagiaan adalah ikhlas. Ikhlas artinya menyucikan hati atau melepaskannya dari sifat-sifat pamer (riya’) dan sum’ah. Setiap orang yang melakukan amal, sekecil apa pun amal yang dilakukannya, harus disertai dengan hati yang ikhlas (tulus). Sebab, hanya amal yang dilakukan dengan tulus yang diterima oleh Allah swt. Amal yang dilakukan dengan riya dan sum’ah (pamer) tidak akan diterima oleh Allah swt.

Dengan ikhlas, seseorang dapat melakukan amal dengan sempurna. Ikhlas yang ada di dalam hatinya akan menyebabkan seseorang melakukan amal dengan sangat baik, tanpa ada pengawasan dari orang lain, dan tanpa paksaan dari orang lain. Ikhlas akan mewujudkan hasil amal yang optimal untuk dunia dan akhirat. Rasulullah menyatakan di dalam hadisnya: “Sesungguhnya amal harus dilakukan dengan niat yang ikhlas.”

Allah memerintahkan hamba-hamba untuk beribadah dan beramal dengan hatinya yang tulus dan ikhlas. Hal ini antara lain dinyatakan di dalam QS. al-Bayyinah [98]: 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus [jauh dari syirik dan kesesatan], dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”

Baca Juga: Kunci Kedua Menggapai Kebahagiaan: Memiliki Ilmu yang Luas

Rasulullah telah menyatakan dalam beberapa hadisnya tentang perlunya ikhlas dalam melakukan amal. Hal ini antara lain dapat dilihat di dalam hadis riwayat al-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili: “Dari Abu Umamah, ia berkata: Seseorang telah datang kepada Rasulullah, lalu dia bertanya: Bagaimana pendapat Rasulullah tentang seseorang yang berperang yang menuntut pahala dan menyebut apa yang ada pada dirinya. Rasulullah menjawab: Tidak ada bagian (pahala) baginya sedikit pun, lalu Rasulullah mengulangi hal itu sebanyak tiga kali. Lalu Rasulullah berkata kepadanya: Tidak ada sedikit pun bagian baginya. Kemudian beliau berkata: Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal, kecuali amal itu dilakukan dengan ikhlas dan mengharapkan rida Allah swt. HR al-Nasa’i.”

Kunci keenam untuk menggapai kebahagiaan dalam hidup adalah menjaga hubungan yang baik dengan sesama manusia. Memang, manusia diciptakan oleh Allah untuk hidup bersama dengan orang lain. Fitrah manusia dalam kehidupannya adalah hidup bersama-sama dengan orang lain.

Karena hidup bersama dengan orang lain adalah sebuah fitrah, maka siapa yang dapat menjalani kehidupan dengan orang lain maka dia telah menjalani kehidupannya sesuai dengan fitrahnya. Orang seperti ini akan selalu damai dan tenteram dalam kehidupannya. Sebaliknya orang yang tidak mau hidup bersama orang lain, dia hidup dalam suasana yang bertentangan dengan fitrahnya.

Orang yang hidup dalam suasana yang bertentangan dengan fitrahnya, pastilah kehidupannya tidak tenang dan tidak menyenangkan. Itulah sebabnya, maka Allah dan Rasul-Nya selalu menganjurkan untuk senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan orang lain.

Ada tiga hal yang dilakukan oleh setiap orang untuk menjaga hubungan yang baik itu, yaitu 1) Menyayanginya (rahmatun lil ghair), 2) Memuliakannya (takrimun lil ghair), 3) Berbaik sangka kepadanya (husnuzh zhanni lil ghair), dan 4) tidak iri kepadanya. Jika 4 hal ini dapat terus dilakukan dan dijaga oleh seseorang, maka hubungan baiknya dengan orang pasti akan terjaga terus.

Ada beberapa ayat yang menerangkan tentang hal ini di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah QS. Ali Imran [3]: 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Baca Juga: Kunci Ketiga dan Keempat Menggapai Kebahagiaan: Beribadah dan Jujur

Rasulullah dalam banyak hadisnya memerintahkan senantiasa menjaga hubungan yang baik itu dengan cara silaturahim. Hal ini antara lain dikatakan oleh Rasulullah dalam hadisnya sebagai berikut: “Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata. Rasulullah saw telah bersabda: Orang-orang yang penyayang/pengasih disayangi /dikasihi Allah Swt. Sayangilah mereka yang ada di bumi agar engkau disayangi oleh yang ada di langit. Rahim (hubungan persaudaraan itu) merupakan salah satu cabang yang bersumber dari Allah. Siapa yang menyambungnya, maka Allah akan menyambungnya, siapa yang memutuskannya maka Allah akan memutuskannya pula. HR al-Tirmidzi.”

Demikianlah penjelasan mengenai kunci kelima dan keenam untuk menggapai kebahagiaan dalam hidup. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

0
Berwudhu
Berwudhu dengan air hujan

Air hujan tidaklah secara langsung disebut oleh Al-Qur’an lewat redaksi asalnya. Meski begitu, berdasar beberapa ayat yang secara tidak langsung menyinggung perihal air hujan, ulama’ menetapkan hukum air hujan adalah suci serta dapat mensucikan pada hadas kecil maupun hadas besar. Sehingga berwudhu dengan air hujan yang turun langsung dari langit maupun terlebih dahulu melewati talang bangunan, hukumnya diperbolehkan. Lalu seperti apakah bunyi redaksi Al-Qur’an tentang hujan? Dan apakah air hujan senantiasa bersifat suci dan mensucikan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Air dari Langit

Imam As-Syairazi, seorang pakar fikih Mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa dasar hukum suci dan dapat digunakannya air hujan untuk bersuci adalah firman Allah (Al-Muhadzdzab/1/13):

اِذْ يُغَشِّيْكُمُ النُّعَاسَ اَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلٰى قُلُوْبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْاَقْدَامَۗ ١١

 (Ingatlah) ketika Allah membuat kamu mengantuk sebagai penenteraman dari-Nya dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu, dan menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu. (QS. Al-Anfal [8] :11)

Imam Ibn Katsir menjelaskan, ayat di atas berkenaan Kaum Muslim tatkala menuju ke Badar mereka mengalami keadaan amat membutuhkan air. Sementara pada saat itu, sumber air dikuasai kaum musyrik. Hal ini menimbulkan rasa khawatir pada hati kaum muslim. Sebab mereka membutuhkan air untuk minum dan bersuci. Maka Allah menurunkan hujan agar dapat digunakan untuk minum dan bersuci.

Ibn Katsir juga menjelaskan, bahwa maksud redaksi “mensucikan” dalam ayat di atas adalah mensucikan secara lahir. Yakni mensucikan diri dari hadas kecil dan besar. Hal ini menepiskan anggapan bahwa maksud dari “mensucikan” adalah selain persoalan anggota lahir (Tafsir Ibn Katsir/4/23).

Imam Ar-Razi di dalam tafsir Mafatihul Ghaib meyakinkan, bahwa sudah jelas yang dimaksud air yang diturunkan dalam ayat di atas adalah air hujan. Penjelasan ini seakan menepiskan kemungkinan bahwa air yang diturunkan tersebut bukanlah air hujan. Mengingat memang Al-Qur’an tidak secara langsung menyebut istilah “air hujan”. Imam Ar-Razi mendasarkan pendapatnya dengan sebab turunnya ayat tersebut, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Katsir di atas (Tafsir Mafatihul Ghaib/7/374).

Sedang Imam Al-Qurthubi mengulas tentang hukum air hujan dalam ayat lain, yang juga menyinggung air hujan:

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًاۢ بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهٖۚ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً طَهُوْرًا ۙ ٤٨

Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Kami turunkan dari langit air yang sangat suci (QS. Al-Furqan [25] :48).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa redaksi “thahhuran” dalam ayat di atas tidaklah sekedar bermakna suci, tapi sangat suci dalam artian hingga memiliki kemampuan mensucikan hal lain. Sehingga air hujan adalah air yang dirinya sendiri suci, juga memiliki kemampuan mensucikan hal lain. Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab tidak setiap air yang suci, juga bisa mensucikan. Sebagaimana air kelapa muda yang suci, tapi tidak dapat dibuat untuk berwudhu.

Lalu apakah air hujan senantiasa terus menerus memiliki sifat suci dan mensucikan? Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa dua sifat tersebut tidak senantisa melekat pada air hujan. Yakni pada saat air hujan bercampur dengan benda lain. Bercampurnya air hujan dengan benda lain dapat menghilangkan sifat “mensucikannya” air hujan, bahkan juga sifat suci air hujan itu sendiri. Penjelasan rinci persoalan ini dan dipelajari dalam kitab-kitab fikih (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/39).

Berbagai uraian di atas menunjukkan dasar hukum air hujan dalam Al-Qur’an, sekaligus berbagai pandangan ahli tafsir tentang berbagai redaksi ayat tentang air hujan. Air hujan dapat digunakan untuk berwudhu. Maka berwudhu dengan guyuran air hujan langsung dari langit, atau yang sudah melewati talang bangunan semisal, hukumnya boleh.

Beberapa hal yang perlu diketahui terkait ayat tentang air hujan adalah, Al-Qur’an tidak menyinggung air hujan langsung menggunakan istilah “air hujan”. Selain itu, air memiliki dua sifat yang tidak selalu bergandengan satu sama lain. Yaitu sifat suci dan sifat mensucikan. Wallahu a’lam bish showab.

Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni

0
Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis
Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis

Pembahasan mengenai ayat-ayat yang mengenai sifat-sifat Allah terutama pada ayat-ayat yang seakan menyerupakan antara Allah dengan makhluk merupakan salah satu tema yang sering diperdebatkan penafsirannya di kalangan ulama. Hal ini bisa kita kenal dengan ayat-ayat antropomorfis. Pada artikel tempo hari, sudah dibahas mengenai penafsiran kalangan mujassimah. Jika kalangan mujassimah yang terjatuh pada penyerupaan Allah dengan makhluk ada kelompok mu’tazilah, yang cenderung menafikan sifat-sifat Allah sama sekali (ta’thil) sehingga tidak jarang disebut dengan kalangan mu’athilah.

Nah di tengah keduanya ini lah kalangan sunni berpendirian, yakni dengan menetapkan sifat Allah (ithbat) namun disertai penyucian dari keserupaan terhadap makhluk (tanzih). Ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah sebagai salah satu tokoh yang pertama kali berbicara tentang teologi, sebagaimana dinukil oleh Mahmud Syahatah dalam Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman (5/89),

أَفرَطَ جَهمٌ فِي النَّفيِ حَتَّى قَالَ إِنَّهُ لَيسَ بِشَيءٍ, وَأَفرَطَ مُقُاتِلُ فِي الإِثبَاتِ حَتَّى جَعَلَ اللهَ مِثل خَلقِهِ.

Artinya, “Jahm (bin Shafwa) telah berlebihan dalam menafikan (sifat Allah) sampai-sampai ia mengatakan bahwa Allah bukanlah ‘sesuatu’ dan Muqatil telah berlebihan dalam menetapkan (sifat Allah) sampai-sampai ia mennyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”

Baca juga: Ketika Allah Menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an

Sebelum membahas bagaimana penafsiran kalangan sunni terkait ayat-ayat antromorfis ini, perlu diketahui sebelumnya bahwa perdebatan-perdebatan teologis atau kalam ini bertujuan agar seorang muslim bisa mengenali segala bentuk syubhat dalam hal akidah dan mengetahui pemikiran akidah yang benar (sahih), ini dikatakan oleh Faishal ‘Aun dalam ‘Ilm al-Kalam wa Madarisuhu (hlm. 48).

Pemahaman Tentang Ayat-Ayat Antromorfis

Kalangan sunni sepakat untuk menetapkan (ithbat) semua sifat-sifat Allah yang Dia kabarkan melalui Alquran dan hadis sahih. Namun secara umum terbagi kepada dua macam pemahaman terkait pemaknaan terhadap ayat-ayat tersebut, yang pertama menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh al-ma’na) dan yang kedua menta’wilnya dengan kaidah yang ketat (ta’wil al-ma’na).

Untuk pemikiran yang pertama, yakni tafwidh al-ma’na digambarkan dengan cukup baik oleh imam Al-Thahawi dalam kitab  , ia mengatakan,

وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ فَهُوَ كَمَا قَالَ, وَمَعنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ, لَا نَدخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا, وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهوَائِنَا.

Terjemah bebasnya, setiap kabar tentang sifat Allah yang datang dari hadis sahih maka itu sebagaimana yang beliau katakan, dan maknanya terserah (dikembalikan) kepada Allah dan rasul-Nya tanpa mencoba meta’wilnya dengan pemikiran sendiri dan tidak juga menafsirkannya secara serampangan.

Intinya pada kalimat tafsiruhu ‘ala ma arada, yakni penjelasan maknanya dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Hal ini masuk akal karena sejatinya tidak ada yang mengetahui tentang Dzat Allah, kecuali Dirinya sendiri.

Ini juga bisa dilihat dalam tafsir Ibn Kathir (3/426-427) ketika beliau menafsirkan potongan Q.S. Al-A’raf [7]: 54 yang berbunyi,

…ثُمَّ استَوَى عَلَى العَرشِ…

Terjemahnya, “…kemudian Dia ber-istiwa di atas ‘Arsy…”.

Baca juga: Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an (Perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan)

Terkait ayat ini Ibn Kathir menguatkan pendapat yang membaca ayat ini begitu saja sebagaimana adanya, tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Menurut Ibn Kathir jalan inilah yang dilalui oleh sebagian ulama salaf al-shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, al-Thauri, al-Laits bin Sa’ad, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak ulama lain baik pada zaman dahulu maupun sekarang.

Pemikiran yang kedua adalah dengan menta’wil ayat-ayat tersebut. ini salah satunya bisa ditelusuri dengan melihat bagaimana penafsiran para ulama terkait ayat-ayat antromorfis tersebut. Penggunaan ta’wil ini bertujuan untuk menyucikan sifat Allah dari keserupaan terhadap makhluk.

Salah satunya bisa dilihat dari penafsiran al-Qurthubi terhadap ayat yang sama seperti di atas dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (9/239-240), sesudah menyebutkan kalangan yang melakukan tafwidh al-ma’na seperti pemikiran yang pertama sebelumnya. Kemudian beliau menyebutkan setidaknya ada tiga makna kata istawa dalam bahasa arab yaitu istaula (menguasai), ‘alaa (mulia) dan irtafa’a (tinggi derajatnya). Kemudian beliau mengatakan,

فَعُلُوُّ اللهِ تعالى وَارتِفَاعُهُ عِبَارَةٌ عَن عُلُوِّ مَجدِهِ وَصِفَاتِهِ وَمَلَكُوتِهِ, أَي: لَيسَ فَوقَهُ فِيمَا يَجِبُ لَهُ مِن مَعَانِى الجَلَالِ أَحَدٌ…لَكِنَّهُ العَلِيُّ بِالإِطلَاقِ سُبحَانَهُ.

Terjemah bebasnya, maka ketinggian Allah itu adalah sebuah perumpamaan akan ketinggian kemuliaan-Nya, sifat-sifat-Nya dan kekuasaan-Nya. Yakni bukan ‘di atas’ sebagaimana makna Maha Mulia-Nya yang tidak serupa dengan apapun… melainkan Allah itu Maha Tinggi secara mutlak, tanpa berada di arah apapun dan tanpa bertempat di mana pun, karena itu tidak sesuai sifat kesempurnaan-Nya.

Selain contoh di atas, bisa dilihat juga bagaimana imam al-Razi menafsirkan frase yadullah (secara harfiah artinya tangan Allah) pada potongan firman Allah Q.S. Al-Fath [48]: 10 yang bunyinya,

…يَدُ اللهِ فَوقَ أَيدِيهِم…

Terjemahnya, “…tangan Allah di atas tangan-tangan mereka…”.

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib (28/87) al-Razi menafsirinya dengan dua pemaknaan, pertama ia mengatakan,

(يَدُ اللهِ) بِمَعنَى نِعمَةُ اللهِ عَلَيهِم فَوقَ إِحسَانِهِم إِلَى اللهِ

Artinya, “(yadullah) artinya nikmat Allah atas mereka, (sebagai balasan) atas kebaikan perbuatan mereka kepada Allah”. Yang pertama beliau memaknai ‘tangan Allah’ dengan ‘Nikmat Allah’, ini selaras dengan penggunaan kata yad dalam bahasa Arab yang bisa dimaknai dengan beberapa makna dan didukung dengan ayat lain seperti Q.S. Al-Hujurat [49]: 17.

Kemudian untuk makna kedua al-Razi mengatakan,

(يَدُ اللهِ فَوقَ أَيدِيهِم) أَي نُصرُتُهُ إِيَّاهُم أَقوَى وَأَعلَى مِن نُصرَتِهِم إِيَّا

Terjemahnya, “(tangan Allah di atas tangan-tangan mereka), yakni pertolongan Allah atas mereka lebih kuat dan lebih tinggi daripada pertolongan mereka atas diri mereka sendiri”.

Demikianlah bagaimana penafsiran kalangan sunni terhadap ayat-ayat antromorfis. Mereka berada di tengah-tengah, yakni tidak berlebihan dan tidak mengurang-ngurangi, serta tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti kalagan mujassimah dan tidak juga menafikan sifat-sifatNya seperti kalangan mu’athilah. Wallahu A’lam.

Ketika Allah Menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an

0
Ketika Allah Menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an
Ketika Allah Menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an

Nabi Muhammad adalah kekasih sekaligus jelmaan Allah paling sempurna. Ia memiliki banyak gelar seperti al-Mushthafā yang berarti yang terpilih atau habībullāh kekasih Allah. Kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad dapat dilacak melalui sejarah, hadith maupun Al-Qur’an. Satu dari cara mudah untuk mengetahui kedahsyatan Nabi Muhammad adalah melalui bagaimana Allah menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an. Jika Nabi adalah kekasih Allah, maka seruan Allah kepada Nabi adalah seruan kekasih kepada yang terkasih.

Lalu, apa dan bagaimana perbedaan Allah menyeru Nabi sebagai kekasih-Nya, dan Allah menyeru nabi-nabi selain Nabi Muhammad? Untuk melihat perbedaan ini, perlu kita merujuk pada ayat-ayat seruan Allah kepada para nabi.

Baca juga: Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an (Perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan)

Seruan Allah kepada Rasulullah dalam Al-Qur’an

Sebagai penerima wahyu Al-Qur’an, Nabi Muhammad acapkali diseru oleh Allah di antara ayat-ayat Al-Qur’an. Seruan ini menarik untuk diperhatikan, karena ada beda antara seruan Allah kepada Nabi Muhammad dan seruan Allah kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (Q.S Al-Anfal: 64)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا

Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan.” (Q.S Al-Ahzab: 45)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ

Artinya: Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Q.S Al-Maidah: 67)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ

Artinya: Hari Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya.” (Al-Maidah: 41)

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad)” (Q.S Al-Muzzamil: 1)

يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّر

Artinya:Hai orang yang berkemul (berselimut)” (Q.S Al-Muddathir: 1)

Ayat-ayat ini adalah sekelumit dari contoh bagaimana Allah menyeru Nabi Muhammad di dalam Al-Qur’an. Dan yang menarik, Allah tidak pernah menyeru Nabi dengan nama secara langsung seperti, “Wahai Muhammad”. Melainkan, Allah menyerunya dengan seruan indah dan gelar yang mulia sebagaimana ayat-ayat di atas.

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Seruan Allah untuk Para Nabi Selain Rasulullah

Setelah melihat bagaiman indah dan “mesra” Allah menyeru Nabi Muhammad, mari kita melihat bagaimana seruan Allah kepada para nabi selain Rasulullah. Dengan begitu, akan tampak jelas perbedaan dan keistimewaan Rasulullah di sisi Allah Swt. Berikut Sebagian contoh ayat-ayatnya:

قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ ۖ

Artinya: Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini” (Q.S Al-Baqarah: 33)

قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَىٰ أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ

Artinya: Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu.” (Q.S Hud: 48)

يَا مُوسَىٰ إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Artinya: Hai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al-Qashash: 30)

يَا إِبْرَاهِيمُ أَعْرِضْ عَنْ هَٰذَا ۖ إِنَّهُ قَدْ جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَإِنَّهُمْ آتِيهِمْ عَذَابٌ غَيْرُ مَرْدُودٍ

Artinya: Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” (Q.S Hud: 76)

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِي عَلَيْكَ

Artinya: “(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu.” (Q.S Al-Maidah 110)

Berdasarkan beberapa ayat ini, kepada nabi selain Rasulullah, Allah menyeru dengan nama langsung tanpa gelar dan sebutan indah. Sehingga, ada perbedaan dan tampak keagungan posisi Nabi Muhammad di sisi Allah Swt.

Baca juga: Berikut Empat Macam Pujian Allah Untuk Rasulullah dalam Al-Qur’an

Keistimewaan Seruan untuk Rasulullah

Seruan Allah kepada Rasulullah menunjukkan kedekatan dan keagungan Nabi Muhammad di antara para nabi lainnya. Ketika Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Ibrahim dan Nabi Isa serta Nabi lainnya dipanggil dengan sebutan nama langsung, tidak dengan Nabi Muhammad yang dimuliakan dengan gelar dan sebutan-sebutan yang indah.

Hal ini juga sejalan dengan perintah Allah dalam surat An-nur ayat 63, yaitu:

لَاتَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).”

Baca juga: Tafsir Surah an-Nisa’ Ayat 43: Menguak Makna Lamastum dalam Ulama Mazhab

Quraish Shihab dan Asy-Sya’rawi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa kata du’a di sini adalah seruan atau panggilan kepada Rasulullah harus dengan adab yang baik. Sehingga, tidak layak bagi kita untuk memanggilnya dengan nama langsung “Muhammad”, yang terbaik adalah dengan menyebutkan gelar dan sebutan indah sebagaimana Allah contohkan dalam Al-Qur’an. (Tafsir al-Misbah dan tafsir Asy-Sya’rawi)

Dengan demikian, dapat kita ketahui keindahan ketika Allah menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an. Hal ini juga sekaligus mengajarkan kita untuk menyeru Nabi dengan seruan yang indah, gelar dan sebutan yang mulia. Karena Allah saja memuliakan Nabi, tentu kita harus senantiasa memuliakan Nabi dengan panggilan yang agung.

Semoga, tulisan sederhana ini dapat menambah kecintaan dan kedekatan kita kepada Nabi Muhammad. Dengan modal kecintaan, kita akan terus mendekat dan meneladani segala akhlak dan perbuatan Nabi. Kemudian, kita perlahan menapaki jejak akhlak Nabi dalam kehidupan sehari-hari kita. Wallahua’lam bishawab.

Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an (Perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan)

0
Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an
Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an

Shalat menurut bahasa berarti do’a. Sedangkan menurut istilah fukoha’ shalat adalah perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri salam dengan syarat-syarat tertentu (Asmaji Muchtar: 2015). Ibadah ini disebut dengan “shalat” karena hampir semua bacaan yang terkandung dalam ibadah ini merupakan lafaz do’a, dan merupakan rangkaian aktivitas penghambaan yang berorientasi permohonan kepada Allah (Jefri Noer: 36). Menariknya, tulisan ini akan mengulas tentang rahasia dibalik perintah shalat dalam Al-Qur’an yang diambil dari perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan.

Kewajiban Shalat lima waktu telah ada sejak peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Rasulullah saw. Shalat bertujuan untuk mengingat Allah dan merupakan bentuk manivestasi pentauhidan tertinggi hamba kepada Tuhannya (Abu Anas Karim Abdullah Al-Maqdishy: 2009). Banyaknya pengulangan lafaz “ ٱلصَّلَوٰة  di dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwasanya shalat merupakan ibadah yang paling penting. Sebagaimana dalam rukun islam, shalat disebut pada urutan kedua setelah syahadat. Tentuntya hal ini juga menyimpan makna tentang pentingnya shalat.

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

Perintah Shalat dalam QS. Thaha Ayat 14

إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ

Artinya : “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.”

Thaha ayat 14 tersebut, memberikan kita pemahaman bahwasanya yang terlebih dahulu diwahyukan kepada Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul ialah tentang Allah. Bahwa Allah itu satu dan berdiri sendiri. Tiada Dia bersekutu dengan yang lain. setelah mantapnya keyakinan mengenai Allah (Aqidah). Maka datanglah perintah untuk menyembah Allah dan mendirikan shalat guna menjadikan diri selalu ingat kepada Allah. Adanya perintah mengerjakan shalat adalah upaya agar tetap mengingat Allah (Tafsir Al-Azhar:5, 542).

Dari Q.S Thaha Ayat 14 dapat kita lihat bahwasannya yang ditekankan oleh Allah pertama kali adalah masalah aqidah, lalu dilanjutkan dengan kewajiban menyembah Allah SWT yang salah satunya dilakukan dengan shalat. Dalam hadits Nabi Saw juga disebutkan bahwasanya  shalat adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya, maka ia telah menegakkan agamanya dan barangsiapa yang merobohkannya, berarti ia telah merobohkan agamanya. (H.R Baihaqi).

Baca juga: Berikut Empat Macam Pujian Allah Untuk Rasulullah dalam Al-Qur’an

Makna dari redaksi “Mendirikan Shalat” menurut Prof. Nashruddin Baidan

Di dalam Al-Qur’an selalu saja terdapat perintah untuk mendirikan shalat dengan lafaz dari – يقيم أقام dan derivasinya, mengapa demikian? Mengapa Al-Qur’an tidak pernah memerintahkan kita untuk melakukan ataupun menggunakan lafaz lainnya seperti فعل dan lain sebagainya?. Lafaz “Aqama” dapat diartikan dengan kata “mendirikan”. Pemberian arti mendirikan tersebut dirasa sangat cocok dalam konteks sholat.

Prof. Dr. Nashruddin Baidan, ahli tafsir yang berasal dari Surakarta, sekaligus guru besar Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta menganalogikan peristiwa  tersebut dengan mendirikan dan membangun sebuah rumah. Secara logis, orang yang melakukan proses pembangunan (membangun) rumah adalah developer. Sedangkan orang yang mendirikan rumah adalah si pemilik rumah. Maka dari itu, Al-Qur’an menggunakan kata “dirikanlah”, bukan “lakukanlah, buatlah/ kerjakanlah”. Ketika pekerjaan developer untuk membangun rumah sudah selesai dan developer memberikan kunci kepada pendiri rumah, maka developer sudah tidak turut andil dalam penataan serta penghiasan rumah tersebut. Sedangkan si pendiri rumah masih punya banyak kewajiban yang diantaranya adalah merawat, membersihkan serta menghias rumah tersebut

Dari analogi tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwasanya kita tidak hanya diperintahkan untuk melakukan sholat, tetapi juga istiqomah dalam melakukannya serta terus memperbaiki dan mempertahankan kualitas sholat kita. Hal itu dilakukan agar kita tidak semata-mata melakukan gerakan sholat tanpa memetik buah dari sholat kita. Karena sholat akan memberikan dampak-dampak positif bagi orang yang melaksanakannya.

Baca juga: Tafsir Surah an-Nisa’ Ayat 43: Menguak Makna Lamastum dalam Ulama Mazhab

Pesan yang dapat kita tangkap dari perintah sholat seperti dalam QS. Thaha ayat 14 tersebut dan ayat-ayat sejenisnya yaitu Allah menggunakan redaksi – يقيم أقام dan derivasinya dengan maksud agar manusia menangkap pesan tersirat bahwasanya manusia tidak hanya diperintahkan untuk sekedar melakukan shalat dan menggugurkan kewajiban, namun juga harus menjaga, merawat dan menghiasinya. Hal tersebut dilakukan agar tercapai hal-hal yang positif yang akan kita dapatkan dari proses mendirikan shalat, seperti mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut ayat 45).

Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

0
servant leadership dalam kisah Nabi Sulaiman
servant leadership dalam kisah Nabi Sulaiman

Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat berlaku adil untuk setiap orang yang dipimpinnya. Salah satu bentuk keadilan tersebut adalah dengan memberikan pelayanan yang tidak memihak kepada siapa saja termasuk dalam menerima aspirasi dengan tidak memandang status sosial, jabatan, dan sebagainya.

Namun nampaknya kini banyak terjadi krisis kepemimpinan yang toxic bagi bawahannya. Ruang lingkup kecil seperti di kantor, ada saja sebagian atasan yang tidak mendengar keluh kesah bawahannya dan berlaku otoriter dengan mengutamakan kepentingannya sendiri. Hal ini tentu tidak selaras dengan prinsip kepemimpinan yang semestinya mengayomi dan melayani orang-orang yang dipimpin baik bawahan ataupun rakyatnya.

Konsep kepemimpinan yang melayani atau disebut servant leadership diperkenalkan oleh seorang tokoh bernama Greenleaf yang merumuskan The Servant Leadership Theory. Teori ini menempatkan orang lain, termasuk pegawai, pelanggan, dan masyarakat sebagai prioritas utama. Model kepemimpinan ini merupakan pendekatan holistik dalam bekerja untuk meningkatkan rasa kebersamaan dan berbagai kekuasaan (Hemanto dan Srimulyani dalam buku “Kepemimpinan Integratif”).

Tentu gagasan Greenleaf di atas begitu cemerlang untuk meredam gaya kepemimpinan yang otoriter dan tidak melayani bawahan atau rakyatnya. Namun sejatinya, jauh sebelum Greenleaf mengemukakan teorinya, dalam Al-Qur’an sesungguhnya telah digambarkan tentang model servant leadership tersebut. Allah Swt. berfirman dalam QS. An-Naml [27]: 20-22 sebagai berikut.

وَتَفَقَّدَ ٱلطَّيۡرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَآ أَرَى ٱلۡهُدۡهُدَ أَمۡ كَانَ مِنَ ٱلۡغَآئِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُۥ عَذَابٗا شَدِيدًا أَوۡ لَأَاْذۡبَحَنَّهُۥٓ أَوۡ لَيَأۡتِيَنِّي بِسُلۡطَٰنٖ مُّبِينٖ فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ

Terjemah: “Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang”. Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.” (QS. An-Naml [27]: 20-22)

Baca Juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Tentang Nabi Sulaiman dan Burung Hud-Hud

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat tersebut adalah tentang Nabi Sulaiman yang memeriksa seluruh pasukannya termasuk para burung. Kemudian ia mendapati salah satu burung, yaitu burung Hud-Hud tidak berada dalam barisan. Nabi Sulaiman kemudian berkata bahwa beliau akan mengazab Hud-Hud dengan azab yang keras. Al-A’masy berkata bahwa yang dimaksud azan tersebut adalah dengan mencabut bulunya atau membunuhnya (menyembelih).

Namun apabila Hud-Hud datang kepada Nabi Sulaiman dengan alasan yang terang, yaitu alasan yang jelas dan tegas maka ada pengecualian untuknya. Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Abdullah bin Syaddah berkata: “Ketika Hud-Hud datang, seekor burung berkata kepadanya: ‘Apa yang menyebabkan engkau hilang. Sesungguhnya Sulaiman telah menadzarkan darahmu.’

Hud-Hud bertanya: ‘Apakah ada pengecualian?’ Mereka menjawab: ‘Ya’. Pengecualian tersebut adalah Nabi Sulaiman tidak akan menyembelih Hud-Hud jika ia dapat memberikan alasan yang jelas dan benar terkait ketidkahadirannya dalam barisan tersebut.

Maka setelah Hud-Hud datang, ia pun menjelaskan kepada Nabi Sulaiman bahwa ia telah mengetahui sesuatu yang belu diketahui oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya. Dalam ayat berikutnya, Hud-Hud menceritakan tentang negeri Saba’ kepada Nabi Sulaiman.

Mendengar cerita itu, Nabi Sulaiman pun berkata:

۞قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ

Terjemah: “Berkata Sulaiman: “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Naml [27]: 27)

Menurut Tafsir Kementerian Agama, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ketika Nabi Sulaiman mendengar keterangan burung Hud-Hud yang jelas dan meyakinkan itu, maka beliau menangguhkan hukuman yang telah diancamkan kepada burung itu.

Nabi Sulaiman kemudian berkata,”Hai burung Hud-Hud, kami telah mendengar semua keteranganmu dan memperhatikannya. Namun demikian, kami tetap akan menguji kamu, apakah keterangan yang kamu berikan itu benar atau dusta?”

M. Quraish Shihab juga menambahkan bahwa Nabi Sulaiman tidak langsung menerima berita yang disampaikan oleh burung Hud-Hud. Namun beliau akan memvalidasi atau memeriksa kembali berita tersebut untuk mengecek kebohongan atau kejujuran burung Hud-Hud.

Baca Juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja

Gambaran Servant Leadership dalam Kisah Nabi Sulaiman dan Hud-Hud

Melalui kisah Nabi Sulaiman di atas, nampak jelas bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang sangat bijaksana. Hal ini terlihat dari sikapnya yang senantiasa memeriksa keadaan setiap pasukannya sampai ketika satu burung yang tidak ada pun dapat diketahuinya.

Namun ketika ada pasukannya yang melanggar aturan dengan tidak berhadir dalam barisannya, ia tidak serta merta langsung memberikan hukuman. Sebagaimana Hud-Hud yang kala itu terlambat datang karena mendapati negeri Saba’ yang kemudian dikabarkannya kepada Nabi Sulaiman.

Ketika Hud-Hud datang kepada Nabi Sulaiman, beliau masih sudi untuk mendengarkan alasan Hud-Hud terkait dengan ketidakhadirannya dalam barisan dan tidak langsung menghukum Hud-Hud. Hal ini merupakan figur seorang pemimpin yang senantiasa mendengarkan aspirasi bawahan ataupun rakyatnya tanpa memandang status orang tersebut. Bahkan kala itu, yang didengarkan Nabi Sulaiman adalah seekor burung.

Jika seekor burung saja didengarkan, bagaimana dengan manusia? Maka semestinya hal ini menjadi bahan percontohan dalam mengusung servant leadership (kepemimpinan yang melayani) untuk berlaku adil kepada bawahan atau rakyat. Sebab menjadi seorang pemimpin berarti mengemban tugas untuk melayani orang yang dipimpin dengan baik dan ikhlas.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Penutup

Teladan yang diterapkan oleh Nabi Sulaiman dalam kisah pada ayat di atas adalah sebuah model kepemimpinan yang begitu diharapkan pada zaman sekarang. Sebab ada banyak orang yang terzhalimi karena ketidakadilan yang ada di berbagai sektor. Ada banyak bawahan atau rakyat yang memberontak dan sengsara ketika para pemimpinnya tutup telinga dan diam seribu bahasa terhadap aspirasi-aspirasi mereka.

Maka sepatutnya servant leadership yang diusung oleh Greenleaf dan telah lebih dulu diterapkan oleh Nabi Sulaiman dapat menjadi sikap kepemimpinan yang dapat diterapkan oleh setiap pemimpin negeri ini. Hal ini bertujuan agar aspirasi-aspirasi masyarakat dapat terserap dengan baik dan mewujudkan keadilan yang semestinya didapatkan. Wallahu A’lam.

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33

0
maulid Nabi Muhammad dalam Al-Quran
maulid Nabi Muhammad dalam Al-Quran

Pada artikel ini, kita akan membaca dalil keempat tentang Maulid Nabi dalam Al-Quran, yaitu surah Maryam [19] ayat 33. Kita baca ayat tersebut;

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

“Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali).”

Dalam beberapa tempat, al-Quran menyebutkan ayat yang memberi isyarat akan pentingnya hari lahir. Misalnya ayat di atas—Maryam ayat 33—yang berbicara Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Maryam ayat 15 yang khusus berbicara Nabi Yahya ‘alaihissalam.

Berkumpulnya dua ayat, yaitu ayat 15 dan 33 dalam satu surah yang sama, Maryam, menunjukkan bahwa hari-hari tersebut; hari kelahiran, hari wafat dan hari kebangkitan adalah sesuatu yang esensial. Supaya umat Muslim dapat memetik pelajaran dari pengutusan dua nabi, Nabi Isa dan Nabi Yahya, tersebut.

Penyebutan Al-Quran tentang tiga ‘hari’ tersebut memberi isyarat tidak langsung mengenai kekhususannya daripada ‘hari’ yang lain. Seperti halnya tiga dalil maulid Nabi dalam Al-Quran sebelumnya, coba renungkan lagi ayat di atas dengan menghadirkan Nabi Muhammad saw. sebagai subjek yang berucap. Di sinilah alasan mengenang dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw., wafatnya dan hari-hari bersejarah lainnya menjadi penting.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (3): Surah Ibrahim Ayat 5

Pada hari itu aku dilahirkan

Pada hakikatnya, orang pertama yang mentradisikan perayaan hari lahir adalah Nabi Muhammad Saw sendiri dengan mengkhususkan hari lahir beliau dengan ibadah khusus pula, yaitu puasa di hari Senin. Itulah makna perayaan.

Ibn al-Haj (w. 737 H) dalam al-Madkhal ila Tanmiyah al-A’mal menarik istinbath dari riwayat tersebut dengan menyebutkan, “…tetapi, Nabi Muhammad Saw memberi isyarat akan keutamaan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sabda beliau Saw ketika ditanya perihal puasa hari Senin yang beliau lakukan. “pada hari itulah aku dilahirkan,” begitu jawaban yang diberikan Nabi Muhammad Saw kepada para sahabat. Dengan demikian, pemuliaan terhadap hari Senin merupakan pemuliaan juga terhadap bulan di mana beliau dilahirkan.”

Masih dalam al-Madkhal, Ibn al-Haj melanjutkan, “maka sudah seharusnya kita memuliakan hari dan bulan tersebut dengan sebenar-benarnya. Keutamaan yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu itu ditunjukkan dengan ibadah-ibadah yang dikhususkan di dalamnya. Suatu masa dan tempat tidak menjadi mulia dengan sendirinya. Tetapi ia menjadi mulia karena ada makna spesial di dalamnya. Maka lihatlah pengistimewaan yang Allah lakukan pada hari Senin dan bulan Rabiul Awal tersebut.”

“Tidakkah Anda tahu, bahwa puasa pada hari Senin mengandung keutamaan yang agung? Pada hari itulah Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Sudah semestinya bagi seorang Muslim untuk memuliakan, dan mengangungkan bulan ini (Rabiul Awal) dengan sebenar pemuliaan. Caranya dengan ber-ittiba’, mengikuti Nabi Muhammad, seperti halnya mengkhususkan waktu-waktu yang utama dengan memperbanyak amal kebaikan,” (Ibn al-Haj, al-Madkhal).

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Menyangkal klaim syubhat

Ada sebagian orang yang menyangkal perayaan Maulid Nabi tidak berdasar pada dalil apapun alias syubhat, bukan pula pada hadis yang menyebutkan Nabi puasa hari Senin. Sebab hadis tersebut adalah dalil sunnah puasa hari Senin, bukan perayaannya.

Dr. ‘Izzat Ali ‘Athiyah dalam al-Bidah; Tahdiduha wa Mauqif al-Islam minha membantah bahwa klaim tersebut tidaklah benar. Sebab, perayaan atau peringatan (yang dilakukan Nabi) adalah takhsish (pengkhususan) pada hari tersebut. Bukan mukhashshis (yang mengkhususi) yaitu puasa. Jadi asal kesunnahannya adalah pen-takhsis-an hari Senin tersebut, bukan puasanya.

Lalu ada juga seseorang berkata bahwa al-Quran tidak hanya mementingkan hari lahir saja, tetapi juga hari kematian. Maka seharusnya kesedihan lebih utama daripada kebahagian, dan bagi seorang pecinta, seharusnya hari itu menjadi hari duka.

Terkait klaim tersebut, al-Suyuthi dalam al-Hawi li al-Fatawa menjawab bahwa lahirnya Nabi Muhammad Saw ke dunia adalah seagung-agungnya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, dan wafatnya beliau Saw adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa kita. Sementara syariat menganjurkan kita untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat, dan bersabar, tenang, serta menyembunyikan kesedihan ketika musibah menimpa.

Kita tahu, syariat memerintahkan walimatul aqiqah ketika lahir seorang anak. Aqiqah adalah wujud syukur dan bahagia atas anak yang telah lahir. Kemudian ketika seseorang meninggal, alih-alih memerintahkan untuk menyembelih seekor kambing, misalnya, justru syariat melarang untuk meratapi orang yang meninggal dan berkabung yang berlarut-larut.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat tersebut memberi petunjuk bahwa menampakkan ekspresi kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal adalah sesuatu yang hasan (baca: baik). Alih-alih bersedih atas wafatnya beliau saw, justru hal itu sama dengan apa yang dilakukan oleh golongan Syiah Rafidhah atas syahidnya Husein pada hari Asyura. Praktik semacam itu justru dicela oleh para ulama, sebagaimana dituturkan Ibn Rajab (w. 795 H) dalam Lathaif al-Ma’arif (1999). Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad!

Hukum Idgham dalam Nun Mati dan Tanwin beserta Contohnya dalam Al-Quran

0
Hukum Idgham
Hukum Idgham dalam Nun Mati dan Tanwin

Setelah pada artikel sebelumnya dijelaskan tentang hukum Idzhar, artikel kali ini akan menguraikan hukum kedua dalam lingkup nun mati dan tanwin yaitu Idgham. Syekh Sulaiman al-Jamzuri dalam nadzam Tuhfat al-Athfal menjelaskan Hukum Idgham sebagai berikut:

والثان إدغام بستة أتت # في يرملون عندهم قد ثبتت

“Hukum kedua adalah idgham dengan enam huruf yang terangkum dalam kata yarmaluna yang telah tetap menurut para ulama.”

Menurut Syekh Hasan Dimasyqi pengarang buku Taqrib al-Manal bi Syarh Tuhfat al-Athfal, idgham secara bahasa berarti memasukkan sesuatu ke sesuatu yang lain (idkhal al-syai’i fi al-syai’in). Sedangkan dalam istilah ilmu tajwid, idgham yaitu

التقاء حرف ساكن بمتحرك بحيث يصيران حرفا مشددا

“Bertemunya dua huruf, sukun dan berharkat, sehingga kedua huruf itu menjadi satu huruf yang bertasydid.”

Kedua huruf yang dimaksud dalam definisi di atas adalah huruf pertama merupakan nun sukun atau tanwin dan huruf kedua adalah huruf idgham. Sebagaiman tertera dalam nadzam, terdapat enam huruf idgham yaitu: ي, ر, م, ل, و, ن.

Dalam konteks nun mati dan tanwin, hukum idgham terbagi menjadi dua bagian sebagaimana disebutkan oleh Syekh al-Jamzuri:

لكنها قسمان قسم يدغما # فيه بغنة بينمو علما

“Akan tetapi idgham terbagi menjadi dua. Pertama idgham dengan ghunnah yang diketahui hurufnya dalam kata yanmu (ي, ن, م, و ).”

Hukum idgham pertama adalah idgham bighunnah. Idgham bighunnah berarti ketika membaca nun mati atau tanwin bertemu dengan empat huruf: ya, nun, mim, dan wawu, maka dibaca dengan hukum ghunnah. Untuk lebih jelasnya terdapat dalam contoh-contoh berikut ini:

Contoh dalam Al-Quran dengan huruf ي

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ

Dalam penggalan Surah al-Baqarah ayat 8 di atas, yang menjadi contoh adalah man yaquulu. Huruf nun sukun bertemu dengan huruf ya yang merupakan salah satu dari huruf idgham bighunnah.

Akan tetapi ada pengecualian apabila nun sukun dan huruf idgham berada dalam satu kata. Maka hukum bacaannya adalah idzhar, bukan idgham. Sebagaimana dijelaskan dalam Tuhfat al-Athfal:

إلا إذا كانا بكلمة فلا # تدغم كدنيا ثم صنوان فلا

“Kecuali apabila dua huruf berada dalam satu kalimat, maka tidak diidghamkan seperti dalam kata dunya dan shinwanun.”

Hukum idgham kedua dalam nun sukun dan tanwin adalah idgham bila ghunnah atau idgham bighairi ghunnah. Artinya hukum idgham ini menekankan tidak menggunakan ghunnah ketika membaca nun sukun atau tanwin bertemu dengan huruf idgham. Sebagaimana dijelaskan Syekh al-Jamzuri:

و الثان إدغام بغير غنة # في اللام الرا ثم كر رنة

“Model idgham kedua adalah idgham bighair ghunnah, yang diterapkan dalam huruf lam dan ra.”

Dalam konteks huruf lam dan ra, ketika nun sukun dan tanwin bertemu kedua huruf tersebut, maka hukum bacaannya adalah tidak ghunnah, tidak ditekan dan ditahan 2 harkat. Akan tetapi langsung dibaca dengan jelas.

Adapun contoh idgham bi ghair ghunnah dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

Yang menjadi contoh adalah pada kalimat terakhir, hudan lil muttaqiin. Dibaca idgham tanpa ghunnah.

Demikian penjelasan singkat tentang hukum idgham beserta sebagian contohnya yang diambil dari Al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Sosok Hajar dalam Narasi Al-Kitab dan Al-Qur’an

0
Sosok Hajar
Sosok Hajar dalam Alkitab dan Al-Quran

Kisah perjalanan kehidupan Abraham, Sarah, dan Hajar memang menarik untuk ditinjau lebih mendalam. Ketiga figur ini telah menghadirkan sebuah kisah yang sangat problematis: Abraham dan Sarah dalam sebuah sistem perkalian, Sarah dan Hajar dalam perebutan dominasi status, kepergian Abraham dari kediamannya, kepergian Hajar menuju sebuah lembah, pengorbanan seorang anak Abraham, dan lain-lainnya. Tulisan ini berusaha melihat secara khusus tentang siapakah kisah sosok Hajar yang disajikan dalam narasi Al-Kitab kemudian membandingkannya dengan narasi yang disajikan oleh Al-Qur’an.

Hajar dalam Narasi Al-Kitab

Tykva Frymer-Kensky, dalam Reading the Women of the Bible, menyajikan secara khusus kisah Hajar dengan membaginya menjadi beberapa tahapan berdasarkan urutan kronologinya (Frymer-Kensky 2002). Pertama, kedatangan Ismail. Untuk menjelaskan bagian ini, Tykva merujuk kepada beberapa bagian dalam Al-Kitab: Kejadian 16: 1-3 terkait masalah dan rencana, Kejadian 15: 3-6 terkait alur yang semakin mengental, Kejadian 16: 7-14 terkait malaikat di padang gurun, dan Kejadian 16: 16 terkait kelahiran. Kedua, kepergian Ismail: Kejadian 21. Bagian ini, oleh Tykva, dijelaskan secara terperinci dengan merujuk pada: Kejadian 21: 8-13 terkait penyapihan Ishaq dan Kejadian 21: 14-21 terkait penebusan Ismail.

Baca Juga: Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab

Berangkat dari sajian Al-Kitab tersebut, kisah Hajar bermula dari penjelasannya sebagai sosok yang ‘asing’. Ia merupakan ‘budak wanita’ yang berasal dari Mesir; yang berada dalam pusaran rumah tangga Abraham dan Sarah (Kejadian 12). Mulanya, semua berjalan sebagaimana semestinya: Abraham dan Sarah sebagai sebuah keluarga sekaligus Nabi (Abraham), dan Hajar sebagai seorang budak. Konflik yang besar, yang terjadi antara Sarah dan Hajar bermula dari rencana Sarah untuk menjadikan Hajar sebagai istri kedua Abraham, yang darinya diharapkan dapat melahirkan anak yang dapat diakuisi Sarah (Kejadian 16: 1-3). Ini merupakan sebuah norma yang umum dalam realitas saat itu: jika istri pertama belum melahirkan dalam jangka waktu yang lama, maka ia dapat menggantikannya dengan budaknya.

Mendengar rencana tersebut, Abraham lantas menyetuinya. Apa yang diharapkan Sarah menjadi kenyataan: Abraham menjadikan Hajar sebagai istri kedua, dan Hajar mengandung anak Abraham. Terlepas dari kenyataan tersebut, faktanya ini justru menjadi konflik yang semakin problematis (Kejadian 15: 3-6).

Setelah mengetahui bahwa ia (Hajar) hamil, Hajar justru bereaksi lain. Hajar yang seharusnya netral, dan masih di status yang berada di bawah Sarah, justru menganggap rendah Sarah dengan dalih kepemilikan bayi yang sedang ia kandung. Prilaku yang ditunjukkan Hajar melawan tatanan hukum saat itu. Sebagai reaksinya, Sarah mendakwa: kesalahan saya adalah memberikan Hajar kepadamu. Sebagai reaksi baliknya, Abraham mengatakan Sarah: lakukan padanya apa yang baik untukmu.

Apa yang telah dilakukan Sarah kepada Hajar telah mengantarkan Hajar untuk bereaksi untuk pergi ke sebuah lembah. Di lembah tersebut, Hajar sempat berkomunikasi dengan sosok malaikat yang justru menganjurkan kepadanya untuk kembali ke rumah dengan imbalan bahwa ‘ia akan melahirkan anak (Ismail) yang pemberani. Kisah lanjutannya dapat dilihat dalam beberapa poin dalam Al-Kitab yang disebutkan di atas. Namun, poin pentingnya adalah: Hajar dalam narasi Al-Kitab adalah seorang ‘budak wanita’ yang berasal dari Mesir.

Hajar dalam Narasi Al-Qur’an

Berbeda dengan narasi yang disajikan dalam Al-Kitab, narasi yang lebih halus tentang sosok Hajar dimunculkan dari kalangan Islam. Oleh kalangan ini, Hajar dinarasikan sebagai ‘seorang putri’ dari Raja sebuah dinasti yang bernama Maghreb. Beberapa nama yang tercatat dalam argumen ini dapat dilihat dalam Qashash al-Anbiya’  karya Ibnu Katsir, juga dalam Islam and the New Woman/ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪﺓ” (al-Rahman and Anthony Calderbank 1999), dan Tykva Frymer-Kensky, dalam Reading the Women of the Bible (Frymer-Kensky 2002, 226). Adapun terkait statusnya sebagai budak, ini hadir karena kekalahan perang ayahnya, yang kemudian menjadikan Hajar sebagai seorang ‘budak’.

Baca Juga: Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan

Secara spesifik, penjelasan mengenai sosok Hajar sebagai seorang budak atau seorang putri tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Isyarat-isyarat yang paling mendekati Hajar justru berasal dari anaknya, Ismail. Ini kiranya dapat dilihat di antaranya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 125, 158; QS. Ibrahim [14]: 37 dan QS. As-Saffat [37]: 99-102.

Ayat yang pertama, sebagaimana terdapat dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, menceritakan mengenai Ibrahim dan Ismail ketika ia bersama-sama membangun Baitullah. Lebih lanjut, dalam QS. As-Saffat [37]: 99-102 merupakan narasi Al-Qur’an yang mendekati sosok Hajar. Dalam urutan ayat ini, menceritakan doa-doa Nabi Ibrahim ketika meminta dianugerahi sosok anak, sampai kepada mimpinya tentang perintah untuk mengorbakan anaknya. Wallahu’alam.