Beranda blog Halaman 189

Tafsir Surah Muhammad Ayat 36-38

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 36-38 merupakan sesi terakhir dari tafsir kali ini yang membahas terkait anjuran berinfak kepada orang-orang yang beriman. Tujuan dari infak, sedakah, dan zakat adalah untuk mengikis sifat-sifat kikir yang tertanam dalam hati manusia, sekaligus menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan terhadap sesama.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 32-35


Ayat 36

Allah mendorong orang-orang yang beriman agar berjihad dan menginfakkan harta di jalan-Nya, untuk menghancurkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka, yaitu orang-orang kafir Mekah.

Mereka jangan sekali-kali terpesona oleh kehidupan dunia yang menyebabkan mereka meninggalkan jihad karena kehidupan dunia hanyalah sementara, hanya sebagai permainan, dan senda gurau.

Semua yang ada di dunia ini akan hilang lenyap, kecuali ketaatan dan ibadah kepada Allah karena ketaatan dan ibadah itu menjadi sebab untuk memperoleh kehidupan yang sebenarnya nanti di akhirat.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jihad di jalan Allah termasuk perbuatan ibadah yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu, melakukan jihad adalah sebagaimana melakukan ibadah-ibadah yang lain.

Selanjutnya Allah menyatakan bahwa perbuatan yang bisa menjadi persiapan yang sebenarnya di akhirat nanti ialah beriman kepada Allah, melaksanakan segala perintah dan menjauhkan semua larangan-Nya, dan menginfakkan harta di jalan-Nya sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Yang dituntut dari harta yang diinfakkan itu hanyalah sebagian kecil dari penghasilan, tidak semuanya, dan diberikan sebagai zakat, sedekah, amal jariah, dan sebagainya. Jika mereka melaksanakan yang demikian itu, Allah akan membalasnya dengan balasan yang berlipat ganda berupa ketenangan hidup di dunia, dan surga di akhirat.

Ayat 37

Dalam ayat ini, Allah menerangkan salah satu dari sifat manusia yang tercela ialah kikir dan sangat mencintai dan menginginkan harta. Allah menyatakan bahwa Ia tidak meminta mereka memberikan harta mereka seluruhnya untuk diberikan kepada kaum Muslimin yang lemah.

Bila Ia meminta seluruhnya seperti itu, pasti mereka tidak akan memberikannya karena mereka terlalu tamak kepada harta dan tidak akan memberikannya kepada orang-orang miskin. Allah mengetahui yang demikian. Semakin sering permintaan itu diulang-ulang, semakin bertambah rasa benci dan dengki mereka terhadap orang miskin tersebut.

Sifat kikir itu telah menjadi tabiat manusia. Ia merupakan sifat yang didatangkan kemudian, sebagaimana firman Allah:

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗوَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّ

Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. (an-Nisa’/4: 128);Allah swt berfirman:

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ   ٩

Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang- orang yang beruntung. (al-Hasyr/59: 9)

Dalam ayat yang lain dinyatakan jika manusia dapat menghilangkan atau mengurangi sifat kikirnya itu, maka ia akan menjadi orang yang beruntung hidup di dunia dan di akhirat.


Baca Juga: Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional


Ayat 38

Ayat ini menerangkan bahwa Allah memanggil mereka untuk menghilangkan sifat kikir. Mereka diminta menginfakkan harta mereka di jalan Allah. Dijelaskan bahwa siapa yang kikir, tidak mau menafkahkan harta di jalan Allah, maka kekikiran mereka itu akan merugikan diri sendiri karena kikir itu akan mengganggu hubungan dalam masyarakat dan akan menghapuskan pahala mereka, menjauhkan diri mereka dari Allah dan surga.

Bila manusia berinfak, itu bukan untuk Allah karena Ia tidak memerlukan harta mereka, sebab Dia Mahakaya, tidak memerlukan apa pun. Infak itu justru untuk keuntungan mereka karena Allah akan membalasnya berlipat ganda, ditambah lagi dengan pahala yang balasannya adalah surga.

Kemudian Allah mengancam mereka dengan mengatakan bahwa jika mereka berpaling, yaitu tidak beriman dan tidak mau memenuhi perintah-Nya dengan berinfak, maka Allah akan menghancurkan mereka, kemudian mengganti mereka dengan kaum yang lain yang tidak seperti mereka, yaitu kaum yang mau berinfak, berjihad, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, at-Tirmizi dan lain-lainnya dari Abµ Hurairah berkata:

تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هٰذِهِ اْلآيَةَ اِلَى آخِرِهَا فَقَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ مَنْ هٰؤُلاَءِ الَّذِيْنَ اِنْ تَوَلَّيْنَا اسْتَبْدَلُوْا بِنَا ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْنَ اَمْثَالَنَا فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى مَنْكِبِ سَلْمَانَ ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَقَوْمُهُ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ هَذَا الدِّيْنَ تَعَلَّقَ بِالثُّرَّيَا لَتَنَاوَلَهُ رِجَالٌ مِنْ فَارِسٍ.

Rasulullah saw membaca ayat ini sampai akhir, maka para sahabat bertanya,“Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu yang jika kami berpaling mereka akan menggantikan kami dan mereka tidak seperti kami?”

Maka Rasulullah menepuk pundak Salm±n, kemudian berkata, “Inilah orangnya dan kaumnya. Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, seandainya agama itu tergantung di bintang Surayya, itu akan digapai oleh orang-orang dari Persia.”

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Muhammad Ayat 32-35

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 32-35 menerangkan tentang perintah dan larangan Allah, bahwa dua hal itu sangat penting untuk diperhatikan. Orang-orang yang beriman dengan tulus, tentu akan memperhatikan dua aspek tersebut, serta diaktualisasikan dalam kehidupan.

Sementara orang-orang yang mengingkari keduanya, dikarenakan terlena pada kehidupan dunia, dan kelak mereka akan menerima balasan yang setimpal dari Allah Swt. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam Tafsir Surah Muhammad Ayat 32-35  berikut ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 28-31


Ayat 32

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang mengingkari keesaan Allah, menghalang-halangi manusia memeluk agama-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad, menentang dan memeranginya setelah dikemukakan kepada mereka bukti-bukti yang kuat, maka segala tindakan mereka itu tidak akan menimbulkan mudarat kepada Allah dan kepada perkembangan agama-Nya karena Allah Mahakuasa dan kehendak-Nya pasti terlaksana.

Dia menolong Rasul-Nya di dunia dan mengazab setiap orang yang menentang-Nya. Di akhirat segala usaha mereka itu tidak akan berhasil sedikit pun.

“Orang yang menghalang-halangi manusia di jalan Allah” yang disebutkan dalam ayat ini maksudnya ialah orang-orang yang menghalangi orang lain memeluk Islam dengan berbagai macam cara.

Dapat juga berarti orang yang berusaha menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi.

Diriwayatkan bahwa ayat ini turun berhubungan dengan orang-orang Yahudi dari Bani Qurai§ah dan Bani Nadhir. Mereka menghalang-halangi manusia menganut agama Allah setelah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata yang terdapat dalam Taurat dan mukjizat-mukjizat yang dikemukakan Rasulullah.

Tindakan mereka itu tidak akan bermanfaat sedikit pun terhadap rencana dan kehendak Allah, tetapi bahkan akan menghancurkan diri mereka sendiri, dengan kegagalan semua usaha mereka, dan azab yang mereka terima di akhirat.

Ayat ini juga berhubungan dengan orang-orang Yahudi yang menghalang-halangi Bani Sa’ad yang telah menganut agama Islam, lalu mereka mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad.

Beliau menjawab pengaduan itu dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa tindakan orang-orang Yahudi itu tidak akan memberi mudarat kepada Allah, tetapi akan merugikan diri mereka sendiri.

Ayat 33

Dalam ayat ini, Allah meminta orang-orang yang beriman agar taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya serta tidak menghiraukan sikap dan tindakan orang-orang kafir.

Mereka hendaknya beriman, mengakui keesaan dan kekuasaan Allah yang memiliki sifat-sifat yang sempurna, menaati perintah-Nya, melaksanakan ajaran-Nya, dan tidak melanggar perintah-Nya yang menyebabkan hilangnya pahala amal yang mereka kerjakan.


Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 2: Al-Quran Adalah Kitab Sempurna


 Menurut Abu al-‘Aliyah, “Semula para sahabat berpendapat bahwa tidak ada satu dosa pun yang dapat merusak ikrar seseorang bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”, sebagaimana tidak ada manfaat suatu amal yang didasarkan kepada syirik sampai ayat ini turun. Setelah turunnya ayat ini, para sahabat merasa khawatir, kalau-kalau amal mereka akan batal karena suatu perbuatan dosa.”

Ibnu ‘Umar berkata, “Kami semua sahabat Rasulullah saw berpendapat bahwa perbuatan baik akan diterima Allah sampai turunnya ayat ini. Setelah ayat ini turun, kami bertanya, “Apa sajakah yang membatalkan pahala amal-amal kami?”

Maka Rasulullah menjawab, “Dosa besar, perbuatan jahat, dan perbuatan keji.” Setelah itu apabila salah seorang kami berbuat dosa (zina) yang disebutkan itu, kami berkata, “Sesungguhnya telah terhapus pahala amalnya,” sampai turun ayat yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya, tetapi mengampuni selain dari itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” Setelah itu kami tidak membicarakan tentang hal itu lagi.”

Ada ahli tafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan taat kepada Allah ialah mengamalkan isi Al-Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan taat kepada Rasul ialah mengikuti dan melaksanakan semua perintah dan larangan yang terkandung dalam hadis-hadis beliau.

Ayat 34

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang mengingkari kekuasaan dan keesaan Allah, mengingkari seruan Rasul-Nya, menghalang-halangi manusia dari jalan-Nya, kemudian ia mati dalam keadaan kafir, maka Allah sekali-kali tidak akan mengampuni dosa-dosanya karena pintu tobat dan ampunan Allah hanya ada sewaktu masih hidup di dunia. Jika seseorang telah mati, maka semuanya telah tertutup baginya.

Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan orang-orang kafir yang mati dalam Perang Badar yang dikubur dalam sebuah sumur. Lepas dari benar atau tidaknya pendapat itu, ayat ini berlaku bagi semua orang di mana dan kapan pun, bahwa setiap orang yang mati dalam keadaan kafir, dosa-dosanya tidak akan diampuni Allah.

Ayat 35

Dalam ayat ini, Allah meminta orang-orang yang beriman, bila perintah melaksanakan jihad sudah dikeluarkan dan mereka mengetahui bahwa Allah pasti menolong orang-orang yang beriman, mereka harus merasa kuat, tidak patah semangat, dan sekali-kali tidak mengajak musuh untuk berdamai.

Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa umat Islam yang akan memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah. Allah tetap bersama mereka dan tidak akan mengurangi pahala mereka sedikit pun. Allah tidak akan bersama orang kafir, apalagi menolong mereka, karena mereka sebenarnya adalah makhluk Allah yang merendahkan derajatnya sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 36-38


Tafsir Surah Muhammad Ayat 28-31

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 28-31 berbicara tentang isyarat al-Qur’an tentang tanda-tanda orang munafik kepada Rasulullah Saw. Sejatinya, Nabi tidak mengetahui siapa saja orang munafik dimasanya, namun Allah memberikan tanda-tanda mereka, salah satunya adalah seringnya beralasan ketika diajak menjalankan perintah atau menjauhi larangan Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 26-27


Ayat 28

Mereka mengalami keadaan yang demikian karena sering mengerjakan maksiat, selalu ingkar kepada Allah, menuruti hawa nafsu, dan tidak mau mengerjakan perbuatan yang diridai-Nya.

Mereka beribadah kepada Allah hanya karena ria dan ingin dihargai orang. Oleh karena itu, semua amal yang mereka kerjakan, seperti bersedekah dan menolong orang-orang yang lemah, miskin, dan sengsara, tidak ada gunanya.

Sebab, amal dan perbuatan baik yang dapat diterima bila didasari dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ayat 29

Apakah orang munafik mengira bahwa permusuhan dan niat jahat terhadap orang-orang yang beriman yang terpendam dalam hati mereka tidak akan diketahui? Apakah mereka mengira bahwa Allah tidak mengetahuinya sehingga Dia tidak memberitahukannya kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman?

Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu akan memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman tentang semua rahasia jahat mereka.

Mengenai rahasia dan rencana jahat kaum munafik diterangkan panjang lebar dalam Surah at-Taubah. Di antaranya ialah firman Allah:

اَلْمُنٰفِقُوْنَ وَالْمُنٰفِقٰتُ بَعْضُهُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ اَيْدِيَهُمْۗ نَسُوا اللّٰهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ   ٦٧

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (at-Taubah/9: 67)


Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73


Ayat 30

Pada ayat ini, Allah menyatakan kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, jika Kami menghendaki untuk memperkenalkan kepadamu pribadi-pribadi orang munafik itu sehingga kamu mengenal seorang demi seorang berdasarkan tanda-tanda yang ada pada mereka, tentulah tidak sukar bagi Kami melakukannya.

Akan tetapi, Kami tidak berbuat demikian, agar keluarga mereka yang beriman kepada Kami tidak mereka aniaya. Sekalipun demikian, kamu dapat mengetahui orang-orang munafik itu dengan memperhatikan ungkapan-ungkapan dan cara-cara mereka berbicara.

Mereka tidak mau berbicara secara tegas dan jelas, melainkan selalu memakai isyarat dan sindiran serta kiasan yang kurang jelas maksudnya, dan mereka berbuat dan bertindak tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan.

Pada masa Rasulullah saw, orang munafik bila berbicara selalu menggunakan kata yang muluk-muluk dan menyenangkan hati pendengarnya, tetapi dalam hati mereka terkandung maksud jahat.

Al-Kalbi berkata, “Setelah ayat ini turun, Rasulullah mengetahui orang-orang munafik bila mereka berbicara dengan beliau. Sedangkan Anas r.a. mengatakan, “Allah memberitahukan orang-orang munafik kepada Rasulullah dengan perantara wahyu atau dengan tanda-tanda yang ditampakkannya kepada beliau.”

Sehubungan dengan orang-orang munafik, “Utsman bin ‘Affan berkata, “Tidak ada suatu rahasia yang tersembunyi dalam hati seseorang, kecuali Allah menampakkannya pada air muka dan ucapan lahirnya.”

Pada akhir ayat ini, Allah menyatakan bahwa keadaan orang mukmin tidak sama dengan orang munafik. Dia akan membalas perbuatan orang mukmin sesuai dengan maksud dan niatnya masing-masing, karena Allah mengetahui perbuatan mereka.

Ayat 31

Dengan adanya ketentuan perang dan kewajiban-kewajiban berat yang lain, Allah menguji keimanan kaum Muslimin hingga diketahui siapa yang berjihad di jalan-Nya dan siapa yang tidak, serta siapa yang sabar dan siapa yang tidak. Dengan cobaan itu pula akan bertambah kuat iman orang yang sabar dan makin berkurang iman orang yang ragu-ragu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 32-33


Tafsir Surah Muhammad Ayat 26-27

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 26-27 masih berbicara tentang kaum munafik, diantaranya adalah tentang pengkhianatan mereka kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Al-Qur’an memperingatkan mereka dengan kematian, bahwa ketika ajal datang, sudah tidak ada waktu bagi mereka untuk bertaubat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 22-25


Ayat 26

Orang-orang munafik kembali kepada kekafiran, padahal tadinya mereka kelihatan telah beriman, karena mereka memihak dan bersekutu dengan orang Yahudi dari Bani Na«ir dan Bani Quraizah untuk memerangi orang yang beriman.

Kaum munafik menyatakan bahwa mereka akan turut berperang di pihak Bani Na«ir dan Bani Qurai§ah menghadapi kaum Muslimin jika sekiranya suku Yahudi itu diusir dari Medinah.

Orang Yahudi pernah menganjurkan kepada kaum munafik agar memperlihatkan kekafiran mereka dengan terang-terangan. Akan tetapi, mereka tidak mematuhi anjuran itu, kecuali dalam beberapa hal.

Di antara yang tidak mereka patuhi adalah anjuran untuk menyatakan kekafiran dengan terus-terang. Kekafiran itu tetap mereka rahasiakan karena masih mengharapkan keuntungan dengan menyembunyikannya.

Akan tetapi, Allah mengetahui tindakan yang mereka rahasiakan, karena tidak satu pun yang tidak diketahui-Nya. Dalam ayat lain, Allah menerangkan cara mereka mengatur siasat dan tipu dayanya. Allah berfirman:

وَيَقُوْلُوْنَ طَاعَةٌ  ۖ فَاِذَا بَرَزُوْا مِنْ عِنْدِكَ بَيَّتَ طَاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ غَيْرَ الَّذِيْ تَقُوْلُ ۗ وَاللّٰهُ يَكْتُبُ مَا يُبَيِّتُوْنَ ۚ فَاَعْرِضْ عَنْهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا   ٨١

Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan,“(Kewajiban kami hanyalah) taat.” Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu (Muhammad, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung. (an-Nisa’/4: 81)

Ayat 27

Ayat ini masih berbicara tentang kaum munafik, apakah yang akan mereka lakukan jika tetap berada dalam kemunafikan itu. Mereka hanya dapat melakukan kemunafikan dan tipu daya semasa mereka masih hidup, berkuasa, dan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.

Bagaimana pendapat mereka bila Allah menghilangkan kesehatan mereka dengan seketika, dan ketuaan berangsur pula mendekati kehidupan mereka? Bagaimana pendapat mereka pada waktu kematian mendekati mereka dan malaikat maut memukul muka dan punggung mereka; apakah yang akan mereka lakukan?


Baca Juga: Empat Kata yang Digunakan Al-Quran untuk Makna Kematian


Bagaimana pula pendapat mereka jika mereka mati dengan tiba-tiba, sehingga tidak ada kesempatan sedikit pun bagi mereka untuk bertobat kepada Allah yang menentukan segala sesuatu di akhirat? Jika mereka memikirkan dan merenungkan semuanya itu, tentu mereka tidak akan melakukan perbuatan ingkar dan dosa.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa ketika malaikat akan mencabut nyawa mereka, malaikat akan mengeluarkan roh mereka dengan kuat dan kasar serta memukul wajah dan punggung mereka.

Orang Arab amat takut dipukul di wajah dan punggung. Karena mereka takut dipukul musuh di wajah dan punggung, maka mereka tidak mau pergi berperang. Ayat ini menunjukkan keadaan orang-orang munafik dalam keadaan sengsara dan terhina pada waktu menghadapi sakaratul maut. Allah berfirman:

وَلَوْ تَرٰٓى اِذْ يَتَوَفَّى الَّذِيْنَ كَفَرُوا الْمَلٰۤىِٕكَةُ يَضْرِبُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَاَدْبَارَهُمْۚ

Dan sekiranya kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang- orang yang kafir sambil memukul wajah dan punggung mereka. (al-Anfal/8: 50)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 29-31


 

Unsur Linguistik dalam Tradisi Baca-Tulis Al-Qur’an

0
Unsur Linguistik dalam Tradisi Baca-Tulis Al-Qur'an
Tradisi Baca-Tulis Al-Qur'an

Dalam sebuah majelis pengajian, penulis mendapatkan ulasan yang sangat menarik terkait hukum menuliskan salam dengan bahasa ‘ajam, bahasa Indonesia misalnya. Kiai Abdul Muhaya, salah seorang dosen UIN Walisongo, yang memberikan materi ketika itu mencoba mengaitkan hukum penulisan salam dengan teori simbol dalam kajian linguistik.

Menurut beliau, tulisan salam dengan bahasa ‘ajam tak ubahnya simbolisme sesuatu yang abstrak, yang dalam kajian linguistik disebut dengan bahasa. Sehingga bagaimana pun bentuk dan model simbol yang digunakan, yang harus diperhatikan adalah bahasa asal yang menjadi dasar simbolisme ini.

Ulasan Kiai Muhaya ini setelah penulis ingat kembali mirip dengan penjelasan yang diberikan Mahmud Fahmiy Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Abr al-Qurun. Ia menyebutkan bahwa dalam teori linguistik, tulisan (kitabah) merupakan tahapan kedua setelah lisan (lughah). Tulisan merupakan upaya visualisasi atau simbolisme, dari bahasa verbal yang abstrak menjadi sebuah simbol-simbol nyata.

Dengan adanya simbol-simbol (baca: tulisan) ini, muncullah manfaat dan faedah yang tidak dapat dijumpai sebelumnya, manakala hanya sebatas pada kata-kata verbal yang abstrak (baca: lughah). Seperti langgengnya sebuah kebudayaan umat manusia dan persebarannya dalam lingkup wilayah yang lebih luas.

Dalam kajian Al-Qur’an, ulasan Hijaziy ini agaknya senada dengan apa yang disebutkan ‘Ali Muhammad al-Dlabba‘ dalam Samir al-Thalibin fi Rasm wa Dlabth al-Kitab al-Mubin atau Al-Farmawiy dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuh mengenai relasi ilmu rasm (penulisan) dan ilmu qira’ah (pembacaan) Al-Qur’an.

Namun demikian, bukan masalah relasi ini yang hendak penulis bagikan pada tulisan kali ini. Melainkan sesuatu lain yang berkaitan dengan cerita yang ditulis oleh Ulin Nuha tentang kisah Allah yarham Simbah KH. Sya‘roni Ahmadi yang memperbolehkan penulisan Al-Qur’an dengan aksara latin dan braille (baca terlebih dahulu selengkapnya dalam Kisah Kiai Sya‘roni Membolehkan Penulisan Al-Qur’an dengan Aksara Latin dan Braille).

Dengan menandaskan pendapatnya pada Al-Bujairamiy dalam Hasyiyah Al-Bujairamiy ‘ala al-Khathib, Kiai Sya‘roni menjelaskan bahwa penulisan dan pembacaan Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Al-Qur’an boleh ditulis dengan aksara apa saja, tetapi membacanya harus sesuai dengan makhraj dan tajwid dalam lughah Arab.

Bahkan sekalipun ditulis dengan aksara Arab, jika membacanya tidak sesuai dengan qira’ah yang benar, yang demikian ini pun tidak akan diperbolehkan. Beliau memberikan contoh bacaan huruf muqaththa‘ah, ‘ain sin qaf yang dibaca dengan ‘a sa qa.

Penjelasan Kiai Sya‘roni mengenai perbedaan tulisan dan bacaan ini jika ditelusuri lebih jauh akan menemukan akar relevansinya terhadap kajian teori linguistik yang telah penulis singgung sebelumnya. Tak hanya penjelasan Kiai Sya‘roni, pandangan ulama Al-Qur’an yang keukeuh mewajibkan talaqqi musyafahah dalam bacaan Al-Qur’an pun juga demikian. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an sebagai teks tertulis merupakan fase kedua dari Al-Qur’an sebagai kalam yang dibaca.

Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

Dalam teori linguistik, Al-Qur’an sebagai kalam yang dibaca adalah bahasa lisan. Ia merupakan asal yang harus dirujuk. Sementara Al-Qur’an sebagai teks tertulis (baca: mushaf) adalah seperangkat simbol (kitabah dengan arti al-maktub atau yang tertulis). Seperangkat simbol ini hanya akan bekerja jika masyarakat pemilik simbol telah memiliki kesepakatan komunal mengenai media interaksi yang digunakan, yakni lughah atau bahasa. Dan dalam Al-Qur’an, bahasa yang dimaksud adalah bahasa Arab.

Bahkan jika diamati lagi lebih dalam, bahasa Arab yang digunakan Al-Qur’an berbeda dengan bahasa Arab ‘reguler’ yang lazim digunakan dalam interaksi sosial sehari-hari masyarakat Arab. Ambil contoh saja huruf muqaththa‘ah sebelumnya, ‘ain sin qaf, yang mempunyai cara baca ‘tak lazim’ sebagaimana bahasa Arab ‘reguler’ pada umumnya.

Artinya dalam kasus bacaan Al-Qur’an, masyarakat pemilik bahasa lisan asal yang harus dirujuk adalah masyarakat Al-Qur’an, yang dalam masalah ini merupakan Rasulullah saw. dan para sahabatnya 14 abad silam sebagai representasi nyata. Ini kemudian oleh para ulama digali dan dibakukan dalam sebuah konsep sunnah muttaba‘ah yang terimplementasi dalam dua ilmu utama, qira’ah dan tajwid.

Sehingga dengan merujuk pada konsep linguistik ini, menjadi semakin jelas bahwa penulisan dan pembacaan Al-Qur’an adalah dua hal yang berbeda. Rujukan ini sekaligus meneguhkan pentingnya ngaji secara talaqqi musyafahah kepada seorang guru (baca: qari’) yang qualified berdasarkan sanad yang diterimanya hingga sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallama. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Bukti Perkembangan Al-Qur’an yang Fleksibel dan Tidak Sepi dari Perdebatan

Tafsir Surah Muhammad Ayat 22-25

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 22-25 berbicara tentang orang munafik yang menutup diri dari kebenaran dan enggan merenungi kandungan dari al-Qur’an. Maka, sikap mereka yang demikian tidak jauh berbeda dengan sikap orang kafir.

Dinyatakan bahwa yang menjadi sebab mereka bersikap buruk adalah karena kecintaan yang berlebih kepada dunia, sehingga melupakan esensi kehidupan yang sebenaranya, yaitu menghamba kepada Allah. Simak penjelasan tafsir berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 20-21


Ayat 22

Ayat ini mencela sikap kaum munafik yang selalu mengejar kesenangan hidup di dunia, dengan mengatakan, “Hai orang munafik, karena kamu selalu mengejar kesenangan hidup di dunia dan kemewahannya, maka seandainya kamu berkuasa, pastilah kamu mempunyai sifat-sifat ingin mementingkan diri sendiri dengan memperlihatkan kekuasaan kepada rakyat jelata, suka mengambil hak orang lain, dan memutuskan hubungan silaturrahim yang sangat dianjurkan untuk disambung.

Ayat 23

Orang-orang munafik yang bersikap seperti yang disebutkan di atas telah dijauhkan Allah dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, Allah menghilangkan pendengaran mereka sehingga tidak dapat mengambil pelajaran dari apa yang dapat mereka dengar, dan Allah membutakan mereka sehingga mereka tidak dapat mengambil manfaat dari apa yang mereka lihat.

Ayat 24

Apakah orang-orang munafik itu tidak memperhatikan dan memahami ajaran-ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an, tidak pula merenungkan dan memikirkannya, sehingga mereka mengetahui kesalahan sikap dan tindakan mereka selama ini? Atau telah terkunci hati dan penglihatan mereka sehingga tidak dapat lagi memahami isinya?


Baca Juga: Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal


Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh kaum munafik itu tidak saja dilakukan terhadap orang beriman, tetapi juga terhadap orang Yahudi. Mereka menyatakan kesediaan bekerja sama dengan orang Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraizah.

Bahkan mereka bersedia mengikuti sebagian keinginan orang Yahudi untuk menarik hati mereka, tetapi semua janji dan kesediaan itu tidak mereka tepati. Mereka terkadang tidak segan-segan mencelakakan teman yang diajak bersekongkol, dengan menohok kawan seiring.

Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ   ١١

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab, “Sungguh, jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantumu.” Dan Allah menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta. (al-Hasyr/59: 11)

Ayat 25

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang kembali kafir setelah nyata bagi mereka jalan yang lurus yang harus ditempuh dengan mengerjakan perbuatan dosa dan sesat adalah orang yang telah termakan dan terpengaruh oleh tipu daya setan.

Setan menjadikan perbuatan dosa dan kesesatan yang mereka kerjakan sebagai perbuatan baik dalam pandangan mereka, sehingga mereka hidup dengan bergelimang dosa dan kesesatan.

Di samping itu, mereka dibuai oleh angan-angan yang palsu, sesuai dengan dorongan hawa nafsu mereka. Dengan demikian, hawa nafsu itu menjadi ukuran baik atau buruknya suatu perbuatan.

Apa yang dianggap baik oleh hawa nafsu mereka, itulah yang mereka anggap baik. Hal-hal inilah yang memunculkan kemunafikan dalam diri mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 26-27


Tafsir Surah Muhammad Ayat 20-21

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 20-21 berbicara tentang respon orang munafik dan mukmin ketika datang perintah untuk berperang, meski perang yang dimaksud adalah sebagai upaya defensiv. Respon positif selalu ditunjukkan oleh orang-orang beriman ketika datang perintah berperang, sementara orang munafik tidak menyukai perintah tersebut, karena takut kehilangan nyawa dan kenikmatan dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 19


Ayat 20

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan setulus hati pasti bersedia mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka menunggu-nunggu turunnya wahyu Allah, terutama wahyu yang berhubungan dengan perintah jihad.

Akan tetapi, perintah perang itu pada dasarnya bukan untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, seperti yang terjadi dengan Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandak, dan lain-lain. Mereka berkata, “Mengapa Allah tidak menurunkan kepada kita ayat-ayat yang tegas dan jelas maksudnya yang di dalamnya disebutkan bahwa berperang membela agama Allah itu adalah suatu perintah wajib yang harus dilaksanakan oleh setiap orang beriman.”

Sebaliknya orang-orang munafik bersikap lain. Bila diturunkan ayat yang tegas dan jelas maknanya yang berisi perintah jihad, melihat kepada Nabi dengan pandangan keingkaran dan ketakutan. Hati mereka kecut, tubuh mereka gemetar mendengarnya, dan mereka bungkam, seperti orang yang sedang menghadapi kematian.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَۚ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوْا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَۚ  لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌۚ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰىۗ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا   ٧٧

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!” Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu). Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tunda (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizalimi sedikit pun.” (an-Nisa’/4: 77).

Dari jawaban dan sikap orang munafik, tergambar apa yang tersirat dalam hati mereka. Orang yang demikian lebih baik mati daripada hidup mengekang diri dari perintah-perintah agama. Seseorang hidup untuk menjadi hamba Allah yang taat kepada-Nya, ingin mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Orang munafik tidak melaksanakan ketaatan itu.

Mereka seakan-akan tidak memikirkan kebahagiaan hidup sesudah mati. Oleh karena itu, tidak ada arti hidup bagi mereka selain untuk melipat-gandakan perbuatan dosa yang menyebabkan mereka diazab di akhirat. Jika mereka mati waktu itu juga, azab mereka tidak akan bertambah di akhirat nanti.


Baca Juga: Kunci Ketujuh dan Kedelapan Menggapai Kebahagiaan: Menjaga Hubungan dengan Tuhan dan Alam


Ayat 21

Ayat ini menjelaskan sikap yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang munafik, yaitu taat kepada Allah, dan mengucapkan perkataan yang makruf, bukannya takut, dan gentar menghadapi musuh. Hal itu karena kesenangan hidup di dunia telah membuat mereka terpesona dan lupa diri.

Mereka takut kehilangan kesenangan. Padahal jika mereka mengetahui bahwa kesenangan hidup di dunia adalah kesenangan yang semu dan sementara, sedangkan kesenangan hidup di akhirat adalah kesenangan yang sebenarnya, tentu mereka akan mengubah sikap.

Selanjutnya diterangkan bahwa kaum munafik itu apabila datang perintah berperang, timbullah kebencian dalam hati mereka sehingga mereka enggan ikut berperang.

Seandainya mereka mempunyai iman yang kuat di dalam dada mereka, benar-benar taat kepada Allah dan mengikuti Rasul, pasti mereka ikut berperang bersama Rasul. Hal itu lebih baik bagi mereka karena dengan demikian mereka dekat kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 22-25

Tafsir Surah Muhammad Ayat 19

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 19 diawali dengan keindahan akhlak Nabi Muhammad Saw. yang senantiasa memperhatikan umatnya, dengan mendoakan dan meminta ampunan. Beberapa ulama memebrikan tips manjur dalam bertaubat kepada Allah yaitu dengan beristighfar dan mengucapkan “Lailaha illallah”, zikir yang memiliki keutaman besar disisi Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 16-18


Ayat 19

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad, apabila ia telah yakin dan mengetahui pahala yang akan diperoleh orang-orang yang beriman, serta azab yang akan diperoleh orang-orang kafir di akhirat, untuk berpegang teguh kepada agama Allah yang dapat mendatangkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Beliau juga diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosanya dan dosa-dosa orang beriman, selalu berdoa dan berzikir kepada-Nya, dan tidaklah sekali-kali memberi kesempatan kepada setan untuk melaksanakan maksud buruknya kepada beliau.

Sebuah hadis sahih mengatakan, Rasulullah saw selalu berdoa:

اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ خَطِيْئَتِيْ وَجَهْلِيْ وَإِسْرَافِيْ فِيْ أَمْرِيْ وَمَا اَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ هَزْلِيْ وَجِدِّيْ وَخَطَايَايَ وَعَمْدِيْ وَكُلَّ ذٰلِكَ عِنْدِيْ. (رواه البخاري عن أبي موسى الأشعري)

Wahai Allah, ampunilah kesalahanku, kebodohanku, dan perbuatanku yang berlebih-lebihan, dan dosaku yang lebih Engkau ketahui daripadaku. Wahai Allah, ampunilah dosa perkataanku yang tidak serius dan perkataanku yang sungguh-sungguh, kesalahanku, kesengajaanku, dan semua yang ada padaku.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari)

Rasulullah sering berdoa pada akhir salatnya, sebelum mengucapkan salam:

اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا اَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ أَنْتَ إِلٰهِيْ لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اَنْتَ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس)

Ya Allah, ampunilah dosaku yang terdahulu dan yang kemudian, yang tersembunyi dan yang tampak, serta perbuatanku yang berlebihan dan dosaku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku, Engkau Tuhanku, tak ada tuhan selain Engkau.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas)

يَااَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى رَبِّكُمْ فَإِنِّيْ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً . (رواه مسلم)

Hai manusia, bertobatlah kamu kepada Tuhanmu maka sesungguhnya aku pun mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari lebih dari tujuh puluh kali. (Riwayat Muslim).


Baca Juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati


Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Hendaklah kamu membaca, “La ilaha illallah dan istigfar.” Bacalah keduanya berulang kali, maka sesungguhnya Iblis berkata, “Aku membinasakan manusia dengan perbuatan dosanya, dan mereka membinasakanku dengan membaca La ilaha illallah dan istigfar, maka ketika aku mengetahui yang demikian, mereka aku hancurkan dengan hawa nafsunya, mereka mengira mendapat petunjuk.” (Riwayat Abu Ya’la).

Dalam satu atsar diterangkan perkataan Iblis, “Demi keperkasaan dan keagungan-Mu, wahai Tuhan, aku senantiasa memperdaya mereka selama nyawa mereka dikandung badan.”

Lalu Allah berfirman, “Demi keperkasaan dan keagungan-Ku, Aku senantiasa mengampuni dosa mereka, selama mereka tetap memohon ampunan kepada-Ku.”

Selanjutnya Allah mendorong manusia melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan agar selalu berusaha untuk mencari rezeki dan kebahagiaan hidupnya.

Allah berfirman, “Dia mengetahui segala usaha, perilaku, dan tindak-tanduk mereka di siang hari, begitu pula tempat mereka berada di malam hari. Oleh karena itu, bertakwalah dan meminta ampun kepada-Nya.” Dalam ayat lain, Allah berfirman:

۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ  ٦

Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.) Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud/11: 6)

وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفّٰىكُمْ بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيْهِ لِيُقْضٰٓى اَجَلٌ مُّسَمًّىۚ ثُمَّ اِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ  ٦٠

 Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah ditetapkan. Kemudian kepada-Nya tempat kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (al-An’am/6: 60)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 20-22


Tafsir Ahkam: Kontroversi Hukum Air Musta’mal

0
Air Musta'mal
Air Musta'mal

Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan air tidak lagi bisa dibuat untuk bersuci, adalah tatkala air tersebut sudah pernah dibuat bersuci dari hadas. Dalam khazanah kitab-kitab fikih, air tersebut dinamai dengan air musta’mal. Sehingga apabila kita berwudhu di sebuah baskom atau kolam air berukuran kecil di kamar mandi, dengan cara mencelupkan tangan ke baskom atau kolam tersebut semisal, maka air tersebut tidak lagi bisa dibuat untuk membasuh sebagian kepala maupun kaki.

Apa yang diyakini mazhab syafi’i tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati oleh para ulama’. Kontroversi tentang keberadaan air musta’mal merupakan salah satu tema tafsir ahkam yang juga diulas oleh beberapa pakar tafsir di dalam tafsir mereka. Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Bersuci Dengan Air Musta’mal

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa ulama’ yang tidak setuju dengan keberadaan air musta’mal adalah Imam Malik. Imam Malik meyakini bahwa air musta’mal atau bekas digunakan berwudhu, hukumnya tetap suci dan mensucikan. Dasar hukum yang dipakai adalah firman Allah:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu (QS. An-Nisa’ [4] :43).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Imam Malik meyakini air musta’mal adalah air mutlak. Maka sudah seharusnya tetap bisa digunakan untuk bersuci sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas. Selain itu, sifat air mutlak bersifat suci dan mensucikan di dalam Al-Qur’an diungkapkan dengan istilah thahuurun. Dan istilah tersebut mengisyaratkan adanya proses berulang-ulang digunakan untuk bersuci (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496).

Sedang dasar yang dipakai Mazhab Syafi’i salah satunya adalah sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairah:

« لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ »

Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sementara ia sedang junub (HR. Imam Muslim).

Hadis di atas menunjukkan bahwa menghilangkan hadas besar dengan cara berendam dapat mempengaruhi air bekas berendam tersebut. Karena apabila tidak, tentu Nabi tidak melarangnya. Selain itu, belum ada riwayat sahabat tatkala dalam perjalanan mereka akan mengumpulkan air bekas wudhu untuk digunakan di lain kesempatan. Padahal keberadaan air sangat terbatas pada saat itu (Tafsir Mafatihul Ghaib/11/431).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam Tafsir Munir menerangkan, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air musta’mal sebab hadas dihukumi suci dan tidak lagi dibuat bersuci. Bersamaan dengan itu, sebenarnya ada dua pendapat yang berbeda terkait status hukumnya. Salah satunya adalah pendapat Imam Abi Yusuf dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah yang menyatakan bahwa air musta’mal dihukumi tidak suci alias najis. Pendapat yang lain, yakni Imam Malik dan Dawud, meyakini bahwa air musta’mal adalah tetap suci dan mensucikan (Tafsir Munir/19/89 dan Al-Majmu’/1/151)

Namun Imam Al-Qurthubi menjelaskan, meski Imam Malik berpendapat bahwa air musta’mal tetap dapat digunakan untuk bersuci, beliau meyakini hukumnya makruh berwudhu dengan air musta’mal. Imam Al-Qurthubi meriwayatkan ucapan Imam Malik :”Tidak ada kebaikan dalam berwudhu dengan air musta’mal. Dan aku tidak menyukai seseorang berwudhu dengannya. Apabila ia ia berwudhu dengannya dan kemudian salat, aku tidak berpendapat bahwa ia perlu mengulangi salat dan berwudhu kembali” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/48).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui

Perlulah diketahui bahwa permasalahan di atas adalah permasalahan air bekas digunakan khusus dalam menghilangkan hadas, bukan najis maupun semacam wudhu sunnah. Para ulama’ fikih sendiri memiliki rincian yang berbeda-beda terkait air bekas menghilangkan hadas, menghilangkan najis dan bekas ibadah sunnah seperti bekas berwudhu yang sifatnya wudhu sunnah saja (Al-Hawi Al-Kabir/1/569).

Kesimpulan dari berbagai uraian di atas, berdasar keterangan Syaikh Wahbah, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air musta’mal sebab hadas, hukumnya suci tapi tidak lagi dapat dibuat bersuci. Memang benar Imam Malik meyakini tetap dapat mensucikan, tapi beliau meyakini hukum makruh di dalamnya. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah Muhammad Ayat 16-18

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Tafsir Surah Muhammad Ayat 16-18 berbicara tentang sikap buruk orang-orang munafik. Disebut munafik, karena mereka sering menampilkan sikap berbeda dari sikap aslinya. Orang-orang munafik banyak dikisahkan oleh al-Qur’an berkenaan dengan sikap buruk yang sering mereka lakukan. Diantara sikap buruk yang diceritakan dalam tafsir kali ini adalah ejekan mereka kepada Nabi Muhammad dan al-Qur’an.

Sebaliknya, al-Qur’an memuji sikap yang ditunjukkan oleh orang beriman, dimana mereka membuka hati dan pikiran, lalu menerima kebenaran yang ditawarkan kepada mereka melalui lisan Nabi Muhammad Saw.

Maka, merugilah mereka yang menutup hatinya dari kebenaran, sebab ketika hari Kiamat tiba, pintu taubat akan tertutup, dan penyesalan tidak lagi berguna.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Muhammad Ayat 14-15


Ayat 16

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad membacakan Al-Qur’an, di antara yang mendengar terdapat orang-orang munafik, namun mereka tidak memahami bacaan beliau.

Setelah mereka pergi meninggalkan Nabi, mereka bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi yang berilmu dan memahami semua perkataannya, “Apakah yang dikatakan Muhammad dalam pertemuan tadi?” Pertanyaan ini adalah sesuatu yang tidak ada faedahnya.

Tujuan mereka melakukan yang demikian tidak lain hanyalah untuk memperolok-olok ucapan Rasulullah. Mereka seakan-akan memahami ucapan beliau, sehingga mereka bertanya dan memberikan tanggapan, dengan mengatakan bahwa yang diucapkan Rasulullah itu tidak ada artinya sedikit pun bagi mereka.

Diriwayatkan oleh Muqatil bahwa Nabi Muhammad berkhutbah dan menerangkan keburukan budi pekerti orang munafik dan di antara yang mendengar khutbah itu ada pula orang munafik.

Setelah khutbah selesai, orang munafik itu keluar dan bertanya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud dengan maksud memperolok-olok dan merendahkan Rasulullah. Di antaranya mereka mengatakan, “Apa yang dikatakan Muhammad tadi?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Saya pun pernah ditanya dengan pertanyaan seperti itu.”

Kemudian ayat itu menerangkan apa sebab kaum munafik melakukan yang demikian. Orang-orang yang telah diterangkan sifat-sifatnya itu adalah mereka yang telah dicap dan dikunci mati hatinya, sehingga mereka tidak dapat lagi menerima petunjuk dan kebenaran yang telah disampaikan kepada mereka.

Ayat 17

Dalam ayat ini diterangkan keadaan orang yang berlawanan sifatnya dengan orang munafik. Mereka adalah orang yang telah mendapat petunjuk, beriman, mendengar, memperhatikan, dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dada mereka dilapangkan Allah, hati mereka menjadi tenteram bila mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an atau bila mereka membacanya, pengetahuannya semakin bertambah tentang agama Allah. Allah menambah petunjuk lagi bagi mereka dengan jalan ilham dan membimbing mereka untuk mengerjakan amal saleh serta memberi kesanggupan kepada mereka untuk menambah ketaatan dan ketakwaan mereka.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qashash Ayat 77: Berbuat Baiklah Sebagaimana Allah Berbuat Baik Padamu!


Ayat 18

Orang-orang yang telah dicap dan dikunci mati hatinya sehingga tidak dapat lagi menerima kebenaran dan petunjuk adalah orang yang hidupnya sudah tidak lagi berfaedah. Mereka hanya menunggu-nunggu kematian dan kedatangan hari Kiamat yang datang secara tiba-tiba.

Apabila hari Kiamat itu telah datang, dan memang telah terlihat tanda-tandanya, maka tidak ada lagi gunanya peringatan bagi mereka, dan Allah tidak akan menerima tobat mereka, bahkan tidak ada gunanya lagi iman dan amal bagi mereka. Allah berfirman:

وَجِايْۤءَ يَوْمَىِٕذٍۢ بِجَهَنَّمَۙ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَذَكَّرُ الْاِنْسَانُ وَاَنّٰى لَهُ الذِّكْرٰىۗ  ٢٣

Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam; pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu. (al-Fajr/89: 23)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 19