Beranda blog Halaman 190

Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

0
Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?
Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Dalam kajian tematik (maudlu’i), salah satu tema pokok al-Quran yang mendapat perhatian adalah menyangkut istilah ahl al-Kitab. Terdapat perbedaan pendapat dalam memandang siapa ahl al-Kitab yang sebenarnya ditunjuk oleh al-Quran.

Ada sebagian yang menyatakan ahl al-Kitab adalah setiap pemeluk agama yang menerima kitab suci, ada yang berpendapat bahwa mereka adalah orang yang berpegang pada kitab sucinya, yang sekarang sudah tidak ada.

Dari persoalan ini, penulis berupaya memaparkan bebrapa pendapat yang menguraikan siapa yang dimaksud dengan ahl al-kitab yang disinggung oleh al-Quran dalam QS. al-Ankabut [29]; 46.

Allah berfirman,

وَلَا تُجَٰدِلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا بِٱلَّذِىٓ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَٰحِدٌ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

Artinya, “Dan jangan-lah kamu membantah Ahli Kitab kecuali yang terbaik, kecuali orang-orang yang kezaliman di antara mereka, dan katakana-lah: ‘Kami telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa dan kami kepada-Nya adalah orang-orang muslim”.

Ayat ini menerangkan mengenai tuntunan untuk berlaku baik dan beretika dalam bertukar pikiran (diskusi) dengan ahl al-Kitab. Ada sebagian yang memahami  yang dimaksud dengan “bantahan” atau bertukar pikiran (diskusi) dengan cara yang lembut ini diperuntukkan kepada mereka yang telah memeluk Islam (Quraish Shihab, 2005: 514).

Sedangkan makna kata “kecuali orang-orang yang zalim di antara kamu”, dipahami sebagai ahl al-kitab yang belum masuk Islam. Adapun dalam Tafsir Ibnu Katsir, dikatakan mereka yang zalim adalah mereka yang menyimpang dari kebenaran serta buta (terhadapa kebenaran), sombong, dan takabur.

Dari pandangan Sayyid Quthb, ahl al-Kitab yang zalim adalah mereka yang merubah isi kitab suci mereka, dan yang berpaling dari tauhid kepada kemusyrikan, sedangkan syirik merupakan kezaliman yang besar. Kepada merekalah menurut Sayyid Quthb tidak diperlukannya diskusi atau tukar pikiran. Menurutnya, merekalah yang diperangi oleh umat Islam (Quraish Shihab, 2005: 515).

Jika-pun mereka yang zalim itu diajak pada cara yang baik serta lemah lembut, mereka enggan, malahan bersikap menentang dan memusuhi. Hal yang demikian telah terjadi pada bani Nadhir, bani Qainuqa’, dan bani Quraizah di Madinah. Mereka yang bagaimanapun sopan dan lembutnya seseorang mengutarakan kebenaran, mereka tetap saja akan mencara ribuan alasan untuk menolak dan menentang kebenaran tersebut (Hamka, 1988: 7).

Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Firman-Nya, “Kami telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang yang diturunkan kepada kamu.” menuntun kita agar tidak langsung menolak ataupun mendustakan apa yang telah mereka (ahl al-Kitab) kabarkan. Ada kiranya, penyampaian mereka sejalan dengan al-Quran atau Sunnah, maka tidak ada halangan untuk menerimanya. Adapun jika tidak sesuai dengan al-Quran atau Sunnah, maka tidak ada alasan seorang untuk menolaknya

Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian membenarkan ahl al-kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Dan katakanlah: ‘Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Ilah kami dan Ilah kalian adalah satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri”. (H.R. Bukhari).

Sementara ulama sepakat bahwa yang disebut sebagai ahl al-kitab adalah golongan Nasrani dan Yahudi. Adapun pendapat lain seperti al-Qasimi memiliki pandangan bahwa Budha merupakan nabi, dan golongan mereka-pun dapat disebut sebagai ahl al-Kitab. Al-Qasimi pun mengira, bahwa pohon yang disebut dengan at-Tin adalah pohon Budha (Quraish Shihab, 2007: 368).

Selain istilah ahl al-kitab, al-Quran juga menggunakan beberapa istilah lainnya, seperti utul kitab, utu nashiban minal kitab, al-Yahud, al-Ladzina hadu, bani Israil, an-Nashara, dan beberapa istilah lainnya yang semaka atau identik dengan istilah ahl al-kitab.

Kesan umum yang diperoleh, bila al-Quran menggunakan kata al-Yahudu maka itu mengandung kecaman. Berbeda jika al-Quran menggunakan kata al-Ladzina Hadu dan kata an-Nashara, maka ayat itu memiliki pesan yang beragam, yakni dapat berupa kecaman maupun pujian, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah [5]: 82, yang menjelaskan, bahwa orang Nasrani lah yang paling dekat persaudaraannya dengan kaum Muslim (Shihab, 2007: 348).

Quraish menguraikan lebih lanjut, bahwa kebanyakan kecaman terhadap ahl al-kitab itu dialamatkan kepada kaum Yahudi (Shihab, 2007). Lantas, mengapa terdapat banyak kecaman terhadap mereka? Itu karena sifat sebagian mereka yang berusaha untuk menjerumuskan kaum muslim pada kemurtadan. Meskim demikian, sebagian lainnya ada yang lurus dan kembali kepada Allah.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Siapakah ahl al-kitab?

Banyak ikhtilaf (perbedaan pandangan) mengenai siapa yang dimaksud oleh Quran sebagai ahl al-kitab. al-Maududi mengatakan, Imam Syafi’I memahami istilah tersebut sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, mengisyaratkan yang berbangsa lain tidak termasuk mereka. Beliau beralasan Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan hanya untuk bani Israel saja.

Sementara Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama pakar hukum memiliki pandangan berbeda. Mereka berpandangan, orang yang percaya atau mengimani pada salah satu nabi (saja) atau kitab yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk ahl al-kitab.

Adapun pandangan lain (sebagian kecil ulama salaf) yang menyebutkan, bahwa mereka yang memiliki kitab suci (samawi) dapat dicakup dalam pengertian ahl al-kitab (Shihab, 2007: 367). Termasuk di dalamnya menurut al-Maududi yang diuraikan oleh Quraish Shihab dalam buku Wawasan al-Quran, adalah penganut Majusi. Hingga kemudian maknanya diperluas oleh pakar hukum kontemporer, bahwa agama Hindu maupun Budha dapat disebut sebagai ahl al-kitab.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir-pun diperjelas, bahwa Abu Tsaur berpendapat bahwa umat Islam boleh menikmati makanan dari sembelihan orang Majusi. Dengan demikian, seorang muslim juga dapat menikah dengan perempuan majusi, dengan beberapa syarat. Namun berbeda dengan ini, Abdullah ibn Umar melarang keras pernikahan dengan ahl al-Kitab, karena ia menganggap mereka adalah golongan musyrik.

Pandangan Quraish Shihab sendiri, ketika membahas tema mengenai ahl al-kitab, beliau membatasi istilahnya pada dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dan dalam  kesimpulan beliau, beliau menambahkan, bahwa “Tidak wajar seorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam karena ia memilih salah satu pendapat”. Lantas, bagaimana sikap kita terhadap mereka? di sini al-Quran mengajarkan, untuk bersikap sesuai dengan sikap mereka.

Berdasarkan uraian di atas, juga dapat dipahami bahwa tidak semua ahl al-kitab itu sama. Ada sebagian dari mereka yang bersahabat (QS. 5: 82) bahkan masuk Islam. Ada pula sebagian dari mereka yang mengajak pada kemurtadan (QS. 2: 120), yang mana mereka tidak rela terhadap Nabi saw. sampai Nabi saw. Rela mengikuti agama mereka.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 2

0
Tafsis Surah al-Hasyr
Tafsis Surah al-Hasyr

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 2, melanjutkan sebelumnya yakni awal mula Rasulullah memutuskan untuk berperang melawan orang-orang kafir yang terus menerus mengancam umat Islam. Tafsir Surah al-Hasyr menceritakan rencana pembunuhan Rasulullah oleh Bani Nadhir yang menyebabkan mereka terusir dari Madinah. Ayat 2 surah al-Hasyr ini merupakan ayat pertama yang menyatakan pengusiran terhadap orang Yahudi di Madinah, kelak setelah perang al-Ahzab Allah kembali mengusir orang Yahudi dari Madinah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1


 

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 2

Setelah peristiwa Bani Qainuqa’, orang-orang Yahudi Bani Nadhir melakukan pengkhianatan pula. Mereka merencanakan pembunuhan atas diri Nabi Muhammad. Percobaan pembunuhan itu mereka lakukan pada waktu Nabi dan para sahabat berkunjung ke perkampungan mereka. Akan tetapi, rencana mereka itu gagal dan Rasulullah saw selamat dari percobaan pembunuhan itu. Sehubungan dengan hal itu, Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ هَمَّ قَوْمٌ اَنْ يَّبْسُطُوْٓا اِلَيْكُمْ اَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ اَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗوَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ ࣖ   ١١

Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu, ketika suatu kaum bermaksud hendak menyerangmu dengan tangannya, lalu Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah-lah hendaknya orang-orang beriman itu bertawakal. (al-Ma’idah/5: 11).

Setelah Rasulullah saw membongkar rencana pembunuhan itu, maka beliau memutuskan untuk mengusir Bani Nadhir dari kota Medinah. Pengusiran ini terjadi pada bulan Rabiulawal tahun keempat Hijriah. Di antara mereka ada yang menetap di Syam dan Khaibar.

Keputusan Rasulullah saw ini mereka tentang, dan secara diam-diam mereka menyusun kekuatan untuk memerangi kaum Muslimin. Mereka mengadakan persekutuan dengan orang-orang musyrik Mekah dan orang munafik. Bani Quraizah yang masih tinggal dalam kota Medinah ikut pula dalam persekutuan itu. Maka Rasulullah saw mengepung mereka selama 25 hari. Di antara mereka ada yang terbunuh dan diusir.

Dengan demikian, semua orang Yahudi yang dahulu tinggal di Medinah telah berpindah ke tempat lain, seperti Khaibar, Syam, dan negeri-negeri yang lain. Inilah yang dimaksud dengan pengusiran dalam ayat ini, yaitu pengusiran orang-orang Yahudi dari kota Medinah karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah mereka buat dengan Rasulullah saw.

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengusir orang-orang Yahudi, Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir, dari Medinah untuk pertama kalinya dengan memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin untuk mengalahkan dan mengusir mereka.

Perkataan “pertama kalinya” menunjukkan bahwa ada beberapa kali terjadi pengusiran orang-orang Yahudi dari Medinah. Adapun yang dimaksud dalam ayat ini adalah pengusiran pertama. Pengusiran berikutnya ialah pengusiran orang-orang Yahudi Bani Quraizah setelah Perang Ahzab, dan pengusiran yang dilakukan ‘Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah.

Orang-orang yang beriman tidak mengira bahwa orang-orang Yahudi dapat terusir dari kota Medinah, mengingat keadaan, kekuatan, kekayaan, pengetahuan, dan perlengkapan mereka. Orang-orang Yahudi yang tinggal di Medinah pada waktu itu lebih baik keadaannya dibandingkan dengan kaum Muhajirin dan kaum Ansar.

Mereka banyak yang pandai tulis baca, banyak yang berilmu, dan sebagainya, di samping kelihaian mereka dalam berusaha, berdagang dan mengurus sesuatu. Kenyataan menunjukkan bahwa pengusiran itu terlaksana. Hal ini dapat memperkuat iman kaum Muslimin dan kepercayaan mereka akan adanya pertolongan Allah.


Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang


Bani Nadhir semula mengira bahwa benteng-benteng yang kokoh yang telah mereka buat dapat menyelamatkan mereka dari serangan musuh-musuh. Mereka percaya benar akan kekuatannya, sehingga mereka semakin berani mengadu domba dan memfitnah kaum Muslimin, sehingga orang-orang musyrik Mekah bertambah kuat rasa permusuhannya. Lalu orang Yahudi merencanakan persekutuan dengan orang-orang musyrik dan orang-orang munafik untuk memerangi kaum Muslimin.

Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba Bani Nadhir dikalahkan oleh kaum Muslimin yang mereka anggap enteng selama ini. Bahkan mereka diusir dari Medinah. Mereka hanya diperkenankan membawa barang-barang mereka sekadar yang dapat dibawa unta-unta mereka. Sebagian Bani Nadhir pergi ke Adzriat (Syam) dan sebahagian lagi ke Khaibar.

Kemudian diterangkan sebab-sebab kekalahan, penerimaan, dan ketundukan Bani Nadhir kepada keputusan Rasulullah saw ketika beliau datang kepada mereka. Pada waktu itu, timbullah ketakutan yang amat sangat dalam hati mereka, terutama karena tindakan Rasulullah menjatuhkan hukuman mati kepada pimpinan mereka yaitu Ka‘ab bin Asyraf dan ditambah lagi dengan tindakan orang-orang munafik yang tidak menepati janjinya terhadap mereka.

Allah menerangkan keadaan orang-orang Yahudi Bani Nadhir di waktu mereka akan meninggalkan Medinah dalam keadaan terusir. Mereka meruntuhkan rumah-rumah mereka, dan menutup jalan-jalan yang ada dalam perkampungan mereka, dengan maksud agar rumah itu tidak dapat dipakai kaum Muslimin dan agar mereka dapat membawa peralatannya sebanyak mungkin.

Mereka meninggalkan Medinah dengan penuh kemarahan dan dendam kepada kaum Muslimin, tetapi mereka tidak mau memahami dan memikirkan sebab-sebab mereka diusir, apakah keputusan itu telah sesuai dengan tindakan mereka atau tidak.

Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan kaum Muslimin yang mau menggunakan pikirannya agar merenungkan peristiwa itu, dan mengambil pelajaran darinya. Jika mereka merenungkan dan memikirkan dengan baik, tentu akan berkesimpulan bahwa keputusan dan hukuman yang dijatuhkan kepada Bani Nadhir itu adalah keputusan dan hukuman yang setimpal, bahkan dianggap ringan mengingat perbuatan dan tindakan yang telah mereka lakukan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Hasyr ayat 3-5


 

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 1

0
Tafsis Surah al-Hasyr
Tafsis Surah al-Hasyr

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 1 mengisahkan tentang perjanjian damai yang telah dilakukan oleh Rasulullah dengan tiga suku yang ada di Madinah setelah berhijrah. Namun, kedengkian dan kerasnya hati Bani Qainuqa’ yang melanggar perjanjian terus menerus mengakibatkan awal mula terjadinya perang badar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1


Ayat 2

Dalam Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 1, diterangkan bahwa di antara bukti keperkasaan dan kebijaksanaan Allah ialah menjadikan orang Yahudi terusir dari kota Medinah. Atas pertolongan-Nya, kaum Muslimin dapat mengusir mereka dari tempat kediaman mereka, padahal mereka sebelumnya adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan menguasai suku Aus dan Khazraj dalam berbagai bidang kehidupan.

Sejak sebelum kelahiran Nabi Isa, orang-orang Yahudi telah mendiami kota Medinah. Mereka terdiri atas tiga suku, yaitu suku Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizah. Setelah Nabi Muhammad hijrah ke Medinah, beliau mengadakan perjanjian damai dengan ketiga suku itu. Di antara isi perjanjian damai itu ialah:

  1. Kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi sama-sama berusaha menciptakan suasana damai di kota Medinah. Masing-masing dari mereka dibebaskan memeluk agama yang mereka yakini.
  2. Kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi wajib saling menolong dan memerangi setiap orang atau kabilah lain yang hendak menyerang kota Medinah.
  3. Barang siapa di antara masing-masing mereka bertempat tinggal di dalam atau di luar kota Medinah, wajib dipelihara keamanan dan hartanya.
  4. Seandainya terjadi perselisihan atau pertentangan antara kaum Muslimin dan orang-orang Yahudi, yang tidak dapat diselesaikan, maka urusannya diserahkan kepada Nabi Muhammad.

Sekalipun telah diadakan perjanjian damai seperti yang telah diterangkan di atas, dalam hati orang-orang Yahudi masih tertanam rasa dengki dan iri hati kepada Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin. Mereka menganggap diri mereka sebagai putra dan kekasih Allah, dengan demikian rasul dan kenabian itu adalah hak mereka sebagai orang Yahudi.

Menurut mereka, suku bangsa yang lain tidak berhak atas kedudukan yang diberikan Allah itu. Perasaan dengki dan iri hati mereka semakin bertambah setelah melihat keberhasilan Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam, sehingga semakin hari semakin berkembang, sedangkan mereka tidak mampu menghalanginya. Sekalipun demikian, mereka selalu mengintai kesempatan untuk melaksanakan keinginan mereka. Allah berfirman:

وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًاۚ حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۚ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ   ١٠٩

Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah/2: 109)

Pada awalnya, mereka mencoba mengalahkan Nabi Muhammad dengan cara berdebat, tetapi mereka selalu gagal dalam mematahkan alasan-alasan yang dikemukakannya. Oleh karena itu, mereka mulai menempuh cara kekerasan, provokasi, dan fitnah.

Mula-mula Bani Qainuqa’ melanggar perjanjian damai yang telah dibuat dengan Rasulullah saw. Pada suatu hari, seorang perempuan Arab Muslimah masuk pasar Bani Qainuqa’, lalu mereka menganiayanya. Seorang Arab yang kebetulan sedang lewat di tempat itu mencoba membelanya, tetapi ia dikeroyok dan dipukuli sampai meninggal dunia.

Perbuatan Bani Qainuqa’ ini menimbulkan amarah kaum Muslimin, sehingga terjadilah perkelahian antara kedua kelompok, yang menimbulkan kerugian harta dan jiwa pada kedua belah pihak. Rasulullah saw berusaha mendamaikannya, tetapi mereka selalu mengingkarinya dan melakukan keonaran.

Karena sikap mereka yang selalu menunjukkan permusuhan kepada kaum Muslimin dan membahayakan keamanan kota Medinah, maka Rasulullah memberi keputusan memerangi mereka sehingga mereka keluar dari kota Medinah. Peristiwa itu terjadi setelah Perang Badar.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Hasyr ayat 2 part 2


 

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1

0
Tafsis Surah al-Hasyr
Tafsis Surah al-Hasyr

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1 menunjukkan kekuasaan Allah swt dalam wujud semua makhluk hidup maupun mati yang ada di langit maupun bumi bertasbih kepada Allah. Di akhir Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1 menegaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terutama sebab akibat dari semua yang telah diciptakan-Nya.


Baca Juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits


Ayat 1

Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1 ini menerangkan bahwa telah bertasbih kepada Allah dan mengagungkan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi, dengan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun dengan pernyataan hati sanubarinya. Allah berfirman:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا  ٤٤

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun. (al-Isra’/17: 44).

Dari ayat pertama ini dipahami bahwa seluruh makhluk Allah yang di langit dan di bumi, baik berupa makhluk hidup, seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maupun makhluk mati seperti batu, air, udara, planet, sungai-sungai, dan sebagainya, bertasbih kepada-Nya. Masing-masing bertasbih menurut keadaan dan kejadiannya.

Jika diperhatikan seluruh makhluk Allah yang ada, akan diketahui bahwa tiap-tiap makhluk itu tunduk kepada hukum dan ketetapan yang telah ditentukan baginya. Seakan-akan makhluk-makhluk itu tidak sanggup melepaskan diri dari hukum dan ketetapan itu. Jika ia melanggarnya, niscaya ia akan rusak atau hancur. Hukum dan ketetapan ini merupakan sunah Allah.

Sebagai contoh ialah hukum air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Air hujan yang turun dari langit menimpa daerah pegunungan, akan tertahan alirannya jika ada yang menahannya. Yang menahannya ialah tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dengan subur di pegunungan.


Baca Juga:Tafsir An-Nahl Ayat 12: Tanda Kekuasaan Allah dalam Pergerakan Matahari


Dengan adanya tumbuh-tumbuhan, maka air akan masuk ke dalam tanah melalui akar-akarnya, sehingga air hujan tidak langsung mengalir ke tempat yang rendah. Aliran air itu seakan-akan diatur sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk minum, pertanian, dan sebagainya.

Jika suatu daerah adalah area yang tandus, maka air hujan tidak ada yang menahannya. Air langsung mengalir ke tempat yang rendah menuju laut, sehingga tidak dapat dimanfaatkan manusia, bahkan dapat merusak manusia dengan adanya bahaya banjir dan kekeringan pada musim kemarau.

Dalam hal ini, air tunduk kepada hukum dan ketetapan yang ditetapkan Allah. Tidak seorang pun yang dapat mengingkari hukum dan ketetapan itu, termasuk manusia. Jika manusia memusnahkan hutan, maka bahayanya langsung menimpa mereka. Sebaliknya, jika mereka memeliharanya dengan baik, maka manfaatnya langsung pula mereka terima.

Banyak lagi contoh lain yang menunjukkan bahwa seluruh makhluk senantiasa tunduk dan patuh kepada hukum Allah, seperti hukum daya tarik bumi, dan hukum yang berlaku bagi manusia seperti, barang siapa yang rajin akan berhasil, dan barang siapa yang pemalas tidak akan berhasil. Semua manusia secara fisik tunduk kepada hukum ini. Mengikuti hukum dan ketetapan Allah dengan sebaik-baiknya itu berarti bertasbih kepada-Nya.

Seluruh benda baik di langit maupun di bumi, dari partikel terkecil hingga super galaksi tunduk mengikuti ketetapan Allah (sunatullah). Sebagai contoh adalah perbedaan massa dan orbit planet-planet dalam tata surya kita membentuk sistem dinamis yang stabil dan sempurna, dan berinteraksi satu sama lain dengan penuh harmoni. Semua bertasbih atau tunduk pada ketentuan Allah.

Sebagaimana telah diterangkan pada ayat-ayat yang lalu bahwa hukum Allah itu berupa sunatullah, yaitu hukum yang berlaku di alam ini. Syariat adalah ketentuan dan aturan Allah yang dibawa oleh para rasul untuk manusia. Manusia pasti tunduk dan patuh kepada sunatullah dan wajib taat dan melaksanakan syariat Allah. Adapun makhluk-makhluk yang lain hanya tunduk kepada sunatullah. Manusia yang tunduk kepada kedua hukum Allah itu adalah manusia yang berbahagia hidupnya di dunia dan di akhirat.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Maksudnya ialah Allah Pencipta semesta alam adalah Zat Mahaperkasa, tidak ada suatu apa pun yang dapat melanggar hukum dan ketetapan-Nya.

Barang siapa yang menentang dan melanggarnya akan merasakan akibatnya baik secara langsung atau tidak. Seandainya di dunia mereka belum menerima akibatnya, di akhirat pasti akan merasakannya.

Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui dengan pasti faedah dan kegunaan penciptaan-Nya. Allah mengetahui dengan pasti sebab sesuatu diciptakan dan mengetahui dengan pasti pula akibat-akibat yang akan ditimbulkan ciptaan-Nya itu, baik akibatnya itu besar atau kecil.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Hasyr ayat 1


 

Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Lain

0
Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Selainnya
Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’?

Memang benar bahwa penyusunan ayat dan surah di dalam al-Quran berdasarkan sistem tauqifi (diatur langsung oleh Allah Swt.), bukan berdasarkan urutan turunnya. Sehingga bisa saja ayat atau surah yang turun belakangan ternyata diletakkan lebih depan daripada yang turun lebih awal. Terbukti yang termaktub sebagai surah pertama adalah Al-Fatihah, meski banyak yang meyakini surah Al-Alaq lah yang pertama kali turun.

Opini umum di masyarakat meyakini bahwa ayat al-Quran yang turun pertama kali adalah Al-Alaq 1-5, tepat saat Nabi sedang melakukan tahannust (berkhalwat) di Gua Hira’. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, ra dalam kitab Sahih Bukhari, jilid 1 halaman 7, beliau berkata:

Permulaan turunnya wahyu kepada Nabi berupa mimpi yang benar (ar-Ru’yah as-Shadiqah) dan Nabi tidak melihat wahyu datang melainkan bagaikan cahaya subuh. Kemudian Nabi diberi kecenderungan untuk berkhalwat (menyendiri) mengucilkan diri dari manusia untuk bertahannus di Gua Hira’. Melakukan ibadah selama beberapa hari dengan bekal secukupnya. Jika bekalnya habis, ia pulang ke Khadijah, lalu kembali lagi dengan hal yang sama. Hingga datanglah Malaikat (Jibril) dan berkata, “Bacalah wahai Muhammad.” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Lalu Jibril mendekapnya dan menutupi Nabi hingga beliau merasa payah. Tidak lama dari itu, Jibril melepasnya dan berkata dengan hal yang sama. Jawaban Nabi pun tidak jauh beda dari sebelumnya. Hingga untuk perintah Jibril yang ketiga, Nabi menjawab, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu, yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Mulia, yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajar manusia apa yang tidak tahu.”

Tiga pendapat lain tentang surah yang pertama kali turun

Namun As-Suyuthi dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran, jilid 1 halaman 91, menyebutkan bahwa ada tiga pendapat berbeda dari para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa sebenarnya ayat yang turun pertama kali kepada Rasulullah saw. bukanlah iqra’ bismi rabbika, melainkan surah al-Mudatsir.

Landasan ulama dalam pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Salamah bin Abdurrahman. Suatu saat beliau bertanya kepada Sahabat Jabir bin Abdullah, “Yang manakah (al-Quran) yang lebih awal turun, al-Mudatsir atau Iqra’?” Jabir menjawab, “Akan aku ceritakan kepadamu sesuatu yang telah diceritakan oleh Rasulullah.” Yaitu:

“Suatu ketika aku berdiam (iktikaf) di Gua Hira’. Sehabis itu aku pun turun lalu memasuki lembah, dengan melihat ke arah depan-belakang, kanan-kiri dan terakhir aku melihat ke atas (langit) yang di sana ada Jibril. Aku pun merasa dingin, lalu mendatangi Khadijah dan menyuruhnya menyelimutiku. Hingga Allah pun menurunkan surah al-Mudatsir.”

Berbagai kritik tertuju dari banyak ulama pada pendapat ini. Di antaranya bahwa yang dimaksud al-Mudatsir yang pertama kali turun adalah dalam rangka risalah (kerasulan) untuk disampaikan kepada umat manusia. Sebagaimana pesan yang ada, yaitu untuk bersabar, meninggalkan perbuatan dosa dan lain sebagainya. Sementara ayat Iqra’ turun pertama kali dalam rangka nubuwah (diangkat sebagai nabi).

Di samping itu, terdapat juga hadis yang diriwayatkan oleh Abi Salamah dari Jabir yang mendengar Nabi saw. menceritakan tentang masa kekosongan wahyu (Fatra al-Wahyi), beliau berkata:

“Saat sedang duduk, aku mendengar suara, lalu aku mendongakkan kepalaku ke atas (langit) dan tiba-tiba Malaikat yang pernah mendatangiku di Gua Hira’ duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku pun kembali dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Lalu turunlah surah al-Mudatsir.”

Ketika Nabi mengatakan bahwa Malaikat itu pernah datang saat beliau di Gua Hira, berarti jelas bahwa malaikat itu pernah datang ke Nabi sebelumnya dan bisa jadi ketika menyampaikan wahyu surah al-Alaq.

Baca juga: Al-Alaq ataukah Al-Muddatstsir, Surat Yang Pertama Kali Diturunkan?

Pendapat kedua adalah pendapat yang mendapatkan banyak dukungan dari kalangan mufassirin, bahwa surah yang pertama kali turun adalah surah Al-Fatihah. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abi Maisarah Umar bin Surahbil bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Khadijah:

Ketika aku berkhalwat (menyendiri), aku mendengar suara panggilan, sungguh demi Allah aku khawatir ini adalah suatu pertanda. Khadijah menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh Dia tidak akan melakukan apapun kepadamu. Engkau adalah orang yang menunaikan amanah, menyambung tali silaturahmi, dan menyampaikan berita (benar).”

Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan Khadijah menceritakan apa yang telah terjadi pada Nabi, lalu dia menyuruhnya untuk berangkat ke Waraqah bin Naufal bersama Nabi. Ketika keduanya berangkat menuju Waraqah, Nabi berkata:

“Ketika aku berkhalwat, aku mendengar suara memanggil di belakangku, Wahai Muhammad, wahai Muhammad! Hingga aku pun lari kencang. Waraqah berkata, ‘jangan lakukan hal itu. Diamlah dan dengarkan apa yang dikatakan, lalu setelah itu datanglah kepadaku dan ceritakan apa yang terjadi.”

Tidak lama setelah itu, Nabi berkhalwat, dan suara panggilan itu pun terulang, yaitu:

“Wahai Muhammad, bacalah al-hamdulillahi rabbi al-‘alamin…” sampai akhir ayat.

Baca juga: Peran Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama di Bulan Ramadan

Pendapat ketiga adalah pendapat yang diceritakan Ibnu Naqib dalam kitab tafsirnya. Bahwa ayat yang pertama kali turun kepada Nabi adalah basmalah. Juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa pertama kali ketika Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi, dia berkata:

“Wahai Muhammad, berlindunglah kepada Allah, lalu bacalah bismillahirrahmanirrahim.”

Pendapat ketiga ini dikomentari oleh As-Suyuthi, bahwa pendapat ini masih ada hubungan erat dengan dua pendapat sebelumnya. Sebab basmalah sudah pasti ikut dalam setiap ayat atau surah yang diturunkan, kecuali surah At-Taubah.

Baca juga: Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Basmalah? Begini Penjelasannya Dalam Tafsir Al-Mishbah

Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab

0
Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab
Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas dari Budaya Arab

Setelah peradaban manusia memasuki era modern dengan berbagai perubahannya, peninjauan kembali khazanah pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan. Bisa jadi, pemikiran yang muncul di zaman pra-modern dianggap aneh, asing, dan tidak diperhitungkan di zaman modern, justru relevan dan sangat dibutuhkan dalam upaya penyegaran pemikiran Islam.

Saya tertarik untuk memaparkan pemikiran menarik Abu Yusuf (w.182/798) tentang kontekstualisasi nas. Menurut al-Qaradawi (l. 1926) dalam al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islam (116), Abu Yusuf merupakan murid langsung dari Abu Hanifah (w. 150/767) yang kerap berselisih dengan gurunya tersebut.

Subhi Mahmasani (w. 1986) dalam Falsafah al-Tasyri’ fi al-Islam (160-161) mengutip sebuah kaidah penting dari Abu Yusuf yaitu:

اِذَا كَانَ النَّصُ مَبْنِيًّا عَلَى الْعَادَةِ ثُمَّ تَغَيَّرَتْ يَجِبُ اتِّبَاعُ الْعَادَةِ الْجَدِيْدَةِ عَلَى الْعَادَةِ الْقَادِمَةِ

“Ketika nas lahir atas dasar budaya, kemudian budaya tersebut berubah, maka wajib (bagi mujtahid) untuk mengikuti atau mendahulukan budaya baru atas budaya lama”

Kaidah ini merupakan distingsi Abu Yusuf dari mayoritas ulama, di mana mereka tidak memperhitungkan pengaruh budaya terhadap lahirnya nas. Penggunaan kaidah ini memungkinkan mujtahid untuk mengkontekstualisasikan nas dengan merumuskan produk hukum yang sejalan dengan perkembangan zaman, meski itu berbeda dari makna eksplisit nas.

Dalam bukunya, Mahmasani menyebutkan dua contoh. Contoh pertama merupakan produk pemikiran Abu Yusuf sendiri, sementara contoh kedua merupakan aplikasi kaidah Abu Yusuf dalam permasalahan kontemporer yang Mahmasani contohkan.

Contoh Aplikatif: Perubahan Budaya dari Satuan Volume ke Satuan Masa

Contoh pertama adalah mengenai perubahan budaya dari takaran ke timbangan. Mahmasani mengutip hadis Rasulullah yang dikutip dari kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah (w. 620/1224):

الْبِرُّ بِالْبِرِّ كَيْلاً بِكَيْلِ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلًا بِكَيْلٍ

“Barter antara gandum satu dengan gandum lain diukur berdasarkan takaran dan barter jerawut satu  dengan jerawut lain juga diukur berdasarkan takaran”

Hadis ini berkaitan dengan masalah riba dalam barter, yang mana jika dua barang yang dipertukarkan takarannya (volume) tidak setara, maka statusnya adalah riba. Lantas bagaimana hukum barter gandum dengan gandum, jika pengukuran kesetaraannya menggunakan timbangan (masa) yang berarti memungkinkan terjadinya perbedaan dalam volume?

Mahmasani menjelaskan bahwa nas hadis di atas terbangun atas dasar budaya Arab di masa Rasulullah. Jadi, penggantian dari standar volume ke standar masa seperti di masa sekarang bukanlah masalah, bahkan merupakan kewajiban.

Dalam Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah (152) karya al-Qaradawi, pendapat ini merupakan pendapat asli Abu Yusuf. Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama lain yang berpegang teguh pada apa yang Rasulullah tentukan dalam sunah sungguhpun budaya telah berubah. Pada permasalahan ini, kita dapat melihat sisi fleksibilitas gagasan Abu Yusuf.

Baca juga: Yusuf al-Qaradhawi: Pengkaji Al-Quran dan Maestro Kajian Islam Kontemporer

Contoh Aplikatif: Perubahan dari Rukyat ke Hisab dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

Contoh kedua adalah mengenai persoalan penentuan awal bulan Hijriah. Persoalan ini selalu menjadi isu hangat di Indonesia sebab berkaitan erat dengan kapan harus memulai puasa Ramadan dan kapan harus mengakhirinya.

Rukyat menjadi metode mainstream di Indonesia dan menurut Sayyid Alawi al-Maliki (w. 1971) dalam Ibanah al-Ahkam (II, 525-526), merupakan kesepakatan empat mazhab.

Metode mainstream ini disandarkan pada petunjuk eksplisit hadis (‘ibarah al-nashsh) yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam Sahih Muslim yang menjelaskan bahwa rukyat merupakan ‘illat (faktor penentu) memulai dan mengakhiri puasa:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيِتِهِ

“Berpuasalah karena melihat (rukyat) hilal dan berhentilah berpuasa karena melihat hilal” (H.R Muslim).

Hadis ini merupakan tafsir aplikatif Rasulullah terhadap Q.S al-Baqarah [2]: 185 yang menjelaskan mengenai kewajiban berpuasa bagi orang yang menjumpai Ramadan:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهٌ

Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah

Ayat di atas hanya mengatakan “Barang siapa di antara kamu ada di bulan itu”, tidak menjelaskan mengenai cara mengetahui masuknya Ramadan. Rasulullah menentukan cara mengetahui awal Ramadan dengan cara melihat (baca: rukyat) hilal. Cara Rasulullah ini kemudian dipahami secara apa adanya oleh mayoritas ulama.

Adapun para penganut kaidah Abu Yusuf seperti Mahmasani mencoba menyoroti lebih dalam mengenai status rukyat, apakah itu termasuk budaya atau bukan. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim menjelaskan bahwa pemilihan Rasulullah atas rukyat didorong oleh budaya berupa realita bahwa kebanyakan masyarakat Arab abad ke-7 M tidak bisa menulis dan menghitung (hisab).

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِيَّةٌ لَانَكْتُبُ وَلَا نَحْسِبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وِعِشْرِيْنَ وَ مَرَّةً ثَلَاثِيْنَ

“Kita adalah umat ummi yang tidak bisa menulis dan menghitung. Bulan itu begini dan begini. Rasulullah menghendaki yang pertama 29 hari dan yang kedua 30 hari.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menujukan bahwa status ketidakmampuan menulis dan menghitung merupakan alasan dari penggunaan rukyat. Ketika umat telah keluar dari status ini dan ilmu astronomi (hisab) telah berkembang sedemikian maju yang memungkinkan bagi Muslim untuk mengetahui awal bulan Hijrah secara pasti dan yakin, maka peralihan dari metode rukyat ke hisab adalah sebuah keniscayaan dan layak untuk dijadikan sebagai metode baru sebagaimana Yusuf al-Qaradawi tegaskan juga dalam Kaifa Nata’amal (165-173).

Baca juga: Penafsiran Umar bin Khattab sebagai Dasar Model Tafsir Kontekstual menurut Abdullah Saeed

Penutup

Dari penjelasan di atas, saya ingin memberikan tiga poin penutup. Pertama, adalah sebuah keniscayaan untuk menyegarkan pemahaman agama dengan basis nalar yang kuat agar agama dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dapat berjalan berdampingan dan saling menyempurnakan.

Kedua, upaya kontekstualisasi pemahaman nas masih memungkinkan untuk merevitalisasi khazanah keilmuan klasik bernama usul al-fiqh.

Ketiga, dengan merevitalisasi khazanah pemikiran klasik, suatu pendapat hukum tidak kehilangan otoritasnya. Hal ini berbeda dengan ide pembaruan yang mengusung metodologi baru yang benar-benar lepas dari usul al-fiqh, yang mana kelompok tradisionalis masih menolaknya, sungguhpun saya sebagai akademisi dapat menerimanya secara kritis.

Baca juga: Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual

Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits

0
Media Sosial
Tafsir Populer di Media Sosial

Media sosial merupakan sarana komunika virtual yang sangat membantu masyarakat dalam banyak hal, baik itu dalam berkomunikasi, berinteraksi, bertukar informasi dan mengekspresikan diri. Dalam hal ini sarana sosial budaya memang sengaja dibuat untuk sebuah keperluan interaksi antar pengguna. Perkembangan teknologi yang semakin hari kian pesatnya, membuat pertukaran informasi menjadi semakin mudah dan cepat. Hal ini bisa dilihat ketika informasi yang tersedia di media jauh lebih cepat sampai dan menyebar dibandingkan dari media-media lainnya.

Dengan demikian, mau tidak mau menyebabkan seseorang untuk ikut masuk kedalam arus informasi yang sedemekian pesatnya. Semakin mudahnya seseorang mengakses informasi dan menyebarluaskannya kepada orang lain perlu disikapi dengan bijaksana. Terlebih dengan banyaknya oknum yang dengan sengaja memanfaatkan kemudahan tersebut untuk kepentingan yang buruk, seperti memecah belah dan aneka maksud negatif lainnya.

Untuk menanggapi hal tersebut penting untuk mengklarifikasi berita-berita atau yang dalam Islam sendiri dikenal dengan istilah tabayun. Tabayun dapat diartikan sebagai penjelasan, pemeriksaan kualitas informasi atau selektif dalam memilih dan menerima berita.

Kata tabayun adalah serapan dari Bahasa Arab tabayyun, yang merupakan bentuk masdar dari fiil madhi tabayyana dengan wazan dari fiil madhi tafa’ala.  Salah satu faidah yang terdapat dalam wazan tafa’ala adalah membebani, sehingga tabayyun yang awalnya bermakna jelas menjadi mencari kejelasan.

Baca Juga: Pemikiran Ignaz Goldziher Tentang Qira’at Al-Qur’an

Secara bahasa tabayyun berarti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga benar serta jelas keadaannya. Sedangkan secara istilah tabayyun berarti meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan suatu masalah yang belum jelas benarnya. Perintah bertabayyun terdapat dalam al-Qur’an dan Q.S. al-Hujurat :6

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Menurut Ibn Katsir di dalam tafsirnnya, Q.S al-Hujurat mengajarkan kepada kaum muslim supaya berhati-hati menerima informasi. Sebab informasi sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan serta etentitas keputusan itu sendiri. Secara tegas ayat ini menjelaskan bagaimana sikap seorang mukmin ketika menerima berita.

Sedangkan dalam Hadist perintah untuk bertabayun tergambarkan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim:

(عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قال : كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا، أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ (رواه مسلم

 “Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda, “Cukuplah seseorang (dianggap) berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Hadis di atas sejalan dengan perkataan Imam al-Munawi rahimullah, yang mengatakan bahwa “jika seseorang tidak memastikan kebeneran suatu berita yang ia dengar ataupun yang ia bawa (maka ia di anggap pendusta, sebab biasanya suatu berita yang ia dengan terkadang benar dan terkadang dusta. Maka jika seseorang menyampaikan semua yang ia dengar maka pastilah ia berdusta“.

Dengan demekian dapat dipahami ketika menerima suatu berita maka hendaknya janganlah tergesa-gesa dalam menyampaikan atau men-share kepada orang lain sebelum diteliti kebenarannya. Dari makna tabayyun diatas jika ditarik kedalam konteks menerima informasi di media sosial berarti tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan apakah sebuah informasi tersebut benar atau salah. Sikap tidak tergesa-gesa tersebut akan menghindarkan dari kemungkinan untuk menyebarluasakan informasi tersebut ke rekan atau grup disosial media.

Sehingga terdapat tiga langkah sederhana yang ditarik dari perintah bersikap tabayyun, yaitu, pertama tidak tergesa-gesa, orang yang tidak tergesa-gesa biasanya akan menerima informasi lebih banyak, memahami situasi dan dapat mengendalikan informasi-informasi  yang sudah tersebar luar di media sosial.

Kedua, mencari informasi silang terkait informasi yang diterima, Ketika ditemukan satu informasi pada  suatu media, maka kita diharuskan juga untuk mencek ke media lain yang menjadi  lawannya, agar bisa melihat bagaimana sudut pandang media tersebut terhadap hal yang sama.

Ketiga, Mengecek siapa yang membuat dan menyebarkan informasi tersebut. Dalam sebuah informasi, terkadang terdapat indikator-indikator yang sengaja dibuat oleh seseorang untuk memecah belah, menakut-nakuti atau hal negatif lainnya. untuk itu kita perlu mengetahui siapa yang membuat dan siapa yang menyebarkan informasi agar ketika kita dihadapkan dengan sebuah informasi kita bisa mengetahui dan memahami tujuan-tujuan dari informasi tersebut.

Perintah bertabayyun merupakan suatu peringatan supaya umat Islam jangan sampai melakukan perilaku-perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa penyesalan akibat keputusannya yang tidak adil bahkan merugikan pihak lain.

Baca Juga: Lima Makna Kata Jaza’ dalam Al-Quran

Terdapat hikmah-hikmah lain dari anjuran untuk bersikap tabayyun yaitu, pertama memperluas wawasan karena salah satu aspek dalam tabayyun adalah melakukan penelusuran kemudian membandingkan suatu data yang didapatkan dan menghubungkan dengan sekian banyak refensi sebelum akhirnya menarik sebuah kesimpulan.

Kedua, membawa pendalaman  pengetahuan. Disaat mengetahui suatu masalah secara mendalam, maka secara tidak langsung akan menimbulkan kearifan tersendiri dalam bertindak. Ketiga, pengujian kebenaran informasi, sebuah informasi adakalanya sudah diyakini kebenarannya namun tidak terdapat data yang lengkap dan akurat untuk membuktikan kebenaran tersebut, maka dengan bertabayyun akan memperkuat keyakinan akan kebeneran informasi tersebut

Dewasa ini, Informasi sangat mudah untuk kita dapatkan, informasi yang diterima pun tidak hanya sekedar dapat dibaca, namun penerima informasi bisa langsung menjadi penyebar informasi jika yang dia terima tersebut diteruskan berbagai saluran media sosial yang ada. Namun dalam agama Islam, ketika sebuah informasi dihadapakan kepada kita ada sikap yang harus kita ambil dalam menyikapi informasi tersebut yaitu sikap Tabayyun.

Di dalam Q.S al-Hujurat :6 dan hadist nabi di atas, memberikan tuntunan bahwa ketika seorang mendapat informasi, maka jangan tergesa-gesa dalam mengambil atau menyebarkan berita tersebut. Namun kita harus memeriksa terlebih dahulu sebelum berita dari mulai pembawa informasi, kualitas informasi, dan urgensi dari sebuah informasi. Wallahu A’lam.

Menghindari Kesalahan Logika dalam Memahami al-Quran Menurut Al-Ghazali

0
Logika
Logika

Mi’yar al-‘Ilm adalah salah satu kitab babon dalam ilmu mantiq atau logika yang dikarang oleh Hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali. Kata Mi’yar dalam bahasa Indonesia berarti timbangan, al-‘ulum berarti ilmu pengetahuan. Maka dengan sendirinya, judul kitab ini telah memberikan kesan kepada pembacanya bahwa mereka akan menjumpai suatu “alat” untuk menimbang suatu kebenaran pengetahuan. Dalam pengantar kitab ini, al-Ghazali menyebut,

 كَذَلِكَ لَا يُفْرَقُ بَيْنَ فَاسِدِ الدَّلِيْلِ وَقَوِيْمِهِ وَصَحِيْحِهِ وَ سَقِيِمِهِ اِلَّا بِهَذَا الْكِتَابِ, فَكُلُ نَظَرٍ لَا يُتَّزَنُ بِهَذَا الْمِيْزَانِ وَلَا يُعَارُ بِهَذَا الْمِعْيَارِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ فَاسِدُ الْعِيَارِ غَيْرُ مَأْمُوْنِ الْغَوَائِلِ وَ الْأَغْوَارِ

“Begitu juga halnya perihal cara membedakan antara dalil yang rusak dengan dalil yang tepat, mana dalil yang absah dan dalil yang cacat. Keduanya tidak bakal bisa dibedakan kecuali dengan adanya kitab ini (dengan ilmu mantiq maksudnya, pen). Maka setiap pemikiran yang tidak ditimbang dan diukur terlebih dahulu dengan timbangan ilmu  ini (mantiq), ketahuilah bahwa pemikiran tersebut bukanlah pemikiran yang sempurna, artinya ia tidak bebas dari sesat pikir dan tipuan.” (Mi’yar al-‘Ilm, hal 26)

Untuk saat ini, di mana teknologi memudahkan akses terhadap penyebaran informasi, mau tidak mau kita akan selalu dihadapkan oleh berbagai macam informasi dan pemikiran. Utamanya dalam topik agama, setiap orang sekarang dengan bebas “mengaji” kepada seorang dai atau ustaz. Yang asli atau tidak.

Kita harus bersikap hati-hati terhadap kemudahan dan banyaknya sumber ilmu agama sekarang. Langkah-langkah memilah sumber mana yang relevan untuk kita jadikan pegangan perlu kita lakukan. Karena itulah kitab karya al-Ghazali ini agaknya perlu kita baca kembali dan pahami benar. Seperti judulnya, dengan belajar kitab ini kita akan memiliki “penimbang” untuk melakukan check and recheck terhadap limpahan informasi yang ada sekarang.

Baca Juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan

Kegunaan dari ilmu Mantiq tak lain untuk menjaga pikiran kita dalam merumuskan sesuatu agar tidak cacat pikir. Istilah yang digunakan logika dalam hal ini adalah logical fallacy. Syaikh al-Akhdluri, pengarang Sullam al-Munawraq -kitab yang menadzamkan pembahasan logika- berkata,

وَبَعْدُ فَالْمَنْطِقَ لِلْجَنَانِ # نِسْبَتُهُ كَالنَّحْوِ لِلِّسَانِ

فَيَعْتَصِمُ الْاَفْكَارَعَنْ غَيِّ الْخَطَا # وَعَنْ دَقِيْقِ الْفَهْمِ يَكْشِفُ الْغِطَا

“Lalu setelahnya, maka hubungan Mantiq dengan pikiran # sama seperti hubungan antara nahwu dengan kecakapan berbicara.

Maka Mantiq menjaga akal pikiran agar tidak tergelincir dan melakukan kesalahan kesalahan # dan membantunya menyingkap tebalnya awan pemahaman yang runyam.”

Memahami Qiyas (Silogisme)

اَلنَّظَرُ الثَّالِثُ فِى الْمُغَلَّطَاتِ فِى الْقِيَاسِ وَفِيْهِ فُصُوْلٌ

“Pembahasan yang ketiga tentang kesalahan-kesalahan logika di dalam logika deduktif. Di dalamnya terdapat beberapa sub tema pembahasan.”

اَلْفَصْلُ الْاَوَّلُ فِى حَصْرِ مَثَارَاتِ الْغَلَطِ

“Tema pertama terkait batasan kesalahan-kesalahan berpikir.”

Saya pilihkan bab ini, di mana al-Ghazali akan menjelaskan macam-macam kesalahan logika dalam penalaran deduktif. Setidaknya dengan begitu kita akan dapat mengetahui macam-macam cacat pikir dan dapat menghindarinya.

Al-Ghazali menerangkan bahwa tatkala premis-premis dalam silogisme telah memenuhi semua standar dan aturan-aturan agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan, “Maka secara otomatis dan pasti kesimpulan yang dihasilkannya merupakan suatu kebenaran, tidak ada keraguan di dalamnya.”

Lalu katanya, “Apabila kesimpulan yang dihasilkan salah, tidak lain itu dikarenakan adanya cacat di dalam standar dan syarat-syarat silogisme itu sendiri.” Sang hujjah al-Islam ini kemudian mengklasifikasikan tujuh macam kesalahan penalaran dalam logika deduktif.

Kesalahan Logika dan Validitas Silogisme

اَلْمَثَارُ الْاَوَّلُ: اَنْ لَا تَكُوْنَ عَلَى شَكْلٍ مِنَ الْاَشْكَالِ الثَّلَاثَةِ

“Kesalahan pertama adalah kesimpulan (natijah) tidak dihasilkan dari tiga macam silogisme yang valid.”

Perlu diketahui sebelumnya bahwa untuk menyusun suatu silogisme yang menghasilkan kesimpulan setidaknya diperlukan tiga komponen utama. Premis Mayor (Mukaddimah Kubra), Premis Minor (Mukaddimah Sughra), dan Terma Penengah (Had Ausath). Contohnya:

Setiap manusia akan mati.           – Premis Mayor

Fulan adalah manusia                   – Premis Minor

Maka Fulan akan mati.                 – Kesimpulan

Terma penengah dalam contoh di atas adalah kata manusia. Sebab kata “manusia” layaknya tali yang menghubungkan antara “Fulan” pada premis minor dengan “takdir kematian”-nya pada premis mayor. Karena ikatan itulah kemudian dapat dihasilkan kesimpulan bahwa “Fulan akan mati”.

Nah, jadi inti dari kesalahan logika yang pertama ini adalah bahwa jika “ikatan”itu tidak dijumpai maka suatu silogisme tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar.

“Ikatan” tersebut adakalanya dengan jelas kita sadari tidak ada atau malah tidak jelas; samar. Contoh yang yang dengan jelas kita ketahui letak kesalahannya adalah silogisme berikut,

Semua rakyat Indonesia wajib bayar pajak.                – Premis Mayor

Fulan adalah Penyanyi.                                             – Premis Minor

Maka Fulan wajib bayar pajak.                                   – Kesimpulan

Pada contoh di atas, dengan jelas kita dapat mengetahui letak kesalahan berpikirnya. Tidak ada hubungan yang mengikat antara Premis Mayor dan Minor.

Namun terkadang, “ikatan” tersebut hilang tanpa kita sadari. Kata al-Ghazali,

وَ اِنَّمَا يَغْلَطُ إِذَا وَجَدَ مَا هُوَ مُشْتَرَكٌ لَفْظًا مَعَ اخْتِلَافْ الْمَعْنَى

“Hanya saja, kita akan sering salah dalam berpikir apabila “ikatan” tersebut sepintas nampak ada namun sebenarnya tidak ada.”

Pada bagian inilah kita sering terkecoh. Pasalnya, terdapat banyak pemahaman dan klaim beberapa oknum yang melandasinya dengan ayat al-Quran, yang sepintas terlihat benar namun sejatinya cacat logika nalar. Berikut salah satu contohnya.

Fulan telah memfitnah Said                     – Premis Minor

Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan seperti disebut al-Quran al-Baqarah: 191.                                                                                                                          – Premis Mayor

Maka Fulan telah menzalimi Said dengan tindakan yang lebih kejam daripada membunuhnya.

Sejenak kita pahami bahwa silogisme di atas telah benar sebab terdapat “ikatan” di antara kedua premis.

Namun jika kita teliti, sebenarnya arti kata “fitnah” dalam kedua premis berbeda, ini mengakibatkan “ikatan” itu tidak lagi ada. Kata fitnah dalam premis minor memiliki arti telah berkata bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang.

Baca Juga: Ketika Nabi Ibrahim Menanyakan Allah tentang Cara Menghidupkan Orang Mati

Sedangkan kata fitnah dalam al-Quran pada ayat tersebut tidak sama maknanya seperti di atas. Ia malah berarti suatu tindakan penindasan, penganiayaan dan teror orang-orang kafir terhadap umat Islam. (Tafsir Anbarsari, hal 163)

Inilah macam kesalahan pertama dalam berpikir yang sering saya jumpai berkenaan dengan dakwah-dakwah yang mengatasnamakan al-Quran. Imam al-Ghazali menyebut bahwa, “Dan sangat sulit untuk mengetahui perbedaan di dalam macam kesalahan yang satu ini, dan ini juga merupakan kesalahan terebsar di dalam logika.”

Maka dari itu, kita harus lebih berhati-hati lagi dengan informasi yang beredar sekarang, lebih-lebih yang berkaitan dengan topik tafsir keagamaan. Wallahu A’lam.

Surat Al-Fajr Ayat 15 – 16: Kekayaan yang Sesungguhnya dan Kritik Atas Pandangan Materialistis

0
Kekayaan
Kekayaan

Jika kita bertanya tentang kebahagiaan kepada masyarakat modern, umumnya mereka menjawab memiliki kekayaan harta yang melimpah, populer dan punya jabatan. Ketiga hal itu merupakan indikator sebuah kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup.

Padahal jika asumsi tersebut benar, mengapa ada saja orang kaya yang stres dan ada artis yang bunuh diri? Dan kenapa ada tukang becak pinggir jalan masih bisa tersenyum kepada takdir? Ini artinya kebahagiaan atau kekayaan itu tidak bergantung kepada sesuatu yang sifatnya material semata. Memang benar manusia memerlukan materi, tapi itu bukanlah segala-galanya dan bukan juga ukuran kebahagiaan/kemuliaan.

Pandangan yang materialistis seperti ini dibantah dalam Alquran, tepatnya pada firman Allah Q.S. Al-Fajr [89]: 15-16 yang bunyinya,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku” dan adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“.

Baca Juga: Benarkah Ibn ‘Arabi Mendukung Paham Panteisme dalam Tafsirnya?

Al-Zuhaili dalam ­al-Tafsir al-Munir (15/612-613) menjelaskan bahwa pada ayat di atas Allah ingin menjelaskan kesalahan persepsi sebagian manusia yang menjadikan banyaknya harta sebagai tolak ukur keridhaan Allah, seakan-akan ketika mereka diberkan harta dan kenikmatan itu artinya mereka dimuliakan oleh Allah dan mereka adalah orang pilihan Allah, padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Persepsi keliru seperti ini tidak hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak beriman, tetapi juga bisa menjangkiti orang-orang Islam yang belum mengetahui ataupun mengetahui hakikat dunia dan kehidupan ini.

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (8/398) menyebutkan bahwa hakikatnya harta benda itu adalah ujian dan cobaan, bukan tolak ukur keridhaan Allah,

يقول تعالى منكرا على الإنسان في اعتقاده إذا وسع الله عليه في الرزق ليختبره في ذلك, فيعنقد أن ذلك من الله إكرام وليس كذلك, بل هو ابتلاء وامتحان.

Terjemah bebasnya, pada ayat ini Allah mengingkari anggapan sebagian manusia bahwa seandainya Allah meluaskan rizki mereka itu berarti Allah sedang memuliakan mereka, padahal anggapan ini tidaklah benar karena hakikatnya harta benda itu adalah cobaan (ibtila’) dan ujian (imtihan).

Dan sebaliknya pada ayat 16 sebagian manusia itu meyakini jika Allah ‘menahan’ rezeki mereka dan membuat mereka melarat, artinya Allah sedang murka dan menimpakan kehinaan kepada mereka. Persepsi ini juga keliru.

Dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (5/310) imam al-Baidhawi menjelaskan bahwa anggapan seperti ini juga tidak bisa dibenarkan dan sebenarnya berangkan dari sempitnya cara pandang terhadap kehidupan dan kebahagiaan serta buruknya prasangka kepada Allah.

Kesimpulan dari dua ayat ini sebagaimana disampaikan oleh al-Zuhaili (15/613-614) adalah bahwa kekayaan, harta dan jabatan bukanlah pertanda akan ridha-Nya Allah terhadap seorang hamba, begitu juga sebaliknya bahwa kefakiran dan ‘pas-pasan’ bukanlah pertanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba.

Karena harta dan semua yang Allah titipkan kepada seorang hamba adalah amanah dari-Nya, maka yang terpenting bukanlah soal banyaknya harta tersebut melainkan bagaimana cara dia mendapatkannya serta bagaimana cara dia bertanggung jawab atas amanah yang diberikan Allah tersebut.

Ada sebuah sabda Rasulullah yang menjelaskan bahwa kekayaan yang sebenarnya itu adalah hati yang kaya. Beliau bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: “لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ”. (رواه البخاري).

Terjemahnya, Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “kekayaan itu tidaklah diukur dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan hati”. (HR. Bukhari).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

Jiwa atau hati yang kaya adalah kuncinya. Memiliki kekayaan harta  itu masih bagaikan pisau bermata dua, ia bisa mengantarkan kepada kebaikan dan juga keburukan. Namun orang dengan hati yang kaya akan mampu membuat semua yang ia miliki menjadi bermakna.

Terakhir, Al-Baidhawi mengatakan,

فإن التقتير قد يؤدي إلى كرامة الدارين, والتوسعة قد تفضي إلى قصد الأعداء والإنهماك في حب الدنيا.

Sungguh, terkadang kefakiran dan kekurangan itu bisa mengantarkan kepada kemuliaan di dunia dan akhirat, dan kelapangan harta terkadang bisa mengantarkan kepada permusuhan serta cinta dunia (dan oleh karena itu kelak akan mendapatkan balasan dari Allah).”

Demikianlah pandangan tentang materialism yang didasarkan pada Surat Al-Fajr ayat 15 – 16 dan keterangan dalam hadis Nabi saw. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Maqashidi: Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati

0
Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati
Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati

Diskursus tafsir maqashidi sejak tiga tahun kebelakang menjadi primadona di dunia Ilmu Al-Quran dan Tafsir, khususnya di Indonesia. Padahal, dalam konteks yang luas maqashid Al-Quran telah digaungkan oleh mufasir dan ahli ushul fikih. Sehingga, tidak heran ada kedekatan konsep antara maqashid al-syari’ah dengan maqashid Al-Quran. Berangkat dari itu, karena tafsir maqashidi bukan sebagai metode atau pendekatan belaka, melainkan mencapai pemahaman dalam mencapai hidup yang ideal. Tulisan singkat ini akan memberikan pandangan singkat terkait dengan maqashid Al-Quran sebagai fondasi mencapai kebahagiaan.

Namun, apabila dianalisis lebih mendalam ada perbedaan yang signifikan antara kedua konsep tersebut. Dr. Wasfi ‘Asyur Abu Zayd dalam bukunya, yang dialihbahasakan oleh  Ulya Fikriyati dengan judulnya Metode Tafsir Maqasidhi Memahami Pendekatan Baru Penafsiran Al-Quran menyebutkan, kami menetapkan bahwa maqashid Al-Quran lebih luas dan lebih mencakup banyak hal dibandingkan dengan maqashid al-syari’ah.

Baca juga: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 237: Bagaimana Mahar Jika Terjadi Perceraian dalam Pernikahan?

Dengan begitu, tafsir maqashidi bukan sebagai metode atau pendekatan belaka, melainkan mencapai pemahaman dalam mencapai hidup yang ideal. Misalnya, tafsir maqashid diekplorasi dengan moderasi Islam; atau dikombinasikan dengan konsep pribumisasi Islam. Tulisan singkat ini akan memberikan pandangan singkat terkait dengan maqashid Al-Quran sebagai fondasi menggapai kebahagiaan.

Fondasi Mencapai Kebahagiaan Sejati

Al-Quran telah memberikan perhatian kepada manusia sebagai salah satu objek diturunkannya kitab tersebut. Perhatian tersebut dapat dilihat dari bagaimana Al-Quran memberikan resep yang diinginkan oleh manusia itu sendiri. Kebahagiaan sejati menjadi salah satu dari sekian banyak cita-cita manusia. Kendati demikian, ada hubungan dekat antara keduanya.

Pertama, hubungan visi dan misi. Seseorang tidak akan memahami dan menjadikan Al-Quran sebagai teman dalam kesehariannya, kecuali memahami apa yang diinginkan Al-Quran. Visi Al-Quran diturunkan cukup beragam sampai yang bersifat universal, menjadi pedoman manusia; hingga yang khusus, seperti menjadikan manusia sebagai makhluk yang terbaik.

Baik visi yang sifatnya umum atau khusus, visi tersebut merupakan cita-cita manusia ketika mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, Al-Quran mencantumkan langkah-langkah untuk menggapai visi tersebut. Sangat sederhana dan tidak sulit, Al-Quran memberikan tips supaya manusia mengikuti perintah Allah sebagai sumber Al-Quran dan Nabi Muhammad sebagai utusan dalam membumikan Al-Quran.

Kedua, hubungan proses. Titik penekanan maqashid Al-Quran adalah memenuhi nilai-nilai universal manusia, meliputi hidup, agama, jiwa, harta, dan keturunan. Namun, nilai-nilai tersebut merupakan sebagian dari proses menemukan maqashid Al-Quran.

Proses dalam menemukan maqashid Al-Quran pertama kali dengan memperhatikan redaksi ayat tersebut. Terkadang, dalam ayat tersebut disebutkan secara langsung tujuan diturunkannya Al-Quran. Ditempat lain tidak disebutkan secara rinci apa dan bagaimana tujuan diturunkannya ayat tersebut. Kasus tersebut harus dipecahkan dengan teknis yang lebih terperinci.

Baca juga: Mengapa Para Pecinta Rasulullah Sulit Mengisahkan Kemuliaan Nabi Saw?

Bagaimanapun proses menemukan maqashid Al-Quran adalah fondasi mencapai kebahagiaan sejati. Kenapa demikian? Karena manusia telah menemukan apa yang telah diinginkan oleh dirinya sendiri, telah memenuhi sesuai tujuan pedomannya (dengan tidak menyebutkan diinginkan Allah). Setelah menemukannya, manusia lebih yakin bahwa tujuan Al-Quran bukanlah sebagai beban, melainkan untuk memenuhi kebahagiaan.

Misalnya dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 38.

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًاۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  (٣٨)

Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Ayat di atas merupakan salah satu contoh ayat yang secara eksplisit (jelas) disebutkan maqashidnya. Bahwa petunjuk atas perkara agama maupun dunia bagi manusia, Al-Quran telah melukiskannya. Maksudnya, Al-Quran yang disebut sebagai pedoman bahkan petunjuk pada dasarnya akan menjadi modal bagi manusia untuk meraih kesenagan.

Yang dimaksud dengan “petunjuk” di dalam ayat tersebut adalah petunjuk Allah. Muhammad Sayyid Thanthawi berpendapat, bahwa penggabungan lafaz هُدًى dengan lafaz هُدَايَ memiliki faedah mengagungkan sekaligus menegaskan bahwa petunjuk Allah lah yang paling berhak untuk diikuti; sehingga kita akan mendapatkan ketenangan di dunia dan kebahagiaan di akhiraat (al-Tafsir al-Wasith li Thanthawi 1,103).

Berangkat dari itu, bahwa petunjuk Allah, baik Al-Quran atau yang tersirat, tujuannya adalah menjaga manusia dari rasa sedih dan membentuk umat bahagia, di dunia dan di akhirat.

Kendati kebahagiaan menjadi keinginan semua manusia, namun untuk menggapainya tidak sederhana, seperti membalikan telapak tangan. Disamping maqashid di atas, ayat tersebut juga menampilkan maksud lain, salah satunya adalah prosesi dalam mencapai jiwa yang tenang.

Qs. Al-Baqarah [2]: 38 tersebut menurut Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya (al-Tafsir al-Wasith li Zuhaili 1, 24) berhubungan dengan kediaman Nabi Adam as dan Hawa, yakni di surga. Spesifiknya, ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada Nabi Adam dan Hawa supaya meninggalkan surga.

Meninggalkan tempat tinggal bagi siapa pun pasti akan merasakan kesedihan, berat, dan penuh tantangan. Namun, Allah dalam ayat tersebut memberikan cara supaya tidak merasakan kesedihan yaitu dengan mengikuti petunjuk-Ku.

Dari analisis tersebut, maqashid yang didapatkan yaitu seseorang yang menginginkan kebahagiaan, kesenangan sejati, dan ketenangan jiwa pasti melewati terlebih dahulu kekecewaan dan kesedihan. Tetapi, setelah itu manusia akan menemukan petunjuknya dan jalannya untuk keluar dan sanggup beradaptasi dengan keadaan. Di sinilah manusia akan merasakan kesenangannya. Wallahu A’lam.