Beranda blog Halaman 191

Tafsir Surah Muhammad Ayat 1-3

0
Tafsir Surah Muhammad
Tafsir Surah Muhammad

Surah Muhammad merupakan surah Madaniyah yang terdiri dari 38 ayat, serta urutan ke 47 berdasarkan tartib mushafi.  Adapun tafsir kali ini diawali dengan Tafsir Surah Muhammad Ayat 1-3 yang berbicara tentang golongan orang kafir dan mukmin.

Dua golongan ini tentu saja berbeda, terutama dari sisi keyakinan. Diawal tafsir akan diulas mengenai balasan Allah untuk keduanya, kemudian berlanjut pada penegasan Al-Qur’an akan keesaan Allah dan keutamaan Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana yang akan diterangkan dalam Tafsir Surah Muhammad Ayat 1-3 berikut.

Ayat 1-2

Dalam ayat ini, Allah membagi manusia menjadi dua golongan: pertama, golongan kafir, yaitu orang-orang yang mengingkari kekuasaan dan keesaan Allah, menyembah tuhan-tuhan yang lain selain Dia, menghalangi manusia beribadah kepada-Nya, beribadah kepada-Nya menurut pendapat dan keinginan sendiri, mencela dan menghalangi manusia beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad.

Seluruh perbuatan golongan ini tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Allah yang termuat di dalam Al-Qur’an dan hadis Rasul-Nya, tetapi mengikuti keinginan sendiri dan mengikuti petunjuk setan.

Semua perbuatan yang berdasarkan perbuatan setan tidak ada artinya di sisi Allah walaupun perbuatan itu baik bagi manusia dan kemanusiaan. Perbuatan itu seolah-olah buih yang timbul di permukaan air, kemudian hilang tanpa bekas sedikit pun.

Oleh karena itu, semua amal dan perbuatan yang dikerjakan oleh orang-orang musyrik tidak ada arti dan pahalanya di sisi Allah di akhirat nanti.

Mereka hanya mendapat balasan di dunia yang diperoleh dari manusia, walaupun bentuk amal dan perbuatan itu seperti budi pekerti yang mulia, berhubungan dengan orang lain (silaturrahim), memberi makan orang miskin, memelihara anak yatim, membuat usaha-usaha kemanusiaan, serta memelihara dan mendirikan masjid.

Pekerjaan seperti ini adalah pekerjaan yang pernah dikerjakan oleh orang-orang musyrik Mekah, seperti memakmurkan Masjidilharam, melindungi orang-orang yang memerlukan perlindungan, membantu orang-orang yang mengerjakan Thawaf dan sebagainya.

Allah berfirman:

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا   ٢٣

Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (al-Furqan/25: 23).

Kedua, golongan mukmin, yaitu orang-orang yang mengakui keesaan Allah, taat hanya kepada-Nya saja, beribadah sesuai dengan petunjuk Allah, tidak menurut kemauan sendiri dan menjauhi larangan-Nya, beriman kepada Al-Qur’an yang dibawa Nabi Muhammad, dan membantu manusia melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Ini adalah golongan yang diridai Allah. Amal dan perbuatan golongan mukmin diterima Allah, diampuni segala dosanya, mereka mendapat pahala di dunia, sedang di akhirat akan mendapat kebahagiaan yang abadi.


Baca Juga: Kunci Ketujuh dan Kedelapan Menggapai Kebahagiaan: Menjaga Hubungan dengan Tuhan dan Alam


Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat pertama diturunkan berhubungan dengan orang-orang yang memberi makan tentara musyrik Mekah pada waktu Perang Badar. Mereka ada dua belas orang, yaitu Abu Jahal, al-Harits bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Ubay bin Khalaf, Umayyah bin Khalaf, Munabbih bin al-Hajjaj, Nubaih bin al-Hajjaj, Abu al-Bukhturi bin Hisyam, Zam’ah bin al-Aswad, Hakim bin Hazam, dan al-Harits bin ‘Amir bin Naufal.

Mereka semua mempunyai amal kebajikan pada masa Arab Jahiliyah, seperti menyediakan minuman jemaah haji, memberi makan para tamu yang datang ke Masjidil Haram, melindungi dan menjaga hak tetangga, dan sebagainya.

Semua amal mereka dibatalkan pahalanya oleh Allah, seakan-akan mereka tidak pernah berbuat apa pun, karena dasar diterimanya suatu perbuatan adalah iman kepada Allah dan Nabi Muhammad.

Sedangkan ayat kedua diturunkan berhubungan dengan orang An¡ar di Medinah. Mereka beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad, membantu orang-orang Muhajirin yang baru datang dari Mekah hijrah bersama Nabi Muhammad, dan mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah.

Ayat 3

Dalam ayat ini diterangkan sebab dihapusnya pahala perbuatan orang-orang kafir dan sebab-sebab diterima serta diberi pahalanya perbuatan orang-orang yang beriman. Allah membatalkan pahala perbuatan orang-orang kafir karena mereka lebih memilih kesesatan daripada kebenaran, mengikuti godaan setan, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kunci diterimanya suatu perbuatan ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang yang beriman tunduk dan patuh kepada Allah, dan seluruh perbuatannya ditujukan semata-mata mencari keridaan Allah. Oleh karena itu, Allah menenangkan hati dan pikiran mereka serta membimbing mereka menempuh jalan yang lurus.

Di samping menerangkan dengan tegas sikap dan tindakan-Nya terhadap orang-orang kafir dan orang-orang yang beriman, Allah membuat perumpamaan, tamsil, dan ibarat bagi manusia dengan mengemukakan berbagai sifat, perbuatan, dan keyakinan seseorang dalam hidup dan kehidupannya serta akibat dan balasan dari perbuatan mereka.

Sebenarnya orang-orang yang mau mengerti dan memahami hikmah di balik perumpamaan, tamsil, dan ibarat itu, mereka tentu beriman kepada Allah, tetapi karena hati, pendengaran, dan penglihatan orang-orang kafir telah tertutup dan terkunci karena kejahatan yang telah dilakukan, maka semua perumpamaan itu tidak berarti sedikit pun bagi mereka.

Dari ayat ini dapat diambil satu kesimpulan, yaitu telah menjadi sunatullah (hukum Allah) yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, bahwa dasar semua perbuatan seseorang yang diridai Allah ialah iman kepada-Nya, kepada Muhammad sebagai rasul-Nya, kepada semua yang dibawa oleh rasul, mengerjakan semua perintah-perintah-Nya, serta menjauhi semua larangan-Nya.

Itulah perbuatan yang bisa mendatangkan pahala, sedangkan perbuatan yang tidak didasari dengan iman, takwa, dan taat kepada-Nya, tidak ada pahalanya di sisi Allah, ibarat buih yang mengapung di permukaan air yang timbul dan hilang tanpa meninggalkan bekas.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Muhammad Ayat 4 (1)


Al-Quran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman

0
Al-Quran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman
Fazlur Rahman

Al-Quran merupakan kitab suci sekaligus pedoman hidup umat Islam sepanjang masa yang mereka yakini terbebas dari segala bentuk penambahan maupun pemalsuan di dalamnya. Sebagai kitab suci, al-Quran sangat menarik perhatian untuk ditelaah dan dikaji lebih dalam baik oleh kaum muslim maupun non muslim. Selain itu, meski al-Quran berasal dari wilayah Timur, namun kajian tentang al-Quran cukup populer di wilayah Barat. Hal ini dapat terlihat dengan munculnya istilah orientalisme yang digunakan untuk menyebut cabang ilmu terkait kajian-kajian bangsa Timur.

Tokoh-tokoh orientalisme Antara lain Thoshihiko Izutsu, Ignaz Goldzhiher, Arthur Jeffrey, Mingana, Theodor Noldeke, John Wansbrough serta masih banyak lagi. Kajian para orientalis terhadap al-Quran dimulai dengan usaha untuk menerjemahkan al-Quran seperti yang dilakukan oleh A. J. Arbery. Namun, seiring perkembangan zaman, kajian yang dilakukan orientalis pun semakin beragam. Secara umum, pembahasan orientalis terhadap al-Quran meliputi tiga hal, yakni usaha untuk mencari pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-Quran, usaha membuat rangkaian kronologis al-Quran, serta karya-karya yang menjelaskan al-Quran secara keseluruhan maupun pada aspek-aspek tertentu saja.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas konsep pengaruh Yahudi dan Kristen dalam al-Quran oleh para orientalis beserta respons Fazlur Rahman mengenai hal tersebut.

Pengaruh Yahudi dan Kristen dalam Al-Quran

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kajian orientalis terhadap al-Quran terbagi menjadi tiga tema besar. Adapun Wansbrough termasuk ke dalam golongan yang pertama yakni berusaha mencari pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-Quran. Di dalam bukunya yang berjudul Quranic Studies terdapat tiga tesis terkait pembuktian bahwa al-Quran mendapat pengaruh dari Yahudi-Kristen; Pertama, al-Quran tercipta dalam suasana perdebatan sektarian Yahudi-Kristen. Kedua, al-Quran merupakan bentuk perpaduan berbagai tradisi. Ketiga, al-Quran merupakan sebuah ciptaan setelah meninggalnya Muhammad.

Berdasarkan hal tersebut, Wansbrough kemudian mengajukan empat asumsi historis; Pertama, tidak terdapat atau ditemukannya sumber-sumber sejarah tertulis Islam termasuk al-Quran hingga abad ketiga. Kedua, akibatnya, sumber-sumber tersebut tak dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan sejarah Islam. Ketiga, ditemukannya bahwa sumber-sumber yang berasal dari luar Islam menyebutkan bahwa al-Quran merupakan teks Hijazi yang berasal dari luar daerah Arab. Keempat, untuk memahami sumber-sumber tersebut harus dengan melihat pengaruh Yahudi dalam perkembangan kaum Muslim.

Orientalis lainnya, seperti Hartwig Hirschfeld juga menyatakan bahwa al-Quran mendapat pengaruh Yahudi dan Kristen. Hal ini ia buktikan dengan menunjukkan sejumlah kosa kata asing pada al-Quran, yang menurutnya dapat menjadi bukti bahwa Islam tidak orisinal. Dalam bukunya yang berjudul Judische Elemente im Koran, ia juga mengatakan bahwa persoalan yang dihadapi dalam mengkaji al-Quran adalah tentang bagaimana memastikan sebuah ekspresi atau ide benar-benar muncul dari kekayaan spiritual Muhammad atau sebaliknya, yakni merupakan pinjaman dari sumber lain.

Pendapat Hartwig Hirschfeld tersebut senada dengan pernyataan Samuel Zwemer, seorang misionaris internasional. Ia menyatakan bahwa pada kesimpulannya Islam hanyalah merupakan cangkokan berbagai unsur-unsur lama yang dilakukan oleh Muhammad yang jenius. Sehingga, dalam Islam sendiri sebenarnya tidak dapat kemuliaan sama sekali.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Respons Fazlur Rahman atas Konsep Pengaruh Yahudi –Kristen dalam Al-Quran

Fazlur Rahman merupakan seorang sarjana muslim yang dibesarkan dalam keluarga yang menganut madzhab Hanafi. Ia dikenal menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Jerman, Arab, Latin, Perancis, Persia, Turki, Urdu, serta Yunani. Adapun terkait pemikirannya, dapat diklasifikasikan melalui tiga periode; yakni periode awal (yang mana karyanya banyak merupakan kajian historis), periode Pakistan (karyanya bersifat historis sekaligus interpretatif), dan periode Chicago (karyanya bersifat normatif murni).

Menanggapi tiga tesis Wansbrough tentang pengaruh Yahudi-Kristen dalam al-Quran, Rahman dalam bukunya yang berjudul Major Themes Of The Qur’an, mengatakan bahwa kajian tersebut sangat disayangkan. Sebab usaha yang dilakukan oleh Wansbrough maupun orientalis lainnya sangat terlihat sebagai keinginan untuk membuktikan dan memperlihatkan bahwa al-Quran tidak lebih dari sekadar gema Yahudi-Kristen.

Dampaknya, karya-karya terkait isu tersebut kebanyakan hanya membahas mengenai Muhammad sebagai murid seorang Yahudi maupun Kristen. Namun, isu mengenai keberadaan serta ide dalam Yahudi-Kristen di Arab khususnya Mekkah tidak disentuh sama sekali.

Rahman juga menambahkan terkait pendapat Wansbrough yang menyatakan bahwa al-Quran hanyalah perpaduan berbagai tradisi, yang menurutnya bersifat post profetik. Sebab, pendapat Wansbrough tersebut nyatanya tidak memiliki data-data sejarah yang cukup kuat mengenai asal-usul, orang-orang yang terlibat, serta sifat tradisi-tradisi tersebut.

Terakhir, Rahman mempertanyakan jenis pendekatan yang digunakan Wansbrough dalam mengkaji al-Quran. Sebab menurutnya, Wansbrough memisahkan signifikansi antara sejarah dengan eskatologis saat membahas al-Quran. Padahal, tidak ada pemisahan seperti itu di dalam Al-Quran.

Baca juga: Fazlur Rahman: Sarjana Muslim Pencetus Teori Double Movement

Kesimpulan

Kajian tehadap al-Quran yang dilakukan oleh para orientalis tentu tidak dapat dihindari. Sebab, al-Quran sejak dulu hingga saat ini menjadi objek yang menarik untuk dikaji. Sebagian orientalis, terutama di periode awal melakukan kajian terhadap al-Quran mungkin dalam rangka mendiskreditkan agama Islam, namun perlu diingat bahwa terdapat orientalis yang nyatanya turut berkontribusi dalam pengembangan wawasan keilmuan umat Islam.

Menanggapi hal tersebut, seperti yang kita ketahui, bahwa kebanyakan sarjana Timur Tengah hanya mengutuk para orientalis tanpa melakukan klarifikasi. Namun, berbeda dengan Fazlur Rahman yang berupaya menjawab dan mengklarifikasi karya-karya Barat terkait al-Quran dengan menulis karya intelektual yang serupa, misalnya buku Major Themes Of The Qur’an. Selain sebagai upaya klarifikasi, karya Rahman ini juga berfungsi sebagai bacaan yang dapat memperkaya pengetahuan pembacanya terkait sejarah al-Quran maupun konteks kajian teksnya.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)

Tafsir Ahkam: Air yang Berubah Sifatnya, Tapi Tetap Suci, Air Apakah Itu?

0
air yang berubah sifatnya tapi tetap suci
air yang berubah sifatnya tapi tetap suci

Lagi-lagi air menjadi bahasan yang penting dalam urusan bersuci. Sebagaimana diketahui, bahwa air merupakan alat untuk bersuci yang utama, setelah itu baru ada debu dan batu sebagai alternative berikutnya. Oleh karena demikian keadaannya, maka mufasir memberikan perhatian khusus dan menjelaskan secara detail mengenai ayat yang berhubungan dengan air. Kriteria air suci dan tidak, faktor-faktor yang menyebabkan keduanya dan lainnya, ada air yang berubah sifatnya dan menyebabkan hukumnya tidak suci, namun ada pula yang meskipun air berubah sifatnya tapi tetap suci.

Para ulama’ menetapkan bahwa air hujan maupun air yang bersumber dari mata air, akan tetap bersifat suci dan menyucikan selama tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya, yakni mencakup warna, bau dan rasa. Hal ini kadang menimbulkan problematika tersendiri di tengah masyarakat, sebab air di sekitar mereka kadang mengalami perubahan-perubahan sebab sesuatu yang tidak bisa mereka hindari.

Misalnya air menjadi berbau busuk sebab terlalu lama diam di tandon atau kolam air di kamar mandi yang jarang dikuras. Air berubah warna dan bau sebab banyaknya dedaunan dan ranting yang jatuh pada air tersebut, atau air berubah sebab unsur-unsur tanah yang ditempati air tersebut. Lalu apakah perubahan-perubahan sebab sesuatu yang sulit dihindari ini dapat merubah sifat suci dan menyucikannya air? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini,

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Perubahan yang Dapat Dihindari dan Tidak Dapat Dihindari

Salah satu dasar teologis yang digunakan untuk memutuskan bahwa perubahan pada air dapat mempengaruhi sifat suci dan menyucikannya, adalah firman Allah:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu (QS. An-Nisa’ [4] :43).

Imam Al-‘Umrani menyatakan bahwa ayat di atas menggantungkan tayamum pada ketiadaan air mutlak atau air biasa tanpa dilabeli jenis tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap benda cair dapat digunakan untuk bersuci. Selain itu, air yang tidak mutlak tidak dapat dibuat untuk bersuci dan keberadaannya tidak menghalangi bolehnya bertayamum. Maka air yang sebelumnya suci dan menyucikan dapat tidak lagi dibuat bersuci apabila mengalami perubahan sehingga kemutlakkannya hilang seperti air kopi dan selainnya (Al-Bayan/1/16).

Namun Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa perubahan pada air yang disebabkan sesuatu yang berada di tempat menetapnya air dan sulit untuk dipisahkan dari keberadaan air, ulama’ sepakat bahwa perubahan tersebut tidak merubah sifat suci dan menyucikannya air. Ia mencontohkan perubahan tersebut seperti halnya perubahan sebab arsenik atau kapur yang air mengalir ke tempat keduanya, atau perubahan sebab lumut atau juga dedaunan pohon yang tumbuh di tempat air tersebut (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/44).

Imam Ar-Razi juga menyatakan bahwa air yang berubah dan berbau busuk sebab terlalu lama berdiam pada suatu tempat, dalam artian mengalami perubahan dengan sendirinya dan tidak sebab benda lain, maka air tersebut tetap suci dan menyucikan. Imam Ar-Razi beralasan bahwa bagaimanapun air tersebut adalah air yang tidak berubah dari kemutlakkannya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/495).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Kitab Mausu’atul Ijma’ menyatakan bahwa ulama’ sepakat soal apa yang diungkapkan Imam Ar-Razi di atas. Dasar yang diapakai adalah ayat tentang tayamum yang menyatakan air yang dapat digunakan bersuci adalah air mutlak. Selain itu, tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa air yang mengalami perubahan sebab lamanya berdiam, bukanlah air mutlak (Mausu’atul Ijma’ fi fiqhil Islami/1/85).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menambahkan tentang perubahan yang tidak merusak sifat menyucikannya air. Di antaranya perubahan sebab benda yang ada di tempat berdiam dan mengalirnya air, perubahan sebab ranting meski ranting tersebut memiliki bau wangi, perubahan sebab bangkai yang diletakkan di dekat tempat air dan akhirnya air berubah sebab bau busuk bangkai tersebut, serta perubahan sebab keberadaan rumput kering serta dedaunan yang tidak bisa dihindarkan dari air. Meski begitu, Syaikh Wahbah menjelaskan bahwa masing-masing mazhab memiliki perincian-perincian tersendiri terkait perubahan yang tidak mempengaruhi sifat menyucikannya air (Al-Fiqhul Islami/1/265).

Berbagai keterangan di atas menunjukkan tidak setiap perubahan pada air dapat merusak sifat menyucikannya air tersebut. Di antaranya perubahan-perubahan yang muncul dari air itu sendiri atau dari benda yang keberadaannya sulit dipisahkan dari air. Wallahu a’lam bish showab

Dunia Berduka, Intelektual dan Filsuf Asal Mesir Hasan Hanafi Wafat

0
hasan hanafi wafat
hasan hanafi wafat

Intelektual dan filsuf kebanggaan Mesir Hasan Hanafi wafat pada hari Kamis (21/10) di Mesir. Kabar ini datang dari platform media sosial dan sudah terkonfirmasi melalui berbagai situs yang mewartakan wafatnya beliau. Hasan Hanafi wafat dalam usianya yang ke-86 tahun dan meninggalkan banyak warisan gagasan terutama di bidang pemikiran Islam dan hermeneutika Al-Quran.

Hasan Hanafi wafat menyisakan duka cita mendalam sebagaimana disampaikan para muridnya yang ada di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Bagi para santri yang pernah tinggal dan menimba ilmu di Mesir, sepertinya tidak akan melewatkan perjumpaan dengan Hasan Hanafi. Hingga di akhir masa hidupnya, Hasan Hanafi masih tampak dengan tekun dan sabar berjumpa dengan para murid dan memberikan ilmu kepada mereka.

Untuk mengenang kepergian Hasan Hanafi, redaksi merangkum beberapa artikel tentang Hasan Hanafi yang terbit di tafsiralquran.id  

Hasan Hanafi, Eksponen Penting dalam Hermeneutika Al-Quran

Dalam artikel ini Miatul Qudsiya melihat peran penting Hasan Hanafi dalam mendedah hermeneutika Al-Quran. Menurutnya hermeneutika yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi memang bukan sekadar metode untuk memahami teks Al-Quran saja, melainkan mencakup penjelasan tentang proses, situasi sejarah dan geenralisasi makna universal yang olehnya disebut sebagai hermenutika emansipatoris atau hermeneutika pembebasan bagi kalangan sarjana.

Lebih dari itu, ia juga memposisikan Al-Quran untuk mendeskripsikan manusia sesuai dengan kapasitas kemanusiaanya yaitu hubungan horizontal, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, serta peran sosial-politik sehingga mampu membawa kepada makna teks bahkan realitas itu sendiri.

Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis

Egi Tanadi Taufik melalui artikelnya menilai bahwa Hasan Hanafi berpegang teguh pada pemikiran bahwa penafsir merupakan figur yang memiliki keberpihakan ̶ berbeda dengan Rasul yang bertugas menyampaikan wahyu secara verbatim ̶ seorang penafsir dituntut untuk menjadi agen perubahan sosial. Dalam Al-Turast wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim, ia memaparkan bahwa penafsiran adalah kegiatan produksi dan dialektika antara pra-pemahaman penafsir dengan teks, bukan kegiatan transmisi makna, sebab sulit melacak makna awal yang objektif dari penurunan wahyu (murād Allah) yang bersifat transendental.

Di satu sisi, Hanafi berpendapat bahwa kalaupun makna objektif tersebut akhirnya mampu dilacak oleh seorang penafsir, ia tetap memerlukan upaya kontekstualisasi dan reproduksi makna sehingga nilai di dalamnya dapat diaplikasikan oleh pembaca modern. Sedangkan sisi lain, Hanafi menegaskan bahwa penafsir yang mengklaim dirinya berorientasi objektif akan kehilangan konteks dan relevansi bila tidak mengikatkan ideologi penafsiran dengan dimensi eksistensialnya. Dua pernyataan tersebut mengindikasikan semangat besar Hanafi untuk memunculkan produk tafsir yang praktis dan mudah diakses bagi umat Islam.

Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Pada artikel ini, Dini Astriani selaku penulis menyoroti metode tafsir tematik yang diusung oleh Hasan Hanafi. Sedikitnya ada delapan langkah yang ditawarkan Hasan Hanafi untuk menguak konsepsi universal yang terdapat dalam Al-Quran. 

Menurut Dini ciri pemikiran Hasan Hanafi dalam menafsirkan Al-Quran adalah; Pertama, menjadikan Al-Quran sebagai kitab petunjuk, “al-ihtida bi Al-Quran”. Kedua, cenderung menafsirkan Al-Quran dengan tidak hanya menerima makna literernya saja, namun melihat juga pada pesan yang ada dibalik teks Al-Quran. Artinya, ia juga melihat lebih jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan-ungkapan literer tersebut.

Demikianlah rangkuman beberapa artikel tentang pemikiran sosok Guru yang mengajar di Cairo University ini. Hasan Hanafi wafat menyisakan lubang yang cukup dalam dan lebar. Semoga para murid baik yang menimba ilmu langsung maupun yang membaca karya-karyanya dapat terus menyalakan sinar pemikiran yang begitu cemerlang. Wallahu A’lam

 

Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

0
Muhammad Nabi Cinta
Muhammad Nabi Cinta

Pada artikel sebelumnya, saya telah mencoba mengulas beberapa kisah teladan cinta kasih Nabi Muhammad dari perspektif tokoh Muslim (insider). Maka, pada kesempatan kali ini, saya ingin melihat sosok Nabi Muhammad dari perspektif outsider atau orang di luar Islam. Hal ini penting, untuk melihat secara seimbang dan objektif tentang sosok Nabi Muhammad, yaitu Muhammad Nabi Cinta.

Untuk membawa pada tujuan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai buku yang ditulis oleh Craig Considine dengan judul terjemahan Muhammad Nabi Cinta. Craig adalah seorang sosiolog berkebangsaan Amerika, yang merupakan penganut Katolik. Hal ini menjadi cukup menarik, mengingat gencarnya isu Islamophobia di Barat dan tidak sedikitnya orientalis yang membuat tuduhan negatif terhadap Nabi Muhammad. Dan benar saja, Ia bahkan pernah termakan isu tersebut, dan berpikiran bahwa Islam itu identik dengan kekerasan seperti yang digambarkan media.

Namun, setelah melakukan interaksi secara langsung dengan berbagai literatur Islam dan beberapa tokoh Muslim yang ditemuinya, khususnya Profesor Akbar Ahmed yang merupakan dosennya sendiri, Craig Considine lantas secara utuh menyatakan kekagumannya terhadap Nabi Muhammad, berkat ucapan, sikap, dan tindakan-tindakannya, yang disebut sangat menjunjung cinta kasih dan sisi kemanusiaan.

Baca Juga: Tafsir Al Quran dan Keteladanan Nabi

Tentang Isi Buku

Buku ini berisi 25 tulisan yang lumayan ringkas namun padat, yang dikelompokkan dalam tiga bab, yaitu Islam dan Toleransi, Islam dan Peradaban, serta Islam dan Politik.

Sekalipun judul buku tersebut merujuk secara spesifik pada sosok Nabi Muhammad, namun ternyata di dalamnya juga terdapat tulisan yang membincangkan kisah-kisah beberapa tokoh yang dianggap memiliki misi yang sama dengan Nabi Muhammad. Selain itu, juga terdapat pula kisah-kisah pengalaman Craig Considine dalam perjalanannya mempelajari Islam dan berinteraksi dengan ajaran agama Islam.

Kisah-kisah tersebut diikut sertakan karena pada dasarnya, pengalaman yang dialaminya, serta kisah tokoh-tokoh tersebut masih memiliki benang merah yang sama dengan tujuan awalnya menulis buku ini, yaitu untuk membangun jembatan perdamaian antara umat Islam dan Kristen. (Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta)

Hanya saja, untuk dapat fokus pada judul yang telah tertera di atas, tulisan ini dibatasi hanya membahas terkait bagaimana Craig Considine, sebagai penganut Katolik, memandang Nabi Muhammad.

Interaksi Nabi Muhammad dan Kalangan Kristen

Craig Considine, berdasarkan beberapa kisah Nabi yang dipelajarinya, ia melihat sosok Nabi sebagai seorang yang toleran. Bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan dengannya.

Sebut saja tatkala adanya kunjungan kelompok Kristen Najran ke kota Madinah. Pertemuan ini disebut oleh Craig sebagai interaksi antar-Iman. Karena pada saat itu, terjadi sebuah diskusi yang menarik yang tidak saja menyangkut terkait hal-hal sosial, seperti pemerintahan dan politik, namun juga persoalan agama dan keyakinan. Dalam banyak hal, mereka bersepakat, namun pada persoalan teologis mereka memutuskan untuk tidak bersepakat, dan berhenti pada frasa ‘saling menghormati’.

Sehingga, dapat dipahami bahwa interaksi antar-iman yang dimaksud di sana adalah hanya sebatas upaya melakukan dialog dan diskusi untuk saling memahami keyakinan dan praktik keagamaan masing masing. Bukannya saling menukar keyakinan, ataupun mencampur adukkan ajaran.

Hal yang menarik lainnya dari peristiwa itu adalah, tatkala perbincangan selesai, dan kalangan Kristen Najran ingin melakukan Ibadah. Karena tidak ada gereja terdekat, mereka memutuskan berjalan keluar masjid untuk bersembahyang di jalanan Madinah. Alih-alih membiarkan mereka beribadah di jalanan yang padat dan berdebu, Nabi Muhammad berpaling dan berkata: “Kalian adalah para pengikut Tuhan. Silakan berdoa dalam masjidku. Kita semua saudara sesama manusia.”

Peristiwa lain yang menggambarkan interaksi Nabi Muhammad dengan Kristen tercatat dalam Piagam Madinah dan perjanjian antara Muhammad dengan para biarawati di Gunung Sinai, Mesir.

Dalam Piagam Madinah, Nabi Muhammad memberikan hak yang sama kepada non-Muslim yang tinggal di negara Islam, dari segi kebebasan beragama, perlindungan dan kesetaraan di mata hukum. Sementara di Sinai, Nabi menawarkan perlindungan terhadap kalangan Kristen, menyeru agar umat Islam menghormati hakim-hakim dan gereja Kristen serta melarang adanya peperangan melawan saudara Kristen mereka.

Baca Juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat

Penganjur sikap Anti-Rasisme

Selain sikap positifnya kepada umat yang berbeda, Nabi Muhammad juga merupakan seorang yang anti-rasisme dan penganjur kesetaraan. Contoh yang paling terkenal adalah persahabatannya dengan Bilal bin Rabah. Pernah suatu ketika Nabi membela Bilal tatkala Abu Dzar Al-Ghifari, salah satu Sahabat Nabi, menyebut Bilal sebagai “bocah seorang wanita kulit hitam”. Mendengarnya, Nabi lantas menyatakan “Engkau orang yang masih memiliki pembawaan jahiliyah dalam dirimu”.

Sikap anti rasisme dan kecenderungannya pada kesetaraan, termanifestasi pada khutbahnya di Gunung Arafah pada tahun 632 M. Ia menyatakan bahwa, “Orang Arab tidak lebih unggul dibanding dengan orang non-Arab, atau orang non-Arab tidak lebih superior dari orang Arab. Orang kulit putih tidak lebih unggul daripada kulit hitam, juga kulit hitam tidak lebih unggul daripada kulit putih, kecuali karena kesalehan dan amal perbuatan”.

Berbelas Kasih Kepada Pembencinya

Nabi Muhammad oleh Craig Considine juga dipandang sebagai seorang yang berbelas kasih dan pengampun, sekalipun kepada Pembencinya. Pandangan tersebut dilihatnya dari beberapa kisah Nabi. Misalnya, kisah yang menceritakan seorang perempuan yang sering melempari sampah kepada Nabi, tatkala Nabi melintasi jalan. Kepadanya, jangankan untuk membalas dendam, marahpun tidak, bahkan Nabi menunjukkan belas kasih dan pengampunan, misalnya dengan tidak pernah menanggapinya dengan cara yang buruk.

Selain itu, kisah lain yang tepat untuk menggambarkan sikap Nabi tersebut adalah ketika Nabi membebaskan musuh-musuh yang ditawannya, sembari mengatakan bahwa mereka boleh pergi tanpa ada yang menyakiti. Pada posisi itu, Nabi bisa saja mengambil langkah sebaliknya, misalnya membunuh atau menyiksa mereka. Namun ia bukanlah pendendam melainkan seorang pemaaf dan berbelas kasih.

Tiga uraian di atas merupakan sedikit kutipan dari kisah-kisah Nabi, yang akhirnya menjadikan Craig Considine, merubah pandangannya terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Yang sekaligus juga menyatakan bahwa, pengkajian yang objektif dan utuh terhadap Nabi Muhammad, akan membawa kita mengarungi cinta-kasihnya luas.

Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

0
tafsir ahkam_hukum air hujan
tafsir ahkam_hukum air hujan

Para ahli tafsir ahkam menyatakan, air hujan yang memiliki sifat asal suci dan menyucikan, tidak selamanya terus-menerus memiliki kedua sifat tersebut. Percampuran air hujan dengan hal lain dapat membuat air hujan tidak lagi dibuat berwudhu, bahkan bisa saja tidak lagi suci alias menjadi air najis. Kesimpulan ini didapat dari analisa terhadap ayat-ayat tentang hukum air hujan dan beberapa hadis yang menunjukkan perubahan hukum air dengan sebab bercampur dengan benda lain. Apa saja faktor yang dapat mengubah status air hujan tersebut dan perubahan seperti apa yang dapat mengubah hukum air hujan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini,

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Hukum Asal Air Hujan

Allah berfirman mengenai hukum asal air hujan:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ

 Dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, (QS. Al-Anfal [8] :11)

di ayat lain Allah berfirman:

وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً طَهُوْرًا ۙ

Kami turunkan dari langit air yang sangat suci (QS. Al-Furqan [25] :48).

Lewat redaksi thahuuran di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa air hujan memiliki sifat asal yang ganda, yakni suci dan menyucikan. Ia juga menyatakan bahwa air yang turun dari langit (air hujan) serta yang muncul dari (air sumber dst.), memiliki sifat suci serta menyucikan meski kadang berbeda-beda warna, rasa dan baunya. Suci memiliki arti tidaklah najis, sedang menyucikan memiliki arti dapat dibuat berwudhu, mandi besar serta bersuci lainnya.

Hanya saja sifat asal ini dapat berubah seiring bercampurnya air tersebut dengan benda lain. Imam Al-Qurthubi membagi proses pencampuran dalam tiga bagian. Pertama, bercampur dengan benda lain yang juga memiliki sifat suci serta menyucikan seperti halnya debu. Pencapuran ini tidak merubah sifat asal air. Kedua, bercampur dengan benda yang hanya suci tanpa memiliki sifat menyucikan seperti kopi. Maka pencampuran ini membuat air kehilangan sifat mensucikannya. Ketiga, bercampur dengan benda yang tidak suci dan menyucikan seperti kotoran binatang. Maka pencampuran ini menghilangkan sifat suci sekaligus menyucikannya air (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/39).

Namun uraian Imam Al-Qurthubi di atas masihlah perlu pelajari kembali. Sebab beliau juga menyatakan bahwa percampuran dengan benda suci yang tidak menyucikan, yang keberadaannya sulit dipisahkan dengan air sebagaimana lumut, maka tidak merubah sifat suci dan menyucikannya air. Beberapa ulama’ juga membedakan antara mukhalit atau percampuran secara menyeluruh sebagaimana air kopi yang tidak memungkinkan untuk memisahkan keduanya, dan mujawir atau percampuran yang tidak menyeluruh seperti air dan lumut yang masih memungkinkan untuk memisahkan keduanya (Al-Majmu’/1/103).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Salah satu proses percampuran yang telah disepakati ulama’ yang dapat menghilangkan sifat mensuyikannya air, adalah percampuran yang dapat menghilangkan kemutlakan nama air. Atau lebih mudahnya membuat air yang sebelumnya dapat disebut air biasa, menjadi memiliki nama lain. Misalnya dicampur dengan susu atau kopi sehingga menjadi bernama air susu dan air kopi. Hukum ini didasarkan ayat tentang kebolehan tayamum yang salah satunya menggantungkan bolehnya tayamum sebab ketiadaan air dengan redaksi secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa air yang tidak mutlak tidak dapat dibuat bersuci dan keberadaannya tidak menghalangi bolehnya bertayamum (Al-Bayan/1/16).

Imam Ar-Razi menambahkan, kalangan mazhab syafi’iyah meyakini bahwa air dapat kehilangan sifat suci dan menyucikannya meski tidak bercampur dengan benda lain. Yakni ketika melalui proses sudah dibuat bersuci terlebih dahulu atau biasa diistilahkan dengan air musta’mal (air yang sudah bekas dibuat bersuci). Keyakinan adanya air musta’mal didasarkan salah satunya pada sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairah:

« لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ »

Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sementara ia sedang junub (HR. Imam Muslim)

Berbagai uraian di atas menunjukkan hukum asal air hujan serta air dari mata air semisal, adalah suci dan menyucikan. Namun ada kalanya dua sifat tersebut hilang salah satunya ataupun keduanya disebabkan telah bercampur dengan benda lain atau telah melalui proses pemakaian untuk bersuci. Hanya saja tidak setiap percampuran dapat menghilangkan dua sifat tersebut dari air. Penjelasan lebih rinci dapat dipelajari dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab. Wallahu a’lam bish showab.

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (6): Surah Al-Ahzab Ayat 56

0
dalil maulid Nabi dalam Al-Quran (6)_surah Al-Ahzab ayat 56
dalil maulid Nabi dalam Al-Quran (6)_surah Al-Ahzab ayat 56

Melanjutkan sekaligus menutup artikel-artikel sebelumnya, kita akan membaca uraian ihtifal Maulid Nabi dalam nushus (teks-teks) al-Quran, kali ini adalah surah al-Ahzab [33]: 56,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (5): Surah Al-Hajj Ayat 77

Perintah Berselawat

Ayat tersebut menunjukkan betapa mulia dan agungnya derajat Nabi Muhammad Saw di sisi Allah. Bagaimana tidak, Allah lah yang pertama berselawat kepada beliau Saw, lalu yang kedua para malaikat-Nya, baru kemudian memerintahkan para mukmin untuk turut berselawat-salam kepada beliau Saw.

Dinukil dari al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn Asyur menerangkan bahwa selawat yang diperintahkan tak hanya kepada Nabi Muhammad belaka, tetapi juga kepada para isteri dan keluarga beliau Saw. Kita tentu hafal selawat yang setiap hari kita baca di dalam salat. Benar. Selawat Ibrahimiyah. Selawat yang redaksinya dari Nabi Muhammad langsung. Membacanya, kita tak hanya berselawat kepada Nabi Muhammad Saw dan Nabi Ibrahim saja tetapi juga berselawat kepada keluarga mereka.

Dengan berselawat kepada Nabi Muhammad, derajat seorang hamba menjadi dekat dengan para malaikat dan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan orang-orang mukmin setelah malaikat dan Allah. Kemudian bentuk kalimat ayat tersebut adalah jumlah ismiyah yang memberi faidah menguatkan khabar, yaitu yushalluna (berselawat), dan dibuka oleh lafal Jalalah sebagai pengangungan terhadap perkara yang dikandung ayat tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Keistimewaan Hari Jumat

Lebih khusus, perintah ini ditegaskan lagi dalam hadis Nabi Muhammad Saw berikut,

أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة

“Perbanyaklah selawat kepadaku di hari Jumat.”

Hari Jumat memanglah hari yang istimewa. Banyak faidah yang terdapat di dalamnya. Mengenai hal ini, Ibn al-Qayyim dalam Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-Ibad (1998) menyebutkan, “..(kekhususan) yang kedua adalah sunnahnya memperbanyak selawat kepada Nabi Muhammad Saw, siang dan malamnya, berdasar hadis di atas. Rasulullah Saw adalah sayyidul anam, pemimpin manusia dan hari Jumat adalah sayyidul ayam, pemimpin hari, dan berselawat pada hari tersebut memiliki keutamaan yang tidak dimiliki hari yang lain.”

“Hikmah yang lain,” lanjut Ibn al-Qayyim, “adalah semua kebaikan yang didapat oleh umat Muhammad, baik kebaikan dunia maupun akhirat, tak lepas dari perantara beliau Saw. Allah telah mengumpulkan kebaikan dunia-akhirat umat Muhammad pada diri beliau Saw. Maka hanya pada hari Jumat kemulian teragung itu diperoleh. Hari Jumat adalah hari di mana manusia dibangkitkan dari kubur menuju tempat tinggal dan istananya di surga. Ia adalah hari berbekal ketika mereka masuk ke dalam surga. Ia adalah hari raya di dunia dan hari di mana Allah memenuhi permohonan dan hajat-hajat hamabaNya. Doa setiap hamba pada hari itu tak kan ditolak. Ini semua adalah sebab Nabi Muhammad. Barangsiapa bersyukur dan memuji Allah, lalu menunaikan hak beliau Saw, maka hendaklah memperbanyak selawat kepada beliau Saw di hari Jumat, siang maupun malam.”

Dr. Alwi bin Ahmad (2020) menambahkan, pada dasarnya semua perkara adalah mubah. Tetapi niat baik merubahnya dari sebuah kebiasaan yang diperbolehkan menjadi ibadah yang diganjar pahala. Kaidahnya, al-niyyah tuhawwilu al-‘adah ila ibadah, niat dapat merubah perkara adat (kebiasaan) menjadi ibadah.

Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Berselawat; Hakikat Maulid

Meski tidak diamalkan oleh 3 masa awal (Rasul, Sahabat dan Tabiin), tidak berarti ihtifal Maulid Nabi merupakan perkara bidah apalagi dhalalah. Al-Hafiz al-Sakhawi dalam al-Ajwibah al-Mardhiyah, “dasar perbuatan Maulid tidak dinukil dari satu pun tiga masal awal, tetapi merupakan perkara baru yang memiliki tujuan yang baik dan niat yang ikhlas. Lalu orang-orang Islam baik dari kampung maupun kota, bersama-sama merayakan bulan Maulid Nabi Saw dengan perjamuan yang elok, aneka macam hidangan yang baik, dan mereka menyedekahkan semua di malam-malam bulan Maulid. Mereka menampakkan kebahagaian dan memperbanyak amal kebaikan. Bahkan mereka membaca riwayat hidup Nabi Muhammad Saw di tiap-tiap malam bulan Maulid.”

Pada hakikatnya, tak ada faidah dalam Maulid Nabi kecuali memperbanyak selawat kepada beliau Saw. Sayyid Ahmad Abidin, sebagaimana dinukil Syaikh Yusuf al-Nabhani dalam Jawahir al-Bihar, menyebutkan, “jika tidak ditemukan faidah lain dalam maulid nabi kecuali memperbanyak selawat, maka itu sudah cukup.”

Masih banyak ayat-ayat al-Quran yang menunjukan bolehnya ihtifal Maulid Nabi bagi yang mentadabburinya, misalnya dalam ayat terakhir surah al-Dhuha, tetapi barangkali cukup sampai di sini. Al-Quran adalah semudera luas yang darinya mengalir sungai-sungai. Betapa indahnya syair Imam al-Haddad berikut

ألا إنه البحر المحيط و غيره * من الكتب أنهار تمد من البحر

تدبر معانيه و رتله خاشعا * تفوز من الأسرار بالكنز و الذخر

Ketahuilah, al-Quran adalah samudera nan luas. Kitab-kitab suci selainnya adalah sungai-sungai yang mengalir darinya. Renungilah makna-makna di baliknya. Bacalah dengan sungguh-sungguh. Kamu akan memperoleh asrar yang agung (al-Durr al-Manzhum li Dzawi Al-Fuhum wa Al-‘Uqul)

Semakin manusia paham mengenai al-Quran, sesungguhnya itu tidak seberapa dengan apa yang dititipkan Allah dalam satu ayat al-Quran. Al-Imam Sahl al-Tusturiy menuturkan, “andai seorang hamba diberi seribu pengetahuan dari setiap huruf dalam al-Quran, itu belum sebanding dari ilmu Allah dalam satu ayat. Sebab al-Quran adalah kalam Allah, kalamNya adalah sifatNya. Sebagaimana tak ada habisnya bagi Allah, begitu juga dengan kalamNya. Seberapa Allah bukakan pengetahuan kepada seseorang, sekadar itulah orang mengetahui al-Quran,” (al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum Al-Quran).

Sebagaiman juga firman Allah dalam al-Kahfi [18]: 109,

قُلْ لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمٰتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ اَنْ تَنْفَدَ كَلِمٰتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهٖ مَدَدًا

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Tuhanku selesai (ditulis) meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Selamat merayakan Maulid Nabi. Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad!

Download Tafsir Ibnu Katsir, Kitab Tafsir Advance bagi Para Santri

0
download tafsir ibnu katsir
download tafsir ibnu katsir

Selain Tafsir Jalalain yang merupakan kitab tafsir intermediate di kalangan santri, Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab tafsir yang juga cukup banyak dikaji. Dalam Musabaqah Qiraatil Kutub, Tafsir Ibnu Katsir menjadi kitab yang dilombakan dalam tingkat ulya. Selain tentunya Tafsir Jalalain dalam tingkat wustha. Artikel ini akan mencantumkan link download Tafsir Ibnu Katsir yang dapat diakses secara gratis dalam bentuk pdf.

Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim atau Tafsir Ibnu Katsir adalah salah satu kitab tafsir yang terkenal. Dikatakan bahwa kitab ini merupakan kitab nomer dua setelah kitab tafsir karangan Ibn Jarir al-Thabari. Sebagai kitab tafsir bil ma’tsur, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim memuat banyak sekali riwayat penafsiran salaf.

Hal yang cukup menarik dari kitab tafsir karangan al-Imam al-Jalil al-Hafidz Imaduddin Ibn Katsir ini ialah pada bagian pendahuluannya yang panjang. Di dalamnya, Ibn Katsir menuliskan semacam pengantar mengenai ilmu al-Qur’an dan tafsir. Namun setelah ditelusuri ternyata sebagian besar isinya merupakan salinan dari tulisan gurunya, Ibn Taimiyah, yang bisa dilihat dalam kitab Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir.

Dari sisi isi penafsirannya, Ibn Katsir menuliskan penafsiran dengan kalimat yang mudah serta diperingkas. Adapun jika ditilik dari sisi metodologi penafsirannya, Ia biasanya melakukan penafsiran dengan metode tafsirul qur’an bil qur’an. Lalu menambahkan riwayat-riwayat yang sesuai dengan pembahasan ayat baik berupa hadis maupun atsar.

Ibn Katsir tidak hanya mengutip dan menempelkan riwayat dalam penafsirannya, ia juga menerapkan analisis kritis terhadapnya dengan mengomentari dari sisi validitasnya. Hal ini menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang yang menguasai keilmuan hadis. Selanjutnya ia juga mengutip dari kitab-kitab para mufassir pendahulunya seperti Ibn Jarir.

Keistimewaan Tafsir Ibnu Katsir diulas oleh Ali Ash-Shabuni yang kemudian melahirkan karya kitab mukhtashar Tafsir Ibn Katsir. Menurutnya, keistimewaan kitab tafsir ini adalah sebab kitab ini menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur (menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, sunah, pendapat para sahabat, dan tabiin) dengan ungkapan yang jelas dan mudah dan memadukannya dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir dengan penalaran akal). Beliau menguatkan klaimnya dengan mengutip pendapat As-Suyuthi yang menyatakan “Belum pernah disusun tulisan yang sepadan dengan gaya tafsir ini”.

Para Pembaca dapat melakukan download Tafsir Ibnu Katsir sebanyak 8 jilid melalui link yang tertera di bawah ini

Jilid 1
Jilid 2
Jilid 3
Jilid 4
Jilid 5
Jilid 6
Jilid 7
Jilid 8

Hukum Iqlab dalam Nun Mati dan Tanwin Beserta Contohnya

0
Hukum Iqlab
Hukum Iqlab

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum idgham disertai pembagian dan juga contohnya dalam Al-Quran. Artikel ini akan melanjutkan penjelasan yang ketiga terkait hukum Iqlab dalam lingkup nun mati dan tanwin. Syekh Sulaiman al-Jamzuri menerangkan hukum iqlab dalam Tuhfat al-Athfal sebagai berikut:

و الثالث الإقلاب عند الباء # ميما بغنة مع الإخفاء

Ketiga adalah hukum iqlab, hurufnya adalah ba’. Dibaca mim dengan ghunnah serta samar.

Menurut Syekh Hasan Dimasyqi dalam bukunya Taqrib al-Manal bi Syarh Tuhfat al-Athfal, iqlab secara bahasa adalah mengubah sesuatu dari asalnya atau mengubah sesuatu yang jelas dengan yang samar (tahwil al-syai’i ‘an wajhih wa tahwil al-syai’ dzahran li bathnin).

Baca Juga: Hukum Nun Mati dan Tanwin: Hukum Idzhar Dilengkapi dengan Contoh dalam Al-Quran

Sedangkan secara bahasa, Hukum Iqlab adalah menjadikan suatu huruf di tempat huruf yang lain (ja’lu harfin makana akhar). Dalam definisi lain yakni mengganti huruf nun atau tanwin dengan mim lalu menghilangkannya untuk menjaga ghunnah (qalbu nun au tanwin miman ma’a khafa’ li mura’at al-ghunnah).

Penempatan nun sukun atau tanwin diganti dengan mim ketika bertemu huruf  iqlab yaitu ba’ adalah dalam satu kata maupun dalam dua kata yang berbeda. Adapun contoh bacaannya dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

Dalam satu kata yang sama terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 33:

قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ

Yang menjadi contoh adalah dalam kata Anbi’hum dibaca menjadi Ambi’hum huruf nun diganti dengan mim karena terdapat hukum iqlab yaitu nun sukun bertemu dengan huruf ba’ sebagai huruf iqlab.

Baca Juga: Hukum Idgham dalam Nun Mati dan Tanwin beserta Contohnya dalam Al-Quran

Kemudian contoh dalam dua kata yang berbeda terdapat dalam Surah Luqman ayat 28:

مَا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Yang menjadi contoh hukum iqlab adalah pada kalimat sami’un bashir dibaca menjadi sami’um bashir huruf nun yang terdapat pada kata samii’un diganti dengan huruf mim karena berlaku iqlab, tanwin bertemu dengan huruf ba’.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai hukum iqlab, definisinya, beserta contohnya dalam Al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Kunci Ketujuh dan Kedelapan Menggapai Kebahagiaan: Menjaga Hubungan dengan Tuhan dan Alam

0
Menjaga Hubungan
Menjaga Hubungan dengan Tuhan dan Alam

Setelah enam kunci menggapai kebahagiaan diulas pada artikel-artikel sebelumnya, dalam artikel ini akan diulas kunci ketujuh dan kedelapan. Menjaga hubungan baik dengan Tuhan merupakan kunci penting dalam kehidupan manusia.

Setiap manusia harus selalu menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan. Apa yang harus dilakukan oleh manusia untuk menjaga hubungan dengan Tuhannya? Caranya ialah dengan memperbanyak berzikir kepada Allah Swt.

Zikir adalah seluruh kegiatan ibadah yang dilakukan oleh seseorang, baik dalam bentuk amal badaniyah, yaitu amal yang dilakukan oleh anggota badan, amal lisaniyah, yaitu amal yang dilakukan oleh lidah dengan mengucapkan kalimat-kalimat zikir, dan amal qalbiyah, yaitu amal yang dilakukan oleh hati.

Baca Juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

Semua amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka mendekatkan dirinya kepada Tuhan adalah zikir. Zikir akan menjadikan manusia tetap menjaga hubungannya dengan Tuhannya. Allah menyatakan di dalam QS. Ali Imran [3]” 190-191:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Di dalam QS. Al-Ra’d [13]: 28 Allah menyatakan: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Rasulullah menyatakan dalah suatu hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah r.a.: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw., bersabda: Ada 7 golongan yang akan dilindungi/dinaungi oleh Allah swt. dalam lindungannya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan/lindungan Allah swt., yaitu (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dan besar dalam menyembah tuhannya, (3) seseorang yang hatinya selalu terikat dan terkait dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka bertemu dan berkumpul karena Allah dan mereka berpisah karena Allah swt., (5) seseorang yang apabila diminta oleh seorang wanita yang kaya berkedudukan tinggi lagi cantik untuk berzina, maka ia menolak dengan ucapan” Aku takut kepada Allah swt.,(6) seseorang yang selalu bersedekah dalam keadaan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dibelanjakan oleh tangan kanannya, dan (7) seseorang yang selalu berzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi dan menangis karena takutnya kepada-Nya.”

Kunci berikutnya untuk menggapai kebahagiaan adalah menjaga hubungan dengan alam dan lingkungan. Alam dan lingkungan di mana manusia hidup diciptakan oleh Allah untuk umat manusia. Manusia dapat memanfaatkan seluruh potensi alam ini untuk menjalani kehidupannya. Allah telah menciptakan alam ini dengan beraneka ragam makhluk di dalamnya adalah untuk manusia.

Baca Juga: Kunci Kelima dan Keenam Menggapai Kebahagiaan: Ikhlas dan Menjaga Hubungan

Lingkungan alam ini mencakup flora dengan beraneka ragam bentuk dan macamnya, fauna dengan segala macam bentuk dan ragamnya, dan benda padat, seperti tanah batu, kayu dan lain-lain, dan benda cair yang ada di alam ini. Tanpa itu semua manusia tidak mungkin dapat menjalani kehidupannya ini dengan baik dan sempurna. Oleh sebab, itu menjaga lingkungan sama dengan menjaga kelestarian hidup manusia. Setiap orang dari anak manusia harus senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan lingkungan. Rusaknya lingkungan akan menyebabkan rusaknya ekosistem kehidupan manusia dan ini berarti bahwa kehidupan manusia akan menjadi rusak.

Manusia tidak boleh merusak alam dan lingkungannya. Karena manusia merusak alam dan lingkungannya, maka manusia pada hakikatnya merusak tatanan ekosistem kehidupan mereka sendiri. Menjaga alam dan lingkungan berarti mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan di dunia dan menghasilkan kenikmatan di akhirat.

Ada sejumlah ayat menerangkan tentang perlunya menjaga lingkungan ini. Di antaranya adalah QS. al-A’raf/7: 56:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ (56)

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Di dalam QS. Al-Shaffat [37]: 19 Allah menyatakan: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”

Di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 22 Allah menyatakan: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”

Di dalam QS. Ibrahim [14]: 32:” Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”

Demikianlah kunci ketujuh dan kedelapan untuk menggapai kebahagiaan yakni menjaga hubungan dengan Tuhan dan Alam. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.