Beranda blog Halaman 191

Mengapa Para Pecinta Rasulullah Sulit Mengisahkan Kemuliaan Nabi Saw?

0
Pecinta Rasulullah Sulit Mengisahkan Kemuliaan Nabi Saw
Pecinta Rasulullah Sulit Mengisahkan Kemuliaan Nabi Saw

Apa yang terjadi jika pembaca memiliki seseorang yang teramat dicinta, dapatkah memberikannya sanjungan yang memuaskan, yang mampu memberikan gambaran sepenuhnya, atau paling tidak dapat mewakili segenap perasaan yang tengah dirasa? Atau justru tak satu pun kata yang terucap? Bagaimana jika ternyata seseorang tersebut merupakan special case dan worth study, layak dipelajari?. Seseorang yang dimaksud tentulah kemuliaan Nabi Saw.

Maka tak mengherankan jika mulut para pujangga maulid, yang karyanya sering kita baca, menjadi ‘tergagap’ tatkala hendak mengisahkan kemuliaannya, shallallahu ‘alaih wa sallam. Al-Imam al-Jalil ‘Abdurrahman al-Diba‘iy dalam karyanya, al-Maulid al-Diba‘iy menyebutkan,

قَالَ بَعْضُ وَاصِفِيْهِ مَا رَأَيْتُ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ مِثْلَهُ. فَيَعْجِزُ لِسَانُ الْبَلِيْغِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْصِيَ فَضْلَهُ.

“Beberapa dari mereka yang menggambarkan Rasulullah Saw berkata, “Tak pernah aku melihat sebelumnya atau bahkan suatu hari nanti sosok seperti Rasulullah Saw”. Maka setiap tutur kata para pujangga akan menjadi lemah tatkala hendak membilang keutamaannya.”

Begitu juga dengan Al-Imam Muhammad bin Sa‘id bin Hammad bin ‘Abdullah al-Shanhajiy al-Bushiriy dalam Qashidah al-Burdah-nya, serta Al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyiy dalam maulid Simth al-Durar-nya secara berturut-turut,

فَإِنَّ فَضْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ * حَدٌّ فَيُعْرِبُ عَنْهُ نَاطِقٌ بِفَمِ

“Karena sungguh keistimewaan Rasulullah tak terbatas, hingga tak satu pun lisan mampu menuturkannya”

وَعَلَى تَفَنُّنِ وَاصِفِيْهِ بِوَصْفِهِ * يَفْنَى الزَّمَانُ وَفِيْهِ مَا لَمْ يُوْصَفِ

“Betapa pun luasnya pengetahuan seseorang akan keluhurannya, hingga waktu terhenti, akan selalu ada sesuatu yang belum ia dapati”

Penyebab Sulit Menggambarkan Kemuliaan Nabi Saw

Namun demikian, selain aspek psikologis yang mendasari kesulitan pengisahan kemuliaan Rasulullah Saw. sebagaimana dapat dimengerti dari syair-syair di atas, penulis memahami adanya faktor lain yang menyebabkan hal itu terjadi. Dimana posisi Rasulullah Saw. adalah seorang nabi yang diturunkan kepadanya Al-Qur’an, hingga menciptakan sebuah hubungan yang tak terpisahkan antara pribadi Rasulullah dengan Al-Qur’an itu sendiri.

Baca juga: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 237: Bagaimana Mahar Jika Terjadi Perceraian dalam Pernikahan?

Hubungan ini lah yang disebut Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra sebagai The Living Al-Qur’an. Dalam ulasannya, Prof. Ahimsa menyebutkan bahwa Rasulullah Saw., dalam artian yang sebenarnya yakni sosok Muhammad, merupakan Al-Qur’an yang hidup. Hal ini dikarenakan kuatnya pemahaman di kalangan internal umat Islam bahwa akhlak Rasulullah Saw. merupakan Al-Qur’an.

Sehingga, dalam bingkai teori Prof. Ahimsa ini, gambaran terhadap Rasulullah Saw., etika misalnya, menjadi sangat sulit karena seorang ‘pujangga’ mau tak mau harus memahami juga nilai-nilai yang tersebutkan dalam Al-Qur’an. Padahal di sisi lain, pemahaman terhadap nilai Al-Qur’an sendiri selalu mengalami perkembangan. Maka menggambarkan (ihsha’) kemuliaan Rasulullah Saw. agaknya menjadi sesuatu yang barangkali hampir mustahil dilakukan.

Tendensi yang digunakan Prof. Ahimsa sebelumnya adalah sebuah hadis yang masyhur diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah r.a.,

حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُبَارَكٌ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: أَتَيْتُ عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَخْبِرِينِي بِخُلُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ: ” كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ، قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: {وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ}”

“Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin al-Qasim, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami Mubarak, dari Al-Hasan, dari Sa‘ad bin Hisyam bin ‘Amir, ia berkata: “Saya mendatangi ‘Aisyah seraya berkata: “Wahai Umm al-Mu’minin, kabarkan kepadaku tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam.” ‘Aisyah berkata: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Tidakkah engkau membaca firman Allah (Surah Al-Qalam [68]: 4): “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (HR. Ahmad)

Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab

Dalam hadis ini terlihat bahwa Sayyidah ‘Aisyah r.a. berusaha memberikan penjelasan terhadap karakter sifat Rasulullah Saw. dengan menggunakan kandungan ayat Al-Qur’an. Yang dalam bahasa kajian saat ini dikenal dengan syarh al-hadits bi al-qur’an, dimana karakter sifat yang disebutkan menjadi representasi dari hadis nabawiy, dan ayatnya merupakan Al-Qur’an itu sendiri.

Jika demikian, adanya relasi yang terbangun antara Al-Qur’an dan hadis nabawiy, maka aktifitas menggambarkan (ihsha’) Rasulullah Saw. menjadi semakin sulit. Karena seperti halnya Al-Qur’an, kajian mengenai hadis juga terus mengalami perkembangan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesulitan yang dialami oleh para pujangga maulid sebagaimana telah penulis sebutkan di awal, selain didasarkan pada faktor psikologis bahwa Rasulullah Saw. merupakan sosok yang menjadi utusan, juga disebabkan adanya tuntutan terhadap pemahaman yang menyeluruh terhadap nilai-nilai yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis nabawiy, yang mencakup aqwal, af’al, dan taqrir. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 237: Bagaimana Mahar Jika Terjadi Perceraian dalam Pernikahan?

0
Mahar Jika Terjadi Perceraian
Mahar Jika Terjadi Perceraian

Mahar sudah dikenal sejak masa masa jahiliyah, jauh sebelum Islam datang. Akan tetapi, mahar sebelum datangnya Islam, mahar bukan diperuntukkan bagi calon istri tetapi untuk ayah atau kerabat laki laki dari pihak istri. Karena konsep perkawainan menurut hukum adat pada masa Islam belum datang, perkawinan sama dengan transaksi jual beli, yaitu jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat laki laki dari calon istri sebagai pemilik barang. Kemudian ketika Al-Qur’an turun, pranata mahar tetap di lanjutkan. Hanya saja konsepnya mengalami perubahan. Sebelum adanya Islam, mahar diberikan kepada calon mertua, maka setelah turunnya Al-Qur’an, mahar itu diperuntukkan bagi perempuan yang kan dinikahinya. Akan tetapi bagaimana mahar jika terjadi perceraian?

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (3): Surah Ibrahim Ayat 5

Jika terjadi perceraian sebelum berlangsungnya hubungan seksual (berhubungan badan) antara suami dan istri, maka suami diwajibkan membayar setengah dari mahar yang telah ditentukan. Allah swt. berfirman dalam surah al-Baqarah : 237 :

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Jika kamu menceraikan istri istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan itu lebih dekat kepada taqwa.

Quraish syihab dalam Tafsir al Misbah menjelaskan bahwa ayat ini turun dalam konteks apabila perceraian dijatuhkan sebelum terjadinya hubungan seksual, tetapi tetap disepakati kadar mahar sebelum perceraian, maka yang wajib diserhkan oleh suami adalah seperdua jumlah yang ditetapkan itu. Hal ini adalah karena salah satu tujuan perkawinan belum terlaksana, yaitu hubungan seksual.

Baca juga: Petunjuk Al-Quran tentang Cara Menilai Peserta Didik: Tafsir Surah Qaf Ayat 17-18

Akan tetapi apabila jumlah mahar belum ditentukan sebelum perceraian tejadi, maka suami wajib mata’ atau mat’ah (pemberian berdifat hiburan) kepada istrinya yang diceraikan, sebagai pengganti kekecewaan hatinya atau gangguan psikologis yang mungkin dideritanya. Adapun jumalahnya tida ditentukan, melainkan bergantung pada kekayaan dan kemampuan materi suaminya.

Para suami yang menceraikan istrinya sebelum bersetubuh, tidak diwajibkan membayar sesuatu, namun demikian sungguh bijaksana jika para suami memberikan sesuatu kepadanya, karena itu hendaklah kalian berikan suatu mut’ah (pemberian kepada mereka). Karena perceraian tersebut menimbulkan sesuatu yang dapat mengerutkan hati istri dan keluarganya.

Jika seandainya perceraian tejadi disebabkan salah satu dari suami istri meninggal, maka mahar sepenuhnya menjadi hak istri. Jika yang meninggal suaminya, maka mahar diserahkan kepada istri. Akan tetapi kalau istri yang meniggal, maka mahar diserahkan oleh suami kepada wali istrinya. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para fukaha. Karena menurut mereka syarat wajib mahar itu ada dua, yaitu dukhul atau mati (Lihat Wahbah al Zuhaili, al Fiqhul al Islami wa Adillatuh, Juz VII, hal. 288 290).

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Ayat ini juga mengindikasikan bahwa perceraian sebelum terjadinya hubungan seksual tidak dilarang. Dalam perceraian yang demikian, suami tidak membayar mahar tetapi ia wajib membayar uang penghibur (mutah) kepada istri yang diceraikannya.

Wallahu a’lam bis Shawab []

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (3): Surah Ibrahim Ayat 5

0
dalil maulid Nai dalam Al-Quran (3)_surah Ibrahim ayat 5
dalil maulid Nai dalam Al-Quran (3)_surah Ibrahim ayat 5

Melanjutkan artikel yang lalu, kali ini dalil maulid Nabi yang ketiga, Dr. Alwi bin Ahmad Al-Idrus menukil surah Ibrahim [14]: 5 berikut,

وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ……

“..dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Apa maksud ‘hari-hari Allah’?

Maksud dari hari-hari Allah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia, baik berupa nikmat maupun siksaan yang mereka alami. Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Quran menuturkan, “semua hari adalah hari Allah. Tetapi maksud dari ayat tersebut adalah hari-hari terjadinya peristiwa bagi manusia atau sekelompok golongan, berupa nikmat atau siksaan seperti kisah peringatan Musa kepada kaumnya yang akan diceritakan kemudian. Hari-hari tersebut kemudian disebut dengan ayyam (hari-hari) mereka, seperti halnya hari-hari bagi kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan kaum-kaum setelahnya. Inilah yang maksud hari-hari (Allah).”

Ayat tersebut, meski diturunkan untuk menyinggung Bani Israil, tetapi hukumnya adalah umum, sebagaimana kaidah usul katakan, al-‘ibratu bi ‘umum al-lafzhi la bi khusus al-sabab; makna ayat dipahami dari lafalnya yang umum, bukan sebabnya yang khusus. Karena tujuan turunnya ayat tersebut tak lain adalah sebagai peringatan dan pelajaran untuk manusia seluruhnya.

Jika peristiwa-peristiwa penting yang dialami kaum terdahulu diperintahkan untuk mengingatnya, tidakkah peristiwa lahirnya Nabi Muhammad Saw dan kisah hidup beliau lebih penting dan lebih perlu untuk diingat? Pun kita sudah mafhum, bahwa nikmat Allah terbesar bagi hambaNya adalah adanya Nabi Muhammad, sosok yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju kegemilangan.

Tak sedikit sarjana Eropa yang mengakui Nabi Muhammad sebagai sosok luar biasa. Sebagai contoh, sebutlah Tolstoy. Ia mengakui Nabi Muhammad sebagai seseorang yang berhasil melepaskan suatu umat yang hina dari belenggu-belenggu tradisi yang buruk. Yang telah membuka jalan bagi umatnya untuk meningkatkan mutu dan menjadi umat yang berkemajuan. Tolstoy juga mengatakan bahwa ajaran (syariat) yang dibawa Muhammad kelak akan memimpin dunia karena kesesuaiannya dengan akal dan etika (Abdullah Salih al-Jumah, Udzama’ bila Madaris).

Senada dengan Tolstoy, Tarif Khalidi dalam Images of Muhamad (2021) mengutip Jad al-Maula, “masa sebelum kedatangan Muhammad ditandai oleh fakta bahwa seluruh dunia saat itu tertutupi oleh awan tebal praktik politeisme, kebodohan, keburukan, dan ketidakadilan, di mana kejahatan menindas moralitas dan orang-orang jahat menduduki kekuasaan di seluruh bangsa. Oleh karena itu, kemunculan Muhammad menjadi keharusan mutlak, yang pada gilirannya melakukan reformasi masyarakat secara besar-besaran yang pernah dilakukan oleh manusia, sebelum atau setelah kedatangannya.”

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

Nabi Muhammad saw. itu nikmat teragung

Pada artikel yang lalu, telah disebutkan bahwa rahmat serta nikmat paling agung yang diberikan Allah kepada hambaNya adalah kedatangan Nabi Muhammad Saw. Dalam kitabnya, al-Risalah, Imam Syafii menuturkan bahwa ketercerahan umat hingga sekarang ini adalah sebab adanya Nabi Muhammad Saw.

“Semoga Allah membalas Nabi Muhammad dengan sebaik-baik balasan pengutus kepada yang diutus. Nabi Muhammad Saw, beliau lah yang menyelamatkan kita dari kehancuran, yang menjadikan kita sebagai umat terbaik sepanjang sejarah manusia, yaitu mereka yang memeluk agama yang diridai (Islam). Tiada nikmat yang kita rasa, baik nikmat lahir dan batin, yang dengan nikmat tersebut kita dapat keberuntungan di dalam agama dan dunia ataupun terhindarkan dari hal-hal yang dibenci, kecuali semua itu berkat Nabi Muhammad Saw.”

Dengan demikian, sudah barang tentu umat Muslim mesti bersyukur atas nikmat teragung itu. Keharusan bersyukur ini ditunjukkan oleh akhir ayat di atas,

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Jika hari-hari Allah tersebut, sebagaimana telah di jelaskan di depan, berupa siksaan atau bencana, maka kita harus menyikapinya dengan sabar. Dan jika hari-hari Allah berupa nikmat dan anugerah, maka bersyukur adalah sikap yang paling tepat.

Ibn ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menuturkan, “…keberadaan ayat yang berbeda-beda, sebagian ayat nasehat dan larangan, sebagian lagi ayat nikmat dan siksaan yang berkaitan seperti لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ  (bagi setiap yang sangat sabar dan bersyukur). Kata sabar pada potongan ayat tersebut memiliki kesesuaian dengan larangan. Sebab lazimnya peringatan itu membuat nafsu untuk melakukan kebalikannya (kebalikan larangan berarti perintah), takut kalau-kalau akibat yang buruk menimpanya jika ia melakukan sesuatu yang dilarang. Sementara pemberian nikmat, itu membuat nafsu untuk bersyukur. Dengan demikian, penyebutan dua sifat beriringan tersebut mengantarkan pada pemahaman bahwa ayyamullah (hari-hari Allah) ada yang berupa nikmat dan yang berupa siksa.

Menukil Syaikh Abd al-Fattah Ali Syihab dalam al-I’lam bi Fatawa Aimmah al-Islam haula Maulidih ‘alahis shalah was salam, beliau menuturkan, “kami, umat Muslim, memeringati hari lahir (maulid) kekasih kita, Nabi Muhammad Saw mengikuti ulama salafus salih kami, dengan harapan memperoleh syafa’at beliau Saw untuk kami. Kami juga memeringati malam Lailatulqadr sebagai sarana dakwah selain juga memegang teguh al-Quran yang diturunkan pada malam tersebut. Seperti halnya kami memeringati hijrah beliau Saw, sebagai pengingat kepatuhan mutlak dan pengorbanan tinggi yang dilakukan oleh beliau Saw. Seperti halnya juga kami memeringati momen-momen penting dari peperangan dan kemenangan beliau Saw beserta para sahabat dalam menegakkan panji Islam.”

Bukankah semua yang telah disebutkan merupakan ayyamullah (hari-hari Allah) yang mesti umat Muslim ingat, supaya apa yang ditinggalkan Allah baik berupa pemberian maupun bencana menjadi sebuah pelajaran berharga bagi kaum muslimin, sehingga mereka dapat menyongsong masa depan berbekal pelajaran yang diberikan Allah melalui hari-hari penting tersebut.

Baca Juga: Meneladani Akhlak Nabi Muhammad saw di Akhir Bulan Maulid

Menutup artikel kali ini, mari renungkan kembali makna surah Ibrahim [15] ayat 5 secara lengkap sebagai dalil maulid Nabi dengan menghadirkan Kanjeng Nabi di dalamnya,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا مُوْسٰى بِاٰيٰتِنَآ اَنْ اَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ ەۙ وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ

“Sungguh Kami benar-benar telah mengutus Musa dengan (membawa) tanda-tanda (kekuasaan) Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari berbagai kegelapan kepada cahaya (terang-benderang) dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.”

Shallu ‘ala An-Nabi Muhammad!

Petunjuk Al-Quran tentang Cara Menilai Peserta Didik: Tafsir Surah Qaf Ayat 17-18

0
Petunjuk Al-Quran tentang memberi nilai peserta didik
Petunjuk Al-Quran tentang memberi nilai peserta didik

Penilaian sikap menjadi aspek penting yang wajib dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya. Aspek afektif atau sikap menjadi poin penilaian utama yang disoroti selain penilaian kognitif (pengetahuan) dan penilaian psikomotorik (keterampilan). Tiga aspek tersebut menjadi poin dalam menilai peserta didik yang populer digunakan oleh para pendidik.

Terlebih pada kurikulum 2013, penilaian sikap lebih diutamakan dibandingkan dengan penilaian pengetahuan atau keterampilan. Sebab sikap sejatinya adalah buah dari pembelajaran yang dilakukan. Penguasaan terhadap pengetahuan yang memunculkan keterampilan adalah untuk membentuk sikap atau akhlak yang baik terutama dalam tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).

Berdasarkan pedoman penilaian pendidikan (Kemendikbud, 2017) sebagaimana dikutip oleh Mulyasa, bahwa penilaian sikap merupakan kegiatan untuk mengetahui perilaku spiritual dan sosial peserta didik yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar kelas sebagai hasil pendidikan.

Demikian penting penilaian sikap untuk dilakukan sehingga menjadi penilaian utama yang diwajibkan dalam kurikulum 2013. Namun bagaimana sesungguhnya Al-Qur’an memberi percontohan tentang penilaian sikap ini? Allah Swt. berfirman dalam QS. Qaf [50]: 17-18 sebagai berikut.

إِذۡ يَتَلَقَّى ٱلۡمُتَلَقِّيَانِ عَنِ ٱلۡيَمِينِ وَعَنِ ٱلشِّمَالِ قَعِيدٞ مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ

Terjemah: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf [50]: 17-18)

Baca Juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Tafsir QS. Qaf [50]: 17-18 tentang Malaikat yang Mencatat Amal

Ibnu Katsir menjelaskan dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun melainkan senantiasa di bawah pengawasan malaikat yang mencatatnya, tidak ada sepatah kata dan satu gerakan pun yang luput dari pengawasan malaikat.

Al-Ahnaf bin Qais mengatakan: “Malaikat yang berada di sebelah kanan mencatat kebaikan, yang ia sekaligus menjaga malaikat yang menempati sebelah kiri. Jika seorang hamba melakukan kesalahan, maka malaikat sebelah kanan akan berkata kepadanya” ‘Tahan dulu!’ Jika ia memohon ampunan kepada Allah, maka ia akan mencegahnya agar tidak mencatat dan jika hamba tersebut tidak mau memohon ampun, maka barulah malaikat mencatatnya.”

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir juga menjelaskan bahwa meskipun Allah Swt. mengetahui segala yang ada dalam hati manusia, Dia ingin tetap menugaskan dua malaikat yang bertugas mencatat dan mengawasi perbuatan manusia sebagai bukti sehingga mereka tidak bisa mengelaknya.

Allah menyatakan lebih dekat kepada manusia dari setiap hal yang dekat darinya ketika dua malaikat pencatat amal mencatat segala yang ia ucapkan dan kerjakan. Di sebelah kanan dan kirinya ada satu malaikat yang senantiasa menyertainya. Qa’iid adalah orang yang duduk bersamamu. Malaikat sebelah kanan bertugas mencatat segala amal kebajikan, sedangkan malaikat sebelah kiri mencatat segala amal keburukan.

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ كِرَامٗا كَٰتِبِينَ يَعۡلَمُونَ مَا تَفۡعَلُونَ

Terjemah: “10. Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), 11. Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), 12. Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Infithar [82]: 10-12)

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari kalimat   وإن عليكم لحفظين “padahal sesungguhnya bagi kamu ada yang mengawasi,” yaitu pengawas yang berasal dari golongan malaikat.

Shihab juga menambahkan bahwa kalimat tersebut ditujukan kepada semua manusia yang mukallaf (dewasa dan berakal) tanpa terkecuali. Demikian pula kata على  yang terdapat dalam firman-Nya عليكم  mengisyaratkan betapa besar kuasa malaikat untuk mengawasi dan memperhatikan perbuatan manusia. Apalagi Allah yang berada pada kedudukan lebih tinggi dari malaikat.

Baca Juga: Ragam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan Pendidikan

Evaluator (Malaikat) Allah Sebagai Pencontohan Penilaian

Melalui QS. Qaf [50]: 17-18 yang diperkuat dengan QS. Al-Infithar [82]: 10-12 di atas telah menggambarkan adanya evaluator atau penilai yang Allah kirimkan untuk mencatat segala perbuatan manusia ketika hidup di dunia. Pencatatan tersebut meliputi amal baik dan juga amal buruk.

Namun tidak semua amal manusia dicatat mentah-mentah begitu saja, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir di atas bahwa sebelum mencatat malaikat akan menimbang dan memberi kesempatan terlebih dahulu ketika manusia melakukan amal jahat hingga ia memohon ampun kepada Allah. Namun ketika tidak niatan untuk taubat, maka barulah malaikat akan mencatat amal buruknya.

Demikian keadilan yang diberikan Allah kepada manusia begitu luar biasa, bahkan saat manusia melakukan kezhaliman kepada-Nya sekalipun. Selain itu, dalam ayat tersebut Allah mengajarkan tentang pentingnya penilaian kepada manusia untuk melihat sejauh mana kualitas amal kebaikan ataupun amal keburukannya.

Kontekstualisasi ayat ini adalah percontohan bagi pendidik dalam menilai peserta didiknya. Pertama, penilaian harus dilakukan secara autentik (sebagaimana adanya) yang terkait dengan penilaian sikap baik atau penilaian sikap buruk. Namun seorang pendidik, harus memberi kesempatan kepada peserta didiknya untuk berubah ketika sikap yang ditunjukkan tidak baik.

Hal tersebut sebagaimana Allah contohkan melalui malaikat yang memberi kesempatan bertaubat kepada manusia sebelum mencatat amalnya. Kedua, Allah juga mencontohkan tentang pentingnya proses validasi penilaian untuk melihat sejauh mana tingkat keakuratan hasil penilaian tersebut.

Sebagaimana yang dilakukan Allah dalam menilai amal baik manusia. Sejatinya, Allah mengetahui secara pasti setiap perbuatan manusia bahkan lebih tahu dari siapapun. Namun Allah tetap melibatkan malaikat dalam mencatat amal manusia agar perekaman amal tersebut tidak terbantahkan lagi. Demikian pentingnya seorang pendidik melibatkan peserta didik ataupun pendidik yang lain dalam proses penilaian sikap. Hal ini bertujuan agar data penilaian betul-betul valid dan terhindar dari subyektivitas yang berlebihan.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Inilah Tujuan Pendidikan Islam

Penutup

Penilaian yang baik adalah penilaian yang mengedepankan keadilan. Hal ini ditunjukkan dengan cara seorang guru yang menilai peserta didik sebagaimana adanya tanpa dikurangi atau dilebihkan sedikit pun. Terkhusus pada penilaian sikap, pendidik semestinya betul-betul cermat dalam mengobservasi maupun meneliti sikap peserta didik sebagaimana malaikat Allah yang begitu apik dalam mencatat amal manusia.

Selain dirinya sendiri, pendidik juga semestinya melibatkan orang lain baik teman sebaya peserta didik atau melalui pendidik yang lain. Hal ini bertujuan agar hasil penilaian benar-benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana Allah yang Maha Tahu tetapi tetap melibatkan malaikat dalam mencatat amal manusia. Wallahu A’lam.

Surat Al-Ankabut Ayat 30: Doa Nabi Luth as. yang Diabadikan Allah SWT dalam Al-Quran

0
Doa Nabi Luth dalam Al-Quran
Doa Nabi Luth dalam Al-Quran

Nabi luth as merupakan dzurriyah nabi Ibrahim as. Beliau adalah nabi yang berbeda, pada dasarnya nabi-nabi lainnya bertugas untuk menyampaikan ajaran tauhid, tetapi nabi Luth diutus menjadi nabi dan rasul atas dasar misi yakni meluruskan suatu kebiasaan buruk yang dialami masyarakat pada saat itu, tetapi hal itu bukan berarti menafikan bahwa beliau tidak mengajarkan ajaran tauhid. Kisah Nabi Luth diabadikan dalam Al-Quran. Dalam kisah ini terdapat doa Nabi Luth kepada Allah, ia mengadu tentang perbuatan kaumnya kepada Allah.

Buruknya Perilaku Kaum Nabi Luth as.

Kisah nabi Luth banyak di muat dalam al-Qur’an yang terkenal dengan kisah kaumnya yang melakukan kemaksiatan yang belum pernah dilakukan seorang pun sebelumnya yaitu homoseksual, banyak ayat yang membahas mengenai kisah tersebut antara lain:

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 28)

Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya Al-Wajiz menjelaskan bahwa maksiat yang dilakukan kaum nabi Luth atau yang dikenal dengan kaum Sodom adalah praktik perbuatan buruk yang dibenci oleh orang-orang normal, yaitu ‘mendatangi’ dubur laki-laki, dan maksiat tersebut sama sekali belum pernah dilakukan oleh kaum-kaum sebelumnya.

Kemaksiatan yang dilakukan kaum Sodom adalah kebiasaan baru yang buruk, hal itu dilakukan bukan karena tidak ada wanita tetapi memang kaum Sodom adalah kaum yang durhaka. Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim karya Ibnu Katsir dijelaskan bahwasannya selain mereka berbuat keji dalam seks, mereka juga melakukan perbuatan yang tidak layak dipertontonkan di khalayak umum seperti mereka kerap kali saling mengeluarkan angin (kentut) kemudian tertawa, dan mereka juga sering mengadu kambing, domba dan berlomba-lomba mengadu suara ayam. (Ibnu Katsir, 2020 juz 3: 369).

Nabi Luth seringkali mengingatkan kaumnya dan menyuruh untuk meninggalkan perbuatan keji tersebut, tetapi hal itu sama sekali tidak mendapat respon baik dari kaumnya. Bahkan banyak dari kaumnya itu membantah anjuran dari nabi Luth dan lebih parahnya mereka tidak segan-segan mengusir nabi Luth beserta para pengikutnya untuk pergi dari kotanya.

Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Permohonan Nabi Luth as Kepada Allah SWT

قَالَ رَبِّ ٱنصُرْنِى عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Ya Tuahnku, tolonglah aku (dengan menimpakan adzab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 30).

Begitulah doa nabi Luth dalam keadaan terdesak atas kedurhakaan umatnya. Lafadh ٱنصُرْنِى menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya memaknai sebagai turunnya azab, dan lafadh  ٱلْمُفْسِدِينَ mempunyai makna kaum yang rusak dan durhaka dengan bersetubuh terhadap sesama lelaki dan juga selalu mengada-adakan maksiat. (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Munir, 1418 H juz 20: 229)

Baca Juga: Pesan di Balik Doa Nabi Ibrahim dalam Surah Asy-Syu’ara Ayat 83-89

Al-Sa’di mengatakan dalam kitab tafsirnya bahwa pada saat itu nabi Luth berputus asa dan menurutnya umatnya telah pantas mendapatkan azab. Maka dari itu nabi Luth sampai berdoa memohon pertolongan Allah agar umatnya diberikan azab yang setimpal dengan apa yang umatnya perbuat. Setelah itu para malaikat menyuruh nabi Luth beserta keluarganya (selain istri) untuk segera pergi meninggalkan kota Sodom karena ada riwayat yang menyebutkan bahwa istri nabi Luth termasuk orang yang tertinggal. Kemudian pada saat itulah Allah menurunkan azab kepada kaum Sodom berupa hujan batu. Berikut firman Allah dalam al-Qur’an:

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَرًا ۖ فَسَآءَ مَطَرُ ٱلْمُنذَرِينَ

“Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu), maka sangat jelek hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu” (Q.S. Asy-Syuara [42]: 173)

Setelah Allah membinasakan kaum Nabi Luth dan menyelamatkan Luth dan pengikutnya, Allah membinasakan tempat tinggal mereka dengan menjadikannya laut mati yang airnya busuk yang terletak di Baitul Maqdis bersebelahan dengan negeri al-Kark dan Asy-Syawik. Tempat tersebut dijadikan Allah sebagai jalan yang biasa dilalui siang dan malam hari oleh musafir, supaya orang-orang dapat mengambil pelajaran dari kisah tersebut.

Dengan dijadikannya tempat kaum Nabi Luth sebagai laut mati, umat Islam seharusnya menjadikan peristiwa itu sebagai pelajaran, tanda kekuasaan Allah dalam menurunkan azab bagi mereka yang membangkang akan perintahnya, mendustai utusannya dan mengikuti hawa nafsu.

Dalam kitab Safwah al-Tafasir, As-Shabuni berkata: “Dan ketahuilah bahwa salah seorang nabi tidak akan mendoakan suatu kaum kepada kehancuran kecuali dia mengetahui bahwa sesungguhnya ketidakhadiran mereka lebih baik dari pada keberadaan mereka”. Wallahua’lam.

Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (2): Surah Hud Ayat 120

0
dalil maulid nabi dalam Al-Quran
dalil maulid nabi dalam Al-Quran

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini kita akan membaca dalil kedua tentang kebolehan merayakan peringatan Maulid Nabi yang diambil dari petunjuk Al-Quran. Dalil maulid Nabi yang kedua ini yaitu Hud [11]: 120.

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.”

Manthuq Surah Hud [11]: 120

Manthuq adalah bentuk isim maf’ul kata nathaqa-yanthiqu yang berarti pembicaraan. Sedangkan secara istilah, menurut al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, manthuq adalah makna yang dipahami dari petunjuk lafal secara qath’i terhadap pembicaraan. Sementara menurut al-Juwaini dalam al-Burhan adalah pengertian yang diperoleh dari apa yang tersurat.

Jika kita membaca Hud [11]: 120, maka manthuq ayat tersebut adalah hati Rasulullah Saw menjadi teguh dan tenang ketika mendengarkan kisah-kisah rasul terdahulu.

Al-Thabari dalam tafsir ayat “maa nutsabbitu bihi fu`adaka.. kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu,” ini meneruskan, “maka jangan risau dengan pendustaan yang dilakukan oleh kaummu, dan bantahlah apa yang mereka tuduhkan, jangan kausempitkan dadamu,” kemudian diteruskan dengan ayat berikut,

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ اَنْ يَّقُوْلُوْا لَوْلَآ اُنْزِلَ عَلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ جَاۤءَ مَعَهٗ مَلَكٌ ۗاِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ ۗ

“Boleh jadi engkau (Nabi Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu menjadi sempit karena (takut) mereka mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang malaikat bersamanya?” (Hud [11]: 12).

Baca Juga: Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Mafhum Muwafaqah Surah Hud [11]: 120

Kita urai definisi mafhum terlebih dahulu. Mafhum adalah makna yang dipahami dari lafal bukan menurut yang dibicarakan, sebagaimana definisi yang diberikan al-Amidi dalam kitab yang sama. Sementara al-Juwaini dalam al-Burhan mendefinisikan mafhum sebagai pengertian yang diperoleh dari arti yang tidak disebutkan secara jelas.

Kemudian mafhum terbagi menjadi dua; muwafaqah (yang sesuai antara yang disebutkan dengan yang tidak disebutkan) dan mukhalafah (yang tidak disebutkan berbeda dengan yang disebutkan).

Lalu kita kembali ke Hud [11]: 120. Dari ayat yang telah disebut di atas, kita menemukan mafhum muwafaqah-nya bahwa jikalau Nabi Muhammad Saw—yang derajatnya sangat luhur—Allah teguhkan dan tenangkan hati beliau Saw dengan kisah-kisah rasul terdahulu, maka kita—umat muslim, tentu lebih butuh kisah-kisah Nabi Muhammad saw supaya hati kita menjadi teguh dan tenang.

Metode ihtijaj (berhujah) dengan cara mafhum awlawi atau qiyas aula di atas adalah termasuk dalil yang kuat, dan meninggalkan cara tersebut sama halnya dengan bertolak belakang dengan manhaj al-Quran dan sunnah. Contoh lain penggunaan qiyas aula adalah dalam al-Isra’ [17]: 23

فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

“…maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Sekadar mengucapkan kata “ah” (atau kata-kata kasar lainnya) kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama, apalagi memperlakukan mereka lebih kasar, dengan memukul, misalnya? Jika ada seseorang yang mengingkari hal tersebut dengan beranggapan hanya “ah” yang dilarang, dan selainnya boleh, maka ia telah melakukan bid’ah senyata-nyatanya, sama seperti kelompok Dhahiriyah yang mengada-ada itu.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ketika Nabi Muhammad Saw tinggal di Madinah, beliau bertemu dengan seorang Yahudi yang sedang berpuasa di hari Asyura. Nabi Muhammad bertanya, “dalam rangka apa kalian berpuasa?” jawabnya kaum Yahudi, “hari ini adalah hari agung. Hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun beserta kaumnya ke dalam laut. Lalu Musa berpuasa di hari itu sebagai wujud syukur, dan kami melakukan hal yang sama.”

Kemudian Nabi Muhammad membalas, “kami lebih berhak meniru Musa daripada kalian.” Lantas Nabi Muhammad berpuasa di hari itu dan memerintahkan para sahabat sekalian untuk turut berpuasa.

Dari riwayat tersebut, Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata, “dari riwayat tersebut, sudah semestinya kita bersyukur kepada Allah Ta’alaa atas anugerah yang Dia berikan di hari-hari tertentu, baik berupa nikmat yang dicurahkan ataupun bahaya yang dihilangkan. Dan hari-hari itu diulang setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai ibadah seperti salat, puasa, membaca al-Quran, sedekah, dan lain sebagainya. Lalu adakah nikmat yang lebih agung daripada nikmat lahirnya Muhammad, Sang Nabi Pembawa Rahmat, shallallahu ‘alaihi wa sallam?” (al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 56: Perintah Bershalawat Kepada Nabi Muhammad Saw

Faidah Kisah-Kisah

Di antara faidah utama kisah-kisah al-Quran, dan kisah-kisah lain pada umumnya adalah manthuq dari Hud [11]: 120 itu sendiri, yaitu meneguhkan hati Rasulullah dan hati umatnya atas agama Allah. Selain itu, kisah termasuk salah satu bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar sehingga pesan-pesan yang terkandung tertancap di dalam jiwa, sebagaimana surah Yusuf [12]: 111,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ

“Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehat.”

Senada dengan hal tersebut, Ibn Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhluhu mengutip kalam Imam Abu Hanifah tentang kisah para ulama, “kisah-kisah ulama dan kebaikan-kebaikan mereka itu lebih aku sukai daripada fikih, sebab kisah-kisah mereka merupakan adab dan akhlak yang mesti ditiru oleh suatu kaum.”

Jika demikian, tentu kisah hidup Nabi Muhammad Saw. lebih utama untuk kita simak dan pelajari. Inilah yang kami maksud dengan dalil maulid Nabi, karena dalam peringatan maulid Nabi, kita kembali diingatkan dengan kisah Nabi Muhammad saw. Hal itulah yang juga diajarkan Imam Ali Zainal Abidin kepada para ulama dengan berkata, “kami mengajar dan menceritakan ekspedisi-ekspedisi (dan kisah hidup) Rasulullah Saw. seperti halnya kami mengajarkan setiap surah dalam al-Quran.” Bukan hanya sekadar kisah, tetapi kebaikan dunia-akhirat lah yang kita peroleh dari kisah-kisah hidup Nabi Muhammad Saw. Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad.

Kunci Ketiga dan Keempat Menggapai Kebahagiaan: Beribadah dan Jujur

0
Kebahagiaan
Kunci Kebahagiaan

Kunci kebahagiaan yang ketiga adalah beribadah. Ibadah menjadi salah satu kunci hidup yang sangat penting. Manusia diciptakan oleh Allah untuk satu tujuan, yaitu beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Manusia yang sudah beribadah kepada Allah adalah manusia yang hidup sesuai dengan tujuan hidupnya. Manusia yang tidak beribadah adalah manusia yang hidup di dunia tidak sesuai dengan tujuan penciptaannya. Kata Allah di dalam Al-Qur’an, “Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada Allah swt.”

Ibadah harus dilakukan dengan khusyuk. Hanya dengan cara itu ibadah kita diterima oleh Allah swt. Ibadah yang kita lakukan tidak hanya sebagai kewajiban kita kepada-Nya, akan tetapi ibadah itu dilakukan untuk manusia itu sendiri. Ibadah yang dilakukan secara khusyuk akan menghasilkan ketenangan batin ketika di dunia dan menghasilkan kenikmatan rohani di akhirat.

Baca Juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

Secara garis besarnya ibadah dapat dibagi atas 3 kategori, yaitu: 1) beriman (berakidah yang benar), 2) berislam (beribadah yang benar), dan 3) berihsan (berakhlak yang benar).

Allah memerintahkan kepada manusia untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini antara lain dinyatakan di dalam QS. Al-Baqarah/2: 21: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”

Hadis riwayat Ahmad dari Abdullah Ibn Umar: “Dari Abdullah ibn Umar, ia berkata. Rasulullah memegang badanku lalu berkata: Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan hiduplah di dunia ini bagaikan engkau seorang asing atau seorang perantau. HR Ahmad.”

Hadis riwayat Ahmad ibn Hanbal dari Abu Umamah: Dari Abu Umamah, ia berkata. Aku berhaji bersama Rasulullah saw pada haji wada’. Lalu beliau mengucapkan al-hamdulillah, dan memuji kebesaran Allah. Kemudian beliau berkata, ketahuilah bahwa barangkali kalian tidak akan melihat lagi aku sesudah tahun ini, ketahuilah bahwa barangkali kalian tidak akan melihat lagi aku sesudah tahun ini, ketahuilah bahwa barangkali kalian tidak akan melihat lagi aku sesudah tahun ini, lalu tiba-tiba seseorang yang berbadan tinggi berdiri, lalu dia bertanya kepada Rasulullah: “Apa yang harus kami lakukan. Rasulullah menjawab: “Sembahlah Tuhanmu, lakukanlah salat lima waktumu, puasalah pada bulan Ramadan, berhajilah ke baitullah, tunaikanlah zakatmu dengan baik untuk membersihkan dirimu, agar kamu memasuki surga Tuhanmu”. HR Ahmad.

Kunci kebahagiaan nomor keempat adalah Jujur. Ia adalah salah satu kunci dalam kehidupan. Bahkan, jujur adalah modal utama dalam kehidupan. Orang yang jujur adalah orang yang dapat dipercaya. Jujur dalam perkataan adalah mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Jujur dalam perbuatan adalah melaksanakan sesuatu sesuai dengan aturan dan ketetapan yang ada. Kalau Anda sudah membiasakan diri jujur dalam perkataan maupun perbuatan, maka Anda akan selalu dipercaya oleh orang lain. Akan tetapi kalau Anda pernah tidak jujur atau khianat, maka Anda tidak akan dipercaya selama hidupmu.

Jujur akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan, tidak hanya bagi dirimu, tetapi juga bagi orang lain. Jujur tidak hanya baik bagimu di dunia ini, tetapi juga baik bagi dirimu di akhirat. Jujurmu akan mengantarkan engkau untuk mencapai kenikmatan akhirat. Jujurmu adalah perwujudan dari iman yang ada di dalam dirimu. Kata Rasulullah: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur.” Karena itu, jujurlah sepanjang hidupmu.

Baca Juga: Kunci Kedua Menggapai Kebahagiaan: Memiliki Ilmu yang Luas

Allah menjanjikan untuk menyiapkan pengampunan dan pahala yang besar bagi orang-orang yang jujur. Hal ini dikatakan oleh Allah di dalam QS. al-Ahzab [33]: 35: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim [orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya], laki-laki dan perempuan yang mukmin[orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Rasulullah Saw. juga memerintahkan kepada seluruh umatnya agar jujur dalam segala ucapan dan perbuatannya. Hal ini antara lain dikemukakan di dalam sebuah hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abdullah ibn Mas’ud: “Dari Abdullah ibn Mas’ud ra, ia berkata. Rasulullah telah bersabda: Wajib bagi engkau untuk jujur, karena kejujuran membawa kepada kebajikan, dan kebaikan mengantarkan kalian ke surga, dan seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan senantiasa menuntut kejujuran akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah oleh kalian berdusta, karena berdusta akan membawa kalian kepada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan akan mengantar kalian ke dalam neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan menuntut berdusta akan dicatat oleh Allah sebagai pendusta. HR Tirmidzi.

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 11-13

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 11-13 melanjutkan dari tafsir sebelumnya yang membahas tentang putusnya hubungan antar suami istri yang berbeda agama. Perempuan yang datang meminta perlindungan kepada Nabi Muhammad diminta untuk memberikan kesaksian yang diantaranya adalah bahwasanya kedatangan mereka tak lain sebab iman yang tertanam di dalam hati.

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 11-13 ini ditutup dengan penegasan kembali akan bahaya dari hubungan akrab antara umat Islam dan orang kafir yang ingin menghancurkan Islam.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10


Ayat 11

Dalam ayat ini diterangkan hukum seorang istri mukminat yang murtad dan lari dari suaminya ke daerah kafir, sedang ia belum mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya yang Mukmin itu. Jika si suami menyerang daerah kafir, kemudian dapat menawan bekas istrinya, maka bekas istrinya itu boleh diambilnya kembali dengan mengganti mahar yang telah diterima oleh istri dari suami yang kafir.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari al-Hasan bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa Ummul Hakam binti Abi Sufyan yang telah murtad dan melarikan diri dari suaminya, kemudian ia menikah dengan seorang laki-laki dari Bani Tsaqif. Ayat ini memerintahkan agar mas kawin yang diterima Ummul Hakam dari suaminya yang kafir itu diganti dan diambilkan dari hasil rampasan perang, dan Ummul Hakam kembali kepada suaminya semula (yang Muslim).

Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas, mas kawin itu diambil dan diberikan kepada suami yang kafir sebelum harta rampasan perang dibagi lima sebanyak yang pernah diberikan suami yang kafir kepada perempuan yang lari itu.

Pada akhir ayat ini Allah memerintahkan agar kaum Muslimin bertakwa dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya, baik yang diterangkan pada ayat di atas, maupun yang disebut pada ayat-ayat yang lain serta yang terdapat di dalam hadis, jika mereka beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya.

Ayat 12

Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad bahwa perempuan-perempuan yang menyatakan keimanan dan ketaatannya harus berjanji bahwa mereka tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak akan mencuri harta orang lain, tidak akan berzina, tidak akan menggugurkan anak dalam kandungannya, dan tidak akan mengerjakan yang dilarang, seperti meratapi orang mati dengan mengoyak-ngoyak pakaian, dan sebagainya.

Bila mereka telah berjanji, maka pernyataan iman mereka harus diterima. Nabi juga diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan mendapat ampunan Allah dan pahala dari-Nya jika mereka konsekuen melaksanakan janji mereka itu. Nabi juga diminta untuk berdoa kepada Allah agar dosa-dosa mereka diampuni, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Urwah bin Zubair bahwa ‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw menguji perempuan yang hijrah sesuai ayat: ya ayyuhan-nabiyy idza ja‘akal-mu’minat..innallaha gafurur-rahim. Barang siapa yang telah memenuhi syarat-syarat di atas, berarti perempuan itu telah mengikrarkan pernyataan bahwa dirinya beriman.”

Diriwayatkan pula oleh ‘Urwah bin Zubair dari ‘Aisyah, ia berkata, “Telah datang Fathimah binti ‘Utbah untuk menyatakan keimanannya kepada Rasulullah, maka beliau meminta ia berjanji tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak menggugurkan kandungannya, maka Fathimah merasa malu menyebut janji itu sambil meletakkan tangan di atas kepalanya.”

Maka ‘Aisyah berkata, “Hendaklah engkau akui yang dikatakan Nabi itu. Demi Allah, kami tidak menyatakan keimanan kecuali dengan cara demikian.” Fathimah melaksanakan yang diminta ‘Aisyah itu, lalu Nabi menerima pengakuannya.

Menurut riwayat yang lain bahwa Nabi Muhammad banyak menerima pernyataan beriman dari para perempuan ketika penaklukan Mekah. Di antara yang menyatakan keimanannya itu terdapat Hindun binti ‘Utbah, istri Abu Sufyan, kepala suku Quraisy.

Ayat 13

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dari Ibnu Ishaq dari ‘Ikrimah dan Abu Sa‘id dari Ibnu ‘Abbas, ia menerangkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Haritsah bersahabat dengan orang-orang Yahudi. Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum Muslimin berteman erat dengan orang yang dimurkai Allah.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan kembali larangan menjadikan orang-orang Yahudi, Nasrani, dan musyrik Mekah yang berniat jahat terhadap kaum Muslimin sebagai wali atau teman akrab, karena dikhawatirkan orang-orang yang beriman akan menyampaikan rahasia-rahasia penting kepada mereka.

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah putus asa untuk memperoleh kebaikan dari Allah di akhirat, karena kedurhakaan mereka kepada Rasulullah saw yang telah diisyaratkan kedatangannya dalam kitab-kitab mereka.

Padahal, persoalan itu sudah dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang jelas dan mukjizat yang nyata. Keputusasaan mereka untuk memperoleh rahmat Allah di hari akhirat sama halnya dengan keputusasaan mereka di dalam kubur karena mereka tidak percaya adanya kebangkitan kembali di akhirat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan


 

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10 membahas tentang perempuan beriman yang datang dari daerah orang kafir untuk meminta perlindungan.  Selain itu Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10 juga menjelaskan tentang terputusnya hubungan suami istri yang berbeda agama.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 8-9


Ayat 10

Ayat ini menerangkan perintah Allah kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta perlindungan. Allah menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.

Allah memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui hal ihwal mereka. Allah Maha Mengetahui hakikat iman mereka, bahkan mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri.

Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman.

Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Apa yang Harus Dijauhi dari Wanita saat Haid?


Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi‘i, istri wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib dikembalikan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta oleh suaminya.

Sementara itu kaum muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar diri mereka terpelihara.

Allah menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir.

Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam. Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan suaminya yang Muslim.

Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah yang wajib ditaati oleh setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam menetapkan hukum-Nya, Allah Maha Mengetahui kesanggupan hamba yang akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Dalam menetapkan hukum itu, Allah juga mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum itu bagi yang memikulnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4


 

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 8-9

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 8-9 ini menjelaskan kembali tentang hubungan yang boleh dilakukan oleh umat Islam terhadap orang kafir. Dalam Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 8-9 ini mengisahkan tentang Asma’ binti Abu Bakar yang dikunjungi oleh ibunya yang kafir. Allah memperbolehkan orang Islam untuk berbuat baik dengan mengadakan persaudaraan, tolong menolong selagi orang kafir tersebut tidak ada niat untuk menghancurkan Islam.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 5-7


Ayat 8

Diriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari ‘Abdullah bin Zubair, ia berkata, “Telah datang ke Medinah (dari Mekah) Qutailah binti ‘Abdul ‘Uzza, bekas istri Abu Bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui putrinya Asma’ binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asma’ enggan menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya. Kemudian Asma’ mengutus seseorang kepada ‘Aisyah agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asma’ menerima hadiah dan mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya.

Allah tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong, dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak mengusir itu.

Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.

Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.

Di Mekah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke Medinah. Sesampai di Medinah, mereka pun dimusuhi oleh orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan.

Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak.

Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.

Ayat 9

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah hanya melarang kaum Muslimin bertolong-tolongan dengan orang-orang yang menghambat atau menghalangi manusia beribadah di jalan Allah, dan memurtadkan kaum Muslimin sehingga ia berpindah kepada agama lain, yang memerangi, mengusir, dan membantu pengusir kaum Muslimin dari negeri mereka. Dengan orang yang semacam itu, Allah dengan tegas melarang kaum Muslimin untuk berteman dengan mereka.

Di akhir ayat ini, Allah mengingatkan kaum Muslimin yang menjadikan musuh-musuh mereka sebagai teman dan tolong-menolong dengan mereka, bahwa jika mereka melanggar larangan ini, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 10