Beranda blog Halaman 192

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 34-35 (2)

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 34-35 (2) adalah sesi terkahir dalam tafsir surah ini yang menjelaskan tentang azab Allah kepada orang kafir kelak di akhirat. Sementara orang-orang yang beriman akan mendapatkan balasan berupa surga, karena ketaatan mereka sewaktu di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 34-35 (1)


Ayat 35 (2)

Berikutnya Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir di akhirat ketika melihat azab yang akan menimpa mereka. Mereka merasa seakan-akan hidup di dunia ini hanya sesaat saja, di siang hari.

Perasaan ini timbul karena dosa dan ketakutan yang timbul di hati mereka ketika melihat azab yang akan menimpa mereka. Keadaan mereka diterangkan Allah pada ayat yang lain ketika kepada mereka ditanyakan berapa lama mereka hidup di dunia.

قٰلَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِى الْاَرْضِ عَدَدَ سِنِيْنَ  ١١٢  قَالُوْا لَبِثْنَا يَوْمًا اَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَسْـَٔلِ الْعَاۤدِّيْنَ   ١١٣

Dia (Allah) berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab, “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung.” (al-Mu’minµn/23: 112-113).

Dan firman Allah:

كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا عَشِيَّةً اَوْ ضُحٰىهَا ࣖ  ٤٦

Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari. (an-Nazi’at/79: 46).

Dalam ayat ini terdapat perkataan “balig” yang dalam ayat ini berarti “cukup”. Maksudnya ialah: Allah menyatakan bahwa ayat ini merupakan penjelasan yang cukup bagi manusia, terutama orang-orang kafir yang mau berpikir dan merenungkan kejadian alam semesta ini. Seandainya mereka tidak mau mengindahkan penjelasan ini, mereka pasti akan menanggung akibatnya. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

هٰذَا بَلٰغٌ لِّلنَّاسِ وَلِيُنْذَرُوْا بِهٖ وَلِيَعْلَمُوْٓا اَنَّمَا هُوَ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ وَّلِيَذَّكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ   ٥٢

Dan (Al-Qur’an) ini adalah penjelasan (yang sempurna) bagi manusia, agar mereka diberi peringatan dengannya, agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang yang berakal mengambil pelajaran. (Ibr±h³m/14: 52).

Dan firman Allah:

اِنَّ فِيْ هٰذَا لَبَلٰغًا لِّقَوْمٍ عٰبِدِيْنَ ۗ  ١٠٦

Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Al-Qur’an) ini, benar-benar menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah (Allah). (al-Anbiya’/21: 106).


Baca Juga: Surat Al-Fajr Ayat 15 – 16: Kekayaan yang Sesungguhnya dan Kritik Atas Pandangan Materialistis


Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa betapapun besar dan dahsyatnya azab Allah itu, tidak akan menimpa orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Hanya orang-orang kafir yang tidak mengindahkan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya saja yang akan ditimpa azab yang mengerikan itu.

Ayat ini juga menggambarkan betapa besarnya rahmat dan karunia Allah yang dilimpahkan kepada orang-orang yang taat kepada-Nya. Sehubungan dengan rahmat dan karunia, azab dan malapetaka ini, Rasulullah saw sering berdoa kepada Allah, seperti yang tersebut dalam hadis di bawah ini:

عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُوْ اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ مُوْجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيْمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ اَللَّهُمَّ لاَتَدَعْ ليِ ذَنْباً إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَدَيْناً إِلاَّ قَضَيْتَهُ وَلاَحَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَاﻵخِرَةِ إِلاَّ قَضَيْتَهَا بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. (رواه الطبراني)

Diriwayatkan dari Anas, Nabi saw berdoa, “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau penyebab rahmat-Mu, kepastian ampunan-Mu, dan keberuntungan dari segala kebaikan, dan keselamatan dari setiap perbuatan dosa. Wahai Tuhan, janganlah Engkau biarkan satu dosa pun bagiku, kecuali Engkau mengampuninya, dan kesempitan kecuali Engkau melapangkannya, dan hutang kecuali Engkau membayarnya, demikian pula segala keperluan dari keperluan-keperluan duniawi dan ukhrawi, kecuali Engkau menyelesaikannya dengan rahmat Engkau, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah. (Riwayat at-Thabrani)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 34-35 (1)

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 34-35 (1) menjelaskan balasan bagi mereka yang mengingkari hari Kebangkitan. Diterangkan pula tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad agar sabar dalam menghadapi kaumnya yang ingkar, sebab dengan sabar, kesuksesan akan diraih, dan Allah bersama hamba-Nya yang sabar.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 30-33


Ayat 34

Dalam ayat ini, Allah menerangkan akibat yang akan diterima oleh orang-orang yang mengingkari adanya hari kebangkitan. Pada hari kebangkitan itu, mereka dan orang-orang yang tidak percaya akan adanya pahala dan siksa Allah, akan dimasukkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala.

Kepada orang-orang kafir diucapkan pertanyaan yang menyakitkan hati dan penuh penghinaan, “Hai orang-orang kafir, bukankah azab yang kamu rasakan hari ini adalah azab yang pernah diperingatkan kepada kamu dahulu, semasa kamu hidup di dunia, sedangkan kamu mendustakan dan memperolok-olokkannya.” Mereka menjawab, “Benar ya Tuhan kami, kami benar-benar telah merasakan akibatnya.”

Allah mengatakan kepada mereka, “Sekarang rasakanlah olehmu apa yang kamu perolok-olokkan itu. Inilah balasan yang setimpal dengan sikap dan tindakanmu itu.”

Ayat 35 (1)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar selalu tetap tabah dalam menghadapi sikap dan tindakan orang-orang kafir yang mengingkari dan mendustakan risalah yang disampaikan kepada mereka seperti ketabahan dan kesabaran yang telah dilakukan rasul-rasul ulul ‘azmi terdahulu.

Rasulullah saw melaksanakan dengan baik perintah Allah ini. Beliau selalu bersabar dan tabah menghadapi segala macam cobaan yang datang kepada beliau. Mengenai kesabaran beliau ini diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: ظَلَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا ثُمَّ طَوَى ثُمَّ ظَلَّ صَائِمًا ثُمَّ طَوَى ثُمَّ ظَلَّ صَائِمًا قَالَ: يَا عَائِشَةُ اِنَّ الدُّنْيَا لاَ يَنْبَغِى لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لِآلِ مُحَمَّدٍ يَا عَائِشَةُ اللهُ لَمْ يَرْضَ مِنْ اُولِى الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ اِلاَّ الصَّبْرَ عَلَى مَكْرُوْهِهَا وَالصَّبْرَ عَنْ مَحْبُوْبِهَا ثُمَّ لَمْ يَرْضَ مِنِّى اِلاَّ اَنْ يُكَلِّفَنِى مَاكَلَّفَهُمْ فَقَالَ: (فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوالْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ) وَإِنِّى وَاللهِ لَأَصْبِرَنَّ كَمَا صَبَرُوْا جُهْدِى وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ. (رواه ابن أبي حاتم و الديلمي)

Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw senantiasa berpuasa, lalu perutnya jadi kempis, kemudian ia tetap berpuasa, lalu perutnya jadi kempis, kemudian ia berpuasa. Beliau berkata, “Ya Aisyah, sesungguhnya kesenangan di dunia tidak patut bagi Muhammad dan keluarganya. Ya Aisyah, sesungguhnya Allah tidak menyukai para rasul ulul ‘azmi (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad), kecuali bersabar atas segala cobaannya dan bersabar atas yang dicintainya, kemudian Allah tidak menyukai aku, kecuali Dia membebankan kepadaku seperti yang telah dibebankannya kepada para rasul itu. Maka Dia berkata, “Bersabarlah seperti para rasul “ulul ‘azmi telah bersabar.” Dan sesungguhnya aku, demi Allah, benar-benar akan bersabar seperti para rasul itu, dan tidak ada sesuatu pun kekuatan kecuali kekuatan Allah.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dan ad-Dailami).


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah 280: Lebih Bersabar dalam Menunggu Pembayaran Hutang


Sabar adalah sifat utama dan kunci menuju kesuksesan. Berbahagialah orang yang mempunyai sifat itu.

Lawan dari sabar ialah tergesa-gesa. Dalam ayat ini, Allah mencela sifat tergesa-gesa, dan memperingatkan Nabi Muhammad agar jangan mempunyai sifat tersebut seperti memohon kepada Allah agar segera ditimpakan azab kepada orang-orang musyrik yang mengingkari seruan beliau karena azab itu pasti menimpa mereka, dan waktu kedatangannya hanya Allah yang mengetahui.

Allah berfirman:

وَذَرْنِيْ وَالْمُكَذِّبِيْنَ اُولِى النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا   ١١

Dan biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar. (al-Muzzammil/73: 11);Dan firman Allah:

فَمَهِّلِ الْكٰفِرِيْنَ اَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا  ١٧

Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir itu. Berilah mereka itu kesempatan untuk sementara waktu. (ath-Thariq/86: 17).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 34-35 (2)


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 30-33

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 30-33 diawali dengan dialog antar sesama Jin tentang kebenaran al-Qur’an yang mereka dengar dari Nabi Muhammad. Selanjutnya, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 30-33 menerangkan keingkaran orang kafir pada hari Kebangkitan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 29


Ayat 30

Dalam ayat ini diterangkan bahwa serombongan jin yang telah mendengar bacaan Al-Qur’an dari Nabi Muhammad saw menyeru kaumnya, “Wahai kaumku, sesungguhnya kami telah mendengar pembacaan ayat-ayat sebuah kitab yang telah diturunkan Allah setelah Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa.”

“Kitab itu membenarkan kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya, menunjukkan jalan yang paling baik ditempuh seseorang yang ingin mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat serta menerangkan jalan yang diridai dan jalan yang tidak diridai Allah.”

Jin juga makhluk yang harus memikul kewajiban beribadah. Firman Allah:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ  ٥٦

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (az-Zariyat/51: 56)

Ayat 31

Selanjutnya jin-jin itu menyeru kaumnya, “Wahai kaumku, perkenankanlah dan terimalah seruan Muhammad saw sebagai rasul Allah yang telah menyeru manusia untuk mengikuti agama Allah, beriman kepada-Nya agar Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan melindungi mereka dari azab yang tidak seorang pun dapat melepaskan diri dari azab itu, kecuali dengan seizin-Nya.” Ayat ini memberi pengertian bahwa:

  1. Meskipun ada jin yang beriman dan ada pula yang kafir, namun dalam ayat ini mereka diseru agar beriman kepada Allah.
  2. Jin berkewajiban beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, jin menerima syariat sebagaimana syariat yang disampaikan oleh para nabi dan rasul kepada manusia.
  3. Jin yang beriman akan selamat dari api neraka.

Ayat 32

Kemudian diterangkan dalam ayat ini bahwa jika ada di antara jin yang menolak seruan Muhammad sebagai rasul Allah, yaitu tidak melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya yang tersebut dalam Al-Qur’an dan hadis, maka ia tidak dapat menghindarkan diri dari azab-Nya. Ia tidak mendapat seorang penolong pun untuk melepaskan dirinya dari azab Allah, kecuali jika Allah sendiri menghendakinya.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa seluruh ibadah yang diwajibkan kepada kaum Muslimin diwajibkan pula kepada seluruh jin untuk mengerjakannya, seperti salat, puasa, tolong-menolong, dan sebagainya.

Diterangkan pula bahwa jin-jin yang tidak mengikuti seruan Muhammad saw berada dalam kesesatan dan menyimpang dari jalan yang benar.


Baca Juga: Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat


Ayat 33

Ayat ini merupakan teguran keras kepada orang-orang kafir yang mengingkari hari kebangkitan, dan adanya hidup setelah mati untuk menghisab perbuatan yang telah dilakukan manusia.

Allah mencela orang-orang kafir yang lalai dan tidak pernah merenungkan kejadian alam semesta ini sehingga tidak mengetahui bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi tidak pernah merasa letih dalam penciptaan itu. Allah juga berkuasa menghidupkan yang telah mati.

Dari ayat ini dipahami bahwa orang kafir tidak pernah menggunakan pikirannya untuk merenungkan kejadian alam semesta dalam arti yang sebenarnya. Mereka tidak mau memikirkan siapa pencipta alam yang amat teratur dan dilengkapi dengan hukum-hukum yang sangat rapi dan kokoh.

Mereka juga tidak mau memikirkan siapa yang menciptakan dirinya sendiri dan menjaga kelangsungan hidupnya. Seandainya mereka mau memikirkan dengan tujuan ingin mencari kebenaran, mereka akan sampai kepada kesimpulan bahwa pencipta semua itu adalah Allah yang Mahabijaksana lagi Mahakuasa.

Jika Allah Mahakuasa, tentulah Dia sanggup melaksanakan segala sesuatu yang Dia kehendaki, tanpa mengenal lelah. Zat yang bersifat demikian tentu mudah bagi-Nya menghidupkan kembali orang-orang yang telah dimatikan-Nya, karena menciptakan langit dan bumi itu jauh lebih sukar daripada menciptakan manusia serta mematikan dan menghidupkan kembali.

Allah berfirman:

لَخَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ  ٥٧

 Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Gafir/40: 57).

Selain itu, biasanya membuat kembali sesuatu lebih mudah dari menciptakan pertama kalinya. Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ   ٢٧

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (ar-Rµm/30: 27).

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa yang Maha Pencipta segala sesuatu lagi Mahaperkasa itu adalah Allah Yang Mahakuasa. Dia dapat melakukan segala yang dikehendaki-Nya, tanpa seorang pun dapat menghalangi dan menentang-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 34-35


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 29

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 29 berbicara tentang sesuatu yang ghaib, bahwa sesuatu yang ghaib bukanlah tidak ada, atau tidak akan terjadi, melainkan sebaliknya.

Karena itu, sebagai seorang mukmin, kita wajib untuk mengimani hal-hal yang sifatnya ghaib. Termasuk dari hal ghaib yang akan diulas dan diceritakan dalam Tafsir Surah Ahqaf Ayat 29 adalah makhluk Allah yang bernama jin.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 25-28


Ayat 29

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah peristiwa tentang pertemuannya dengan sekelompok jin yang telah datang kepadanya untuk mendengarkan dan memperhatikan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an.

Pada waktu mereka mendengarkan bacaannya, di antara mereka ada yang berkata kepada yang lain, “Dengarlah baik-baik bacaan Al-Qur’an ini agar dengan demikian kita dapat memusatkan perhatian kepada bacaan yang belum pernah kita dengar selama ini dan untuk menunjukkan sikap dan budi pekerti yang baik pada waktu mendengarkan pembacaan ayat Al-Qur’an yang mulia ini.”

Setelah mereka selesai mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu, mereka kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan apa yang telah mereka dengarkan itu.

Dalam ayat ini diterangkan bahwa jin telah mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dari Nabi saw. Bagaimana cara jin mendengarkan pembacaan itu dan bagaimana Nabi saw memperdengarkannya tidak ada keterangan yang menerangkannya dengan jelas.

Demikian pula, tidak ada bukti-bukti nyata yang dapat dikemukakan dengan pasti adanya alam jin itu sendiri.

Adanya alam jin itu hanya didapat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Maka kita sebagai umat Islam wajib mempercayai adanya jin itu, sebagaimana kita wajib mempercayai adanya malaikat, karena kepercayaan kepada adanya jin dan malaikat termasuk dalam keimanan kepada seluruh isi Al-Qur’an yang merupakan sumber pokok agama Islam.

Malaikat dan jin termasuk makhluk gaib, karena itu hanya Allah saja yang mengetahui dengan pasti tentang hakikat dan kejadiannya. Seorang Muslim wajib percaya bahwa Nabi Muhammad pernah berhubungan dengan malaikat, seperti ketika menerima wahyu dan sebagainya.

Demikian pula seorang Muslim wajib percaya pula bahwa pada suatu waktu, ketika Rasulullah saw masih hidup, beliau pernah berhubungan dengan jin, yaitu ketika membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka, dan pada waktu mereka mendengarkan dengan sungguh-sungguh, kemudian menyampaikan kepada kaumnya.

Mengenai hadis-hadis Rasulullah yang menerangkan pertemuan beliau dengan serombongan jin antara lain hadis di bawah ini:

عَنْ مَسْرُوْقٍ قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ مَنْ ﺁذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجِنِّ لَيْلَةَ اسْتَمَعُوا اْلقُرْﺁنَ. قاَلَ: ﺁذَنَتْهُ بِهِمُ الشَّجَرَةُ. (رواه البخاري ومسلم)

Masruq berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang siapa yang memberitahukan kepada Nabi Muhammad saw akan kehadiran jin pada malam mereka mendengarkan bacaan Al-Qur’an,” beliau menjawab, “Yang memberitahukan kehadiran mereka ialah pohon kayu itu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Pada hadis yang lain disebutkan sebagai berikut:

عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ: قُلْتُ ِلاِبْنِ مَسْعُوْدٍ هَلْ صَحِبَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْكُمْ اَحَدٌ لَيْلَةَ الْجِنِّ؟ قَالَ: مَا صَحِبَهُ مِنَّا اَحَدٌ. (رواه أحمد ومسلم والترمذي)

 ‘Alqamah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud, adakah salah seorang di antara kamu yang menyertai Rasulullah saw pada malam pertemuannya dengan jin?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak seorang pun di antara kami yang menyertainya.” (Riwayat Ahmad, Muslim, dan at-Tirmizi).

Ayat ini diturunkan ketika Rasulullah saw dan para sahabat sedang menghadapi tantangan yang sangat berat dari kaum musyrik Mekah.

Setelah istri yang beliau cintai, Khadijah wafat, kemudian disusul dengan wafatnya paman beliau, Abu Thalib, beliau merasa kehilangan orang-orang yang selama ini melindungi dan menolong beliau dari gangguan orang-orang Quraisy.


Baca Juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin


Sementara itu, ancaman dan gangguan orang Quraisy semakin bertambah. Menghadapi keadaan semacam ini beliau pergi ke kota Taif dengan harapan akan mendapat perlindungan dan pertolongan dari Bani Tsaqif. Tetapi beliau tidak memperoleh apa yang diharapkannya, bahkan Bani Tsaqif sendiri bertindak kasar dengan menyuruh budak-budak mereka mengusir dan melempari Rasulullah saw sehingga kaki beliau luka dan berdarah.

Mereka memaksa Rasulullah saw melarikan diri ke kebun ‘Utbah dan Syaibah. Di sana beliau berlindung dari teriknya matahari. Setelah beliau berdoa meminta pertolongan dari Allah, barulah budak-budak itu pergi.

Kemudian Rasulullah kembali ke Mekah. Dalam perjalanan itu, beliau singgah di Nakhlah, suatu tempat di pinggir kota Mekah. Beliau bermalam di sana. Maka pada malam ketika beliau sedang salat dan membaca Al-Qur’an dalam salat itu, Allah mengerahkan tujuh pemuka jin untuk mendengarkan Nabi saw membaca Al-Qur’an.

Beliau tidak mengetahui akan kedatangan jin dan beliau juga tidak mengetahui saat jin itu kembali ke tempatnya. Dengan turunnya ayat ini barulah Rasulullah saw mengetahui kedatangan jin itu.

Ayat ini diturunkan untuk menenteramkan hati Nabi dan para sahabatnya. Tidak lama setelah itu, terjadilah peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Kedua peristiwa itu menambah kuat hati Nabi dan keyakinan akan keberhasilannya menyampaikan risalah yang ditugaskan Allah kepadanya.

Ayat ini juga menerangkan bahwa jin memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah, kemudian menyampaikan isi Al-Qur’an itu kepada kaumnya.

Dari peristiwa ini, dapat diambil kesimpulan bahwa seruan Rasulullah saw itu tidak saja tertuju kepada seluruh manusia, tetapi juga ditujukan kepada jin, makhluk gaib yang tidak dapat diketahui hakikat dan keadaannya oleh manusia.

Hanya saja manusia tidak mengetahui kapan dan bagaimana cara jin itu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Sebagian ahli tafsir mengambil kesimpulan berdasarkan ayat ini bahwa seandainya ada makhluk hidup yang berada di luar planet bumi ini, yang keadaannya seperti manusia, yaitu dapat berpikir, berbuat, dan berperasaan, maka risalah Muhammad saw berlaku pula bagi mereka, dan kaum Muslimin wajib menyampaikannya kepada mereka sedapat mungkin.

Jin sebagai makhluk gaib wajib melaksanakan risalah Muhammad saw dan tentulah makhluk lain yang tidak gaib dan sama dengan manusia lebih wajib lagi melaksanakan risalah Muhammad saw.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 30-32


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 25-28

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 25-28 mengisahkan pencapaian besar yang dilakukan oleh kaum ‘Ad. Namun pencapaian itu, justru membuat mereka angkuh, dan kufur akan nikmat yang telah dianugerakan, hingga kemudian mereka dibinasakan oleh Allah.

Setidaknya dengan cerita itu orang musyrik Mekah sadar, dan mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, supaya mereka tidak mengalami kejadian seperti umat terdahulu. Jikapun mereka tidak berubah, Allah memastikan azab serupa juga akan menimpa mereka, sebagaimana yang diurai dalam Tafsir Surah Ahqaf Ayat 25-28 berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24


Ayat 25

Dalam ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang musyrik Mekah bahwa Dia telah menimpakan azab yang amat dahsyat kepada kaum ‘Ad.

Demikian dahsyatnya azab itu sehingga apa saja yang dilanda oleh azab berupa angin amat dingin yang bertiup dengan keras itu, pasti hancur. Mereka mati bergelimpangan.

Rumah-rumah dan bangunan-bangunan runtuh, barang-barang beterbangan, pohon-pohon kayu tumbang. Tidak ada yang kelihatan lagi, kecuali puing-puing dan tempat tinggal mereka yang telah berserakan. Azab yang seperti itu juga telah menimpa kaum-kaum yang lain, seperti kaum Samud, kaum Lut, dan kaum Syuaib.

Semua mereka itu adalah orang-orang yang ingkar dan durhaka kepada Allah. Seandainya kaum Quraisy tetap ingkar, mereka akan ditimpa azab seperti itu pula.


Baca Juga: Surah Quraisy Ayat 1-4: Meneladani Etos Kerja Suku Quraisy


Ayat 26

Dengan ayat ini, Allah membandingkan antara keadaan kaum ‘Ad yang dihancurkan dengan orang-orang musyrik Mekah yang semakin bertambah keingkarannya kepada Nabi saw dengan mengatakan, “Kami telah meneguhkan kedudukan kaum ‘Ad pada beberapa segi kehidupan duniawi. Belum pernah Kami meneguhkan satu kaum seperti Kami meneguhkan mereka.”

“Kami telah memberikan kepada mereka harta yang banyak, tubuh yang kuat dan perkasa, dan kemampuan untuk membentuk suatu negara sehingga mereka dapat menguasai negeri-negeri di sekitarnya, tetapi semuanya itu tidak dapat menghindarkan mereka dari azab Allah yang ditimpakan kepada mereka.”

Allah berfirman:

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۗ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْهُمْ وَاَشَدَّ قُوَّةً وَّاٰثَارًا فِى الْاَرْضِ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ  ٨٢

Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di bumi, lalu mereka memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Mereka itu lebih banyak dan lebih hebat kekuatannya serta (lebih banyak) peninggalan-peninggalan peradabannya di bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (Gafir/40: 82).

Selanjutnya ayat 26 ini menjelaskan bahwa Allah telah memberikan banyak kenikmatan kepada kaum ‘Ad.

Allah telah memberikan tempat yang baik kepada mereka, menganugerahkan penglihatan yang baik, dan pendengaran yang tajam agar mereka dapat memperhatikan ayat-ayat dan tanda-tanda kebesaran Allah.

Akan tetapi, mereka tidak mempergunakannya, bahkan semuanya itu tidak mereka manfaatkan dengan baik dan benar.

Sejarah telah membuktikan bahwa kaum ‘Ad pernah mempunyai kebudayaan yang tinggi. Mereka telah sanggup menyusun pemerintahan dan membangun negara. Mereka telah membangun istana, benteng, menggali barang tambang dari perut bumi, dan membuat kanal untuk menciptakan irigasi yang teratur.

Dengan adanya irigasi yang teratur itu, tanah negeri mereka menjadi subur. Mereka dapat pula mengolah tanah dengan baik sehingga mereka hidup makmur. Di samping itu, mereka juga mampu membentuk tentara yang kuat sehingga negara mereka menjadi negara yang terkemuka di Jazirah Arab pada masa itu. Firman Allah:

اَتَبْنُوْنَ بِكُلِّ رِيْعٍ اٰيَةً تَعْبَثُوْنَ ۙ   ١٢٨  وَتَتَّخِذُوْنَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُوْنَۚ    ١٢٩

Apakah kamu mendirikan istana-istana pada setiap tanah yang tinggi untuk kemegahan tanpa ditempati, dan kamu membuat benteng-benteng dengan harapan kamu hidup kekal? (as-Syu’ara’/26: 128-129).

Seharusnya kenikmatan dan kebesaran yang telah dianugerahkan Allah menjadi bahan pemikiran bagi mereka tentang siapa yang telah menolongnya mencapai semua yang mereka cita-citakan.

Tetapi semuanya itu menambah kesombongan dan ketakaburan mereka. Mereka mengira bahwa keadaan yang demikian itu mereka peroleh semata-mata atas kesanggupan dan kemauan mereka, dan keadaan itu akan mereka punyai selama-lamanya. Allah berfirman:

فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ  ١٥

Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya daripada mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Fusshiilat/41: 15).

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa kaum ‘Ad tidak dapat mengambil manfaat dari semua yang telah dianugerahkan kepada mereka, karena mereka mendustakan seruan rasul yang diutus kepada mereka serta mengingkari mukjizat-mukjizat rasul.

Akibatnya, mereka ditimpa azab yang selalu mereka minta untuk disegerakan, karena menurut mereka azab itu mustahil akan terjadi.

Ayat 27-28

Allah mengingatkan kaum musyrik Mekah agar mereka mengambil pelajaran dari pengalaman pahit yang telah dialami oleh orang-orang dahulu, yang telah mendustakan rasul yang diutus kepada mereka.

Orang-orang dahulu itu bertempat tinggal tidak jauh dari Mekah seperti kaum ‘Ad di Ahqaf, dan kaum Samud yang berdiam di daerah antara Mekah dan Syam. Kepada mereka telah diterangkan pula tanda-tanda keesaan, kekuasaan, dan kebesaran Allah dan telah disampaikan pula agama-Nya.

Akan tetapi, mereka tidak mengacuhkannya, bahkan mengingkari dan memperolok-olokkan para rasul. Pada waktu azab menimpa mereka, tidak ada satu pun dari sembahan-sembahan itu yang dapat menolong mereka, bahkan sembahan-sembahan berupa patung yang tak bernyawa itu ikut hancur-lebur bersama mereka.

Itulah kebohongan dan pengingkaran umat-umat dahulu dan itu pula balasan dan azab yang mereka terima.

Dari ayat ini, terkandung suatu ancaman Allah kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa mereka pasti ditimpa azab, seperti yang dialami kaum ‘Ad, Samud, dan umat yang lain apabila mereka tetap tidak mengindahkan seruan Muhammad saw sebagai rasul Allah yang diutus kepada mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 29


Pemahaman Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Al-Qur’an

0
Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Al-Qur'an
Anak Allah dalam Perspektif Alkitab dan Al-Qur'an

Tritunggal atau Trinitas, merupakan  ajaran teologis yang diyakini oleh umat Kristiani. Doktrin ini mengajarkan, bahwa Allah bersemayam di dalam tiga entitas yang berbeda, mereka adalah Anak (Yesus), Bapa, dan Roh Kudus. Hal ini tertuang dalam Injil Matius 28:19 yang berbunyi: Karena itu, pergilah dan ajarlah orang-orang yang datang dari setiap suku-bangsa supaya mereka menjadi murid-Ku. Baptislah mereka sebagai orang-orang yang mengikuti Aku (Yesus), Bapa-Ku, dan Roh Kudus (Injil Matius, 28:19).

Dari beberapa kajian tentang trinitas yang berkembang, ada satu kajian yang cukup ramai diperbincangkan. Kajian ini membahas tentang bagaimana status “anak Allah” (Son of God) dalam ranah teologi Kristen. Dalam Al-Qur’an sendiri, secara tegas dikatakan bahwa mereka yang meyakini bahwa Isa (Yesus) adalah anak Allah, mereka adalah kelompok yang kafir.

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang kafir sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?

Salah satu teolog Kristen ternama, Karl Barth pernah menyitir sebuah masalah yang membahas tentang Jesus Christ as God (Yesus Kristus sebagai Tuhan). Menurut Barth, pembahasan ini cukup kontradiktif di kalangan orang-orang yang kemudian ia petakan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa Yesus Kristus bukanlah seorang Tuhan (He is not God).  Kedua, kelompok yang meyakini bahwa Tuhan adalah paradoks yang absolut (God is absolute paradox). Artinya, sampai kapanpun, Tuhan adalah sebuah entitas yang tidak dapat didefinisikan.

Pandangan kelompok yang kedua ini, juga sekaligus menjadi antitesa kelompok pertama  yang menyatakan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Masalahnya, anggapan bahwa Yesus bukanlah Tuhan merupakan sebuah pernyataan. Sedangkan, menurut kelompok kedua, Tuhan adalah entitas yang tidak dapat didefinisikan, diuraikan, dan dijelaskan.

Baca juga: Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab

Konsep Anak Allah dalam Alkitab

Dalam perjalanannya, doktrin trinitas dan lebih spesifik lagi tentang anak Allah mulai berkembang di akhir abad ke-4 Masehi. (Abdullah, Teologi Damai: Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam, 2012). Berbeda dengan Abdullah, dalam Teologi Damai, Wempie J. Lintuuran dalam bukunya yang berjudul Trinitas mengungkapkan beberapa pandangan kesejarahan terkait perkembangan doktrin trinitas (anak Allah) ini.

Pertama, tokoh yang mempopulerkan istilah trinitas pertama kali adalah Ignatius, pada tahun 110 Masehi. Setelah menyuarakan trinitas, Ignatius kemudian menyeru supaya para pengikut Kristus untuk taat kepada Bapa dan Roh (Kudus).

Kedua, tokoh yang mempopulerkan istilah trinitas pertama kali adalah Valentinus pada sekitar tahun 100-160 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya buku yang berjudul On the Three Natures yang membahas tentang keesaan Allah secara alegoris (Wempie J. Lintuuran, Trinitas: Keesaan Allah dari Perspektif Alkitab, 2018).

Dalam Alkitab sendiri, istilah anak Allah masih menuai banyak penafsiran. Salah satunya adalah pandangan yang disuguhkan oleh Barth yang menyatakan bahwa Jesus Christ is not God (Yesus bukanlah Tuhan). Pandangan ini sebenarnya sangat multifafsir.

Pertama, bahasa “anak Allah” hendaknya tidak dipahami sebagai bahasa yang pasti dan tidak bisa diinterpretasikan. Sebab, andaikata bahasa itu dipahami dengan satu pintu, niscaya akan lahir pemahaman bahwa Allah itu punya istri yang mengakibatkan lahirlah anak Allah tersebut.

Kedua, Boleh jadi, pernyataan Barth tersebut menghendaki bahwa Yesus (anak Bapa) bukanlah seorang Tuhan, melainkan hanya seorang utusan yang mengalami proses peng-Allah an diri melalui sebuah proses yang disebut sebagai tajalli (manunggaling kawulo Gusti) (Abdullah, Teologi Damai: Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam, 2012).

Baca juga: Sosok Hajar dalam Narasi Al-Kitab dan Al-Qur’an

Konsep Anak Allah dalam Al-Qur’an

Imam al-Mawardi (w. 450 H) dalam tafsirnya yang bernama al-Nukat wa al-Uyun menafsirkan lafadz Ibn Allah (Anak Allah) kepada dua tafsiran. Pertama, al-Mawardi menyatakan bahwa alasan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah lantaran bunda Maria (baca: Maryam) melahirkan anak tanpa seorang ayah. Secara logika, hal ini tidak mungkin terjadi. Sebab, mana ada anak lahir di dunia tanpa hubungan biologis antara bapak dan ibu.

Kedua, menurut al-Mawardi, alasan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah lantaran Yesus (baca: Isa) bisa membangkitkan orang yang telah mati dan juga bisa menyembuhkan orang yang sakit. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kemampuan yang dimiliki Yesus tersebut tidak bisa terjadi tanpa izin Allah (Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Nukat wa al-Uyun, 2010).

Mufassir lain seperti al-Syaukani (w. 1250 H) mempunyai pandangan yang sama dengan al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun nya. Namun, al-Syaukani mengimbuhi dengan pernyataan baru. Menurutnya, keyakinan kaum Nasrani terhadap istilah anak Allah ini dikarenakan dalam kitab Injil, Yesus (baca: Isa) terkadang disifati dengan “anak Allah” dan terkadang pula disifati dengan “anak manusia” (Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, 2013).

Menurut al-Syaukani, inilah yang menjadikan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah. Namun demikian, penulis beranggapan bahwa istilah anak Allah merupakan istilah yang sarat mengandung makna. Sehingga untuk memahaminya perlu dilakukan kajian kebahasaan. Sebab, dalam ajaran Islam sendiri lumrah dengan bahasa-bahasa kiasan, seperti wali Allah (kekasih Allah), rasul Allah (utusan Allah) dan lain-lain. Wallahu a’lam.

Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

0
Mengulik Kembali Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13
Nilai Pluralisme dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13

Istilah pluralitas tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, di manapun dan kapanpun. Istilah ini akan terus melekat dan berbaur dalam ruang lingkup aktivitas manusia yang dinamis, beragam, dan berkembang. Pluralitas ataupun pluralisme berasal dari akar kata yang sama, yakni plural yang berarti jamak/beragam. Terkadang, pluralitas dan pluralisme dipahami sama, padahal keduanya berbeda. Pluralitas merupakan kenyataan realitas sosiologis, sedangkan pluralisme adalah sebuah kesadaran akan realitas tersebut.

Dalam konteks kehidupan beragama, pluralime adalah penggabungan antara persamaan nilai pada semua agama dan pemeliharaan identitas yang beragam, yaitu ide kesalingpahaman (ta’aruf) yang merupakan fondasi dari toleransi (Budi Munawar Rachman, Argumen Islam Untuk Pluralisme, 2010).

Al-Quran juga menyinggung topik toleransi beragama ini, di antaranya dalam QS. Al-Hujurat: 13, Al-Kafirun: 1-6, dan Al-Maidah: 48. Dalam ayat-ayat tersebut, al-Quran mengakui adanya pluralitas, baik dalam ranah teologis, etnis, dan sosial. Ini mengindikasikan bahwa Islam, melalui al-Quran, sangatlah toleran, terbuka dalam memandang perbedaan, senantiasa mengajak kepada keharmonisan, tanpa meniadakan keyakinan yang teguh terhadap agama Islam itu sendiri.

Adapun tulisan ini berfokus pada QS. Al-Hujurat: 13. Ayat ini memuat nilai pluralisme yang dirasa sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society).  Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Baca juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8: Al-Quran Ketika Menyikapi Pluralitas Beragama

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13

Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil ay al-Qur’an menjelaskan bahwa kata khalaqnakum min zakarin wa untsa maksudnya adalah Allah menciptakan manusia melalui air yang keluar dari laki-laki dan perempuan, atau bahasa lainnya adalah keluar dari air yang terpancar, berasal dari tulang punggung (shulb) dan tulang dada (tara’ib) (QS. 86: 07), sehingga terciptalah manusia yang berkembang menjadi syu’ub dan qabail.

Adapun syu’ub merupakan bentuk jamak dari kata sya’bun, yakni al-Jumma’, sifanya menyeluruh. Sedangkan qaba’il, jamak dari kata Qabilah dimaknai sebagai suku/bani (klan), yang arenanya sedikit lebih sempit. Al-Thabari juga mengutip beberapa pendapat, bahwa baik syu’ub maupun qabail keduanya masih memiliki hubungan nasab, bedanya adalah syu’ub hubungan nasabnya lebih dekat daripada qaba’il yang jauh (al-Thabari: Jami’ al-Bayan, Juz 21).

Alasan Allah menciptakan manusia yang terdiri dari syu’ub dan qaba’il menurut Ibnu ‘Asyur adalah lita’arafu, saling mengenal satu sama lain –sekaligus wujud harmonisasi dalam kehidupan sosial– dan menyadari bahwa di antara golongan tersebut berasal dari satu wadah yang samaو yakni min zakarin wa untsa.

Ibnu ‘Asyur juga menilai tidak sedikit hikmah di balik saling mengenal; selain untuk memperkuat ikatan persaudaraan, saling menghargai, dan menciptakan hubungan harmonis antar sesama, ayat ini juga sebagai peringatan (warning) kepada manusia untuk tidak memantik perpecahan yang justru dapat memberikan dampak buruk dalam kehidupan sosial. Sedangkan sumbu perpecahan dalam masyarakat yang plural adalah sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surah yang sama ayat 11, yaitu; mengolok-olok, mencaci, mencemooh, dan sebagainya (Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, juz 26).

Baca juga: Konsep Lita’arafu dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13 dalam Menyikapi Keberagaman

Agama, Budaya, dan Pluralisme

Ayat di atas menurut Haidar Bagir adalah isyarat adanya hubungan intim antara “agama” dan “budaya”, serta mengindikasikan bahwa Islam sangat menghargai budaya sebagai sumber kearifan (wisdom). Ini terlihat melalui kata lita’arafu, yang berarti perintah untuk belajar kearifan dalam kehidupan yang plural.

Ia melanjutkan, hubungan agama dan budaya juga bisa disaksikan dalam QS. Yunus [10]: 47); “bagi tiap-tiap umat seorang rasul”. Ayat tersebut menujukkan bahwa budaya adalah warisan hikmah yang diturunkan Allah melalui nabi-nabi yang pernah diutus sepanjang sejarah manusia. Sedangkan nabi yang diutus menurut mayoritas ulama tidak kurang dari 124.000 nabi.

Karena itu, selama budaya bisa dibuktikan dan tidak dipertentangkan dalam agama, maka budaya itu bisa dianut dan sedikit banyak itu merupakan peninggalan para nabi. Kalau demikian, budaya bukan hanya bisa dianut, lebih jauh, ia memiliki tempat yang absah (legitimate), atau bahkan kesakralan pada tingkat tertentu (Haidar Bagir: Islam Tuhan Islam Manusia, 2019).

Dalam ilmu biologis disebutkan bahwa manusia berasal dari spesies yang sama, atau yang diistilahkan oleh Erikson (1985) dengan genetic-speciation. Di saat yang sama, manusia memilah diri menjadi ratusan ribu suku bangsa dengan keragaman bahasa, adat-istiadat, agama, dan ideologi. Karena perbedaan budaya tersebut, manusia kemudian menjadi terkotak-kotak dalam berbagai kelompok sosial, dan hanya menggunakan satu sudut pandang saja dari padangan sekitar yang luas. Inilah yang diistilahkan dengan pseudo-speciation.

Menyambung istilah ini, Yayah Khisbiyah menyoroti pengotakan budaya tersebut. Menurutnya, pemilahan itu memberi sense of identity yang membuat suatu golongan merasa superior dan berbeda dibanding kelompok lain. Masing-masing kelompok merasa lebih baik dan hadir dengan tujuan supranatural yang “paling” mulia daripada kelompok lain. Ini akhirnya beruntut pada asa untuk mendapatkan ruang dan momentum di tengah alam semesta, dengan “meng-ada” dan “men-jadi”. Hal ini semakin mengafirmasi superioritasnya di atas kelompok lain.

Sikap demikian yang belakangan ini dikenal dengan politik identitas. Sebuah promblem yang dinilai menggerogoti peran pluralitas sebagai fitrah manusia. Menurut Syafi’i Ma’arif, munculnya isu politik identitas diawali masalah minoritas; jender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan dan teraniaya. Kemudian merambah pada aspek keagamaan, ideologi, budaya, dan ikatatan kultural lain yang beragam, sehingga nilai superioritas (unggul) atas yang lain tidak bisa dihindarkan (Ma’arif, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, 2010).

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Meluruskan Salah Paham Makna Pluralisme

Bisa dikatakan, politik identitas adalah sebuah gerakan anti-pluralisme, yang diakibatkan kesalahan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Pluralisme dipahami sebagai sebuah paham yang berkeyakinan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Agaknya, paham demikian keliru, sebab pluralisme tidaklah meyakini akan kebenaran agama lain, akan tetapi lebih kepada paham menghargai keyakinan (kebenaran) yang dianut oleh agama lain.

Maka, pluralisme dalam agama harus dipahami sebagai pertalian dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan menurut Amir Hussain, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia (Hussain, Muslims, Pluralism and Interfaith Dialogue, 2004). Sebagaimana Islam yang membawa peran rahmatan lil ‘alamin, yang harus dirasakan oleh semua orang. Artinya Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga terhadap sesama ciptaan-Nya (Ma’arif: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009).

Walhasil, menurut hemat penulis, pluralisme adalah salah satu dari ajaran al-Qur’an untuk menumbuhkan nilai-nilai kesatuan, saling menghargai, dan menciptakan keharmonisan antara agama, budaya, etnis, dan keragaman lainnya. Sekaligus sebagai upaya preventif dari sikap yang kiranya dapat mengancam keutuhan sebuah bangsa dan negara, atau kedamaian sebagai sesama manusia. Wallahu a’lam.

Baca juga: Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24 mennceritakan dua kisah dengan subyek yang berbeda namun objek yang dibahas adalah sama. Disatu sisi, menceritakan tentang keingkaran umat Nabi Nuh, yaitu kaum ‘Ad, yang kemudian ditimpa azab berupa angin topan dan membinasakan mereka.

Disisi lain, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 24 membicarakan sikap Rasulullah ketika ada angin dan hujan. Beliau terkadang panik, lalu berdo’a, namun sikap yang demikian mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menyandarkan segala keadaan kepada Allah Swt. Sebab, Dialah yang mengirimkan hujan dan angin secara bersamaan, dan Dia pula yang berhak atas keduanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23


Ayat 24

Segala macam usaha telah dilakukan Nabi Hud untuk mengajak kaumnya menganut agama yang benar. Bahkan dalam ayat-ayat yang lain diterangkan bahwa Nabi Hud menantang kaumnya agar mereka semua dan dewa-dewa mereka itu bersama-sama melawan dan membunuh dirinya.

Namun tantangan itu tidak mereka hiraukan, sehingga Allah memutuskan untuk menimpakan azab kepada mereka.

Azab itu dimulai dengan datangnya musim kemarau panjang yang menimpa negeri mereka. Dalam keadaan demikian, mereka melihat awan hitam berarakan di atas langit dan bergerak menuju negeri mereka.

Mereka semua bergembira menyambut kedatangan awan itu. Menurut mereka, awan itu adalah tanda akan hujan dalam waktu dekat, yang selama ini sangat mereka harapkan.

Mereka mengatakan, “Ini adalah awan yang membawa hujan.” Lalu Nabi Hud menatap awan itu dan memperhatikannya dengan seksama, kemudian beliau berkata, “Awan yang datang bergumpal-gumpal itu bukanlah sebagai tanda akan datangnya hujan sebagaimana yang kamu sangka, tetapi awan itu sebagai tanda datangnya azab yang kamu inginkan dan kamu tunggu-tunggu.

Azab yang akan datang untuk menghancurkan kamu berupa angin kencang yang akan membinasakan kamu dan semua yang dilandanya.

Dia akan membinasakan kamu dan semua hartamu dan akan menghancurkan seluruh kekuatan dewa-dewa yang selalu kamu bangga-banggakan, sesuai dengan tugas yang diperintahkan Tuhan kepadanya.”

Dalam ayat yang lain diterangkan bentuk azab yang ditimpakan kepada kaum ‘Ad itu. Allah berfirman:

وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦  سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧  فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ   ٨

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka. (al-Haqqah/69: 6-8). Dan firman Allah:

وَفِيْ عَادٍ اِذْ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيْحَ الْعَقِيْمَۚ    ٤١  مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ اَتَتْ عَلَيْهِ اِلَّا جَعَلَتْهُ كَالرَّمِيْمِۗ   ٤٢

Dan (juga) pada (kisah kaum) ‘Ad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan. (Angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk. (az-Zariyat/51: 41-42)

Baca Juga:

Bagaimana kedahsyatan azab yang telah ditimpakan kepada kaum ‘Ad itu tergambar pada sikap Rasulullah saw sewaktu angin kencang bertiup. Di dalam suatu hadis diterangkan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا عَصَفَتِ الرِّيْحُ قَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّى أََسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَافِيْهَا وَخَيْرَ مَا أَرْسَلْتَ بِهِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَافِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَإِذَا تَخَيَّلَتِ السَّمَاءُ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ وَخَرَجَ وَدَخَلَ وَاَقْبَلَ وَاَدْبَرَ فَإِذَا اَمْطَرَتْ سُرِّىَ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لاَ اَدْرِى لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمُ عَادٍ  هٰذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا  . (رواه مسلم والترمذى و النسائي)

()

‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw apabila ada angin kencang bertiup, beliau berdoa, “Wahai Tuhan, aku mohon kepada Engkau angin yang paling baik; baik isinya dan paling baik pula yang dibawanya, dan aku berlindung kepada Engkau dari angin yang buruk; buruk isinya dan buruk pula yang dibawanya.” Apabila langit memperlihatkan gejala-gejala akan turunnya hujan berubahlah muka Rasulullah saw. Beliau mondar-mandir keluar- masuk rumah, ke muka dan ke belakang. Maka apabila hujan telah turun legalah hati beliau, lalu aku bertanya kepada beliau, beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui, mudah-mudahan saja seperti yang dikatakan kaum ‘Ad, ‘Awan yang datang ini menurunkan hujan kepada kita.” (Riwayat Muslim, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i) .

Rasulullah juga bersabda sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ مُسْتَجْمِعاً ضَاحِكاً حَتىَّ اَرَى مِنْهُ لَهَوَاتِهِ وَاِنَّمَا كَانَ يَتَبَسَّمُ وَكاَنَ إِذَا رَأَى غَيْمًا اَوْ رِيْحًا عُرِفَ ذٰلِكَ فِي وَجْهِهِ قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَرَى النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْغَيْمَ فَرِحُوْا رَجَاءً اَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ الْمَطَرُ وَاَرَاكَ إِذَا رَأَيْتَهُ عُرِفَتْ فِي وَجْهِكَ الْكَرَاهِيَةُ قَالَ: يَا عَائِشَةَ وَمَايُؤْمِنُنِى اَنْ يَكُوْنَ فِيْهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالِّريْحِ وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ قاَلُوْا هٰذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا . (رواه البخارى و مسلم)

‘Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw tertawa lebar hingga kelihatan anak lidahnya. Beliau hanya tersenyum, sedang apabila beliau melihat awan dan angin, berubah raut mukanya. Aku bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah aku lihat orang apabila melihat awan mereka bergembira karena mengharapkan semoga awan itu membuat hujan, sedangkan engkau aku lihat bila melihat awan kelihatan perasaan kurang senang di mukamu.” Rasulullah saw menjawab, “Ya ‘Aisyah, siapa yang dapat menjamin bahwa awan itu tidak membawa azab? Pernah suatu kaum diazab dengan angin itu. Sesungguhnya kaum itu melihat azab, tetapi mereka menyangkanya awan yang membawa hujan, maka berkatalah mereka, ‘Awan itu datang membawa hujan kepada kita.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Pada hadis lain yang diriwayatkan Muslim diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نُصِرْتُ بِالصَّبَا وَاُهْلِكَتْ عَادٌ بِالدَّبُوْر.ِ (رواه مسلم)

Ibnu ‘Abbas menerangkan bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Saya ditolong oleh angin timur, dan kaum ‘Ad dihancurkan dengan angin barat.” (Riwayat Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 25-26


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 21-23 diawali dengan kisah Nabi Hud yang diceritakan Rasulullah kepada orang-orang musyrik. Dalam cerita itu, Rasulullah ada berbicara tentang nama subuah bukit yang disebut dengan ‘Ahqaf’, dan nama bukit inilah yang kemudian dijadikan nama dalam surah ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20


Ayat 21

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah kisah Nabi Hud yang berasal dari kaum ‘Ad, ketika ia memperingatkan kepada kaumnya yang berdomisili di Ahqaf itu akan azab Tuhan.

Allah menjelaskan bahwa mengutus para rasul dan nabi kepada kaumnya masing-masing adalah suatu hal yang biasa, dan sudah menjadi sunatullah.

Sebelum Nabi Hud, Allah telah mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi yang memberi peringatan kepada kaum mereka masing-masing, begitu pula sesudahnya.

Nabi Hud menyeru kaum itu agar tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan mereka, yang memberi rezeki sehingga mereka dapat hidup dengan rezeki itu dan menjaga kelangsungan hidup.

Hendaklah mereka takut akan malapetaka yang akan menimpa nanti akibat kedurhakaan itu. Di akhirat nanti mereka akan mendapat azab yang pedih.

Keadaan pada hari Kiamat itu diterangkan pada firman Allah:

اِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيْقَاتُهُمْ اَجْمَعِيْنَ ۙ   ٤٠  يَوْمَ لَا يُغْنِيْ مَوْلًى عَنْ مَّوْلًى شَيْـًٔا وَّلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَۙ   ٤١

Sungguh, pada hari keputusan (hari Kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya, (yaitu) pada hari (ketika) seorang teman sama sekali tidak dapat memberi manfaat kepada teman lainnya dan mereka tidak akan mendapat pertolongan. (ad-Dukhan/44: 40-41).

Al-Ahqaf berarti “bukit-bukit pasir”. Kemudian nama itu dijadikan nama sebuah daerah yang terletak antara negeri Oman dan Mahrah. Daerah itu dinamai demikian oleh kaum ‘Ad.

Sekarang daerah itu terkenal dengan nama “Sahara al-Ahqaf”, dan termasuk salah satu daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Saudi Arabia bagian selatan. Daerah itu terletak di sebelah utara Hadramaut, sebelah timur dibatasi oleh laut Yaman, dan sebelah selatan berbatasan dengan Nejed.

Semula kaum ‘Ad menganut agama yang berdasarkan tauhid. Setelah berlalu beberapa generasi, kepercayaan tauhid itu dimasuki unsur-unsur syirik, dimulai dengan penghormatan kepada pembesar-pembesar dan pahlawan mereka yang telah meninggal dunia, dengan membuatkan patung-patungnya.

Lama-kelamaan, pemberian penghormatan ini berubah menjadi pemberian penghormatan kepada patung, yang akhirnya berubah menjadi penyembahan kepada dewa, dengan arti bahwa pembesar dan pahlawan yang telah meninggal mereka anggap sebagai dewa.

Untuk mengembalikan mereka kepada agama yang benar yaitu agama tauhid, Allah mengutus seorang rasul yang diangkat dari keluarga mereka sendiri, yaitu Nabi Hud. Hud menyeru mereka agar kembali kepada kepercayaan yang benar, yaitu kepercayaan tauhid, dengan hanya menyembah Allah semata, tidak lagi mempersekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim


Ayat 22

Ketika Nabi Hud menyeru kaumnya untuk beriman, kaum ‘Ad menjawab seruan itu dengan mengatakan, “Apakah kamu diutus kepada kami untuk memalingkan kami dari agama nenek moyang kami sehingga kami tidak lagi menyembah tuhan-tuhan kami dan hanya menyembah Tuhanmu?”

Mereka meminta kepada Hud membuktikan kerasulannya dengan segera mendatangkan azab yang pernah dijanjikan kepada mereka, seandainya mereka tidak beriman. Bahkan pada ayat yang lain, mereka menuduh Hud sebagai orang gila. Allah berfirman:

اِنْ نَّقُوْلُ اِلَّا اعْتَرٰىكَ بَعْضُ اٰلِهَتِنَا بِسُوْۤءٍ

Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. (Hud/11: 54)

Ayat 23

Pada ayat ini dijelaskan jawaban Nabi Hud atas tantangan orang kafir agar segera didatangkan azab yang pernah dijanjikan kepada mereka jika mereka tidak beriman. Nabi Hud menjawab bahwa yang mengetahui kapan azab yang diancamkan itu datang hanyalah Allah. Nabi Hud sendiri juga tidak tahu kapan azab itu akan datang. Tugas nabi hanya menyampaikan risalah dari Allah.

Seharusnya kaum ‘Ad bersyukur dengan diutusnya salah seorang dari kaum mereka menjadi nabi yang memberi peringatan, petunjuk tentang hukum, pokok-pokok akidah, dan cara-cara beribadah yang benar. Semua itu disampaikan karena perintah Allah, Tuhan Maha Pencipta segala sesuatu.

Tanpa adanya petunjuk dari Allah tak ada yang mengetahui hakikat agama yang benar. Manusia tidak tahu manakah Tuhan yang benar-benar berhak disembah dan siapa yang berhak menentukan bagaimana cara beribadah yang benar.

Oleh karena itu, wajar jika ada manusia yang tidak memahami semua hal, karena pikiran manusia memang terbatas. Di sinilah perlunya Allah mengutus para nabi dan rasul, dan manusia harus berusaha untuk memahami dan meyakininya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 24


Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20

0
tafsir surah ahqaf
tafsir surah ahqaf

Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 diawali degan penegasan sifat adil Allah ketika mengadili makhluknya, baik dari golongan jin atau manusia, kafir atau mukmin, semuanya akan mendapatkan balasan sesuai kadarnya masing-masing.

Selanjutnya, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 memperingatkan manusia bahwa salah satu aspek yang menyebabkan mereka bisa terjerumus kedalam neraka adalah terlalu cinta kepada dunia.

Maka dari itu, Tafsir Surah Ahqaf Ayat 20 mengajarkan kepada kita agar senantiasa hidup sederhana, seperlunya, dan welas asih kepada sesama. Mengajarkan kita untuk bisa mengontrol hawa nafsu yang kerap mengajak pada kenikamtan sesaat, dan melupakan kenikmatan yang kekal nan abadi.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ahqaf Ayat 18-19


Ayat 20

Setelah menerangkan bahwa setiap jin dan manusia akan mem-peroleh balasan yang adil dari Allah, Dia menerangkan keadaan orang-orang kafir pada saat mereka dihadapkan ke neraka. Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang kafir keadaan mereka ketika dibawa ke dalam neraka.

Kepada mereka dikatakan bahwa segala macam kebahagiaan dan kenikmatan yang diperuntukkan bagi mereka telah lengkap dan sempurna mereka terima semasa hidup di dunia.

Tidak ada satu pun bagian yang akan mereka nikmati lagi di akhirat. Yang tinggal hanyalah kehinaan, kerendahan, azab pedih yang akan mereka alami sebagai pembalasan atas kesombongan, kefasikan, kezaliman, kemaksiatan, dan kekafiran yang mereka lakukan selama hidup di dunia.

Ayat ini memperingatkan manusia agar meninggalkan hidup mewah yang berlebih-lebihan, meninggalkan perbuatan mubazir, maksiat, dan menganjurkan agar kaum Muslimin hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan menggunakan sesuatu sesuai dengan keperluan dan keadaan, dan disesuaikan dengan tujuan hidup seorang Muslim.

Seandainya ada kelebihan harta, hendaklah diberikan kepada orang-orang miskin, orang-orang terlantar, dan anak yatim yang tidak ada yang pertanggung jawabnya, dan gunakanlah harta itu untuk keperluan meninggikan kalimat Allah.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lain-lain dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar melihat uang dirham di tangan Jabir bin ‘Abdullah, maka beliau berkata, “Uang dirham apakah itu?”

Jabir menjawab, “Aku bermaksud membeli sepotong daging yang sudah lama diidamkan oleh keluargaku.” ‘Umar berkata, “Apakah setiap kamu menginginkan sesuatu, lalu kamu beli? Bagaimana pendapatmu tentang ayat ini? Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja, dan kamu telah bersenang-senang dengannya?”

Dari riwayat di atas dapat kita tarik pelajaran bahwa ‘Umar bin Khattab menasihati Jabir bin ‘Abdullah dengan ayat ini agar tidak terlalu menuruti keinginannya dan mengingatkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini hanya bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan yang abadi ada di akhirat.

Oleh karena itu, kita harus menggunakan segala rezeki yang telah dianugerahkan Allah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ketentuan yang digariskan agama.

Tentang hidup sederhana ini tergambar dalam kehidupan keluarga Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadis:

عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ كَانَ اَخِرَ عَهْدِهِ مِنْ اَهْلِهِ بِفَاطِمَةَ. وَاَوَّلُ مَنْ يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْهُمْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَقَدِمَ مِنْ غَزَاةٍ فَاَتَاهَا فَإِذَا يَمْسَحُ عَلَى بَابِهَا وَرَأَى عَلَى الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ قُلْبَيْنِ مِنْ فِضَّةٍ فَرَجَعَ وَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا فَلَمَّا رَاَتْ ذٰلِكَ ظَنَّتْ اَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ مِنْ أَجْلِ مَارَاَى فَهَتَكَتِ السِّتْرَ وَنَزَعَتْ قُلْبَيْنِ مِنَ الصَّبِيَّيْنِ فَقَطَعَتْهُمَا فَبَكِيَا فَقَسَمَتْ ذٰلِكَ بَيْنَهُمَا فَانْطَلَقَا إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَهُمَا يَبْكِيَانِ فَأَخَذَ ذٰلِكَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْهُمَا وَقَالَ يَا ثَوْبَانُ اِذْهَبْ بِهٰذَا اِلَى بَنِى فُلاَنٍ وَاشْتَرِ لِفَاطِمَةَ قِلاَدَةً مِنْ عَصَبٍ وَسِوَارَيْنِ مِنْ عَاجٍ فَإِنَّ هٰؤُلاَءِ مِنْ اَهْلِ بَيْتِى وَلاَ اُحِبُّ         اَنْ يَأْكُلُوْا طَيِّبَاتِهِمْ فِي حَيَاتِهِمُ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والبيهقي)

Diriwayatkan dari ¤aub±n, ia berkata, “Rasulullah saw apabila akan bepergian, keluarga terakhir yang dikunjunginya adalah Fatimah. Dan keluarganya yang lebih dahulu didatanginya apabila ia kembali dari perjalanan ialah Fatimah. Beliau kembali dari Gazah (peperangan), lalu beliau datang ke rumah Fatimah, dan beliau mengusap pintu rumah dan melihat gelang perak di tangan Hasan dan Husain, beliau kembali dan tidak masuk. Tatkala Fatimah melihat yang demikian, ia berpendapat bahwa Rasulullah saw tidak masuk ke rumahnya itu karena beliau melihat barang-barang itu. Maka Fatimah menyobek-nyobek kain pintu itu dan mencabut gelang-gelang dari tangan kedua anaknya dan memotong-motongnya, lalu kedua anaknya menangis, maka ia membagi-bagikannya kepada kedua anak itu. Maka keduanya pergi menemui Rasulullah saw dalam keadaan menangis, lalu Rasulullah saw mengambil barang-barang itu dari keduanya seraya berkata, ‘Hai ¤aub±n, pergilah membawa barang-barang itu kepada Bani Fulan dan belikanlah untuk Fatimah kalung dari kulit lokan dan dua gelang dari gading, maka sesungguhnya mereka adalah keluargaku, dan aku tidak ingin mereka menghabiskan rezeki mereka yang baik sewaktu hidup di dunia ini.” (Riwayat A¥mad dan al-Baihaqi).

Hadis ini maksudnya bukan melarang kaum Muslimin memakai perhiasan, suka kepada keindahan, menikmati rezeki yang telah dianugerahkan Allah, melainkan untuk menganjurkan agar orang hidup sesuai dengan kemampuan diri sendiri, tidak berlebih-lebihan, selalu menenggang rasa dalam hidup bertetangga dan dalam berteman.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Taubah Ayat 122 : Perintah Memperdalam Ilmu Agama


Jangan sampai harta yang dimiliki dengan halal itu menjadi sumber iri hati dan rasa dengki tetangga dan sahabat. Jangan pula hidup boros, dan berbelanja melebihi kemampuan. Ingatlah selalu bahwa banyak orang lain yang memerlukan bantuan, masih banyak biaya yang diperlukan untuk meninggikan kalimat Allah.

Rasulullah saw selalu merasa cukup bila memperoleh sesuatu dan bersabar bila sedang tidak punya; memakan kue jika ada kesanggupan membelinya, meminum madu bila kebetulan ada, dan memakan daging bila mungkin mendapatkannya.

Hal yang demikian itu menjadi pegangan dan kebiasaan hidup beliau. Beliau selalu bersyukur kepada Allah setiap menerima nikmat-Nya.

Yang dilarang ialah memakai perhiasan secara berlebih-lebihan, bersenang-senang tanpa mengingat adanya kehidupan abadi di akhirat nanti. Memakai perhiasan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan iri hati orang lain dibolehkan. Allah berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ  كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ   ٣٢

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik- baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (al-A’raf/7: 32)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ahqaf 21-22