Beranda blog Halaman 192

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 5-7

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 5-7 menceritakan tentang Nabi Ibrahim yang mendoakan kaumnya agar Allah menjaga mereka dengan tidak memenangkan orang kafir atas orang-orang yang beriman. Kemudian, Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 5-7 ini kembali mengingatkan untuk menjadikan Nabi Ibrahim sebagai teladan yang baik.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4


Ayat 5

Sebelum Nabi Ibrahim berpisah dengan kaumnya yang tidak mau menerima seruannya, ia berdoa kepada Allah dengan hati yang tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Dalam doanya ia berkata, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir.”

Dengan perkataan lain, arti ayat ini ialah Nabi Ibrahim memohon agar Allah tidak memenangkan orang kafir atas orang beriman. Hal itu akan memberi kesempatan kepada orang kafir untuk memfitnah orang beriman. Kemenangan itu juga bisa menimbulkan keyakinan pada orang kafir bahwa mereka berada di jalan yang benar sedangkan orang beriman berada di jalan yang salah.

Di akhir ayat, Nabi Ibrahim berdoa, “Wahai Tuhan kami, ampunilah dan maafkanlah dosa kami sehingga perbuatan dosa itu seakan-akan tidak pernah kami kerjakan. Engkaulah tempat kami berlindung. Tuntutan-Mu sangat keras. Engkau melakukan dan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan sifat, guna, dan faedahnya.”

Ayat 6

Ayat ini mengulang perintah untuk menjadikan Nabi Ibrahim dan orang-orang yang beriman besertanya sebagai teladan yang baik dengan maksud agar perintah itu diperhatikan oleh orang-orang yang beriman. Hal ini terutama ditujukan bagi orang yang yakin akan bertemu dengan Allah di akhirat, dan mengharapkan pahala serta balasan surga sebagai tempat yang nikmat.

Orang yang tidak mengikuti perintah Allah, dan tidak mengambil teladan dari orang-orang yang saleh, maka hendaklah mereka ketahui bahwa Allah sedikit pun tidak memerlukannya. Allah Maha Terpuji di langit dan di bumi, dan Dia tidak memerlukan bantuan makhluk-Nya dalam melaksanakan kehendak-Nya. Allah berfirman:

وَقَالَ مُوْسٰٓى اِنْ تَكْفُرُوْٓا اَنْتُمْ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ۙفَاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ حَمِيْدٌ   ٨

Dan Musa berkata, “Jika kamu dan orang yang ada di bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji. (Ibrahim/14: 8)

Ayat 7

Menurut al-Hasan al-Bashri dan Abu Salih, ayat ini diturunkan berhubungan dengan Khuza‘ah, Bani al-Hari£ bin Ka‘ab, Kinanah, Khuzaimah, dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Mereka minta diadakan perdamaian dengan kaum Muslimin dengan mengemukakan ikrar tidak akan memerangi kaum Muslimin dan tidak menolong musuh-musuh mereka. Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan kaum Muslimin untuk menerima permusuhan mereka.

Ayat ini menyatakan kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman bahwa mudah-mudahan Allah akan menjalinkan rasa cinta dan kasih sayang antara kaum Muslimin yang ada di Medinah dengan orang-orang musyrik Mekah yang selama ini membenci dan menjadi musuh mereka. Hal itu mudah bagi Allah, sebagai Zat Yang Mahakuasa dan menentukan segalanya. Apalagi jika orang-orang kafir mau beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah mereka lakukan sebelumnya, yaitu dosa memusuhi Rasulullah dan kaum Muslimin.

Isyarat yang terdapat dalam ayat ini terbukti kebenarannya pada pembebasan kota Mekah oleh kaum Muslimin, tanpa terjadi pertumpahan darah. Sewaktu Rasulullah memasuki kota Mekah, karena orang-orang musyrik melanggar perjanjian mereka dengan kaum Muslimin, mereka merasa gentar menghadapi tentara kaum Muslimin, dan bersembunyi di rumah-rumah mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengumumkan bahwa barang siapa memasuki Baitullah, maka dia mendapat keamanan, barang siapa memasuki Masjidil Haram, maka ia mendapat keamanan, dan barang siapa memasuki rumah Abu Sufyan, ia mendapat keamanan.

Perintah itu ditaati oleh kaum musyrik dan mereka pun berlindung di Ka‘bah, di Masjidil Haram, dan rumah Abu Sufyan. Maka waktu itu, kaum Muslimin yang telah hijrah bersama Rasulullah ke Medinah bertemu kembali dengan keluarganya yang masih musyrik dan tetap tinggal di Mekah, setelah beberapa tahun mereka berpisah. Maka terjalinlah kembali hubungan baik dan kasih sayang diantara mereka.

Karena baiknya sikap kaum Muslimin kepada mereka, maka mereka berbondong-bondong masuk Islam. Firman Allah:

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ  ١  وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًاۙ  ٢  فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا ࣖ  ٣

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat. (an-Nashr/110:1-3)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 8-9


 

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4 disebutkan bahwa tidak aka nada seorangpun yang dapat menolong diri manusia kecuali iman dan amal shaleh semasa hidupnya di dunia. Ditegaskan pula dalam Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4 bahwasanya sikap Nabi Ibrahin yang dengan tegas menolak apa yang dilakukan oleh kaumnya sangatlah patut untuk dicontoh.


Baca Juga: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 1-2


Ayat 3

Pada hari Kiamat setiap orang mempertanggungjawabkan diri mereka masing-masing kepada Allah. Karib-kerabat, teman setia, anak-anak, atau orang tua sekalipun tidak dapat menolong seseorang di hari Kiamat. Yang dapat menolong seseorang dari siksa Allah hanyalah iman dan amal saleh yang dilakukan selama hidup di dunia.

Karib-kerabat, teman setia, anak-anak dan orang tua tidak dapat dijadikan penolong di hari Kiamat karena masing-masing berusaha menghindarkan diri dari malapetaka yang akan menimpa, sehingga tidak sempat memikirkan kerabat atau temannya, sebagaimana firman Allah:

فَاِذَا جَاۤءَتِ الصَّاۤخَّةُ ۖ  ٣٣  يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧ 

Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, Dan dari ibu dan bapaknya, Dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 33-37)

Pada akhir ayat ini, Allah memberi peringatan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, Dia akan memberikan balasan yang seadil-adilnya. Maka itu berhati-hatilah dan jagalah dirimu sebaik mungkin.

Ayat 4

Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan orang-orang yang beriman besertanya, ketika ia berkata kepada kaumnya yang kafir dan menyembah berhala, “Hai kaumku, sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu semua, dan dari apa yang kamu sembah selain Allah.”

Kemudian diterangkan bahwa yang dimaksud Ibrahim dengan berlepas diri itu ialah:

  1. Nabi Ibrahim mengingkari kaumnya, tidak mengacuhkan tuhan-tuhan mereka, dan tidak membenarkan perbuatan mereka yang menyembah patung-patung yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat kepada siapa pun. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَنْ يَّخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِ اجْتَمَعُوْا لَهٗ ۗوَاِنْ يَّسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنْقِذُوْهُ مِنْهُۗ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ  ٧٣ 

Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (al-Hajj/22: 73)

  1. Nabi Ibrahim mengatakan bahwa antara dia dengan kaumnya yang ingkar telah terjadi permusuhan dan saling membenci selamanya. Ibrahim menyatakan akan tetap menentang kaumnya sampai mereka meninggalkan perbuatan syirik. Jika mereka telah beriman, permusuhan itu baru akan berakhir.

Terhadap ayahnya yang masih kafir, ia tidak mengambil sikap yang tegas seperti sikapnya terhadap kaumnya. Ia berjanji akan mendoakan agar Allah mengampuni dosa-dosa ayahnya. Dalam hal ini, Allah melarang kaum Muslimin mencontoh Ibrahim, sekalipun ia akhirnya berlepas tangan pula terhadap ayahnya, setelah nyata baginya keingkaran bapaknya itu.

Benar ada di antara orang yang beriman mendoakan ayah-ayah mereka yang meninggal dalam keadaan musyrik. Mereka beralasan mencontoh perbuatan Ibrahim itu. Maka Allah membantah perbuatan mereka:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ   ١١٣  وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ   ١١٤

Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam. Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah/9: 113-114).

Selanjutnya Nabi Ibrahim berkata kepada ayahnya bahwa dia tidak mampu menolongnya. Ia hanya bisa berdoa agar Allah memberi taufik berupa iman kepadanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 5-7


 

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 1-2

0
Tafsir Surah al-Mumtahanah
Tafsir Surah al-Mumtahanah

Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 1-2 lebih banyak menjelaskan tentang larangan umat Islam berhubungan akrab dengan orang-orang kafir. Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 1-2 ini sekaligus memperingati kaum Muslimin akan bahaya dari hubungan yang terlalu akrab tersebut.


Baca Juga: Konsep Kafir dalam Al-Qur’an Perspektif Farid Esack


Ayat 1

Ayat ini memperingatkan kaum Muslimin agar tidak mengadakan hubungan kasih sayang dengan kaum musyrik yang menjadi musuh Allah dan kaum Muslimin. Sebab, dengan adanya hubungan yang demikian itu, tanpa disadari mereka telah membukakan rahasia-rahasia kaum Muslimin, menyampaikan sesuatu yang akan dilaksanakan Rasulullah saw kepada mereka dalam usaha menegakkan kalimat Allah. Oleh karena itu, kaum Muslimin dilarang melakukan yang demikian sekalipun kepada kaum kerabatnya.

Menjadikan orang-orang kafir yang memusuhi kaum Muslimin sebagai teman setia dan penolong adalah suatu hal yang dilarang. Hal ini tidak boleh dilakukan selama orang-orang kafir itu ingin menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin.

Allah kemudian menjelaskan penyebab larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia, yaitu:

  1. Mereka menyangkal dan tidak membenarkan semua yang dibawa Rasulullah. Mereka ingkar kepada Allah, Rasul-Nya, dan Al-Qur’an. Mungkinkah orang yang seperti itu dijadikan penolong-penolong dan teman setia? Kemudian disampaikan kepada mereka rahasia-rahasia yang bermanfaat bagi mereka dan menimbulkan bahaya bagi kaum Muslimin?
  2. Mereka telah mengusir Rasulullah saw dan orang-orang Muhajirin dari kampung halaman mereka karena beriman kepada Allah, bukan karena sebab yang lain.

 Ayat ini sama maksudnya dengan firman Allah:

وَمَا نَقَمُوْا مِنْهُمْ اِلَّآ اَنْ يُّؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ الْعَزِيْزِ الْحَمِيْدِۙ   ٨

Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena (orang-orang mukmin itu) beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji. (al-Buruj/85: 8).

Dan firman Allah:

ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ   ٤٠ 

(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Hajj/22: 40).

Allah memperingatkan kaum Muslimin bahwa jika mereka keluar dari kampung halaman atau terusir karena berjihad di jalan Allah dan mencari keridaan-Nya, maka janganlah sekali-kali menjadikan orang-orang kafir itu sebagai teman setia dan penolong-penolong mereka.

Cukuplah kaum Muslimin menderita akibat tindakan-tindakan mereka, dan jangan sekali-kali memberi kesempatan kepada mereka menambah penderitaan kaum Muslimin. Bagaimana mungkin ada di antara kaum Muslimin melakukan seperti yang dilakukan Hathib yang menyampaikan kepada orang-orang kafir langkah-langkah yang akan diambil Rasulullah dalam menghadapi orang-orang kafir?

Allah Mahatahu segala yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah, sehingga beliau segera dapat mengambil tindakan. Dengan demikian, kaum Muslimin tidak dirugikan.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa barang siapa yang berkasih-kasihan dengan musuh Islam dan menjadikan mereka penolong-penolong, berarti ia telah menyimpang dari jalan yang lurus.

Ayat 2

Dalam ayat ini diterangkan sebab-sebab yang lain Allah melarang kaum Muslimin berteman akrab dan saling menolong dengan orang kafir, yaitu:

  1. Jika suatu waktu mereka menangkap atau mengalahkan kaum Muslimin, mereka pasti akan melakukan kezaliman yang di luar dugaan. Mereka berteman dengan kaum Muslimin semata-mata mencari keuntungan bagi diri dan golongan mereka. Bila tidak ada keuntungan yang diharapkan, mereka akan menjauhkan diri, bahkan akan menghancurkan kaum Muslimin.
  2. Mereka selalu berusaha menjelek-jelekkan dan memusuhi kaum Muslimin. Bagaimana mungkin ada satu atau sebagian dari kaum Muslimin membukakan rahasia kepada mereka atau berteman erat dengan mereka. Orang yang dapat dijadikan teman itu hanyalah orang yang menginginkan kebaikan untuk kita, bukan sebaliknya.
  3. Mereka mengharapkan kaum Muslimin mengingkari kebenaran dan kafir kepada Allah, sehingga kaum Muslimin sama dengan mereka, yaitu sama-sama kafir. Oleh karena itu, mereka hanya mau berteman erat atau bertolong-tolongan dengan kaum Muslimin selama hal itu bisa memenuhi keinginan-keinginan mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah al-Mumtahanah ayat 3-4


 

Keistimewaan Doa Nabi Yunus Yang Dibaca Masyarakat Banjar Pada Arba Musta’mir

0
Arba Musta'mir
Arba Musta'mir

Bulan safar sedang kita jalani, tepatnya telah memasuki bagian akhir. Pada hari Rabu, 6 Oktober 2021 atau juga bertepatan dengan 29 Shafar 1443 H merupakan hari arba atau hari rabu terakhir dalam bulan shafar tahun ini. Anggapan sebagian orang, pada bulan Shafar akan diturunkan berbagai bala bencana khususnya pada arba musta’mir atau pada hari rabu terakhir bulan Shafar.

Anggapan demikian berasal dari hadis dhaif yang tentu saja tidak mutlak sebagai wacana yang kuat, apalagi menjadi dasar hukum. Sebab, dalam beberapa keterangan disebutkan bahwa tidak ada keterangan asli atau adanya hadis shahih yang menjelaskan tentang keutamaan maupun celaan terhadap bulan Shafar (Wahid, dalam bukunya Kalender Ibadah Sepanjang Tahun).

Namun terlepas dari berbagai pendapat tentang adanya bala atau tidak pada arba musta’mir bukan menjadi bahasan utama dalam tulisan ini. Tulisan ini akan membahas tentang tradisi yang lumrah pada masyarakat Banjar yaitu adanya kepercayaan untuk meminta perlindungan kepada Allah melalui amalan-amalan dan doa-doa yang dipanjatkan ketika arba musta’mir.

Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak inginkan seperti adanya musibah dan lain-lain serta mengharap keridhaan Allah agar diberi keselamatan. Oleh sebab itu, pada hari arba musta’mir, masyarakat sering melakukan salat sunnah disertai doa tolak bala, selamatan kampung, mandi safar, tidak bepergian jauh (Nadhiroh, dalam penelitiannya “Amalan di Hari Arba’ Mustamir Bulan Safar”).

Salah satu doa atau amalan yang dibaca adalah doa Nabi Yunus dalam al-Qur’an yaitu, “Subhanaka Inni Kuntu Minazhalimin”. Lalu mengapa doa tersebut begitu istimewa? Terkait hal ini Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-‘Anbiya [21]: 87-88 sebagai berikut.

وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٰضِبٗا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقۡدِرَ عَلَيۡهِ فَنَادَىٰ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ فَٱسۡتَجَبۡنَا لَهُۥ وَنَجَّيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡغَمِّۚ وَكَذَٰلِكَ نُ‍ۨجِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim”. Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-‘Anbiya [20]: 87-88)

Tafsir QS. Al-‘Anbiya [21]: 87-88 tentang Doa Nabi Yunus

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pada ayat ini Allah menceritakan kisah Nabi Yunus yang pergi dari kaumnya karena kaumnya begitu ingkar terhadap ajaran yang dibawa. Nabi Yunus pun kemudian marah dan pergi. Lalu ia menaiki sebuah kapal, tetapi karena kelebihan muatan salah satu penumpang kapal itu harus dibuang kelaut.

Baca Juga: Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan

Saat itu, Nabi Yunus menjadi orang yang terpilih undiannya untuk dibuang ke laut. Kemudian Allah pun mengirimkan ikan paus untuk menyelamatkan Nabi Yunus. Maka di dalam perut ikan itu, Nabi Yunus berseru dan berdoa, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.

Setelah mendengar doa Nabi Yunus, Allah pun mengeluarkannya dari perut ikan dan kegelapan tersebut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa doa tersebut merupakan doa yang dianjurkan dibaca ketika berda dalam kesulitan dengan penuh berserah diri. Anjuran doa ini juga datang dari pemimpin para Nabi.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa dalam ayat ini terdapat syarat yang ditetapkan Allah bagi yang berdoa kepada-Nya agar dikabulkan, sebagaimana Allah telah mengabulkan doa Nabi Yunus yang saat itu berada dalam perut ikan kemudian Allah selamatkan.

Di dalam surah yang lain Allah juga menyatakan bahwa, “Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 143-144)

Ini adalah pemeliharaan dari  Allah ‘Azza wa Jalla bagi hamba-Nya, Yunus yang  memelihara hak kehambaannya terhadap-Nya, dan memelihara kendali ketaatannya yang telah lalu. Demikian amat berartinya doa Nabi Yunus kala ia berada di dalam perut ikan tersebut.

Demikian Hamka juga menjelaskan bahwa berkah dari doa Nabi Yunus sebagaimana terdapat dalam ayat tersebut Allah memberikan kemurahan-Nya dengan membiarkan Yunus berada dalam perut ikan itu masih hidup, karena dalam logika sangat tidak masuk akal seorang yang berada dalam ikan paus tetapi masih hidup. Ia bertaubat, ia mengakui kesalahannya, ia hanya ingin mengingat Tuhannya. Maka permohonannya dikabulkan oleh Allah. Dia pun dilepaskan dan dikeluarkan dari dalam perut ikan.

Keitimewaan Doa Nabi Yunus

Adanya sebuah kepercayaan pada masyarakat Banjar yang menganggap pada arba musta’mir atau hari Rabu terakhir pada bulan Shafar tentang akan diturunkannya berbagai bala oleh Allah menjadikan hari tersebut dipenuhi dengan doa memohon ampunan dan keselamatan. Salah satunya dipanjatkannya doa Nabi Yunus ketika beliau berada di dalam perut ikan.

Kajian ini merupakan kajian living Qur’an atau al-Qur’an yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Living Qur’an juga biasanya menyangkut keajaiban daripada ayat al-Qur’an itu sendiri yang digunakan oleh masyarakat baik untuk penyembuhan, doa, dan lain-lain.

Jika dicermati, doa yang dipanjatkan oleh Nabi Yunus dalam ayat tersebut pertama merupakan ungkapan ketauhidan dengan sebuah pernyataan mengesakan Allah Swt. yang tertuang dalam kalimat “Laa Ilaha Illallah”. Kedua, menunjukkan pembersihan dan pengagungan kepada Allah dari segala kekurangan yang ditunjukkan dalam kalimat “subhanaka” “Maha suci Engkau” .

Ketiga, doa tersebut juga menunjukkan pengakuan atas dosa yang dilakukan. Tidak menjalankan hak Allah dengan sempurna serta menzhalimi diri sendiri karena sikap yang dilakukan. Hal tersebut ditunjukkan dalam kalimat, “Inni kuntu minazzhalimin” sebagai sebuah pengakuan taubat atas kesalahan yang telah dilakukan.

Sebagaimana penafsiran ayat di atas, doa ini sangat dianjurkan untuk dimunajatkan apalagi ketika dalam keadaan sulit. Sebab di dalamnya terdapat pengagungan kepada Allah dan ungkapan taubat atas segala kesalahan. Harapan dari doa ini adalah untuk memohon kemurahan Allah dalam menyelamatkan orang yang berdoa sebagaimana Allah menyelamatkan Nabi Yunus dari perut ikan itu.

Baca Juga: Hal Ihwal Pandangan Ulama Seputar Kata Amin

Kontekstualisasi doa dalam ayat ini kemudian direpresentasikan oleh masyarakat Banjar sebagai salah satu doa yang diungkapkan ketika memohon perlindungan kepada Allah dari segala bahaya atau musibah. Demikian bahwa keistimewaan dan kedahsyatan yang terdapat dalam doa Nabi Yunus yang semestinya dapat diamalkan oleh setiap muslim bukan hanya pada arba musta’mir belaka (dalam Syamsudin Noor, Dahsyatnya Doa para Nabi).

Penutup

Adanya arba musta’mir pada masyarakat Banjar menjadi khazanah budaya Indonesia yang beragam. Terlepas dari adanya berbagai pendapat terkait bulan Shafar, tradisi tersebut sebaiknya dilaksanakan dengan sangat hati-hati agar terhindak dari perbuatan syirik dan tidak melunturkan esensi dari doa-doa yang ada di dalamnya.

Doa Nabi Yunus sering digunakan karena mengandung beberapa hal penting di antaranya adalah ungkapan ketauhidan dan pengagungan kepada Allah Swt. serta aktualisasi taubat dari seorang hamba kepada Rabb-Nya. Memunajatkan doa ini dengan harapan dapat meraih keridhaan dan kemurahan Allah Swt. untuk selalu dilindungi dan diselamatkan sebagaimana Allah juga menyelamatkan Nabi Yunus ketika membaca doa tersebut. Wallahu A’lam.

Surah An-Nisa [4]: 59: Larangan Melakukan Kudeta terhadap Pemerintah yang Sah

0
Larangan Kudeta
Larangan Kudeta

Kata taat dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa arab yakni ta-waw-‘ain (طوع) yang memiliki arti dengan sukarela, suka hati dan taat. Sedangkan kudeta dalam bahasa arab adalah inqilabu (انقلاب). Dalam KBBI online kata taat memiliki arti senantiasa tunduk kepada Tuhan pemerintah, tidak berlaku curang, setia dan sebaginya. Sedangkan kudeta, masih dalam KBBI, bermakna perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Jadi, mengudeta berarti melakukan perbutan kekuasaan dengan paksa dan tidak secara sah.

Sejalan dengan makna di atas, di dalam Al-Qur’an perintah menaati pemimpin terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4]: 59. Sedangkan kudeta, secara spesifik ayat Al-Qur’an tidak menyebutnya. Akan tetapi, menaati pemimpin/penguasa sejalan dengan untuk tidak mengkudeta pemimpin yang sah. Hal tersebut akan dieksplor dari ayat QS. An-Nisa’ [4]: 59.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Tafsir Surah An-Nisa [4]: 59

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Wajiz menafsirkan ayat di atas dengan menaati Allah melalui apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan menaati Rasulullah adalah menaati apa yang telah ditetapkan di dalam sunnah dengan penuh ketulusan. Adapun ulil amri dimaknai dengan menaati ulama’ yang memerintahkan kepada kebenaran dan kepada para pemimpin (penguasa) untuk memerintah agar taat kepada allah dan membawa kemaslahatan di dunia. Apabila terjadi perselisihan di dalam urusan agama dan dunia, maka kembalikanlah urusan tersebut berdasarkan kitab yang mulia (al-Qur’an) dan as-Sunnah (hadits) (Al-Wajiz, juz 5, hlm. 88).

Baca Juga: Kemuliaan Bekerja Sebagai Petani, Tafsir Surah Yasin Ayat 34-35

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata taatilah karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan keataatan Allah SWT atau Rasul SAW. Kata uli al-amr, menurut Shihab, adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang yang dapat diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bisa saja mereka adalah para penguasa/pemerintah, ulama, ataupun yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya (Al-Mishbah, vol. 2, hlm. 585).

Terhadap ayat di atas, Tafsir Kementerian Agama membagi ke dalam beberapa poin penjelasan. Pertama, taat dan patuh kepada perintah Allah dengan mengamalkan isi Kitab suci Al-Qur’an, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, sekalipun dirasa berat, tidak sesuai dengan keinginan dan kehendak pribadi. Sebenarnya segala yang diperintahkan Allah itu mengandung maslahat dan apa yang dilarang-Nya mengandung mudarat. Kedua, melaksanakan ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah saw pembawa amanat dari Allah untuk dilaksanakan oleh segenap hamba-Nya.

Ketiga, patuh kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan ulil amri yaitu orang-orang yang memegang kekuasaan di antara mereka, dengan syarat tidak bertentangan dengan Kitab Al-Qur’an dan hadis. Dan, keempat, kalau ada sesuatu yang diperselisihkan dan tidak tercapai kata sepakat, maka wajib dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadis. Kalau tidak terdapat di dalamnya haruslah disesuaikan dengan (dikiaskan kepada) hal-hal yang ada persamaan dan persesuaiannya di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw.

Refleksi Ayat

Di atas, penulis sudah mengemukakan bahwa tidak ada ayat al-Qur’an yang secara ekplisit memerintah larangan mengudeta pemimpin/pemerintah. Akan tetapi, QS. An-Nisā’ [4]: 59 yang memiliki beberapa point, salah satunya adalah menaati pemerintah, itu pun dengan catatan asal tidak bertentangan dengan Alqur’an dan Hadist.

Ini berarti larangan kudeta terhadap pemimpin yang sah sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang telah mengikrarkan agar setiap warganya taat terhadap para pemimpin. Dengan demikian, kalau al-Qur’an menempatkan taat kepada pemimpin setelah taat kepada Allah dan rasulnya maka ia juga berlaku keharaman untuk melakukan pemberontakan ataupun kudeta terhadap penguasa yang sah.

Baca Juga: Mengupas Makna Khauf dan Khashyah, 2 Kosakata Takut dalam Al-Quran

Dalam cakupan yang lebih kecil, misalnya keluarga, taat kepada ayah/ibu adalah sebuah kewajiban. Tapi, sekali lagi penulis tekankan, selama ketaatan terhadap kedua orang tua itu tidak bertentangan dengan larangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Artinya, ketaatan pada orang tua itu tidak mutlak. Kewajiban tersebut juga berbarengan dengan larangan membentak, durhaka, dan lain-lain. Seperti dalam QS. Al-Isra’ [17]: 23, fala taqul-lahuma uffin, dan janganlah sekali-kali kamu berkata “ah” kepada keduanya. Sedangkan dalam cakupan yang lebih luas, kata “ah” bisa kita artikan jangan memberontak/mengkudeta terhadap penguasa, baik itu presiden, gubernur, bupati, pak camat, kepala desa, kepala RW dan kepala RT.

Semangat larangan menaati pemimpin (kedua orang tua) tersebut bisa kita contoh dari wasiat Luqman terhadap anaknya yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Salah satu wasiat itu berbunyi, “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergauilah keduanya di dunia dengan baik……..(QS. Luqman [31]: 15).  

Alhasil, semangat menaati pemimpin/pemerintah juga mengandung semangat larangan untuk tidak mengkudetanya. Dengan catatan bahwa pemerintah yang berkuasa tidak berlaku zolim. Kalaupun berlaku zalim, Islam memperingatkan agar mengajak (memperingatkan) siapapun, baik itu penguasa ataupun orang biasa dengan mauizoh al-hasanah (nasehat-nasehat yang baik) juga bersabar (QS. An-Nahl [16]: 125. Semoga negara Indonesia selalu dijaga oleh Allah dan menjadi negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur, yakni negeri yang damai dan makmur berkat ampunan Rabb-Nya sehingga makhluk di dalamnya selalu mendapat kebaikan dan keberkahan. Wallahu’alam bish-showab.

Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab

0
Yesus dan Maria
Ilustrasi Maryam dan nabi Isa as (Yesus dan Maria)

Diskursus terkait hadirnya figur Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab; dan secara khusus dalam dinamika keberagamaan kita hari, merupakan term yang penting untuk diperbincangkan lebih lanjut. Perbincangan akan kedua term ini, yang dilakukan baik secara serius maupun serampangan dengan tidak didasarkan pada fakta-fakta dan pengetahuan, tentu saja menyimpan dampak yang tidak dapat dianggap sederhana. Tulisan ini berusaha melihat temuan-temuan Jon Armajani (Armajani, 2017) terkait sejauh mana kedua term ini diperbincangkan dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab, juga dalam para penganut masing-masing agama, dan dampak yang menyertainya.

Yesus dan Maria dalam Pandangan Al-Kitab dan Para Penganutnya

Jon Armajani dalam bagian ini menunjukkan ada setidaknya beberapa perbedaan dan persamaan yang dimunculkan oleh para penganutnya, baik itu dari kalangan Katolik Roma, Kristen Ortodoks Timur, Protestan, dan Anglikanisme, khususnya dalam term Maria. Adapun terkait term Yesus, meskipun menurutnya cukup signifikan, namun Jon Armajani tidak terlalu memperlihatkannya secara panjang lebar. Dua alasan mendasarnya, bahwa pertama, Maria sebagai seorang wanita, telah menarik perhatiannya pada aspek relasi gender di antara Muslim dan Kristen. Kedua, bahwa Maria merupakan tokoh penting dalam kedua agama ini karena telah melahirkan tokoh paling penting dalam Kristen, yakni Yesus; atau dalam Islam disebut dengan Isa yang mengajarkan cinta dan belas kasihan.

Istilah yang paling akrab; yang dinisbatkan kepada Maria dalam keyakinan kalangan Katolik Roma adalah ‘Wanita Suci yang dikandung tanpa noda’. Istilah ini penting untuk dihadirkan, sebagiamana tercantum dalam Katekismus Geraja Katolik tahun 1995 juga dalam apa yang diproklamirkan Paus Pius IX tahun 1854, bahwa dengan menjadikan Maria sebagai sosok yang tidak berdosa, ia akan menularkan keberdosaan tersebut kepada Yesus, anaknya. Dan karenanya, Yesus tidak akan berada dalam posisi untuk menebus dosa-dosa manusia melalui kehidupannya yang sempurna, penyaliban, dan kebangkitan.

Baca Juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Namun demikian, istilah yang dihadirkan oleh Katolik Roma atas Maria ditolak oleh kalangan Kristen Ortodoks Timur. Kalangan ini tidak memiliki otoritas tunggal sebagaimana Katolik Roma, dengan adanya Paus dan sumber tunggal ajaran teologis. Meskipun dalam memandang Maria memiliki persamaan, utamanya terkait dengan Maria sebagai ‘Perawan yang MahaKudus’, ‘perantara doa dan syafaat’, ‘Bunda Allah’, ‘Pemberi Kelahiran Allah’, namun dalam istilah ‘Wanita Suci yang dikandung tanpa noda’ bertentang dengan doktrin Kristologi Ortodoks Timur. Menurut kalangan ini, dengan menjadikannya sebagai sosok yang suci, ini justru dapat memisahkannya dengan umat manusia yang lain.

Bagian yang ambivalen dimunculkan oleh kalangan Protestan. Ada yang menerima istilah tersebut (Wanita Suci yang dikandung tanpa noda), pun ada yang menolaknya (mayoritas). Alasan mendasar dari kalangan adalah bahwa jika sesuatu tidak terdapat dalam Al-Kitab, hal tersebut sudah seharusnya ditolak. Untuk menjadikan Yesus sebagai yang tidak berdosa, istilah tersebut tidak perlu dihadirkan karena dengan mendasarkan pada Roh Kudus yang membersihkan dan berkuasa, dan sosok Maria yang mengandung Yesus sudah dianggap cukup untuk menghapuskan dosa-dosa Maria.

Kalangan Anglikanisme menempati posisi tengah dalam perbincangan ini. Posisi ini, tegas Jon Armajani, tidak kemudian menafikan adanya kesamaan pun perbedaan. Namun, poin pentingnya adalah bahwa mereka meyakini Yesus merupakan sosok perantara antara Tuhan dengan manusia; dan pada saat yang sama, mereka menolak segala bentuk interpretasi terkait Maria yang mengaburkan pesan ini. Namun, sebagaimana kalangan lainnya, mereka juga mengakui rahmat dan panggilan akrabnya bahwa Maria adalah ‘Bunda Allah yang Berinkarnasi’ dan sosok penuh kekudusan, ketaatan, dan iman.

Yesus dan Maria dalam Pandangan Al-Qur’an dan Para Penganutnya     

Sehubungan dengan ini, untuk menjelaskan bagaimana Al-Qur’an menceritakan mengenai sosok Yesus dan Maria, Jon Armajani merujuk kepada QS. Maryam [19]: 16-36; QS. Ali Imran [3]: 47; QS. Al-Hadid [57]: 27; QS. Az-Zukhruf [43]: 59; dan QS. Yunus [10]: 9-10. Alasan mendasar pemilihan keempat ayat ini, oleh Jon Armajani, dianggap sangat relevan dan dekat objek yang sedang ia kaji.

Pada referensi yang pertama, QS. Maryam [19]: 16-36, fokus dari Jon Armajani telah sampai pada adanya perdebatan yang dimunculkan oleh kalangan teolog muslim klasik-pertengahan ihwal ‘apakah Maryam seorang nabi atau bukan’. Kalangan yang tidak sepakat dengan adanya istilah tersebut memiliki dua alasan mendasar.

Pertama, meskipun Maryam (dalam Kristen: Maria) memiliki banyak keistemewaan yang berbeda dengan wanita yang diceritakan Al-Qur’an sebagaimana dalam pandangan kalangan yang mendukung bahwa Maryam adalah nabi, namun ia pada dasarnya tidak memiliki karakter bawaan yang dapat menjadikannya sebagai nabi. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah argumen ini tidak lantas bermaksud merendahkan Maryam. Kedua, capaian yang dianggap penting adalah bukan terletak pada apa yang ia terima, namun lebih kepada fakta bahwa ia telah melahirkan Isa (dalam Kristen: Yesus).

Lebih lanjut, pada referensi yang kedua, QS. Ali Imran [3]: 47, dalam pandangan Jon Armajani telah memperlihatkan kisah-kisah Maryam yang mengajarkan kepada Muslim tentang Tuhan. Kode ini terlihat dalam narasi Maryam yang memuji Kekuatan Tuhan atas penciptaan alam semesta dan Isa/Yesus hanya dengan mengatakan ‘Jadilah!’. Sementara pada QS. Al-Hadid [57]: 27, ini menunjukkan secara tegas ihwal Isa yang diutus Tuhan agar menjadikan teladan bagi Bani Israel tentang cinta dan belas kasih.

Yesus dan Maria dalam Dialog Muslim-Kristen

Secara mendasar, studi yang dilakukan Jon Armajani telah menemukan poin-poin penting perdebatan dalam dialog ini, utamanya terkait keilahian Yesus, trinitas, penyaliban Yesus, dan narasi khusus yang dihadirkan baik Al-Qur’an maupun Al-Kitab. Namun demikian, terlepas dari perdebatan tersebut, kedua agama ini memiliki kesepakatan paham, yakni berkaitan dengan kepercayaan akan adanya Tuhan yang satu, percaya akan hadirnya sosok nabi, percaya bahwa sosok Isa dalam Islam dan Yesus dalam Kristen merupakan sosok penting, kekhususan Maryam dalam sejarah aktivitas Tuhan.

Baca Juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Dalam perbincangan yang lain, utamanya terkait hubungan Yohanes 14:27 dengan QS. Yunus [10]: 9-10 telah menceritakan secara jelas ihwal Yesus. Poin penting dalam kedua kitab suci ini terletak pada kesamaannya dalam menjelaskan Yesus dan pesan-pesan kedamaian. Jon Armajani tidak menjelaskan secara lebih lanjut ihwal dialog yang dihasilkan dalam bagian ini. Sebab, menurutnya, ini sangat berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan siginifkansi yang menyertai para kalangan yang melakukan dialog.

Jika yang melakukan dialog memiliki basis pengetahuan yang cukup dan tujuan yang jelas, dampak yang dihasilkan mengarah pada hasil yang positif, seperti perdamaian, pembangunan peradaban, mencegah kekerasan, adanya keterjaminan hak di antara penganut masing-masing agama, dan pembangunan peradaban. Begitu pun sebaliknya.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 81-85

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 81-85 merupakan series terakhir dari tafsir surah ini yang berbicara tentang penegasan Allah akan keesaan-Nya yang sudah sesuai dengan akal pikiran manusia. Hanya saja, manusia itu sendiri yang enggan mentadabburi tanda-tanda dari keesaan Allah tersebut.

Tafsir Surah Ghafir Ayat 81-85 juga mengaskan bahwa sejatinya dalam diri manusia sudah tersistem sifat pengakuan ketauhidan Allah. Namun, karena kecongkakan, dan tertutup oleh kemewahan dunia, akhirnya banyak manusia yang menolak kebenaran tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 79-80


Ayat 81

Demikianlah Allah memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sebenarnya tidak ada satu pun di antara tanda-tanda itu yang tidak dapat dilihat atau tidak sesuai dengan akal pikiran, sehingga tidak ada jalan bagi manusia untuk mengingkarinya. Jika mereka mengingkarinya, maka alasan keingkaran itu hanyalah alasan yang dicari-cari.

Ayat 82

Melalui ayat ini, Allah mempertanyakan apakah orang-orang musyrik Mekah, yang mengingkari ayat-ayat Allah yang disampaikan kepada mereka, tidak pernah berjalan dan bepergian ke negeri-negeri lain?

Sebenarnya mereka adalah para perantau dan para musafir yang telah pergi ke berbagai negeri dalam melakukan perdagangan. Mereka pergi ke Yaman, Arab Selatan, dan Syria pada setiap musim dan waktu, sesuai dengan bentuk perdagangan waktu itu.

Dalam perjalanan mereka melalui negeri-negeri yang pernah didiami oleh umat-umat dahulu, seperti negeri kaum ‘Ad, Samud, penduduk Aikah, Mesir, Babilonia, dan sebagainya.

Dari bekas-bekas reruntuhan yang mereka lihat di negeri itu, dan cerita yang mereka terima dari leluhurnya, mereka mengetahui bahwa di negeri-negeri itu pernah ada umat-umat yang gagah perkasa, berkebudayaan tinggi, dan telah menaklukkan negeri-negeri sekitarnya.

Mereka memahat gunung untuk rumah-rumah mereka, membuat piramida-piramida yang kokoh, dan sebagainya. Akan tetapi, karena keingkaran kepada rasul-rasul Allah yang diutus, maka mereka pun ditimpa azab Allah.

Di saat itu, tidak ada sesuatu pun yang dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah. Orang-orang musyrik Mekah, yang belum dapat menandingi hasil yang pernah dicapai oleh umat-umat dahulu itu, akan mengalami nasib seperti mereka jika tetap mengingkari kerasulan Muhammad saw. Tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah itu.

Ayat 83

Dalam ayat ini disebutkan bahwa kepada umat-umat terdahulu telah datang rasul-rasul yang diutus Allah dengan membawa dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang kuat dan nyata.

Akan tetapi, mereka tetap mengingkarinya bahkan menentang seruan para rasul itu. Mereka memperlihatkan kepada para rasul itu betapa kuatnya keyakinan mereka terhadap agama yang mereka anut.

Mereka menyangka bahwa ilmu yang mereka peroleh itu adalah ilmu yang tiada tara sehingga mereka memperolok-olokkan para rasul itu. Orang-orang kafir itu akan ditimpa azab yang berat di akhirat.

Ucapan-ucapan mereka itu disebutkan dalam firman Allah:

وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُ

… Dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. (al-Jatsiyah/45: 24);Dan firman Allah:

لَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَآ اَشْرَكْنَا وَلَآ اٰبَاۤؤُنَا

…Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami… (al-An’am/6: 148)

Baca Juga :

Ayat 84

Ayat ini menerangkan watak dan kepercayaan manusia yang sebenarnya kepada Allah. Manusia pada dasarnya mempercayai bahwa Tuhan itu adalah Esa, Dialah Yang Mahakuasa dan yang memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya.

Kepercayaan itu dapat tertutupi oleh keadaan yang memengaruhi kehidupan manusia. Jika sedang berkuasa, kaya, dan dikuasai oleh hawa nafsunya, mereka lupa kepada Allah, bahkan mencari tuhan-tuhan yang lain yang akan disembah, sesuai dengan tuntutan hawa nafsunya.

Jika mereka ditimpa bahaya, malapetaka, kesedihan, dan sebagainya, mereka kembali ingat dan menghambakan diri kepada Tuhan yang menciptakannya. Di saat itu pula mereka mengingkari tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.

Banyak contoh dan perumpamaan yang dikemukakan Allah dalam ayat-ayat-Nya sehubungan dengan hal ini. Banyak pula orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang demikian, seperti Fir’aun, Karun, dan sebagainya.

Ayat 85

Ayat ini menegaskan bahwa pengakuan iman orang-orang seperti diterangkan ayat di atas, tidak ada manfaatnya lagi jika azab Allah telah datang. Pintu tobat telah tertutup bagi mereka, seperti firman Allah kepada Fir‘aun waktu ia akan tenggelam:

حَتّٰىٓ اِذَآ اَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ اٰمَنْتُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا الَّذِيْٓ اٰمَنَتْ بِهٖ بَنُوْٓا اِسْرَاۤءِيْلَ وَاَنَا۠ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ  ٩٠  اٰۤلْـٰٔنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ  ٩١

…Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata, “Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang Muslim (berserah diri).” Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan. (Yunus/10: 90-91).

Ayat ini memberi peringatan bahwa iman itu akan berfaedah bagi seseorang apabila ia beriman kepada Allah dalam kehidupannya di dunia yang fana ini, pikiran dan hatinya merasakan kebesaran dan kekuasaan Allah dan ia merasa bahwa hidup dan matinya bergantung pada-Nya.

Jika melakukan kesalahan, ia pun segera bertobat dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan lagi.

Yang diterangkan itu adalah hukum-hukum Tuhan yang berlaku bagi semua orang. Iman itu tidak ada faedahnya lagi di kala mereka melihat azab. Pada saat itu tidak ada lagi gunanya iman dan semua orang-orang yang kafir akan merugi.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ghafir Ayat 77-78

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 77-78 berbicara tentang seruan Allah kepada Rasul-Nya agar senantiasa bersabar menghadapi kaum yang ingkar, dan Allah menjanjikan perlindungan bagi para utusan itu. Terhitung, ada begitu banyak Nabi dan Rasul yang pernah diutus untuk mendakwahkan ketauhidan Allah, akan tetapi yang diceritakan oleh al-Qur’an hanya 25, dan wajib untuk diimani.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Ghafir Ayat 70-76


Ayat 77

Allah memerintahkan para rasul-Nya agar bersabar dalam meng-hadapi tindakan orang-orang musyrik yang mendustakan dan membantah ayat-ayat-Nya.

Para rasul juga diminta bersabar dan bertawakal menghadapi gangguan dan ancaman-ancaman mereka. Allah menyatakan bahwa janji-Nya untuk mengazab orang-orang kafir pasti benar dan terlaksana.

Allah mengatakan kepada Nabi saw bahwa jika Ia memperlihatkan kepadanya, di waktu Nabi masih hidup, azab yang ditimpakan kepada orang-orang musyrik, atau tidak diperlihatkan kepada Nabi azab itu dengan mewafatkannya sebelum kedatangan azab itu, maka hal itu tidak berarti apa-apa bagi mereka.

Pada hari Kiamat semuanya kembali kepada Allah, lalu diberikan kepada mereka balasan yang setimpal.

Ayat lain yang searti dengan ayat ini ialah:

فَاِمَّا نَذْهَبَنَّ بِكَ فَاِنَّا مِنْهُمْ مُّنْتَقِمُوْنَۙ ٤١ اَوْ نُرِيَنَّكَ الَّذِيْ وَعَدْنٰهُمْ فَاِنَّا عَلَيْهِمْ مُّقْتَدِرُوْنَ   ٤٢

Maka sungguh, sekiranya Kami mewafatkanmu (sebelum engkau mencapai kemenangan), maka sesungguhnya Kami akan tetap memberikan azab kepada mereka (di akhirat), atau Kami perlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Maka sungguh, Kami berkuasa atas mereka. (az-Zukhruf/43: 41-42)


Baca Juga : Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 41


Ayat 78

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus para rasul dan nabi kepada umat-umat sebelum Nabi Muhammad.

Di antara nabi dan rasul itu yang diterangkan kisahnya di dalam Al-Qur’an sebanyak 25 rasul, seperti Nabi Nuh, Idris, Ibrahim, Musa, Sulaiman, Isa, dan rasul-rasul yang lain.

Di samping itu, banyak di antara para nabi dan rasul itu yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ كَمْ عِدَّةُ الْأَنْبِيَاءِ؟ قَالَ: مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ أَلْفًا، اَلرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَثُمِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيْرًا. (رواه أحمد)

Dari Abu ªar bahwa ia berkata, “Aku bertanya, “Ya Rasulullah berapa jumlah nabi-nabi itu?” Rasulullah saw menjawab, “124 ribu dan yang menjadi rasul di antaranya ialah 315 orang”. Sebuah jumlah yang banyak.” (Riwayat Ahmad).

Setiap rasul yang diutus Allah itu tidak sanggup menciptakan mukjizat sendiri, tetapi bisa diberikan oleh Allah. Mukjizat itu sebagai bukti kerasulan yang dikemukakan kepada kaum yang mendustakannya.

Bentuk dan sifat mukjizat itu disesuaikan dengan keadaan, masa, dan tempat di mana rasul penerimanya hidup, sehingga mukjizat itu benar-benar diyakini oleh umat pada waktu itu.

Mukjizat itu diberikan jika Allah sendiri berkehendak memberikannya. Jika Allah belum berkehendak memberikannya, maka mukjizat itu tidak akan diberikannya walaupun orang-orang kafir memintanya.

Mukjizat itu diberikan sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah dan sesuai pula dengan kemaslahatan umat.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa jika azab Allah telah datang menimpa orang-orang yang mendustakan-Nya, maka Allah menyelesaikan perkara mereka dengan seadil-adilnya.

Allah menyelamatkan para rasul dan orang-orang yang beriman kepadanya dari azab itu, serta membinasakan orang-orang yang ingkar dan mempersekutukan-Nya. Hal ini dapat dilihat pada waktu azab Allah menimpa kaum ‘Ad, Allah menyelamatkan Nabi Hud dan orang-orang yang beriman yang bersamanya. Demikian pula azab yang menimpa kaum Samud dan sebagainya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 78-80


Tafsir Surah Ghafir Ayat 66-69

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 66-69 menegaskan kembali kekuasaan Allah, bahwa Dialah Tuhan yang sepatutnya untuk disembah, Tuhan yang menciptakan manusia dari ketiadaan menjadi ada. Maka, tidaklah pantas jika manusia menyembah berhala sebagai tuhan, padahal berhala itu hanyalah patung yang mereka buat sendiri, bahkan tidak bisa memberi manfaat sedikitpun kepada mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 62-65


Ayat 66

Pada ayat-ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang musyrik dan orang-orang kafir bahwa Allah melarangnya menyembah tuhan yang mereka sembah, selain dari Allah.

Pengertian menyembah tuhan-tuhan selain Allah itu ialah menghambakan diri kepada sesuatu, menganggapnya mempunyai kekuatan gaib seperti kekuatan Allah, memohon pertolongan, dan meminta sesuatu kepadanya.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa tuhan-tuhan itu berupa patung-patung. Akan tetapi, pengertian ini mencakup segala macam benda atau makhluk yang disembah dan dimohon pertolongan kepadanya, seperti sungai-sungai, batu-batu keramat, kuburan yang dianggap keramat, dan sebagainya.

Selanjutnya Rasulullah diperintahkan untuk menyatakan bahwa Allah melarangnya menyembah selain Allah, dan mengemukakan bukti-bukti dan dalil-dalil berupa ayat-ayat Al-Qur’an, maupun berupa perintah agar memperhatikan kejadian alam ini.

Dengan merenungkan kejadian alam dan ayat-ayat Al-Qur’an, maka orang akan sampai kepada kesimpulan bahwa yang berhak disembah itu hanyalah Allah semata.

Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan agar tunduk dan patuh kepada-Nya, memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, karena Dialah Tuhan Pemilik semesta alam.

Ayat 67

Dialah yang menjadikan manusia dari tanah, menjadi setetes mani, dari setetes mani menjadi sesuatu yang melekat, dan segumpal darah menjadi segumpal daging, kemudian dilahirkan ke dunia dalam bentuk manusia.

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Allah men-ciptakan manusia dari tanah ialah bapak manusia yaitu Adam yang diciptakan Allah dari tanah.

Sebagian ahli tafsir menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan Allah menjadikan manusia dari tanah ialah Allah menjadikan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah.

Seorang bapak dan seorang ibu memakan makanan yang berasal dari tanah, dari binatang ternak, dan tumbuh-tumbuhan. Binatang ternak memakan tumbuh-tumbuhan dan berkembang dengan menggunakan zat-zat yang berasal dari tanah.

Makanan yang dimakan ibu atau bapak itu merupakan sumber utama untuk membentuk sel telur atau sperma. Sel telur ibu bertemu dengan sperma bapak dalam rahim ibu, sehingga menjadi segumpal darah dan seterusnya.

Allah lalu menerangkan bahwa manusia yang diciptakan-Nya dari tanah itu mengalami hidup dalam tiga masa; yaitu:

  1. Masa kanak-kanak.
  2. Masa dewasa.
  3. Masa tua.

Baca Juga : Sejarah dan Dinamika Tradisi Kelisanan Al-Qur’an dari Masa ke Masa


 Di antara manusia ada yang diwafatkan Allah pada masa kanak-kanak, ada pula pada masa dewasa, dan ada yang diwafatkan setelah berusia lanjut. Ketentuan kapan seorang manusia meninggal itu berada di tangan Allah semata.

Proses kejadian manusia itu diterangkan dalam ayat ini agar dapat menjadi bahan renungan dan pemikiran bagi orang-orang yang berakal, sehingga mereka beriman kepada Allah Pencipta seluruh makhluk.

Ayat 68

Allah memerintahkan agar Rasulullah menyampaikan kepada orang-orang musyrik bahwa Allah yang wajib disembah itu adalah Tuhan Yang menghidupkan manusia dari tidak ada kepada ada, menghidupkan kembali sesudah matinya, dan mematikan seluruh makhluk pada waktu-waktu yang telah ditentukan-Nya.

Dia adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pencipta. Jika berkehendak menciptakan sesuatu, Allah cukup mengatakan, “Jadilah,” maka jadilah sesuatu itu.

Ayat 69

Allah memerintahkan agar Rasulullah menyampaikan kepada orang-orang musyrik bahwa Allah yang wajib disembah itu adalah Tuhan Yang menghidupkan manusia dari tidak ada kepada ada, menghidupkan kembali sesudah matinya, dan mematikan seluruh makhluk pada waktu-waktu yang telah ditentukan-Nya.

Dia adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pencipta. Jika berkehendak menciptakan sesuatu, Allah cukup mengatakan, “Jadilah,” maka jadilah sesuatu itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 70-76


Perdebatan Tentang Kehujjahan Qira’at Syazzah dalam Penafsiran Al-Quran

0
Perdebatan Tentang Kehujjahan Qira’at Syazzah dalam Penafsiran Al-Quran
Perdebatan Tentang Kehujjahan Qira’at Syazzah dalam Penafsiran Al-Quran

Telah kita ketahui bersama, al-Quran diturunkan dengan tujuh ragam hurf (dialek) (al-Qattan, 2019: 224), namun tidak serta merta seluruh qira’at (ragam bacaan) boleh digunakan, baik dalam salat maupun di luar salat.

Ada dua macam qira’at; pertama, qira’at sab’ah. Adapun jika dengan tambahan tiga ragam dialek, disebut qira’atasyarah atau qira’at yang sepuluh; kedua, adalah qira’at syazzah, yakni qira’at yang sanad-nya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, namun menyalahi rasm utsmani.

Rasm Utsmani sendiri merupakan penulisan mushaf al-Quran dengan mengikuti kaidah-kaidah yang digunakan pada masa Utsman bin Affan (Ahsin Sakho, 2019: 105). Ini sebagai upaya beliau menyeragamkan dialek al-Quran, serta upaya menjaga bacaan muthawatirah.

Bisa dikatakan, qira’at syazzah merupakan qira’at yang memiliki kecacatan atau tidak memenuhi tiga persyaratan, yaitu shahih sanad-nya, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan tidak menyalahi rasm Utsmani. Lantas, apakah qira’at yang tergolong sebagai syazzah dapat digunakan sebagai hujjah (pedoman), baik pedoman penafsiran maupun penetapan suatu hukum?

Baca juga: Menelisik Pengertian, Sejarah dan Macam-Macam Qira’at

Bolehkah qira’at syazzah dijadikan hujjah?

Kalangan ulama berbeda pandangan dalam menanggapi kebolehan qira’at syazzah digunakan sebagai hujjah penafsiran ataupun penetapan hukum. Kebanyakan ulama memahami bahwa qira’at syazzah tidak boleh digunakan sebagai bacaan dalam salat maupun di luar salat. Hal ini dikarenakan qira’at syazzah bukan termasuk al-Quran, karena mestinya al-Quran disampaikan secara mutawatirah.

Hasanuddin AF menguraikan, sebagian ulama memahami bahwa membaca qira’at syazzah tidak diperbolehkan, jika yang dibaca menyangkut bacaan yang wajib dibaca dalam salat. Dan sebaliknya, dibolehkan membaca qira’at syazzat apabila yang dibaca bukan tergolong bacaan yang wajib dibaca dalam salat.

Adapun Dr. Romlah Widayati–dosen ahli qira’at di Institut Ilmu Quran Jakarta–dalam bukunya membuktikan bahwa qira’at syazzah yang dipandang asing, dapat dijadikan hujjah (pedoman) dalam menafsirkan al-Quran, bahkan dapat pula dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.

Sementara menurut Hasanuddin, kalangan Syafi’iyyah menyatakan ketidakbolehan qira’at syazzah dijadikan pedoman dalam menetapkan sebuah hukum (Hassanuddin AF, 1995: 171). Karena menurut mereka, qira’at syazzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar dari Nabi saw. Dan al-Quran mestinya diriwayatkan secara mutawatirah–periwayatannya dari banyak orang ke banyak orang, sehingga mustahil kedustaannya–sedangkan qira’at syazzah tidak demikian.

Sementara kalangan Hambaliyah dan Hanafiyah berpendapat, qira’at syazzah dapat dijadikan hujjah atau dalil untuk menetapkan hukum. Menurut pandangan mereka, qira’at syazzah itu merupakan qira’at yang tidak diakui ke-Quranan-nya karena memang tidak diriwayatkan secara mutawatirah. Akan tetapi, ia berkedudukan sebagai khabar ahad dari Nabi Muhammad saw. Dan beramal dengan khabar ahad adalah wajib (Hasanuddin AF, 1995: 170-171).

Oleh karena itu, Hasanuddin AF dalam bukunya “Anatomi al-Quran”, berkomentar bahwa terlepas dari apakah qira’at syazzah merupakan khabar ahad atau bukan, ia sementara jelas tidak tergolong sebagai al-Quran. Menurutnya, ide sementara sahabat memasukkan qira’at tersebut dalam mushaf mereka dan meriwayatkannya sebagai al-Quran (meski tergolong bukan al-Quran), minimal dapat digolongkan sebagai mazhab atau qawl sahabat yang bisa dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan hukum (Hasanuddin AF, 1995).

Baca juga: Mengenal Qira’at Syadzadzah dan Kedudukannya sebagai Hujjah dalam Kajian Romlah Widayati

Contoh penafsiran ayat menggunakan qira’at syazzah

Adapun contoh dari qira’at syazzah yang berpengaruh dalam penetapan hukum adalah seperti dalam penafsiran QS. Al-Maidah [5] ayat 89,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغْوِ فِىٓ أَيْمَٰنِكُمْ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلْأَيْمَٰنَ ۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيْمَٰنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَٱحْفَظُوٓا۟ أَيْمَٰنَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Prof. Quraish Shihab menguraikan, ayat di atas antara lain menjelaskan persoalan, apabila seseorang bersumpah dengan sengaja–jika ucapan yang memang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, maka tidak mendapat kafarat–kemudian melanggar atau membatalkan sumpahnya, maka diwajibkan atas mereka untuk membayar kafarat atau denda (Shihab, 2004, 189). Adapun salah satu–opsi–denda yang dimaksud adalah berpuasa selama tiga hari.

Di sini, kalangan ulama berselisih pandangan, dalam memandang ketentuan puasa itu dilaksanakan, apakah tiga hari berturut-turut atau tidak. Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat, bahwa pelaksanaan puasa selama tiga hari sebagai kafarat sumpah, tidaklah disyaratkan harus berturut-turut. Jadi jika batal pada hari kedua, maka tidak diwajibkan mengulangi puasa lagi.

Menurut mereka, puasa dapat dilaksanakan secara terpisah. Adapun alasan yang mereka kemukakan adalah pemahaman terhadap zahir ayat di atas (فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ) yang tidak mengharuskan untuk melaksanakan puasa tersebut secara berturut-turut.

Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat berbeda, yakni pelaksanaan puasa kafarat harus dilaksanakan secara berturut-turut. Karena itu, jika puasa kafarat dilaksanakan secara terpisah, maka kafaratnya tidak sah.

Pendapat ini didasarkan pada qira’at Ubayy dan Abdullah bin Mas’ud, yaitu (فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٍ متتابعات) dengan ada tambahan lafadz mutatabi’at (متتابعات). Yang mana, menurut mereka, meskipun qira’at tersebut tidak mutawatir, namun qira’at tersebut menempati kedudukan sebagai hadis ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Menurut sementara ulama, qira’at yang tergolong syazzah dapat diterima keberadaannya, hanya saja tidak diakui ke-quraniyah-annya (ke al-Quran-annya). Sebagaimana pendapat sebagian ulama yang memandang qira’at syazzah sebagai khabar ahad atau sebagai penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. ketika menyampaikan al-Quran.

Sebagaimana komentar Ibnu Qudamah terhadap qira’at Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab dalam ayat di atas, bahwa tambahan lafadz (متتابعات) mutatabi’at boleh jadi sebagai tafsiran atau penjelasan dari Nabi Muhammad saw. yang demikian berkedudukan sebagai khabar ahad.

Baca juga: Membaca Aktivitas Tafsir Lisan Nabi Muhammad SAW