Beranda blog Halaman 193

Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

0
Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa
Maraknya Religious Hate Speech

Sempat ramai menjadi perbincangan terkait dengan Religious Hate Speech (RHS) atau ujaran kebencian berbasis agama. Nasaruddin Umar (2019: 2-7) dalam bukunya “Jihad Melawan Religious Hate Speech” menjelaskan bahwa Religious Hate Speech merupakan ungkapan atau syiar kebencian yang dialamatkan kepada perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan tuduhan terhadap agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut keagamaan lainnya.

Pihak yang melakukan RHS seringkali melakukan justifikasi atau tuduhan kepada pihak yang tidak sejalan atau sepaham dengan golongannya. Ada banyak contoh tindakan Religious Hate Speech, misalnya pengkafiran terhadap kelompok Syi’ah, penyesatan terhadap sejumlah tradisi keagamaan NU, dan berbagai fenomena ujaran kebencian yang lain (Umar, 2019: 11). Pada akhirnya, ujaran kebencian berbasis agama akan melahirkan sikap-sikap yang intoleran, bahkan radikal dalam beragama.

Padahal, sejatinya sesama umat beragama tidaklah pantas saling menebar kebencian. Ketika melihat ada kelompok yang salah, semestinya ditegur atau diluruskan dengan cara yang halus bukan dengan menghina, apalagi mengkafirkan orang lain. Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. melukiskan keindahan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun, yang tercantum dalam QS. Thaha [20]: 44 sebagai berikut.

اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

Artinya: “43.  pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; 44.  maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thaha [20]: 43-44).

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Tafsir QS. Thaha [20]: 44 tentang Qaulan Layyina

Al-Qurthubi (2008: 535) dalam tafsirnya menjelaskan ada beberapa hal yang terkait dengan kedua ayat tersebut di antaranya:

Pertama, firman Allah Swt, اِذْهَبَآ “pergilah kamu berdua” pada permulaan ayat tersebut merupakan perintah Allah Swt. kepada Nabi Musa dan Harun untuk melaksanakan dakwah kepada Fir’aun. Pada mulanya Allah hanya menunjukkan kepada Nabi Musa saja sebagai penghormatan kemudian mengulangi perintah ini sebagai penegasan. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa dengan ini Allah menjelaskan, tidaklah cukup hanya dengan keberangkatan salah satunya. Sehingga perintah ini pun ditujukan kepada Nabi Musa bersama Nabi Harun.

Kedua, firman Allah Swt, فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا “maka berbiacaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut” menunjukkan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Dan hal itu dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut, bahkan terhadap orang yang mempunyai kekuatan. Untuk itu, ada jaminan keterpeliharaan dari Allah Swt. untuk keduanya.

Wahbah Az-Zuhaili (2013: 479-480) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun untuk membatalkan klaim Fir’aun yang mengakui dirinya sebagai Tuhan. Fir’aun telah melampaui batas dalam kekafiran, pembangkangan, dan bersikap sombong, yaitu ketika dia berkata, “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24). Klaim tersebut dibatalkan dengan hujjah dan bukti yang dibawa keduanya.

Allah Swt. kemudian menjelaskan cara berdakwah kepada keduanya, yaitu agar menyampaikan dakwah tersebut dengan lemah lembut dan hendaknya meninggalkan kata-kata kasar, sebagaimana ungkapan keduanya dalam ayat, “Maka katakanlah (kepada Fir’aun), “Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan), dan engkau akan kupimpin  ke jalan Tuhanmu agar engkau takut kepada-Nya?” terdapat dalam QS. An-Nazi’at ayat 18 sampai 19. Karena dengan perkataan yang lembut itu lebih dapat diterima dan membuatnya berpikir tentang apa yang disampaikan oleh Nabi Musa dan Harun.

Quraish Shihab (2005: 307) juga menambahkan bahwa ayat tersebut berbicara tentang penyampaian dakwah yang lemah lembut guna menunjukkan suatu simpati. Hal ini bukan berarti seorang juru dakwah tidak boleh melakukan kritik terhadap sesuatu yang tidak benar, hanya saja harus disampaikan dengan tepat, bukan saja pada kandungannya, tetapi juga pada waktu dan tempatnya, serta susunan atau redaksi kata yang dipilih.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Model Dakwah Nabi Musa dan Harun yang Lemah Lembut

Jika ditelaah, sejatinya model komunikasi yang dicontohkan oleh Nabi Musa dan Harun dalam ayat tersebut sangatlah bijak. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana keduanya menyikapi Fir’aun yang sama sekali menolak agama Allah, masih disikapi dengan cara yang lemah lembut.

Sikap yang lemah lembut tersebut ditandai dengan ucapan-ucapan yang sopan dan tidak menyakiti atau memojokkan sasaran dakwah. Demikian model komunikasi yang digunakan yang dinarasikan Al-Quran dengan qaulan layyina (Sukandar & Hori, 2020: 30).

Shihab, sebagaimana dalam tafsirnya terhadap QS. Thaha: 43-44 tersebut juga menjelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran adalah dengan cara yang menyejukkan, tidak memaki dan memojokkan.

Kontekstualisasi dari kandungan ayat ini adalah ketika kita melihat sebuah perbedaan atau kesesatan sekalipun, hendaknya diberikan solusi dengan cara-cara yang bijak, bukan dengan menebar kebencian. Begitu pula ketika menanggapi kebencian berbasis agama, maka balaslah dengan kelembutan, berikan konfirmasi yang jelas serta sopan, bukan dengan balik melontarkan kebencian baru.

Bahkan Nabi Musa dan Harun sebagai orang paling saleh masa itu masih menggunakan komunikasi yang ramah, lembut, dan sopan ketika menghadapi manusia yang mengaku Tuhan. Maka sepantasnya model dakwah yang telah dicontohkan dalam al-Qur’an ini juga diimplementasikan untuk meredam maraknya religious hate speech.

Penutup

Perkataan yang lemah lembut (qaulan layyina), tidak kasar, dan menyejukkan tentu akan lebih mudah diterima ketika disampaikan. Sebab dengan kelemahlembutan akan menjadikan sesuatu yang disampaikan lebih mudah dicerna dan tidak seperti menghakimi orang lain.

Model dakwah Nabi Musa dan Harun semestinya dapat menjadi percontohan untuk menggaungkan dakwah yang humanis, mendidik, dan berbasis moderat di tengah banyaknya kebencian yang berlandaskan agama. Terlebih di media sosial, pemilihan redaksi sangat diperlukan untuk meredam berbagai perpecahan. Wallahu A’lam.

Baca juga: Inilah Metode Dakwah Ideal Menurut Al-Quran, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125

Tafsir Surah Fussilat Ayat 11

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 11 berbicara mengenai proses penciptaan langit. Proses penciptaan ini juga dijelaskan menurut teori ilmu pengetahuan.


Baca sebelumya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 9-10


Ayat 11

Pada ayat ini Allah menerangkan keadaan langit. Setelah Allah menciptakan bumi Dia menuju ke langit, waktu itu langit berupa asap. Bagaimana keadaan asap itu dan apa hakikatnya, hanya Allah sajalah yang mengetahui-Nya.

Sekalipun ada yang mencoba menerangkan keadaan asap yang dimaksud, baik yang dikemukakan oleh pendeta-pendeta Yahudi, maupun oleh para ahli yang telah mencoba menyelidikinya, namun belum ada keterangan yang pasti yang menerangkan keadaan dan hakikat asap itu.

Menurut teori ilmu pengetahuan, ayat di atas menggambarkan mengenai permulaan alam semesta.  Peristiwa tersebut ditandai dengan terjadinya peristiwa yang oleh para ilmuwan disebut Big Bang.

Peristiwa tersebut sangat jelas terlihat pada surah al-Anbiya’/21 ayat 30 yang penggalannya berbunyi demikian: “….bahwa langit dan bumi keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian Kami pisahkan…” .

Ilmu kosmologi modern, baik dari pengamatan maupun teori, secara jelas mengindikasikan bahwa pada suatu saat, seluruh alam semesta terdiri hanya dari awan dari “asap” yang terdiri atas komposisi gas yang padat dan sangat panas.

Kumpulan ini terdiri atas sejumlah besar kekuatan atom yang saling berkaitan dan berada di bawah tekanan yang sangat kuat. Jari-jari kumpulan yang berbentuk bola ini diperkirakan sekitar 5 juta kilometer.

Cairan atom pertamanya berupa ledakan dahsyat (yang biasa disebut Big Bang), dan mengakibatkan terbentuk dan terpencarnya berbagai benda langit. Hal ini sudah menjadi prinsip yang teruji dan menjadi dasar dalam kosmologi modern.

Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, para peneliti saat ini dapat menyaksikan “kelahiran” bintang dengan menggunakan teleskop yang sangat canggih.  Teori mengenai bentukan “asap” sebagai asal-muasal suatu bintang, juga telah disebutkan dalam Surah Fu¡¡ilat/41: 11 di atas.

Karena bumi dan langit di atasnya (matahari, bulan, bintang, planet, galaksi, dan sebagainya) terbentuk dari “asap” yang sama, maka para pakar menyimpulkan bahwa bumi dan isi langit seluruhnya adalah satu kesatuan sebelumnya.

Dari material “asap” yang sama ini, kemudian mereka terpisah satu sama lain. Hal yang demikian ini juga telah diungkapkan oleh Al-Qur’an dalam Surah al-Anbiy±’/21: 30 tersebut di atas.

Pada ayat ini, seolah-olah Allah menerangkan bahwa bumi lebih dahulu diciptakan dari langit dengan segala isinya, termasuk di dalamnya matahari, bulan, dan bintang-bintang. Ayat yang lain menerangkan bahwa Allah menciptakan langit lebih dahulu dari menciptakan bumi.


Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi


Oleh karena itu, ada sebagian mufasir yang mencoba mengompromikan kedua ayat ini. Menurut mereka, dalam perencanaan, Allah lebih dahulu merencanakan bumi dengan segala isinya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Allah menciptakan langit dengan segala isinya lebih dahulu, kemudian sesudah itu baru menciptakan bumi dengan segala isinya.

Setelah selesai menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya, Allah memerintahkan keduanya untuk datang kepada-Nya, baik dalam keadaan senang maupun terpaksa.

Langit dan bumi mengatakan bahwa mereka akan datang dengan tunduk dan patuh. Kemudian Allah bertitah kepada langit, “Perhatikanlah sinar mataharimu, cahaya bulanmu, cahaya gemerlap dari binatang-bintang, hembuskanlah anginmu, edarkanlah awanmu, sehingga dapat menurunkan hujan.”

Allah berfirman pula kepada bumi, “Alirkanlah sungai-sungaimu, serta tumbuhkanlah tanaman-tanaman dan pohon-pohonmu.” Keduanya menjawab, “Kami penuhi segala perintah-Mu dengan patuh dan taat.”

Sebagian ahli tafsir menafsirkan “datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka atau terpaksa” dengan “jadilah kamu keduanya menurut Sunnah-Ku yang telah Aku tetapkan, jangan menyimpang sedikit pun dari ketentuan-Ku itu, ikutilah proses-proses kejadianmu sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.”

Dengan kata lain dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan kepada langit dan bumi untuk menyempurnakan kejadiannya sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan, seperti bumi akan tercipta pada saatnya, demikian pula gunung-gunung, air, udara, binatang-binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan.

Semuanya akan terjadi pada waktu yang ditentukan-Nya, tidak ada satu pun yang menyimpang dari ketentuan-Nya.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kejadian langit dan bumi itu, mulai dari terjadinya sampai kepada bentuk yang ada sekarang, melalui proses-proses tertentu sesuai dengan sunah Allah.

Segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit akan ada pada waktunya, dan akan hilang atau musnah pada waktunya pula, sesuai dengan keadaan langit dan bumi pada waktu itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 12


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fussilat Ayat 9-10

0
Tafsir Surah Fussilat
Tafsir Surah Fussilat

Tafsir Surah Fussilat Ayat 9-10 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang keingkaran orang-orang kafir. Kedua mengenai keindahan dan hukum-hukum alam yang berlaku pada.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 7-8


Ayat 9

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menanyakan kepada orang-orang musyrik Mekah kenapa mereka mengingkari Allah yang telah menciptakan bumi dalam dua hari. Kenapa mereka menyembah tuhan-tuhan yang lain di samping menyembah Allah? Padahal Allah Maha Suci dari segala sesuatu.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menjadikan bumi pada ayat ini ialah menciptakan wujudnya, dan yang dimaksud dengan “hari atau masa” dalam ayat ini ialah waktu, karena hari dan malam belum ada di saat langit dan bumi diciptakan.

Makna pembentukan bumi dalam waktu dua hari, dapat ditafsirkan secara ilmiah bahwa pembentukan bumi ini terjadi pada dua periode atau dua masa. Hari pertama adalah masa ketika sekitar 4,6 miliar yang lampau, awan debu dan gas yang mengapung di ruang angkasa mulai mengecil (lihat penjelasan dalam al-A’raf/7: 54 tentang pembentukan langit dan bumi dalam enam masa).

Materi pada pusat   awan itu mengumpul menjadi matahari dan sisa gas dan debunya memipih berbentuk cakram di sekitar matahari. Kemudian butir-butir debu dalam awan itu saling melekat dan membentuk planetisimal yang kemudian saling bertabrakan membentuk planet, di antaranya adalah bumi.

Hari kedua diawali ketika proses pemanasan akibat peluruhan radioaktif  menyebabkan proto bumi meleleh, dan bahan-bahan yang berat seperti besi tenggelam ke pusat bumi sedangkan yang ringan seperti air dan karbondioksida beralih ke luar. Planet bumi kemudian mendingin dan sekitar 2,5 miliar tahun yang lampau bumi terlihat seperti apa yang kita lihat sekarang ini.

Pertanyaan yang disampaikan kepada orang-orang musyrik pada ayat ini, tidak bermaksud untuk bertanya, tetapi untuk mencela perbuatan mereka menyembah berhala.

Seakan-akan dikatakan kepada mereka bahwa bukankah mereka telah mengetahui dengan pasti bahwa berhala-berhala yang mereka sembah itu terbuat dari batu yang tidak dapat berbuat sesuatu pun, bahkan berhala itu mereka sendiri yang membuatnya, mengapa mereka sembah yang demikian itu.

Jika mereka mau menghambakan diri, maka hambakanlah kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan yang menentukan segala sesuatu.

Tuhan yang berhak mereka sembah ialah Allah yang menciptakan, menguasai, mengatur, memelihara kelangsungan adanya, dan yang menentukan akhir kesudahan semesta alam ini, bukan berhala yang mereka sembah itu.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui


Ayat 10

Pada ayat ini diterangkan keindahan penciptaan dan hukum-hukum yang berlaku pada bumi. Dia telah menjadikan gunung-gunung di permukaan bumi, ada yang tinggi ada yang sedang, ada yang merupakan dataran tinggi saja, ada yang berapi, dan gunung yang merupakan pasak atau paku bumi.

Dengan adanya gunung, permukaan bumi menjadi indah, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Tumbuh-tumbuhan pegunungan pun berbeda dengan tumbuh-tumbuhan yang ada di dataran rendah demikian pula binatang-binatangnya.

Dengan adanya gunung-gunung, maka ada sungai-sungai yang mengalir dari dataran tinggi ke dataran rendah, dan akhirnya bermuara ke laut. Seakan-akan gunung itu merupakan tempat penyimpanan air yang terus-menerus mengalir memenuhi keperluan manusia.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan bumi ini sebagai tempat yang penuh keberkahan bagi manusia, dan penuh dengan keindahan. Bumi juga dilengkapi dengan segala macam kebutuhan yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya dan keperluan makhluk-makhluk lain.

Sejak dari udara yang dihisap setiap saat, makanan-makanan yang diperlukan, tempat-tempat yang sejuk dan nyaman, lautan yang luas, barang tambang yang terpendam di dalam tanah dan banyak lagi nikmat yang lain yang disediakan-Nya yang tidak terhitung macam dan jumlahnya.

Dia pula yang telah menentukan ukuran dan kadar segala sesuatu. Mengadakan makanan yang dapat mengenyangkan sesuai dengan keadaan binatang atau manusia yang memerlukannya. Untuk manusia disediakan padi, gandum, dan sebagainya. Untuk binatang ternak disediakan-Nya rumput dan sebagainya.

Betapa banyak jumlah manusia, betapa banyak ikan di laut, burung yang beterbangan, binatang-binatang yang hidup di dalam rimba, semuanya disediakan Allah rezeki dan keperluan hidupnya, sesuai dengan keadaan masing-masing.

Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan bumi dan gunung-gunung yang ada padanya dalam dua masa dan menciptakan keperluan-keperluan, makanan, dan sebagainya dalam dua masa pula.

Semuanya dilakukan dalam empat masa. Dalam waktu empat masa itu, terciptalah semuanya dan dasar-dasar dari segala sesuatu yang ada di alam ini, sesuai dengan masa dan keadaan dalam perkembangan selanjutnya.

Tafsiran ilmiah empat hari, bisa jadi tercermin empat masa dalam kurun waktu geologi  yakni: Proterozoikum, dimana kehidupan masih  sangat tidak jelas;  Paleozoikum di mana kehidupan mulai jelas yang ditandai antara lain oleh amfibi, reptil, ikan-ikan besar, dan tumbuhan paku; Mesozoikum, kehidupan pertengahan yang ditandai dengan berlimpahnya vegetasi dan binatang laut, antara lain hewan laut, komodo, pohon daun lebar; dan Kenozoikum, kehidupan baru, dimana ditandai oleh banyaknya kehidupan di zaman Kenozoikum yang punah.

Pada masa Kenozoikum ditandai oleh munculnya gajah, dan pepohonan  semakin berkembang dan paling penting adalah kemunculan manusia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Fussilat Ayat 11


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ghafir Ayat 70-76

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 70-76 menjelaskan resiko yang akan diterima oleh penyembah selain Allah. Bahwa, kelak mereka akan merasakan siksaan yang pedih, tidak ada satupun yang bisa menolong, termasuk berhala yang dulunya mereka bela dan sembah. Terlebih sikap congkak dan angkuh mereka yang menolak kebenaran adalah penyebab utama siksaan tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 66-69


Ayat 70

Orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah itu ialah orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Muhammad saw dan mendustakan semua yang disampaikan rasul-rasul atas perintah-Nya.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan apa yang disampaikan rasul-rasul itu terdapat perintah untuk menghambakan diri kepada Allah semata, tidak menyembah sesuatu pun selain Dia, meyakini adanya hari kebangkitan, dan hukum-hukum serta petunjuk untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Orang-orang yang ingkar itu kelak akan mengetahui akibat keingkaran mereka. Hal ini merupakan peringatan yang sangat keras, sebagaimana firman Allah:

وَيْلٌ يَّوْمَىِٕذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَ

Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (al-Muthaffifin/83: 10)

Ayat 71-72

Akibat keingkaran mereka, orang-orang kafir akan merasakan siksa di akhirat, ketika belenggu dan rantai-rantai dikalungkan ke leher mereka, kemudian mereka ditarik dengan paksa dan dibakar di dalam neraka.

Ayat ini sama isinya dan maksudnya dengan firman Allah:

ثُمَّ اِنَّ مَرْجِعَهُمْ لَاِلَى الْجَحِيْمِ

Kemudian pasti tempat kembali mereka ke neraka Jahim. (as-Shaffat/37: 68);Dan firman Allah

خُذُوْهُ فَاعْتِلُوْهُ اِلٰى سَوَاۤءِ الْجَحِيْمِۙ   ٤٧  ثُمَّ صُبُّوْا فَوْقَ رَأْسِهٖ مِنْ عَذَابِ الْحَمِيْمِۗ  ٤٨  ذُقْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْكَرِيْمُ   ٤٩  اِنَّ هٰذَا مَا كُنْتُمْ بِهٖ تَمْتَرُوْنَ   ٥٠

Peganglah dia kemudian seretlah dia sampai ke tengah-tengah neraka, kemudian tuangkanlah di atas kepalanya azab (dari) air yang sangat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia. Sungguh, inilah azab yang dahulu kamu ragukan. (ad-Dukhan/44: 47-50)


Ayat 73-74 Tafsir Surah Hud Ayat 27: Konflik Sosial di Balik Pendustaan Dakwah Nabi Nuh


Kepada orang-orang kafir yang sedang ditimpa azab yang sangat pedih itu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bernada mengejek untuk menambah berat penderitaan yang sedang mereka alami.

Baca Juga :

Pertanyaan-pertanyaan itu ialah manakah berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah dahulu. Berhala-berhala yang menurut mereka sanggup melepaskan dan menyelamatkan mereka dari azab dan bencana hari itu.

Mereka menjawab bahwa berhala-berhala itu telah menghilang dari mereka, telah mengikuti jalan yang lain, dan membiarkan mereka ditimpa bencana dan kesengsaraan pada hari itu. Mereka mengakui bahwa sebenarnya selama hidup di dunia mereka telah mengikuti agama dan kepercayaan yang salah dan menyembah sesuatu yang tidak layak disembah.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa sebagaimana Allah telah membiarkan sesat orang-orang musyrik, sehingga tidak ada satu perbuatan pun yang diterima dari mereka sebagai amal saleh, maka demikian pula sikap Allah terhadap semua pekerjaan yang telah dilakukan orang-orang kafir. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari amal-amal mereka.

Ayat 75

Ayat ini menerangkan sebab-sebab Allah menimpakan azab yang pedih kepada orang-orang kafir.

Di antaranya adalah karena mereka merasa gembira dan bahagia tanpa merasa berdosa selama hidup di dunia mengerjakan perbuatan-perbuatan syirik, seperti menyembah lebih dari satu tuhan, menyembah tuhan yang lain di samping menyembah Allah, atau mengakui bahwa ada makhluk-makhluk selain Allah mempunyai kekuatan gaib yang menyamai kekuatan-Nya.

Di samping itu, mereka juga melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, serta berlaku congkak, sombong, dan zalim terhadap manusia.

Ayat 76

Lalu orang-orang kafir itu diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka melalui pintu-pintunya, sesuai dengan keadaan perbuatan jahat yang telah mereka lakukan. Mereka juga diperintahkan untuk tetap berada di dalam neraka Jahanam karena itulah tempat yang layak bagi orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan menyombongkan diri kepada-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 77-78


Mengupas Makna Khauf dan Khashyah, 2 Kosakata Takut dalam Al-Quran

0
Mengupas Makna Khauf dan Khashyah, 2 Kosakata Takut dalam Al-Quran
Ilustrasi takut

Ketika membaca al-Quran, seringkali kita menemukan lafadz-lafadz yang berbeda namun memiliki kesamaan atau kemiripan arti, seperti kata takut yang terkadang digambarkan oleh al-Quran dengan lafadz khauf dan ada kalanya dengan khashyah. Kedua kata itu memiliki arti takut. Dalam konteks kebahasaan, itu dinamai sebagai an-Nazha’ir atau mutaradif.

An-Nazha’ir atau Mutaradif adalah istilah bagi lafadz yang berbeda namun memiliki arti yang sama atau mirip. Pada kesempatan kali ini, penulis akan sajikan kosakata yang termasuk sebagai Mutaradif, yaitu lafadz kahuf dan khashyah.

Makna kata Khauf

Khauf  berasal dari bahasa Arab yang tersusun dari tiga huruf kha, waw, fa’ yang memiliki arti menunjukkan gentar dan terkejut. Khauf memiliki arti ketakutan dan kekhawatiran. Kekhawatiran yang dimaksud berupa ketakutan, kegelisahan, kecemasan terhadap sesuatu yang belum diketahui pasti. Secara bahasa khauf berarti ketakutan terhadap masa yang belum diketahui yang dianggap bahaya dan mencelakakan.

Menurut al-Falluji, Khauf merupakan rasa takut yaitu bentuk kegelisahan ketika seseorang memperkirakan sesuatu yang ia benci akan meinpanya. Senada dengan pendapat di atas, Prof. Quraish menuturkan, bahwa khauf merupakan guncangan hati karena menduga akan adanya bahaya.

Ibn Qayyim menuturkan, bahwa takut kepada Allah hukumnya adalah wajib. Karena perasaan takut itu akan menghantarkan manusia agar selalu beribadah kepada Allah dengan penuh ketundukan dan kekhusyu’an. Senada dengan itu, Prof. Quraish mmenguraikan, bahwa rasa takut yang digambarkan dengan lafadz khauf akan melahirkan dorongan untuk mempersiapkan langkah-langkah guna menghindari suatu hal yang negatif.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Anfal [8]: 58,

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِن قَوْمٍ خِيَانَةً فَٱنۢبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَآءٍ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْخَآئِنِينَ

Artinya, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”.

Prof. Quraish dalam tafsirnya menguraikan, bahwa ayat di atas adalah perintah pembolehan akan pembatalan perjanjian damai jika ditakutkan pihak musuh akan berkhianat. Yang mana, pembatalan itu juga harus diumumkan kepada pihak musuh. Dan al-Quran menyebut mereka yang enggan untuk mengumumkan pembatalan itu sebagai pengkhianat pula.

Baca juga: Mengenal Sinonim dan Homonim dalam Al-Quran, Konsep Kebahasaan yang Mesti Diketahui Mufassir

Makna kata Khashyah

Al-Khashyah (الخشة) berasal dari kata خشي-يخشى (khasyiya-yakhsya), yang tersusun dari tiga huruf kha, syin, dan ya (خشي) yang memiliki makna khafa (خاف) yakni takut. Seperti ungkapan khasiya al-rajul (خشي الرجل) yang artinya laki-laki itu takut. Kata ini juga memiliki arti asyaddu khaufan (اشد خوفا) yang berarti sangat takut. Kata al-Khashyah menggambarkan takut yang berlebih-lebihan. Serta takut ini hanya diperuntukkan kepada Allah Swt.

Dalam kitab Mu’jam Mufradat, makna khashyah menunjukkan rasa takut yang dilandasi dengan sikap mengagungkan. Kebanyakan penggunaan kata khashyah didasari oleh rasa takut, serta pengetahuan akan apa yang ia takuti. Oleh karenanya, kata khashyah tersebut dikhususkan hanya untuk Allah. Menurut al-Zarkasyi, makna alkhashyah dimaknai sebaga alijlal (الأجلال) yaitu penghormatan dan al-ta’zim (التعظم) yaitu pengagungan.

Menurut Thabathaba’I, khashyah merupakan takut yang memberikan goncangan jiwa, yang demikian selalu dilukiskan dengan kata khashyah. Takut semacam itu adalah buruk dan tercela, keculai takut (khashyah) kepada Allah. Oleh karenanya, tidaklah para nabi memiliki rasa khashyah kecuali hanya pada Allah (Shihab, 2005: 128).

Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ahzab [33]: 39,

ٱلَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَٰلَٰتِ ٱللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُۥ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا ٱللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا

Artinya, (yaitu) Orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan”.

Khashyah dalam ayat di atas memiliki arti takut kepada Allah. Al-Ashfahani dalam kitabnya menguraikan derivasi lafadz khashyah yang dipergunakan dalam al-Quran: khashyah bermakna ketaatan (QS. Qaf: 33); ibadah (QS. At-Taubah: 18).

  1. Al-Khashyah bermakna Ketaatan

Adapun makna al-khashyah dalam makna ketaatan terlukis dalam QS. Qaf [50] 31-33,

وَأُزْلِفَتِ ٱلْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ (31) هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظ (32) مَّنْ خَشِىَ ٱلرَّحْمَٰنَ بِٱلْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍ مُّنِيبٍ (33)

Artinya, “Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.

Kata khashyah (خشى) pada ayat di atas berbentuk fi’il madli, yang memiliki arti telah takut, yakni takut yang lahir setelah menyadari dosa-dosa yang telah dilakukan, serta lahir dari rasa haibah atau rasa takut bercampur kagum (Shihab, 2005: 311). Kata man khashyah (من خشي) mengandung dua makna, yaitu makna tunduk dengan mengikuti segala ucapan-Nya serta mengangkat kepala untuk bermohon kepada-Nya. Dengan kata lain, kata al-khashyah pada ayat ini memiliki makna takut, tunduk dan patuh atas segala apa yang telah Allah perintahkan.

Baca juga: Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Quran

  1. Al-Khashyah yang bermakna Ibadah

Allah berfirman dalam QS. At-Taubah [9]: 18,

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ

Artinya, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Dalam ayat di atas, makna kata (ولم يخش ألا الله) wa lam yakhsya illa Allah menurut Thabathaba’I sebagai rasa takut yang kemudian melahirkan dorongan untuk beribadah. Yang mana maksudnya bukan takut yang bersumber dari naluri manusia melainkan takut hanya kepada Allah. Ini suatu peringkat yang tidak dapat dicapai kecuali oleh para nabi dan manusia-manusia istimewa yang dekat dengan Allah.

Adapun pendapat Ibnu Asyur yang menguraikan, bahwa takut yang dimaksud ayat ini adalah ketika takut itu terjadi pada waktu bersamaan yang takut itu lebih dari dua atau lebih. Misal takut pada Allah dan bersamaan takut pada selain-Nya, maka ayat  di atas menyatakan bahwa ketakutan itu hanya kepada Allah, dan ia tidak takut pada selain pada-Nya.

Penutup

Jika kita lihat, khauf dan khashyah memiliki arti yang sama, yakni takut. Namun, jika kita perhatikan, dua lafadz di atas memiliki perbedaan makna dan maksud. Di mana kata khauf menggambarkan takut yang didasari oleh dugaan, yang mendorong seorang menyiapkan langkah-langkah guna menghindari sesuatu yang negatif. Sementara khashyah adalah takut didasari pengetahuan, oleh karenanya, seorang akan meninggalkan rasa takut kecuali hanya kepada Allah.

Baca juga: Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya

Tafsir Surah Ghafir Ayat 59-61

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 59-61 secara umum berbicara tentang perintah Allah agar senantiasa berdo’a dan beribadah kepada-Nya. Sebab, dengan dua ritual itu menunjukkan kehambaan seorang hamba, sekaligus mengisyaratkan kelemahannya dihadapan Allah Yang Maha Esa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 57-58


Ayat 59

Setelah Allah menerangkan bukti-bukti adanya hari Kiamat dan hari kebangkitan, maka Dia menegaskan bahwa hari Kiamat itu pasti datang.

Pada waktu itu, seluruh manusia dihidupkan kembali, setiap mereka diperhitungkan amalnya dengan penuh keadilan di hadapan mahkamah Allah. Tidak seorang pun yang dapat mengelakkan diri dari pengadilan Tuhan itu.

Sekalipun hari Kiamat itu pasti datang, dan telah ditegaskan bahwa orang-orang kafir akan masuk neraka dan orang-orang yang beriman akan masuk surga, namun sedikit sekali manusia yang mau percaya dan beriman, bahkan mereka mendustakannya.

Ayat 60

Pada ayat ini, Allah memerintahkan agar manusia berdoa kepada-Nya. Jika mereka berdoa niscaya Dia akan memperkenankan doa itu.

Ibnu ‘Abbas, ad-Dahhak, dan Mujahid mengartikan ayat ini, “Tuhan kamu berfirman, “Beribadahlah kepada-Ku, niscaya Aku akan membalasnya dengan pahala.” Menurut mereka, di dalam Al-Qur’an, perkataan doa bisa pula diartikan dengan ibadah seperti pada firman Allah:

اِنْ يَّدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اِنَاثًاۚ وَاِنْ يَّدْعُوْنَ اِلَّا شَيْطٰنًا مَّرِيْدًاۙ

Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah in±£an (berhala), dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka. (an-Nisa’/4: 117).

Dalam hadis, Nabi bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ. (رواه الترمذي عن النعمان بن بشير)

Doa itu ialah ibadah. (Riwayat at-Tirmizi dari an-Nu’man bin Basyir).

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa doa dalam ayat ini berarti “permohonan”. Sebenarnya doa dan ibadah itu adalah sama dari sisi bahasa. Hanya yang pertama berarti khusus sedang yang kedua berarti umum. Doa adalah salah satu bentuk atau cara dari ibadah. Hal ini berdasar hadis:

الدَّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ. (رواه الترمذي عن أنس بن مالك)

Doa itu adalah inti ibadah. (Riwayat at-Tirmizi dari Anas bin Malik)

Dan hadis Nabi saw:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعِبَادَةِ أَفْضَلُ فَقَالَ دُعَاءُ الْمَرْءِ لِنَفْسِهِ.

 (رواه البخاري)

Diriwayatkan dari “Aisyah, dia berkata; “Nabi saw ditanya orang, Ibadah manakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Doa seseorang untuk dirinya.” (Riwayat al-Bukhari)

Berdasarkan hadis di atas, maka doa dalam ayat ini dapat diartikan dengan ibadah. Hal ini dikuatkan oleh lanjutan ayat yang artinya:

 “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk ke dalam neraka yang hina.”

Ayat ini merupakan peringatan dan ancaman keras kepada orang-orang yang enggan beribadah kepada Allah. Ayat ini juga merupakan pernyataan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka memperoleh kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seakan-akan Allah mengatakan, “Wahai hamba-hamba-Ku, menghambalah kepada-Ku, selalulah beribadah dan berdoa kepada-Ku. Aku akan menerima ibadah dan doa yang kamu lakukan dengan ikhlas, memperkenankan permohonanmu, dan mengampuni dosa-dosamu”.


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah


Ayat 61

Pada ayat ini, Allah memerintahkan agar manusia beribadah kepada-Nya dengan alasan-alasan berikut ini:

  1. Yang memerintahkan agar beribadah kepada-Nya itu ialah Tuhan yang menjadikan malam sebagai waktu beristirahat, dan mempersiapkan tenaga baru agar dapat berusaha kembali esok harinya. Pada waktu malam, pada umumnya manusia tidur karena merupakan kebutuhan tubuh yang harus dipenuhi.
  2. Yang menjadikan siang bercahaya, yang menerangi alam semesta sehingga manusia dapat berusaha untuk mencukupi keperluan hidup.
  3. Karena Allah mempunyai karunia yang tidak terhingga banyaknya yang disediakan untuk seluruh makhluk-Nya, dan karunia itu tidak akan habis selama-lamanya.;Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan manusia tidak mau mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya. Mereka mengingkari nikmat, seakan-akan nikmat itu mereka peroleh semata-mata karena usaha mereka sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 62-65


Tafsir Surah Ghafir Ayat 57-58

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 57-58 berbicara tentang hari Kebangkitan, bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, dan tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk menghidupkan kembali seluruh makhluk di dunia ini. Bahkan, hal yang serupa telah terbukti dengan adanya penciptaan langit dan bumi beserta isinya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 55-56


Ayat 57

Pada ayat ini, Allah mengemukakan salah satu bukti adanya hari kebangkitan pada hari Kiamat nanti. Dia menerangkan bahwa menciptakan langit dan bumi lebih “berat” dan “sukar” dibanding dengan menciptakan manusia, baik pada waktu pertama kali menciptakannya maupun pada waktu mengulanginya kembali.

Langit dan bumi beserta segala isinya tidak terhingga luas dan besarnya. Tidak terhitung jumlah planet-planet di sana. Tidak terhitung jumlah binatang dan tumbuh-tumbuhan yang ada padanya. Gunung-gunung dan sungai-sungai yang mengalir tidak bisa dilacak semua oleh manusia.

Hukum-hukum dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengannya tidak bisa diketahui oleh manusia seluruhnya.

Oleh karena itu, orang-orang musyrik jangan sekali-kali mengira bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta manusia yang ada di dalamnya, tidak sanggup membangkitkan manusia kembali pada hari Kiamat atau menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Tidak sesuatu pun yang sukar bagi Allah, semua mudah bagi-Nya.

Allah berfirman:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَلَمْ يَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ بِقٰدِرٍ عَلٰٓى اَنْ يُّحْيِ َۧ الْمَوْتٰى  ۗبَلٰٓى اِنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, dan Dia kuasa menghidupkan yang mati? Begitulah; sungguh, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Ahqaf/46: 33)

Ayat 57 Surah Ghafir ini seolah menekankan bahwa penciptaan alam semesta ini jauh lebih rumit (besar) daripada penciptaan manusia (hal ini tentu dalam pandangan manusia karena bagi Allah tidak ada yang rumit sedikit pun).

Padahal dari jumlah tulisan hasil pemikiran dan temuan, pengungkapan teori terciptanya alam semesta ini lebih banyak dan lebih pesat perkembangannya dibandingkan dengan  perkembangan teori kejadian manusia yang sampai saat ini masih dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan belum terjawab dan fakta-fakta yang kontroversial.


Baca Juga : Alam Semesta Juga Menyatakan Patuh Pada Allah: Tafsir Surat Fushilat Ayat 11


Dilihat dari waktu keberadaannya secara ilmu pengetahuan, manusia (homo sapiens) diperkirakan muncul pada 40.000 tahun yang lalu, kurun waktu ini bukan apa-apa dibandingkan  umur alam semesta yang diperkirakan telah berada semenjak 7 miliar tahun yang lalu, apalagi jika dibandingkan dengan sejarah peradaban manusia yang jejaknya ditemukan hanya sekitar 7000 tahun yang lalu.

Tampaknya pengetahuan kita tentang kejadian alam semesta inipun sebenarnya tidak lebih banyak dari apa yang kita ketahui tentang kejadian manusia.

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bukti-bukti yang dikemukakan itu dan amat sedikit manusia yang mau berpikir untuk mencari kebenaran yang hakiki.

Mereka terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan kesenangan dunia yang sifatnya hanya sementara. Mereka juga tidak mau mendengar dan menyadari bahwa Allah Mahakuasa, tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan-Nya.

Ayat 58

Ayat ini menerangkan bahwa tidak sama di sisi Allah orang yang kafir yang buta dari kebenaran, tidak mau melihat dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah di langit dan di bumi dengan orang-orang yang beriman yang mau mencari kebenaran, berusaha meyakinkan dirinya dengan mempelajari dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, sehingga mereka mengetahui bahwa penciptaan bumi dan langit beserta apa yang ada di dalamnya lebih besar dan sulit dari menciptakan manusia.

Oleh karena itu, membangkitkan manusia itu adalah suatu yang mudah bagi Allah. Begitu pula tidak sama orang-orang yang beriman dan beramal saleh dengan orang-orang kafir yang selalu melakukan perbuatan yang dilarang Allah.

Memang hanya sedikit manusia yang mau merenungkan dan memikirkan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka dan sedikit pula yang mau mengambil pelajaran. Sekiranya mereka mau merenungkan sehingga mereka mengetahui kebenaran, tentulah mereka mengetahui pula kesalahan-kesalahan yang pernah mereka perbuat dan tidak mengulanginya lagi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 59-61


Tafsir Surah Ghafir Ayat 55-56

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 55-56 membahas tentang sikap orang-orang yang mengingkari ketauhidan Allah Swt. Mengahdapi kaum yang demikian, Nabi dianjurkan untuk selalu bersabar dalam menjalankan dakwahnya, termasuk senantiasa bertaubat, yaitu sebagai bentuk pembersihan hati agar selalu suci dan mengingat Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 51-54


Ayat 55

Pertolongan Allah kepada para rasul dan orang-orang yang beriman itu adalah salah satu dari sunatullah seperti yang pernah dianugerahkan kepada Musa.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad diminta untuk bersabar atas sikap dan tindakan orang-orang musyrik yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah.

Allah pasti menolongnya dengan mengokohkan barisan kaum Muslimin dan mengangkat posisi agama Islam melebihi kepercayaan yang mereka anut Nabi Muhammad diperintahkan untuk selalu bertobat dan bertasbih pagi dan petang, sebagaimana firman Allah:

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذَّاكِرِيْنَ

Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hud/11: 114).

Dengan selalu salat mengingat Allah dan bertasbih pagi dan petang itu, maka Rasulullah beribadah seperti yang dilakukan para malaikat. Allah berfirman:

وَلَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَمَنْ عِنْدَهٗ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَلَا يَسْتَحْسِرُوْنَ ۚ  ١٩  يُسَبِّحُوْنَ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لَا يَفْتُرُوْنَ   ٢٠

Dan milik-Nya siapa yang di langit dan di bumi. Dan (malaikat-malaikat) yang di sisi-Nya, tidak mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka (malaikat-malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang. (al-Anbiya’/21: 19-20).

Rasulullah saw diperintahkan bertobat bukan berarti beliau telah melakukan perbuatan dosa, tapi maksudnya ialah dengan sering melakukan tobat dan mohon ampun, maka jiwa semakin suci dan bersih, tidak ada satu pun kotoran yang mengotorinya.

Jika Nabi yang terbebas dari segala dosa masih disuruh bertobat, maka bagi umat dan pengikutnya akan lebih lagi. Mereka harus cepat dan lebih sering bertobat.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Al-Qur’an mengajarkan agar orang-orang yang beriman selalu bertobat, memohon ampun kepada Allah, dan mengerjakan amal saleh. Jika seseorang telah bertobat dan memohon ampun maka jiwanya menjadi suci dan bersih. Amal yang dikerjakan oleh orang yang bersih jiwanya akan langsung diterima Allah.

Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa orang yang tidak suci dan bersih hatinya karena tidak bertobat dan mohon ampun kepada Allah, maka amalnya tidak diterima oleh Allah atau tidak dianggap sebagai amal yang saleh.


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 7-8: Hiasi Dirimu Dengan Amal Saleh, Bukan Perhiasan Dunia


Ayat 56

Pada ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang yang mengingkari seruan rasul dan membantah ayat-ayat Allah adalah orang-orang yang dalam hatinya penuh dengan keangkuhan dan takabur. Mereka enggan menerima kebenaran karena pengaruh hawa nafsu.

Mereka ingin berkuasa dan dijadikan pemimpin dalam masyarakat, serta merasa sebagai orang yang paling berkuasa. Keinginan mereka inilah yang menyebabkan mereka mengingkari ayat-ayat Allah.

Menurut mereka, keinginan itu tidak akan tercapai jika mereka mengikuti seruan rasul, karena dengan mengikuti seruan rasul berarti mereka meninggalkan agama nenek moyang yang mereka hormati selama ini.

Kemudian Allah menerangkan bahwa sekalipun orang-orang kafir itu selalu berusaha untuk menghancurkan Nabi Muhammad dan para pengikutnya, namun mereka tidak akan mencapai cita-cita itu.

Sebab, Allah selalu membantu Nabi Muhammad dengan merendahkan, menghinakan, dan memusnahkan musuh-musuhnya dan usaha-usaha mereka.

Allah lalu memerintahkan Nabi agar selalu mohon perlindungan kepada-Nya untuk mematahkan tipu daya dan usaha orang-orang musyrik itu.

Allah Maha Mendengar segala permintaan dan permohonan hamba-Nya, mengetahui setiap getaran jiwa dan melihat segala perbuatan hamba-hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 57-58


Tafsir Surah Ghafir Ayat 51-54

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 51-54 berbicara tentang perlakuan Allah kepada dua golongan yang berbeda. Golongan pertama adalah orang yang beriman, sementara golongan kedua adalah orang yang ingkar. Keduanya akan mendapatkan perlakuan yang istimewa dan setimpal dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 49-50


Ayat 51

Dalam ayat ini, Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman berupa pertolongan dan kemenangan dalam menghadapi musuh-musuh mereka.

Allah mengatakan bahwa Dia pasti menjadikan para rasul-Nya orang-orang yang menang atas musuh-musuh mereka dan akan menolong serta membahagiakan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Cara dan bentuk pertolongan Allah itu bermacam-macam, adakalanya dengan meninggikan kedudukan dan kekuasaan mereka atas musuh-musuh mereka, seperti yang diberikan kepada Daud dan Sulaiman, adakalanya dengan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh-musuh mereka, seperti yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw.

Adakalanya juga dengan menimpakan kepada mereka kesengsaraan dan malapetaka, seperti yang dialami oleh Fir’aun dan kaumnya, dan adakalanya dengan menghancurkan orang-orang kafir dan menyelamatkan para rasul dan orang-orang yang beriman besertanya, seperti yang dialami Nabi Saleh, Hud, Syuaib, dan Nuh beserta kaumnya.

Demikian pula Allah memberikan pertolongan kepada para rasul dan orang-orang yang beriman pada hari Kiamat yaitu pada hari berdirinya saksi-saksi yang terdiri dari para malaikat, para nabi, dan orang-orang yang beriman.

Pada hari itu, mereka menjadi saksi atas segala perbuatan orang-orang kafir dan atas pengetahuan para rasul kepada mereka, tetapi mereka mendustakannya.

Ayat 52

Ayat ini menjelaskan bahwa pada hari dimana saksi-saksi itu mengemukakan kesaksiannya, tidak bermanfaat lagi alasan-alasan yang mereka kemukakan dan tidak ada pula permintaan maaf yang bisa mereka ajukan, karena semua yang mereka katakan dan lakukan hanyalah berupa fitnah dan dusta belaka.

Allah berfirman:

ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ اِلَّآ اَنْ قَالُوْا وَاللّٰهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِيْنَ

Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, “Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah.” (al-An’am/6: 23).

Pada hari itu, orang-orang kafir dijauhkan dari rahmat Allah, dan mereka mendapat azab yang sangat pedih di neraka Jahanam.


Baca Juga : Tafsir Surat Yasin ayat 63-65: Ketika Seluruh Tubuh Bersaksi di hadapan Allah Swt


Ayat 53-54

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan berbagai macam per-tolongan yang telah diberikan-Nya kepada para rasul di dunia, di antaranya memberikan kepada Musa bermacam-macam mukjizat, berbagai hukum yang mengatur hidup manusia agar mereka bahagia hidup di dunia dan di akhirat, dan menurunkan kepadanya Kitab Taurat untuk menjadi petunjuk bagi manusia.

Kemudian Kitab Taurat itu diwariskan kepada keturunan dan orang-orang sesudah mereka serta menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal dan menjauhkan mereka dari keragu-raguan dan prasangka yang tidak baik.

Firman Allah:

اِنَّآ اَنْزَلْنَا التَّوْرٰىةَ فِيْهَا هُدًى وَّنُوْرٌۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ اَسْلَمُوْا لِلَّذِيْنَ هَادُوْا وَالرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْاَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوْا مِنْ كِتٰبِ اللّٰهِ وَكَانُوْا عَلَيْهِ شُهَدَاۤءَ

Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. (al-Ma’idah/5: 44)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 55-56


Tafsir Surah Ghafir Ayat 49-50

0
Tafsir Surah Ghafir
Tafsir Surah Ghafir

Tafsir Surah Ghafir Ayat 49-50 menerangkan pula tentang kondisi orang musyrik ketika didalam neraka. Bahwa, mereka merasa takut dan panik, tidak ada yang dapat menolong mereka dari azab Allah Swt. Bahkan, tuhan-tuhan yang dulunya mereka sembah pun tidak dapat sedikitpun menyelamatkan mereka dari siksaan neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah GhafirAyat 46-48


Ayat 49

Setelah orang-orang musyrik yang sedang dalam neraka itu tidak berhasil mendapatkan pertolongan dari para pemimpinnya, maka mereka mohon pertolongan kepada penjaga neraka dengan mengatakan, “Wahai penjaga neraka (Malaikat Malik), mohonkanlah kepada Allah agar Dia meringankan siksa yang telah ditimpakan-Nya kepada kami ini.

Seandainya keringanan itu dapat diberikan kepada kami dengan mengembalikan kami ke dunia untuk hidup dan beribadah, maka kembalikanlah kami barang sesaat, mudah-mudahan hal ini dapat mengurangi penderitaan kami.”

Ayat 50

Para penjaga neraka itu menjawab, “Bukankah dahulu telah diutus kepadamu rasul-rasul yang memberikan keterangan, bukti, dan dalil yang menunjukkan keesaan Allah, memberimu petunjuk-petunjuk ke jalan kebahagiaan serta menyampaikan kabar peringatan kepadamu, tentang akibat perbuatan terlarang yang kamu kerjakan seperti mengingkari Allah.” Firman Allah:

اَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنْكُمْ يَتْلُوْنَ عَلَيْكُمْ اٰيٰتِ رَبِّكُمْ وَيُنْذِرُوْنَكُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَا ۗ

“Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul dari kalangan kamu yang membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan (dengan) harimu ini?” (az-Zumar/39: 71).

Orang-orang musyrik itu menjawab, “Benar, rasul-rasul telah datang kepada kami, mengajak kami beriman kepada Allah dan rasul-Nya, tetapi kami mengingkari seruan itu dan tidak mau beriman. Bahkan kami menentang dan menyiksa para rasul itu dan orang-orang yang beriman kepadanya.”

Penjaga neraka menjawab, “Jika tindakan dan sikapmu terhadap rasul sewaktu hidup di dunia benar-benar seperti yang kamu terangkan itu, maka mohonlah sendiri kepada Allah. Kami tidak akan mendoakan semua orang kafir yang mendustakan rasul.”

“Ingatlah, doa orang yang sepertimu itu tidak akan diperkenankan Allah dan tidak akan ada faedahnya. Bagi kamu sama saja, apakah kamu berdoa atau tidak, azab itu tidak akan berkurang sedikit pun, rasakanlah azab itu sebagai akibat perbuatan kamu sendiri.”

Baca Juga :

Tentang keadaan penghuni neraka itu, at-Tirmizi meriwayatkan dari Abu ad-Darda’, ia berkata:

يُلْقَى عَلَى أَهْلِ النَّارِ الْجُوْعُ حَتَّى يَعْدِلَ مَا هُمْ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ، فَيَسْتَغِيْثُوْنَ مِنْهُ فَيُغَاثُوْنَ بِالضَّرِيْعِ لاَ يُسْمِنُ وَلاَ يُغْنِيْ مِنْ جُوْعٍ، فَيَأْكُلُوْنَ لاَ يُغْنِى عَنْهُمْ شَيْئًا، فَيَسْتَغِيْثُوْنَ فَيُغَاثُوْنَ بِطَعَامٍ ذِى غُصَّةٍ فَيُغَصُّوْنَ بِهِ، فَيَذْكُرُوْنَ أَنَّهُمْ كَانُوْا فِى الدُّنْيَا يُجِيْزُوْنَ الْغَصَصَ بِالْمَاءِ، فَيَسْتَغِثُوْنَ بِالشَّرَابِ فَيُرْفَعُ لَهُمُ الْحَمِيْمُ بِالْكَلاَلِيْبِ، فَإِذَا دَنَا مِنْ وُجُوْهِهِمْ شَوَاهًا، فَإِذَا وَقَعَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ قَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ وَمَا فِيْ بُطُوْنِهِمْ، فَيَسْتَغِيْثُوْنَ بِالْمَلاَئِكَةِ يَقُوْلُوْنَ: (ادْعُوْا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ)، فَيُجِيْبُوْنَهُمْ: (أَوَلَمْ تَكُ تَأْتِيْكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ، قَالُوْا بَلَى، قَالُوْا فَادْعُوْا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِيْنَ إِلاَّ فِيْ ضَلاَلٍ). (رواه الترمذي عن أبي الدرداء)

Penghuni neraka ditimpa kelaparan yang menandingi azab mereka. Mereka memohon bantuan makanan. Mereka diberi makanan pohon berduri yang tidak dapat menggemukkan dan tidak dapat menghilangkan lapar, lalu mereka makan pohon itu, tetapi mereka bertambah lapar. Mereka minta tolong lagi, lalu mereka diberi makanan yang dapat menyekat di kerongkongan setelah mereka makan. Mereka mengatakan bahwa ketika di dunia jika mereka makan dan tercekik, mereka minta air, maka mereka minta tolong agar diberi minuman sirup. Akan tetapi, mereka diberi air yang sangat panas yang diangkat dengan cantolan-cantolan. Apabila minuman itu mendekati muka mereka, muka mereka pun terbakar. Apabila minuman itu sampai ke perut mereka, maka minuman itu menghancurkan usus dan apa yang ada di perut mereka. Akhirnya mereka minta tolong kepada malaikat, mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan azab atas kami sehari saja.” Para malaikat menjawab, “Apakah rasul-rasul belum datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata?” Mereka menjawab, “Benar, sudah datang.” (Penjaga-penjaga Jahanam) berkata, “Berdoalah kamu (sendiri!)” Namun doa orang-orang kafir itu sia-sia belaka. (Riwayat at-Tirmizi dari Abu ad-Darda’)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Ghafir 51-54