Beranda blog Halaman 185

Tipe-Tipe Suami Dalam Al-Quran

0
tipe-tipe suami dalam Al-Quran
tipe-tipe suami dalam Al-Quran

Tidak hanya istri yang harus berbuat baik, suami pun juga semestinya harus berbuat demikian. Ia berkewajiban untuk menafkahi dan memperlakukan istrinya dengan baik. Selain itu, seorang suami juga semestinya taat pada setiap perintah Allah dan mengajak serta membimbing istrinya untuk melakukan hal yang sama. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa terkadang ada suami yang justru berbuat sebaliknya. Mereka memperlakukan istrinya dengan tidak manusiawi dan memaksa istri mereka melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan perintah Allah Swt. Lalu, bagaimana sebenarnya Al-Qur’an menggambarkan tentang tipe-tipe suami?

Terkait hal itu, Allah Swt. menerangkan beberapa contoh tipe suami yang terdapat dalam Al-Quran.

Baca Juga: Kesalingan dan Kesetaraan Relasi Suami-Istri dalam Maqashid Al-Quran

Pertama, tipe suami yang kejam seperti Fir’aun. Allah Swt. berfirman:

وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱمۡرَأَتَ فِرۡعَوۡنَ إِذۡ قَالَتۡ رَبِّ ٱبۡنِ لِي عِندَكَ بَيۡتٗا فِي ٱلۡجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِن فِرۡعَوۡنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِي مِنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

Terjemah: “Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahrim [66]: 11)

Al-Qurthubi menjelaskan ayat di atas tentang Asiyah, istri dari Fir’aun yang menjadi perumpamaan bagi orang-orang beriman. Ia disiksa oleh Fir’aun dengan sangat keras karena diketahui beriman kepada Allah Swt.

Ibnu Jarir mengatakan istri Fir’aun disiksa dengan cara dipanggang di bawah panasnya terik matahari. Ketika Fir’aun beranjak pergi meninggalkannya, malaikat meneduhinya dengan sayap-sayap mereka, dan ia melihat rumah tempat tinggalnya di surga.

Melalui ayat tersebut tergambar sifat Fir’aun sebagai suami yang sangat kejam terhadap istrinya sendiri karena beriman kepada Allah yang enggan menyembah dirinya (Fir’aun) sebagai Tuhan.

Tipe suami seperti Fir’aun ini mereka memaksa istrinya untuk berbuat hal-hal yang dilarang oleh Allah hanya untuk menyenangkan diri mereka sebagai suami. Dan ketika sang istri tidak menuruti, maka ia akan bersikap kasar bahkan kejam ke istrinya. Sikap egois yang sangat ditonjolkan akan merongrong keutuhan hubungan suami dan istri itu sendiri. Maka tipe suami seperti ini sejatinya tidak boleh dipertahankan dan istri harus pergi meninggalkannya.

Baca Juga: Pesan untuk Suami-Istri dalam Berumah Tangga pada Surah Al- Baqarah ayat 233

Kedua, tipe suami yang mengajak istrinya maksiat seperti Abu Lahab. Allah Swt. berfirman:

تَبَّتۡ يَدَآ أَبِي لَهَبٖ وَتَبَّ مَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ سَيَصۡلَىٰ نَارٗا ذَاتَ لَهَبٖ وَٱمۡرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلۡحَطَبِ فِي جِيدِهَا حَبۡلٞ مِّن مَّسَدِۢ

Terjemah: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab [111]: 1-5)

Al-Qurthubi menjelaskan ayat tersebut tentang kisah Abu Lahab dan istrinya yang selalu berusaha menentang dakwahnya Rasulullah Saw. Abu Lahab dan istrinya dinyatakan akan kekal di dalam neraka karena sifat kufur mereka. Begitu pula saat kematian mereka berdua yang sangat tragis dimana sang istri mati karena talinya sendiri dan sang suami mati karena terserang wabah penyakit yang mengerikan.

Melalui ayat tersebut Allah Swt. memperlihatkan potret suami istri yang bekerja sama dalam keburukan. Seorang suami yang semestinya membimbing istri menjadi lebih baik, justru malah mengajak bekerja sama dalam menghancurkan orang lain.

Suami seperti Abu Lahab bukan figur yang dapat dijadikan panutan, sebab sejatinya peran suami adalah membimbing ke arah jalan yang benar. Namun ketika suami justru mengajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah maka ia layaknya seperti Abu Lahab yang bekerja sama dengan istrinya dalam keburukan.

Baca Juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Ketiga, tipe suami yang tegar dan ikhlas seperti Nabi Ibrahim. Allah Swt. berfirman:

رَّبَّنَآ إِنِّيٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيۡرِ ذِي زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡ‍ِٔدَةٗ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهۡوِيٓ إِلَيۡهِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ

Terjemah: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim berdoa untuk anak dan istrinya yang ditinggalkan di lembah gersang. Ia meninggalkan putra dan istri yang paling dicintainya. Tetapi itu semua dilakukan Ibrahim dengan penuh ikhlas menyambut seruan Allah.

Padahal lebih dari 80 tahun Nabi Ibrahim menantikan kehadiran keturunan, tapi ketika ia hadir di pangkuannya saat keputusasaan memenuhi rongga dadanya, ia justru membawa anaknya ke lembah itu. Seakan-akan ia hanya datang menitip mereka kepada alam. Namun demikian, mereka tunduk pada perintah Allah dan meyakini kebenaran janji-Nya. Sehingga Nabi Ibrahim ikhlas melepaskan anak dan istrinya. Selain Nabi Ibrahim, Nabi Zakariya juga masuk dalm figur suami yang ketiga ini. Ia bersama istrinya saling menguatkan dalam mengarungi kehidupan, terlihat dalam kisah dan doa Nabi Zakariya ketika berdoa agar diberi keturunan.

Tipe suami seperti ini yang semestinya dijaga, suami yang rela berkorban untuk agama, keluarga, dan orang-orang yang disayangi walaupun dirinya sendiri harus menahan luka yang begitu dalam. Namun pengorbanan yang dilakukan semata-mata untuk mengharap ridha Allah Swt. untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang lebih kekal.

Penutup

Demikian beberapa tipe suami yang digambarkan dalam Al-Quran. Selain tiga tipe di atas, sebenarnya masih banyak terdapat tipe-tipe suami yang lain yang tergambar di dalam Al-Qur’an. Namun dari tiga tipe tersebut di atas, setidaknya dapat menjadi bahan introspeksi dan renungan bagi para suami untuk terus memperbaiki diri guna memberi kebahagiaan dan kedamaian kepada keluarga tercinta khususnya kepada istri. Wallahu A’lam.

Empat Macam Larangan Seksualitas dalam Al-Quran

0
Seksualitas dalam Al-Quran
Seksualitas dalam Al-Quran

Salah satu tuntunan hidup yang tidak luput dari bimbingan Al-Quran adalah seksualitas. Seksualitas secara leksikal merupakan sesuatu yang berkenaan dengan jenis kelamin (sex) dan hubungan antara lawan jenis, seperti senggama, birahi dan sejenisnya. Hubungan tersebut merupakan sebuah naluri kodrati yang melekat dalam diri manusia (Shihab, 1996: 190). Oleh karena itu, Islam—melalui Al-Quran—memandang bahwa pengetahuan mengenai seksualitas adalah suatu yang penting dan memiliki peran yang signifikan dalam pengembangan sumber daya manusia serta pembangunan karakter anak bangsa, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan manifestasi masyarakat yang berpengetahuan positif tentang seksualitas.

Banyak term-term seksualitas dalam Al-Quran baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya tentang syahwat (Q.S. 3: 14; 4: 27), aurat (Q.S. 22: 31), alat kelamin (Q.S. 7: 20, 22, 26; 21: 91), sperma (Q.S. 75: 37), dan hubungan seksual (Q.S. 4: 19; 2: 222, 223). Term-term tersebut dijelaskan melalui retorika Al-Qur`an yang menganjurkan, mengingatkan, memerintah, dan juga melarang. Oleh karena itu selain anjuran tentang seksualitas, larangan tentangnya pun merupakan suatu hal yang penting untuk dipahami, sehingga naluri seksualitas manusia secara sadar digunakan sesuai tuntunan dan tidak disalahgunakan (misuse).

Baca Juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Al-Quran

Empat larangan seksualitas dalam Al-Quran

Syahdan, dalam tulisan ini penulis merasa penting untuk menelaah larangan-larangan (don’t) atau peringatan (disclaimer) Al-Quran  mengenai seksualitas. Ajaran Al-Quran yang mengandung makna “larangan” terhadap seksualitas setidaknya ada dalam empat hal. Pertama, larangan menuruti syahwat secara eksploitatif sehingga melupakan Tuhan. Larangan tersebut terkandung dalam Q.S. An-Nisa [4]: 27, yakni:

وَاللّٰهُ يُرِيْدُ اَنْ يَّتُوْبَ عَلَيْكُمْ ۗ وَيُرِيْدُ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الشَّهَوٰتِ اَنْ تَمِيْلُوْا مَيْلًا عَظِيْمًا ٢٧

“Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti keinginannya menghendaki agar kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”

Rangkaian firman ini mulai dari ayat 24 sampai ayat 27 merupakan penjelasan Al-Quran mengenai (hubungan) seks yang halal melalui pernikahan (Al-Zuhaili, 2013: 52). Syeikh Abdurrahman Ishaq dalam Lubab al-Tafsir min Ibn Katsir (2003: 279) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan janji Allah untuk menerima taubat manusia karena mengikuti syariat-Nya, sementara para pemuja setan dari golongan Yahudi, Nasrani, dan para pezina menggoda dengan syahwat seksual agar manusia berpaling dari kebenaran.

Al-Zuhaili (2013: 53) menambahkan komentar bahwa penerimaan taubat yang dimaksud adalah bagi mereka yang sempat melakukan dosa karena mengikuti nafsyu syahwat dengan menikahi ibu, saudara perempuan, dan perempuan lain yang diharamkan sebagaimana orang Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Syahdan, ayat ini secara umum dapat dimaknai sebagai larangan berpaling dari ajaran agama atas dorongan syahwat seksualitas.

Kedua, larangan melakukan seks yang menyimpang. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-a’raf [7]: 81, yakni:

 اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ ٨

“Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Ayat ini menurut Ibn Katsir (2003: 415) menjelaskan tentang perilaku penyimpangan seksual pertama yang dilakukan oleh manusia, yakni oleh kaum Sadum. Mereka melakukan hubungan seksual antara pria sesama jenis (homoseksual), sehingga perilaku tersebut dikatakan sebagai perbuatan bodoh (jahl) dan melampaui batas (israf) karena telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (dzalim).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2005: 161) memberikan komentar yang cukup menggelitik. Menurutnya, Nabi Daud tidak Allah perintahkan untuk mengajak kepada tauhid, melainkan beliau secara khusus diutus untuk meluruskan keburukan (fahisyah). Hal ini terlihat pada penekanan frasa “innakum lata`tuna” yang secara semantik sederajat syariat ketuhanan dan tauhid, karena keduanya adalah fitrah. Quraish Shihab menganggap bahwa perilaku homoseksual adalah pelanggaran fitrah yang tidak dapat dapat dibenarkan dalam kondisi apapun. Artinya, perilaku homoseksual kaum Sadum tersebut melampaui batas (israf) fitrah kemanusiaan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Ketiga, larangan mendekati zina. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Isra [17]: 32, yakni:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا ٣٢

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”

Ayat ini menurut Ibnu Katsir (2005: 72) merupakan larangan mendekati zina dan hal-hal yang mendorong perbuatan zina. Zina sendiri menurut Al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan (1980: 8) dan Al-Nawawi dalam Syarah Muhadzdzab (tt.: 4) merupakan persetubuhan (jima’) yang dilakukan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan suami-isteri. Sementara hal yang mendorong zina misalnya seperti khalwat, menonton pornografi, dan pergaulan bebas (Fatih, 2020: 13-14).

Selain itu, Al-Zuhaili juga memberi komentar bahwa larangan zina dalam ayat tersebut karena zina merupakan perbuatan israf yang sangat keji (fahisyah), sangat dibenci (maqtan), dan jalan yang buruk (sa`a sabila). Al-Zuhaili melanjutkan bahwa keharaman zina tersebut karena dapat merusak nasab dan menghinakan derajat manusia yang tidak ada bedanya dengan hewan.

Keempat, larangan melakukan hubungan seksual dengan cara dan kondisi yang tidak dikehendaki, yakni dengan cara yang ma’ruf  dan kondisi (perempuan) yang suci. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 222, yakni:

 وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ…..  ٢٢٢

“Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu…”

Baca Juga: Kisah perilaku Homoseksual Kaum Nabi Luth

Ayat tersebut menurut Ibnu Katsir (2005: 430) merupakan larangan untuk melakukan hubungan seksual berupa jima’ pada kemaluan wanita yang sedang haid. Sementara pada sesuatu selain kemaluannya, mayoritas ulama membolehkannya.

Selain itu, ayat tersebut juga mengandung penjelasan bahwa ketika wanita selesai haid maka diperbolehkan untuk menggaulinya (al-ityan) atau melakukan jima’ (Al-Zuhaili, 2013: 519). Frasa “fa`tuuhunna min haytsu amarakumullah” menurut Al-Zuhaili (2013: 520) bermakna bahwa cara berhubungan seksual yang ma’ruf sesuai ajaran Islam adalah dengan melakukan penetrasi hanya pada bagian vagina yang merupakan tempat reproduksi.

Demikian, setidaknya empat hal mengenai seksualitas dalam Al-Quran itulah yang setidaknya harus dipahami oleh manusia—muslim khususnya, karena pada dasarnya seluruh ajaran yang ada di dalam Al-Quran adalah demi kemaslahatan. Artinya, baik itu perintah ataupun larangan keduanya sama-sama mengandung hikmat at-tasyri’ yang dijamin kebaikannya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah as-Saff ayat 12-14

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Tafsir Surah as-Saff ayat 12-14 ini menceritakan kemenangan yang akan diperoleh oleh Rasulullah dan kaum Muslimin yang dapat mengalahkan negeri musuh dalam waktu yang dekat, sehingga agama Islam akan tersebar diseluruh penjuru negeri. Sebagai penutup, Tafsir Surah as-Saff ayat 12-14 ini mengingatkan umat Islam untuk saling menolong.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Saff ayat 7-11


Ayat 12

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim dan dinyatakan sahih dari ‘Abdullah bin Salam bahwa ketika para sahabat Rasulullah sedang duduk-duduk santai sambil berbincang-bincang, di antara mereka ada yang berkata, “Sekiranya kami mengetahui amal yang lebih dicintai Allah pasti kami akan mengerjakannya,” maka turunlah ayat ini.

Jika manusia beriman, mengakui kebenaran Rasulullah saw dan berjihad di jalan-Nya, pasti Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Seakan-akan dosa itu tidak pernah diperbuatnya atau menjauhkannya dari perbuatan dosa itu. Allah juga menyediakan tempat bagi mereka di dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Tempat di dalam surga adalah tempat yang paling indah, dan paling menyenangkan hati orang yang berada di dalamnya.

Ayat 13

Dalam ayat ini diterangkan kemenangan dan keuntungan yang akan diperoleh oleh Rasulullah dan kaum Muslimin di dunia, yaitu mereka akan dapat mengalahkan musuh-musuh mereka, menaklukkan beberapa negeri dalam waktu yang dekat, memberikan kedudukan yang baik bagi kaum Muslimin, serta kekuatan iman dan fisik. Dengan demikian, mereka berkuasa di Timur dan Barat, dan agama Islam tersebar di seluruh dunia.

Ayat ini termasuk ayat yang menerangkan kemukjizatan, yaitu menerangkan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Hal ini dipercayai betul oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, sehingga menumbuhkan kekuatan dan semangat yang hebat di kalangan kaum Muslimin. Dalam sejarah terlihat dan terbukti bahwa dalam waktu yang sangat singkat agama Islam telah dianut oleh sebagian penduduk dunia, sejak dari ujung barat Afrika sampai ujung timur Indonesia, dari Maroko ke Merauke, dan dari Asia Tengah di utara sampai ke Afrika di selatan.

Kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin mengenai keuntungan yang akan mereka peroleh dari perdagangan itu di dunia dengan keuntungan-keuntungan dan di akhirat berupa surga. Penggunaan kata perniagaan dalam ayat ini sebagai perumpamaan karena masyarakat Arab pada saat itu hidup dari perniagaan dan perdagangan.

Ayat 14

Allah memerintahkan kaum Muslimin agar menjadi penolong-penolong agama Allah, menyebarluaskan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya sehingga tidak ada yang mengalahkannya, dengan beriman dan berjihad. Hal yang sama pernah dilakukan sahabat-sahabat terdekat Nabi Isa yang berkata kepada mereka, “Siapakah penolong agama Allah?” Mereka menjawab, “Kamilah penolong-penolong agama Allah.”

Ketika Nabi Isa menyampaikan risalahnya kepada Bani Israil dengan bantuan sahabat-sahabat setianya, sebagian Bani Israil itu ada yang memperkenankan seruannya, sedang yang lain ada yang mengingkari dan menolaknya. Mereka yang menolak itu menuduh Isa sebagai seorang anak zina, yang dilahirkan karena perzinaan ibunya Maryam dengan seorang laki-laki, dan ada pula yang mengatakan bahwa Isa itu putra Allah, kekasih-Nya, dan sebagainya.

Dalam menghadapi orang-orang yang mengingkari seruan Nabi Isa itu serta mengada-adakan kebohongan tentangnya, maka Allah menguatkan hati orang-orang yang beriman dari mereka, sehingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuh itu. Firman Allah:

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْاَشْهَادُۙ   ٥١ 

 Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat). (Gafir/40: 51)

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah as-Saff ayat 7-11

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Tafsir Surah as-Saff ayat 7-11 ini menceritakan tentang wahyu yang tidak turun selama 40 hari, lalu seorang pemuda Yahudi menyebarkan kabar bahwa Allah telah memutus dakwah Nabi. Hal ini membuat Rasul bersedih hati.  Oleh sebab itu Tafsir Surah as-Saff ayat 7-11 ini merupakan penegasan dari Allah bahwa datangnya Rasulullah adalah untuk mengajarkan agama Islam yang telah ada di dalam Al-Quran dan hadis, dengan adanya Islam maka agama terdahulupun menjadi terhapus.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Saff ayat 4-5


Ayat 7

Allah menyatakan, “Siapakah yang lebih zalim dari orang-orang yang mengada-adakan sesuatu tentang Allah”, seperti mengatakan bahwa Allah mempunyai sekutu dalam mengatur alam ini. Dari ayat ini dipahami bahwa orang yang paling zalim ialah orang yang diajak memeluk agama Allah, agama yang benar dan membawa manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat yaitu Islam, mereka menolak ajakan itu.

Bahkan mereka mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, seperti mendustakan Nabi Muhammad, memandang Al-Qur’an sebagai sihir ciptaan tukang sihir yang bernama Muhammad, dan sebagainya.

Orang-orang yang mengada-adakan kebohongan tentang Allah itu berarti menganiaya diri mereka sendiri, dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang terlarang. Orang-orang yang mengerjakan perbuatan itu tidak akan memperoleh taufik dari Allah.

Ayat 8

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa wahyu pernah tidak turun kepada Nabi Muhammad selama empat puluh hari. Maka seorang pemuka Yahudi, yaitu Ka‘ab bin al-Asyraf, meminta kepada orang-orang Yahudi agar bergembira karena Allah telah memadamkan cahaya dakwah Muhammad saw dengan tidak lagi menurunkan wahyu kepadanya. Mendengar ucapan Ka‘ab itu Rasulullah merasa sedih. Berkenaan dengan itu turunlah ayat ini.

Pada ayat ini diterangkan alasan orang-orang yang berbuat kebohongan terhadap Allah. Perbuatan dosa dan ucapan mengada-ada itu bertujuan untuk memadamkan sinar agama Islam yang menerangi manusia yang sedang berada dalam kegelapan.

Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti orang yang ingin memadamkan cahaya matahari yang menyilaukan pemandangan dengan hembusan mulutnya yang tidak berarti apa-apa. Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah akan tetap memancarkan sinar agama-Nya ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah Nabi Muhammad dan orang-orang yang beriman walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.

Ayat 9

Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah mengutus Nabi Muhammad dengan tugas menyampaikan agama-Nya kepada seluruh manusia. Pokok-pokok agama itu terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis, yang berisi petunjuk untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan munculnya agama Islam, maka agama yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Agama Islam itu mengungguli agama-agama lain sesuai dengan kehendak Allah, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.

Ayat 10-11

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslimin agar melakukan amal saleh dengan mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul -Nya, apakah kamu sekalian mau Aku tunjukkan suatu perniagaan yang bermanfaat dan pasti mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda dan keberuntungan yang kekal atau melepaskan kamu dari api neraka.”

Ungkapan ayat di atas memberikan pengertian bahwa amal saleh dengan pahala yang besar, sama hebatnya dengan perniagaan yang tak pernah merugi karena ia akan masuk surga dan selamat dari api neraka. Firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ اشْتَرٰى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اَنْفُسَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ بِاَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ

Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. (at-Taubah/9: 111).

Kemudian disebutkan bentuk-bentuk perdagangan yang memberikan keuntungan yang besar itu, yaitu:

  1. Senantiasa beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, adanya hari Kiamat, qadha‘ dan qadar Allah.
  2. Mengerjakan amal saleh semata-mata karena Allah bukan karena ria adalah perwujudan iman seseorang.
  3. Berjihad di jalan Allah. Berjihad ialah segala macam upaya dan usaha yang dilakukan untuk menegakkan agama Allah. Ada dua macam jihad yang disebut dalam ayat ini yaitu berjihad dengan jiwa raga dan berjihad dengan harta. Berjihad dengan jiwa dan raga ialah berperang melawan musuh-musuh agama yang menginginkan kehancuran Islam dan kaum Muslimin. Berjihad dengan harta yaitu membelanjakan harta benda untuk menegakkan kalimat Allah, seperti untuk biaya berperang, mendirikan masjid, rumah ibadah, sekolah, rumah sakit, dan kepentingan umum lainnya.

Di samping itu, ada bentuk-bentuk jihad yang lain, yaitu jihad menentang hawa nafsu, mengendalikan diri, berusaha membentuk budi pekerti yang baik pada diri sendiri, menghilangkan rasa iri, dan sebagainya.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa iman dan jihad itu adalah perbuatan yang paling baik akibatnya, baik untuk diri sendiri, anak-anak, keluarga, harta benda, dan masyarakat, jika manusia itu memahami dengan sebenar-benarnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah as-Saff ayat 12-14


 

Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 2

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 2 ini menerangkan tentang tanda-tanda kenabian Rasulullah. Salah satu tanda yang dijelaskan dalam Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 2 ini adalah tidak berlaku sombong, hal ini dibuktikan dengan Nabi Muhammad yang mendapat gelar al-Amin.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Saff ayat 6 part 1


Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 2

Kitab Habakuk 3: 3 menyebutkan:

“Bahwa Allah datang dari teman dan Yang Mahasuci dari pegunungan Paran-Selah. Maka kemuliaan-Nya menudungilah segala langit dan bumi pun adalah penuh dengan pujinya.”; Di sini diterangkan tentang teman dan orang-orang suci dari pegunungan Paran. Yang dimaksud dengan teman di sini adalah Nabi Muhammad, dan Paran adalah Mekah.

Demikian pula Nabi Musa dalam Kitab Ulangan 18: 17-22 telah menyatakan kedatangan Nabi Muhammad saw itu:

“Maka pada masa itu berfirmanlah Tuhan kepadaku (Musa), “Benarlah kata mereka itu (Bani Israil).” Bahwa Aku (Allah) akan menjadikan bagi mereka itu seorang nabi dari antara segala saudaranya (yaitu Nabi dan Bani Israil) yang seperti engkau (Nabi Musa) dan aku akan memberi segala firmanku dalam mulutnya dan dia pun akan mengatakan kepadanya segala yang kusuruh akan dia.

Bahwa sesungguhnya barang siapa yang tiada mau dengar segala firman-Ku yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku, niscaya Aku menuntutnya kelak pada orang itu. Tetapi adanya Nabi yang melakukan dirinya dengan sombong dan mengatakan firman dengan nama-Ku, yang tiada Ku-suruh katakan, atau yang berkata dengan nama dewa-dewa, niscaya orang Nabi itu akan mati dibunuh hukumnya.

Maka jikalau kiranya kamu berkata dalam hatimu demikian, “Dengan apakah boleh kami ketahui akan perkataan itu bukannya firman Tuhan adanya?”

Bahwa jikalau Nabi itu berkata demi nama Tuhan, lalu barang yang dikatakannya tidak jadi atau tidak datang, yaitu perkataan yang bukan firman Tuhan adanya, maka Nabi itu pun berkata dengan sembarangan, janganlah kamu takut akan dia.”; Dalam ayat-ayat Taurat di atas terdapat petunjuk-petunjuk nubuwwah Nabi Muhammad saw sebagai berikut, “Seorang Nabi di antara segala saudaranya.”

Hal ini menunjukkan bahwa yang akan menjadi nabi itu akan muncul dari saudara-saudara Bani Israil, tetapi bukan dari Bani Israil sendiri, karena Bani Israil itu keturunan Yakub dan ia adalah anak Ishak. Sedangkan Ishak adalah saudara Ismail. Saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail, dan Nabi Muhammad sudah jelas adalah keturunan Bani Ismail.

Kemudian kalimat “yang seperti engkau” memberi pengertian bahwa nabi yang akan datang itu haruslah seperti Nabi Musa, maksudnya nabi yang membawa agama seperti yang dibawa Nabi Musa. Seperti dituliskan bahwa Nabi Muhammad itulah satu-satunya nabi yang membawa syariat yang berlaku juga bagi Bani Israil.

Kemudian dikatakan bahwa Nabi itu “tidak sombong”, “dan tidak akan mati dibunuh.” Muhammad saw seperti dimaklumi bukanlah orang yang sombong, baik sebelum menjadi nabi apalagi setelah menjadi nabi. Sebelum menjadi nabi, ternyata beliau telah disenangi oleh khalayak umum, dan dipercaya oleh orang-orang Quraisy. Hal ini terbukti dengan panggilan beliau al-Amin (kepercayaan). Kalau beliau sombong, tentulah beliau tidak diberi gelar yang sangat terpuji itu dan Nabi Muhammad tidak mati di bunuh.

Umat Nasrani menerapkan kenabian itu kepada Isa, padahal mereka percaya bahwa Isa mati disalib. Hal ini jelas bertentangan dengan ayat kenabian itu sendiri. Sebab nabi itu haruslah tidak mati dibunuh (disalib dan sebagainya).

Banyak lagi petunjuk di dalam Taurat yang menerangkan kenabian Muhammad saw seperti yang diberikan Nabi Yesaya 42: 1-2; Nabi Yermin 31: 31-32, Nabi Daniel 2: 38-45; dan masih banyak lagi yang tidak perlu disebutkan di sini. Demikian pula dalam kitab Injil di mana tentang Muhammad banyak disebut dalam kitab Yahya.

Kemudian diterangkan bahwa nabi dan rasul yang bernama Ahmad itu lahir dengan membawa dalil-dalil yang kuat serta mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah. Akan tetapi, mereka pun mengingkarinya dan mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang tukang sihir. Tentang Nabi Muhammad itu disampaikan oleh semua nabi, dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

وَاِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ النَّبِيّٖنَ لَمَآ اٰتَيْتُكُمْ مِّنْ كِتٰبٍ وَّحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهٖ وَلَتَنْصُرُنَّهٗ ۗ قَالَ ءَاَقْرَرْتُمْ وَاَخَذْتُمْ عَلٰى ذٰلِكُمْ اِصْرِيْ ۗ قَالُوْٓا اَقْرَرْنَا ۗ قَالَ فَاشْهَدُوْا وَاَنَا۠ مَعَكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِيْنَ  ٨١

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, ”Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu.” (Ali ‘Imran/3: 81).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah as-Saff ayat 7-11


 

Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 1

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 1 ini mengisahkan tentang keturunan Nabi Ibrahim hingga ke Nabi Muhammad. Dijelaskan dalam Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 1 ini bahwa kedatangan Nabi Muhammad telah dijelaskan dalam kitab Taurat dan Injil.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Saff ayat 4-5


Ayat 6

Allah memerintahkan Nabi Muhammad menyampaikan kepada kaum Muslimin dan Ahli Kitab, kisah keingkaran kaum Isa ketika ia mengatakan kepada kaumnya bahwa ia adalah rasul Allah yang diutus kepada mereka. Ia juga membenarkan kitab Taurat yang dibawa Nabi Musa, demikian pula kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para nabi sebelumnya. Ia menyeru kaumnya agar beriman pula kepada rasul yang datang kemudian yang bernama Ahmad (Muhammad saw).

Pada ayat yang lain ditegaskan pula bahwa berita tentang kedatangan Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah terakhir terdapat pula dalam Kitab Taurat dan Injil. Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. (al-A’raf/7: 157)

Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda:

إِنِّى عَبْدُ اللهِ لَخَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ وَإِنَّ ﺁدَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِيْنَتِهِ وَسَأُنَبِّئُكُمْ بِتَأْوِيْلِ ذَلِكَ دَعْوَةُ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ وَبَشَارَةُ عِيْسَى بِيْ وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ وَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُ النَّبِيِّيْنَ. (رواه أحمد عن عرباض بن سارية)

Sesungguhnya aku adalah hamba Allah sebagai penutup para nabi. Sesungguhnya Nabi Adam bagaikan batu permata ketika masih berupa tanah liat. Aku akan mengabarkan kepadamu tentang penakwilan ayat tersebut, yaitu doa bapakku Nabi Ibrahim dan kabar gembira dari Nabi Isa mengenai kedatanganku, dan mimpi yang dilihat oleh ibuku dan sekalian ibu para nabi. (Riwayat A¥mad dari ‘Irbadh bin Sariyah).

Dalam kitab Taurat banyak disebutkan isyarat-isyarat kedatangan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir, seperti Kitab Kejadian 21: 13.

“Maka anak sahayamu itu pun akan terjadikan suatu bangsa, karena itu ia dari benihmu.”

Maksudnya ialah keturunan Hajar, ibu dari Ismail yang kemudian menjadi orang-orang Arab yang mendiami Semenanjung Arabia. Waktu Nabi Ibrahim pergi ke Mesir bersama istrinya, Sarah, beliau dianugerahi oleh Raja Mesir seorang hamba sahaya perempuan, yang bernama Hajar, yang kemudian dijadikannya sebagai istri. Sewaktu Hajar telah melahirkan putranya Ismail, ia diantarkan Ibrahim ke Mekah atas perintah Allah. Di Mekahlah Ismail menjadi besar dan berketurunan. Di antara keturunannya itu bernama Muhammad yang kemudian menjadi nabi dan rasul terakhir.

Kitab Kejadian 21: 18 memerintahkan agar Bani Israil mengikuti dan menyokong Nabi Muhammad, yang akan datang kemudian.

“Bangunlah engkau, angkatlah budak itu, sokonglah dia, karena Aku hendak menjadikan dia suatu bangsa yang besar.”

Demikian pula dengan Kitab Kejadian 17: 20 menyebutkan:

“Maka akan hal Ismail itu pun telah Kululuskan permintaanmu, bahwa sesungguhnya Aku telah memberkati akan dia dan memberikan dia dan memperbanyak dia amat sangat dua belas orang raja-raja akan berpencar daripadanya dan Aku akan menjadikan dia suatu bangsa yang besar.”


Baca Setelahnya: Tafsir Surah as-Saff ayat 6 part 2


 

Tafsir Surah as-Saff ayat 4-5

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Tafsir Surah as-Saff ayat 4-5 mengajarkan umat Islam untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar kaum muslimin. Dengan kesatuan itu maka akan terbentuklah umat Islam yang kokoh, tidak mudah untuk diperpecah dan juga dihancurkan. Untuk menjaga kesatuan tersebut dalam Tafsir Surah as-Saff ayat 4-5, Allah memerintahkan umat Islam untuk merapatkan barisan dalam sholat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah As-Saff ayat 1-3


Ayat 4

Dalam ayat ini Allah memuji orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan barisan yang teratur dan persatuan yang kokoh. Allah menyukai kaum Muslimin yang demikian. Tidak ada celah-celah perpecahan, walau yang kecil sekali pun, seperti tembok yang kokoh yang tersusun rapat dari batu-batu beton.

Ayat ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin agar mereka menjaga persatuan yang kuat dan persatuan yang kokoh, mempunyai semangat yang tinggi, suka berjuang, dan berkorban. Membentuk dan menjaga persatuan serta kesatuan di kalangan kaum Muslimin berarti menyingkirkan segala sesuatu yang mungkin menimbulkan perpecahan, seperti perbedaan pendapat tentang sesuatu yang sepele dan tidak penting, sifat mementingkan diri sendiri, membangga-banggakan suku dan keturunan, mementingkan golongan, tidak berperikemanusiaan, dan sebagainya.

Oleh karena itulah, dalam membina persatuan dan kesatuan, Allah memperingatkan dan memerintahkan kaum Muslimin menjaga dan mengatur shaf (barisan) dalam salat dengan rapi, bahu-membahu, tidak ada satu pun tempat yang kosong. Tempat yang kosong akan diisi oleh setan, sedangkan setan adalah musuh manusia. Tidak baik jika seseorang salat sendirian di belakang shaf, kecuali dengan menarik ke belakang seorang yang berada dalam shaf yang di depannya. Mengatur barisan dalam salat merupakan latihan mengatur barisan dalam berjihad di jalan Allah.

Ayat 5

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyampaikan kepada kaum Muslimin dan Ahli Kitab tentang Nabi Musa yang menyesali kaumnya, mengapa mereka menentang dan menyakitinya. Padahal mereka tahu bahwa ia adalah seorang rasul yang diutus Allah kepada mereka.

Dalam ayat yang lain diterangkan bahwa Musa memerintahkan kaumnya berperang agar mereka bisa memasuki kota Baitulmakdis, tetapi kaumnya mengingkari. Allah berfirman:

يٰقَوْمِ ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خٰسِرِيْنَ  ٢١  قَالُوْا يٰمُوْسٰٓى اِنَّ فِيْهَا قَوْمًا جَبَّارِيْنَۖ وَاِنَّا لَنْ نَّدْخُلَهَا حَتّٰى يَخْرُجُوْا مِنْهَاۚ فَاِنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا فَاِنَّا دٰخِلُوْنَ  ٢٢

Wahai kaumku! Masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu berbalik ke belakang (karena takut kepada musuh), nanti kamu menjadi orang yang rugi. Mereka berkata, “Wahai Musa! Sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang sangat kuat dan kejam, kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka keluar dari sana, niscaya kami akan masuk.” (al-Ma’idah/5: 21-22).

Ayat ini merupakan penawar hati Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin agar selalu bersabar menghadapi sikap orang-orang munafik, yang mengaku dirinya muslim, tetapi di belakang Rasulullah mereka mengingkarinya. Sehubungan dengan itu, Rasulullah pernah bersabda, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Musa yang disakiti kaumnya lebih berat daripada yang terjadi pada diriku ini, tetapi ia tetap sabar.”

Allah melarang kaum Muslimin menyakiti hati Rasulullah Muhammad saw, seperti yang telah dialami oleh Nabi Musa. Dia berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ اٰذَوْا مُوْسٰى فَبَرَّاَهُ اللّٰهُ مِمَّا قَالُوْا ۗوَكَانَ عِنْدَ اللّٰهِ وَجِيْهًا ۗ   ٦٩

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang yang menyakiti Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan. Dan dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah. (al-Ahzab/33: 69).

Setelah orang-orang yang durhaka dan menyakiti hati Nabi Muhammad itu berpaling dan mengingkari kebenaran, sedangkan mereka mengetahui kebenaran itu, Allah pun memalingkan hati mereka dari petunjuk-Nya. Dengan demikian, mereka tidak mungkin lagi mendapat petunjuk. Allah berfirman:

وَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ ࣖ   ۔   ١١٠

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan. (al-An‘am/6: 110).

Maksud perkataan Allah “memalingkan hati orang-orang kafir” dalam ayat ini ialah membiarkan mereka dalam keadaan sesat. Semakin banyak kesesatan dan kemaksiatan yang mereka perbuat, semakin jauh pula mereka dari petunjuk Allah, sehingga sulit bagi mereka kembali ke jalan yang benar.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan pernyataan-Nya di atas bahwa orang yang telah jauh dari jalan yang benar tidak mungkin lagi memperoleh taufik dan hidayah dari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang fasik, sedangkan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah as-Saff ayat 6


 

Tafsir Surah as-Saff ayat 1-3

0
Tafsir Surah As-Saff
Tafsir Surah As-Saff

Tafsir Surah as-Saff ayat 1-3 mengingatkan kaum Muslimin akan kekurangan yang ada pada diri manusia, terdapat dua kelemahan manusia yakni ketidaksesuaian perkataan dengan perbuatan dan tidak menepati janji. Ditegaskan dalam ayat ketiga pada Tafsir Surah as-Saff ayat 1-3 ini bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang tidak menepati perkataannya.


Baca Juga: Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92


Ayat 1

Segala apa yang di langit dan bumi mengakui bahwa hanyalah Allah yang berhak disembah tidak ada yang lain, Dialah yang menciptakan, menguasai, menjaga kelangsungan hidup, serta menentukan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, dan semua makhluk tunduk di bawah kehendak-Nya. Dia menciptakan segala sesuatu sesuai dengan maksud dan tujuan yang Dia kehendaki, serta sesuai pula dengan kegunaannya.

Ayat 2

Setelah Allah menerangkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, ia mengingatkan kaum Muslimin akan kekurangan-kekurangan yang ada pada mereka, yaitu mereka mengatakan suatu perkataan, tetapi mereka tidak merealisasikan atau mengerjakannya. Di antaranya, mereka berkata, “Kami ingin mengerjakan kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah,” tetapi jika datang perintah itu, mereka tidak mengerjakannya.

Ada dua macam kelemahan manusia yang dikemukakan ayat ini, yaitu:

  1. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan mereka. Kelemahan ini kelihatannya mudah diperbaiki, tetapi sukar dilaksanakan. Sangat banyak manusia yang pandai berbicara, suka menganjurkan suatu perbuatan baik, dan mengingatkan agar orang lain menjauhi larangan-larangan Allah, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Abdullah bin Rawahah berkata, “Para mukmin pada masa Rasulullah sebelum jihad diwajibkan berkata, “Seandainya kami mengetahui perbuatan-perbuatan yang disukai Allah, tentu kami akan melaksanakannya.” Maka Rasulullah menyampaikan bahwa perbuatan yang paling disukai Allah ialah beriman kepada-Nya, berjihad menghapuskan kemaksiatan yang dapat merusak iman, dan mengakui kebenaran risalah yang disampaikan Nabi-Nya. Setelah datang perintah jihad, sebagian orang-orang yang beriman merasa berat melakukannya. Maka turunlah ayat ini sebagai celaan akan sikap mereka yang tidak baik itu.
  2. Tidak menepati janji yang telah mereka buat. Suka menepati janji yang telah ditetapkan merupakan salah satu ciri dari ciri-ciri orang-orang yang beriman. Jika ciri itu tidak dipunyai oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah dan rasul-Nya, berarti ia telah menjadi orang munafik.

Rasulullah saw bersabda:

ﺁيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ئْتُمِنَ خَانَ. (رواه البخاري ومسلم)

Tanda orang munafik ada tiga macam: bila berkata, ia berdusta, bila berjanji, ia menyalahi janjinya, dan bila dipercaya, ia berkhianat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Namun tidak berarti bahwa orang-orang tidak boleh mengatakan kebenaran bila ia sendiri belum mampu melaksanakannya. Mengatakan kebenaran wajib, sedangkan melaksanakannya tergantung kemampuan. Allah berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ   ١٦

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (at-Tagabun/64: 16)

Ayat 3

Allah memperingatkan bahwa sangat besar dosanya orang mengatakan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Hal ini berlaku baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan masyarakat.

Menepati janji merupakan perwujudan iman yang kuat. Budi pekerti yang agung, dan sikap yang berperikemanusiaan pada seseorang, menimbulkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji tanda iman yang lemah, serta tingkah laku yang jelek dan sikap yang tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan saling mencurigai dan dendam di dalam masyarakat. Oleh karena itulah, agama Islam sangat mencela orang yang suka berdusta dan menyalahi janjinya.

Agar sifat tercela itu tidak dipunyai oleh orang-orang beriman, alangkah baiknya jika menepati janji dan berkata benar itu dijadikan tujuan pendidikan yang utama yang diajarkan kepada anak-anak di samping beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan melatih diri mengerjakan berbagai bentuk ibadah yang diwajibkan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah as-Saff ayat 4-5


 

Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Quran

0
waqaf dalam mushaf Al-Quran
waqaf dalam mushaf Al-Quran

Apa yang hendak saya tulis di sini berangkat dari pengalaman yang penulis alami ketika mengikuti salah satu majelis ngaji Al-Quran secara daurah di pesantren. Pengalaman yang berkaitan dengan problematika yang muncul dari penerapan tanda waqaf dan tekstualitas mushaf yang masih menjadi pegangan.

Waqaf dalam Al-Quran

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam tradisi pembacaan Al-Quran tidak ada satu pun waqaf yang mengharuskan berhenti. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh Ibn al-Jazariy dalam Matn al-Jazariyyah-nya,

وَلَيْسَ فِي الْقُرآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ * وَلَا حَرَامٌ غَيْرَ مَا لَهُ سَبَبْ

“Tiada satu pun waqaf dalam Al-Quran yang wajib. Dan tiada pula satu pun waqaf yang haram, kecuali jika ada sebab tertentu yang mengharuskannya.”

Baca Juga: Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi beberapa pembaca Al-Quran untuk tidak menaati rambu-rambu waqaf dalam mushaf Al-Quran. Apalagi jika rambu-rambu yang tertera ‘hanya’ sebatas anjuran yang tidak mengikat.

Dalam beberapa cetakan mushaf Al-Quran, pembagian tanda waqaf yang digunakan memang berbeda-beda. Dalam internal mushaf cetakan Indonesia saja, hal ini sangat beragam. Apalagi jika menambahkan mushaf cetakan luar negeri, daftar ragamnya akan semakin panjang. Namun sebagai contoh, mari kita ambil standar yang digunakan Mushaf Al-Quran Standar Indonesia.

Pasca dilakukannya beberapa penyempurnaan pada mushaf cetakan 2002, 12 macam tanda waqaf disederhanakan dan distandarkan menjadi hanya 7 macam: م yang berarti waqf lazim atau harus berhenti, لا yang berarti ‘adam al-waqf atau tidak boleh berhenti, ج yang berarti al-waqf ja’iz atau boleh berhenti, قلى yang berarti al-waqf aula atau lebih baik berhenti, صلى yang berarti al-washl aula atau lebih baik tidak berhenti, سكتة yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil nafas, dan tanda titik tiga yang disusun membentuk segitiga yang ditempatkan secara berdampingan atau disebut dengan mu‘anaqah yang berarti berhenti pada salah satu tanda.

Ke-7 tanda waqaf ini, apabila mengikuti kerangka ulasan Ibn al-Jazariy sebelumnya, pada dasarnya tidak bersifat wajib dan mengikat, bahkan termasuk waqaf lazim (ketiadaan hukum wajib berhenti pada waqaf lazim yang mengesankan adanya kontradiksi ini mungkin akan dibicarakan pada tulisan yang lain, insyaAllah).

Dengan kata lain, tidak ada konsekuensi hukum apa pun yang timbul bagi pembaca manakala ia tidak mematuhi tanda waqaf yang ada. Namun hal ini hanya berlaku pada aspek yang berkaitan dengan waqaf saja. Untuk masalah lain, lain lagi ceritanya. Masalah lain ini lah yang penulis maksudkan sebelumnya dengan problematika tanda waqaf dan tekstualitas mushaf Al-Quran.

Baca Juga: Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an yang Jarang Diketahui

Problematika Tanda Waqaf: Madd

Salah satu problem yang penulis jumpai berkenaan dengan penerapan tanda waqaf adalah masalah madd atau bacaan panjang. Masalah ini terjadi utamanya pada madd yang melibatkan pertemuan hamzah. Sedikitnya ada dua madd yang penulis dapati menjadi korban dalam masalah ini: madd ja’iz munfashil dan madd shilah thawilah.

Kasus yang menimpa dua madd ini terjadi apabila tanda waqaf al-waqf aula, yang notabenenya tidak wajib, berada diantara pertemuan madd dan hamzah yang jatuh setelahnya. Untuk lebih mudahnya lihat contoh ayat berikut ini,

وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ (الأعراف: 179)

وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ (الأنفال: 34)

contoh waqaf dalam Al-Quran
contoh waqaf dalam Al-Quran

Pada ayat pertama, Mushaf Al-Quran Standar Indonesia menempatkan tanda waqaf ini di antara kata biha dan ula’ika. Oleh karena rekomendasi dari tanda waqaf tersebut adalah berhenti, penulisan tanda madd tidak mengadopsi model madd ja’iz munfashil, dengan satu garis panjang, dan hanya ditulis madd thabi‘iy.

Akibat dari penulisan semacam ini, pembaca yang membaca washl yang kurang teliti atau bahkan kurang memahami konsep madd dalam ilmu tajwid cenderung berpegang pada tekstual mushaf Al-Quran yang ada. Padahal dalam ilmu tajwid, jika ayat pertama ini dibaca washl, hukum bacaannya kembali seperti semula, sebelum ditempatkannya tanda waqaf.

Hal yang sama juga berlaku pada ayat kedua. Bedanya, kasus dalam ayat ini adalah madd shilah. Mushaf Al-Quran Standar Indonesia menempatkan tanda waqafnya di antara kata auliya’ahu dan in. Penulisan tanda madd shilah thawilah dengan satu garis panjang juga tidak dijumpai di sini, mengingat rekomendasi dari tanda waqaf-nya adalah berhenti. Sehingga tanda madd yang ditulis merupakan shilah qashirah.

Penulisan tanda madd ini akan berbeda jika tanda waqaf yang ada adalah al-washl aula. Karena rekomendasi dari tanda waqaf ini adalah tidak berhenti, maka tanda madd ja’iz munfashil atau madd shilah qashirah tetap dimunculkan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Kesimpulan

Dari pengalaman ini penulis setidaknya sadar akan adanya dua hal. Pertama, ada keterbatasan tertentu yang tidak dapat dihindari dari penulisan sebuah teks. Dalam masalah ini, penerapan tanda waqaf dan tanda madd mau tidak mau harus menempuh langkah demikian setelah melakukan penyesuaian dan pertimbangan tertentu. Kedua, perhatian, ketelitian, serta penguasaan disiplin ilmu Al-Quran menjadi sebuah keniscayaan dalam pembacaan Al-Quran. Karena lagi-lagi, tekstualitas mushaf tidak dapat dijadikan sebagai acuan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

0
Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur'an di Nusantara
Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur'an di Nusantara

Penulisan Al-Qur’an di Nusantara diperkirakan telah ada sekurang-kurangnya sekitar akhir abad ke-13 M. Ketika kerajaan Samudra Pasai menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang berada di pesisir ujung Pulau Sumatra memeluk Islam secara sah melalui pengislaman sang raja. (“Seni Mushaf di Asia Tenggara”, (Terj. Ali Akbar), Lektur, Vol. 2, No.2, 2004, hlm 123). Sejak awal masa penyalinan mushaf Al-Qur’an di Nusantara, tentu didorong oleh komitmen spirit dakwah yang tinggi, khususnya dalam mengajarkan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan pada masa itu belum adanya teknologi untuk penggandaan naskah dalam skala besar, semua naskah hanya bisa ditulis dengan tangan.

Sayangnya, tradisi penyalinan mushaf Al-Qur’an di Indonesia pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 dapat dikatakan sebagai masa transisi dalam teknik produksi mushaf Al-Qur’an. Karena pada masa itu, penyalinan mushaf  Al-Qur’an tulis tangan masih berlanjut, akan tetapi pada saat yang sama mulai marak penggunaan teknologi cetak. Salah satu mushaf  Al-Qur’an yang pada saat itu sudah menggunakan teknologi cetak yaitu mushaf Palembang milik keluarga Abdul Azim Amin yang menggunakan teknologi cetak litografi (cetak batu) yang dibelinya dari Singapura dan selesai dicetak pada 20 Agustus 1848 M. (Al-Qur’an Cetak di Indonesia Tinjauan Kronologis Pertengahan Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20. Suhuf, Vol. 5, No. 2, 2012: 233)

Baca juga: Tiga Tipe Istri yang Dijelaskan dalam Surah At-Tahrim Ayat 10-12

Jika dibandingkan dengan tulisan tangan, kehadiran teknologi cetak batu ternyata lebih memudahkan dalam proses penggandaan mushaf Al-Qur’an secara masif serta bisa mempersingkat efisiesi waktu. Namun jumlah produksinya masih tetap terbatas.

 Faktor Inkonsistensi Rasm di Nusantara

Mengutip apa yang sudah dipaparkan oleh Adrika Fithrotul Aini dalam Penggunaan Kaidah Rasm Surat Yasin dalam Naskah Mushaf al-Qur’an Koleksi Pondok Pesantren Tebuireng (Jurnal STUDIA QURANIKA, Vol. 5, No. 1, Juli 2020, hlm 34) tentang beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketidakkonsisten penggunaan kaidah rasm dalam manuskrip mushaf Al-Qur’an, diantaranya :

  1. Adanya perbedaan konteks sosial, yang mana pada saat mushaf Al-Quran ditulis, belum ada pedoman yang baku dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Hal ini dapat kita lihat dari rekam sejarah mushaf standar Indonesia baru ada pada abad 20-an. Sedangkan tradisi menulis mushaf Al-Quran terlahir jauh sebelum abad ke 20.
  2. Pada saat itu, tradisi menghafal yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Nusantara. Sehingga penggunaan kaidah nahwu    sharaf tidak terlalu mendapat perhatian lebih pada saat penuangan tulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadi sebab eksistensi ilmu rasm belum begitu akrab ditengah masyarakat pada saat itu.

  3. Faktor dari penyalinnya itu sendiri. Hal ini dikarenakan, tipikal rasm yang digunakan tidak dapat terlepas dari siapa yang menyalinnya pada saat itu. Mengutip Lenni Lestari dalam Mushaf Al-Qur’an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya Lokal, Jurnal At-Tibyan, I No.1 Januari–Juni 2016, hlm.176, bahwa penyalinan juga dilakukan oleh para ulama atau pelajar yang tengah memperdalam ilmu agama di Mekkah, tepatnya Pada abad ke-16 sampai ke-19 M. Mekkah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam. Yang demikian ini, sangat mungkin terjadi proses transmisi keilmuan, khususnya tentang kajian rasm utsmani yang sudah mulai tersebar luas dan sangat berpengaruh terhadap pemahaman penyalin yang menulis ulang ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pada hafalannya. Sehingga disinyalir bahwa terjadi adanya percampuran rasm dalam bentuk tulisan tidak dapat dinafikan.

Demikianlah sedikit ulasan mengenai faktor terjadinya inkonsistensi rasm yang sering ditemukan dalam manuskrip mushaf Al-Qur’an di Nusantara. Munculnya inkonsistensi dalam penggunaan kaidah rasm itu sendiri bukanlah terjadi secara disengaja dan dibuat-buat, melainkan kondisi sosial disekitarnya lah yang sangat berpengaruh terhadap penyalin yang menulis ulang ayat Al-Qur’an tersebut. Wallahu a’lamu bisshowab