Beranda blog Halaman 184

Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 20-23

0
Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Tafsir Surat Adz-Dzariyat

Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 20-23 ini menjelaskan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di bumi serta yang ada pada diri manusia itu sendiri. Dijelaskan dalam Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 20-23 ini bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang banyak itu dapat dilihat dengan mata hati. Selain itu, dijelaskan juga tentang adanya sebab-sebab rezeki di langit. Salah satunya dengan air hujan. Hal ini dijelaskan dengan teori sains bagaimana air hujan bisa menjadi sebab rezeki bagi penduduk bumi. Di penafsiran terakhir pada Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 20-23 ini membahas tentang sumpah Allah yang disebutkan dalam ayat 23 sebagai isyarat meyakinkan manusia untuk meyakini adanya hari kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19


Ayat 20

Ayat ini menerangkan bahwa di bumi ini terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan Allah bila dilihat dengan mata hati yaitu benda-benda yang besar, cantik dan indah seperti matahari, bulan, gunung-gunung, hutan yang lebat, perkebunan yang subur, samudera yang biru luas sepanjang penglihatan mata yang diisi dengan bermacam-macam ikan seperti yang tampak dalam aquarium, dan lain-lain. Itu semuanya menunjukkan betapa agung dan sempurna Penciptanya, yaitu Allah Rabbul’±lam³n. Tafakur tentang keindahan alam ini benar-benar menambah cinta dan keyakinan orang yang yakin akan kekuasaan Allah.

Ayat 21

Ayat ini mengisyaratkan kepada manusia bahwa pada diri manusia terdapat bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah seperti perbedaan kemampuan, perbedaan bahasa, kecerdasan dan banyak macamnya anggota tubuh yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.

Ayat 22

Ayat ini menjelaskan bahwa di langit terdapat sebab-sebab rezeki bagi manusia seperti turunnya hujan yang menyebabkan datangnya kesuburan tanah pertanian dan perkebunan yang menghasilkan berbagai hasil bumi dan buah-buahan sebagai rezeki bagi manusia dan ternak piaraannya, dan terdapat pula apa yang dijanjikan Allah untuk manusia, yaitu takdir penetapan Allah terhadap manusia itu masing-masing yang semuanya ditulis di Lauh Mahfudz.


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi


Sebab-sebab rezeki di langit yang berlaku bagi semua makhluk hidup dan telah umum diketahui paling tidak ada tiga, yaitu air dalam bentuk hujan, angin, dan cahaya matahari. Air menjadi sebab rezeki. Melalui air hujan yang jatuh ke atas tanah dan memberikan kelembaban tanah sehingga memungkinkan ditumbuhi tanaman yang bermanfaat bagi manusia dalam bentuk bahan pangan, sandang dan perumahan. Angin oleh manusia bisa dimanfaatkan energinya bagi pelayaran dan menggerakkan kincir sumber energi, atau menyebabkan terjadinya penyerbukan tanaman, sehingga hasil pembuahannya bisa dimakan manusia (lihat adz-Ddzariyat /51 ayat 1s/d 3). Sedangkan cahaya matahari merupakan sumber utama energi di permukaan bumi yang bisa diperoleh langsung melalui kehangatannya atau secara tidak langsung melalui pertumbuhan tanaman (fotosintesa) pergerakan angin dan siklus hidrologi (lihat: adz-Dzariyat/51 ayat 1s/d 3). Bahkan energi minyak bumi yang saat ini merupakan sumber energi yang paling banyak dipakai, berasal dari energi cahaya matahari yang ditangkap oleh organisma laut (plankton), untuk kemudian terakumulasi sebagai endapan yang kemudian berubah menjadi minyak bumi.

Ayat 23

Ayat ini menerangkan bahwa Allah bersumpah untuk menetapkan keyakinan pada hati manusia tentang adanya hari kebangkitan. Allah bersumpah demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya hari Kiamat, hari kebangkitan, hari pembalasan dan pembagian rezeki itu yakin benarnya, seperti yakinnya seseorang terhadap perkataan yang diucapkannya. Maka demikian pula, manusia harus yakin akan menjumpai segala yang dijanjikan Allah itu seperti yakinnya dia mendengarkan ucapan-ucapan sendiri, terlebih-lebih jika ucapannya itu dapat direkam dalam sebuah kaset.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 24-29


Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui

0
Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui
Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui

Tidak terasa kita sudah mendekati penghujung bulan Rabiul Awwal. Rabiul Awwal termasuk bulan istimewa bagi umat Islam karena diyakini sebagai bulan kelahiran Penghulu Para Nabi, yaitu Nabi Muhammad saw.

Sebagian kalangan umat Islam memeriahkan bulan ini dengan berbagai kegiatan yang bertujuan menambahkan rasa cinta umat kepada Nabinya. Terlepas dari perdebatan hukum merayakan maulid dengan cara-cara tertentu, kita jelas dianjurkan untuk selalu mempertebal kecintaan kita kepada beliau.

Karena kecintaan kepada beliau akan memotivasi kita untuk semakin meneladani akhlaknya, menghidupkan sunahnya, serta melanjutkan estafet perjuangannya.

Di antara cara menumbuhkan dan mempertebal kecintaan tersebut ialah dengan mengenang sejarah hidup serta perjuangan beliau mendakwahkan Islam di Jazirah Arab 14 abad silam.

Untuk itu, melalui tulisan ini, penulis hendak memberikan lima rekomendasi buku yang bisa menjadi sumber bacaan mengenai sirah nabawiyyah. Buku-buku ini juga bisa menjadi referensi yang otoritatif untuk dirujuk dalam karya-karya akademik. Sebagai berikut:

Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (1): Surah Yunus Ayat 58

Lima rekomendasi buku sirah nabawiyyah

  1. Sirah Ibnu Hisyam

Buku ini termasuk referensi sirah nabawiyah tertua yang berhasil ditemukan hingga saat ini. Dalam studi sejarah, sumber yang paling otoritatif adalah yang paling dekat dengan kejadian sejarah tersebut. Oleh karena itu, Sirah Ibnu Hisyam sangat otoritatif untuk dirujuk. Selain itu, kelebihan lain dari buku ini ialah penyebutan riwayat-riwayat ketika mengutip pandangan para tabiin dan sahabat. Buku ini awalnya adalah tulisan Ibnu Ishaq (152 H.) yang disunting oleh Ibnu Hisyam (213/218 H.) dan terkenal kemudian dengan nama Sirah Ibnu Hisyam.

2. Al-Rahiq al-Makhtum

Buku ini karya Syeikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dari India. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami dan pembahasannya cukup lengkap dan jelas. Buku ini sangat terkenal karena telah menjuarai lomba karya tulis sirah nabawiyyah yang diadakan oleh Rabitah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim Dunia) pada tahun 1396 H./1976 M. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Judul buku ini sendiri terispirasi dari salah satu kutipan QS. Al-Mutaffifin: 25 yang merupakan nama salah satu jenis minuman di surga.

3. Fiqh al-Sirah al-Nabawiyyah

Buku yang ditulis oleh Syekh Sa’id Ramadhan al-Buthi (2013 M.), ulama Sunni asal Suriah ini berbeda dengan buku sirah lainnya. Selain deskripsi biografi Nabi Muhammad, Syekh al-Buthi juga melakukan analisis pemahaman (fiqh) terhadap kejadian-kejadian penting di masa hidup beliau. Sehingga pembaca tidak hanya mengetahui kronologi dari tiap-tiap peristiwa, tetapi juga diajak menggali hukum-hukum fikih, ibrah, dan hikmah di balik peristiwa-peristiwa tersebut.

Baca juga: Maulid Nabi Muhammad SAW, Ini Tiga Artikel Refleksi Peringatan Kelahiran Baginda Rasulullah

4. Hayat Muhammad

Ditulis oleh Dr. Muhammad Husain Haekal (1956 M.), penulis produktif dari Mesir. Buku ini diakui banyak kalangan sebagai buku sirah Nabi awal yang ditulis seorang muslim dengan metode ilmiah. Husain Haekal dalam menulis buku ini menggunakan referensi tidak hanya dari sumber-sumber keislaman, akan tetapi juga dari sumber di luar Islam. Data-data itu kemudian didialogkan secara logis, kritis, dan sistematis sehingga menjadi ulasan yang menarik dibaca. Di Indonesia buku ini diterjemahkan dengan judul Sejarah Hidup Muhammad.

5. Membaca Sirah Nabi Muhammad: Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih

Buku ini ialah karya mufassir terkemuka Indonesia, Prof. Quraish Shihab. Buku ini sebagaimana nampak jelas dari judulnya, menceritakan sirah Nabi dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis sahih sebagai rujukan utama, serta dilengkapi dengan informasi dari kitab-kitab sirah terpercaya lainnya. Buku ini sangat cocok untuk menjadi bacaan maupun sumber referensi sirah nabawiyyah bagi mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) dan Ilmu Hadis (ILHA).

Selamat membaca!

Baca juga: Tafsir At-Taubah 128: Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Muhammad Abduh: Surah Al-Fatihah Adalah Wahyu Pertama, Ini Argumennya

0
Muhammad Abduh: Surah Al-Fatihah Adalah Wahyu Pertama, Ini Argumennya
Muhammad Abduh

Para ulama banyak menaruh perhatian kepada kajian seputar asbabun nuzul. Sebab, menurut Imam al-Suyuthi, salah satu syarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu oleh orang yang akan menafsiri Al-Quran adalah penguasaan atas asbabun nuzul.

Quraish Shihab mendefinisikan asbabun nuzul sebagai perisiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, di mana kandungan ayat tersebut berkaitan atau dapat dikaitkan dengan peristiwa tersebut (Kaidah Tafsir, hal 205)

Karena karakteristik asbabun nuzul berada di wilayah kesejarahan Al-Quran yang berkaitan erat dengan fakta yang terjadi ketika masa penurunan Al-Quran, maka satu-satunya yang dapat menjadi pegangan dalam mengkajinya adalah riwayat-riwayat yang valid (sahih). Akal dan rasio tidak memiliki andil dalam menentukan domain ini. Ketentuan ini wajar dijumpai seperti dalam ilmu sejarah lainnya, di mana rekam jejak dan data sejarah yang valid merupakan epistem pokok.

Menariknya, Muhammad Abduh –sosok pembaharu Islam dari Mesir- pernah berpolemik karena masalah asbabun nuzul. Ia banyak dikritik ulama kala itu karena menyebut bahwa surah al-Fatihah mendahului turunnya wahyu Iqra’. Ayat 1-5 surah al-‘Alaq menurutnya bukan wahyu yang pertama kali turun. Tentu hal ini berbeda dengan opini umum masyarakat muslim, sehingga tidak heran jika ia menuai banyak kritik tajam dari banyak pihak.

Sebenarnya, klaim al-Fatihah adalah wahyu pertama yang turun bukanlah pernyataan baru. Al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf menulis bahwa Ibnu Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa Iqra’ adalah surah pertama yang turun. Sedangkan menurut mayoritas mufassir, al-Fatihah yang pertama kali turun. (Tafsir Al-Kasysyaf, juz 4 hal 775). Pernyataan al-Zamakhsyari ini nantinya dikoreksi oleh Ibnu Hajar karena disinformasi mengenai fakta sebenarnya. (Al-Itqan, hal 94).

Baca juga: Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Lain

Jika memang ini bukan isu yang baru dalam wacana keislaman, lalu mengapa Muhammad Abduh sempat berpolemik dengan banyak ulama ketika itu?

Alasannya dikarenakan pernyataannya itu disertai argumen-argumen rasional untuk mentarjih pendapatnya. Dalam Tafsir al-Manar, Rasyid Rida mengutipkan argumentasi Muhammad Abduh berikut.

Argumen Muhammad Abduh

Sudah menjadi ketetapan Allah di dalam mengadakan sesuatu, baik dalam menciptakan alam semesta maupun menurunkan syariatnya, Ia akan menampakkan bentuk umum-globalnya terlebih dahulu, baru kemudian secara bertahap memerinci detail-detailnya. Berangkat dari premis ini, Muhammad Abduh kemudian menyimpulkan;

“Petunjuk-petunjuk Tuhan (Al-Quran) dalam hal ini tidak berbeda dengan umpama benih dan pohon yang telah tumbuh besar. Pohon pada mulanya merupakan materi hidup berupa benih yang merupakan asal-muasal pohon. Ia pelan-pelan akan terus tumbuh hingga memunculkan ranting pohon setelah kokoh batang pohonnya. Akhirnya ia akan memasakkan buah yang dapat dimakan.” (Tafsir al-Manar, juz 1 hal 33).

Muhammad Abduh sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran terdapat beberapa tema besar yang menjadi misi utama Al-Quran. Tema-tema tersebut mulanya diungkapkan secara umum (mujmal) sebagai dasar pijakan untuk penjelasan yang lebih terperinci (mufasshal). Tema-tema umum Al-Quran berkisar pada monoteisme, janji dan ancaman Allah, penghambaan kepada-Nya, jalan kebahagiaan manusia, dan kisah-kisah hikmah.

Ketujuh ayat al-Fatihah mengajarkan kelima tema utama Al-Quran ini secara umum. Oleh sebab itu, “Maka al-Fatihah layak disebut surah yang turun pertama kali karena selaras dengan ketetapan Allah (sunnatullah) ini dalam mengadakan sesuatu (dari secara umum kemudian terperinci).”

Jika melihat latar belakang Abduh yang memvisikan pembaharuan Islam di zaman modern, tipologi penafsirannya yang berorientasikan nalar akal ini merupakan hal yang wajar untuk sosok sepertinya. Ia menyadari bahwa manusia modern membutuhkan penyegaran wacana keislaman yang selaras dengan akalnya jika tidak ingin agama, khususnya Islam ditinggalkan. (Conflict of Reason and Tradition in Islam, hal 16).

Baca juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam

Kritik Rasyid Rida

Reaksi keras sebagai antitesa pemikiran Abduh dari golongan tradisionalis  juga merupakan hal yang normal dalam wacana pemikiran.

Rasyid Rida yang merupakan murid Muhammad Abduh juga tidak sependapat dengan gurunya itu. Namun dengan tetap menggunakan bahasa yang sopan dan tetap menghormati Abduh, Rasyid Rida menyampaikan kritiknya itu dengan menulis,

هَذَا مَا قَالَهُ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ مَبْسُوطًا مُوَضَّحًا، وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ: إِنَّ نُزُولَ أَوَّلِ سُورَةِ الْعَلَقِ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ لَا يُنَافِي هَذِهِ الْحِكَمَ الَّتِي بَيَّنَهَا؛ لِأَنَّهُ تَمْهِيدٌ لِلْوَحْيِ الْمُجْمَلِ وَالْمُفَصَّلِ، خَاصٌّ بِحَالِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِعْلَامٌ لَهُ بِأَنَّهُ يَكُونُ – وَهُوَ أُمِّيٌّ – قَارِئًا بِعِنَايَةِ اللهِ تَعَالَى وَمُخْرِجًا لِلْأُمِّيِّينَ مِنْ أُمِّيَّتِهِمْ إِلَى الْعِلْمِ بِالْقَلَمِ، أَيِ الْكِتَابَةِ، وَفِي ذَلِكَ اسْتِجَابَةٌ لِدَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ (رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ) (2: 129) فَسَّرَ الْأُسْتَاذُ الْإِمَامُ الْكِتَابَ، بِالْكِتَابَةِ، ثُمَّ كَانَتِ الْفَاتِحَةُ أَوَّلَ سُورَةٍ نَزَلَتْ كَامِلَةً، وَأُمِرَ النَّبِيُّ بِجَعْلِهَا أَوَّلَ الْقُرْآنِ، وَانْعَقَدَ عَلَى ذَلِكَ الْإِجْمَاعُ

“Ini adalah pendapat yang dikatakan al-Ustad al-Imam (Muhammad Abduh) dengan rinci dan jelas. Dan mungkin juga untuk disanggah bahwa penurunan awal surah al-Alaq sebelum al-Fatihah tidak menafikan ketetapan Allah yang telah beliau jelaskan itu. Sebab al-‘Alaq merupakan pengantar pertama untuk wahyu yang umum dan terperinci di samping ia khusus untuk Nabi. Surah al-‘Alaq juga sebagai pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad sekalipun buta huruf, akan dapat membaca dengan pertolongan Allah dan Nabi akan membantu umatnya yang buta huruf menjadi terdidik dengan pena, yaitu tulisan. Dalam hal ini juga terdapat afirmasi atas doa Nabi Ibrahim, “Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajari mereka al-Kitab, Hikmah, dan menyucikan mereke.” Al-Ustad menafsiri frasa al-Kitab dengan al-Kitabah (tulisan). Maka al-Fatihah lah wahyu pertama yang turun secara lengkap dan Nabi diperintah untuk menjadikannya awal Al-Quran (dalam mushaf) hingga kemudian terjadi ijma’ atas hal ini.” (Tafsir al-Manar, juz 1 hal 32).

Wa Allahu a’lam.

Baca juga: Kritik Muhammad Abduh Terhadap Metode Penafsiran Klasik

Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19

0
Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Tafsir Surat Adz-Dzariyat

Pada Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19 ini berkaitan dengan penafsiran sebelumnya yakni ayat 15-16. Dalam Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19 menjelaskan secara rinci bagaimana dan apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa sehingga mendapat balasan surga. Diantara amalan yang dilakukan oleh orang bertakwa yang dijelaskan dalam Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19 ini yaitu, mengisi waktu malamnya dengan sholat Tahajjud, memohon ampun pada waktu sahur, serta mengelurakan harta mereka dengan zakat dan infaq. Tidak hanya itu, orang bertakwa juga memandang tanda-tanda kuasa Alllah yang bertebaran di muka bumi ini dengan hati nuraninya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 9-16


Ayat 17-18

Ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat orang yang takwa, yaitu sedikit sekali tidur pada waktu malam karena mengisi waktu dengan salat Tahajud. Mereka dalam melakukan ibadah tahajudnya merasa tenang dan penuh dengan kerinduan, dan dalam munajatnya kepada Allah sengaja memilih waktu yang sunyi dari gangguan makhluk lain seperti dua orang pengantin baru dalam menumpahkan isi hati kepada kesayangannya, tentu memilih tempat dan waktu yang nyaman dan aman, bebas dari gangguan siapa pun.

Mereka ingat bahwa hidup berkumpul dengan keluarga dan yang lainnya tidak dapat berlangsung selama-lamanya. Bila telah tiba ajal, pasti berpisah, masuk ke dalam kubur, masing-masing sendirian saja. Oleh karena itu, sebelum tiba waktu perpisahan, mereka merasa sangat perlu mengadakan hubungan khidmat dan mahabbah dengan Tuhan Yang Mahakuasa, satu-satunya penguasa yang dapat memenuhi segala harapan.

Di akhir-akhir malam (pada waktu sahur) mereka memohon ampun kepada Allah. Sengaja dipilihnya waktu sahur itu oleh karena kebanyakan orang sedang tidur nyenyak, keadaan sunyi dari segala kesibukan sehingga mudah menjalin hubungan dengan Tuhannya.


Baca Juga: Keutamaan Shalat Tahajud, Tafsir Surat Al-Isra Ayat 79


Ayat 19

Ayat ini menjelaskan bahwa di samping mereka melaksanakan salat wajib dan sunah, mereka juga selalu mengeluarkan infaq fi sabilillah dengan mengeluarkan zakat wajib atau sumbangan derma atau sokongan sukarela karena mereka memandang bahwa pada harta-harta mereka itu ada hak fakir miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta bagian karena merasa malu untuk meminta.

Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadis dari Abµ Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw pernah menerangkan siapa saja yang tergolong orang miskin, dengan sabdanya:

لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ الَّذِيْ تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَاْلأَكْلَةُ وَاْلأَكْلَتَانِ قِيْلَ فَمَنِ الْمِسْكِيْنُ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَيْسَ لَهُ مَا يُغْنِيْهِ وَلاَ يُعْلَمُ مَكَانُهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ فَذٰلِكَ الْمَحْرُوْمُ. (رواه ابن جرير عن أبو هريرة)

Bukanlah orang miskin itu yang tidak diberi sebiji dan dua biji kurma atau sesuap dan dua suap makanan. Beliau ditanya, “(Jika demikian) siapakah yang dinamakan miskin itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mempunyai apa yang diperlukan dan tidak dikenal tempatnya sehingga tidak diberikan sedekah kepadanya. Itulah orang yang mahrµm tidak dapat bagian.” (Riwayat Ibnu Jar³r dari Abµ Hurairah);Di dalam Al-Qur’an terdapat tiga kelompok ayat yang selalu berdampingan, tidak dapat dipisahkan, yaitu perintah untuk salat dan mengeluarkan zakat, perintah agar taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan perintah untuk bersyukur kepada Allah dan kedua ibu-bapak.

Setelah Allah menerangkan sifat-sifat orang yang bertakwa, maka Allah menjelaskan bahwa mereka itu melihat dengan hati nurani tanda-tanda kekuasaan Allah pada alam kosmos, pada alam semesta yang melintang di sekelilingnya, di bumi dan di langit sehingga memiliki ketenangan jiwa, sebagai tanda seorang yang sudah makrifah kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Adz-Dzariyat Ayat 20-23


Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 9-16

0
Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Tafsir Surat Adz-Dzariyat

Secara keseluruhan pada Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 9-16 ini menjelaskan tentang konseksuensi dari orang-orang musyrik dan kafir, orang-orang yang berdusta, serta balasan terbaik yang diberikan oleh Allah terhadap orang-orang yang bertakwa. Pelajaran yang dapat diambil dari Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 9-16 bahwa setiap perbuatan ada balasan yang setimpal dari Allah swt.


Baca Sebelumnnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8


Ayat 9

Ayat ini menegaskan bahwa dalam keadaan berbeda pendapat, orang musyrik tersebut semakin dijauhkan dan dipalingkan dari rasul dan Al-Qur’an sehingga mereka menjadi tambah sesat.

Ayat 10-11

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang banyak berdusta dikutuk oleh Allah. Mereka termasuk golongan orang-orang yang sangat jahil, yang berkecimpung dalam kegelapan dan kesesatan, juga terbenam dalam kebodohan dan kelalaian yang sangat menyedihkan.

Ayat 12

Ayat ini mengungkapkan ketika orang musyrik itu mencemoohkan dengan bertanya kepada Nabi saw, “Kapankah datangnya hari pembalasan itu?”

Ayat 12-13

Ayat ini mengungkapkan bahwa hari pembalasan itu ialah hari ketika orang-orang kafir diazab dengan azab yang sangat pedih di atas api neraka. Sesungguhnya orang-orang musyrik itu jika mempunyai hamba sahaya yang bekerja sebagai buruh harian tentu akan memeriksa pekerjaan mereka sebelum mereka diberi upah. Mereka memeriksa, bertanya dan meneliti hasil pekerjaan buruh-buruh mereka. Apakah tidak dipikirkan oleh mereka tentang pengabdian sekalian manusia kepada Allah yang telah melimpahkan segala macam kenikmatan kepadanya, mulai dari penciptaan langit dan bumi dan segala isinya sampai kepada pemenuhan segala hajat kebutuhan manusia seperti sandang, pangan, perumahan, jaminan hari tua, dan sebagainya.

Apakah patut Allah membiarkan mereka hidup berfoya-foya saja, padahal Allah tidak menciptakan manusia secara sia-sia, bahkan pasti akan mengadakan hari kebangkitan dan hari pembalasan? Oleh karena mereka tenggelam dalam arus kebodohan dan kelalaian, maka hal-hal yang sangat masuk akal dan nyata itu dibiarkan lewat begitu saja tanpa kesungguhan dan perhatian, dan barulah mereka sadar ketika mereka diazab di dalam api neraka.


Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56


Ayat 14

Di samping azab yang amat pedih, mereka juga menderita azab rohani ketika para malaikat berkata, “Rasakanlah azabmu ini yang dahulu pada waktu di dunia selalu kamu minta agar disegerakan.”

Ayat 15-16

Ayat ini menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, yang menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya berada di dalam taman-taman surga yang mengalir di bawahnya air yang jernih dan murni, sangat menyenangkan, sangat nyaman, di luar perkiraan dan bayangan yang tergores dalam hati dan terpandang oleh mata; terlebih-lebih karena mereka tetap abadi di dalamnya, tidak akan keluar lagi, tetap berada dalam keridaan Allah Yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih. Pahala yang demikian itu ada kaitannya dengan amal perbuatan mereka ketika di dunia yaitu mereka mengambil segala pemberian yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada mereka itu, karena sesungguhnya mereka ketika berada di dunia selalu mengerjakan amal kebajikan, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia dengan tujuan semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 17-19


Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8

0
Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Tafsir Surat Adz-Dzariyat

Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8 berisi penegasan tentang janji Allah akan hari kiamat hingga hari perhitungan nanti, serta penjelasan tentang langit yang mempunyai jalan-jalan. Pada Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8 ini dipaparkan secara ilmiah melalui teori fisika bagaimana langit yang begitu jauh jaraknya dengan bumi, tetapi bisa dilalui hanya satu hari. Seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah dalam perjalanan Isra’ Mikraj. Selain itu, Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8 ini menjelaskan tentang isi sumpah pada ayat 8 terkait selisih pendapat tentang Rasulullah saw. dan Alquran.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 1-4


Ayat 5-6

Pada ayat 5-6 ini menegaskan tentang isi sumpah tersebut: ‘Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu seperti hari kebangkitan, pembalasan, hisab pada hari kiamat semuanya itu pasti akan terjadi. Dan bahwa sesungguhnya hari pembalasan bagi setiap pasti terjadi’.

Ayat 7

Dalam ayat ini Allah bersumpah: Demi langit yang mempunyai garis edar (orbit) tempat beredarnya bintang-bintang dan planet-planet. Menurut Quraish Shihab, kata al-Hubuk dapat berarti yang indah dan baik atau yang teratur. Dapat pula dipahami sebagai bentuk jamak dari habikah atau Hibak, yakni jalan, seperti jalan-jalan yang terlihat di atas air apabila ditimpa hembusan angin.

Dalam teori fisika relativitas umum, dikenal mengenai mekanisme pemendekan jarak yang sangat jauh menjadi hanya beberapa meter saja. Einstein menyebutnya sebagai jembatan (bridge) dan saat ini para ilmuwan menyebutnya sebagai wormhole (lubang cacing). Wormhole ini merupakan jalan pintas yang menghubungkan dua tempat di jagad raya ini. Sebagai gambaran, kita ingin bepergian ke suatu galaksi yang letaknya 100 juta tahun cahaya dari bumi (jika 1 tahun cahaya = 9,46 x 1012 km, maka galaksi tersebut jaraknya dari bumi sekitar 9,46×1018 km, atau 9,46 juta-juta-juta km!). Tidak terbayangkan kapan kita sampai ke galaksi tersebut. Andaikata ada pesawat ulang-alik yang memiliki kecepatan mendekati kecepatan cahaya saja kita memerlukan waktu 100 juta tahun! Namun apabila kita menggunakan jalan pintas wormhole, kita akan sampai di galaksi hari ini. Perlu dicatat bahwa ini merupakan konsekuensi dari pemendekan jarak yang terjadi dalam wormhole.

Dengan demikian bisa jadi, al-Hubuk berupa sebuah jalan seperti yang digambarkan oleh para ahli fisika, wormhole, sebuah jalan khusus yang diberikan Allah kepada para malaikat dan hamba-hamba-Nya yang terpilih. Perjalanan Rasulullah dalam peristiwa Isra’ Mikraj, boleh jadi melewati mekanisme pemendekan jarak sehingga jarak yang demikian jauhnya ditempuh Rasulullah hanya dalam bilangan jam.


Baca Juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran


Ayat 8

Ayat ini menegaskan tentang isi sumpah tersebut, bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat tentang Muhammad saw dan Al-Qur’an. Di antara mereka ada yang menganggap Muhammad saw sebagai tukang syair, ada pula yang menuduhnya sebagai seorang tukang sihir atau gila, dan terhadap Al-Qur’an ada yang menuduh sebagai kitab dongengan purbakala, kitab sihir atau pantun. Perbedaan pendapat yang sangat mencolok itu menjadi bukti yang nyata tentang rusaknya alam pikiran mereka yang penuh dengan syirik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 9-16


Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan

0
Manusia Unggul
Manusia Unggul

Islam menginginkan agar umatnya menjadi manusia unggul dalam semua aspek, baik aspek-aspek keduniaan maupun aspek ukhrawi. Ada beberapa ciri pribadi muslim yang unggul yang telah digambarkan oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan oleh Rasulullah di dalam hadisnya. Di antaranya ciri itu adalah اتقاكم (manusia yang paling bertakwa), أرفعهم درجة عند الله (manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah), أحسن عملا (manusia yang paling baik amalnya), أحسنهم خلقا (manusia yang paling baik akhlaknya), dan أنفعهم للناس (manusia yang paling banyak manfaatnya bagi manusia).

Pembangunan pribadi-pribadi itu harus diarahkan untuk mencapai keunggulan menjadi manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah, yang paling bertakwa, yang paling baik akhlaknya, dan yang paling bermanfaat bagi manusia, maka pembangunannya harus dilakukan untuk menjadi manusia unggul: 1) yang memiliki ilmu dan kecerdasan, 2) yang mampu mengamalkan ilmunya dengan amal dan karya-karya terbaik 3) yang mampu menjaga hubungan yang baik dengan sesama mahluk, mampu menjaga hubungan yang baik dengan lingkungannya, dan 4) mampu menjaga hubungan yang baik dengan pencipta-Nya, Allah swt.

Jadikanlah diri Anda menjadi manusia unggul, maka jadikanlah dirimu menjadi manusia yang unggul dengan ilmu pengetahuan, yang unggul dalam beramal, yang unggul dalam menjaga hubungan dengan sesama, hubungan dengan sesama makhluk, dan unggul menjaga hubungan dengan Allah Swt. jika Anda ingin menjadi manusia yang terbaik, baik di mata manusia maupun di mata Allah swt, maka raihlah keunggulan-keunggulan itu.

Baca Juga: Mengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

Aspek pertama yang harus dibangun dalam pembangunan manusia yang unggul adalah aspek ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan kecerdasan adalah modal yang pertama dan paling utama yang harus dimiliki oleh setiap pribadi. Setip manusia adalah pribadi yang diberi kedudukan yang paling tinggi sebagai khalifah Allah di bumi, yang harus mengolah bumi ini sesuai dengan tuntunan-Nya. Untuk mengolah bumi yang diamanatkan oleh Allah itu, maka setiap manusia harus memiliki ilmu/pengetahuan dan kecerdasan. Ilmu menjadi syarat yang sangat penting yang harus dipenuhi oleh setiap manusia.

Tidakkah kita ingat, ketika Adam a.s. telah diciptakan oleh Allah sebagai khalifah Allah yang pertama di bumi, hal yang pertama dan paling utama yang dianugerahkan Allah kepadanya adalah ilmu pengetahuan. Ini bekal yang paling pertama yang harus dimiliki oleh Adam agar Adam dapat menjalani kehidupan dunia ini dengan baik dan menjalankan tugasnya sebagai khalifah itu dengan baik. Allah telah menggambarkan hal ini dalam QS. Al-Baqarah [2]: 31:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!”

Rasulullah saw. menerangkan di dalam hadisnya tentang kelebihan dan keutamaan orang yang berilmu: “Dari Abu al-Darda’ dia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga. Para malaikat akan membukakan sayapnya karena keridaan terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang mencari ilmu. Pencari ilmu akan dimintakan ampun oleh makhluk yang ada di langit dan bumi, hingga ikan-ikan yang ada di dasar laut. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang beribadah ialah bagaikan kelebihan bulan purnama atas semua bintang di langit. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Sesungguhnya mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang telah mendapatkannya, maka dia telah mendapatkan suatu bahagian yang paling baik.” (HR. Ibn Abi Syaibah).

Baca Juga: Berinfak di Jalan Allah Swt dan Balasan yang Didapatkan

Ilmu yang kalian dapatkan hari ini adalah mudal yanga amat berharga untuk kehidupanmmu di hari hari esok dan hari-hari selanjutnya. Ilmu akan mencerahkan masa depanmu, dan menjadi sarana mengantarkanmu kepada kebahadiaan dan kesejahteraan. Jika engkau tidak memiliki ilmu pada hari ini berarti engkau tidak memiliki sesuatu yang berharga bagi masa depanmu. Masa depanmu akan kabur dan tidak jelas karena engkau tidak memiliki ilmu. Karena itu, tuntutlah ilmu di mana pun dan kapanmu agar masa depanmu bersinar.

Tafsir Surah An-Nur Ayat 26: Tentang Jodoh Sebagai Cerminan Diri

0
Jodoh
Jodoh

Jodoh menjadi sebuah perkara yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah Swt. Ada banyak orang yang menjalin hubungan tetapi pada akhirnya justru kandas ditengah jalan. Ada pula orang berharap kriteria jodoh yang bermacam-macam, ingin yang tampan, cantik, baik, dan lain-lain tetapi pada akhirnya mendapat jodoh yang bertolak belakang.

Namun terlepas dari berbagai ekspektasi tentang jodoh yang diidam-idamkan, sejatinya diri kita sendiri yang menjadi gambaran. Lalu bagaimana sesungguhnya Al-Qur’an menjelaskan tentang jodoh sebagai gambaran diri? Allah Swt. berfirman sebagai berikut.

ٱلۡخَبِيثَٰتُ لِلۡخَبِيثِينَ وَٱلۡخَبِيثُونَ لِلۡخَبِيثَٰتِۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِۚ أُوْلَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَۖ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَرِزۡقٞ كَرِيمٞ

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An-Nur [24]: 26)

Tafsir QS. An-Nur [24]: 26

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip pendapat ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa: “Wanita yang jahat hanya pantas bagi laki-laki yang jahat dan laki-laki yang jahat hanya cocok bagi wanita yang jahat. Begitu pula sebaliknya, wanita yang baik hanya layak untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik hanya patut bagi wanita yang baik.

Baca Juga: Semua Manusia itu Sama, Lantas Kenapa Ada Kafaah dalam Pernikahan? Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 13

Perkataan ini merupakan konsekuensi lazim yang harus ada, sebagaimana berlaku pada Aisyah yang dijadikan Allah sebagai istri Rasulullah. Ia merupakan wanita yang baik sehingga pantas untuk Allah sandingkan dengan Rasulullah. Sekiranya Aisyah tidak baik, tentu secara syar’i dan kauni tidak pantas menjadi istri Rasulullah.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa menurut satu pendapat, ayat ini sama dengan firman Allah, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nur [24]: 3)

Wanita-wanita yang keji adalah para pezina, wanita-wanita yang baik adalah wanita yang memelihara kesucian diri. Demikian pula dengan laki-laki yang baik dan perempuan yang baik. Pendapat ini menyatakan bahwa kebanyakan orang akan dipasangkan dengan yang hampir mirip dengannya.

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan bahwa yang dimaksud dalam kata khabisat dan thoyyibat dalam ayat tersebut orang perempuan. Kebiasaan yang terjadi adalah orang-orang yang bejat, nakal, dan amoral biasanya menikah dengan orang yang bejat, nakal, dan amoral juga. Orang yang baik-baik, biasanya menikahi orang yang baik-baik juga.

Bisa juga, kata khabitsat dalam ayat di atas maksudnya adalah perkataan yang buruk, yaitu qadzf yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang berperan dalam kasus al-Ifk. Oleh karena itu, maknanya yaitu, ucapan-ucapan keji dari perkataan para pihak yang berperan dalam kasus al-Ifk untuk para laki-laki yang keji, nakal, bejat, dan amoral, dan sebaliknya. Ucapan-ucapan yang baik dari perkataan orang-orang yang mengingkari dan menolak al-Ifk (berita bohong dan tuduhan palsu) tersebut adalah milik para laki-laki yang baik-baih dan sebaliknya.

Secara khusus asbabun nuzul ayat di atas memang berkaitan dengan keadaan Siti Aisyah yang mendapat tuduhan keji yang tersiar bahwa Aisyah ra sudah berlaku mesum dengan Sufyan bin Muatthal. Tuduhan tersebut disebarkan oleh orang-orang munafik yang ingin menjatuhkan Rasulullah Saw.

Maka turunlah ayat ini sebagai bantahan bahwa Siti Aisyah diciptakan sebagai wanita yang baik-baik dan diperuntukkan untuk laki-laki terbaik yaitu Rasulullah. Sehingga sangat tidak masuk akal jika beliau melakukan perbuatan keji tersebut.

Jodoh adalah Cerminan Diri

Ungkapan “jodoh adalah cerminan” diri nampaknya sangat masuk akal. Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa manusia normalnya tertarik terhadap sesuatu yang sudah familiar dan hal ini juga berlaku dalam urusan asmara. Paparan berulang terhadap suatu karakteristik dalam diri seseorang yang membangkitkan perasaan familiar akan membuat ketertarikan terhadap orang itu semakin besar.

Misalnya seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan pecandu narkoba, maka ia juga akan cenderung bersama dengan orang lain yang sesama pecandu. Bukan karena orang itu selalu menganggapnya menarik, tetapi karena alam bawah sadar menganggap perilaku seorang pecandu sudah tidak asing lagi.

Melalui ilustrasi tersebut terlihat bahwa ketika seseorang mempunyai kebiasaan yang sama maka besar kemungkinan orang tersebut akan bersama tidak terkecuali dalam persoalan jodoh. Artinya adalah peluang terbesar seseorang akan berjodoh dengan orang yang memiliki hobi atau kegemaran serta kebiasaan yang sama pula.

Baca Juga: Surah Ar-Rum Ayat 21: Sebenarnya, Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?

Sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas bahwa perempuan yang baik akan diperuntukkan untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Laksana Sayyidah Aisyah yang disandingkan dengan Rasulullah menunjukkan beliau adalah wanita yang baik dan terhormat sehingga pantas menjadi istri (jodoh) Rasulullah.

Penutup

Demikian Allah gambarkan dalam ayat di atas terkait dengan gambaran jodoh yang akan didapatkan masing-masing orang. Setiap manusia akan dipasangkan dengan manusia lain yang mencerminkan dirinya sendiri. Namun sekali lagi bahwa jodoh adalah “rahasia Allah” yang tidak diketahui oleh sesiapa pun. Bisa saja Allah menjodohkan lelaki yang baik dengan wanita yang kurang baik atau sebaliknya dengan tujuan saling melengkapi dan memperbaiki satu sama lain.

Hanya saja secara logis dapat dianalogikan bahwa seseorang akan lebih tertarik dengan orang yang satu frekuensi atau kebiasaan yang sama. Dengan kata lain bahwa ketika seseorang mempunyai kebiasaan yang baik tentu orang yang didekatinya atau ditargetkannya menjadi pasangan adalah yang hampir bahkan sama dengan kebiasaan dirinya, begitu pula sebaliknya. Wallahu A’lam.

Matahari dan Bulan Sebagai Penunjuk Waktu Ibadah dalam Al Quran

0
Matahari dan Bulan
Matahari dan Bulan

Fenomena yang terjadi di alam semesta disebut sebagai ayat-ayat kauniyah. Yang dimaksud ayat kauniyah adalah fenomena alam sebagai makhluk ciptaan Allah, dan mempertegas  bahwa Allah yang mengatur semua makhluk-Nya. Sebagai contoh adalah peredaran matahari dan bulan.

Manusia akan dituntut untuk berpikir apabila dapat memahami ayat kauniyah ini dan mampu menemukan suatu gagasan yang masuk akal guna menepis asumsi yang salah (mitos) terhadap suatu peristiwa alam yang terjadi. Di dalam Al-Quran juga terdapat ayat yang memberikan isyarat fenomena alam sebagaimana terdapat dalam surat Ar-Rahman ayat 5:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ

“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”

Dalam Tafsir Al-Wajiz dijelaskan bahwa Matahari dan Bulan beredar dengan perhitungan rinci yang teratur, sehingga keduanya menunjukkan perhitungan bulan dan tahun (Wahbah az-Zuhaili, Al Wajiz, 532)

Baca Juga: Hoax Makin Marak di Medsos, Ini Kiat-Kiat Menghindarinya dari Al-Quran

Dalam ayat lain seperti terdapat dalam Surat Yunus ayat 5 juga diterangkan peristiwa yang berhubungan dengan matahari dan bulan

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Dijelaskan dalam Tafsir Jalalain tentang sifat sinar dari matahari bahwa kata ضِيَاءً berarti sinar kemuliaan atau dalam tafsir al – Mukhtashar dijelakan bahwa ضِيَاءً berarti cahaya yang keluar dari sesuatu itu sendiri atau dari dalam benda itu sendiri. (Tafsir al-jalalain 850)

Hal ini menunjukan bahwa matahari merupakan benda langit yang menghasilkan cahayanya sendiri. Selain itu dari ayat di atas juga memberi pemahaman bahwa salah satu fungsi matahari dan bulan adalah untuk mengetahui perhitungan waktu, dimana waktu merupakan sesuatu yang penting untuk diketahui  bagi umat islam  sebagai salah satu indikator syarat dalam menjalankan ibadah sebagaimana diterangkan dalam Al Quran surat al isra ayat 78

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Ayat di atas menerangkan bahwa matahari digunakan sebagai tanda masuk waktu untuk melaksanakan shalat. Wahbah Zuhaili  dalam Tafsir al-Wajiz  menerangkan ayat diatas sebagai berikut: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Wahbah az-Zuhaili, Al Wajiz 291).

Selain matahari yang digunakan sebagai penunjuk waktu, dalam ayat lain Allah Swt juga menjelaskan fungsi bulan sebagai penunjuk waktu terdapat dalam Al-Quran Surah Al Baqarah 189:

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ ٱلْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنِ ٱتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا۟ ٱلْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَٰبِهَا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumahrumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialahkebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintupintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Baca Juga: Jaminan Dipermudah Mempelajari Al-Qur’an: Tafsir Surah Al-Qomar Ayat 17

M, Quraish Shihab memberikan penafsiran ayat diatas: kata “Ahillah” jamak dari “hilal”pada permulaannya tampak kecil tipis kemudian terus bertambah hingga dengan cahaya. Lalu kembali sebagaimana semula, maka keadaanya tidak seperti matahari yang terlihat penuh satu lingkaran. “mawaqit” jamak dari kata”miqat”yang artinya pertanda waktu. Waktu yang dimaksudkan disini adalah waktu bercocok tanam, berdagang, iddah bagi perempuan, waktu berpuasa dan berbuka mereka, serta kapan waktu melakukan ibadah haji. (M, Quraish Shihab Tafsir Al Misbah, 417).

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Allah Swt yang telah mengatur peredaran matahari dan bulan selain untuk keseimbangan alam juga digunakan sebagai penunjuk waktu umat islam dalam melaksanakan ibadah. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 1-4

0
Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Tafsir Surat Adz-Dzariyat

Tafsir Surat Adz-Dzariyat ayat 1-4 ini menjelaskan tentang makna surat-surat yang diawali dengan sumpah. Biasanya surat-surat yang diawali dengan sumpah dimaksudkan untuk memperkuat salah satu dari tiga unsur yakni ketauhidan, kerasulan, dan kebangkitan. Hikmah lain adanya sumpah tersebut yaitu untuk menarik perhatian orang Arab pada saat itu. Mereka hanya mengindahkan sumpah-sumpah yang serius. Karena Alquran saat itu turun di wilayah Arab, sehingga sangat memperhatikan adat kebiasaan orang-orang sekitar sana.

Selain itu, dalam Tafsir Surat Adz-Dzariyat ayat 1-4 ini juga dijelaskan tentang definisi angin dan pergerakan udara secara ilmiah. Bagaimana pergerakan angin bisa menjadi manfaat atau bahkan sebaliknya dapat menimbulkaan kerusakan.


Baca Juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am


Ayat 1-4

Surat Adz-Dzariyat dimulai dengan sumpah Allah swt bahwa semua yang diancamkan itu pasti akan berlaku dan bahwa balasan terhadap segala perbuatan pasti akan terbukti. Dalam Surat yang sebelumnya, dikisahkan kebinasaan beberapa umat yang terdahulu secara umum dan dalam Surat Adz-Dzariyat ini diberikan perinciannya.

Surat-Surat yang pada permulaannya ada sumpah dengan huruf-huruf hijaiah (faw±ti¥us-suwar) biasanya dimaksudkan untuk memperkuat salah satu dari tiga unsur, yaitu ketauhidan, kerasulan dan kebangkitan. Dalam Surat-Surat yang dimaksudkan untuk memperkuat ketauhidan, biasanya digunakan sumpah dengan benda-benda yang tidak bergerak, dan untuk memperkuat keimanan tentang hari kebangkitan digunakan sumpah dengan benda-benda yang bergerak karena kebangkitan itu mengandung pengumpulan dan pemisahan yang lebih pantas dikaitkan dengan benda-benda yang bergerak.

Orang Arab sangat takut akan sumpah palsu karena akibat yang sangat buruk dan terkutuk. Oleh karena itu, setiap sumpah yang serius oleh mereka sangat diperhatikan, terlebih jika yang bersumpah itu adalah Allah swt.

Dalam ayat-ayat ini Allah bersumpah, “Demi angin kencang yang menerbangkan debu dengan tiupannya yang sangat kuat dan dahsyat. Dan dengan awan yang gumpalannya mengandung banyak air hujan. Dan kapal-kapal yang berlayar hilir-mudik di lautan dengan mudah. Dan dengan para malaikat yang membagi-bagi segala urusan yang dipikulkan kepada mereka seperti mengatur perjalanan planet dan bintang-bintang, soal menurunkan air hujan, membagi rezeki, dan sebagainya.”


Baca Juga: Mengenal Enam Fungsi Angin dalam Al-Quran Perspektif Tafsir Ilmi


Ayat di atas mengajak kita untuk berpikir tentang angin. Angin adalah massa udara yang bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi ke arah yang bertekanan lebih rendah. Penyebab adanya perbedaan tekanan ini adalah perbedaan suhu. Pada keadaan volume yang tetap, kenaikan suhu udara akan menaikkan tekanannya. Tetapi pada kenyataannya di dalam kenaikan suhu udara pada suatu tempat akan menyebabkan pemuaian volume udara dan pengaliran udara ke atas, sehingga kerapatan udara di tempat itu akan berkurang dan akan diisi oleh massa udara dari tempat lain yang lebih dingin. Jadi pada dasarnya pergerakan udara ini dikendalikan oleh energi yang ditimbulkan oleh perbedaan suhu di tempat-tempat berlainan di permukaan bumi. Dengan pergerakannya, angin juga berperan sebagai radiator penyeimbang suhu udara. Tanpa adanya angin, suhu di daerah gurun akan jauh lebih panas daripada yang didapati sekarang, demikian pula di daerah dingin akan sangat membekukan.

Energi pergerakan angin yang memadai dapat memberikan banyak manfaat kepada manusia, seperti untuk pelayaran, memutar kincir untuk pembangkit energi. Di luar kendali manusia angin berperan penting dalam penyerbukan bunga-bunga menjadi buah dan menerbangkan biji-bijian serta spora untuk penyebaran tumbuhan.

Fenomena lain yang terjadi adalah terciptanya gelombang di lautan. Pergerakan udara dapat pula terjadi dengan energi yang demikian besar sehingga menimbulkan bencana dan kerugian, misalnya dalam bentuk badai dan topan. Dengan angin Allah bersumpah pada ayat berikutnya (adz-Dzariyat/51 ayat 4): Dan yang membagi-bagi urusan. Dengan adanya angin, demikian banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi yang diakibatkan hembusannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surat Adz-Dzariyat Ayat 5-8