Beranda blog Halaman 205

Tafsir Surah at-Talaq ayat 1

0
Tafsir Surah at-Talaq
Tafsir Surah at-Talaq

Sesuai dengan namanya, Tafsir Surah at-Talaq ayat 1 membahas tentang talaq yang pernah dilakukan pada masa Rasulullah. Secara umum ayat ini juga dimaksudkan untuk umat Islam, apabila menceraikan istrinya (mentalak) hendaklah ketika sang istri sedang suci, sehingga segera melaksanakan masa iddah.


Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Mutah Kepada Istri yang Diceraikannya


Ayat 1

Dalam Tafsir Surah at-Talaq ayat 1 ini, khithab (seruan) Allah ditujukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya dimaksudkan juga kepada umatnya yang beriman. Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin apabila mereka ingin menceraikan (mentalak) istri-istri mereka, agar melakukannya ketika istrinya langsung bisa menjalani idahnya, yaitu pada waktu istri-istri itu suci dari haid dan belum dicampuri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis Nabi saw yang berasal dari Ibnu ‘Umar:

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذٰلِكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَ إِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِيْ أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لهَا النِّسَاءُ. (رواه البخاري و مسلم)

Abdullah bin ‘Umar telah menalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu ‘Umar bin al-Khathaab menanyakan hal itu kepada Nabi saw, lalu beliau memerintahkan ‘Abdullah bin ‘Umar merujuk istrinya, menahan istrinya (tinggal bersama) sampai masa suci. Lalu menunggu masa haidnya lagi sampai suci, maka setelah itu jika ia menginginkan tinggal bersama istrinya (maka lakukanlah), dan jika ia ingin mentalak istrinya (maka lakukanlah) sebelum menggaulinya. Demikianlah masa idah yang diperintahkan Allah ketika perempuan ditalak. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Seorang suami yang akan menalak istrinya, agar meneliti dan memperhitungkan betul kapan idah istrinya mulai dan kapan berakhir, agar istri langsung bisa menjalani idahnya sehingga tidak menunggu terlalu lama. Suami juga diminta melaksanakan hukum-hukum dan memenuhi hak-hak istri yang harus dipenuhi selama masa idah.

Hendaklah suami itu takut kepada Allah dan jangan menyalahi apa yang telah diperintahkan-Nya mengenai talak, yaitu menjatuhkan talak pada masa yang direstui-Nya dan memenuhi hak istri yang di talak. Antara lain, janganlah sang suami mengeluarkan istri yang ditalaknya dari rumah yang ditempatinya sebelum ditalak dengan alasan marah dan sebagainya, karena menempatkan istri itu pada tempat yang layak adalah hak istri yang telah diwajibkan Allah selama ia masih dalam idah.

Sang suami juga dilarang untuk mengeluarkan istri yang sedang menjalani idah dari rumah yang ditempatinya. Apalagi membiarkan keluar sekehendaknya, karena yang demikian merupakan pelanggaran agama, kecuali apabila istri terang-terangan mengerjakan perbuatan keji, seperti melakukan perbuatan zina dan sebagainya. Jika sang istri berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, maka bolehlah ia dikeluarkan dari tempat tinggalnya. Demikianlah batas-batas dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah mengenai talak, idah, dan sebagainya.

 Oleh karena itu, barang siapa melanggar hukum-hukum Allah itu, berarti ia berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Andaikata Allah menakdirkan satu perubahan, lalu hati suami berbalik menjadi cinta lagi kepada istrinya yang telah ditalaknya dan merasa menyesal atas perbuatannya kemudian ia ingin rujuk kembali, maka baginya sudah tertutup jalan, bila keinginannya itu dilaksanakan sesudah habis masa idahnya karena ia telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya.

Istri yang dimaksud di sini ialah istri yang sudah atau masih haid dan sudah dicampuri sesudah akad nikah. Ada pun istri yang masih kecil atau sudah ayisah (tidak haid lagi) atau belum dicampuri sesudah akad nikah, apabila ditalak, mempunyai hukum idah tersendiri. Berbeda dengan hukum yang berlaku seperti tersebut di atas.

(Tafsir Kemenag)


Baca setelahnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 2-4


Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

0
Tafsir Maqashidi
Tafsir Maqashidi dan Surah An-Nisa Ayat 34

Pada era kontemporer ini, lahir metode tafsir bernuansa maqashidi atau kebermaksudan. Istilah “maqashid” sebenarnya sudah dikenal dan telah familiar di kalangan Muslim sejak dulu. Tetapi, istilah ini masih kuat kaitannya dengan fiqih-ushul fiqih; istilah tafsir maqashidi sendiri, merupakan istilah yang cukup baru dalam ranah kajiam tafsir. Meskipun, maqashidi ini telah memiliki jaringan, “cantolan” pada praktik-praktik yang diterapkan pada zaman Nabi s.a.w. dan sahabat; seperti ijtihad Sayyidina Umar mengenai pembatalan hukum potong tangan dikarenakan saat itu musim “paceklik” yang di sana nampak dimensi maqashidiyah-nya (Abdullah Saeed, 2016: 61).

Tafsir Maqashidi merupakan susunan takrib shifat-maushuf (Maqashidi: shifat; tafsir: maushuf), maka dapat kita pahami, bahwa tafsir maqashidi adalah “tafsir  bernuansa kebermaksudan”. Artinya, tafsir maqashidi merupakan salah satu dari variasi ragam penafsiran yang di sana berupaya untuk menguak makna-makna logis serta rasional dan tujuan-tujuan yang beragam dalam al-Quran baik pada itu ayat-ayat yang universal maupun partikular. Yang tujuan dari itu adalah untuk “tahqiqul mashlahah” merealisasikan mashlahah “wa dar-ul mafsadah” dan menjauhkan dari sebab timbulnya kerusakan (Abu Zayd, 2020).

Baca Juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Abdul Mustaqim, Guru Besar IAT UIN Suka, merincikan tujuan hadirnya metode tafsir bernuansa maqashidi adalah, “sebagai pelengkap metode-metode penafsiran yang sudah ada, serta menjadi pelengkap bagi penafsiran yang belum mencermikam dimensi kebermaksudan”—seperti kajiannya hanya seputar linguistik, hanya seputar asbabun nuzul, hanya seputar kajian tematik (maudlu’i), hanya seputar kisah israiliyat, dsb. Yang demikian itu belum menunjukkan dimensi maqasidiyah, yakni mengenai “apa sebenarnya maksud dan tujuan sebuah ayat itu?”.

Di bawah ini akan kami sajikan contoh dari Tafsir Maqashidi yang diuraikan oleh Abdul Mustaqim dalam salah satu kuliah Tafsir Maqashidi, beliau menguraikan makna kata “adl-ribuhunnapukullah! dalam QS. An-Nisa’ ayat 34,

وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan tinggalkan mereka di tempat-tempat pembaringan dan pukullah mereka. Lalu, jika mereka telah menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.

Penggalan ayat di atas berbicara mengenai bagaimana cara suami mendidik seorang istri-istrinya. Dalam tafsir al-Munir misal, jika istrinya berbuat nusyuz (membangkang) maka al-Quran menurunkan tiga –urutan, sebab sebagian ulama mengatakan bahwa langkah-langkah berikut harus dilakukan secara berurutan–opsi, yakni menasihati, kemudian pisah ranjang–sebab istri akan cemas dan tahu akan perbuatannya adalah salah sehingga tobat– kemudian opsi terakhir adalah memukul (az-Zuhaili, 2013: 80-81).

Mengenai kata, “wadl-ribuhunna”. Sebelum beranjak lebih jauh, penulis ingin paparkan sedikit respon menyangkut “maqashid” dari syariat (perintah, berupa pembolehan, pengharaman–aturan); Tujuan dari diturunkannga syariat (baik dari Quran maupun Sunnah) adalah demi “tahqiqul mashlahah” (merealisasikan mashlahah) sekaligus “wa dar-ul mafsadah” menghindarkan yang mafsadah, yang fasad, yang buruk dan bersifat merusak” misal dalam QS. An-Nisa ayat 34 mengenai kalimat wadl-ribuhunna” dan pukullah! Jika makna itu hanya dipahami secara literal, maka yang terjadi malah menimbulkan konflik baru, menumbulkan kerusakan (berupa perpecahan) dalam bahtera rumah tangga.

Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan, jika istri (dikhawatirkan) melanggar aturan agama (membangkang), maka—suami diperintahkan untuk memahamkan dengan—pilihan terakhirnya “wadl-dlribūhunna” pukulah mereka (istri-istri kamu). Makna “pukullah!” bukan seperti dikatakan dalam tafsir yang dinisbatkan pada Jalalain, “pukul dengan pukulan keras” namun adalah pukulan simbolis (Abdul Mustaqim) yang ringan dan tidak mencederai (al-dlarbu ghairu al-mubarrih) yakni pukulan yang tidak menyakitkan. Sebab apa, inti pernikahan adalah “keharmonisan” (mawaddah). Jika sampai ada kekerasan (violence) maka, “apakah rumah tangga itu akan harmonis ?” Tentu malah—pasti bisa—menghadirkan sikap benci pada salah satu pihak.

Tujuan dari—perintah—itu adalah untuk memahamkan dan memberi pengertian akan aturan yang istri langgar tidak dapat disepelekan. Maka agama memerintahkan untuk memberi pengertian, dengan opsi terakhirnya adalah memberi pukulan. “Pukulan” itu dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, bahwa “(aturan) itu adalah perintah yang tidak boleh dilanggar”. Sebagaimana uraian Prof. Wahbah Zuhaili, bahwa pukulan itu dimaksudkan untuk mengingatkan istri agar kembali menjadi baik, bukan maksud lain (az-Zuhaili, 2013: 80). Kalau maksudnya adalah pukulan keras, maka akan bertolak belakang dengan ideologi gagasan yang sedari awal Quran tawarkan.

Baca Juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Dari contoh di atas, bisa kita pahami bahwa tidak serta merta maksud ayat seperti yang dituliskan, yakni misal perintah “pukullah!”, namun maksud pukulan itu hanya sebagai gambaran mengenai apa yang dilakukan istrinya bisa berujung keburukan (fasad). Oleh karenanya, al-Quran menggambarkan keburukan yang dilakukan oleh sang istri dengan menggunakan diksi pukul, walau pukulan itu hanya simbolis, umpamanya pukulan tiga kali di bahu dengan tangan, menggunakan kayu siwak, atau selainnya yang tidak mencederai (az-Zuhaili, 2013: 80).

Tujuan dari tafsir maqashidi adalah demi mewujudkan maksud dan tujuan-tujuan di balik teks-teks keagamaan yakni al-Quran (sebagai verbatim Tuhan) dan sunnah demi terlaksananya mashlahah. Tentunya di balik perintah dan pembolehan itu, pasti terdapat maqsad (maksud) dan tujuan. Yang demikin itu, terkadang tidak bisa hanya dimaknai secara literal saja, tapi membutuhkan penjelasan, pengungkapan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 5-9

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 5-9 berbiara mengenai dua hal. Pertama mengenai watak dan tabiat kaum musyrik. Kedua berbicara mengenai celaan terhadap orang yang tidak mau memikirkan kekuasaan Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1-4


Ayat 5-6

Pada ayat ini, Allah menjelaskan watak dan tabiat kaum musyrikin. Hati mereka telah tertutup untuk menerima kebenaran, karena telah dikotori oleh sifat takabur dan sombong. Mereka sangat mencintai kedudukan, pangkat, dan harta. Bila mendengar ayat-ayat Allah, yang menyeru mereka untuk beriman dan mematuhi ajaran-ajarannya, mereka dengan spontan menolak dan berpaling daripadanya.

Padahal kalau mereka mau memperhatikan dan merenungkannya, mereka tentu akan mendapat banyak pelajaran yang dapat mengingatkan mereka bahwa paham yang mereka anut dan tindakan yang mereka lakukan telah jauh menyimpang dari kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an.

Demikianlah watak dan tabiat orang-orang musyrik. Mereka dengan serta merta menolak ayat-ayat itu dan mendustakannya bahkan memperolok-olokan dan mencemoohkannya. Oleh karena itu, Allah mengancam dengan mengatakan bahwa mereka di akhirat nanti akan melihat dan merasakan sendiri akibat dari cemoohan dan olok-olokan mereka.

Mereka akan disiksa dalam neraka Jahanam dengan siksaan yang amat pedih dan sangat menghinakan, sesuai dengan firman Allah pada ayat yang lain:

قَدْ خَسِرَ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِلِقَاۤءِ اللّٰهِ ۗحَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوْا يٰحَسْرَتَنَا عَلٰى مَا فَرَّطْنَا فِيْهَاۙ وَهُمْ يَحْمِلُوْنَ اَوْزَارَهُمْ عَلٰى ظُهُوْرِهِمْۗ  اَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُوْنَ

Sungguh rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka secara tiba-tiba, mereka berkata, “Alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami tentang Kiamat itu,” sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. Alangkah buruknya apa yang mereka pikul itu. (al-An’am/6: 31)

Dan firman-Nya:

يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ;

Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya. (Yasin/36: 30)


Baca juga: Surah Al-Fajr Ayat 27: Bagaimana Manusia Mencapai Ketenangan Jiwa?


Ayat 7-9

Kemudian Allah mencela orang-orang kafir yang tidak mau mempergunakan akal pikiran mereka untuk memperhatikan bahwa apa yang terjadi di alam ini menunjukkan kekuasaan Allah. Seandainya mereka mau memikirkan dan merenungkan ciptaan Allah, tentu mereka akan menjadi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Mereka tidak akan lagi menyembah berhala yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun dan tidak pula menolak bahaya dan kemudaratan, baik bagi dirinya sendiri maupun para penyembahnya.

Orang kafir itu memang tidak memperhatikan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang beraneka warna, masing-masing mempunyai kekhususan sendiri baik daun, bunga, dan buahnya. Padahal semuanya tumbuh di tanah yang sejenis dan diairi dengan air yang sama, tetapi menghasilkan buah-buahan yang berlainan bentuk, warna, dan rasanya.

Tidakkah yang demikian itu menunjukkan kekuasaan dan kebijaksanaan Pencipta-Nya? Namun  kalau hati sudah tertutup perasaan sombong dan takabur, pikiran sudah dipengaruhi oleh ketamakan untuk memperoleh pangkat, kedudukan, dan kekayaan, maka tertutuplah semua jalan untuk mencapai kebenaran. Apa saja yang bertentangan dengan kemauan mereka semuanya jahat dan jelek dalam pandangan mereka.

Inilah faktor-faktor yang memalingkan mereka dari berpikir dan merenungkan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, kebanyakan mereka tetap dalam keingkaran, kekafiran, dan selalu menantang risalah dan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Mereka selalu mengingkari hari Kiamat, hari kebangkitan, dan hari perhitungan, karena tidak mau memikirkannya. Mereka hanya mau bersenang-senang saja di dunia ini, sehingga merasa tidak ada gunanya memikirkan bagaimana keadaan sesudah mati. Menurut mereka, jasad yang mati itu pasti hancur menjadi tanah dan tidak akan kembali.

Sebenarnya Allah kuasa untuk menghancurkan mereka dengan berbagai macam cara seperti Allah menghancurkan umat-umat dahulu yang durhaka. Ada yang dihancurkan dengan topan dan banjir besar, ada yang dimusnahkan dengan gempa yang dahsyat, dan ada pula dengan suara keras yang mengguntur.

Namun demikian, Allah mempunyai sifat rahmat dan kasih sayang. Oleh sebab itu, Allah tidak menimpakan kepada kaum musyrik Mekah siksa azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu, dengan harapan mungkin ada di antara orang-orang kafir yang membangkang dan menantang itu atau anak cucunya yang akan beriman.

Al-Quran menyatakan bahwa semua benda mati dan makhluk hidup di alam semesta ini diciptakan berpasang-pasangan. Dalam ayat di atas dicontohkan mengenai tumbuhan. Namun demikian, sebenarnya konsep berpasangan tidak saja hanya pada tumbuhan, tetapi di hampir semua ciptaannya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan, di antaranya:

سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ

“Maha Suci Dia yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin/36: 36).;

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ;

“Dan segala sesuatu telah Kami ciptakan berpasang-pasangan…“ (az-Dariyat/51: 49).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1014


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1-4

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1-4 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai keterangan tentang yang benar dan yang salah. Kedua berbicara mengenai kecintaan Nabi Muhammad kepada kaumnya. Ketiga mengenai kehendak Allah atas keimanan semua manusia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 75-77


Ayat 1

Lihat keterangan ayat ini pada jilid I yang menerangkan tentang fawatihus-suwar (al-Baqarah/2: 1).

Ayat 2

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an ini menerangkan yang benar dan salah, yang baik dan buruk dengan jelas dan mudah dipahami, sebagai pedoman bagi manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Dengan mengamalkan isi dan kandungan ayat-ayat itu, manusia pasti akan mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hal ini diyakini benar oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya yang telah beriman.

Akan tetapi, orang kafir Mekah selalu menolak ajaran-ajaran itu dan memperolok-olokkan bila Nabi Muhammad menyeru mereka untuk beriman. Bahkan mereka mencemooh, menghina, dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan, seperti menyatakan bahwa Muhammad saw gila atau seorang yang kena sihir atau seorang penyair.


Baca juga: Kuffar dalam Al-Quran Tidak Selalu Bermakna Orang-Orang Kafir, Lalu…


Ayat 3

Nabi Muhammad adalah seorang yang cinta kepada kaumnya dan selalu mengharapkan supaya mereka beriman semuanya. Dia yakin dengan memeluk Islam, mereka pasti akan bahagia dan selamat dari malapetaka yang biasa diturunkan Allah kepada orang-orang yang kafir dahulu.

Hampir saja beliau berputus asa karena setelah sekian lama beliau menyeru mereka dengan mengemukakan alasan-alasan dan hujah-hujah yang kuat yang tidak bisa dibantah, mereka tetap membangkang dan menghinakannya.

Sungguh amat tragis dan menyedihkan sekali bagi seorang pemuka agama yang cinta kepada umatnya dan berusaha untuk keselamatan dan kebahagiaan mereka, tetapi selalu dicemoohkan oleh kaumnya.

Pada ayat ini, Allah menegur Nabi Muhammad yang sedang berada dalam puncak kesedihan dan duka-cita dengan mengatakan apakah Nabi akan membinasakan diri hanya karena kaumnya tidak mau menerima petunjuk dan ajaran yang benar?

Seakan-akan Allah memberikan teguran kepadanya, mengapa Nabi terlalu berharap agar kaumnya beriman semuanya? Padahal kewajibannya yang utama hanyalah menyampaikan risalah Allah sebagai tersebut dalam firman-Nya:

ۚفَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ;

Bukankah kewajiban para rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas. (an-Nahl/16: 35)

Sebenarnya dengan teguran ini Allah melarangnya berbuat demikian seperti tersebut dalam firman-Nya pada surah yang lain:

فَاِنَّ اللّٰهَ يُضِلُّ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ ۢبِمَا يَصْنَعُوْنَ   ;

Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (Fatir/35: 8)

Ayat 4

Pada ayat ini diterangkan bahwa jika Allah hendak memaksa mereka supaya beriman, hal itu amat mudah bagi-Nya. Namun demikian, Allah hendak memberlakukan sunah-Nya kepada kaum Quraisy bahwa beriman itu bukanlah dengan paksaan dan kekerasan, tetapi dengan kesadaran dan kemauan sendiri.

Memaksa orang agar beriman bertentangan dengan ayat Al-Qur’an (al-Baqarah/2: 256) dan sunah Allah. Hal itu tidak boleh dilakukan oleh para rasul sesuai dengan firman Allah:

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ   ;

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? (Yµnus/10: 99)

Oleh karena itu, Allah dengan hikmat dan ketetapan-Nya mengutus para rasul yang akan menyeru umat kepada kebenaran dan tauhid yang murni, serta menuntun mereka kepada jalan yang lurus, dan syariat yang membawa mereka menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Demikianlah Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad sebagai mukjizat. Kemukjizatan Al-Qur’an akan tetap berlaku sepanjang masa sampai hari Kiamat sesuai dengan risalah yang dibawa Muhammad untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan tempat. Mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada para nabi sebelum Muhammad hanya berlaku untuk masa dan tempat di mana nabi itu menyebarkan risalahnya.

Sesudah itu, mukjizat-mukjizat itu hanya menjadi berita yang ditulis di dalam sejarah dan tidak dapat disaksikan lagi oleh generasi yang datang kemudian. Berbeda dengan Al-Qur’an, sampai saat ini dengan semakin bertambahnya pengetahuan manusia, dan semakin maju teknologi mereka, akan semakin bertambah jelas kebenaran Al-Qur’an.

Isyarat-isyarat ilmiah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an secara ringkas, yang mungkin belum dapat dipahami pada masa-masa sebelumnya, semakin terungkap, sehingga umat Islam bertambah yakin akan kebenaran Al-Qur’an.

Berkaitan dengan itu, bertambah banyak pula orang-orang yang sadar dengan sendirinya bahwa Al-Qur’an itu memang kitab yang diturunkan Allah untuk menuntun manusia ke jalan yang benar, sehingga mereka beriman dan menganut agama Islam.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 59


(Tafsir Kemenag)

Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab

0
Mufasir Indonesia
Masjid Menara Kudus

Perkembangan kajian tafsir dan mufasir Indonesia abad modern telah banyak dilakukan oleh para sarjana. Salah satu studi representatif dilakukan oleh Howard M Federspiel dengan meneliti 58 buku terkait studi al-Quran di Indonesia dalam rentang publikasi antara tahun 1950-1980.

Menurut Federspiel, telah terjadi perubahan penting di periode ini, yakni adanya sistematisasi kajian tafsir yang meliputi karya tafsir lengkap 30 juz seperti Tafsir al-Quran al-Karim karya Mahmud Yunus (1899-1973), dan juga buku-buku tentang metode tafsir al-Quran yang diwakili Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir karya T.M Hasbi Ash-Shiddieqy (1904-1975).

Penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya yang dilakukan oleh sarjana lokal fokus pada pemikiran tokoh mufasir Indonesia tertentu. Milhan Yusuf, misalnya, mengkaji pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (1908-1981) tentang penafsiran ayat-ayat hukum yang tertuang dalam Tafsir Al-Azhar. Milhan menyoroti tiga tema pokok dalam Tafsir Al-Azhar, yaitu poligami, nikah beda agama, dan riba. Hasil penelitian Milhan menyimpulkan bahwa pemikiran tafsir HAMKA mengenai tiga tema tadi, tidak berbeda dengan penafsiran para mufasir klasik yang menekankan aspek kebahasaan tanpa mengindahkan konteks sosio-historis, sehingga hasilnya tidak berbeda dengan makna literal ayat.

Baca Juga: Mengenal Sachiko Murata dan Pendekatannya dalam Membaca Ayat Relasi Gender

Pemikiran Mahmud Yunus, sebagai mufasir Indonesia abad modern, dapat ditemukan dalam artikel jurnal Ilmu Ushuluddin dengan judul “Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru Penulisan Tafsir al-Quran Indonesia.” M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy, penulis artikel, menilai bahwa aspek kebaruan Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus terletak pada tiga aspek; pemakaian huruf latin yang menggantikan huruf Arab dan aksara pegon, gaya penulisan model karya tafsir yang ringkas, dan memunculkan elemen modernitas hingga corak tefsirnya bercorak ilmiah.

Selain Mahmud Yunus dan HAMKA, sepanjang penelusuran penulis, ada beberapa tokoh mufasir Indonesia modern yang telah diteliti oleh para pengkaji. Pertama, A. Hassan (1887-1958). A. Hassan merupakan tokoh yang sangat berpengaruh bagi perkembangan organisasi Persatuan Islam (Persis). Beliau menghasilkan karya tafsir yang diberi judul Al-Furqon Tafsri Quran. Bagi para anggota Persis, Al-Furqon Tafsir Quran adalah rujukan utama. Metode dan corak yang ditampilkan oleh A. Hassan adalah penerjemahan, uraian singkat, dan senapas dengan reformasi Islam yang dilakukan oleh Persis yang menjauhkan diri dari unsur sinkretisme Islam dan kultur feodal. Selengkapnya dapat dilihat artikel yang ditulis Nur Hizbullah berjudul “Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama dan Pejuang Pemikiran Islam di Nusantara” dalam Turats Mimbar Sejarah, Sastra, dan Agama.

Kedua, Hasbi Ash-Shiddiqy (1904-1975). Selama hidupnya, Hasbi menuliskan dua karya tafsir; pertama Tafsir Al-Nur yang terbit pada tahun 1960 dan kedua Tafsir al-Bayan 1966. Karya yang kedua memiliki kedudukan sebagai penyempurna dari karya tafsir pertama. Hasbi menempuh beberapa langkah metode penafsiran: menerjemahkan makna lafal dan kalimat, memaparkan alternatif makna, dan menerangkan pendapat para mufasir terkait dengan makna ayat. Hal ini sebagaimana disampaikan Surahman Amin dan Ferry Muhammadiyah Siregar melalui artikelnya berjudul “Telaah Atas Karya Tafsir di Indonesia: Studi atas Tafsir al-Bayan Karya TM. Hasbi Ash-Shiddiqy” dalam jurnal Afkaruna.

Ketiga, Bisri Musthofa (1915-1977). Berbeda dengan mufasir periode modern lainnya, Bisri Musthofa yang lahir dari rahim Pesantren menyusun karyanya dengan bahasa jawa ngoko dan menggunakan tulisan aksara pegon. Meski demikian, istilah bahasa Indonesia seperti kata nenek moyang, pembesar, terpukul, berangkat dan juga mempelajari, diikutsertakan dalam penjelasan beliau. Pilihannya terhadap media bahasa jawa ngoko, mengisyaratkan bahwa Bisri Musthofa mengedepankan ekspresi totalitas atas tanggung jawab terhadap lingkungan sosial masyarakatnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan Maslukhin dalam artikelnya berjudul “Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Musthofa” yang terbit di jurnal Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis.

Baca Juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran

Keempat, Quraish Shihab (l.1944). Nama ini merupakan tokoh yang paling banyak menghiasi hasil studi para mahasiswa tafsir di berbagai jenjang pendidikan tinggi. Munirul Ikhwan menulis pemikiran Quraish Shihab dengan fokus pada refleksinya terhadap agama di era modern, konteks Indonesia yang plural, dan upayanya membumikan al-Quran dengan segala kegiatannya termasuk dakwahnya di televisi dan dengan mendirikan Pusat Studi Quran (PSQ). Munirul Ikhwan memandang bahwa konsep Quraish Shihab tentang membumikan al-Quran adalah memosisikan al-Quran sebagai sumber inspirasi dan petunjuk yang paling utama untuk menjawab segala bentuk tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim. Quraish Shihab, menurut Ikhwan, menggunakan analogi dan mengedepankan maslahat serta mengupayakan pengkaderan untuk meneruskan pemahaman al-Quran yang membumi dengan mendirikan PSQ.

Demikian beberapa mufasir Indonesia modern yang diulas pada tulisan ini. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah at-Tahrim ayat 9-12

0
Tafsir Surah at-Tahrim
Tafsir Surah at-Tahrim

Tafsir Surah at-Tahrim ayat 9-12 mencantumkan dua perumpamaan terkait hubungan antara orang kafir dan umat Islam. Perumpamaan tersebut bertujuan untuk menyadarkan umat Islam bahwa seakrab apapun kita terhadap orang terkasih, jika dia memusuhi agama Allah maka hendaklah berperilaku tegas. Tafsir Surah at-Tahrim ayat 9-12 ini menulis kisah istri Nabi Lut dan Nabi Nuh serta ‘Aisiyah istri Fir’aun.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 6-8


Ayat 9

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad mengangkat senjata dan memerangi orang-orang kafir dengan sungguh-sungguh dan memberi ancaman serta bertindak tegas dan keras kepada orang-orang munafik. Nabi juga diperintahkan untuk menjelaskan bahwa mereka akan mengalami kekecewaan di akhirat nanti karena kemunafikan mereka.

Oleh karena itu, Nabi saw pernah mengusir secara tegas sebagian orang munafik dan menyuruhnya keluar dari masjid. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

اِنَّهَا سَاۤءَتْ مُسْتَقَرًّا وَّمُقَامًا   ٦٦

Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (al-Furqan/25: 66)

Dalam ayat lain juga dijelaskan:

فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا

Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali. (an-Nisa’/4: 97)

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah membuat satu perumpamaan yang menjelaskan keadaan orang-orang kafir yang tidak bermanfaat lagi baginya pelajaran dan nasihat dari orang-orang mukmin yang jujur, antara lain para nabi dan rasul karena kerasnya hati mereka. Tidak ada kesediaan mereka untuk beriman dan fitrah mereka sudah menyimpang dari kebenaran, seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Lut.

Keduanya di dalam asuhan dan pengawasan dua orang nabi, yang mestinya dapat memberikan petunjuk sehingga memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, keduanya tidak mau, bahkan mereka berbuat khianat dan kekafiran. Istri Nabi Nuh menuduh suaminya gila, sedang istri Nabi Lut menuntun kaum suaminya untuk berbuat yang tidak wajar dan tidak sopan terhadap tamu-tamu suaminya yaitu para malaikat.

Keakraban kedua istri-istri itu dengan para suami yaitu Nabi Nuh dan Nabi Lut, dua hamba Allah yang saleh, tidak dapat membendung dan mencegah keduanya dari berbuat khianat dan kufur. Oleh karena itu, kedua istri itu pantas mendapat azab Allah dan akan dimasukkan ke dalam neraka bersama rombongan penghuni neraka, sebagai balasan yang setimpal dari perbuatan keduanya yang jahat, yang merupakan dosa besar.

Ayat 11

Pada ayat ini, Allah membuat perumpamaan sebaliknya yaitu keadaan orang-orang yang beriman. Perumpamaan itu ialah ‘Asiyah binti Muzahim, istri Fir‘aun. Dalam perumpamaan itu, Allah menjelaskan bahwa hubungan orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir tidak akan membahayakan kalau diri itu murni dan suci dari kotoran.

Sekalipun ‘Asiyah binti Muzahim berada di bawah pengawasan suaminya, musuh Allah yang sangat berbahaya, tetapi ia tetap beriman. Ia selalu memohon dan berdoa, “Ya Tuhanku! Bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”

Ayat 12

Pada ayat ini, Allah sekali lagi membuat perumpamaan bagi orang-orang mukmin yaitu keadaan Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya dan telah diberikan karamah di dunia dan akhirat. Ia dipilih Tuhannya karena bereaksi kepada Jibril tentang pengisian rahimnya dengan ucapan sebagaimana diabadikan di dalam Al-Qur’an:

اِنِّيْٓ اَعُوْذُ بِالرَّحْمٰنِ مِنْكَ اِنْ كُنْتَ تَقِيًّا

 Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa.” (Maryam/19: 18)

Dengan demikian, kesalehannya menjadi mantap dan sempurna kesuciannya, maka ditiupkanlah ke dalam rahimnya oleh Jibril sebagian roh ciptaan Allah, yang mewujudkan seorang nabi yaitu Isa bin Maryam binti Imran, membenarkan syariat Allah dan kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada nabi-Nya. Dia termasuk dan terbilang orang yang bertakwa, tekun beribadah, merendahkan diri, dan taat kepada Tuhan-Nya.

Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya bahwa penghulu wanita penghuni surga ialah Maryam lalu Fatimah menyusul Khadijah dan ‘Asiyah.

Di dalam kitab sahih diterangkan bahwa laki-laki yang sempurna banyak bilangannya, tetapi perempuan yang sempurna hanya empat yaitu ‘Asiyah binti Muzahim (istri Fir‘aun), Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwailid, dan Fathimah binti Muhammad. Sedangkan kelebihan Siti ‘‘Aisyah atas wanita-wanita yang lain seperti kelebihan Sarid atas makanan-makanan yang lain.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah at-Tahrim ayat 6-8

0
Tafsir Surah at-Tahrim
Tafsir Surah at-Tahrim

Tafsir Surah at-Tahrim ayat 6-8 ini merupakan peringatan kepada orang beriman agar senantiasa menjaga diri dari hal yang dilarang oleh Allah. Hal tersebut bertujuan agar umat Islam selamat dari panasnya siksa neraka kelak di hari pembalasan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5


Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah. Mereka juga diperintahkan untuk mengajarkan kepada keluarganya agar taat dan patuh kepada perintah Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Keluarga merupakan amanat yang harus dipelihara kesejahteraannya baik jasmani maupun rohani.

Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar, sebagaimana firman Allah:

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. (Thaha/20: 132)

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ ۙ   ٢١٤

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat. (asy-Syu‘ara’/26: 214)

Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah saw menjawab, “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkan mereka melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka.

Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat. Mereka diberi kewenangan mengadakan penyiksaan di dalam neraka. Mereka adalah para malaikat yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.

Ayat 7

Pada Tafsir Surah at-Tahrim ayat 6-8 khususnya ayat ini, Allah mengeluarkan satu ketegasan yang ditujukan kepada orang-orang kafir bahwa di hari kemudian nanti, tidak ada lagi gunanya mereka itu mengemukakan alasan, serta menginginkan satu kehendak dan harapan. Waktu dan kesempatan untuk mengemukakan alasan dan harapan sudah lewat. Hari Kiamat hanyalah hari untuk mempertanggungjawabkan dan menerima pembalasan dari apa yang telah dikerjakan di dunia, sebagaimana firman Allah:

ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ   ١٤٦

Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar. (al-An’am/6: 146).

Dijelaskan pula dalam ayat lain:

ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِمَا كَفَرُوْاۗ وَهَلْ نُجٰزِيْٓ اِلَّا الْكَفُوْرَ   ١٧

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (Saba’/34: 17).

Ayat 8

Seruan pada ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan para rasul-Nya. Mereka diperintahkan bertobat kepada Allah dari dosa-dosa mereka dengan tobat yang sebenar-benarnya (tobat nasuha), yaitu tobat yang memenuhi tiga syarat. Pertama, berhenti dari maksiat yang dilakukannya. Kedua, menyesali perbuatannya, dan ketiga, berketetapan hati tidak akan mengulangi perberbuatan maksiat tersebut.

Bila syarat-syarat itu terpenuhi, Allah menghapuskan semua kesalahan dan kejahatan yang telah lalu dan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Pada saat itu, Allah tidak mengecewakan dan menghinakan Nabi saw dan orang-orang yang beriman bersamanya.

Bahkan pada hari itu, kebahagiaan mereka ditonjolkan, cahaya mereka memancar menerangi mereka waktu berjalan menuju Mahsyar tempat diadakan perhitungan dan pertanggungjawaban. Mereka itu meminta kepada Allah agar cahaya mereka disempurnakan, tetap memancar dan tidak akan padam sampai mereka itu melewati ¢irathal Mustaqim, tempat orang-orang munafik baik laki-laki maupun perempuan memohon dengan sangat agar dapat ditunggu untuk dapat ikut memanfaatkan cahaya mereka.

Mereka juga memohon agar dosa-dosa mereka dihapus dan diampuni. Dengan demikian, mereka tidak merasa malu dan kecewa pada waktu diadakan hisab dan pertanggungjawaban. Tidak ada yang patut dimintai untuk menyempurnakan cahaya dan mengampuni dosa kecuali Allah, karena Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, berbuat sesuai dengan kodrat dan iradat-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 9-12


Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5

0
Tafsir Surah at-Tahrim
Tafsir Surah at-Tahrim

Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5 melanjuti awal mula Nabi mengharamkan dirinya meminum madu. Diceritakan dalam Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5 bahwa Rasulullah meminta salah seorang istrinya untuk merahasiakan bahwa ia pernah meminum madu lalu bersumpah untuk tidak akan meminumnya lagi, tetapi atas izin Allah rahasia tersebut terbongkar. Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5 ini juga berupa peringatan kepada para istri nabi agar tidak menyakiti hatinya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 1-2


Ayat 3

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan suatu peristiwa yang terjadi pada diri Nabi saw yaitu ketika beliau meminta kepada Hafshah (salah seorang istrinya) untuk merahasiakan dan tidak memberitahukan kepada siapa pun bahwa beliau pernah meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy, lalu bersumpah tidak akan mengulangi hal itu lagi. Setelah Hafshah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah, Allah lalu memberitahukan kepada Nabi percakapan antara keduanya itu. Nabi saw kemudian memberitahu Hafshah tentang perbuatannya yang telah menyiarkan rahasia beliau.

Ketika itu Hafshah menjadi heran dan bertanya, “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Ia menyangka bahwa ‘Aisyahlah yang memberitahukan, Nabi saw menjawab bahwa yang memberitahukan ialah Allah, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan bisikan, Maha Mengenal apa yang ada di bumi dan apa yang ada di langit, tiada sesuatu yang tersembunyi bagi-Nya. Firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَخْفٰى عَلَيْهِ شَيْءٌ

Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit. (‘Ali ‘Imran/3: 5)

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa jika Hafshah dan ‘Aisyah mau bertobat, dan mengatakan bahwa dirinya telah menyalahi kehendak Nabi saw, keduanya cinta kepada apa yang beliau cintai, dan membenci apa yang beliau benci, berarti keduanya telah cenderung untuk menerima kebaikan.

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas berkata, “Saya senantiasa ingin menanyakan kepada Umar tentang dua istri Nabi saw yang dimaksudkan firman Allah, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah…,” sampai ‘Umar menunaikan ibadah haji dan saya pun menunaikan ibadah haji bersama dia. Ketika ‘Umar dalam perjalanannya mampir untuk berwudu, saya guyur kedua tangannya dan bertanya, ‘Wahai Amirul Mukminin! Siapakah kedua istri Nabi yang dituju oleh firman Allah, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah ….” ‘Umar lalu menjawab, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas! Kedua istri Nabi saw yang dimaksud itu ialah ‘Aisyah dan Hafshah.

Kalau keduanya (‘Aisyah dan Hafshah) tetap sepakat berbuat apa yang menyakiti hati Nabi saw dengan menyiarkan rahasianya, hal itu tidak akan menyusahkan Nabi, karena Allah-lah pelindungnya, serta membantunya di dalam urusan agama dan semua hal yang dihadapinya. Begitu pula Jibril, orang-orang mukmin yang saleh, dan para malaikat, semuanya turut menolong dan membantunya.

Ayat 5

Diriwayatkan oleh Anas dari ‘Umar bahwa ia berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa sebagian istri-istri Nabi bersikap keras kepada Nabi dan menyakiti hati beliau. Maka saya selidiki hal itu. Saya menasihatinya satu-persatu dan melarangnya menyakiti hati Nabi saw, saya berkata, ‘Jika kalian tetap tidak mau taat maka boleh jadi Allah memberikan kepada Nabi, istri-istri baru yang lebih baik dari kalian.’

Dan setelah saya menemui Zainab, ia berkata, ‘Wahai Ibnu Khaththab! Apakah tidak ada usaha Rasulullah untuk menasihati istri-istrinya? Maka nasihatilah mereka sampai mereka itu tidak diceraikan,’ maka turunlah ayat ini.”

Ayat ini berisi peringatan dari Allah terhadap istri-istri yang menyakiti hati Nabi saw. Jika Nabi menceraikan mereka, boleh jadi Allah menggantinya dengan istri-istri baru yang lebih baik dari mereka, baik keislaman maupun keimanannya, yaitu istri-istri yang tekun beribadah, bertobat kepada Allah, patuh kepada perintah-perintah Rasul.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 6-8


Tafsir Surah at-Tahrim ayat 1-2

0
Tafsir Surah at-Tahrim
Tafsir Surah at-Tahrim

Sumpah merupakan perjanjian akan suatu hal dan wajib untuk ditunaikan, namun dalam Islam ada beberapa sumpah yang boleh untuk dilanggar dengan memenuhi syaratnya. Hal ini dicontohkan oleh Rasul dalam Tafsir Surah at-Tahrim ayat 1-2, ketika itu Rasulullah bersumpah untuk tidak meminum madu padahal madu merupkan minuman yang halal. Tafsir Surah at-Tahrim ayat 1-2 merupakan teguran Allah kepada Rasul untuk membatalkan sumpahnya tersebut.


Baca Juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am


Ayat 1

Pada ayat ini, Allah menegur Nabi saw karena bersumpah tidak akan meminum madu lagi, padahal madu itu adalah minuman yang halal. Sebabnya hanyalah karena menghendaki kesenangan hati istri-istrinya.

Ayat 2

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia telah menetapkan satu ketentuan yaitu wajib bagi seseorang membebaskan dirinya dari sumpah yang pernah diucapkannya dengan membayar kafarat sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:

فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ   ٨٩

Maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. (al-Ma’idah/5: 89)

Sumpah yang wajib dilanggar ialah jika bersifat menghalalkan sesuatu yang hukumnya haram, atau sebaliknya sumpah itu mengharamkan sesuatu yang halal. Untuk membatalkan sumpah tidak minum madu, Nabi saw telah memenuhi ketentuan Allah tersebut di atas, dengan membayar kafarat yaitu memerdekakan seorang budak, sebagaimana yang diinformasikan dalam sebuah hadis:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مَنِ الْمَرْأَتَانِ اللَّتَانِ تَظَاهَرَتَا؟ قَالَ: عَائِشَةُ وَحَفْصَةُ. وَكَانَ بَدْأُ الْحَدِيْثِ فِي شَأْنِ مَارِيَةَ أُمِّ إِبْرَاهِيْمَ الْقِبْطِيَّةِ أَصَابَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فِي يَوْمِهَا فَوَجَدَتْ حَفْصَةُ فَقَالَتْ: يَا نَِبيَّ اللهِ لَقَدْ جِئْتَ إِلَيَّ شَيْئًا مَا جِئْتَهُ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَزْوَاجِكَ فِي يَوْمِي وَفِي دَوْرِيْ وَعَلَى فِرَاشِي؟ قَالَ: أَلاَّ تَرْضِيْنَ أَنْ أُحَرِّمَهَا فَلاَ أُقَرِّبُهَا؟ قَالَتْ: بَلَى، فَحَرَّمَهَا. وَقَالَ: لاَتَذْكُرِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ، فَذَكَرَتْهُ لِعَائِشَةَ، فَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ) الأية كُلَّهَا، فَبَلَغْنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَّرَ يَمِيْنَهُ     وَأَصَابَ جَارِيَتَهُ. (رواه ابن حرير وابن منذر)

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Saya bertanya kepada ‘Umar bin Khaththab tentang siapa kedua perempuan yang membongkar rahasia itu? Ia berkata, ‘Aisyah dan Hafshah.’ Dia mengawali cerita tentang Ummu Ibrahim (Mariyah) al-Qibthiyyah yang digauli Nabi saw di rumah Hafshah pada hari (giliran)nya, lalu Hafshah mengetahuinya. Hafshah lalu berkata, ‘Wahai Nabi Allah, engkau telah memperlakukan saya dengan perlakuan yang tidak engkau lakukan kepada istri-istrimu yang lain pada hari saya, rumah saya, dan di atas tempat tidur saya.’ Nabi berkata, ‘Senangkah engkau bila saya mengharamkannya dengan tidak menggaulinya lagi?’ Ia menjawab, ‘Baik, haramkan dia’! Nabi lalu berkata, ‘Janganlah engkau katakan hal ini kepada siapa pun.’ Tetapi Hafshah mengatakannya kepada ‘Aisyah. Kemudian Allah memberitahukan hal itu kepada Nabi saw, lalu menurunkan ayat: “ya ayyuhan-nabiyyu lima tuharrimu…” dan seterusnya. Kami mendapat berita bahwa Nabi saw membayar kafarat sumpahnya dan menggauli Maryam al-Qibtiyyah kembali.” (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir)

Kesimpulan dari apa yang terkandung dalam ayat ini adalah bahwa yang diharamkan Nabi saw untuk dirinya adalah sesuatu yang telah dihalalkan Allah, bisa berupa budak, minuman, atau yang lainnya. Apa pun kasusnya, yang jelas Nabi mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah. Oleh karena itulah, Allah menegur dan meminta Nabi untuk membatalkan sumpahnya dan membayar kafarat.

Di bagian akhir ayat ini dijelaskan bahwa Allah adalah pelindung orang beriman, mengalahkan musuh-musuhnya, memudahkannya menempuh jalan yang menguntungkan di dunia dan di akhirat, memberikan hidayat dan bimbingan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dia Maha Mengetahui apa yang mendatangkan maslahat. Allah Mahabijaksana dalam mengatur segala sesuatunya, tidak akan melarang dan memerintahkan sesuatu kecuali tujuannya ialah maslahat manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah at-Tahrim ayat 3-5


Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

0
Hermeneutika dan Konstribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Hermeneutika dan Konstribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Dalam dunia Islam, hermeneutika masih dipandang tabu dan cukup kontroversial. Sebagian pemikir muslim menyederhanakan hermeneutika hanya sebagai aliran dekonstruktif, yakni teks adalah milik penafsir, bukan pengarang. Melalui tulisan ini, penulis hanya berharap kita bisa melihat hermeneutika dari sisi yang berbeda, yang sebelumnya dipandang sebagai upaya desakralisasi al-Quran, maka kini kita bisa melihat bagaimana hermeneutika dapat digunakan dalam menafsirkan teks-teks al-Quran.

Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermenuein yang diterjemahkan sebagai “menafsirkan”. Kata bendanya adalah hermeneia yang memiliki arti “tafsiran” (Edi Susanto, 2016). Hermeneutika dikaitkan dengan tokoh Hermes, sang penyampai wahyu dewa (Fahrudin Faiz, 2015: 4). Dalam Islam, Hermes rupanya dikenal sebagai nabi Idris, dan di kalangan masyarakat Mesir adalah Musa—disebut oleh mereka sebagai Toth—. Adapun dalam doktrin Yahudi disebut Unukh dan dalam kepercayaan Persia disebut Hushang (Edi Susanto, 2016: 3) (Nasr, 1967: 64) (Fahrudin Faiz, 2015: 4).

Jika ditanya, apa sebenaranya hermeneutika, mungkin beberapa literatur setuju untuk mengatakan bahwa, hermeneutika tidak dapat didefinisikan hanya melihat satu teori, atau hermeenutika tidak memiliki definisi yg absolut, sebab ia memiliki banyak cabang. Karena hermeneutika memiliki sejarah yang panjang serta keberagaman obyek kajiannya, maka definisi hermeneutika sendiri menjadi beragam (Quraish Shihab, 2019: 343).

Meminjam definisi yang diberikan Zygmunt Bauman, hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri makna dari teks yang samar, serta ambiguistik yang demikian itu membingungkan bagi pembaca (Faiz, 2015: 6). Salah satunya juga teramat terlihat dalam frasa kitab suci yang terkadang cenderung puitis dan menyimpan banyak makna (kiasan), yang mengharuskan kita mencari makna sebenarnya.

Dalam kajian Islam, hermeneutika mendapakan beragam respon. Ada yang menerima, ada pula yang menolak. Mereka yang menolak misalnya Muhammad Imarah. Imarah dalam kitab-kitabnya cukup gencar menolak hermeneutika sebagai metode penafsiran atau wajah baru (model analisis) penafsiran. Ia sampai mengatakan bahwa hermeneutika akan menuhankan manusia (ta’lih al-insan), sebab menurutnya hermeneutika adalah “menyerahkan seluruh makna teks—konteks ini adalah kitab suci—pada penafsir”. Serta menyatakan bahwa hermeneutika akan memanusiakan Tuhan (annsanat al-ilah) sebab pesan Tuhan diserahkan sepenuhnya pada ego manusia. Aliran yang dikritik oleh Imarah ini adalah aliran yang disebut oleh Sahiron sebagai aliran obyektivis (Sahiron, 2017: 4).

Baca juga: Perbandingan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir menurut Nashruddin Baidan

Tiga aliran hermeneutika

Dalam sejarah perkembangannya, hermeneutika telah mendapati banyak respons dari kalangan pemikir. Respons tersebut kemudian menghasilkan buah pikir baru, yang pada akhirnya melahirkan aliran-aliran hermeneutika yang beragam. Oleh karena itu, munculnya satu aliran baru adalah hasil dari pengembangan maupun tanggapan kritis terhadap aliran yang ada sebelumnya. Di bawah ini merupakan cabang-cabang dari hermeneutika.

Aliran objektivis (romansis), merupakan suatu aliran dalam kajian hermeneutika yang lebih memfokuskan dan menekankan pada upaya pencarian makna apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh sang author (penulis/pengarang teks). Sederhananya, aliran ini berupaya untuk merekonstruksi apa yang dimaksud oleh pencipta teks.

Aliran subjektivis. Berbeda dengan aliran sebelumnya, aliran subjektivis ini berpandangan bahwa penafsirlah yang memiliki kuasa atas makna teks. Artinya, pada aliran ini, mereka tidak berupaya untuk menggali dan memahami maksud author, karena makna teks diserahkan pada sang penafsir.

Penganut aliran ini memberikan –setidaknya– tiga argumen sebagai justifikasi mereka; pertama, pada teks-teks lampau, kuno, tentunya akan sulit bagi penafsir untuk mengakses langsung ke pengarang teks, maka upaya untuk mendapatkan makna teks yang orisinil sekiranya adalah perkara yang tidak mungkin. Kedua, makna teks selalu berubah dari waktu ke waktu dan dari pembaca ke pembaca yang lain. Ketiga, makna teks bisa ditangkap hanya dengan menganalisis kebahasaan dan simbol saja.

Acques Derrida tidak setuju mengenai makna sentral (makna tunggal sebuah teks), karena menurutnya teks memiliki banyak makna. Teks bersifat terbuka (open) untuk selalu bisa ditafsirkan. Stanley Fish juga berpendapat bahwa teks memuat potensi-potensi makna, yang artinya seorang penafsir boleh memilih makna mana yang ingin dia ambil.

Aliran objektivis-cum-subjektivis, aliran ini berada di tengah-tengah antara dua aliran sebelumnya yang saling membelakangi. Aliran ini berupaya untuk menguak, menelusuri makna orisinil yang hendak author sampaikan, serta mengembangkan makna-makna teks yang ditafsirkan. Tokoh di dalamnya seperti J.E. Gracia dan Hans-Georg Gadamer menyatakan, dalam menafsirkan sebuah teks, di sana ada keobjektivitasan serta kesubjektivitasan sekaligus.

Baca juga: 3 Hal yang Menjadikan Hermeneutika Al-Qur’an Penting Digunakan menurut Fahruddin Faiz

Kontribusi hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an

Setelah kita berkenalan dengan Muhammad Imarah–yang menolak hermeneutika–mari kita berkenalan dengan Farid Esack yang dalam kajiannya menyimpulkan bahwa sebenarnya hermeneutika telah menjadi landasan umat Islam sejak lama. Misalnya dalam bagaimana kita mengkaji dan memahami asbabun nuzul dan nasikh-mansukh (Fahruddin Faiz, 2015: 14).

Operasional hermeneutika juga digunakan oleh para pembaharu seperti Ahmad Khan, Amir Ali, dan G. Ahmad Parves yang berupaya melakukan “demitologi”–yakni dengan mempersepsikan dongeng dan cerita sebagai simbolis saja, dengan tujuan untuk menafsirkannya–melalui hermeneutika (Faiz, 2015: 15).

Apa itu “demitologi”? Demitologi merupakan sebuah upaya pada perkembangan awal filsafat untuk memalingkan pikiran manusia dari mitos dan dongeng menuju logos (akal pikir/ilmu pengetahuan), namun, bukan berarti apa yang diupayakan Amir Ali, Ghulam Ahmad Prves, Ahmad Khan, dkk adalah mengabaikan kisah-kisah dalam Quran, melainkan menggunakan kisah itu sebagai simbol atau memberi gambaran.

Dengan kata lain, konsep ini menjadikan kisah-kisah yang tak masuk akal sebagai simbolik yang kemudian dimaknai dan ditafsirkan secara eksistensial agar diterima logika. Dinyataka tidak masuk akal, sebab terjadinya seakan sangat luar biasa dan di luar nalar manusia. Misal, nabi Isa dan nabi Ibrahim yang mampu membangkitan makhluk dari kematian, luluh lantaknya Pompei dan dataran kaum Luth ditimpa oleh daratannya sendiri, serta kisah-kisah lainnya.

Saya mencoba tekankan bahwa hermeneutika tidak dapat didefinisikan hanya dari satu definisi saja, sebab dengan melihat beragamnya objek, maka melahirkan berbagai definisi. Memang pada cabang subjektivis, hermeneutika seakan menghilangkan i’jaz (sisi mukjizat) dan desakralisasi Quran, namun ada aliran seperti romansis yang mencoba untuk menguak makna sebenarnya dari nash dengan tidak semata-mata memaknainya dengan presepsinya sendiri (seperti penganut aliran dekosntruksi atau subjektivis).

Sahiron dalam bukunya mengkritik Imarah sebagai seorang yang terkesan memiki sikap menyimplifikasikan hermeneutika, karena ia hanya mengkritik hermeneutika dari satu definisi, bukan dari banyak cabang yang sebenarnya juga eksis.

Dalam komentarnya, Quraish Shihab menyatakan hermeneutika boleh dipakai selama tidak menghilangkan hakikat al-Quran dan demi mengetahui dan mengungkap (al-kasfu) pesan Allah. Sebagaimana yang dikemukakan Farid Esack, bahwa esensi hermeneutika sudah didalami dan dikaji oleh umat Islam, yakni dalam mengkaji asbabun nuzul maupun naskh-manskh. Wallahu a’lam.

Baca juga: Kebolehan Hermeneutika untuk Memahami Al-Qur’an Menurut M. Quraish Shihab