Beranda blog Halaman 204

Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

0
Menggapai Kebahagiaan
Beriman Kepada Allah Swt Kunci Menggapai Kebahagiaan

Islam telah menunjukkan berbagai macam kunci untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Paling tidak, menurut saya, ada 12 kunci atau prinsip hidup yang harus dilakukan oleh setiap muslim untuk menggapai husnul khatimah, yaitu menggapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat. Kunci-kunci atau prinsip itu adalah: 1) Beriman kepada Allah, 2) Berilmu yang luas, 3) Bekerja dengan tekun (untuk dunia), 4) Beribadah dengan khusyuk’ (untuk akhirat), 5) Jujur dalam segala perkataan, 6) Ikhlas dalam segala perbuatan, 7) Menjaga hubungan dengan sesama, 8) Menjaga hubungan dengan lingkungan, 9) Bersabar atas segala ujian, dan 10) Bersyukur atas segala kenikmatan, 11) Berdoa dengan penuh harapan, 12) Bertawakal dengan penuh kepasrahan.

Kunci pertama adalah Beriman kepada Allah Swt. Beriman kepada Allah Swt adalah salah satu kunci penting yang harus dimiliki oleh setiap orang. Iman menjadi prinsip hidup yang paling utama. Iman yang ada di dalam dada manusia menjadi pengendali dalam kehidupan. Iman yang mengantarkan seseorang untuk berbuat kebajikan dan iman pula yang menjauhkan seseorang dari semua larangan Allah.

Baca Juga: Kelebihan Ilmu Pengetahuan dan Keutamaan Orang yang Berilmu Menurut Al-Quran dan Hadis

Iman mengantarkan seseorang untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Iman yang kuat akan mendorong seseorang giat melaksanakan ibadah kepada Allah dan meningkatkan amal-amal saleh dan kebajikan. Iman yang kuat menyelamatkan seseorang godaan-godaan yang akan menjerumuskan seseorang kepada keburukan dan kepada lembah kehinaan.

Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki iman, akan mudah terombang-ambing karena dia tidak memiliki kendali dalam kehidupannya. Orang yang tidak beriman adalah yang tidak memiliki kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Orang yang tidak beriman adalah orang-orang yang sangat merugi dalam kehidupannya, di dunia maupun di akhirat.

Di dalam QS. Ali Imran [3]: 179 Allah menyatakan bahwa orang yang beriman dan bertakwa akan mendapatkan pahala yang sangat besar di sisi Allah. “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”

Di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 59 Allah menyatakan bahwa beriman kepada Allah adalah yang terbaik bagi manusia. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Baca Juga: Cara Menghayati Kebaikan Allah Swt dan Kebesaran-Nya dalam Al-Quran

Allah menyatakan di dalam QS. Al-A’raf [7]: 96 bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa mendapat keberkahan. “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 136 Allah menyatakan bahwa orang kafir, tidak beriman kepada Allah, menjadi manusia yang sesat. “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 35-37

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 35-37 berbicara mengenai dua hal. Pertama melanjutkan pembahasan sebelumnya. Kedua berbicara mengenai saran yang diajukan pembesar Fir’aun untuk mengumpulkan semua penyihir untuk melawan Nabi Musa as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 30-34


Ayat 35

Kedua, untuk menghasut dan menanamkan rasa benci ke dalam hati para pembesar dan pemuka kaumnya, agar tidak percaya kepada Musa, Fir’aun berkata kepada mereka, “Sebenarnya maksud dari sihir yang ditampakkan Musa itu adalah untuk mengambil hati rakyat.

Hal itu bertujuan agar pendukung dan pengikutnya bertambah banyak untuk mengalahkan pembesar-pembesar dan pemuka-pemuka kamu sekalian. Akhirnya, mereka akan merampas dan mengusirmu dari negerimu sendiri.”

Ketiga, Fir’aun meminta pertimbangan, ide-ide, dan saran-saran dari pembesar negerinya dan pemuka-pemuka kaumnya, tentang apa yang ia harus perbuat, dan bagaimana cara yang mesti dilakukan untuk membendung dan menggagalkan keinginan Musa itu.

Abu as-Su’ud, pengarang Tafsir Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, menganggap permintaan Fir’aun kepada pembesar negerinya tersebut adalah akibat kebingungan dan keheranannya menghadapi mukjizat yang telah ditunjukkan Musa.

Hal itu menyebabkan Fir’aun mengubah sikapnya dalam tiga hal yang merendahkan martabatnya dan menurunkan kedudukannya:

  1. Dari sebagai tuhan yang tertinggi menurut pengakuannya, ia merendah sampai mau tunduk kepada orang-orang yang tadinya dipandang sebagai hamba-hambanya, dan akan menuruti kemauan mereka.
  2. Dari seorang yang amat disegani oleh kaumnya sehingga tak ada yang berani membantah pendapatnya, ia merendah sampai mau meminta pendapat dan saran dari mereka.
  3. Dari seorang yang mengaku paling berani dan merasa tidak ada makhluk yang dapat mengalahkannya, menjadi takut kalau-kalau Musa dapat mengambil alih kekuasaannya dan mengusirnya dari Mesir bersama kaumnya.

Baca juga: Bukti Adanya Karamah, Ini 5 Cerita Karamah Para Wali Dalam Al-Qur’an


Ayat 36-37

Pada ayat ini, Allah menjelaskan jawaban para pembesar dan pemuka kaum Fir’aun atas saran yang dimintanya. Mereka menyarankan agar urusan Musa dan saudaranya, Harun, ditunda karena mereka akan mengumpulkan semua ahli sihir ulung yang ada di negeri mereka.

Para ahli sihir itu dikumpulkan dan diperintahkan supaya datang mengadakan pertandingan sihir dengan Musa. Pada hari dan tempat yang telah ditentukan, para ahli sihir itu harus memperlihatkan kelebihannya di hadapan Fir’aun dan Musa.

Menurut mereka, pada saat itu kemenangan akan berada di pihak mereka sehingga rakyat kembali mendukungnya. Saran ini diterima baik oleh Fir’aun dan akan dilaksanakan pada waktunya. Sebagai imbalan, ia juga akan memenuhi segala tuntutan mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 38-44


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 30-34

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 30-34 berbicara mengenai pembuktian kerasulan Nabi Musa as. Fir’aun terus-menerus meminta pembuktian atas kerasulan Nabi Musa as. meski begitu Fir’aun tetap tidak mau menerimanya dan tetap ingkar.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 26-29


Ayat 30

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ketika Musa melihat perlakuan Fir’aun yang mengancam keselamatan jiwanya, ia terpaksa tidak mengemukakan bukti-bukti yang biasanya dapat diterima akal.

Ia beralih kepada mukjizat-mukjizat dan hal yang luar biasa. Musa berkata kepada Fir’aun, “Wahai Fir’aun, apakah engkau akan memenjarakan aku sekalipun aku mengemukakan hujah yang nyata atas kebenaran pengakuanku? Hujah itu ialah mukjizat yang membuktikan adanya Tuhan Yang Mahakuasa, dan kebenaran kenabianku.”

Ayat 31

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ketika Fir’aun mendengar ucapan Nabi Musa itu, ia berkata, “Wahai Musa, kalau memang engkau benar di dalam pengakuanmu bahwa engkau seorang rasul, maka datangkanlah kepada kami sesuatu yang nyata itu.

Seseorang yang mengaku dirinya seorang rasul, tentu mempunyai bukti yang membenarkan pengakuannya.” Fir’aun mengemukakan ajakan itu karena yakin bahwa Musa tidak akan dapat memenuhi permintaannya.


Baca juga: Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an


Ayat 32

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah Fir’aun menge-mukakan tuntutan supaya Musa mendatangkan bukti yang nyata atas kebenaran dakwahnya, maka Musa segera melemparkan tongkatnya yang dengan tiba-tiba menjelma menjadi ular yang sesungguhnya.

Disebutkan dalam Tafsir ar-Razi bahwa setelah tongkat Musa itu berubah menjadi ular, ular itu melenting ke atas, kemudian turun kembali ke bumi langsung menuju Fir’aun. Fir’aun berkata, “Demi yang mengutusmu Musa, ambillah ular itu, kalau tidak saya sendiri akan mengambilnya.” Musa lalu mengambilnya dan kembalilah ular itu menjadi tongkat lagi seperti biasa.

Ayat 33

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah Musa selesai menunjukkan bukti yang nyata itu, Fir’aun berkata, “Apakah masih ada mukjizat selain itu?” Musa menjawab, “Ada.” Musa lalu memasukkan tangan ke dalam kantong bajunya, kemudian mengeluarkannya kembali.

Tiba-tiba tangan itu bercahaya menerangi keadaan di sekelilingnya, karena cahayanya yang sangat terang. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ketika Musa mengeluarkan tangan dari dalam bajunya, maka tiba-tiba tangan itu menjadi putih bercahaya menyinari orang-orang yang melihatnya, bagaikan sinar matahari yang menyilaukan penglihatan.”

Ayat 34

Ketika Fir’aun melihat dan menyaksikan bukti-bukti yang diperlihatkan Musa, yang menunjukkan kebenaran dakwahnya, ia tetap mengingkari dan menentang Musa dengan keras. Ia kemudian mengemukakan tiga hal kepada para pemuka kaumnya.

Pertama, untuk melegakan hati para pembesar dan pemuka kaum yang ada di sekelilingnya, Fir’aun berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Musa ini, benar-benar ahli sihir yang ulung, bukan rasul Tuhan seru sekalian alam sebagaimana pengakuannya. Yang dipertunjukkannya itu bukan mukjizat, tetapi sihir belaka.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 35-37


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 26-29

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 26-29 masih berbicara mengenai perdebatan yang terjadi antara Nabi Musa as dan Fir’aun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 2025


Ayat 26

Musa melihat Fir’aun dengan kaumnya belum juga puas atas jawabannya, sehingga mereka belum mau mengakui dan mempercayai bahwa yang mengutus Musa itu, Tuhan seru sekalian alam. Musa lalu menambah penjelasannya dengan harapan semoga dengan penjelasan tambahan ini, mereka menyadari dan menginsyafi pendirian mereka yang sesat itu.

Musa mengatakan bahwa Tuhan yang mengutusnya ialah Tuhan Fir’aun dan nenek moyangnya dahulu. Musa mengalihkan pandangan mereka kepada hal penting, yaitu bahwa Tuhan yang sebenarnya ialah Tuhan yang menciptakan mereka, nenek moyang mereka, dan Fir’aun.

Dengan kejadian tersebut, mereka akan berpikir bahwa mereka dan alam ini ada karena ada Pencipta dan ada yang mengaturnya, kuasa berbuat menurut kehendak-Nya. Tuhan alam semesta itulah yang mengaturnya, yaitu Tuhan yang hakiki dan tetap ada, sekali pun semua makhluk-Nya sudah tidak ada lagi dan Dia Qadim tidak bermula. Dia juga Tuhan yang mengutus Musa

Ayat 27

Setelah Musa menjelaskan bukti-bukti atas ketuhanan Allah yang mengutusnya, Fir’aun bungkam seribu bahasa, tidak dapat memberi jawaban. Ia lalu mengeluarkan kata-kata yang ditujukan kepada kaumnya untuk meragukan mereka terhadap alasan dan bukti-bukti yang telah dikemukakan Nabi Musa.

Fir’aun berkata, “Wahai kaumku. Sesungguhnya rasul yang mengaku bahwa ia diutus kepada kamu sekalian, sebenarnya adalah orang gila. Ia mengeluarkan kata-kata yang tidak dapat dipahami dan dimengerti sama sekali karena mengatakan bahwa ada Tuhan selain aku.”


Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73


Ayat 28

Pada ayat ini, Musa mengemukakan lagi sifat-sifat Tuhan seru sekalian alam yang mengutusnya. Dia adalah Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya. Dia adalah Tuhan yang menjadikan timur tempat matahari terbit, dan barat tempat matahari terbenam. Dia juga yang menjadikan perjalanan bintang-bintang itu dalam peredaran yang teratur.

Bagi orang yang mau mempergunakan akalnya tentu dapat mengerti bahwa kejadian-kejadian yang demikian itu adalah bukti nyata yang menunjukkan adanya Tuhan yang mengatur segala-galanya dengan rapi dan baik sekali.

Musa pada mulanya menghadapi dan menjawab pertanyaan Fir’aun itu dengan nada lembut dan ucapan yang mantap: “jika kamu mempergunakan akal”. Ucapan itulah yang sesuai untuk menolak tuduhan Fir’aun kepadanya bahwa ia orang gila.

Ayat 29

Pada ayat ini, Allah mengisahkan bahwa ketika Fir’aun tidak dapat melumpuhkan keterangan dan bukti-bukti yang dikemukakan oleh Musa kepadanya, ia lalu berlaku kasar dan mengancam Musa. Fir’aun berkata, “Wahai Musa. Kalau engkau berani menyembah Tuhan selain aku, maka aku akan memasukkan kamu ke dalam penjara.

Di sana akan kamu rasakan siksaan yang amat pedih, perlakuan yang kejam, dan tidak ada belas kasihan sedikit pun.” Siksaan yang diderita orang-orang yang dipenjarakan Fir’aun lebih berat dari pembunuhan, sebab ia memenjarakan seseorang sampai yang bersangkutan  mati.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 30-34


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 20-25

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 20-25 berbicara mengenai perdebatan yang terjadi antara Nabi Musa as dan Fir’aun. Nabi Musa dengan lantang  menyampaikan kebenaran sehingga menjadikan Fir’aun berdiri menentangnya dengan keras.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 15-19


Ayat 20-22

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan jawaban Musa atas cercaan dan penghinaan Fir’aun terhadapnya, setelah kekakuan pada lidahnya hilang. Musa menjelaskan bahwa pembunuhan yang dilakukan-nya terhadap tukang roti Fir’aun yang bertengkar dengan seorang dari Bani Israil adalah suatu ketidaksengajaan dan tidak direncanakan.

Dia hanya ingin melerai dan memberi pelajaran kepada tukang roti itu agar tidak berlaku kasar dan menghina Bani Israil. Dia memang memukulnya tetapi tidak bermaksud untuk membunuh, karena tidak tahan melihat tukang roti itu begitu sombong dan menghina kaumnya, Bani Israil. Kalau itu dianggap kesalahan, maka Musa mengakui bahwa waktu itu dia betul-betul khilaf.

Sekarang dia sudah berubah, Musa telah menjadi rasul yang diberi tugas oleh Allah untuk mengajak Fir’aun dan kaumnya kepada kehidupan beragama yang benar. Musa juga diberi tugas untuk membebaskan Bani Israil dari perbudakan yang tidak benar, yaitu perbudakan manusia oleh manusia.

Jika Fir’aun menyebut-nyebut jasa baiknya yang telah mengasuh Musa dan mendidiknya di istana, hal itu disebabkan kebijaksanaan Fir’aun atas keinginan istrinya untuk menyelamatkannya ketika ia dibuang ibunya ke Sungai Nil. Keluarga Fir’aun kemudian mengambilnya dan memelihara serta membesarkannya. Di sisi lain, Fir’aun telah mengeksploitasi Bani Israil dengan memperlakukan mereka sebagai budak.


Baca juga: Tiga Kemerdekaan Dasar dalam Al-Quran


Ayat 23

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah Fir’[aun mendengar kata-kata Musa dan melihat sikapnya yang meyakinkan serta kesungguhannya menyampaikan dakwah terutama yang berhubungan dengan ketauhidan, yaitu supaya Fir’aun dan kaumnya menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan mereka, maka Fir’aun bangkit menentang.

Ia bertanya dengan nada marah, “Wahai Musa, engkau mengaku sebagai rasul Tuhan semesta alam. Apakah Tuhan semesta alam itu?” Fir’aun sangat heran dan merasa tersinggung atas pengakuan Musa tentang kekuasaan dan keesaan Allah karena ia telah memproklamirkan kepada kaumnya bahwa dia satu-satunya tuhan, tiada tuhan selain dia, sebagaimana yang dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَاُ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرِيْ;

Dan Fir’aun berkata, “Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. (al-Qasas/28: 38)

Ayat 24

Pada ayat ini, Allah menerangkan jawaban Musa atas pertanyaan Fir’aun tentang Tuhan yang diakui Musa itu sebagai Tuhan yang mengutusnya. Untuk memudahkan pengertian Fir’aun tentang yang ditanyakan itu, maka Musa menjelaskan sebagian sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan Tuhan seru sekalian alam, sesuai dengan maksud pertanyaan Fir’aun.

Musa mengatakan bahwa Tuhan yang mengutusnya adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya dengan sebaik-baiknya. Tuhan yang menjadikan matahari, bulan, bintang-bintang yang gemerlapan di langit, sungai-sungai, lautan, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan di bumi, angin, hawa, dan lain-lain yang ada di antara langit dan bumi.

Kalau memang Fir’aun dan kaumnya adalah orang-orang yang berkepala dingin, berpikiran sehat, dan memiliki hati yang terbuka, maka dengan jawaban Musa itu, tentu ia akan percaya dan meyakini keesaan Allah yang mengutus Musa.

Ayat 25

Pada ayat ini dijelaskan tentang reaksi Fir’aun atas jawaban Musa di atas. Setelah mendengar jawaban Musa, ia cepat-cepat menoleh kepada kaumnya yang ada di sekelilingnya, dan menampakkan keheranannya.

Fir’aun berkata kepada mereka dengan nada menyindir dan mengejek, “Wahai kaumku, kamu sekalian telah mendengar ucapan-ucapan Musa yang mengatakan bahwa ada Tuhan selain aku? Apakah itu bukan suatu hal yang aneh dan suatu hal yang merupakan penyelewengan?”

Hal ini dilakukan oleh Fir’aun karena ia khawatir kalau-kalau kaumnya terpengaruh oleh jawaban Musa. Kalau begitu, mereka akan berbalik tidak mempercayai dan mengakuinya lagi sebagai Tuhan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 26-29


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 15-19

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 15-19 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai motivasi Allah SWT kepada Nabi Musa as agar tidak risau. Kedua berbicara mengenai kekagetan Fir’aun atas keberanian Nabi Musa as dan Nabi Harun as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 10-14


Ayat 15-17

Pada ayat-ayat ini, Allah menegaskan kepada Musa a.s. bahwa semua yang dikhawatirkannya itu tidak akan terjadi. Dia tidak akan dapat dibunuh oleh Fir’aun karena Fir’aun tidak akan dapat berlaku sewenang-wenang terhadapnya.

Adapun permintaan Musa agar saudaranya, Harun, diangkat menjadi rasul telah dikabulkan oleh Allah. Dengan begitu, perintah untuk pergi berdakwah kepada Fir‘aun dan kaumnya dibebankan kepada Musa dan Harun. Di dalam ayat lain, Allah menegaskan bahwa permintaan Musa itu dikabulkan yaitu:

قَالَ قَدْ اُوْتِيْتَ سُؤْلَكَ يٰمُوْسٰى

Dia (Allah) berfirman, “Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa! (Taha/20: 36)

Allah menceritakan kepergian Musa dan Harun menyeru Fir’aun dan kaumnya kepada agama tauhid dengan membawa mukjizat yang akan menguatkan seruannya yaitu tongkat Musa yang dapat menjadi ular, dan tangannya bila dimasukkan ke ketiaknya akan menjadi putih bercahaya.

Untuk menghilangkan segala was-was dan kekhawatiran dalam hati Musa dan Harun, Allah menegaskan bahwa Ia selalu akan mendengar dan memperhatikan apa yang akan terjadi di kala keduanya telah berhadapan dengan Fir’aun. Hal ini dengan jelas diterangkan pada ayat lain yaitu:

قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى;

Dia (Allah) berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.  (Taha/20: 46)

Allah menyuruh Musa dan Harun agar mengatakan dengan tegas kepada Fir’aun bahwa mereka datang menghadap kepadanya untuk menyampaikan bahwa mereka berdua adalah rasul yang diutus Allah, Tuhan semesta alam, kepadanya dan kaumnya. Selain itu keduanya harus meminta kepada Fir’aun agar membebaskan Bani Israil yang telah diperbudak selama ini.

Keduanya ingin membawa mereka kembali ke tanah suci Baitul Makdis, tanah tumpah darah mereka, di mana nenek moyang mereka semenjak dahulu kala telah berdiam di sana. Hal ini bertujuan agar mereka dapat dengan bebas memeluk agama tauhid tanpa ada tekanan atau hambatan dari siapa pun.

Dalam Tafsir al-Maragi diterangkan bahwa menurut riwayat, Bani Israil  yang tinggal di Mesir diperbudak oleh Fir’aun dan kaumnya dalam waktu yang lama, yaitu selama 400 tahun.

Fir’aun memang sangat berkuasa dan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya, terutama Bani Israil. Menurut al-Qurtubi, sebagaimana dikutip oleh al-Maragi, Musa dan Harun harus menunggu satu tahun untuk dapat menghadap Fir’aun.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Ayat 18-19

Tatkala Musa dan Harun diperkenankan menghadap Fir’aun dan menegaskan kepadanya bahwa mereka berdua adalah rasul Allah Pencipta alam semesta dan meminta supaya Bani Israil dibebaskan dari perbudakan dan diizinkan meninggalkan Mesir, Fir’aun sangat terkejut dan merasa tercengang.

Ia menjadi heran mengapa keduanya begitu berani menentang kekuasaannya, sedangkan dia sendiri menganggap dirinya sebagai tuhan bagi rakyatnya, termasuk dalam hal ini Bani Israil. Kemudian Musa dan Harun juga menuntut pembebasan semua Bani Israil dari cengkeraman perbudakan.

Fir’aun heran mengapa Musa sampai berani mengemukakan dua hal yang amat tidak masuk akal itu? Fir’aun mengetahui benar bahwa Musa adalah anak asuhnya sendiri. Semenjak kecil, dia dididik dan dibesarkan dalam istananya.

Fir’aun mengetahui pula bahwa setelah dewasa, Musa pernah membunuh seorang rakyatnya yang dekat dengannya, yaitu tukang masaknya sendiri ketika ia berkelahi dengan salah seorang Bani Israil. Fir’aun juga heran mengapa Musa dengan riwayat hidup seperti itu, berani menentang kekuasaannya dan menuntut hal yang tidak masuk akal menurut pendapatnya.

Dengan nada yang keras dan rasa amarah yang tak tertahankan, Fir’aun menjawab, “Bukankah engkau telah kami asuh dan kami didik semenjak kecil? Kami selamatkan kamu dari pembunuhan di mana pada waktu itu kami memerintahkan agar setiap anak laki-laki Bani Israil harus dibunuh. Kami didik dan kami besarkan di istana kami, kami sayangi dan santuni seperti menyayangi dan menyantuni anak kami sendiri.

Akan tetapi, sekarang kamu meminta kepada kami dua hal yang tak mungkin terjadi yaitu agar aku turun dari singgasana ketuhananku serta mengakui bahwa kamu adalah rasul dari Tuhan yang tidak kami kenal.

Kemudian kamu meminta pula agar Bani Israil yang telah berabad-abad tinggal di negeri Mesir ini dibebaskan dan kamu bawa ke negeri yang kamu anggap tanah leluhurmu. Ini adalah suatu lelucon yang tidak lucu dan suatu kebodohan dan ketololan yang menunjukkan bahwa kamu berdua adalah manusia yang tak berbudi bahkan mungkin manusia yang telah gila.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 2025


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 10-14

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 10-14 berbicara mengenai cerita tentang dakwah Nabi Musa terhadap Fir’aun. Kedua berbicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh Nabi Musa dalam berdakwah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 5-9


Ayat 10-11

Pada ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad menceritakan kepada kaumnya yang kafir cerita Nabi Musa a.s. yang berhadapan dengan Fir’aun. Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa masih di bukit Sinai, dia menerima perintah supaya pergi ke Mesir menyeru Fir’aun bersama kaumnya yang telah sesat.

Mereka adalah kaum yang senantiasa berbuat zalim yang telah lama memperbudak Bani Israil dan berlaku sewenang-wenang terhadap mereka. Nabi Musa diperintahkan menyampaikan risalah kepada Fir’aun dan kaumnya yang demikian congkak dan sombong. Kaum yang menganggap diri mereka keturunan dewa-dewa, sedangkan bangsa lain adalah bangsa yang hina, termasuk bangsa Israil, kaum Musa sendiri.

Fir’aun mempunyai kerajaan yang kuat serta tentara yang berani dan lengkap persenjataannya. Kepada Fir’aun dan kaumnya itu, Musa diperintahkan Allah untuk menyeru mereka agar mengubah kepercayaan yang telah mendarah daging menjadi orang yang beriman dan bertakwa dengan meninggalkan segala perbuatan dan kepercayaan yang tidak benar itu.

Tentu saja Musa agak merasa cemas dan khawatir akan nasibnya berhadapan dengan kaum yang kasar dan sombong itu.


Baca juga: Nabi Musa as yang Ringan Tangan dan Doa Ketika Lapar


Ayat 12-14

Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana tanggapan Musa a.s. terhadap perintah Tuhannya. Musa a.s. menyadari sepenuhnya bahwa dia harus melaksanakan perintah Allah karena merupakan tugasnya sebagai rasul. Akan tetapi, Musa a.s. membayangkan bagaimana kaum Fir’aun itu telah tersesat dari jalan yang benar.

Ia juga tahu bagaimana keras dan kasarnya sikap mereka terhadap orang yang menentang kepercayaan mereka, sedangkan dia sendiri merasa sebagai seorang yang lemah tak berdaya. Musa merasa sangat khawatir kalau kaum Fir’aun itu menuduhnya sebagai seorang pembohong dan pendusta.

Apalagi jika terjadi perdebatan yang sengit dengan Fir’aun dan kaumnya, Musa yang tidak begitu fasih lidahnya akan menjadi gugup dalam memberikan alasan yang tepat dan kuat, sehingga menjadi sempitlah dadanya ketika menghadapi mereka.

Musa mengadukan semua yang dirasakannya kepada Allah dan memohon agar Dia mengangkat Harun a.s., saudaranya, menjadi rasul untuk membantu dan menolongnya. Harun adalah seorang yang fasih lidahnya dan pandai mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya dengan bahasa yang baik dan menarik. Hal ini disebutkan pula pada ayat lain:

;;قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙ  ٢٥  وَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ ۙ  ٢٦  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ  ٢٧  يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ  ۖ  ٢٨  وَاجْعَلْ لِّيْ وَزِيْرًا مِّنْ اَهْلِيْ ۙ  ٢٩  هٰرُوْنَ اَخِى ۙ  ٣٠  اشْدُدْ بِهٖٓ اَزْرِيْ ۙ  ٣١  وَاَشْرِكْهُ فِيْٓ اَمْرِيْ ۙ  ٣٢  ;

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku.  (Taha/20: 25-32)

Demikian pula disebutkan dalam firman-Nya yang lain yaitu:

وَاَخِيْ هٰرُوْنُ هُوَ اَفْصَحُ مِنِّيْ لِسَانًا فَاَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُّصَدِّقُنِيْٓ  ۖاِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يُّكَذِّبُوْنِ

Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku.” (al-Qasas/28: 34)

Musa merasa khawatir kalau dia menghadapi Fir’aun dan kaumnya seorang diri karena pernah membunuh seorang Qibti (penduduk Mesir asli) dengan tidak sengaja. Hal itu terjadi ketika Musa melihat perkelahian yang terjadi antara orang Qibti itu dengan seorang Bani Israil. Ia berniat membantu anggota kaumnya tersebut dan memukul orang Qibti itu dengan kuat sehingga jatuh dan langsung meninggal.

Musa khawatir akan dibunuh oleh kaum Fir’aun karena peristiwa tersebut, sehingga dia tidak dapat menyampaikan dakwahnya. Akan tetapi, seandainya Harun di sampingnya dan dia mati terbunuh, maka saudaranya itu dapat melanjutkan risalahnya.

Jadi permintaan Musa supaya Harun diangkat menjadi rasul untuk membantunya bukan karena ia takut mati dalam menyampaikan dakwah dan risalahnya, tetapi agar dakwah dan risalahnya itu jangan terhenti kalau dia meninggal, karena dilanjutkan oleh saudaranya, Harun.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 1519


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah at-Talaq ayat 9-12

0
Tafsir Surah at-Talaq
Tafsir Surah at-Talaq

Sebagai penutup, Tafsir Surah at-Talaq ayat 9-12 mengingatkan tentang azab di hari kiamat dengan azab yang sangat mengerikan. Azab tersebut ditujukan khususnya kepada orang-orang yang senantiasa memperlihatkan keingkaran dan pembangkangan terhadap ajaran-ajaran Islam.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 5-8


Ayat 9

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang diazab di hari Kiamat dengan azab yang mengerikan adalah seperti orang-orang yang memetik hasil tanaman mereka, mendapatkan hasil usaha mereka sesuai dengan tanaman dan usaha mereka. Jika baik yang ditanam, baik pula yang akan dipetik, sebaliknya jika buruk yang ditanam, buruk pula yang akan dipetik, dan tidak mungkin terjadi sebaliknya. Sejalan dengan uraian ini, dalam ayat lain dijelaskan:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ  ۔   ٤٦ 

Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-(Nya). (Fushshilat/41: 46).

Akibat perbuatan buruk yang mereka kerjakan, mereka memperoleh kerugian yang sangat besar.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang yang senantiasa memperlihatkan keingkaran dan pembangkangan terhadap ajaran-ajaran para rasul yang berasal dari Allah, telah disediakan azab yang pedih di hari kemudian. Orang-orang yang berakal dan beriman mestinya bertakwa kepada Allah, karena Ia telah lama menurunkan peringatan yaitu Al-Qur’an, yang memperingatkan segala sesuatunya, untuk menjadi pegangan dengan mengamalkan serta mematuhi isinya.

Ayat 11

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul untuk membacakan dan mengajarkan ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, yang mengandung bermacam-macam petunjuk dan hukum.

Ayat-ayatnya sangat jelas dan mudah dipahami oleh orang yang mau memikirkan dan mempergunakan akalnya, agar orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh memperoleh petunjuk, dan keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.

Orang-orang yang beriman kepada Allah mengakui kebesaran kekuasaan-Nya. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak akan dikeluarkan.

Di dalam surga, mereka memperoleh beraneka macam kenikmatan yang besar, kelapangan rezeki berupa makanan dan minuman yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan terlintas di dalam hati manusia.

Ayat 12

Dalam Tafsir Surah at-Talaq ayat 9-12 khususnya ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dialah yang menciptakan tujuh petala langit dan yang menciptakan tujuh lapis bumi. Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ مَعَ الْكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلَقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْضِ فَلاَةٍ، وَفَضْلُ العَرْشِ عَلَى الْكُرْسِيِّ كَفَضْلِ الْفَلاَةِ عَلَى الْحَلَقَةِ. (رواه ابن حبان وأبو نعيم)

Wahai Abu Zarr, tidaklah ada (perbandingan) tujuh petala langit dengan kursi melainkan seperti lingkaran kecil di hamparan tanah yang luas. Sedangkan (perbandingan) ‘Arsy dengan kursi di hamparan tanah yang luas dengan lingkaran kecil. (Riwayat Ibnu Hibban dan Abu Nu‘aim).

Perintah, qadha’, dan qadar Allah berlaku di antara bumi dan langit. Dialah yang mengatur semuanya sesuai dengan ilmu-Nya yang Mahaluas, menerapkan kebijaksanaan-Nya yang adil dan membawa maslahat.

Semuanya itu bertujuan agar manusia mengetahui sejauh mana kekuasaan Allah. Tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Dia kuasa di atas segala sesuatu. Hal ini juga bertujuan agar manusia mengetahui bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatunya. Tidak ada sesuatu di langit dan di bumi walau bagaimanapun kecilnya, kecuali diketahui Allah. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَخْفٰى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ  ٥

Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit. (‘Ali Imran/3: 5).

Dijelaskan juga dalam firman-Nya yang lain:

وَمَا يَخْفٰى عَلَى اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ  ٣٨ 

Dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit. (Ibrahim/14: 38)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Bacaan Ayat Al-Quran Agar Hubungan Suami Istri Harmonis


 

Tafsir Surah at-Talaq ayat 5-8

0
Tafsir Surah at-Talaq
Tafsir Surah at-Talaq

Diingatkan kembali dalam Tafsir Surah at-Talaq ayat 5-8 bahwa Allah akan menghapus dosa bagi orang yang bertakwa kepada-Nya. Secara khusus Tafsir Surah at-Talaq ayat 5-8 ini membahas tentang kewajiban sang suami dalam mencukupi kebutuhan istri maupun anaknya setelah bercerai, terutama jika istri yang ditalak sedang mengandung.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 2-4


Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hukum-hukum yang telah disyariatkan mengenai talak, tempat tinggal, dan idah perempuan yang tertera pada ayat-ayat yang lalu adalah ketentuan Allah yang mesti diamalkan dan dilaksanakan.

Pada akhir ayat ini, sekali lagi Allah menjelaskan bahwa bagi orang yang bertakwa kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, niscaya Dia akan menghapus dan mengampuni dosanya sebagaimana yang telah dijanjikan-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman:

اِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِ

Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. (Hud/11: 114).

Selain dari itu, Allah juga melipatgandakan pahala amal mereka, sebagaimana yang Ia janjikan dalam firman-Nya:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ  ١٦٠

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An‘am/6: 160)

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa menjadi kewajiban bagi suami memberi tempat tinggal yang layak, sesuai dengan kemampuannya kepada istri yang tengah menjalani idah. Jangan sekali-kali ia berbuat yang menyempitkan dan menyusahkan hati sang istri dengan menempatkannya pada tempat yang tidak layak atau membiarkan orang lain tinggal bersamanya, sehingga ia merasa harus meninggalkan tempat itu dan menuntut tempat lain yang disenangi.

Jika istri yang ditalak ba’in sedang hamil, maka ia wajib diberi nafkah secukupnya sampai melahirkan. Apabila ia melahirkan, maka habislah masa idahnya. Namun demikian, karena ia menyusukan anak-anak dari suami yang menceraikannya, maka ia wajib diberi nafkah oleh sang suami sebesar yang umum berlaku.

Sebaiknya seorang ayah dan ibu merundingkan dengan cara yang baik tentang kemaslahatan anak-anaknya, baik mengenai kesehatan, pendidikan, maupun hal lainnya. Di sejumlah negara muslim, hak-hak perempuan yang dicerai telah diatur secara khusus dalam undang-undang.

Apabila di antara kedua belah pihak tidak terdapat kata sepakat, maka pihak ayah boleh saja memilih perempuan lain yang dapat menerima dan memahami kemampuannya untuk menyusukan anak-anaknya. Sekalipun demikian, kalau anak itu tidak mau menyusu kepada perempuan lain, tetapi hanya ke ibunya, maka sang bapak wajib memberi nafkah yang sama besarnya seperti nafkah yang diberikan kepada orang lain.


Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban


Ayat 7

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286).

Dalam ayat lain juga dijelaskan:

لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا

Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 233)

Tidak ada yang kekal di dunia. Pada suatu waktu, Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kesenangan sesudah penderitaan. Allah berfirman:

اِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًاۗ  ٦

Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (asy-Syarh/94: 6)

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak sedikit daerah yang penduduknya menyalahi perintah-Nya, mendustakan rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka. Mereka akan dihisab dengan perhitungan yang sangat teliti, sehingga terbongkar segala kejahatan yang telah diperbuatnya di dunia. Mereka lalu diazab dengan siksaan yang mengerikan.

(Tafsir Kemenag)


Baca setelahnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 9-12


Tafsir Surah at-Talaq ayat 2-4

0
Tafsir Surah at-Talaq
Tafsir Surah at-Talaq

Tafsir Surah at-Talaq ayat 2-4 memuat hukum tentang rujuk, hal ini dapat dilakukan apabila suami memilih rujuk dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil. Selain berbicara tentang rujuk, Tafsir Surah at-Talaq ayat 2-4 ini juga menjelaskan tentang durasi waktu masa iddah seorang perempuan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 1


Ayat 2-3

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa apabila masa idah istri hampir habis dan suami masih ingin berkumpul kembali, ia boleh rujuk kepada istrinya dan tinggal bersama secara baik sebagai suami-istri, melaksanakan kewajibannya, memberi belanja, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya.

Akan tetapi, kalau suami tetap tidak akan rujuk kepada istri, maka ia boleh melepaskannya secara baik pula tanpa ada ketegangan terjadi, menyempurnakan maharnya, memberi mut‘ah sebagai imbalan dan terima kasih atas kebaikan istrinya selama ia hidup bersama dan lain-lain yang menghibur hatinya.

Apabila suami memilih rujuk, maka hendaknya hal itu disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil, untuk memantapkan rumah tangganya kembali.

Selanjutnya Allah menyerukan agar kesaksian itu diberikan secara jujur karena Allah semata-mata tanpa mengharapkan bayaran dan tanpa memihak, sebagaimana firman Allah:

كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ

Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri. (an-Nisa’/4: 135).

Demikian seruan mengenai rujuk dan talak untuk menjadi pelajaran bagi orang yang beriman kepada Allah di hari akhirat. Orang yang bertakwa kepada Allah, dan patuh menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya, antara lain mengenai rujuk dan talak tersebut di atas, niscaya Ia akan menunjukkan baginya jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya.

Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, tidak saja diberi dan dimudahkan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga diberi rezeki oleh Allah dari arah yang tidak disangka-sangka, yang belum pernah terlintas dalam pikirannya. Selanjutnya Allah menyerukan agar mereka bertawakal kepada-Nya, karena Allah-lah yang mencukupkan keperluannya mensukseskan urusannya.

Bertawakal kepada Allah artinya berserah diri kepada-Nya, menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya keberhasilan usaha. Setelah ia berusaha dan memantapkan satu ikhtiar, barulah ia bertawakal. Bukanlah tawakal namanya apabila seorang menyerahkan keadaannya kepada Allah tanpa usaha dan ikhtiar. Berusaha dan berikhtiar dahulu baru bertawakal menyerahkan diri kepada Allah.


Baca Juga: Pesan untuk Suami-Istri dalam Berumah Tangga pada Surah Al- Baqarah ayat 233


Pernah terjadi seorang Arab Badui berkunjung kepada Nabi di Medinah dengan mengendarai unta. Setelah orang Arab itu sampai ke tempat yang dituju, ia turun dari untanya lalu masuk menemui Nabi saw. Nabi bertanya, “Apakah unta sudah ditambatkan?” Orang Badui itu menjawab, “Tidak! Saya melepaskan begitu saja, dan saya bertawakal kepada Allah.” Nabi saw bersabda, “Tambatkan dulu untamu, baru bertawakal.”

Allah akan melaksanakan dan menyempurnakan urusan orang yang bertawakal kepada-Nya sesuai dengan kodrat iradat-Nya, pada waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهٗ بِمِقْدَارٍ   ٨

Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya. (ar-Ra’d/13: 8)

Ayat 4

Ayat ini menjelaskan bahwa idah perempuan-perempuan yang ya’is (tidak haid lagi), adalah tiga bulan. Begitu juga perempuan muda yang belum pernah haid. Adapun bagi perempuan-perempuan yang hamil, maka idahnya sampai melahirkan kandungannya.

Begitu juga perempuan-perempuan hamil yang meninggal suaminya, idahnya sampai melahirkan kandungannya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, Imam Syafi‘i, Abdur Razaq, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Mundzir dari Ibnu ‘Umar. Ketika ditanya tentang perempuan hamil yang meninggal suaminya, Ibnu ‘Umar menjawab, “Apabila perempuan itu melahirkan kandungannya, maka ia menjadi halal (untuk dinikahi).”

Mengenai hal ini ada ulama yang berpendapat yang didasarkan pada masa terlama dari dua waktu, yaitu kalau hamil tua dan segera melahirkan maka idahnya 4 bulan 10 hari. Sedang kalau hamil muda, idahnya sampai perempuan itu melahirkan. Orang yang bertakwa kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka ia akan dimudahkan urusannya, dilepaskan dari kesulitan yang dialaminya.

Dua ayat di atas (ayat 1 dan 4), dan 2 (dua) ayat lain yang berada di antaranya (ayat 2 dan 3), mengatur mengenai tata cara perceraian. Di antaranya hal yang mengatur masa idah. Masa tersebut dengan jelas disebutkan sebagai 3 (tiga) bulan bagi wanita yang (sedang) tidak haid dan mereka yang sudah memasuki masa menopause, dan sampai saat melahirkan bagi mereka yang sedang mengandung.

Pada dasarnya, waktu tiga bulan, apabila tidak lagi terjadi persetubuhan, maka akan dapat ditentukan kondisi wanita, apakah dalam keadaan hamil atau tidak. Karena mulai pada bulan pertama kehamilan, haid akan berhenti. Tentunya, berhentinya haid ini dapat disebabkan oleh banyak hal. Dapat karena hamil, atau sedang memulai proses menopause, atau karena adanya penyakit.

Bagi seorang wanita, mereka akan mengetahui terjadinya kehamilan dari adanya beberapa ciri lain, karena kehamilan tidak saja ditandai oleh terlambatnya haid atau makin “gendutnya” perut. Masih ada tanda-tanda lainnya. Memang tidak mudah mengetahui apakah seseorang benar-benar hamil atau tidak selain dengan tes kehamilan.

(Tafsir Kemenag)


Baca setelahnya: Tafsir Surah at-Talaq ayat 5-8