Beranda blog Halaman 203

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 69-72

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 69-72 berbicara mengenai kisah Nabi Ibrahim as. Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menceritakan kisah Nabi Ibrahim as kepada Orang kafir agar meneladaninya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 64-68


Ayat 69

Allah menyuruh Nabi Muhammad menceritakan kepada kaum musyrik Mekah kisah Nabi Ibrahim sebagai pengajaran bagi seluruh umatnya. Mereka diharapkan supaya mencontoh dan meneladani sifat-sifat mulia yang menghiasi pribadi Nabi Ibrahim.

Beliau adalah seorang yang ikhlas dalam beramal, tawakal, dan senantiasa menyembah Allah Yang Maha Esa. Beliau dianugerahi Allah kecerdasan otak sejak kecil sebagai suatu pemberian yang layak diterima oleh seorang rasul.

Hal itulah yang menyebabkan Ibrahim selalu menentang kaumnya (termasuk bapaknya) yang menyembah berhala yang mereka perlakukan sebagai tuhan.

Ayat 70

Ibrahim menganggap penyembahan berhala itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Ia menanyakan kepada bapak dan kaumnya apa alasan mereka mengabdikan diri kepada tuhan-tuhan yang tidak mengerti apa-apa.

Sebenarnya beliau bukan tidak mengetahui apa sesungguhnya hakikat berhala yang disembah itu, namun Ibrahim ingin sekadar mendengar dari mulut mereka alasan kongkrit dari penyembahan semacam itu.

Menurut ahli sejarah, patung-patung sembahan mereka itu terbuat dari emas dan perak, dan ada juga dari tembaga dan besi. Oleh karena itu, mereka merasa bangga dengan tuhan hasil ciptaannya. “Apa sebabnya kamu mempertuhankan patung-patung itu?” tanya Ibrahim.


Baca juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus


Ayat 71

Pertanyaan itu dijawab kaumnya dengan sikap sombong, “Memang kami ini adalah penyembah berhala. Seluruh hidup dan kehidupan kami, dengan rela kami baktikan kepadanya.” Menurut ahli tafsir, kaum Nabi Ibrahim tersebut melakukan penyembahan terhadap berhala pada siang hari saja. Mereka sangat tekun dan khusyuk menyembahnya.

Ayat 72

Mendengar keterangan itu, bertambah yakinlah Ibrahim bahwa kepercayaan tersebut bukanlah berdasarkan alasan yang masuk akal. Mulailah beliau berpikir bagaimana caranya untuk meluruskan kembali jalan pikiran kaumnya yang telah sesat itu. Tugas beliau yang utama ialah mengembalikan mereka kepada ajaran tauhid.

Ibrahim bertanya lagi, apakah berhala-berhala tersebut dapat mendengar permohonan yang diucapkan mereka. Hal demikian beliau persoalkan untuk menguji sampai di manakah logika mereka dapat dipergunakan untuk memahami ucapan dan perbuatan dalam bentuk doa-doa kepada berhala tersebut.

Sebab andaikata yang disembah itu saja tidak mendengar, bagaimana pula ia bisa mengabulkan permohonan yang diajukan kepadanya. Tegasnya bagaimana mungkin dipahami dengan benar hakikat peribadatan seperti itu kalau otak mereka tidak bisa mencerna dengan baik tujuan penyembahan terhadap berhala-berhala itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 73-77


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 64-68

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 64-68 berbicara mengenai kisah tenggelamnya Fia’aun bersama balatentaranya. Keselamatan yang dialami oleh Bani Israil merupakan anugerah Allah SAW semata.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 60-63


Ayat 64, 65, 66

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah Fir’aun melihat Bani Israil dari dekat berjalan mengarungi lautan itu, ia dan tentaranya pun mengikuti jejak mereka dan memasuki lautan.

Ketika Fir’aun dan tentaranya berada di tengah-tengah laut, sedang Musa dan Bani Israil sudah sampai di seberang lautan dan semuanya selamat sampai di darat, air laut pun bertaut kembali seperti biasa.

Dengan demikian, Fir’aun yang sedang meniti jalan yang sama terjebak air dan tenggelam bersama tentaranya, sehingga tidak ada seorang pun yang selamat.


Baca juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9


Ayat 67

Keberhasilan Musa dan semua pengikutnya sampai ke daratan seberang dengan selamat, dan tenggelamnya Fir’aun bersama seluruh tentaranya di tengah lautan merupakan satu tanda yang nyata atas kekuasaan Allah dan kebenaran Nabi Musa sebagai rasul-Nya.

Allah senantiasa memberikan pertolongan dan kemenangan kepada para hamba-Nya yang beriman dengan sungguh-sungguh. Allah juga selalu membinasakan dan menyiksa orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya terutama di akhirat kelak. Firman Allah:

وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Maha Perkasa.  (al-Hajj/22: 40)

ذٰلِكَ جَزَاۤءُ اَعْدَاۤءِ اللّٰهِ النَّارُ لَهُمْ فِيْهَا دَارُ الْخُلْدِ ۗجَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ

Demikianlah balasan (terhadap) musuh-musuh Allah (yaitu) neraka; mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya sebagai balasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Kami. (Fussilat/41: 28)

Manusia yang keras dan hatinya telah membatu seperti Fir‘aun dan kaumnya tidak akan mau beriman, meskipun melihat dengan nyata kebenaran sesuatu. Peristiwa ini juga menjadi penghibur bagi Rasulullah karena dengan hal itu, beliau mengetahui bahwa bukan hanya dia yang mengalami cobaan seperti itu, tetapi juga para nabi dan rasul Allah yang terdahulu. Semuanya berakhir dengan kemenangan bagi para nabi dan rasul Allah, dan kekalahan bagi musuh-musuh mereka.

Ayat 68

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Mahaperkasa dan Mahakuasa. Dia akan mengazab para musuh-Nya dan musuh para nabi dan rasul. Akan tetapi, Allah Maha Penyayang kepada para pendukung dan pembela agama-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 69-72


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 60-63

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 60-63 berbicara mengenai kisah pengejaran yang dilakukan oleh Fir’aun. Hal ini sempat membuat Bani Israil khawatir namun namun Nabi Musa as mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah tersusul.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 55-59


Ayat 60

Ayat ini menerangkan bahwa Fir’aun beserta segenap aparat pemerintahan dan bala tentaranya, baru bisa ke luar meninggalkan Mesir untuk menyusul Musa dan Bani Israil pada waktu pagi. Mengenai keterlambatan mereka ada dua pendapat:

Pertama: Sebagaimana disebut dalam kitab Perjanjian Lama (Keluaran 11-12), mereka ditimpa musibah maut pada malam keberangkatan Musa dan Bani Israil meninggalkan Mesir.

Pada pertengahan malam itu, banyak perawan Mesir mati, baik manusia maupun binatang, sehingga menyebabkan mereka sibuk mengubur jenazah-jenazah itu sampai pagi. Kedua: Karena pada malam itu mereka diliputi kabut yang tebal dan udara yang sangat dingin sampai pagi.

Ayat 61

Ketika Musa beserta Bani Israil dan Fir’aun bersama bala tentaranya berada dalam jarak yang dekat, Bani Israil merasa cemas dan khawatir kalau mereka tersusul oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Mereka berkata kepada Musa, “Fir’aun dan tentaranya telah menyiksa anak-anak kami sebelum kami berangkat, dan setelah tersusul, kami semua akan dibunuh oleh mereka.”


Baca juga: Tafsir Ahkam: Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan


Ayat 62

Atas kecemasan dan kekhawatiran Bani Israil itu, Musa menghibur hati mereka dengan ucapan yang tegas bahwa mereka sekali-kali tidak akan tersusul oleh Fir’aun. Perbuatannya mengajak dan membawa pergi Bani Israil keluar dari Mesir menuju Palestina adalah perintah dan kehendak Allah.

Dengan demikian, Allah akan menunjukkan kepada mereka jalan keluar, sehingga mereka selamat dari segala bahaya yang mengancam. Allah pula yang akan memberinya pertolongan dan kemenangan serta menjamin keselamatan mereka dari kekejaman Fir’aun dan bala tentaranya.

Ayat 63

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa dan menunjukkan jalan keluar dari bahaya yang mengancam itu. Musa diperintahkan untuk memukulkan tongkatnya ke laut sehingga lautan itu terbelah dan membentuk jalan yang akan dilalui setiap keturunan Bani Israil.

Setiap belahan dari air laut itu merupakan gunung besar dan tinggi, serta membentuk jalan yang kering dan bisa dilalui Bani Israil, sebagaimana firman Allah:

وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ  لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى

;Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam).”  (Taha/20: 77)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 64-68


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 55-59

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 55-59 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai tuduhan Fir’aun kepada Bani Israil. Kedua mengenai kemengan yang akan diraih oleh Bani Israil.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 50-54


Ayat 55-56

Fir’aun mencari alasan memusuhi Bani Israil dengan mengatakan bahwa mereka adalah musuh yang selalu mengacau sehingga keamanan tidak terjamin. Bani Israil juga dikatakan senantiasa membangkitkan amarah, menganut agama baru, dan meninggalkan agama nenek moyang mereka.

Mereka berani meninggalkan Mesir tanpa lebih dahulu minta izin, membawa kabur harta benda yang mereka pinjam dari Fir’aun dan rakyatnya. Fir’aun mengatakan kepada kaumnya untuk selalu hati-hati dan waspada menjaga agar jangan sampai perbuatan mereka berakibat jauh. Mereka mempunyai persenjataan yang cukup dan lengkap untuk mengalahkan Bani Israil.

Ayat 57

Ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengeluarkan Fir’aun dan kaumnya dari kesenangan ke dalam kesusahan dan kebinasaan. Mereka akan meninggalkan rumah yang mewah dan menjulang tinggi, meninggalkan taman-taman yang indah tempat mereka berekreasi sepuas hati.

Mereka juga akan meninggalkan sungai-sungai yang mengalir dengan jernih seperti sungai Nil yang menjadi bagian dari kehidupan mereka.


Baca juga: Mengenal Kitab Bahr al-‘Ulum; Tafsir Klasik dari “Negeri di Seberang Sungai”


Ayat 58

Allah menerangkan bahwa Fir’aun dan kaumnya akan meninggalkan harta benda, kerajaan, dan kedudukan yang tinggi dan mulia yang tidak ada bandingannya. Ibnu Umar, Ibnu ‘Abbas, dan Mujahid menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kedudukan yang mulia di sini ialah mimbar-mimbar untuk para pembesar Fir’aun.

Beberapa mufasir berbeda pendapat mengenai kedudukan yang tinggi ini. Ada yang berpendapat itu adalah rumah-rumah yang indah, dan ada yang berpendapat mimbar-mimbar dan mahligai para pembesar Fir’aun. Allah berfirman:

;كَمْ تَرَكُوْا مِنْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۙ   ٢٥  وَّزُرُوْعٍ وَّمَقَامٍ كَرِيْمٍۙ   ٢٦  وَّنَعْمَةٍ كَانُوْا فِيْهَا فٰكِهِيْنَۙ   ٢٧

“Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana.” (ad-Dukhan/44: 25-27)

Ayat 59

Ayat ini menerangkan bahwa semua taman dan tempat yang indah, sungai, harta kekayaan, dan kedudukan tinggi yang akan ditinggalkan oleh Fir’aun dan kaumnya, akan dianugerahkan kepada Bani Israil di Palestina sesuai dengan janji Allah kepada mereka. Firman Allah:

وَاَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْاَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنٰى عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَۙ بِمَا صَبَرُوْاۗ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهٗ وَمَا كَانُوْا يَعْرِشُوْنَ

“Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.”  (al-A’raf/7: 137)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 60-63


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 50-54

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 50-54 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai ancaman Fir’aun kepada para penyihir yang beriman kepada Nabi Musa as. Kedua mengenai perintah Allah SWT untuk meninggalkan Mesir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 45-49


Ayat 50-51

Ancaman Fir’aun yang cukup berat itu, tidak digubris sama sekali oleh para ahli sihir itu. Mereka bahkan berharap dapat merasakan ancaman itu karena bagi mereka semua orang yang hidup pada suatu waktu pasti mati, tidak ada daya upaya untuk mengelak daripadanya. Firman Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِ;

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. (al-Anbiya’/21: 35)

Dan firman-Nya:

قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ

Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu,” (al-Jumu‘ah/62: 8);Mereka itu hanya memikirkan dua hal, sebagai penghibur hati mereka:

Pertama, mereka akan kembali kepada ajaran Tuhan semesta alam, Tuhan yang disembah Musa dan Harun dan mengikuti agama Nabi Musa a.s. Dengan demikian, mereka akan selamat dari azab akhirat yang amat pedih dan berkepanjangan, yang jauh lebih berat dibanding dengan siksaan yang diancamkan Fir‘aun kepada mereka.

Kedua, mereka sangat mengharapkan agar Tuhan semesta alam mau mengampuni dosa mereka karena melakukan perbuatan sihir dan kekafiran. Merekalah yang pertama kali beriman kepada Tuhan yang disembah Musa, dari sekian banyak orang yang turut menyaksikan adu kekuatan itu.


Baca juga: Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an


Ayat 52

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa supaya pergi bersama Bani Israil meninggalkan Mesir pada malam hari. Allah juga mengabarkan bahwa ketika Fir’aun mendengar berita ini, dia dan tentaranya pasti akan menyusul dan memaksa mereka untuk kembali menjadi budak-budak yang melayani keinginan dan kebutuhan mereka. Kepergian orang-orang Bani Israil akan memberi kerugian besar bagi  mereka.

Ayat 53-54

Ayat ini menerangkan bahwa ketika Fir’aun mengetahui bahwa Musa dan Bani Israil telah berangkat, ia lalu menyebarkan beberapa orang pejabatnya ke segenap negeri Mesir.

Ia juga mengumpulkan tentaranya untuk menyusul Musa dan Bani Israil, mengembalikan mereka ke Mesir, dan menyiksa mereka dengan siksaan yang berat.

Untuk membangkitkan semangat dan membesarkan hati tentaranya, Fir’aun mengemukakan bahwa tugas yang harus mereka lakukan itu mudah untuk dilaksanakan karena Musa dan Bani Israil, jumlahnya sedikit sekali.

Oleh karena itu, mereka tidak perlu ragu-ragu. Dengan mudah dan dalam waktu relatif singkat, mereka akan dapat menyusul Musa dan rombongannya serta mengembalikan mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 55-59


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui

0
perbedaan antara wudhu dan tayamum
perbedaan antara wudhu dan tayamum

Secara tidak langsung, melalui ayat tentang tayamum Al-Quran telah menjelaskan perbedaan antara wudhu dan tayamum. Diantaranya ada pada alat yang digunakan bersuci dan juga anggota yang wajib dibasuh atau diusap. Namun sebenarnya perbedaan ini hanyalah perbedaan yang diketahui secara umum, dan belumlah mencakup semua hal yang penting tentang perbedaan antara wudhu dan tayamum.

Salah satu perbedaan yang penting diketahui tentang keduanya dan jarang dijelaskan adalah apabila wudhu sifatnya menghilangkan hadas dari diri pelakunya, maka hal itu tidak terjadi pada tayamum. Dalam artian seorang yang bertayamum sebenarnya masih menanggung hadas, hanya saja dengan tayamum ia diperbolehkan salat dan selainnya. Lalu apa saja perbedaan lain antara keduanya yang penting diketahui? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca Juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Sebagai Cara Bersuci Alternatif

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. (QS. Al-Ma’idah [5] :6)

Ayat di atas menunjukkan bahwa prinsip sebenarnya dari tayamum adalah cara bersuci alternatif. Yakni perintah sebenarnya adalah, bagi orang yang berhadas kecil dan besar bila ingin mengerjakan salat hendaknya bersuci menggunakan air (wudhu atau mandi besar). Baru apabila tidak bisa menggunakan air, maka boleh menggunakan debu (tayamum). Oleh karena itu, ulama menetapkan perbedaan antara wudhu dan tayamum. Di antaranya:

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum

Pertama, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa ulama telah sepakat bila tayamum tidaklah dapat menghilangkan hadas kecil maupun besar. Yakni, tayamum hanya bersifat menjadikan apa yang sebenarnya dilarang dilakukan oleh orang yang memiliki hadas, menjadi boleh. Namun tayamum tidak menghilangkan hadas. Sehingga apabila ia menemukan air ia wajib bersuci menggunakan air, meski setelah tayamum ia tidak melakukan hal-hal yang memunculkan hadas (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/215).

Kedua, berkaitan dengan sifat tayamum yang tidak menghilangkan hadas, niat dalam tayamum tidaklah sama dengan wudhu. Redaksi raf’al hadasi (menghilangkan hadas) yang biasa ada dalam niat wudhu maupun mandi besar, perlu diganti dengan niat agar diperbolehkan salat (istibahatis salat) atau selain salat. Apabila tidak diganti, pendapat yang populer di antara para ulama bahwa tayamumnya tidak sah (Al-Bayan/1/277).

Ketiga, ulama melabeli tayamum sebagai thaharah dharurah (bersuci dalam keadaan terdesak). Oleh karena itu, menurut mayoritas ulama’ salat yang boleh dilakukan dalam setiap satu kali tayamum dibatasi. Satu kali tayamum hanya boleh digunakan untuk satu salat fardhu, sehingga apabila hendak melakukan salat fardhu untuk kedua kalinya, meski ia belum hadas kembali ia harus bertayamum kembali (Al-Majmu’/2/295).

Keempat, menurut mazhab Syafi’i, apabila melakukan tayamum untuk mengerjakan salat fardhu dalam waktunya (ada’), maka tayamum hanya boleh dilakukan tatkala masuk waktu salat tersebut. Apabila melakukan tayamum sebelum masuk salat, maka harus mengulangi tayamum kembali (Al-Hawi Al-Kabir/1/260).

Berbagai uraian di atas menunjukkan perbedaan antara bersuci dengan air (wudhu atau mandi besar) dan bersuci dengan debu (tayamum). Lewat keterangan ini sepatutnya kita memiliki wawasan bahwa perbedaan antara wudhu dan tayamum semisal, tidak hanya dalam teknis bersucinya saja. Wallahu a’lam bish showab.

Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya

0
ragam qiraat dan penetapan hukum
ragam qiraat dan penetapan hukum

Setelah peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah, Islam juga mulai melakukan ekspansi ke luar jazirah Arab. Maka tidak menutup kemungkinan Islam mulai terdengar dan banyak orang yang kamudian memutuskan untuk masuk Islam. Dari sinilah, mulai orang-orang baik suku lain–mereka yang tidak menggunakan dialek Quraisy–maupun golngan non-Arab datang dan belajar Al-Quran.

Sebagian dari mereka tidak bisa mengucapkan dialek Al-Quran yang menggunakan dialek Quraisy. Oleh karenanya, Nabi saw. kemudian meminta keringanan agar Al-Quran mudah dipelajari, inilah kemudian yang menyebabkan adanya riwayat bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh hurf (dialek) (al-A’zami, 2003: 169).

Ibnu Abas menceritakan, bahwa Nabi s.a.w. telah bersabda, “Jibril membacakan Al-Quran kepadaku dengan satu dialek. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh dialek” (HR. al-Bukhari no. 3219) (al-Qattan, 2019: 224). Lantas apakah dengan adanya ragam dialek (qiraat) tersebut dapat berpengaruh pada penetapan hukum (istinbath hukum)?

Pengertian qiraat dan istinbath (penetapan hukum)

Secara etimologi, Qiraat berasal dari kata qara-a (masdar) yang memiliki arti bacaan. Sedangkan secara terma, ulama memberikan banyak definisi, seperti Imam az-Zarkasyi yang mengemukakan, “qiraat merupakan perbedaan lafal-lafal Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid, dan lain-lain” (Hasanuddin AF, 1995: 112); Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya, menyebutkan bahwa, “qiraat adalah salah satu aliran pengucapan Quran yang dipilih oleh salah satu imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya” (al-Qattan, 2019: 245).

Sementara istinbath yang akar katanya an-nabht, memiliki arti air yang pertama kali muncul atau nampak pada saat seorang menggali sumur. Atau istinbath dapat dimaknai “upaya mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya” (Haidar Bagir, 1996: 25). Adapun istinbath menurut istilah adalah upaya yang dilakukan oleh pakar fiqih untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, baik berupa nash (Al-Quran dan Sunnah) maupun bukan nash, seperti qiyas, istihsan, mashlahah al-mursal, dan sebagainya (Hasanuddin AF, 1995: 190) demi menjawab berbagai persoalan yang terjadi.

Baca Juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

Pengaruh qiraat pada penetapan hukum

Perbedaan qiraat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan subtansi kalimat, adakalanya mempengaruhi makna, yang akan berimplikasi pada hukum yang ditetapkan nanti. Namun, di sisi lain, ada pula perbedaan qiraat yang tidak mempengaruhi makna, yang artinya juga tidak akan berpengaruh pada hukum yang akan dikeluarkan nantinya. Berikut ini contoh perbedaan qiraat yang berpengaruh terhadap penetapan hukum.

Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Pondasi Dasar Penetapan Hukum dalam Islam

Ragam qiraat pada surah Al-Baqarah ayat 222 dan penetapan hukumnya

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ

Artinya, “Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah amat bersuci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepada kamu”.

Ayat di atas menguraikan larangan bagi suami untuk berhubungan dengan istrinya yang dalam keadaan haid. Redaksinya menggunakan “wa laa taqrabu” yang artinya “jangan dekati” tempat di mana haid itu keluar (Quraish Shihab, 2005: 478). Menurut Imam ar-Razi, sehubung dengan ayat ini, ulama telah bersepakat mengenai larangan bagi suami dalam mencampuri istrinya yang sedang masa haid. Sama halnya dengan kesepakatan mereka mengenai kebolehan melakukan istima’ (bercumbu). Dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish menjelaskan, Nabi s.a.w. mengizinkan untuk bercumbu pada bagian atas, bukan bagian bawah (Quraish Shihab, 2005: 478).

Batas larangan untuk bercampur (berhubungan) antara suami dan istrinya adalah sampai mereka–para istri yang sedang pada masa menstruasi–berhenti darah haid-nya, yang demikian terlukis dalam kalimat (حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ). Terdapat dua cara baca yang dibolehkan dalam ayat ini, yakni (يطهرن) yath-hurna dan (يتطهّرن) yatathahharna. Para qura’ yang membaca (يطهرن) yathhurna dengan (يتطهّرن) yatathahharna adalah Imam Ashim riwayat Syu’bah, Imam Hamzah, dan Imam al-Kisa’i. Sedangkan Ibnu Katsir, Nafi’ Abu Amr, Ibnu Amir, dan imam Ashim rimayat Hafs, membacanya (يطهرن) yathhurna (Hasanuddin AF, 1995: 203).

Berdasarkan qiraat (يطهرن) yathhurna, sebagian ulama menafsirkan ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) dengan, “janganlah kamu mendekati–yakni bercampur dengan– mereka–yakni istrimu–sampai mereka suci–yakni telah berhenti darah haid yang keluar dari mereka” (الطُهرُ) ath-thuhru.

Sedangkan qiraat (يتطهّرن) yatathahharna menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) adalah sampai para istri itu bersuci selepas suci dari haid. Yakni “janganlah kamu mencampuri istri kamu sampai mereka bersuci darinya” (التَطَهُرُ).

Dalam memahami makna (التَطَهُرُ), para ulama berbeda pendapat, ada sebagian yang memahami bersuci di sana adalah mandi dengan air, sedangkan sebagian dari mereka mengartikan bersuci adalah berwudlu. Atau sebagian lain menyatakan, maksud dari bersuci adalah membersihkan farj (kemaluan) dan kemudian bersuci dengan berwudlu. Adapun yang lain memahaminya hanya cukup membersihkan farj (Hasanuddin, 1995: 203).

Sehubung dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’I,  al-Awza’i, dan al-Sawri berpendapat, bahwa seorang suami haram menggauli istrinya yang sedang dalam keadaan haid, sampai istrinya berhenti dari haid, kemudian bersuci dengan cara mandi sebab darah haid-nya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Apa yang Harus Dijauhi dari Wanita saat Haid?

Imam Syafi’I mengemukakan pendapat bahwa,

  1. Qiraat mutawatirah adalah dapat dijadikah hujjah scara ijma’. Oleh karenanya, dua versi qiraat mutawatirah yakni (يطهرن) yathhurna dan (يتطهّرن) yatathahharna dapat digabungkan dari segi kandungannya, maka kita wajib menggabungkannya. Yakni (يطهرن) yathhurna, sampai berhenti darah yang keluar, dan kemudian (يتطهّرن) yatathahharna, yakni bersuci dengan cara mandi.
  2. Firman Allah (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ) menunjukkan, bahwa seorang suami boleh menggauli istrinya apabila telah memenuhi syarat (التَطَهُرُ)yakni bersuci, dengan cara mandi.

Al-Qasimi dalam hal ini menyatakan, bahwa qiraat yath-thaharna menunjukkan secara jelas keharamn seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid, sampai istrinya mandi karena haid-nya . Sementara qiraat yathhurn meski menunjukkan makna bahwa batasannya hanya sampai “berhentinya darah haid” namun, jika dikaitkan dengan ayat selanjutnya (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ) maka maknanya “sampai mereka bersuci dengan cara mandi.” M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya menyatakan, bahwa qiraat yatathahharna lebih baik dan memang lebih suci (Shihab, 2005: 479).

Sedangkan, Imam Abu Hanifah dalam memandang ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) menyatakan, bahwa larangan bercampur antara suami dengan istrinya (yakni dalam hal menggauli istrinya) hanya sampai istrinya telah suci dari haid, yakni berhentinya darah haid.

Dari uraian di atas, dapat kita perhatikan, bahwa perbedaan qiraat dalam hal ini dapat berpengaruh baik terhadap cara istinbath  maupun pada hukum yang dikeluarkan. Sebagaimana dapat kita cermati perbedaan cara serta hasil istinbath dari Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Menyikapi persoalan ini, Hasanuddin AF berpendapat bahwa batas haram seorang suami mendekati istrinya yang haid adalah sampai sang istri selesai masa haidnya dan telah suci badannya dari hadas besar, karena mengingat lafadz setelahnya. Wallahu a’lam

Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran

0
Asbab An-Nuzul
Asbab An-Nuzul

Al-Quran tidak hanya turun dalam satu waktu.  Melainkan ia turun dengan masa yang sangat panjang. Dalam kitab Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, halaman 5 Syekh Muhammad al-Khudari Bik mengatakan bahwa al-Quran turun dengan kisaran waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari dengan berbagai kesempatan dan tempat yang berbeda-beda, entah secara kebetulan atau melalui sebab-sebab tertentu. Kemudian sebab itu kita kenal dengan asbab an-nuzul. 

Apa itu asbab an-nuzul?

Asbab an-nuzul merupakan dua bentuk kata yang di idhafahkan (istilah bahasa arab) sehingga maknanya dapat yang pahami adalah, sebab-sebab (peristiwa) yang melatarbelakangi tenrjadinya sesuatu. Sementara yang dimaksudkan asbâb an-nuzûl disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran.

Dalam buku Kaidah Tafsir, halaman 202, M.Quraish Shihab  mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asbâb al-nuzûl adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa atau waktu turunnya al-Quran, yaitu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Baik peristiwa itu terjadi sebelum turunnya ayat yang bersangkutan atau tidak.

Baca Juga: Benarkah Bahasa Semit Sebagai Akar Sejarah Bahasa Arab yang Digunakan Al-Qur’an?

Asbab an-nuzul merupakan komponen penting dalam mengkaji nash al-Quran dengan tujuan pemahaman yang benar. Hal ini selaras dengan perkataan seorang pemikir dan ulama dari Harran Turki, yang biasa dikenal dengan Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran, halaman 108 yaitu:

مَعْرِفَةُ سَبَبِ النُّزُولِ يُعِينُ عَلَى فَهْمِ الْآيَةِ فَإِنَّ الْعِلْمَ بِالسَّبَبِ يُوَرِّثُ الْعِلْمَ بِالْمُسَبَّبِ

“Mengetahui asbab an-nuzul dapat membantu seseorang untuk memahami ayat. Kerena ketika seseorang paham dalam sebab maka hal itu akan mengantarkan dia untuk paham pada akibat.”

Seorang Mufasir sebelum dia melakukan perannya dalam menafsiri ayat al-Quran, kewajiban awal baginya adalah mengetahui dan paham asbâb an-nuzûl  terlebih dahulu. Imam As-Syathibi berkata dalam kitab Al-Muwafaqat, halaman 146:

مَعْرِفَةُ أَسْبَابِ التَّنْزِيلِ لَازِمَةٌ لِمَنْ أَرَادَ عِلْمَ الْقُرْآنِ

“Mengetahui asbab an-nuzul merupkakan kewajiabn bagi seseorang yang ingin mempelajari al-Quran.

Lebih lagi bagi seorang mujtahid (ushûly). Dalam istinbath al-ahkam min al-nushûsh (yaitu pengambilan hukum dari nash  khusunya al-Quran) atau kerap di kenal dengan metode bayâni, tidak cukup dia hanya semata-mata memahami kaidah atau struktural bahasa Arab. Melainkan dia juga harus paham historis yang melatarbelakangi turunya ayat yang bersangkutan.

Manfaat dalam memahami asbab an-nuzul

Imam as-Suyuthi dimukaddimah kitabnya Lubâb al-Manqûl fi asbâb an-nuzûl, halaman 3, mengatakan bahwa dengan memahami asbâb an-nuzûl akan banyak faidah yang akan kita dapat, terlebih dalam memahami makna ayat. Beliau pun menolak pendapat sebagian ulama yang berasumsi bahwa  asbâb an-nuzûl hanyalah peristiwa sejarah yang tidak terlulu penting untuk kita ketahui.

Dalam kitab Mabahits fi Ulûm al-Quran karya Mana’ al-Qaththan, dijelaskan bahwa dengan mengetahui asbab an-nuzul kita akan memahami secara baik tujuan utama dari suatu ayat. Sebab tidak mungkin kita hanya memahami ayat dengan berpegang pada makna dzahir-nya saja.

Baca Juga: Kritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Pernah suatu ketika Khalifah Marwan bin Hakam di buat bingung dalam memahami makna ayat surah al-Imran [3] : 188, Yang menyatakan bahwa “jangan sekali-sekali mengira orang yang merasa bahagia dengan apa yang mereka lakukan dan senang di puji pada hal yang mereka tinggalkan akan selamat dari siksa Allah…” sehingga dia berkata pada bawahanya yaitu Rafi’, “pergilah menemui Ibnu Abbas, bagaimana mungkin seseorang yang ketika bahagia dengan apa yang sudah diperbuat dan senang di puji dengan apa yang tidak  mereka lakukan akan di siksa, lalu bagaimana dengan kita semua?, hingga akhirnya Ibnu Abbas membacakan ayat sebelumnya yaitu al-Imran, [3], 187. Menjelaskan bahwa ayat itu khusus bagi orang-orang Yahudi yang ketika di tanya oleh Nabi, saw mereka merahasiakannya dan malah menyampaikan hal yang berbeda. Bukan untuk semua orang. Meski redaksi yang digunakan merupakan kategori lafaz yang memilki makna umum.

Sehingga sangat penting  bagi kita mengetahui hikmah dibalik pensyariatan hukum tertentu, atau mampu menjangkau terhadap perhatian syariat dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Karena sudah tentu di setiap kali Syari’ menetapkan hukum pasti ada tujuan, baik dalam rangka menolak mafsadat atau mewujudkan maslahat, Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 45-49

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 45-49 berbicara lebih lanjut mengenai penyaksian terhadap mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa as. Ketika Mukjizat Nabi Musa ditampakkan seketika penyihir-penyihir itu beriman kepada Nabi Musa dan Fir’aun sangat murka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 38-44


Ayat 45

Setelah semua pesihir Fir’aun melemparkan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, yang dalam bayangan orang banyak seakan-akan menjadi ular, maka tibalah giliran Musa. Ketika Musa menjatuhkan tongkatnya yang menjelma menjadi ular sesungguhnya, tiba-tiba ular itu memakan habis ular-ular palsu yang mereka ada-adakan itu.

Dengan demikian jelaslah mana yang benar dan mana yang batil sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَۚ

Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan jadi sia-sia. (al-A’raf/7: 118)

Dan firman-Nya:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهٗ فَاِذَا هُوَ زَاهِقٌ

Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. (al-Anbiya’/21: 18)


Baca juga: Tafsir Ahkam: Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan


Ayat 46, 47, 48

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah menyaksikan apa yang terjadi, ahli-ahli sihir Fir’aun itu menyerah kalah. Mereka tersungkur dan lalu bersujud kepada Allah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa, sambil berikrar, “Kami telah beriman kepada Tuhan semesta alam, yaitu Tuhan yang disembah Musa dan Harun.”

Mereka berbuat demikian karena sadar bahwa apa yang mereka perlihatkan kepada orang banyak hanyalah khayalan dan tipuan semata. Adapun apa yang diperlihatkan Musa adalah mukjizat, dan betul-betul bukan sihir. Itu adalah suatu kekuasaan yang jauh lebih unggul dari apa yang mereka ketahui, dan datangnya dari langit untuk memperkuat Musa di dalam pengakuannya sebagai seorang rasul Allah.

Ayat 49

Setelah para ahli sihir itu berikrar bahwa mereka menjadi beriman kepada Tuhan semesta alam, yang berarti tidak lagi mengakui Fir’aun sebagai tuhan mereka, Fir‘aun menjadi sangat marah.

Dengan sombong, ia mengancam akan menindak mereka, tetapi ancaman itu tidak diindahkan oleh mereka. Bahkan dengan ancaman itu, iman mereka makin bertambah mantap karena tabir kekafiran telah terbuka dan telah kelihatan jelas oleh mereka cahaya kebenaran.

Ikrar yang diucapkan oleh ahli-ahli sihir itu membuat Fir’aun merasa dilecehkan haknya sebagai seorang yang berkuasa dan mengakui dirinya sebagai tuhan, karena mereka telah beriman kepada Musa tanpa minta izin lebih dahulu kepadanya.

Menurut Fir’aun, sebelum mereka memeluk agama Musa, mereka itu harus lebih dahulu minta izin padanya, karena ia adalah seorang penguasa yang harus dipatuhi.

Untuk mengelabui dan menyesatkan orang banyak, Fir’aun menuduh antara Musa dan para ahli sihir itu ada persekongkolan, karena Musa yang mengajarkan kepada mereka ilmu sihir. Tuduhan itu tentu tidak berdasar, karena sebelum adu kekuatan, mereka tidak bertemu dengan Musa.

Puncak dari kemarahan Fir’aun, ia mengancam mereka akan merasakan siksaan, sebagai akibat dari perbuatan mereka itu. Ia mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang bahkan akan membunuh mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 50-54


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 38-44

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 38-44 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai penerimaan Fir’aun terhadap saran yang diajukan oleh para pembesarnya. Kedua mengenai hari terjadinya pertarungan antara para ahhli sihir dan mukjizat Nabi Musa as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 35-37


Ayat 38

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah Fir’aun mendapat saran dari pembesar dan pemuka kaumnya supaya tidak gegabah menindak Musa, dan lebih baik mengumpulkan ahli-ahli sihir, maka Fir’aun melaksanakan saran itu. Ia memerintahkan agar para ahli sihir sudah siap pada waktu yang telah ditetapkan, yaitu pada hari yang diumumkan sebagai hari raya.

Ayat 39-40

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa Fir’aun menyuruh rakyatnya berkumpul, untuk menyaksikan peristiwa yang akan terjadi pada hari yang ditetapkan sebagai hari raya itu. Fir’aun yakin bahwa pihaknya yang akan mendapatkan kemenangan. Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dari rakyatnya itu yang akan beriman kepada Musa.

Fir’aun sengaja mengumpulkan semua rakyatnya untuk menyaksikan adu kekuatan antara para pesihirnya dengan Musa, supaya mereka tetap mengikuti para pesihir itu dan berpegang teguh kepada agama mereka.


Baca juga: Bukti Adanya Karamah, Ini 5 Cerita Karamah Para Wali Dalam Al-Qur’an


Ayat 41-42

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah berkumpul di ruangan tempat Fir’aun, para ahli sihir itu meminta kebijaksanaan Fir’aun supaya mau memberikan bayaran dan menjadikan mereka lebih dekat dengannya apabila menang nanti. Fir’aun menerima baik permintaan itu, bahkan ia berjanji akan menjadikan mereka penasihat yang selalu diajak duduk bersama, dan dijadikan orang-orang yang terdekat dengannya.

Setelah ada pengertian bersama antara ahli-ahli sihir dengan Fir‘aun tentang bayaran dan fasilitas lainnya, mereka kemudian mengadu kekuatan dengan Musa. Mereka bertanya kepadanya, “Wahai Musa! Engkaukah yang lebih dahulu menampilkan dan mendemonstrasikan sihirmu atau kami yang lebih dahulu?”

Ayat 43-44

Ayat ini menggambarkan suasana adu kekuatan antara para pesihir Fir’aun dengan mukjizat Nabi Musa. Musa menawarkan kepada para pesihir itu untuk memulai sihirnya, yang mereka yakini bisa menggugurkan pengakuan Musa sebagai seorang rasul Allah.

Para pesihir Fir’aun segera melemparkan tali-tali yang mereka siapkan seraya menyebut nama Fir’aun, dan mereka merasa yakin akan menang. Dengan kecepatan gerak tangan dan ilmu sihir mereka, tali-tali itu seolah-olah bergerak, mengecoh orang-orang yang menyaksikannya, sehingga mereka menyangka tali-tali itu berubah menjadi ular sesungguhnya, yang merayap ke sana kemari. Hal ini digambarkan dalam firman Allah:

فَاِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ اِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ اَنَّهَا تَسْعٰى

Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka. (Taha/20: 66)

Dengan sihirnya, para pesihir itu telah menakut-nakuti dan mengelabui mata orang banyak. Mereka mengeluarkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, dan menganggap telah cukup untuk memperoleh kemenangan dalam adu kekuatan itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 45-49


(Tafsir Kemenag)