Beranda blog Halaman 320

Tafsir Min Wahyil Quran: Tafsir dari Sang Neo-Modernis Sayyid Husein Fadhlullah

0
Tafsir Min Wahyil Quran
Tafsir Min Wahyil Quran

Modernitas, dengan sains-teknologi sebagai ciri besarnya, telah membawa perubahan kultural hebat terutama perangai rasional manusia. Praktis manusia makin tajam dalam mempertanyakan dogma-dogma mistis dan agama yang—menurut ilmuan seperti Ricard Dawkins—kian usang. Dalam denyut kultur seperti ini, Sayyid Husein Fadhlullah menjadi oase: beliau mufassir kelahiran Najaf yang memberikan wajah pada Islam, terutama ajaran Alquran, dengan rasionalitas sebagai paradigma. Sayyid Husein menulis tafsir Min Wahyil Quran tidak hanya untuk menjawab problem modern, tetapi juga memberikan latar pendekatan rasional sehingga lebih argumentatif.

Sayyid Husein, selain menunjukkan perangai ilmiah dalam memahami ajaran agama, juga memberikan banyak nuansa pergerakan pada ajaran Al-Quran. Artinya, visi-misi Al-quran hadir dalam rangka menjawab persoalan sosial, seperti ketertindasan kaum pinggiran, kesetaraan hak manusia, keadilan hukum, dan sejenisnya. Karena kecenderungan itu, tidak berlebihan jika Sayyid Husein disebut mufassir yang menjauhi kepentingan-kepentingan subjektif.

Posisi Sayyid Husein sebagai ulama dikenal melalui pergerakan dakwah satu masjid ke masjid lain, mendirikan tempat pendidikan, dan terlibat revolusi Islam-Iran. Materi yang diajarkan pada umat fokus mengupas isu modern melalui Alquran dan hadis, termasuk edukasi politik. Hal itu dilakukan agar masyarakat sadar tentang posisi mereka dan ikut terlibat dalam kultur modernitas.

Baca juga: Dalil Al-Quran Mengenai Tradisi Bermaaf-Maafan di Hari Raya Idul Fitri

Perjalanan panjang Sayyid Husein, baik dari sisi intelektual dan politik, yang menunjukkan kedalaman ilmunya itu, menyematkan gelar Marja’ sebagai nama sebutan kehormatan. Belakangan pemahamannya atas tafsir Alquran tertuang dalam karya masterpiece-nya, Min Wahyil Quran. Karya yang ditulis di bawah pandangan bahwa Alquran itu tetap dan tak berubah, namun pemahaman dan penafsiran atas Alquran patut untuk diperbarui seiring perkembangan zaman.

Baca juga: Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103

Sejarah Kepenulisan Kitab Tafsir Min Wahyil Quran

Tafsir Min Wahyil Quran digarap dalam situasi yang sangat genting, di bawah kerasnya perpolitikan Lebanon, di mana pada masa itu Lebanon dihujani konflik, baik konflik internal (antar saudara) maupun eksternal (invasi Israel dan AS). Latar belakang itulah yang memberi dorongan kepada Sayyid Husein untuk merespon sekaligus menyampaikan pandangannya terhadap kondisi sosial-politik yang sedang terjadi di tanah Lebanon dengan tujuan agar masyarakat turut menjadi bagian dari modernitas yang berpegang pada Alquran dan Hadis. Dan, kondisi demikian-lah yang memengaruhi pembacaan Sayyid Husein dalam tafsirnya.

Dijelaskan dalam mukaddimah tafsirnya, bahwa tidak ada suatu maksud untuk menghadirkan sesuatu yang baru dalam tradisi tafsir, Sayyid Husein hanya memberikan angin segar dengan menciptakan pengetahuan Qurani dan peradaban Islami dengan berdasar pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan sehingga Alquran hidup dan bergerak dalam kehidupan manusia. Misi yang ia bawa adalah tafsir tidak hanya bisa dikonsumsi bagi kalangan intelektual saja, namun juga dekat bagi kalangan awam.

Pada mulanya, tafsir ini tidak ditulis dengan sengaja oleh pengarangnya layaknya kitab tafsir pada umumnya. Kitab ini merupakan hasil dari forum kajian tafsir Aquran yang berada di bawah asuhan Sayyid Husein. Materi yang disampaikan di hadapan pelajar muslim dari kaum intelektual (mutsaqqafin) didokumentasikan dengan cara direkam dan ditulis kemudian diserahkan kepada Sayyid Husein untuk diamati dan dikoreksi. Draft kitab tafsir ini mulai dirangkai ketika pengajian tafsir berlangsung di Masjid kota Nab’a, Lebanon. Kemudian dicetak pada tahun 1980 saat ia hijrah ke Bir al-Abad, Lebanon Selatan.

Dalam perkembangannya, tafsir ini mengalami dinamika terus-menerus hingga mengalami 3 kali cetakan dengan berbagai macam revisi. Mula-mula, tafsir ini terdiri dari 12 jilid, kemudian dicetak ulang dengan penambahan materi hingga menjadi 24 jilid. Pada cetakan berikutnya, terdapat penambahan materi pada halaman dan juz yang sebelumnya tidak dijelaskan di cetakan kedua. Penambahan itu berkisar pada juz 1-10.

 Baca juga: Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103

Sistematika Penulisan Tafsir Min Wahyil Quran

Tafsir Min Wahyil Quran mengupas lengkap 30 juz yang ditulis dalam 24 jilid berdasarkan urutan surat (tartib al-suwar). Tafsir ini memiliki ciri khas tersendiri dalam menyajikan hasil bacaannya. Pertama, membuka penafsiran dengan menyajikan keterangan identitas surat, yakni berupa nama surat, kategori surat (makkiyah atau madaniyah) dan jumlah ayat. Kemudian memberikan gambaran umum yang berkaitan dengan pokok dan ide gagasan yang terkandung dalam surat sebelum masuk ke penafsiran ayat per ayatnya.

Kedua, menjelaskan makna mufradat (ma’any al-mufradat) pada lafadz yang memerlukan penjelasan. Ketiga, menjelaskan asbabun nuzul pada ayat yang turun dengan sebab khusus. Keempat, menafsirkan setiap potongan kalimat pada suatu ayat dengan tema-tema tertentu sesuai kandungan ayat. Kelima, aktualisasi ayat Alquran dengan menghubungkan antara masa kini dan masa lampau.

Keenam, menampilkan karakter tarbawy (pendidikan) atau haraky (pergerakan) guna mencari inspirasi makna dengan tujuan menghidupkan ayat dalam kehidupan manusia. Di bagian ini, Sayyid Husein meyajikan aspek praktis dari ayat yang ditafsirkan. Seperti pada Q.S. al-Baqarah [2]: 3, perihal ayat beriman kepada yang ghaib, ia mengajak untuk bertafakur; bertadabur; memperhatikan fenomena alam dan sejarahnya, sebab dan rahasia di baliknya, serta mengetahui keagungan Allah darinya.

Metode dan Pendekatan Tafsir

Mengacu pada pembagian metode tafsir ala al-Farmawy, tafsir Min Wahyil Quran masuk dalam kategori tafsir tahlily. Demikian karena tafsir ini menguraikan secara rinci ayat demi ayat, surat demi surat sesuai urutan mushaf Usmani (tartib mushafi), sekaligus menyajikan kandungan ayat dari berbagai segi. Jika mengacu pada definisi Muhammad Ali iyazi dalam karyanya al-Mufassirun hayatihim wa manhajihim, tafsir ini ber-manhaj haraki (metode pergerakan). Suatu metode tafsir tahlily (terperinci), dimana seorang mufassir melakukan penafsiran dengan bertumpu pada naungan penjelasan maksud Allah yang tertuang dalam Al-quran.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: Tiga Prinsip Utama dalam Bergaul

Sedangkan, pendekatan yang ia terapkan adalah kontekstual yang sering ia sebut dalam tafsirnya dengan sebutan al-istiha’ (mencari inspirasi atau dalam tradisi tafsir dikenal dengan kontekstualisasi). Hal ini terlihat jelas ketika ia menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2]: 190 dimana ia mengontekstualisasikan dengan keadaan umat Palestina yang diperangi rezim Israel. Ia memaparkan bahwa peperangan dan aksi anarkis dibenarkan bagi umat Islam hanya dengan alasan keadilan, seperti upaya pertahanan diri, pembelaan terhadap kaum tertindas, perang terhadap orang-orang yang mengusir tanah air sendiri serta terhadap orang-orang yang melakukan kerusakan di muka bumi. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 6-8

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 6-8 mengulas tentang keesaan Allah swt dan memerintahkan manusia untuk senantiasa bersyukur dengan apa saja yang telah Allah anugerahkan di dunia. Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 6-8 ini juga dijelaskan bahwa Allah menciptakan segala bentuk perhiasan di langit dan bumi agar digunakan sebaik mungkin oleh manusia sebagai wujud syukur tanpa merusak keindahannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-5


Ayat 6

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 6-8 khususnya ayat 6 ini, Menurut riwayat Ibnu ‘Abbas bahwa ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal bin Hisyam, an-Nadhar bin Harits, Umayyah bin Khalaf, al-A’sya bin Wa’il, al-Aswad bin Muththalib, dan Abu Buhturi di hadapan beberapa orang Quraisy mengadakan pertemuan. Rasul saw merasa susah melihat perlawanan kaumnya kepadanya dan pengingkaran mereka terhadap ajaran-ajaran yang dibawanya, sehingga sangat menyakitkan hatinya. Lalu turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah swt mengingatkan Rasul saw agar tidak bersedih hati, hingga merusak kesehatan dirinya, hanya karena kaumnya tidak mau beriman kepada Al-Qur’an dan kenabiannya. Hal demikian itu tidak patut membuat Nabi sedih karena tugas beliau hanyalah menyampaikan wahyu Ilahi kepada mereka, sedangkan kesediaan jiwa mereka untuk menerima kebenaran ayat-ayat tersebut tergantung kepada petunjuk Allah swt.

 Firman Allah swt:

۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272)

Sesungguhnya Nabi Muhammad bersedih hati karena hasratnya yang besar dan kecintaannya yang dalam terhadap kaumnya supaya mereka beriman, tidak tercapai. Beliau diberi gelar habibullah artinya kekasih Allah, maka sifat kasih sayang beliau yang sangat menonjol kepada sesama manusia itu adalah pencerminan dari cintanya kepada Allah.

Semakin kuat cinta kepada Allah, semakin besar pula kasihnya kepada manusia, bahkan manusia itu dirasakan sebagai dirinya. Oleh karena itu, ketika kaumnya menjauhkan diri dari bimbingan Allah swt dan rasul-Nya, beliau merasakan kejadian itu sebagai pukulan berat bagi dirinya.

Bukankah kaum yang jauh dari hidayah Allah pada akhirnya akan hancur, dan beliau sendiri akan menyaksikan kehancuran mereka itu. Hati yang sangat iba terhadap mereka menjadi penghalang kebenaran, apapun pendorongnya, dan dapat mengham-bat jalan kebenaran itu sendiri. Maka Allah swt mengingatkan Rasul saw agar tidak mengindahkan tanggapan kaum musyrikin yang menjadi penghalang tersebarnya agama Islam, tetapi terus menyampaikan dakwahnya dengan bijaksana.

Sebab mereka itu adalah manusia yang telah dikaruniai akal pikiran. Dengan akal pikiran itu, manusia dapat merenungkan kebenar-an ayat-ayat Al-Qur’an dan ayat-ayat kauniyah (alam) seperti benda-benda yang terdapat dalam alam ini.

Ayat 7

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa segala yang ada di atas bumi ini diciptakan sebagai perhiasan bagi bumi itu, baik binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari berbagai jenis di lautan dan di daratan, maupun barang-barang tambang yang beraneka ragam dan sebagainya.

Semua itu untuk menguji manusia apakah mereka dapat memahami dengan akal pikiran bahwa perhiasan-perhiasan bumi itu dapat memberi gambaran akan adanya Sang Pencipta, untuk kemudian menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Bilamana mereka menggunakan segala benda-benda alam, hewan, dan tumbuh-tumbuhan itu untuk pengabdian diri kepada Allah dan kemaslahatan manusia, maka Allah akan memberi mereka pahala yang sebesar-besarnya.

Akan tetapi, bilamana mereka menggunakannya untuk mendurhakai Allah dan merusak peradaban dan kemanusiaan, maka Allah swt akan menimpakan kepada mereka azab yang besar pula. Sejarah umat manusia membuktikan bahwa mereka selalu berlomba-lomba untuk mem-peroleh benda-benda perhiasan bumi itu, karena merupakan benda-benda ekonomi yang menjadi sumber penghidupan umat manusia.

Karena benda-benda itu pula, mereka saling berbunuh-bunuhan satu sama lain yang akhirnya menimbulkan kehancuran. Hal itu tidak akan terjadi jika mereka menyadari bahwa benda-benda hiasan bumi itu adalah anugerah Allah, dan dimanfaatkan untuk kemanusiaan dan pengabdian kepada Tuhan Rabbul Alamin.

Demikianlah, barang siapa yang dapat memahami dan mengambil pelajaran serta hikmah dari benda-benda hiasan bumi itu akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Semua benda alam ini memang diperuntukkan bagi manusia, terserah kepada mereka mau melakukan apa saja terhadap benda-benda hiasan di permukaan bumi itu?

Firman Allah swt:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهٖۗ

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu (manusia) apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. (al-Hajj/22: 65); Sabda Nabi Muhammad saw:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَاللهُ مَسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ. (رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري)

Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah menunjuk kamu sebagai penguasa di atasnya, lalu Dia melihat apa yang kamu kerjakan. (Riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri);

Ayat 8

Ayat ini menerangkan bahwa Allah benar-benar mampu untuk membuat apa yang ada di atas bumi ini menjadi tanah yang datar dan tandus, tidak ada tumbuh-tumbuhan yang menghiasinya. Keindahan yang semula memikat penglihatan berubah menjadi pemandangan yang kering dan pudar.

Perubahan demikian itu dapat terjadi disebabkan perubahan iklim, dan dapat pula disebabkan oleh tangan manusia sendiri yang tidak mempertimbangkan akibat dari perbuatan mereka sendiri, seperti tata kota yang salah, peng-gundulan hutan, pemakaian tanah berlebih-lebihan tanpa pemeliharaan, peperangan, dan sebagainya.

Dengan demikian, tidak patut bagi Nabi Muhammad untuk berduka cita bagi mereka yang anti terhadap ajaran-ajaran Islam yang dibawanya, karena Allah swt akan menguji mereka dengan menciptakan keindahan di muka bumi ini dengan menciptakan bermacam-macam benda seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral.

Siapa di antara manusia yang beramal baik, Allah akan memberi pahala bagi mereka yang paling baik karena mempergunakan benda hiasan bumi itu sesuai dengan petunjuk Tuhan untuk kemanusiaan. Tetapi jika mereka mempergunakan benda-benda hiasan bumi ini untuk tidak mengikuti petunjuk-Nya, maka Allah swt kelak menjadikan bumi ini datar dan tandus. Setiap manusia akan diberi ganjaran terhadap perbuatannya yang durhaka.

Dengan ayat ini Nabi Muhammad saw menjadi terhibur. Bagi Rasul saw sudah jelas, jalan yang ditempuh oleh masing-masing golongan manusia, baik yang beriman kepada Al-Qur’an dan maupun yang berpaling dari-Nya.

Berbahagialah mereka yang lulus dalam ujian Tuhan itu dan sengsaralah mereka yang gagal. Tugas Rasul saw hanyalah menyampaikan petunjuk-petunjuk Allah swt. Apakah manusia beriman kepada petunjuk-petunjuk itu ataukah berpaling dari-Nya, Allahlah yang menentukannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 9



Dalil Al-Quran Mengenai Tradisi Bermaaf-Maafan di Hari Raya Idul Fitri

0
bermaaf-maafan
Hari Raya Idulfitri

Ketika hari raya tiba, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, masyarakat Muslim Indonesia biasanya melakukan berbagai tradisi lokal seperti Mudik, bermaaf-maafan, dan bersalam-salaman. Tradisi tersebut lumrah di temui, terutama bagi mereka yang tinggal di desa. Selain itu, mereka biasanya juga menyediakan berbagai hidangan khas hari raya ala muslim Nusantara.

Hari raya, terutama Idul Fitri, menjadi momentum kebersamaan masyarakat Indonesia. Anak-anak yang merantau jauh orang tua akan kembali ke pangkuan kampung halaman, begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang hubungannya renggang akibat suatu masalah akan bermaaf-maafan di hari raya, terlepas apakah itu sebuah ketulusan ataupun hanya formalitas belaka.

Kebersamaan di hari raya begitu amat terasa, terutama bagi mereka yang sudah lama jauh dari keluarga. Maka tak heran, masyarakat muslim rela merogoh kantung dalam-dalam demi menikmati hari raya bersama keluarga tercinta. Suasana kebersamaan ini – sebagaimana disebutkan Baidun dalam Tradisi Mudik Lebaran, secara sosiologis membuat orang-orang mudah bermaaf-maafan meskipun sebelumnya sulit.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Makna Shalat Ied Pada Hari Raya Idul Fitri

Berkenaan dengan tradisi bermaaf-maafan dan bersalam-salaman, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tradisi tersebut dibolehkan dalam Islam atau dilarang? Pertanyaan ini muncul karena sebagian orang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw tidak ada anjuran bermaaf-maafan dan bersalam-salaman secara khusus di hari raya.

Jika kita mencari dalil anjuran bermaaf-maafan di hari raya secara spesifik dalam Al-Qur’an dan hadis, mungkin itu tidak akan ditemukan. Namun bukan berarti tradisi tersebut menyalahi ajaran Islam. Sebab, dalam Al-Qur’an dan hadis banyak ditemukan ayat dan matan yang menunjukkan anjuran bermaaf-maafan di antara masyarakat, termasuk antara nabi Muhammad saw dan para sahabat.

Dalam Al-Qur’an misalnya, setidaknya ada lima ayat yang berisi tentang anjuran bermaaf-maafan, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 109, surah Ali Imran [3] ayat 134 dan 159, surah al-Maidah [5] ayat 13 dan surah Yusuf [12] ayat 92. Secara umum, ayat-ayat ini berbicara mengenai anjuran bermaaf-maafan, memaafkan adalah sarana kesabaran, dan pemaaf adalah sifat orang bertakwa.

Firman Allah swt:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3] ayat 159).

Secara umum, surah Ali Imran [3] ayat 159 berisi tentang tuntunan Allah Swt kepada nabi Muhammad saw untuk 1) bersikap lemah lembut kepada kaum muslimin khususnya mereka yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran; 2) memaafkan kesalahan mereka; 3) memintakan ampunan kepada mereka; 4) bermusyawarah ketika memutuskan suatu perkara; 5) dan senantiasa bertawakal kepada Allah.

Menurut Quarsih Shihab, ayat ini seakan berkata, “Sesungguhnya perangaimu wahai Muhammad, adalah perangai yang luhur, engkau tidak bersikap kasar dan tidak pula berhati kasar, engkau pemaaf, dan bersedia menerima saran dari orang lain. Itu semua disebabkan karena rahmat Allah kepadamu yang telah mendidikmu, bukan karena faktor-faktor lain seperti konstruksi sosial.”

Berdasarkan catatan al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, surah Ali Imran [3] ayat 159 turun pasca perang Uhud di mana sebagian sahabat melanggar perintah nabi Muhammad saw. Akibat perbuatan mereka itu, kaum muslimin mengalami kekalahan dan kondisi nabi berdarah-darah. Bahkan dikisahkan bahwa beberapa gigi beliau patah dan wajahnya terluka.

Adapun objek yang dituju dalam surah Ali Imran [3] ayat 159 adalah sahabat-sahabat yang melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Akibat perbuatan mereka tersebut, kaum muslimin mengalami kekalahan telak pasca mendapatkan serangan dadakan dari pihak Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid, ia waktu itu belum memeluk Islam (Tafsir al-Misbah [2]: 169).

Bisa dikatakan bahwa pasca kelahan umat Islam, mereka (para sahabat yang berbuat kesalahan) menjadi bulan-bulanan kemarahan sahabat lain karena telah meninggalkan pos yang telah diberikan. Untuk ini kemudian surah Ali Imran [3] ayat 159 mengingatkan nabi saw dan umat Islam untuk tidak memperpanjang masalah dan memaafkan kesalahan serta pelanggaran mereka demi masa depan.

Hal serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya pada ayat ini Allah swt memerintahkan nabi Muhammad – termasuk pengikutnya – untuk memaafkan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan sebagian sahabat pada perang Uhud. Tak hanya memaafkan, nabi saw juga diminta untuk meminta ampunan bagi mereka.

Sedangkan Syekh Nawawi al-Bantani menuturkan dalam Tafsir Marah Labid, yang dimaksud dari memaafkan kesalahan adalah memaafkan kesalahan mereka yang berkaitan dengan hak-hak pribadi nabi Muhammad (dimensi horizontal). Sedangkan yang dimaksud dari memintakan ampun adalah memintakan ampunan bagi mereka terkait pelanggaran yang dilakukan berkenaan dengan perintah Allah Swt (dimensi vertikal).

Anjuran bermaaf-maafan juga dapat ditemukan dalam hadis. Misalnya, nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath- Thabrani). Hadis ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pemeluknya untuk bermaaf-maafan jika terjadi kesalahan atau pelanggaran, bukan saling membalas mendendam.

Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sifat pemaaf dan sikap saling memaafkan adalah ajaran Islam yang mesti dipraktikkan, terlepas dari kapan dan di mana itu terjadi. Bayangkan, kesalahan fatal para sahabat dalam perang Uhud saja Allah swt perintahkan untuk dimaafkan, lantas bagaimana mungkin kesalahan kecil di antara sesama manusia tidak dapat kita maafkan (renungkan).

Lebih jauh, tradisi bermaaf-maafan di hari raya tidaklah terlarang dan baik dilakukan. Meskipun pengkhususan waktu di hari raya tidak ada dalilnya, namun sikap memaafkan merupakan ajaran universal Islam. Di samping itu, tidak ada larangan spesifik dalam Al-Qur’an maupun hadis terkait pengkhususan waktu bermaaf-maafan. Bahkan, bermaaf-maafan di hari raya bisa menjadi alternatif perekat hubungan yang sulit dilakukan di hari biasa. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-5

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-5 mengulas tentang tujuan diturunkannya Alquran dan tugas Nabi Muhammad diutus oleh Allah. Khususnya dalam ayat 2 pada Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 1-5 ini dijelaskan bahwa Alquran itu lurus tidak melebih-lebihkan peraturan dan tidak pula memberatkan umat Islam.


Baca Juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi


Ayat 1

Dalam ayat ini Allah swt memuji diri-Nya, sebab Dialah yang menurunkan kitab suci Al-Qur’an kepada Rasul saw sebagai pedoman hidup yang jelas. Melalui Al-Qur’an, Allah memberi petunjuk kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Ayat Al-Qur’an saling membenarkan dan mengukuh-kan ayat-ayat lainnya, sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan.

Nabi Muhammad saw yang menerima amanat-Nya menyampaikan Al-Qur’an kepada umat manusia, disebut dalam ayat ini dengan kata ‘hamba-Nya’ untuk menunjukkan kehormatan yang besar kepadanya, sebesar amanat yang dibebankan ke pundaknya.

Ayat 2

Allah swt menerangkan bahwa Al-Qur’an itu lurus, yang berarti tidak cenderung untuk berlebih-lebihan dalam memuat peraturan-peraturan, sehingga memberatkan para hamba-Nya. Tetapi juga tidak terlalu singkat sehingga manusia memerlukan kitab yang lain untuk menetapkan peraturan-peraturan hidupnya. Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad saw agar beliau memperingatkan orang-orang kafir akan azab yang besar dari Allah, karena keingkaran mereka kepada Al-Qur’an.

Juga memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan memperoleh pahala yang besar dari-Nya, karena keimanan mereka kepada Allah dan rasul-Nya, serta amal kebajikan yang mereka lakukan selama hidup di dunia.

Ayat 3

Pahala yang besar itu tidak lain adalah surga yang mereka tempati untuk selama-lamanya, mereka tidak akan pindah atau dipindahkan dari surga itu, sesuai dengan janji Allah swt kepada mereka.

 Firman Allah swt:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan. (az-Zukhruf/43: 72);

Ayat 4

Dalam ayat ini Allah kembali menyebutkan tugas Rasulullah untuk memberikan peringatan kepada kaum kafir, karena kekufuran mereka dipandang perkara besar oleh Allah, terutama orang-orang kafir yang mengatakan Allah itu mempunyai anak.

Mereka itu terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: pertama, golongan musyrikin Mekah (Arab) yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu putri Tuhan; kedua, golongan orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair putra Tuhan; dan ketiga, golongan orang Nasrani yang mengatakan bahwa Isa putra Tuhan.

 Al-Qur’an diturunkan ke dunia untuk mengembalikan kepercayaan umat manusia kepada tauhid yang murni. Banyak ayat-ayat yang mengancam berbagai kepercayaan kepada selain Allah yang dianggap sebagai keyakinan yang sangat keliru.

 Firman Allah swt:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ

Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani  berkata, ”Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai  berpaling? (at-Taubah/9: 30);

Ayat 5

Anggapan mereka bahwa Allah mempunyai anak sama sekali tidak didasarkan atas pengetahuan dan keyakinan mereka sendiri, tetapi didasarkan atas persangkaan yang tidak benar atau taklid buta kepada nenek moyang mereka. Padahal, nenek moyang mereka itu juga tidak mempunyai pengetahuan dan dasar keyakinan tentang kepercayaan yang demikian.

Sungguh terlalu jelek ucapan mereka itu, yang tidak lahir dari pikiran yang sehat, tetapi begitu saja keluar dari mulut yang lancang. Allah menegaskan bahwa apa yang diucapkan mereka itu adalah kekafiran yang sangat besar, karena tidak didasarkan atas keyakinan, dan tidak patut diucapkan oleh seorang manusia.

Kelancangan mereka mengucapkan kalimat kufur itu ditegaskan Allah sebagai suatu kebohongan, yang tidak mengandung kebenaran. Allah swt mengingatkan Rasul untuk memerintah-kan kepada umatnya supaya kembali kepada agama tauhid, sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an.

Firman Allah:

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ

Katakanlah (Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. (Ali ‘Imran/3: 64)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 6-8


Tafsir Surah An-Naml ayat 89-93

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 89-93 ini menjelaskan tentang orang beriman yang melaksanakan amal sholeh akan memperoleh balasan dari amal baiknya. Dan dijelaskan pula dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 89-93 ini bahwa yang menyekutukan Allah akan mendapat balasan setimpal pula.

Penutup Tafsir Surah An-Naml ayat 89-93 ini mengisahkan bahwa Al-Quran diturunkan sebagai kabar gembira.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 88


Ayat 89

Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan melaksanakan amal kebajikan, akan memperoleh balasan yang lebih baik dari amalnya sendiri, dan diberi tempat kediaman yang nyaman dan kekal dalam surga Na’im, mereka aman tenteram dari kejutan yang dahsyat pada hari Kiamat itu.

Ayat 90

Sebaliknya barang siapa yang menyekutukan Allah dan berbuat kejahatan, maka wajah mereka disungkurkan ke dalam neraka seraya dikatakan kepada mereka, “Kamu tidak mendapat balasan, melainkan setimpal dengan kemusyrikan dan kejahatan yang dahulu kamu kerjakan di dunia, sehingga menjadi sebab datangnya kemurkaan Allah.”

Ayat 91

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa beliau hanya disuruh Allah menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah dijadikan sebagai tanah Haram (Tanah Suci), diharamkan adanya pertumpahan darah atau berbuat kezaliman terhadap siapa pun di sana.

Penyebutan negeri Mekah secara khusus pada ayat ini karena di sana terdapat Ka’bah, yaitu rumah peribadatan yang pertama kali dibangun di muka bumi ini sebagai tempat manusia menghadap ketika salat di mana pun mereka berada, sesuai dengan firman-Nya:

اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ

Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. (Ali ‘Imran/3: 96) ;Adapun yang wajib disembah hanya Allah, bukan berhala-berhala yang oleh diletakkan kaum musyrikin di sana, sesuai dengan firman Allah:

فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ  ٣  الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ  ٤

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. (Quraisy/106 : 3-4).

Ini merupakan celaan yang keras kepada orang-orang kafir Mekah yang tidak menyembah Allah yang mempunyai Baitullah, tetapi menyembah berhala-berhala yang mereka tempatkan di sekitarnya. Kepunyaan Allah segala sesuatu, baik di langit maupun bumi, dari segi ciptaan, pemilikan, dan pengurusannya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Oleh karena itu, hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah dan kepada-Nya Nabi saw diperintahkan supaya berserah diri dengan penuh keikhlasan dan ketauhidan yaitu jalan lurus atau agama Islam, sesuai dengan firman-Nya:

قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.”(al-An’am/6: 161)

Ayat 92

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan supaya membacakan Al-Qur’an kepada manusia, untuk mengungkap makna dan rahasia yang terkandung di dalamnya, dan menyerap dalil-dalil tentang kekuasaan Allah yang dapat dilihat pada alam semesta. Dengan demikian, beliau dapat menyelami hakikat hidup yang sebenarnya dan menerima limpahan karunia Allah kepadanya.

Nabi saw mengulang bacaan ayat itu beberapa puluh kali sampai terbit fajar. Ketika membacanya tampaklah bagi beliau beberapa rahasia yang terkandung di dalamnya, sehingga beliau merasakan faedah membaca ayat Al-Qur’an serta memahami isinya, sesuai dengan firman-Nya:

ذٰلِكَ نَتْلُوْهُ عَلَيْكَ مِنَ الْاٰيٰتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ

Demikianlah Kami bacakan kepadamu (Muhammad) sebagian ayat-ayat dan peringatan yang penuh hikmah. (Ali Imran/3: 58)

Firman Allah yang lain:

كَذٰلِكَ اَرْسَلْنٰكَ فِيْٓ اُمَّةٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهَآ اُمَمٌ لِّتَتْلُوَا۟ عَلَيْهِمُ الَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ

Demikianlah, Kami telah mengutus engkau (Muhammad) kepada suatu umat yang sungguh sebelumnya telah berlalu beberapa umat, agar engkau bacakan kepada mereka (Al-Qur’an) yang Kami wahyukan kepadamu. (ar-Ra’d/13: 30)

Barang siapa yang mengikuti ajaran Al-Qur’an, beriman kepada Nabi Muhammad, dan menerima petunjuknya, maka sungguh ia telah menempuh jalan lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Petunjuk itu adalah untuk kebaikan dirinya sendiri. Akan tetapi, barang siapa yang sesat, dan menyeleweng dari jalan lurus yang telah dirintis oleh Nabi, maka kemudaratan akan dirasakan oleh mereka sendiri. Nabi saw tidak akan menderita kerugian apa pun sebab tugas beliau hanya sekadar memberi peringatan sesuai dengan firman Allah:

فَاِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلٰغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ

Maka sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, dan Kamilah yang memperhitungkan (amal mereka). (ar-Ra’d/13: 40)

Dan firman Allah:

اِنَّمَآ اَنْتَ نَذِيْرٌ ۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Sungguh, engkau hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah pemelihara segala sesuatu. (Hud/11: 12) ;

Ayat 93

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad, yang telah menyampaikan kabar gembira kepada kaum Muslimin yang mengikuti petunjuknya, dan memberi peringatan kepada mereka yang mengingkarinya, untuk mengatakan bahwa segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya. Di antaranya adalah nikmat kenabian dan kerasulan, yang menyebabkan datangnya nikmat-nikmat yang lain, baik kenikmatan di dunia maupun akhirat.

 Allah telah memberi taufik kepada Nabi untuk memikul segala beban dalam melaksanakan seruan agama, dalam rangka ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih, Yang telah menyediakan keridaan dan pahala yang besar bagi hamba-hamba-Nya yang tulus ikhlas.

Allah telah memberikan kepada Nabi berbagai mukjizat, yang menunjukkan kebenaran risalah-Nya dan taufik untuk mengikuti jalan agama yang lurus. Rasul ingin sekali supaya umatnya membuka hati untuk dapat melihat bukti-bukti kebenaran. Akan  tetapi, setan dan hawa nafsu telah sedemikian rupa mengelabui mata penglihatan mereka sehingga tidak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya.

Jika mereka masih tetap juga membangkang dan keras kepala, maka ingatlah bahwa semua manusia akan mati. Mereka semua pada hari Kiamat akan dibangkitkan dari kuburan masing-masing dan dihadapkan ke hadirat Allah, yang akan memeriksa semua perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Di sanalah nanti Allah akan memperlihatkan kepada orang-orang yang membangkang tanda-tanda kebesaran-Nya.

Di sana juga nanti Allah akan memperlihatkan kepada mereka azab-Nya yang sangat pedih, sehingga mereka akan mengetahuinya. Di sana jugalah nanti mereka akan mengemukakan penyesalan yang tiada terhingga atas kekafiran mereka terhadap risalah nabi. Penyesalan yang tiada arti dan manfaat lagi karena mereka telah menyia-nyiakan kesempatan dan umur yang telah lewat itu, sedang Tuhan tidak lalai dari apa yang mereka kerjakan.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Naml ayat 88

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 88 menerangkan bahwa ketika kiamat gunung-gunung yang kokoh di muka bumi ini aka dicabut dan diterbangkan bagai bulu di udara. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 88 ini bahwa ketika tiupan sangkakala yang kedua maka kejadian-kejadian dahsyat yang tak dapat dihindari manusia terjadi.

Selengkapnya Tafsir Surah An-Naml ayat 88 tentang dahsyatnya hari kiamat….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87


Ayat 88

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa gunung-gunung yang sekarang kelihatannya kokoh berdiri di tempatnya, nanti pada hari Kiamat akan dicabut dari bumi kemudian diterbangkan bagaikan bulu di udara dan berjalannya awan. Firman Allah:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِۙ

Dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan). (al-Ma’arij/70: 9)

Ada dua pendapat ulama tafsir mengenai pernyataan ayat ini bahwa gunung-gunung akan diterbangkan di udara seperti jalannya awan, atau dalam ayat lain seperti bulu ditiup oleh angin. Pendapat pertama, yang merupakan pendapat sebagian besar mufasir, mengemukakan bahwa ayat ini berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat, seperti dalam firman Allah:

  يَّوْمَ تَمُوْرُ السَّمَاۤءُ مَوْرًاۙ   ٩  وَّتَسِيْرُ الْجِبَالُ سَيْرًاۗ   ١٠

Pada hari (ketika) langit berguncang sekeras-kerasnya, dan gunung berjalan (berpindah-pindah). (ath-Tur/52: 9-10 )

Dan firman-Nya:

وَّسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًاۗ

Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. (an-Naba’/78: 20)

Dalam firman-Nya yang lain:

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْاَرْضُ غَيْرَ الْاَرْضِ وَالسَّمٰوٰتُ وَبَرَزُوْا لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi di ganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa. (Ibrahim/14: 48)

Kejadian-kejadian yang amat dahsyat ini terjadi pada hari Kiamat setelah tiupan sangkakala yang kedua kalinya, dimana semua manusia dibangkitkan dari kuburnya dan mereka menyaksikan segala macam peristiwa yang sangat dahsyat itu dengan sikap yang berbeda-beda.

Pendapat yang kedua mengenai tafsir ayat 88 ini, yakni pendapat ulama ahli falak, menyatakan bahwa ayat ini bukan berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat, tetapi dengan fenomena alam di dunia.

Ayat ini mengatakan, “Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.” Ia dijadikan dalil bahwa bumi berputar seperti planet-planet lain pada garis edar yang telah ditentukan, hanya saja manusia sebagai penghuni bumi tidak merasakannya.

Alasan ulama falak, bahwa ayat 88 ini berhubungan dengan peristiwa sekarang dan bukan dengan peristiwa hari Kiamat, adalah:

  1. Ayat ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori ancaman atau menakut-nakuti dengan kedahsyatan hari Kiamat karena di belakangnya di sambung dengan kata-kata: (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Oleh karena itu, ayat ini lebih tepat bila dihubungkan dengan masa sekarang, di mana manusia sebagai penghuni bumi menyangka bahwa bumi ini diam, demikian pula gunung-gunung yang berada di atas permukaannya. Padahal, bumi bersama gunung-gunung itu berjalan atau beredar sebagai jalannya awan.
  2. Gunung-gunung itu diterbangkan untuk dihancurkan pada hari Kiamat, dan terjadi bersamaan dengan kehancuran alam semesta, termasuk kematian seluruh manusia. Hanya beberapa malaikat saja yang tetap hidup. Jika pada hari setelah tiupan sangkakala yang pertama tidak ada lagi manusia yang hidup, bagaimana dapat dikatakan bahwa nanti mereka akan melihat gunung-gunung yang disangka diam, padahal ia berjalan seperti jalannya awan.
  3. Orang-orang di Padang Mahsyar yang menyaksikan gunung-gunung berjalan seperti jalannya awan, tentu sadar dan melihat dengan mata kepala sendiri sehingga tidak pantas dikatakan bahwa mereka menyangka gunung-gunung itu diam saja di tempatnya. Berlainan sekali jika dihubungkan dengan masa sekarang, karena memang manusia tidak dapat merasakan bahwa gunung-gunung itu bergerak dan berjalan di angkasa sebagaimana jalannya awan, karena gunung-gunung itu ikut bergerak bersama bumi, dan udara yang ada di sekitarnya. Dengan pengertian yang demikian, maka barulah cocok dengan kata-kata: (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Kata-kata yang indah ini tidak patut dikemukakan pada konteks hari Kiamat yang penuh dengan ancaman dan ketakutan terhadap kehancuran seluruh alam semesta.

Demikianlah kedua pendapat tentang tafsir ayat 88 ini. Sebagian besar mufasir menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat. Sebagian lagi yang terdiri dari ulama falak menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa sekarang, dan dijadikan dalil bahwa semua yang ada di atas bumi termasuk gunung-gunung bergerak, berjalan di angkasa sebagaimana berjalannya awan.

Perbedaan penafsiran itu tidak mengenai pada tataran arti, namun hanya menyangkut waktu terjadinya. Karena kejadian ini termasuk dalam alam gaib, maka lebih baik perhatian manusia dititikberatkan kepada perbaikan amalnya. Oleh karena itu, pada akhir ayat itu dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang dikerjakan manusia.

Menurut pandangan saintis, bumi merupakan planet terbesar kelima dari sembilan planet yang ada di tata surya. Bentuknya mirip dengan bola bundar, dengan keliling sekitar 12.743 km. Luas permukaan bumi diperkirakan sekitar 510 juta km2. Sekitar 29% permukaan bumi adalah daratan, sedangkan sisanya berupa lautan.

Bumi terdiri dari beberapa lapisan yang secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian. Bagian paling atas disebut kerak bumi dan ketebalannya bervariasi dari 0-100 km di mana ke arah kontinen makin menebal. Di bawahnya terdapat mantel dengan kedalaman sampai 2.900 km. Bagian paling dalam disebut inti bumi dengan kedalaman dari 2.900-6.370 km. Pembagian ini didasarkan pada analisa gelombang gempa dan masing-masing bagian tersebut mempunyai sifat fisis yang berbeda. Inti bumi misalnya mempunyai sifat fisis layaknya benda cair. Pembagian ini pada dasarnya dapat diperinci lebih detail. Manusia berada pada lapisan bumi bagian atas, yakni kerak bumi.

Sampai paruh abad 20, bidang kebumian ditandai oleh perdebatan tentang continental drift (kontinen yang mengapung). Mereka yang tidak setuju, disebut fixists, sedang yang setuju disebut mobilists. Menurut kubu mobilist, continental mengapung dan bergerak di atas mantel. Kalau kita melihat peta dunia, maka dengan amat mudah kita melihat benua Afrika dan benua Amerika [Selatan] bila diimpitkan, maka garis pantai keduanya relatif berimpit. Jadi, pada dasarnya semua benua yang ada semula berupa satu benua yang satu, yang disebut Pangea, kemudian pecah dan bergerak ke tempat yang sekarang kita lihat. Data ilmiah seperti data kemagnitan purba, kesamaan fosil maupun kesamaan formasi geologi mendukung teori ini. Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.

Perdebatan ini terus berlangsung dan puncaknya pada tahun enam puluhan. Pada saat itu, terjadilah  revolusi pemikiran di bidang ilmu geologi dan pemikiran kaum mobilists mulai diterima secara luas. Penemuan punggungan tengah samudra di Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik yang didukung data geologi dan geofisika, khususnya data magnetik, memperlihatkan adanya pemekaran dasar samudra di mana dua lempeng saling bergerak menjauh. Pada lantai samudra ini, magma dengan suhu sangat tinggi yang berasal dari mantel bumi naik ke atas membentuk punggungan tengah samudra

Dari dua konsep di atas, Apungan Benua dan Pemekaran Samudra, lahir konsep Tektonik Lempeng yang berkembang sangat cepat sejak tahun 1967 dan memiliki implikasi terhadap seluruh aspek geologi termasuk gempa bumi, gunung api, sampai pada perkembangan cekungan hidrokarbon maupun endapan-endapan mineral. Teori ini mengatakan bahwa bumi bagian atas terdiri dari lempengan-lempengan litosfer yang terdiri dari kerak bumi dan mantel bagian atas yang mengapung dan bergerak di atas bagian mantel yang disebut astenosfer.

Lempeng-lempeng litosfer bergerak dan saling berinteraksi satu sama lain. Pada tempat-tempat saling bertemu, pertemuan lempengan ini  menimbulkan gempa bumi. Sebagai contoh adalah Indonesia yang merupakan tempat pertemuan tiga lempeng: Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Bila dua lempeng bertemu, maka terjadi tekanan (beban) yang terus menerus, dan bila lempengan tidak tahan lagi menahan tekanan (beban), maka lepaslah beban yang telah terkumpul ratusan tahun itu, dan dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi, seperti firman Allah:

اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ  ١  وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ  ٢  وَقَالَ الْاِنْسَانُ مَا لَهَاۚ  ٣  يَوْمَىِٕذٍ تُحَدِّثُ اَخْبَارَهَاۙ  ٤

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini?” Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya. (al-Zalzalah/99: 1-4)

Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya. Beban berat yang dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi merupakan satu proses geologi yang berjalan bertahun-tahun. Begitu seterusnya, setiap selesai beban dilepaskan, kembali proses pengumpulan beban terjadi. Proses geologi atau berita geologi ini dapat direkam, baik secara alami maupun dengan menggunakan peralatan geofisika ataupun geodesi.

Sebagai contoh adalah gempa-gempa yang beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu, peristiwa pelepasan beban direkam dengan baik oleh terumbu karang yang berada dekat sumber gempa. Pada masa modern, pelepasan energi ini terekam oleh peralatan seismograf (pencatat gempa) maupun peralatan geodesi yang disebut GPS (Global Position System).

(Tafsir Kemenang)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 89-93


Perintah Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103

0
Mendo’akan Orang yang Berzakat: Surah At-Taubah Ayat 103
Zakat

Diantara keistimewaan orang yang berzakat (muzakki) adalah mendapatkan rahmat Allah, dihapus dosanya, dilipat gandakan pahalanya, diberkahi hartanya dan sebagainya. Bahkan Allah SWT secara khusus memerintahkan kepada orang yang menerima zakat untuk mendo’akan muzakki. Perintah itu termuat dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 103, Allah SWT berfirman:

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do’akanlah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Seringkali mendo’akan muzakki ini terlupakan dan menganggap cukup dengan ucapan terimakasih kepada muzakki, maka tidak heran jika ada perintah tersendiri.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: Tiga Prinsip Utama dalam Bergaul

Pada ayat tersebut ada kata وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡ dan do’akanlah untuk mereka” yang berbentuk fi’il amr (kata perintah). Pertanyaannya, apakah wajib hukumnya mendo’akan muzakki atau sebatas sunnah? Bagaimana lafadz atau redaksi do’anya? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Mendo’akan Untuk Muzakki, Wajib atau Sunnah?

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir (VI/35-36) menyebutkan ada dua pendapat, beliau berkata:

يَجِبُ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ نَائِبِهِ إِذَا أَخَذَ الزَّكَاةَ أَنْ يَدْعُوَ لِلْمُتَصَدِّقِ بِالْبَرَكَةِ، وَهَذَا رَأْيُ الظَّاهِرِيَّةِ. وَأَمَّا سَائِرُ الْأَئِمَّةِ فَحَمِلُوْا الْأَمْرَ عَلَى النَّدْبِ وَالْاِسْتِحْبَابِ

Bagi imam atau penggantinya ketika mereka mengambil zakat wajib mendo’akan keberkahan untuk orang yang berzakat. Ini pendapatnya Dhohiriyyah. Adapun imam madzhab yang lain mengarahkan perintah ini ke dalam hukum nadb atau sunnah.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili juga menyebutkan alasan dari pendapat kedua ini, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW memerintah Mu’adz dalam suatu hadits yang disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas: Beritahukan mereka bahwa mereka wajib mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka, dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka. Nabi tidak memerintahkan untuk mendo’akan mereka dan ketika orang-orang fakir mengambil haknya mereka tidak diwajibkan mendoa’akan.

Namun, dikalangan ulama syafi’iyah sendiri juga ada yang mewajibkan mendo’akannya. Imam Nawawi Ad-Dimasyqi dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah (315) menjelaskan bahwa do’a ini disunahkan bagi penerima zakat, baik penarik zakat atau orang-orang fakir. Menurut yang masyhur dari madzhab kita dan madzhab selain kita, mendo’akan ini tidak wajib. Sebagian ulama kita mengatakan wajib, karena perkataan Imam Syafi’I “Wajib bagi pemimpin (wali) mendo’akannya” dan dalilnya adalah dhohirnya ayat tersebut.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

Doa untuk Orang yang Berzakat Menurut Hadis

Berkaitan dengan redaksi do’a, ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abdullah bin Abi Aufaa, dia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ فَأَتَاهُ أَبُوْ أَوْفَى بِصَدَقَتِهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِيْ أَوْفَى

“Bila ada satu kaum yang datang membawakan zakat mereka kepada Rasulullah SAW, beliau selalu membaca, “Ya Allah, berilah shalawat kepada mereka.” Kemudian datanglah Abu Aufaa dengan membawa zakatnya, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abi Aufaa”

Sholawat di sini yang dimaksud adalah rahmat (الرحمة) dan memintakan rahmat (الترحم). Berkaitan dengan ini, Syekh Muhammad Amin Al-Harari dalam Tafsir Hadaiq Ar-Rauh Wa Ar-Raihan (XII/27) menyebutkan, bahwa sholawat dari Allah SWT kepada para hambanya itu merupakan rahmat untuk mereka, sholawat dari malaikat itu memintakan ampun untuk mereka, sholawat dari orang-orang mukmin kepada Nabi SAW itu merupakan do’a untuknya.

Lebih lanjut, para ulama berbeda pendapat dalam kebolehan mendo’akan dengan redaksi sebagaimana hadits tersebut. Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya menjelaskan, para ulama Hanabilah dan Dhohiriyyah berpendapat dalam masalah do’a tidak ada larangan bagi orang yang menerima zakat untuk berdoa, اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلَانٍ (Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga fulan). Sementara para ulama lainnya berpendapat tidak boleh berdo’a dengan ungkapan seperti itu, karena lafadz shalawat itu dikhususkan untuk para nabi ‘Alaihissalam.

Imam Nawawi Ad-Dimasyqi dalam Al-Adzkar-nya mengutip perkataan ulama, bahwa tidak disunahkan berdo’a: “Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga fulan.” Kemudian beliau juga menjelaskan berkaitan dengan perkataan Nabi Muhammad SAW “Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abi Aufaa”, bahwa lafadz sholawat itu dikhususkan untuknya. Maka Nabi SAW boleh mengucapkan dengan lafadz sholawat kepada siapa saja yang beliau kehendaki, berbeda dengan kita.

Baca juga: Pesan Prof Said Agil (2): 3 Keutamaan Rasulullah Sebagai Rahmatan Lil Alamin

Berbeda halnya ketika mengikutkan penyebutan selain para nabi setelah mereka, tentu tidak ada perselisihan diantara para ulama mengenai diperbolehkannya hal tersebut. Imam Nawawi Ad-Dimasyqi dalam Al-Adzkar-nya dan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munirnya juga menjelaskan mengenai permasalahan tersebut.

Selain itu, ada juga sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i, mengenai seseorang yang dimintai zakat. Namun, dia malah memberikan zakat berupa unta yang kurus. Rasulullah SAW mendo’akannya supaya dia dan untanya tidak diberkahi. Akhirnya orang itu bertaubat dan menemui Rasulullah SAW dengan membawa zakat berupa unta yang baik. Kemudian beliau mendo’akannya dengan do’a اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِ وَفِيْ إِبِلِهِ “Ya Allah, berkahilah dia dan untanya.

Berdasarkan riwayat hadits di atas, maka boleh juga berdo’a dengan redaksi:

اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِ وَفِيْ أَمْوَالِهِ

(Ya Allah, berkahilah dia dan harta-hartanya).

Selain itu, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya Marah Labid (I/337) juga mengutip do’a pilihan Imam Syafii RA, beliau berkata disunnahkan bagi imam ketika mengambil zakat untuk mendo’akan dengan do’a ini:

آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ، وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا

“Semoga Allah membalas apa yang telah kamu berikan, memberkahi untukmu apa yang kamu sisakan, dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu”.

Baca juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Dalam kitab Nihayatuz Zain (177) Syekh Nawawi Al-Bantani juga menyebutkan sebuah do’a yang redaksinya berbeda, yaitu sebagai berikut:

طَهَّرَ اللهُ قَلْبَكَ فِي قُلُوْبِ الأَبْرَارِ وَزَكَّى عَمَلَكَ فِي عَمَلِ الأَخْيَارِ وَصَلَّى عَلَى رُوْحِكَ فِي أَرْوَاحِ الشُّهَدَاءِ

Semoga Allah menyucikan hatimu dalam hatinya para hamba yang baik-baik. Semoga Allah membersihkan amalmu dalam amalnya para hamba pilihan. Semoga Allah bershalawat untuk ruhmu dalam ruh para syuhada.

Silahkan berdo’a dengan beberapa redaksi di atas atau boleh juga selainnya. Kalau pun tidak bisa menggunakan bahasa arab, maka tidak ada salahnya juga menggunakan bahasa yang lain. Mendo’akan mereka dengan do’a yang terbaik itulah salah satu adab yang diajarkan oleh Allah SWT kepada orang yang menerima zakat.

Semoga kita yang saat ini mengeluarkan zakat diterima oleh-Nya. Begitu juga kita yang saat ini berstatus menerima zakat, semoga di tahun mendatang tidak lagi menjadi orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat), tetapi meningkat menjadi orang yang mengeluarkan zakat (muzakki). Sekian. Wallahu Ta’ala A’lam.

Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87 dijelaskan tentang kemurkaan Allah terhadap manusia yang durhaka ketika hari akhir nanti. Sebelum itu Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87 ini juga menceritakan bahwa menjelang datangnya hari kiamat binatang-binatang melata telah memperingati manusia.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 79-81


Ayat 82

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bila kemarahan dan kemurkaan-Nya telah dijatuhkan kepada manusia yang durhaka, karena meninggalkan perintah dan mengotori kemurnian agama-Nya, maka pada saat menjelang datangnya hari Kiamat, binatang-binatang melata keluar dari bumi dan berbicara kepada mereka dengan lidah yang fasih, bahwa kebanyakan manusia tidak yakin kepada ayat-ayat Allah, dan tidak percaya akan datangnya hari Kiamat.

Ucapan dari binatang melata itu mengandung cercaan dan peringatan yang sangat keras kepada manusia yang berada di sekelilingnya. Keanehan yang akan terjadi sebelum kiamat, di mana seekor binatang melata dapat berbicara memberi peringatan kepada orang-orang yang durhaka, tidak mustahil bagi Allah. Ia dapat memberi kemampuan kepada binatang tersebut untuk berbicara pada saat itu, sesuai dengan firman-Nya:

قَالُوْٓا اَنْطَقَنَا اللّٰهُ الَّذِيْٓ اَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ

Mereka berkata, “Allah yang telah menjadikan kami dapat bicara pasti juga dapat menjadikan segala sesuatu dapat berbicara.” (Fushshilat/41: 21)

Mengenai keluarnya binatang melata dianggap sebagai masalah gaib karena bentuk dan sifatnya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Keterangan mengenai hal ini hanya terdapat dalam hadis. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Abdullah bin amr:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيْثًا لَمْ أَنْسَهُ بَعْدُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوْجُ الدَّابَّةِ عَلَى النَّاسِ ضُحًى وَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيْبًا. (رواه مسلم)

‘Abdullah bin ‘Amr berkata, “Aku menghafal sebuah hadis dari Rasulullah saw yang tidak akan aku lupakan. Aku mendengar beliau bersabda, ‘Tanda-tanda akan (datangnya kiamat) yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari sebelah barat dan keluarnya binatang melata kepada manusia di pagi hari. Manakala salah satu dari dua peristiwa ini terjadi, maka yang satu lagi segera menyusul setelahnya’.” (Riwayat Muslim)

Ayat 83-84

Pada ayat-ayat ini, Allah menerangkan tingkah laku dan perbuatan orang-orang kafir yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya ketika mereka menyaksikan sendiri datangnya hari Kiamat. Pada hari itu, Allah mengumpulkan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya dari setiap umat manusia. Setelah mereka berkumpul di Padang Mahsyar untuk dihisab, mereka semuanya berdiri di hadapan Allah untuk menghadapi berbagai pertanyaan dan pemeriksaan.

Orang-orang kafir dan musyrik mendengar dakwaan yang sangat menusuk perasaan. Di antaranya adalah mengapa mereka telah mengingkari ayat-ayat Allah yang secara jelas memberitahukan akan adanya hari kebangkitan dan hari penghisaban ini.

Mengapa mereka tidak memikirkan persoalan itu, padahal dalil-dalilnya jelas dan gamblang disampaikan oleh rasul-rasul kepada mereka? Mengapa mereka bersikap sombong dan angkuh tidak mau menerima keterangan para rasul itu, padahal mereka tidak memiliki pengetahuan yang pasti dan tidak pernah memikirkannya secara teliti dan sungguh-sungguh.

Ayat 85

Ayat ini menjelaskan bahwa kemurkaan Allah kepada orang-orang yang ingkar itu disebabkan kezaliman mereka sendiri. Mereka tidak dapat berkata apa-apa untuk menolak azab yang akan menimpa mereka seperti tersebut dalam firman Allah:

هٰذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُوْنَۙ  ٣٥  وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُوْنَ   ٣٦

Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. (al-Mursalat/77: 35-36)

Ayat 86

Setelah menyampaikan berita yang sangat menakutkan tentang kedahsyatan hari Kiamat, maka Allah pada ayat ini mengemukakan dalil-dalil keesaan-Nya, tentang kepastian akan datangnya hari kebangkitan, dan dalil-dalil yang membenarkan Muhammad saw sebagai utusan Allah. Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah adanya malam dan siang yang datang silih berganti.

Apakah orang-orang yang mengingkari hari Kiamat itu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan malam untuk beristirahat dari kesibukan dan kelelahan bekerja pada siang hari, waktu untuk berkumpul dan santai dengan keluarga di rumah masing-masing, dan untuk memulihkan kembali seluruh tenaga dan kekuatan guna melanjutkan tugas pada keesokan harinya. Hari yang terang benderang telah menunggu mereka untuk melanjutkan usaha mencari nafkah bagi diri dan keluarganya.

Tidakkah mereka memikirkan bahwa kesemuanya diatur dan dikemudikan oleh Allah Yang Mahakuasa, yang dapat menghidupkan, mematikan, dan membangkitkan mereka setelah mati? Sebagaimana siang dan malam banyak mengandung manfaat dan faedah bagi kehidupan manusia, maka demikian pula diutusnya para rasul itu membawa manfaat yang besar sekali bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sesungguhnya pada kejadian-kejadian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang beriman.

Ayat 87

Pada ayat ini, Allah menggambarkan peristiwa kiamat secara khusus, yaitu pada hari peniupan sangkakala oleh malaikat Israfil. Segala yang ada di langit dan di bumi terkejut, kecuali malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, dan orang-orang yang beriman.

Tiupan sangkakala itu terjadi dua kali, tiupan pertama yang diberi nama “nafkhah ash-sha’q” menyebabkan matinya semua makhluk selain mereka yang dikecualikan. Kemudian dengan tiupan kedua, mereka semuanya akan dibangkitkan dari kubur mereka masing-masing, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَصَعِقَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ اِلَّا مَنْ شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ ثُمَّ نُفِخَ فِيْهِ اُخْرٰى فَاِذَا هُمْ قِيَامٌ يَّنْظُرُوْنَ

Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan di bumi kecuali mereka yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sekali lagi (sangkakala itu) maka seketika itu mereka bangun (dari kuburnya) menunggu (keputusan Allah). (az-Zumar/39 :68)

Tiupan yang kedua ini diberi nama “nafkhah al-ba’ts” artinya tiupan kebangkitan, seperti dalam firman-Nya:

وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ

Lalu ditiuplah sangkakala, maka seketika itu mereka keluar dari kuburnya (dalam keadaan hidup), menuju kepada Tuhannya. (Yasin/36: 51)

Peristiwa ini disebutkan pula dalam firman Allah:

يَوْمَ يَخْرُجُوْنَ مِنَ الْاَجْدَاثِ سِرَاعًا كَاَنَّهُمْ اِلٰى نُصُبٍ يُّوْفِضُوْنَۙ  ٤٣  خَاشِعَةً اَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ  ۗذٰلِكَ الْيَوْمُ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ ࣖ   ٤٤

(yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia), pandangan mereka tertunduk ke bawah diliputi kehinaan. Itulah hari yang diancamkan kepada mereka. (al-Ma’arij/70: 43-44)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 88


Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 199: Tiga Prinsip Utama dalam Bergaul

0
Tiga prinsip dalam bergaul
Tiga prinsip dalam bergaul

Hidup di dunia paling mulia adalah menjadi orang baik dalam bergaul. Yakni, menjadi pribadi yang suka berbuat kebaikan dan mengajak kepada kebenaran. Maka, agar dapat melakukannya, manusia harus mau berusaha dan membuktikannya dengan perbuatan yang nyata. Sepakat dengan Kiai Sahal, seorang ulama asal Kajen Pati sekaligus pengusung Fikih Sosial dalam petuahnya bahwa diamnya seseorang saja sudah bernilai baik, lain halnya dengan utilitas yang membutuhkan perjuangan untuk mewujudkannya.

Baca juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177

Urgensi menjadi manusia yang baik dan bermanfaat adalah selain untuk mengurangi populasi orang-orang bodoh, juga memerangi kebodohan itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 199,

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

Jadilah engkau (Muhammad) pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]: 199)

Ayat ini menjelaskan perintah Allah kepada utusan-Nya agar konsisten menggenggam tiga prinsip utama dalam bergaul yaitu murah hati, berseru kepada kebaikan serta menghindari kesia-siaan.

Pengarang Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an, Al-Baghawi menukil penuturan Ibnu Abbas bahwa Allah memberi perintah kepada Nabi saw agar lebih memilih memaafkan moral manusia. Mujahid senada dengan Ibnu Abbas dengan tambahan yakni memaafkan moral dan perilaku manusia tanpa memata-matai. Maksud memaafkan di sini adalah rasa tepa salira (tenggang rasa).

Diriwayatkan saat ayat ini turun, Nabi saw bertanya kepada Jibril as, “Apa maksudnya ayat ini?”, Jibril menjawab, “Aku tidak tahu sampai aku bertanya kepada Allah terlebih dahulu”, Kemudian Jibril kembali lagi dan berkata, “Sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkanmu untuk menjalin dengan orang yang memutus hubungan denganmu, berilah sesuatu kepada mereka yang tidak menghormatimu, dan maafkanlah mereka yang telah menzalimimu”.

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

Dalam ibadah sosial, menjalin hubungan baik dalam bergaul tidak hanya kepada teman dan kerabat, juga diperuntukkan kepada orang yang memutus hubungan dengan kita, orang yang tidak mau hormat kepada kita bahkan mereka yang suka zalim kepada kita. Sebuah pelajaran bahwa keburukan harus dibalas dengan kebaikan, bukan dengan kejahatan yang sama apalagi dendam. Dengan prinsip ini, maka potensi hilangnya masalah dan rasa permusuhan akan terminimialisir, syukur kalau kemudian saling berdamai.

Ibnu Abbas, Adh-Dhahhak, dan Al-Kalbi sepakat maksudnya adalah mengambil amnesti pajak, tepatnya sisa harta dari nafkah wajib keluarga. Kata “al-‘afwu” dalam ayat ini sama dengan ayat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 219, ayat ini turun sebelum zakat diwajibkan kemudian dinasakh.

Lanjut Al-Baghawi menafsiri “wa’mur bil ‘urf” dengan makruf, artinya semua sesuatu yang baik dan sesuai syariat. Sedangkan menurut Atha’ berarti mengucap laa ilaha illallah. Lalu “wa a’ridl ‘anil jahilin” yang dimaksud adalah Abu Jahal dan para komplotannya. Dikatakan bahwa jika ada orang bodoh menipumu maka jangan (membalasnya dengan) membandingkan dia dengan kebodohannya. Sesuai dalam potongan ayat dalam surah Al-Furqan ayat 63,

وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا

… Dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”. (QS. Al-Furqan [23]: 63)

Ayat diatas maksudnya adalah salamul mutarakah, yang berarti salam damai. (Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an/2/260)

Dari sisi hadis, Abu Abdillah Al-Jadali meriwayatkan dari Aisyah yang berkata,

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الْجَدَلِيِّ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: “لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا سَخَّابًا فِي الْأَسْوَاقِ، وَلَا يَجْزِي بِالسَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ وَلَكِنْ يَعْفُو وَيَصْفَحُ”

Nabi saw tidak pernah berkata buruk dan bukanlah orang yang keji, dan tidak berteriak-teriak di pasar. Tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, justru beliau mengampuni dan  memaafkan. (HR. Ibnu Hibban) (Sahih Ibn Hibban/14/355)

Sedangkan menurut Al-Wahidi dalam tafsirnya, arti “al-‘afwu” adalah memberi tanpa membebani. Maksudnya adalah menerima moral mereka dengan mudah tanpa menginvestigasinya yang dapat memicu kemarahan. Lalu memerintahkan mereka agar berbuat yang baik-baik (makruf), yaitu suatu perbuatan yang setiap orang dapat membenarkannya dan dapat diterima hati. Ini adalah pernyataan Muqatil, Urwah, dan Adh-Dhahhak.

Lanjut Al-Wahidi menafsirkan “berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” yaitu menahan diri saat berhadapan dengan mereka dari kebodohan mereka. Qatadah mengatakan ayat ini mengandung akhlak yang Allah perintahkan kepada Nabi saw, melalui ayat ini pula Allah menunjukkan bahwa ayat ini mencakup seluruh kemuliaan akhlak.

Diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu Abbas berkata, ‘Uyaynah ibn Hishn singgah di rumah keponakannya, Al-Hurr ibn Qais. Karena keponakanannya tersebut merupakan salah satu orang yang mempunyai kedekatan dengan Khalifah Umar, maka Uyaynah meminta keponakannya agar memintakannya izin untuk bertemu dengan Umar. Lalu Umar mengizinkan. Masuklah Uyaynah seraya berkata, “Hati-hatilah, hai putra Al-Khattab, demi Allah, engkau tidak memberikan banyak pemberian pada kami dan tidak pula menetapkan hukum di antara kita dengan adil”.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

Umar meresponsnya dengan marah sehingga hampir saja ia menjatuhkan hukuman padanya. Al-Hurr kemudian berkata, “Ya Amiral Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi-Nya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh“. Dan ‘Uyainah ini termasuk golongan orang-orang yang bodoh. Demi Allah, Umar tidak melewatkannya ketika Al-Hurr membacakan ayat tersebut. Umar adalah seorang yang amat mematuhi Kitabullah. (At-Tafsir Al-Wasith/2/437-438)

Al-Mawardi dalam tafsirnya menyebutkan, “Bagaimana bisa perintah untuk berpaling (dari orang-orang bodoh) bersamaan dengan perintah kewajiban ingkar kepada mereka?”. Dikatakan pula berpaling di sini adalah saat ada orang-orang bodoh yang suka menganggap remeh. Adapun ayat ini sebagai pesan kepada Nabi saw untuk memberi teladan kepada umatnya. (An-Nukat wa Al-‘Uyun/2/288)

Sepakat dengan Al-Mawardi, Ath-Thabari menambahkan dalam tafsirnya, perintah berpaling ditujukan kepada orang-orang bodoh yang zalim dan memusuhi, bukan orang bodoh yang awam terhadap kewajiban memenuhi hak-hak Allah. Tidak juga bermaksud berpaling untuk berdamai dengan orang kafir yang tidak meyakini keesaan Allah, sedangkan mereka dengan nyata telah memerangi umat islam. (Jami’ul Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an/13/332)

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Naml ayat 78-81

0
Tafsir Surah An Naml

Pada Tafsir Surah An-Naml ayat 78-81 diterangkan bahwa semua persoalan yang diselisihkan oleh Bani Israil telah diselesaikan oleh Allah. Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 78-81 ini bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah menyampaikan risalah, bukan menjadikan orang-orang musyrik beriman.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 64-77


Ayat 78

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia akan menyelesaikan semua persoalan yang diperselisihkan Bani Israil dengan keputusan-Nya yang adil lagi bijaksana. Dengan demikian, yang batil akan mendapat azab, dan yang benar akan diberi pahala sesuai dengan amalnya, karena Allah adalah Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Ayat 79

Setelah menerangkan sifat-sifat-Nya Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui, Allah memerintahkan Rasul supaya bertawakal sepenuhnya dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya. Dialah yang memberi kecukupan dan memberi pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh agama, karena Muhammad benar-benar berada di atas kebenaran yang nyata.

Perintah Allah kepada Nabi Muhammad supaya bertawakal kepada-Nya mengandung arti yang dalam. Isinya melarang Nabi untuk terpengaruh apalagi putus asa karena melihat orang-orang kafir selalu keras kepala, tidak menghiraukan malahan mencemoohkan seruannya. Walaupun Nabi keras kemauannya untuk mengislamkan mereka, namun bila hati mereka belum dibukakan oleh Allah, tetap saja mereka tidak akan beriman, sesuai dengan firman-Nya:

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)

Ayat 80

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak ditugaskan supaya menjadikan orang-orang musyrik itu beriman. Beliau hanya ditugaskan untuk menyampaikan seruan atau risalah dari Allah. Tidak termasuk wewenang beliau untuk memaksa orang kafir menjadi seorang mukmin.

Hal tersebut berada dalam kekuasaan Allah. Nabi tidak mampu memasukkan petunjuk ke dalam hati orang yang sudah terkunci mati. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Muhammad tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati itu mendengar dan tidak pula menjadikan orang-orang tuli mendengar panggilan, terlebih lagi bila hati mereka telah berpaling ke belakang.

Kalimat “orang-orang yang mati” dan “orang-orang yang tuli” dalam ayat ini adalah ungkapan metafora. Maksudnya adalah orang-orang musyrik itu dianggap sebagai orang yang sudah mati pikirannya, sudah tuli dan tidak dapat mendengar panggilan dan ajakan kebaikan.

Mereka telah berpaling ke belakang. Mereka diserupakan dengan orang yang mati dan orang yang tuli karena semua ayat yang dibacakan kepada mereka tidak berpengaruh sama sekali

Walaupun secara umum ayat ini menjelaskan bahwa orang yang telah mati tidak dapat mendengar seruan orang yang masih hidup, tetapi ada beberapa hadis yang sahih, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad pernah berbicara pada mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh waktu perang Badar dan dikubur bersama-sama dalam sebuah sumur.

Melihat hal itu, sebagian sahabat, di antaranya Umar bin Khattab, menyatakan keheranannya dengan bertanya mengapa Rasulullah berbicara dengan orang yang sudah meninggal. Menanggapi hal itu, Rasulullah bersabda:

مَا اَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ أَنْ يَرُدُّوْا عَلَيَّ شَيْئًا (رواه مسلم عن أنس بن مالك)

Kamu tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab. (Riwayat Imam Muslim dari Anas bin Malik)

Pengertian yang terkandung dalam hadis di atas adalah bahwa orang-orang yang masih hidup dan mayat-mayat itu sama dapat mendengar ucapan Nabi. Akan tetapi, orang yang masih hidup dapat menjawab, sedangkan mereka tidak. Dalam beberapa hadis yang sahih diterangkan pula oleh Nabi bahwa bila seorang mayat telah selesai dimasukkan ke kuburnya, ia dapat mendengar suara sepatu atau terompah orang-orang yang mengantarnya.

Sebagai seorang penyampai risalah Allah, Nabi tidak dapat memberi hidayah kepada orang-orang musyrik untuk menjadi mukmin sebagaimana yang terjadi dengan paman Nabi yaitu Abu Thalib yang hingga akhir hidupnya tidak beriman. Firman Allah:

اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (al-Qashash/28: 56)

Tugas Nabi hanya memberi petunjuk dalam arti memberi bimbingan (irsyad), memberi keterangan (bayan), dan melaksanakannya, sebagaimana firman Allah:

وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ

Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.(asy-Syura/42: 52)

Pengertian hidayah pada Surah al-Qashash/28: 56 di atas adalah “taufik”. Hal ini mengandung pengertian bahwa Nabi tidak mempunyai kewenangan untuk memberi taufik kepada manusia, walaupun terhadap orang yang dicintainya, misalnya Abu Thalib. hanya Allah yang dapat memberi hidayah dalam arti taufik kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya.

Adapun hidayah pada Surah as-Syura/42: 52 bermakna “tabyin dan irsyad”. Hal ini berarti bahwa Nabi mempunyai kewenangan untuk memberi penjelasan dengan petunjuk yang luas.

Ayat 81

Pada ayat ini, Allah memperkuat pengertian ayat sebelumnya bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak dapat memalingkan orang-orang buta yang telah terkunci hatinya dari kesesatan. Mata hatinya tidak dapat diberi petunjuk kepada jalan yang lurus karena ada hijab atau dinding yang menutupi pandangannya, sehingga tidak dapat melihat kebenaran sama sekali.

Nabi Muhammad tidak dapat menjadikan seseorang dapat mendengar seruannya dengan pendengaran yang positif, kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah, lalu berserah diri secara tulus ikhlas kepada-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 82-87