Beranda blog Halaman 321

Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

0
Bolehkah menyerahkan zakat kepada keluarga sendiri?
Bolehkah menyerahkan zakat kepada keluarga sendiri?

Menyerahkan zakat atau sedekah sunnah kepada keluarga sendiri yang masuk kategori tidak mampu bukanlah sesuatu yang asing di kalangan umat muslim. Di satu sisi hal itu dipandang baik. Sebab berdasar hadis nabi, selain apa yang diberikan dapat membantu ekonomi mereka, juga akan mempererat tali silaturahim.

Namun di sisi lain hal itu menimbulkan masalah. Di antaranya pada saat keluarga yang diberi adalah anak atau orang tua yang wajib dinafkahi oleh orang si pemberi zakat. Sebab hal itu sama saja memberikan zakat pada orang yang wajib kita tunaikan zakatnya. Lalu bagaimana sebenarnya hukum menyerahkan zakat fitrah kepada kerabat sendiri? Berikut penjelasan ulama’.

Baca juga: Haruskah Zakat Fitrah Dibagikan Secara Merata ke Delapan Golongan?

Keumuman Status Delapan Golongan Penerima Zakat di dalam Al-Qur’an

Keumuman ayat yang menjelaskan delapan golongan penerima zakat, berpotensi menunjukkan bolehnya menyerahkan zakat fitrah kepada keluarga sendiri. Allah berfirman:

 اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah [9] :60)

Pada ayat di atas, secara umum Allah menjelaskan bahwa zakat diserahkan kepada delapan golongan tersebut. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan masing-masing golongan terutama terkait status si penerima zakat memiliki hubungan kerabat dengan si pemberi zakat. Namun oleh karena sebagian kesimpulan dari keumuman ayat tersebut bertabrakan dengan ketentuan dalam mengeluarkan zakat, sebagian ulama’ angkat bicara terkait menyerahkan zakat kepada kerabat sendiri yang masuk kategori delapan golongan yang berhak menerima zakat.

Baca juga: Peran Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama di Bulan Ramadan

Imam Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur’an menyatakan, ulama fikih berbeda pendapat mengenai hukum memberikan zakat kepada kerabat sendiri. Mazhab Hanafiyah menyatakan bahwa zakat tidak boleh diserahkan kepada orang tua ke atas, anak ke bawah, serta istri. Maksud dari orang tua keatas adalah mencakup orang tua sendiri, kakek-nenek, buyut dan seterusnya. Sedang maksud dari anak ke bawah adalah mencakup anak sendiri, cucu, cicit dan seterusnya.

Mazhab Malikiyah dan Syafiiyah menyatakan, tidak boleh memberikan zakat kepada kerabat yang si pemberi zakat berkewajiban menanggung nafkah mereka. Hal ini berarti mencakup orang tua, anak dan istri. Sedang Ibn Syubramah menyatakan bahwa tidak boleh memberikan zakat pada kerabat yang menjadi ahli waris bagi si pemberi zakat. Ini adalah pendapat berbagai mazhab secara umum. Untuk perincian serta ketentuan-ketentuannya dapat dirujuk kepada karya yang membahas fikih mazhab mereka secara langsung (Ahkamul Qur’an/7/89).

Baca juga: Malam yang Diberkahi Lailatul Qadar atau Nishfu Syaban?

Dalam Mazhab Syafiiyah sendiri, tidak diperbolehkannya memberikan zakat kepada orang tua, anak dan istri, tidaklah berlaku secara mutlak. Hukum tidak boleh tersebut muncul bila ketiganya dinafkahi si pemberi zakat dan hendak diberi zakat atas nama fakir atau miskin. Sebab keberadaan si pemberi zakat secara tidak langsung menafikan kebutuhan mereka atas zakat. Oleh karena itu, orang tua, anak dan istri boleh menerima zakat bila nafkahnya tidak ditanggung si pemberi zakat, atau hendak diberi atas nama selain fakir dan miskin (Al-Majmu’/6/229).

Imam Al-Mawardi dari kalangan Mazhab Syafiiyah menyatakan, untuk kerabat yang nafkahnya tidak ditanggung oleh si pemberi zakat, maka dianjurkan mendahulukan memberikan zakat kepada mereka, daripada selain mereka. Hal ini menunjukkan bahwa zakat lebih diutamakan diberikan kepada kerabat, selama nafkahnya tidak menjadi tanggungan si pemberi zakat (Al-Hawi Al-Kabir/8/1355).

Kesimpulan

Berdasar berbagai keterangan di atas, menurut Mazhab Syafiiyah menyerahkan zakat kepada kerabat lebih utama dari selainnya. Namun ada rambu-rambu yang harus dipatuhi. Diantaranya adalah kerabat tersebut nafkahnya tidak ditanggung oleh si pemberi zakat, bila memang hendak diberi atas nama fakir atau miskin. Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surah An-Naml ayat 75-77

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 75-77 menerangkan bahwa apa saja yang terjadi di langit maupun bumi  sudah tercatat di Lauh Mahfuz. Selain itu Tafsir Surah An-Naml ayat 75-77 juga menjelaskan bahwa Al-Quran merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 75-77…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 64-74


Ayat 75

Pada ayat ini diterangkan bahwa semua yang gaib yang terjadi di langit dan bumi telah dicatat di Lauh Mahfuz, sesuai dengan firman-Nya:

اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّ ذٰلِكَ فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah. (al-Hajj/22: 70)

Ayat 76-77

Pada kedua ayat ini, Allah menerangkan keistimewaan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad, yaitu:

  1. Al-Qur’an memberi kepastian kepada Bani Israil tentang berbagai hal yang telah mereka perselisihkan terutama yang terkait dengan Isa al-Masih putra Maryam. Sebagian Ahli Kitab ada yang menganggapnya sebagai tuhan, ada pula yang memandangnya sebagai anak Allah, dan ada pula yang menganggapnya sebagai oknum ketiga dalam trinitas. Ada pula yang memandangnya sebagai nabi palsu, sebagaimana ibunya, Maryam, dituduh telah melakukan perbuatan zina.
  2. Al-Qur’an benar-benar menjadi petunjuk bagi orang-orang beriman karena mengandung berbagai dalil dan bukti yang menunjukkan kebenaran tauhid yang menjadi inti risalah para nabi. Al-Qur’an juga berisi hukum-hukum yang sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini meyakinkan orang yang membaca Al-Qur’an bahwa kitab ini benar merupakan wahyu dari Allah.
  3. Al-Qur’an juga merupakan rahmat bagi orang-orang mukmin. Meskipun Nabi Muhammad itu seorang ummi yang tidak dapat membaca dan menulis, dan belum pernah bergaul dengan pemuka-pemuka Ahli Kitab sebelum menjadi rasul, tetapi karena Al-Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, maka ia berisi lengkap tentang kisah-kisah dari para nabi dan umat terdahulu sebagaimana diuraikan dalam kitab Taurat dan Injil.

Perselisihan pendapat di kalangan Ahli Kitab memang sudah sangat mendalam dan menyangkut hal-hal yang prinsip seperti pendapat tentang trinitas, adanya Tuhan Bapa dan Tuhan Anak. Ada juga yang me-nganggap bahwa Isa al-Masih sebagai nabi palsu, nabi terakhir adalah Yusya dan sebagainya.

Jika para Ahli Kitab mempelajari kitab mereka dengan jujur, dan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran tanpa sentimen kebangsaan atau kesukuan, niscaya mereka akan mendapat kesimpulan bahwa nabi yang diisyaratkan dalam Kitab Taurat tidak lain adalah Nabi Muhammad karena sifat-sifat yang disebutkan dalam Kitab Taurat memang sama dengan sifat-sifatnya.

Akan tetapi, karena Nabi Muhammad bukan dari keturunan Bani Israil, mereka sukar menerima kebenaran itu. Dalam kitab Perjanjian Lama, kitab Ulangan (Deuteronomium 18: 18) disebutkan demikian, “Bahwa Aku (Tuhan) akan menjadikan bagi mereka itu seorang nabi dari antara segala saudaranya, yang seperti engkau (Musa), dan Aku akan memberi segala firman-Ku dalam mulutnya dan ia pun akan mengatakan kepadanya segala yang Kusuruh akan dia.

Bahwa sesungguhnya barang siapa yang tidak mau mendengar segala firman-Ku, yang akan dikatakan olehnya dengan nama-Ku, niscaya Aku menuntutnya kelak kepada orang itu.”

Isyarat dari kitab Ulangan itu mengandung pengertian bahwa nabi yang akan diutus Allah setelah Nabi Musa itu ialah dari saudara-saudara Bani Israil, yaitu Bani Ismail atau bangsa Arab, sebab Israil atau Yakub dan Ismail adalah sama-sama keturunan Nabi Ibrahim. Ismail adalah putra Ibrahim dan Yakub adalah putra Ishak, yang juga putra Ibrahim. Nabi yang akan diutus adalah seperti Musa.

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar dari persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan.

Jika mereka sadar dan insaf serta menjauhkan diri dari ajakan hawa nafsu dan sentimen kesukuan, mereka akan merasakan hak dan kemurnian ajaran Al-Qur’an itu. Akan tetapi, karena terhalang oleh ketakaburan, mereka tetap menolaknya, padahal sudah jelas tampak dalil-dalil kebenarannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml 78-81


Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74 menerangkan tentang keingkaran orang-orang kafir terhadap hari akhir. Alasan orang-orang kafir tersebut tidak mempercayai karena mereka telah mendapat ancaman serta dongeng-dongeng dari leluhurnya mereka. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74 ini dijelaskan pula meskipun orang kafir tersebut ingkar Allah yang Maha Penyantun tetap memberi kesempatan untuk mereka bertaubat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66


Ayat 67

Pada ayat ini, Allah menerangkan keingkaran orang-orang kafir terhadap hari Kebangkitan dari kubur. Mereka berkata, “Apakah setelah kita mati dan menjadi tanah, dan begitu pula nenek moyang kita, akan dikeluarkan kembali dalam keadaan hidup dari kubur?” Pertanyaan mereka itu diucapkan secara sinis yang menunjukkan seolah-olah peristiwa itu mustahil akan terjadi, seperti tercantum dalam firman Allah:

وَقَالُوْٓا ءَاِذَا كُنَّا عِظَامًا وَّرُفَاتًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ خَلْقًا جَدِيْدًا

Dan mereka berkata, “Apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” (al-Isra’/17: 49)

Ayat 68

Pada ayat ini, Allah menerangkan alasan orang-orang kafir yang mengingkari hari Kebangkitan dengan ucapan mereka bahwa sesungguhnya mereka selalu diberi ancaman seperti itu sejak nenek moyang mereka dahulu. Itu tidak lain hanya dongengan orang dahulu kala yang sama sekali tidak berdasarkan kenyataan.

Ayat 69

Pada ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad saw agar memberi nasihat dan petunjuk kepada orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan. Nabi saw menyuruh mereka untuk melakukan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana nasib orang-orang yang berdosa di antara umat-umat terdahulu yang mendustakan Allah dan para rasul yang diutus-Nya.

Bagaimana umat-umat itu telah mengalami kehancuran sebagai akibat kekafiran mereka kepada Allah dan hari Kebangkitan. Hendaknya peristiwa-peristiwa itu menjadi pelajaran bagi mereka. Akan tetapi, mereka tetap saja dalam keingkaran, sehingga mereka akan mengalami kehancuran, berdasarkan sunatullah yang tetap berlaku.

Ayat 70

Pada ayat ini, Nabi Muhammad diperintahkan Allah supaya berlaku sabar dan tenang menghadapi bermacam-macam tantangan dan cemoohan dari orang-orang kafir itu. Nabi dilarang bersedih hati dan putus asa menghadapi tipu daya mereka karena Allah pasti memberi pertolongan sehingga agama Islam akan tersebar luas ke seluruh pelosok bumi, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya, seperti tercantum dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (at-Taubah/9: 33)

Ayat 71

Pada ayat ini diterangkan bahwa orang-orang Quraisy tidak saja mengingkari hari Kebangkitan, bahkan mereka menantang dengan menyuruh Nabi Muhammad mendatangkan azab yang diancamkan kepada mereka. Tantangan itu menunjukkan sikap mereka yang benar-benar mendustakan adanya hari Kebangkitan.

Bahkan, mereka menge-mukakan tuntutan kepada Nabi Muhammad untuk mempercepat datangnya ancaman Allah dengan ucapan mereka, “Bilakah datangnya azab yang kamu ancamkan kepada kami jika memang kamu orang-orang yang bisa dipercaya?”

Ayat 72

Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74 khususnya pada ayat 72 ini, Nabi Muhammad disuruh Allah menjawab pertanyaan orang-orang Quraisy itu dengan mengatakan bahwa azab yang mereka tunggu-tunggu dan ingin disegerakan itu sebentar lagi pasti akan datang. Secara kenyataan, azab itu muncul berupa kebinasaan dan kekalahan yang akan mereka alami waktu Perang Badar. Sebanyak 70 orang di antara pemimpin mereka, termasuk Abu Jahal, terbunuh dan 70 orang lainnya menjadi tawanan perang.

Ayat 73

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa azab yang mereka minta disegerakan itu tidak diturunkan karena Ia benar-benar mempunyai karunia besar untuk manusia. Allah yang Maha Penyantun tidak segera menurunkan azab-Nya, bahkan sebaliknya memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan menyadari kesesatan mereka sehingga dengan penuh kesadaran menerima petunjuk Allah yang dibawa oleh Nabi-Nya. Kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada jalan kebenaran itu adalah karunia yang besar, tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Hal ini tersebut pula dalam firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ

Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (al-Baqarah/2: 243)

Ayat 74

Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74 pada ayat 74 ini, Allah menjelaskan bahwa Dia benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan di dalam hati dan apa yang mereka nyatakan. Dia mengetahui apa yang mereka sembunyikan tentang permusuhan mereka terhadap Rasulullah dan apa yang mereka nyatakan dalam perbuatan dan tipu muslihat. Allah akan memberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka itu. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:

سَوَاۤءٌ مِّنْكُمْ مَّنْ اَسَرَّ الْقَوْلَ وَمَنْ جَهَرَ بِهٖ وَمَنْ هُوَ مُسْتَخْفٍۢ بِالَّيْلِ وَسَارِبٌۢ بِالنَّهَارِ

Sama saja (bagi Allah), siapa di antaramu yang merahasiakan ucapannya dan siapa yang berterus-terang dengannya; dan siapa yang bersembunyi pada malam hari dan yang berjalan pada siang hari. (ar-Ra’d/13: 10)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 75-77


 

Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66 menerangkan bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui perkara yang gaib baik di langit maupun di bumi selain Allah. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66 Allah juga mengingatkan kepada manusia akan adanya hari kiamat dan juga hari akhir.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64


Ayat 65

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menerangkan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui perkara yang gaib baik di langit maupun di bumi selain Allah, sesuai dengan firman-Nya:

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ

Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. (al-An’am/6: 59)

Dan firman-Nya pula:

اِنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗ عِلْمُ السَّاعَةِۚ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْاَرْحَامِۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًاۗ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ࣖ

Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (Luqman/31: 34)

Maksud perkara gaib di sini ialah persoalan-persoalan yang ada hubungannya dengan keadaan dan kehidupan di akhirat dan persoalan-persoalan di dunia yang berada dalam lingkungan hidup manusia dan dapat dirasakan tetapi di luar kemampuan manusia mencapainya. Diriwayatkan dari Masruq dari ‘Aisyah beliau berkata:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ االلهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَنْ زَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْلَمُ مَا يَكُوْنُ فِي غَدٍ فَقَدْ أَعْظَمَ الْفِرْيَةَ عَلَى اللهِ لأَنَّ الله يَقُوْلُ: قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ. (رواه مسلم)

Dari ‘Aisyah r.a., beliau berkata, “Barang siapa yang beranggapan bahwa Nabi Muhammad saw mengetahui apa yang akan terjadi besok, maka ia telah berdusta besar terhadap Allah, karena Allah menyatakan, ‘Katakan, tidak ada yang tahu tentang kegaiban langit dan bumi kecuali Allah’.” (Riwayat Muslim)

Pada ayat ini disebutkan salah satu di antara yang gaib itu ialah mereka tidak mengetahui bila akan dibangkitkan dari kubur pada hari Kiamat, karena kiamat itu datangnya secara tiba-tiba sesuai dengan firman Allah:

هَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا السَّاعَةَ اَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

Apakah mereka hanya menunggu saja kedatangan hari Kiamat yang datang kepada mereka secara mendadak sedang mereka tidak menyadarinya? (az-Zukhruf/43: 66) ;

Ayat 66

Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66 khususnya Pada ayat ini, Allah menerangkan kejahilan mereka tentang hari Kiamat. Terdapat dua pendapat dalam memahami ayat ini. Pertama, sesungguhnya pengetahuan mereka tentang akhirat itu tidak menyeluruh. Kedua, pengetahuan mereka tentang kiamat sangat sempurna, tetapi ketika tidak melihatnya dengan mata kepala di dunia, mereka mengingkarinya.

Bukan saja mereka tidak percaya dan tidak mengetahui kapan akan terjadinya kiamat, malahan mereka sangat ragu-ragu yang akhirnya menjurus kepada keadaan buta sama sekali tentang hari Kiamat. Dalil apa pun yang ditunjukkan kepada mereka tentang akan datangnya hari Kiamat, tetap mereka tolak.

Soal keimanan terhadap akan datangnya kiamat itu sangat perlu dimiliki oleh setiap orang yang ingin mendidik dirinya supaya menjadi manusia yang jujur dan bertanggung jawab. Bilamana ia yakin akan mendapat pemeriksaan terhadap dirinya pada hari Kiamat, maka ia akan selalu mengekang hawa nafsunya dari setiap penyelewengan dan kemungkaran.

Negara dan seluruh warga negaranya tidak akan dirugikan oleh semua sikap dan tingkah lakunya. Semua kebijaksanaannya menjurus ke arah keamanan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Agama merupakan unsur mutlak dalam pembangunan bangsa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 67-74


Pesan Prof Said Agil (2): 3 Keutamaan Rasulullah Sebagai Rahmatan Lil Alamin

0
Said Agil Husin Al-Munawar: 3 keutamaan Nabi sebagai rahmatan lil alamin
Said Agil Husin Al-Munawar: 3 keutamaan Nabi sebagai rahmatan lil alamin

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, tiga pesan Ali al-Shabuni terkait keutamaan Nabi saw sebagai rahmatan lil alamin, sebagaimana dikutip Prof Said Agil Husin Al-Munawar adalah sebagai berikut:

Mendapatkan Kebaikan yang Berlimpah di Dunia maupun Akhirat

Pesan ketiga adalah Nabi saw memastikan bahwa umat Islam mampu memperoleh kebaikan yang banyak baik di dunia maupun akhirat (naalu ‘ala yadaihi al-khairati al-katsirati fil awwal wal akhirah). Artinya, Nabi saw juga menggandeng tangan mereka untuk berusaha menggapai dan mendapatkan kebaikan yang berlimpah. Dengan demikian, mereka lebih mudah menerima syiar Islam. Logikanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mudah menerima sesuatu, jika kita tidak berusaha membantu menggapainya. Ini adalah sebuah teorisasi yang sangat luar biasa sekaligus legacy Nabi Muhammad saw dalam berdakwah dan bersosial.

Baca juga: Pesan Prof. Said Agil Husin Al-Munawar (1): Rasulullah Diutus Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, Tidak Hanya Rahmatan Lil Mu’minin

Pencerahan dari Kebodohan

Prof. Said Agil Husin menyebutnya dengan pencerahan (wa ‘allamahum ba’dal jahhalah). Terkait hal ini, beliau sedikit mendefinisikan term jahiliyah. “Zaman jahiliyah itu bukan berarti bangsa Arab itu bodoh, akan tetapi mereka itu tidak mengenal tuhan, tidak beradab dan berperikemanusiaan, mengedepankan hawa nafsu, tidak tahu bedanya milik sendiri dan milik orang lain, mana istri sendiri mana istri orang lain, tidak bisa membedakan mana haq dan bathil”. Tegas intelektual muslim berkelahiran Palembang

Lebih jauh, beliau menyitir Q.S. al-Mu’minun [23]: 71,

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَاۤءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ بَلْ اَتَيْنٰهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُوْنَ ۗ

“Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu” (Q.S. al-Mu’minun [23]: 71)

Maka sesungguhnya siapapun, ujar Prof Saif Agil Husin, yang ingin mencari kebenaran, tapi hawa nafsu yang dikedepankan, maka dijamin Al-Quran tidak akan muncul kebenaran namun kerusakan. Kalau ada yang menghalangi dipastikan akan terjadi pertumpahan darah. Itulah realitas masyarakat jahiliyah.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)

Membawa Petunjuk kepada Mereka Setelah Tersesat

Pesan terakhir dari wama arsanaka illa rahmatan lil alamin adalah wa hadahum min al-dhalalah (membawakan petunjuk kepada mereka setelah dalam kesesatan). Prof Said Agil Husin juga menjelaskan “Al-Quran berfungsi hudan lil muttaqin, hudan lin nas wa bayyinat, qad ja’akum burhanun min rabbikum, qad ja’akum minallahi nurun, yahdi bihillahi manit taba’a ridhwanahu subulas salam wa yakhrijuhum min al-dzulumat ilan nur, dan sebagainya”.

Katanya, “memang Al-Quran itu betul-betul difungsikan sebagai petunjuk”. Kemudian Prof Said Agil Husin kembali mengutip perkataan Muhammad Abdullah Darraz dalam al-Naba’ul Adzhim bahwa Al-Quran itu mukjizat tapi penyajiannya aktual. Memandang sesuatu (teks dan konteks) itu jangan dengan mata sebelah, tapi memandanglah ke depan. Dalam artian apakah sudah menurut ilmu pengetahuan atau belum, jangan sampai opini tak berdasar bermunculan sehingga berpotensi menggaduhkan atau memperuncing masalah.

Baca juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun (Keberimbangan)

“Dasarnya apa, ya Al-Quran. Untuk bisa memahami Al-Quran perlu mempelajarinya dengan seperangkat ilmu, baik ilmu tafsir, linguistik bahasa Arab, munasabah, maupun semacamnya. Imam al-Zarkasyi dalam mukaddimah al-Burhan-nya mengatakan bahwa banyak untuk mempelajari ilmu cabang Al-Quran dan turunannya secara sempurna, meski dirasa sulit, belum sampai sempurna umur kita sudah habis”.

Beliau juga kembali mengutip Kisah Nabi saw dalam Zad al-Ma’ad, karangan Ibn al-Jauzi, tentang Nabi saw memberi makan wanita tua yahudiyyah, namun setiap hari ia senantiasa diludahi ketika menyuapinya. Lalu pada satu ketika wanita tua ini terbaring sakit, Nabi saw lantas menjenguknya dan membawakan serantang makanana kesukaannya. Lalu, wanita itu hendak kabur karena takut dan merasa bersalah tak berdaya untuk melawan bahwa selama ini yang diludahi adalah Rasul saw.

Begitulah akhlak Nabi saw. Sebagai penutup, Prof Said Agil berwasiat bahwa sungguh apa yang dibawa Rasul saw ini rahmannya tidak terbatas hingga pada kuffaru ruh al-mubin sehingga orang yang tidak beriman sekalipun mampu merasakan percikan atau resonansi rahmatnya. Dan Al-Quran diturunkan untuk menyelamatkan kita, maka sampaikanlah dengan penuh rahmat dan kasih sayang. Wallahu a’lam.

Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

0
Anak Yatim
Anak Yatim

Islam – sebagai agama kemanusiaan – sangat memperhatikan kondisi sosial setiap elemen masyarakat, termasuk golongan fakir miskin dan anak yatim. Bahkan, yang terakhir, yakni anak yatim, memiliki posisi istimewa di dalam ajaran Islam. Ada banyak perintah, baik melalui Al-Qur’an maupun hadis, yang memuat anjuran menyantuni anak yatim dan menjaga hak-hak mereka.

Berdasarkan penelusuran penulis, dalam Al-Qur’an setidaknya ada 22 ayat yang berbicara mengenai anak yatim. Ayat-ayat tersebut berisi tentang anjuran menyantuni anak yatim melalui sedekah, melindungi hak-hak mereka seperti harta waris, menjaga keberlangsungan hidup mereka, larangan memakan harta mereka, dan memperbaiki taraf hidup mereka sebaik mungkin.

Hal serupa juga dapat ditemui dalam hadis nabi Muhammad saw. Sebagai seseorang yang pernah menjadi anak yatim, beliau sangat peduli dan perhatian terhadap mereka. Tak jarang beliau menyantuni anak yatim, baik dengan memberi perhatian lebih atau memberikan mereka berbagai kebutuhan hidup. Tindakan beliau ini selain merupakan ajaran Islam, itu juga merupakan manifestasi kepedulian pribadi.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Dalam banyak kesempatan nabi Muhammad saw turut memerintahkan para sahabatnya untuk menyantuni anak yatim. Misalnya, Imam Bukhari dalam Sahih al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d bahwa Rasulullah bersabda, “Saya dan orang yang memelihara anak yatim itu dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya serta merenggangkan keduanya.”

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berisi tentang anjuran menyantuni anak yatim adalah surah al-Baqarah [2] ayat 220:

فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ ۗ وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَاَعْنَتَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ٢٢٠

Tentang dunia dan akhirat. Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik!” Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia datangkan kesulitan kepadamu. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 220).

Setelah turunnya ayat berkenaan larangan mendekati harta mereka kecuali dengan cara yang baik pada surah al-An’am [6] ayat 152 dan ancaman terhadap orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya pada surah an-Nisa [4] ayat 10, orang-orang menjadi takut dan sekuat tenaga berusaha menghindari harta anak yatim yang ada pada kekuasaan mereka (Tafsir al-Misbah [1] 471).

Imam al-Suyuthi bahkan menceritakan dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul bahwa orang-orang saat itu sampai memisahkan makanan-minuman mereka dengan makanan-minuman anak yatim karena takut dianggap memakan harta mereka. Jika makanan dan minuman anak yatim tersisa, mereka menyimpannya, tidak menyentuhnya sama sekali – dan tak jarang – hingga menjadi basi

Peristiwa ini tentu membuat mereka gundah-gulana. Sebab, di satu sisi mereka tidak ingin dianggap memakan harta anak yatim, namun di sisi yang lain mereka tidak ingin kesulitan mengatur harta tersebut dan tidak ingin kejadian makanan-minuman basi terus terulang. Akhirnya, sebagian dari mereka memberanikan diri untuk bertanya mengenai persoalan ini kepada nabi saw (Tafsir al-Sa’adi: 99).

Lalu nabi Muhammad saw menjawab sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 220, “Mengurus urusan mereka secara patut adalah lebih baik.” Maksudnya, mereka harus mendidik, bergaul, memelihara, dan mengembangkan harta mereka dengan sewajarnya. Sikap semacam inilah yang diinginkan oleh ajaran Islam terhadap para penanggung jawab anak yatim (Tafsir Ibnu Katsir [1] 578).

Sedangkan apa yang selama ini dilakukan, yakni memisahkan makanan mereka dengan makanan anak yatim adalah hal yang tidak lumrah terjadi dan tidak diinginkan. Tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Allah swt berfirman, “Dan jika kamu mencampuri (dalam makanan dan sebagainya) mereka, maka mereka adalah saudara-saudaramu.

Quraish Shihab menyatakan, melalui surah al-Baqarah [2] ayat 220 Allah swt ingin menegaskan kepada para pengasuh anak yatim untuk memperlakukan mereka dengan sewajarnya disertai dengan kasih sayang sebagaimana hubungan antara keluarga dan saudara. Jangan ada bias antara satu dengan yang lain seperti memperlakukan anak yatim secara berbeda (ke arah negatif).

Para pengasuh itu juga tidak perlu takut soal mencampur makanan mereka dengan makanan anak yatim atau hal-hal lain yang wajar dilakukan, karena pada hakikatnya mereka semua adalah keluarga dan saudara. Sesungguhnya Allah swt mengetahui siapa saja yang ingin bersikap sewajarnya dan siapa yang membuat kerusakan terhadap anak yatim seperti orang yang mengambil hak anak yatim.

Kisah Kepedulian Nabi Muhammad saw Terhadap Anak Yatim di Hari Raya

Berkenaan anjuran menyantuni anak yatim, ada satu kisah menarik tentang kepedulian nabi Muhammad saw terhadap anak yatim di hari raya. Kisah ini dapat ditemukan dalam kitab Durratun Nashihin karya Syekh Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubawi. Kisah tersebut adalah gambaran kecil bagaimana seharusnya umat Islam memperlakukan anak yatim.

Dikisahkan bahwa suatu hari raya Nabi Muhammad saw keluar rumah untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Setelah itu beliau berjalan-jalan di sekitar kota Madinah. Di tengah perjalanannya, beliau menemui anak-anak yang sedang bermain dengan riang gembira. Namun di seberang mereka tampak seorang anak yang memakai pakaian seadanya dan terlihat sedang menangis tersedu-sedu.

Melihat hal tersebut, nabi Muhammad saw yang merasa iba kemudian mendekatinya dan berkata, “Anak, kenapa engkau menangis? Kamu tidak mau bermain dengan teman-temanmu?” Si anak menjawab dengan suara lirih, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah berperang menghadapi musuh dalam sebuah pertempuran dan ia gugur dalam perang tersebut.”

Si anak terus bercerita tentang keadaannya, sedangkan nabi Muhammad saw mendengarkannya dengan saksama, penuh perhatian dan kasih sayang. Setelah mendengarkan cukup lama tentang rangkaian peristiwa dan nasib malang yang menimpa anak tersebut, nabi saw kemudian bertanya lebih spesifik kepada si anak kenapa ia hanya menggunakan pakaian seadanya dan sendirian di hari raya.

Si anak berkata, “Ibuku mengikah lagi. Ia memakan harta warisan peninggalan ayahku dan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri. Kini aku tak memiliki apapun, makanan, minuman pakaian, dan tempat tinggalku telah diambil. Aku bukan siapa-siapa dan tidak memiliki siapa pun di sini. Ketika aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka, aku menjadi sedih dan rindu ayah, karena itulah aku menangis.”

Mendengar penuturan si anak, hati nabi Muhammad saw terenyuh dan seakan remuk. Beliau baru saja menyadari bahwa ternyata ada anak-anak yatim – dari sahabat yang gugur membela agama dan rasulnya – yang terlantar dan mengalami nasib nan begitu malang. Anak ini mungkin hanya salah satu dari sekian banyak anak yatim yang terlantar akibat ditinggalkan orang tuanya.

Beliau lalu membungkuk (duduk) di hadapan si anak seraya memegangi kedua tangannya dan berkata, “Nak, dengarkan baik-baik, apakah engkau sudi bila aku menjadi ayah dan Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu? Apakah engkau sudi wahai ananda?” tanya rasul dengan penuh kasih sayang.

Mendengar tawaran itu, si anak langsung mengerti bahwa orang yang di depannya tiada lain adalah nabi Muhammad saw. Ia lantas menjawab, “kenapa tak sudi ya Rasulullah?” Beliau lalu membawanya pulang ke rumah dan memberinya pakaian terbaik serta wangi-wangian. Nabi juga mempersilakannya makan sebanyak-banyaknya hingga kenyang.

Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

Setelah semuanya selesai, si anak kemudian keluar rumah dengan wajah riang gembira untuk bermain. Para sahabat yang melihat perubahan drastis si anak lantas bertanya, “Sebelum ini kau menangis, tetapi kini kau tampak sangat gembira. Apakah gerangan yang membuat suasana hatimu berubah secepat ini wahai anak kecil yang rupawan?”

Si anak menjawab, “tadinya aku lapar, tetapi lihatlah sekarang tidak lagi, aku sudah kenyang. Dulu aku tidak berpakaian, sekarang aku mengenakan pakaian bagus. Dulu aku sendirian (anak yatim), tetapi sekarang aku memiliki keluarga yang sangat perhatian. Rasulullah saw ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan fatimah adalah saudariku. Dengan semua itu, bagaimana mungkin aku tidak bahagia?”

Dari surah al-Baqarah [2] ayat 220 dan kisah perhatian nabi Muhammad saw terhadap anak yatim di hari raya Idul Fitri, kita dapat memahami bahwa dalam Islam manusia diajarkan untuk memperhatikan dan menyantuni anak yatim dengan baik. Sebab, mereka adalah anak-anak yang rentan mengalami kekerasan, kecurangan, dan kesengsaraan. Tanpa perlindungan, mereka akan sulit untuk bertahan hidup apalagi bermanfaat bagi orang lain. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64 ini mengulas tentang keEsaan Allah swt. Allah yang telah menciptakan alam semesta dan juga manfaatnya bagi makhluk hidup. Oleh sebab itu dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64 ini manusia harus merenungi alasan apalagi yang membuat mereka berpaling dari Allah.

Selengkapnya Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60


Ayat 61

Pada ayat ini, Allah mengemukakan pertanyaan yang kedua dalam rangka mengungkapkan kesesatan penyembah-penyembah berhala. Ditanyakan bahwa apakah yang layak disembah itu berhala-berhala yang tidak memberi manfaat dan mudarat, ataukah Tuhan yang telah menjadikan bumi sebagai tempat kediaman bagi manusia dan hewan-hewan, Tuhan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya untuk menjadi sumber minuman manusia dan hewan peliharaan, serta untuk menyiram tanaman, Tuhan yang menjadikan gunung-gunung untuk mengokohkan bumi yang banyak mengandung manfaat dengan adanya hutan-hutan di atasnya dan berbagai logam dan mineral di dalamnya, dan Tuhan yang menjadikan pemisah antara air laut yang asin dengan sungai yang membawa air tawar ke muaranya.

Air sungai yang tawar itu setelah sampai di laut tidak langsung menjadi asin. Dalam merenungkan semua kejadian alam itu apakah masih ada terbesit pikiran adanya tuhan selain Allah? Sebenarnya mereka itu tidak mengetahui nilai keagungan Allah Maha Pencipta, sehingga menyamakan-Nya dengan berhala-berhala yang sama sekali tidak memberi manfaat dan mudarat itu.

Menurut kajian ilmiah, bumi pada ayat ini dapat dipahami sebagai daratan. Secara umum, daratan merupakan tempat berdiam manusia. Sungai-sungai yang ada di daratan selalu terletak pada bagian terendah permukaan bumi, yang merupakan celah antara gunung-gunung dan dataran-dataran yang lebih tinggi.

Kemudian, laut-laut terpisah antara satu dengan yang lain karena adanya daratan pemisah seperti semenanjung, pulau-pulau, atau karena sebaran geografis benua-benua. Penyebaran dan bentuk daratan serta pulau-pulau di muka bumi ini umumnya dianggap terjadi dengan sendirinya yang merupakan bagian atau akibat dari proses alam, pada hakikatnya adalah atas kehendak Allah.

Ayat ini menjelaskan mengenai keadaan bumi yang layak untuk dihuni oleh makhluk manusia. Tentunya ini berhubungan erat dengan penciptaan langit dan bumi yang begitu sempurna. Seandainya sedikit saja terjadi perubahan pada “lintasan” matahari dan bulan terhadap bumi, atau berubah bentuknya, atau berubah salah satu unsurnya, atau berubah kecepatan berputar pada porosnya, atau berubah perputarannya mengelilingi matahari, atau berubahnya perputaran bulan di sekelilingnya, maka bumi ini pasti tidak akan kokoh dan tidak akan layak dihuni untuk suatu kehidupan.

Ayat 62

Pada ayat ini, Allah mengemukakan pertanyaan yang ketiga dalam rangka menyingkapkan tabir kesesatan penyembah berhala. Kedua pertanyaan sebelumnya mengenai bidang materi, sedang pertanyaan ketiga ini menyangkut kerohanian. Pertanyaan ini berkisar pada siapakah yang mengabulkan permohonan orang yang berada dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya.

Seperti penumpang sebuah kapal di tengah laut yang sedang diserang badai angin topan yang dahsyat, yang hampir tenggelam, kemudian ia berdoa memohon keselamatan kepada Allah. Apakah berhala yang dapat menyelamatkannya dari bahaya maut, ataukah Allah sendiri? Lalu siapakah yang menjadikan manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi? Adakah tuhan selain Allah yang dapat mengemudikan dan mengatur segala sesuatu di muka bumi ini? Hanya sedikit sekali manusia yang mau mengingat-Nya.

Ayat 63

Pada ayat ini, Allah mengemukakan pertanyaan keempat dalam rangka mengungkapkan tabir kesesatan penyembah berhala. Pertanyaan ini berkisar tentang siapakah yang memimpin manusia dalam perjalanan yang gelap di daratan dan lautan ketika mereka tersesat dari jalan yang benar? Bukankah Allah yang menciptakan bintang-bintang di langit yang dijadikan petunjuk jalan, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ النُّجُوْمَ لِتَهْتَدُوْا بِهَا فِيْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ

Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.(al-An’am/6: 97)

Dapatkah berhala-berhala yang mereka sembah itu memberi petunjuk kepada mereka dalam kegelapan di darat dan di laut? Tentunya tidak. Kalau begitu, mengapa mereka disembah? Siapa pulakah yang mendatangkan angin pembawa kabar gembira bagi para petani sebelum turun hujan yang merupakan rahmat besar dari Tuhan?

Dapatkah berhala-berhala itu berbuat seperti demikian? Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain? Mahasuci lagi Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan-Nya.

Ayat 64

Pada ayat ini, Allah mengemukakan pertanyaan yang kelima dalam rangka memperlihatkan keadilan dan keesaan-Nya, yaitu siapakah yang menciptakan manusia dari awal sampai terciptanya bentuk yang seindah-indahnya, kemudian mematikannya bila Dia kehendaki, lalu menghidupkannya kembali pada hari Kiamat setelah menjadi tulang-belulang?

Siapakah yang memberikan rezeki kepada manusia dari langit dan bumi dengan menurunkan air hujan dari langit yang menyebabkan kesuburan tanah yang menumbuhkan tanam-tanaman yang buahnya bisa dimakan oleh manusia dan binatang ternak? Apakah di samping Allah ada lagi tuhan yang lain?

Setelah mengemukakan lima pertanyaan di atas, yang seharusnya dipikirkan secara mendalam hingga menjadi bukti tentang kekuasaan dan keesaan-Nya, Allah menyuruh Nabi Muhammad supaya menanyakan kepada orang-orang penyembah berhala itu alasan dan bukti-bukti kebenaran sesembahan mereka, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu memang orang yang beriman.”

Demikian cara Al-Qur’an mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya harus dicari sendiri oleh manusia.

Pertama, air yang turun ke bumi sehingga timbul kehidupan berupa kebun-kebun yang indah.

Kedua, menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang menyenangkan dengan adanya sungai, gunung, danau, dan laut.

Ketiga, manusia dijadikan khalifah di bumi, yaitu sebagai penguasa dan wakil Tuhan untuk melaksanakan hukum-Nya di muka bumi. Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi yang diciptakan Allah melakukan perjalanan di darat maupun pelayaran di laut untuk menyebarkan dakwah hukum-hukum Tuhan.

Yang terakhir yaitu meskipun manusia jika sampai pada waktunya meninggal dunia dan dikubur di bumi sehingga jasadnya hancur dan menjadi tanah, tetapi pada hari Kiamat ia dibangkitkan kembali. Demikianlah kekuasaan Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 65-66


Tafsir Ahkam: Makna Shalat Ied Pada Hari Raya Idul Fitri

0
Shalat 'Ied' Pada Hari Raya Idul Fitri
Shalat 'Ied' Pada Hari Raya Idul Fitri

Jelang momen hari raya, begitu menarik jika bersama-sama mengingat kembali serba-serbi tentang hari raya, Idul Fitri khususnya. Tentunya karena ini tafsiralquran.id, sajiannya akan dikemas dalam bingkai kajian tafsir dengan sedikit ‘polesan’ hukum dalam rubrik tafsir ahkam. Yakni perihal shalat ied pada hari raya Idul Fitri.

Tasyri‘ Salat ‘Ied

Pada tahun kedua hijrah, Rasulullah Saw. untuk pertama kalinya melakukan salat ‘ied, baik itu Idul Fitri dan Idul Adha secara berurutan. Hal ini sekaligus menandai bahwa awal pensyariatan salat ‘ied adalah di tahun tersebut. Namun demikian, tahukah pembaca jika dalil legitimasi (al-ashl) salat ‘ied ini telah ada jauh sebelum ia disyariatkan?

Dalam syarahnya atas kitab Fath al-Qarib, Syaikh Ibrahim al-Bajuriy (dalam satu naskah disebut Al-Bayjuriy) menjelaskan bahwa ashl pelaksanaan salat ‘ied adalah ayat kedua dari QS. Al-Kautsar, surat ke-108 dalam urutan tartib mushafiy,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”

Al-Kautsar sendiri tergolong surat periode makkiyyah. Ia turun sebelum Rasulullah Saw. melakukan hijrah ke kota Madinah. Dari kronologinya, surat ini merupakan upaya takrim dan tasyrif (pemuliaan) serta tabsyir (pemberian kabar gembira) kepada Rasulullah Saw. atas peristiwa duka yang belakangan itu menimpa beliau, yaitu wafatnya Sayyid Al-Qasim, putra pertama beliau dengan Sayyidah Khadijah radliya Allahu ‘anha.

Syaikh ‘Ali al-Shabuniy dalam Shafwah al-Tafasir-nya menceritakan bahwa setelah kabar duka ini tersebar, Al-‘Ash bin Wa’il, salah seorang tokoh kafir Qurays, seolah menemukan ‘momen besar’ untuk menghancurkan Rasulullah Saw. Ia bersama kroni-kroninya lantas mengatakan, “Sungguh Muhammad adalah seorang yang abtar, tiada keturunan baginya sepeninggalnya. Ketika ia mati kelak, berakhir sudah kisah-kisah tentangnya (tidak akan ada seseorang yang membicarakannya)”.

Baca juga: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 185: Anjuran Bertakbir di Hari Raya dan Bacaannya

Penjelasan Ayat Kedua QS. Al-Kautsar

Imam Al-Qurthubiy dalam Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an menyebutkan bahwa ada beberapa pemaknaan terhadap kata fa shalli dalam ayat kedua ini. Perbedaan makna ini muncul seiring dengan adanya perbedaan konteks yang melatar belakanginya.

Pertama, kata salat dimaknai sebagai salat-salat yang diwajibkan. Makna ini pada dasarnya merupakan konsepsi umum berkaitan dengan salat. Dimana ia adalah tiang agama dan pondasi terpenting dalam beribadah.

Kedua, secara khusus dimaknai dengan salat Shubuh di Muzdalifah. Pemaknaan ini didasarkan pada posisi Rasulullah Saw. yang saat ayat ini turun, beliau tengah berada di Muzdalifah. Dan di hari itu tidak ada ibadah salat yang ditunaikan sebelum melakukan penyembelihan kurban kecuali salat Shubuh.

Ketiga, fa shalli dimaknai dengan salat ‘ied. Alasannya sebagaimana pada pemaknaan sebelumnya, tetapi dengan adanya sedikit perbedaan. Yakni pelaksanaan salat ‘ied tidak diperuntukkan mereka yang berada di kota Mekah. Sementara Rasulullah Saw. kala itu tengah berada di Muzdalifah. Sehingga praktis tidak masuk dalam limitasi ini.

Baca juga: Masuk Masjid Aman Dari Virus? Berikut Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96

Namun demikian, meski terdapat perbedaan makna dalam ayat kedua ini, literatur fikih kita lebih masyhur menjadikannya sebagai landasan tasyri‘ salat ‘ied (makna ketiga), Idul Fitri maupun Idul Adha. Kendati eksplisit redaksi yang digunakan spesifik mengarah kepada salat Idul Adha, bukan Idul Fitri, dikarenakan indikasi ibadah kurban pada redaksi setelahnya, wanhar!

Pesan Idul Fitri

Kata ‘ied semula terambil dari bentuk ‘awd yang berarti kembali. Pengambilan sumber kata ini dilakukan mengingat adanya keberulangan ‘ied di setiap tahunnya. Sementara kata fitri terambil dari kata fithrah yang berarti khilqah atau asal penciptaan. Gabungan dua kata ini, Idul Fitri, lantas menciptakan pemaknaan baru, yaitu satu kondisi dimana seseorang telah kembali ke fitri (suci sebagaimana ia dahulu dilahirkan).

Makna kembali ke fitri ini sesungguhnya memberikan pesan akan rujukan terhadap pola-pola konstruksi hari raya dalam Islam. Syaikh Al-Bajuriy dalam lanjutan ulasannya mengungkapkan bahwa, itu lah mengapa kemunculan hari raya selalu didahului dengan ritual peribadatan tertentu. Dalam Idul Fitri kita mengenal adanya ibadah puasa Ramadlan: menahan nafsu, lapar dan dahaga selama satu bulan penuh. Dan dalam Idul Adha kita mengenal ibadah nusuk, haji dan umrah.

Baca juga: Masuk Masjid Aman Dari Virus? Berikut Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96

Sehingga predikat kembali ke fitri dapat diraih manakala seseorang telah menyelesaikan ‘tantangan-tantangan’ yang telah disiapkan sebelum hari raya. Sehingga pemaknaan lain dari kata ‘ied menurut Syaikh Al-Bajuriy adalah kembali-Nya Allah kepada hamba-Nya dengan balasan kebaikan dan kebahagiaan. Yang darinya melahirkan dhawuh,

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ. وَلَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالْمَرْكُوْبِ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْبُ.

“‘Ied bukan mengenakan segala sesuatu yang baru, sesungguhnya ‘ied adalah ketaatan yang bertambah selalu. ‘Ied juga bukan berhias dengan pakaian atau kendaraan, melainkan dosa-dosa yang telah mendapatkan ampunan.”

Itulah sebabnya kritik hari raya selalu diidentikkan dengan keberhasilan seseorang dalam menempuh ‘tantangan’ sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang merasa bahagia di hari nan fitri sementara sebelumnya ia tidak melakukan puasa, misalnya. Maka sungguh beruntung mereka yang benar-benar masuk dalam golongan dhawuh di atas, mereka yang benar-benar telah kembali ke fitri di hari nan suci. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H.

Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.

Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60 mengulas tentang perintah Allah kepada umat Nabi Muhammad. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60 ini Allah memerintahkan umat Islam untuk senantiasa mengucapkan pujian kepada-Nya, seperti ucapan Alhamdulillah. Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60 ini juga mengajarkan kita bagaimana caranya agar senantiasa mengingat Allah dari keindahan alam yang telah Allah ciptakan.


Baca Sebelumnya: Kisah Kuam Nabi Lut dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 54-58


Ayat 59

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya, agar mengucapkan puji-pujian yang tertera dalam ayat ini. Puji-pujian itu ialah al-hamdulillah, segala puji diperuntukkan hanya untuk Allah yang telah mengutus para rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang dimenangkan-Nya atas semua agama yang ada, walaupun orang-orang kafir dan orang-orang musyrik tidak menyenangi kemenangan itu.

Agama yang dibawa para Nabi itu adalah agama yang benar. Keselamatan dan kesejahteraan agar dilimpahkan Allah kepada para rasul yang diutus-Nya dan atas hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman. Ayat ini senada dengan ayat yang lain:

سُبْحٰنَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَۚ  ١٨٠  وَسَلٰمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَۚ   ١٨١  وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ  ١٨٢

Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Yang Mahaperkasa dari sifat yang mereka katakan. Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam. (ash-Shaffat/37: 180-182).

Ayat ini merupakan pengajaran yang baik, dan budi pekerti yang tinggi. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar orang-orang yang beriman  mengakhiri segala perbuatannya, seperti bicara, menulis kitab, dan sebagainya dengan memuji Allah dan bersalawat kepada rasul.

Kemudian ayat ini menyuruh manusia berpikir dan membandingkan mana yang terbaik antara Allah dengan sesuatu yang mereka persekutukan dengan-Nya. Sekalipun menurut lahirnya ayat ini menyuruh manusia agar memperbandingkan Allah dengan berhala-berhala, tetapi maksudnya ialah bahwa dengan keterangan dan bukti yang telah dikemukakan, seandainya orang-orang kafir mau menggunakan pikirannya, tentulah mereka sampai kepada kesimpulan bahwa Allah-lah yang berhak disembah, bukan berhala-berhala yang tidak mampu berbuat sesuatu itu.

Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah membaca ayat ini, maka beliau mengucapkan:

 بَلِ اللهُ خَيْرٌ وَاَبْقَى وَاَجَلُّ وَاَكْرَمُ وَأَجَلُّ وَأَعْظَمُ مِمَّا يُشْرِكُوْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ. (رواه البيهقي عن على بن الحسين)

Bahkan Allah lebih baik, lebih kekal, lebih agung, dan lebih mulia daripada apa yang mereka sekutukan. Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (Riwayat al-Baihaqi  dari ‘Ali bin al-Husain)

Ayat 60

Pada ayat ini, Allah melontarkan beberapa pertanyaan yang menggugah perhatian mereka terhadap keberadaan-Nya, dengan memperhatikan hal-hal penting yang ada di sekeliling mereka. Pertanyaan itu berkisar pada siapakah yang menciptakan langit, bumi, dan segala isi yang terdapat di dalamnya, dan yang menurunkan air hujan dari langit untuk manusia lalu dengan sebab air hujan tumbuhlah kebun-kebun yang indah, yang manusia sendiri sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya.

Ayat ini perlu mendapat perhatian terutama oleh mereka yang sering mengadakan perjalanan keliling sebagai wisatawan atau lainnya, ketika melihat pemandangan yang indah, seperti kebun raya, kebun binatang, aquarium, berbagai pameran hasil industri pertanian, pertekstilan, dan sebagainya.

Mereka harus memandang keindahan alam yang di depan dan di sekelilingnya sebagai cermin yang menampakkan segala keindahan, keagungan, dan kesempurnaan Allah. Dengan mengamalkan cara yang demikian itu, maka ingatan manusia akan selalu tertuju kepada Allah. Dengan demikian, ketika manusia melihat setiap makhluk, pasti ia akan mengingat Khaliknya.

Bila hal itu telah menjadi kebiasaan, maka ia akan merasakan ketauhidan yang murni, bersih dari segala unsur kemusyrikan. Maka pertanyaan tersebut patut dilanjutkan dengan pertanyaan kedua: “Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain?” Tentu saja jawabannya adalah: “Tidak, sebab hanya Allah satu-satunya Tuhan yang berhak di sembah.”

Sebenarnya orang-orang yang menyembah berhala itu adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Sebab, jika mereka ditanya, “Siapakah yang menurunkan air hujan dari langit yang kemudian menghidupkan dengan air itu bumi yang tadinya mati,” mereka menjawab, “Allah” sesuai dengan firman-Nya:

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ مِنْۢ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ

Dan jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?” Pasti mereka akan menjawab, “Allah.” (al-’Ankabut/29: 63)

Orang-orang penyembah berhala itu sebenarnya mengakui bahwa berhala mereka tidak dapat menurunkan air hujan yang menjadi penyebab kemakmuran bumi, tetapi mengapa mereka tetap juga menyembahnya. Jawaban mereka itu hanya karena mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka, walaupun tidak sejalan dengan logika orang yang berpikiran sehat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 61-64


Jalan Sunyi dan Tugas Berat Menjadi Penerjemah Al-Qur’an

0
Penerjemah Al-Qur'an
Penerjemah Al-Qur'an

Dalam lima tahun terakhir ini, sepanjang studi saya tentang penerjemahan al-Qur’an, saya merasakan betapa menjadi penerjemah al-Qur’an adalah pekerjaan yang berat.  Apa yang menjadikannya berat? Yang membuat berat adalah teks yang diterjemahkan, yakni kitab suci. Pemeluk agama yang memiliki kitab suci, di satu sisi, menyakini misi penyebarkan firman Tuhan. Namun, di sisi lain, mereka menghadapi kebingungan. Kata-kata atau firman di dalam kitab tersebut bersifat suci (holy). Tidak mungkin menggantikannya atau mencarikan padanannya (equivalency).

Padahal penerjemahan itu pada hakikatnya tidak hanya sekadar mengganti makna-kata dari bahasa asli ke makna-kata bahasa sasaran. Tetapi juga melakukan rekonstruksi struktural di mana makna-makna-kata bahasa sumber tersebut melekat. Di dalam kitab suci, pilihan kata, struktur kalimat, gaya bertutur, dan sebagainya dinilai suci. Sehingga menggantikan pilihan kata, struktur kalimat, gaya bertutur teks kitab suci beresiko mendapatkan kritik dan bahkan hujatan.

Dalam studi penerjemahan al-Qur’an sering muncul frasa “translating the untranslatable” atau “menerjemahkan yang tak-bisa-diterjemahkan”. Sebab ada incompatibility (tidak kompatible) antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Makanya, tidak semua agama menyukai penerjemahan atas kitab sucinya sebab aspek kesucian bahasa kitab tersebut.  Di sinilah menerjemahkan kitab suci menjadi pekerjaan yang berat.

Baca Juga: Al-Qur’an Terjemah Bahasa Bali Pertama: Cakepan Suci Al-Qur’an Salinan Ring Basa Bali

Tarif Khalidi, seorang penerjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, membagikan pengalamannya sebagai penerjemah al-Qur’an. Pengalaman tersebut, ia tuangkan dalam sebuah tulisan berjudul Reflections of Qur’an Translator (2013). Menurutnya, ada tiga beban berat dalam menerjemahkan al-Qur’an.

Pertama, adalah menentukan pilihan kata atau frasa pengganti kata atau frasa bahasa sumber. Memilih yang terbaik dari beberapa pilihan kata yang ada. Dalam konteks Indonesia misalkan, tim penerjemah al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama, pasti melakukan perdebatan yang sengit ketika menerjemahkan kata qawwamun (QS. An-Nisa [4]:34). Edisi-edisi awal (1965, 1971 hingga 1990) menerjemahkan qawwamun dengan pemimpin. Sedangkan edisi 2002, mengganti terjemah pemimpin dengan pelindung. Dan di edisi terakhir (2019), mengganti pelindung dengan penanggungjawab. Untuk menentukan pemimpin, pelindung dan penanggungjawab tentu melewati sekian perdebatan (dispute), apalagi al-Qur’an dan Terjemahnya Kementerian Agama ini disusun oleh tim (terdiri dari banyak orang). Pilihan kata yang tidak tepat (tidak yang terbaik) hanya mengakibatkan kritik dan bahkan hujatan. Pilihan kata pemimpin, dihujat oleh generasi reformis sebagai bentuk terjemah bias gender.

Kedua, menerjemahkan, khususnya menerjemahkan al-Qur’an itu seperti legenda Sisyphus (Sisyphean activity). Kisah Sisyphus dalam mitologi Yunani mengajarkan tentang aktivitas kesia-sian dan absurditas (sesuatu yang mustahil). Jadi, menerjemahkan al-Qur’an itu sia-sia atau pasti akan selalu ada yang kurang.

Kata Tarif Khalidi: “akan selalu ada rasa sesal setelah menyerahkan draft terjemah al-Qur’an ke penerbit untuk dicetak.” Sama seperti perpisahan dengan orang yang kita cintai, kita selalu menyesal dan merasa ada yang kurang dalam pembicaraan terakhir setelah perpisahan itu terjadi. “Oh, harusnya tadi saya bilang begini, begitu….” “Oh harusnya saya memberikan ini dan itu.” Selalu ada penyesalan dan kekecewaan setelah berpisah.

Ketiga, beban yang bersifat filologi. Filologi dalam makna kajian bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, terutama terkait dengan maknanya. Sudah banyak kamus-kamus tentang kosa-kata al-Qur’an yang ditulis dan sudah menjelaskan secara baik bagaimana term-term al-Qur’an dipahami jika dilacak dari bahasa aslinya seperti Syiriac, Ethiopic, Yunani dan lain-lain. Dan ini akan terus berkembang, menghasilkan makna-makna yang baru dalam memahami pesan al-Qur’an.

Misalnya, Tarif Khalidi, menceritakan temannya yang ahli Bio-Kimia, bahwa Tairan Ababil bukan bermakna burung yang berbondong-bondong, tetapi sesuatu yang mirip dengan benda-benda berapi yang berterbangan, yakni erupsi vulkanik akibat dari Ashabul Fiil (tentara gajah) tersebut. Dan masih banyak contoh yang lainnya.

Dari tiga beban tersebut, tampaklah bahwa pekerjaan menerjemahkan al-Qur’an adalah pekerjaan yang berat, pekerjaan yang harus dikerjakan dalam “kesunyian”. Artinya: penerjemah akan bergelut, berdinamika di dalam dirinya sendiri untuk memilih makna, struktur dan gaya bahasa yang terbaik. Setelah pilihan ditentukan dan terjemahan selesai, penerjemah masih harus menghadapi banyak penilaian dan kritik. Dan yang paling parah, terkadang penerjemah itu tidak begitu dikenal, misalnya, bila dibandingkan dengan mufassir. Padahal, menerjemahkan pada hakikatnya juga menafsirkan.

Di sinilah penerjemah al-Qur’an sedang menempuh “jalan sunyi.” Dan biasanya, karya terjemah itu adalah karya puncak dari seseorang intelektual/sarjana, contoh saja Muhammad Marmaduke Piktchall dan Abdullah Yusuf Ali, karya terjemah mereka adalah karya puncak sebelum mereka meninggal. Di Indonesia, mungkin ada Djohan Effendi yang menerjemahkan Juz Amma secara puitis dan diterbitkan bersamaan dengan karya tafsir ijmalinya, beberapa tahun sebelum wafatnya di Australia.

Selain itu, perkembangan penerjemahan yang semakin membludak di abad ke-20 ini menuntut banyak penerjemahan al-Qur’an untuk pandai-pandai menyuguhkan banyak hal dalam terjemahnya. Mengingat penerjemah al-Qur’an tidak memiliki ruang yang banyak dalam menjelaskan hal-hal yang kontroversial dan sebagainya, sebagaimana yang mufassir miliki, maka penerjemah harus mencari cara, meskipun cara ini ada kelebihan dan kekurangannya.

Menurut Johanna Pink, penerjemah bisa membubuhkan keterangan penting di bodytext dengan memberikan tanda kurung (brecket) atau tanda hubung. Namun strategi ini terkadang bisa mengurangi keterbacaan (legibility) teks.  Sebagai gantinya—masih menurut Johanna Pink—penerjemah bisa membubuhkan catatan kaki sebagai informasi tambahan atau alternatif terjemahan.

Namun, lagi-lagi ini tetap berisiko sebab pembaca biasanya mengabaikan catatan kaki tersebut.  Jadi, serba salah. Belum lagi jika kemudian penerjemah dihadapkan pada klaim-klaim kebenaran atas kenyakinan tertentu dan juga dihadapkan pada konteks penafsiran yang lebih luas dan posisi loyalitasnya terhadap teks asli al-Qur’an. Jadi semakin ribet.

Baca Juga: Mengulas The Message of the Qur’an, Sebuah Karya Terjemah Sekaligus Tafsir

Walhasil, baik para penerjemah, maupun pengkaji penerjemah al-Qur’an, semua berkesimpulan bahwa menerjemahkan al-Qur’an itu tidak mudah. Namun, harus terus dilakukan dengan pertimbangan dakwah dan penyebaran ajaran-ajaran Islam. Dan Alhamdulillah, karya-karya terjemah al-Qur’an belakangan ditulis oleh para penerjemah yang menyadari akan hal tersebut: menyadari kekurangannya, menyadari betapapun bagusnya terjemahan tidak akan bisa menggantikan al-Qur’an, dan menyadari bahwa terjemahannya bukanlah yang terbaik.

Tulisan singkat ini, sebenarnya, akan menjadi pengantar bagi tulisan serial saya di portal tafsiralquran.id tentang sejumlah biografi pada penerjemah al-Qur’an. Saya merasakan betapa masih jarangnya tokoh-tokoh penerjemah al-Qur’an ini diangkat, dikenang, dikaji dan diapresiasi di hadapan sidang pembaca (publik), padahal kerja-kerja mereka merupakan amal jariyah bagi peradaban umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Silahkan simak, tulisan serial tentang tokoh-tokoh penerjemah al-Qur’an berikutnya. []