Beranda blog Halaman 322

Tafsir Surah An-Naml ayat 54-58

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 54-58 mengisahkan kebejatan moral yang dilakukan oleh kaum Lut. Mereka melakukan perbuatan yang sangat dilaknat Allah yakni homoseksual. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 54-58 ini juga dijelaskan bahwa mereka tidak menerima nasehat Nabi Lut justru mereka menantang hingga Allah pun menurunkan adzab kepada mereka.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 54-58….


Baca Sebelumnya: Kisah Nabi Saleh dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53


Ayat 54

Ayat ini menerangkan kebejatan moral kaum Lut. Oleh karena itu, Lut memperingatkan mereka dengan keras, agar mereka menghentikan perbuatannya. Perbuatan kaum Lut itu ialah:

  1. Mereka melakukan perbuatan homoseksual, padahal mereka mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang.
  2. Perbuatan homoseksual itu mereka lakukan di muka umum, pada berbagai pertemuan, seakan-akan mereka menganjurkan agar orang lain melakukannya pula.
  3. Bila mereka tidak dapat melakukan perbuatan itu pada seseorang dengan sukarela, mereka memaksanya. Oleh karena itu, kalau ada tamu-tamu yang singgah di negeri mereka, maka mereka berusaha agar tamu-tamu itu mau mengikuti kehendak mereka. Jika tamu-tamu itu enggan melakukannya, maka mereka akan memaksanya.

Ayat 55

Ayat ini menerangkan bahwa tindakan dan perbuatan kaum Lut itu bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Dengan adanya perempuan dan laki-laki, maka manusia akan dapat membentuk keluarga dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara anggota keluarga itu, seperti hubungan cinta antara suami dan istri, hubungan cinta kasih sayang antara orang tua dengan anak dan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian barulah dirasakan hidup itu berarti. Allah berfirman:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (ar-Rum/30: 21).

Kenyataan inilah yang diingkari oleh kaum Lut, seakan-akan mereka tidak percaya kepada kebenaran hukum Allah. Oleh karena itu, Lut mengatakan kepada mereka, “Hai kaumku, sebenarnya dengan perbuatan yang demikian itu, kamu adalah orang-orang yang tidak mau mengetahui tujuan Tuhan menciptakan manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan.

Kamu tidak mengetahui kedudukanmu dalam masyarakat, dan tidak mengetahui pula rencana yang besar yang akan menimpa manusia dan kemanusiaan, seandainya kamu tetap mengerjakan perbuatan-perbuatan yang demikian itu.”

Ayat 56

Mendengar pernyataan Lut itu, kaumnya menjadi marah, dan seakan-akan tidak memahami sedikit pun apa yang dimaksud dengan peringatan Lut. Oleh karena itu, mereka mengancam Lut dengan perkataan, “Mari kita usir Lut dan keluarganya dari negeri kita ini, karena ia melarang kita mengerjakan perbuatan-perbuatan yang kita senangi selama ini.”

Mereka beranggapan bahwa Lut dan keluarganya dapat hidup aman dan tenteram dalam negeri mereka karena kebaikan hati dan belas kasihan mereka belaka. Mereka berpendapat bahwa jika kemurahan dan belas kasihan itu tidak lagi mereka berikan terhadap Lut dan keluarganya, tentu ia akan menjadi sengsara. Inilah yang mereka maksud dengan perintah mengusir Lut.

Mereka mengejek dengan mengatakan bahwa Lut dan pengikutnya itu orang-orang yang bersih, sehingga tidak mau melakukan perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan, karena menganggapnya kotor.

Ayat 57-58

Karena kaum Lut tetap ingkar dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, maka Allah membinasakan mereka dan menyelamatkan Lut dan orang-orang yang besertanya, kecuali istrinya. Istrinya termasuk orang-orang yang ingkar, sehingga ia tinggal bersama-sama kaumnya yang ingkar. Dia pun ikut tertimpa malapetaka yang dahsyat.

Azab Allah yang ditimpakan kepada kaum Lut itu berupa hujan batu yang berasal dari tanah liat yang keras. Keadaan mereka yang sedang terkena azab itu sangat mengerikan. Demikianlah balasan yang diterima oleh orang-orang yang durhaka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 59-60


Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53 mengisahkan kaum Nabi Saleh yakni kaum Samud. Dikisahkan dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53 ini bahwa kaum Samud merupakan orang-orang yang ingkar dan tidak menerima Nabi Saleh sebagai utusan Allah. Bahkan Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53 ini disebutkan bahwa kaum Samud menantang Nabi Saleh untuk menimpakan adzab kepada mereka. Selengkapnya…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 40-44


Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Nabi Saleh kepada kaum Samud yang berdiam di al-Hijr, suatu daerah pegunungan batu yang terletak antara Wadil Qura dan Syam. Nabi Saleh masih termasuk keturunan Samud, sehingga berarti ia diutus kepada kaumnya sendiri. Nabi Saleh menyeru kaumnya yang menyembah sesuatu di samping Allah atau menyekutukan-Nya, agar hanya menyembah Allah saja, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam menanggapi seruan Saleh itu, maka kaumnya terbagi dua:

  1. Sebagian kecil dari mereka memenuhi seruannya dengan meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Sebagian besar dari mereka tetap ingkar bahkan mengancam dan menentang Nabi Saleh.

Di antara kedua golongan di atas itu terjadi perdebatan dan permusuhan. Masing-masing golongan menuduh bahwa agama yang dianut lawannya adalah agama yang batil. Bahkan golongan yang mengakui dirinya kuat, dan mempunyai pengikut yang lebih banyak, bertambah-tambah kezaliman mereka, dan menentang Nabi Saleh dengan membunuh unta yang sudah dilarang untuk dibunuh. Mereka juga meminta agar disegerakan turunnya azab kepada mereka, seandainya ia adalah benar-benar rasul yang diutus Allah.

Allah berfirman:

فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ اَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوْا يٰصٰلِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ اِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.” (al-A’raf/7: 77)

Ayat 46

Melihat sikap dan tantangan kaumnya, Nabi Saleh mengatakan kepada mereka, “Wahai kaum kerabatku, mengapa kamu sekalian ingin azab disegerakan datang menimpamu, sebelum kamu beriman dan mengerjakan kebaikan. Mengapa kamu sekalian tidak segera beriman dan tetap dalam kekafiran? Padahal keimananmu itu dapat mendatangkan pahala dan kebahagiaan abadi bagimu. Sedangkan kekafiran itu akan mengakibatkan dosa dan azab yang kekal di akhirat nanti.”

Selanjutnya Nabi Saleh menyeru agar kaumnya segera mohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya. Dengan demikian, dosa-dosa mereka akan diampuni Allah dan rahmat yang telah diberikan-Nya ditambah lagi dengan rahmat yang lebih besar lagi.

Ayat 47

Kaum Samud yang ingkar itu menjawab seruan Nabi Saleh dengan mengatakan bahwa mereka merasa sial dengan seruan Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman kepadanya. Semenjak Nabi Saleh menyeru mereka agar meninggalkan tuhan-tuhan mereka dan hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, mereka telah ditimpa pelbagai malapetaka, seperti tidak turunnya hujan yang menyebabkan kekeringan dan lain-lain.

Mereka percaya akan terus ditimpa bencana karena kemarahan tuhan-tuhan mereka akibat perbuatan Nabi Saleh itu. Tanda-tanda kesialan dan kedatangan bencana itu tampak pada setiap kali mereka melempar dan mengejuti burung, yang memberi tanda ramalan nasib mereka, burung itu memperlihatkan tanda-tanda yang tidak baik kepada mereka.

Mereka menjawab demikian karena kebodohan dan kepercayaan mereka kepada takhayul dan lain-lain. Sebagaimana orang-orang primitif yang percaya pada kekuatan-kekuatan gaib yang terdapat pada benda-benda di alam ini, di samping kekuatan gaib yang ada pada Allah sendiri, demikian pula halnya kaum Samud.

Salah satu kepercayaan dan adat kebiasaan kaum Samud ialah apabila mereka dalam perjalanan jauh menemui burung-burung dari kanan ke arah kiri, mereka gembira. Hal yang demikian mengisyaratkan bahwa mereka boleh meneruskan perjalanan. Sebaliknya jika burung itu terbang dan lari dari kiri menuju ke arah kanan, hal itu menandakan bahwa ada musibah jika mereka tetap melakukan perjalanan jauh.

Nabi Saleh menjawab pernyataan kaumnya itu dengan mengatakan bahwa sesungguhnya apa saja yang menimpa mereka, apakah baik atau buruk, bahagia atau sengsara, adalah ketentuan Allah dan itulah qadha dan qadarnya. Tiada seorang pun yang dapat mengubah qadha dan qadar Allah itu. Jika Dia menghendaki, Dia akan memberikan rezeki.

Jika Dia menghendaki, mereka tidak akan diberi-Nya rezeki sedikit pun. Ia beserta pengikut-pengikutnya tidak kuasa sedikit pun mendatangkan kesialan atau keberuntungan kepada mereka.

Kemudian Nabi Saleh menerangkan bahwa kesialan itu merupakan ujian dari Tuhan kepada mereka, apakah mereka mau mengikuti seruannya dan tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan terlarang yang biasa dikerjakan, atau tidak mau mengikutinya.

Ayat 48

Ayat ini menerangkan sebab-sebab banyak timbul kebinasaan di dalam negeri mereka karena di dalam kota Hijr itu terdapat sembilan orang yang suka berbuat kekacauan dalam masyarakat. Mereka yang sembilan orang itu adalah anak dari para bangsawan yang berkuasa di negeri itu.

Segala perbuatan baik atau buruk dapat mereka lakukan dengan leluasa dan tidak seorang pun dapat menghalanginya. Perbuatan-perbuatan jahat yang mereka lakukan itu selalu dilindungi dan dibela oleh orang tua mereka yang berkuasa di negeri itu. Dengan demikian, orang yang sembilan itu menjadi sumber perbuatan buruk dan angkara murka.

Ada beberapa riwayat yang menerangkan nama-nama dari orang yang sembilan itu, seperti yang diterangkan oleh al-Gaznawi, Ibnu Ishaq, Zamakhsyari, al-Mawardi, dan sebagainya. Masing-masing mereka mengemukakan nama-nama yang berbeda.

Akan tetapi, yang penting dari semuanya itu ialah bahwa kerusakan dan perbuatan dosa yang dilakukan oleh sembilan penjahat itu diketahui dan direstui oleh pembesar-pembesar negeri Samud. Karena berasal dari kaum bangsawan yang berkuasa di negeri itu, mereka mempunyai pengaruh yang amat besar kepada kaum Samud.

Ayat 49

Ayat ini menerangkan perbuatan makar yang sedang dirundingkan oleh sembilan orang itu, setelah mereka melakukan perbuatan terlarang dengan membunuh unta yang dilarang oleh Nabi Saleh untuk dibunuh. Mereka menerima ancaman dari Nabi Saleh bahwa mereka akan dibinasakan Allah dalam waktu tiga hari setelah unta itu terbunuh.

Di antara mereka ada yang berkata, “Marilah kita semua bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa kita akan membunuh Nabi Saleh dengan pengikut-pengikutnya pada suatu malam. Kemudian kita katakan kepada keluarganya yang terbunuh itu esok harinya, bahwa kita tidak tahu-menahu tentang peristiwa itu, dan mustahil kita melakukan perbuatan aniaya terhadap keluarga sendiri. Kita katakan juga kepadanya bahwa kita semua adalah orang-orang yang benar.”

Ayat 50

Allah menerangkan bahwa rencana perbuatan makar dan tipu daya yang dibuat oleh kaum Samud adalah untuk membunuh Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman besertanya. Akan tetapi, mereka lupa bahwa Allah mempunyai rencana dan kehendak yang tidak dapat mereka halangi sedikit pun, sesuai dengan sunah-Nya, yaitu Dia akan menimpakan azab dan siksa kepada orang-orang yang mengingkari seruan para rasul yang diutus-Nya. Di dunia mereka akan ditimpa malapetaka yang datang tanpa mereka sadari, sedang di akhirat nanti mereka akan menemui azab yang pedih.

Ayat 51

Ayat ini menyuruh kaum Muslimin agar memikirkan kisah Nabi Saleh dan kaumnya. Kepada kaum Nabi Saleh ini, Allah menimpakan azab yang menghancurkan mereka sampai ke akar-akarnya (‘azb istishal). Azab itu sebagai akibat kedurhakaan mereka kepada Nabi Saleh, dan tipu daya mereka untuk membinasakan nabi itu dan orang-orang yang beriman besertanya.

Mereka dibinasakan Allah dengan sambaran petir yang dahsyat yang tiada terkira. Sesuai dengan sunatullah, maka malapetaka dan azab itu akan ditimpakan pula kepada orang-orang musyrik Mekah, seandainya mereka tetap ingkar dan menentang seruan Nabi Muhammad

Ada riwayat menerangkan bahwa Nabi Saleh membuat suatu masjid di salah satu lembah di al-Hijr. Beliau biasa mengerjakan salat di masjid itu. Setelah ia menyampaikan ancaman Allah, maka beliau dan keluarganya beserta orang-orang yang beriman dengannya pergi ke masjid itu. Karena kepergiannya itu, kaumnya berunding dan memutuskan untuk membunuh Nabi Saleh sebelum hari yang ketiga dari hari yang dijanjikannya.

Maka pergilah beberapa orang kaumnya ke lembah masjid untuk melaksanakan rencana itu. Akan tetapi, dalam perjalanan mereka ditimpa batu besar sebelum sempat melaksanakan maksudnya itu. Kaumnya yang lain dibinasakan Allah dengan sambaran petir. Nabi Saleh dan pengikut-pengikutnya terlepas dan selamat dari azab itu.

Ayat 52

Ayat ini menerangkan akibat yang dialami oleh kaum Samud dan negeri mereka. Karena sambaran petir yang dahsyat itu, mereka mati di rumah-rumah mereka. Tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan diri dan merawat bangkai-bangkai mereka, karena semuanya telah mati. Bangkai-bangkai itu membusuk dan lebur bersama tanah.

Bekas rumah dan negeri mereka itu dapat disaksikan oleh para musafir, sebagai dokumentasi atas kebenaran cerita Al-Qur’an tentang kaum Samud yang telah dihancurkan Allah akibat keingkaran dan kedurhakaan mereka kepada Nabi Saleh yang menyeru mereka kepada agama Allah.

Dalam kisah yang diterangkan Allah pada ayat-ayat ini, yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada kaumnya, benar-benar terdapat pengajaran dan iktibar bagi manusia. Ayat ini mengingatkan sunatullah yang pasti berlaku bagi orang-orang yang mengingkari perintah-perintah Allah dan yang senantiasa mengerjakan larangan-Nya termasuk di dalamnya kaum musyrik Mekah.

Ayat 53

Tafsir Surah An-Naml ayat 45-53 khususnya pada ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menyelamatkan Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman bersamanya dari malapetaka yang besar itu. Allah menyelamatkan mereka karena tidak mau mengerjakan perbuatan yang menimbulkan kemarahan Allah yang mengakibatkan mereka ditimpa siksa-Nya. Mereka memelihara diri dari kemurkaan Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Ayat ini mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad dan orang-orang yang beriman bahwa orang-orang musyrik Mekah akan menerima azab dan malapetaka seperti yang diterima oleh umat-umat dahulu seandainya mereka tetap tidak beriman. Allah akan menyelamatkan Muhammad saw beserta orang-orang yang beriman, sebagaimana Dia telah menyelamatkan Nabi Saleh dan kaumnya. Orang-orang musyrik Mekah yang tetap dalam kemusyrikannya akan dihancurkan Allah.

Setelah kehancuran kaumnya, maka Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman pergi ke suatu tempat yang bernama Ramallah di Palestina, dan menetap di negeri itu. Sampai sekarang masih terdapat kuburan Nabi Saleh di dekat kota Ramallah itu. Kuburan ini juga merupakan dokumentasi bagi peristiwa Nabi Saleh dan kaumnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 54-59


Tafsir Surah An-Naml ayat 40-44

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 40-44 ini berisi tentang persiapan Nabi Sulaiman ketika menyambut Ratu Bilqis, diantaranya adalah merubah bentuk singgasana yang dimiliki oleh Ratu Bilqis. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 40-44 dijelaskan bahwa semua yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman tak lain sebab agar Ratu Bilqis dan kaumnya memeluk agama Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 32-39


Ayat 40

Sulaiman belum puas dengan kesanggupan Ifrit. Ia ingin agar singgasana itu sampai dalam waktu yang lebih singkat lagi. Lalu ia meminta kepada yang hadir di hadapannya untuk melaksanakannya. Maka seorang yang telah memperoleh ilmu dari al-Kitab menjawab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu dalam waktu sekejap mata saja.”

Apa yang dikatakan orang itu terbukti, dan singgasana Ratu Balqis itu telah berada di hadapan Sulaiman. Ada pendapat yang mengatakan orang itu ialah al-Khidhir. Ada pula yang mengatakan malaikat, dan ada pula yang mengatakan ia adalah Asif bin Barqiya.

Melihat peristiwa yang terjadi hanya dalam sekejap mata, maka Nabi Sulaiman berkata, “Ini termasuk karunia yang telah dilimpahkan Tuhan kepadaku. Dengan karunia itu aku diujinya, apakah aku termasuk orang-orang yang mensyukuri karunia Tuhan atau termasuk orang-orang yang mengingkarinya.”

Dari sikap Nabi Sulaiman itu tampak kekuatan iman dan kewaspadaannya. Ia tidak mudah diperdaya oleh karunia apa pun yang diberikan kepadanya, karena semua karunia itu, baik berupa kebahagiaan atau kesengsaraan, semuanya merupakan ujian Tuhan kepada hamba-hamba-Nya.

Sulaiman mengucapkan yang demikian itu karena sangat yakin bahwa barang siapa yang mensyukuri nikmat Allah, maka faedah mensyukuri nikmat Allah itu akan kembali kepada dirinya sendiri, karena Allah akan menambah lagi nikmat-nikmat itu. Sebaliknya, orang yang mengingkari nikmat Allah maka dosa keingkarannya itu juga akan kembali kepadanya. Dia akan disiksa oleh Allah karena keingkaran itu.

Selanjutnya Sulaiman mengatakan, “Bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Tuhan Yang Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu pun dari makhluk-Nya, tetapi makhluklah yang memerlukan-Nya. Tuhan yang disembah itu adalah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya ketika membalas kebaikan mereka dengan balasan yang berlipat ganda.”

Sikap Nabi Sulaiman dalam menerima nikmat Allah adalah sikap yang harus dijadikan contoh teladan oleh setiap muslim. Sikap demikian itu akan menghilangkan sifat angkuh dan sombong yang ada pada diri seseorang. Ia juga akan menghilangkan rasa putus asa dan rendah diri bagi orang yang sedang dalam keadaan sengsara dan menderita, karena dia mengetahui semuanya itu adalah cobaan dan ujian dari Tuhan kepada para hamba-Nya.

Ayat 41

Sulaiman memerintahkan kepada pemimpin-pemimpin kaumnya, agar mengubah bentuk dari singgasana Balqis yang telah sampai di hadapannya. Ia ingin melihat, apakah Ratu Balqis mengetahui, atau tidak, bahwa yang didudukinya itu adalah singgasananya.

Dengan cara yang demikian itu, diharapkan agar Ratu Balqis bertambah yakin bahwa Sulaiman adalah rasul Allah. Ia tidak mengharapkan sesuatu selain keimanan Ratu Balqis dan kaumnya.

Ayat 42

Setelah Ratu Balqis datang, Sulaiman bertanya kepadanya, “Apakah seperti ini singgasanamu?” Balqis menjawab, “Benar, singgasana ini mirip sekali dengan singgasanaku.” Menurut Mujahid, Ratu Balqis mengetahui bahwa singgasana itu adalah singgasananya, karena ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa singgasana itu kepunyaannya. Akan tetapi, dia merasa heran mengapa singgasana itu berada di istana Sulaiman.

Melihat kenyataan itu dan dihubungkan dengan pengetahuannya tentang burung hud-hud, maka Balqis berkata, “Sebenarnya telah diberikan kepada kami, sebelum terjadinya mukjizat ini, pengetahuan bahwa Tuhan yang berhak disembah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Dia Mahakuasa, demikian pula tentang burung hud-hud, sebagai burung yang luar biasa yang dengan kekuasaan Tuhan telah dapat menghubungkan negeri kami dengan negerimu dan juga dengan memperhatikan berita-berita yang kami terima dari para utusan kami. Semua itu menunjukkan bahwa engkau, wahai Sulaiman, benar-benar seorang rasul Allah yang diutus kepada kami untuk menyampaikan agama-Nya.”

Selanjutnya Balqis berkata, “Kami bersama-sama dengan kaum kami menyatakan beriman kepada engkau. Kami akan meninggalkan agama kami yang selama ini kami anut. Engkau tidak perlu lagi mengemukakan kepada kami mukjizat yang lain, karena kami telah beriman.”

Ayat 43

Ayat ini menerangkan bahwa Ratu Balqis belum mau menerima Islam sebelumnya karena pemuka-pemuka kaumnya yang kafir menyembah matahari. Dia khawatir kalau-kalau kaumnya akan mengucil-kannya. Setelah berhadapan dengan Sulaiman, barulah ia berani menyatakan keislamannya dan berani pula menyatakan isi hatinya.

Ayat 44

Tafsir Surah An-Naml ayat 40-44 khususnya dalam ayat 44 ini, Menurut satu riwayat, setelah Nabi Sulaiman mengetahui dari Allah akan kedatangan Ratu Balqis ke negerinya, maka ia memerintahkan kaumnya membuat suatu istana yang besar dan indah. Lantainya terbuat dari kaca yang mengkilap yang mudah memantulkan cahaya. Di bawah lantai kaca itu, terdapat kolam yang berisikan macam-macam ikan, dan air kolam itu seakan-akan mengalir seperti sungai.

Pada waktu kedatangan Ratu Balqis, Nabi Sulaiman menerimanya di istana yang baru itu dan mempersilakannya masuk. Ratu Balqis heran dan terkejut waktu memasuki istana Sulaiman itu. Menurut penglihatannya, ada sungai yang terbentang yang harus dilaluinya untuk menemui Sulaiman.

Oleh karena itu, ia menyingkapkan kainnya, sehingga tampaklah kedua betisnya. Melihat yang demikian itu Sulaiman berkata, “Apa yang kau lihat itu bukanlah air atau sungai, tetapi lantai kaca yang di bawahnya ada air mengalir.” Mendengar ucapan Sulaiman itu Ratu Balqis segera menurunkan kainnya dan mengakui dalam hati bahwa istana Sulaiman lebih besar dan lebih bagus dari istananya.

Kemudian Nabi Sulaiman mengajak Balqis agar menganut agama Islam, dan menerangkan kesesatan menyembah matahari. Seruan Sulaiman itu diterima dengan baik oleh Balqis. Ia menyesali kekafirannya selama ini karena dengan demikian berarti dia berbuat aniaya kepada dirinya sendiri. Balqis juga menyatakan bahwa dia bersedia berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Kepada-Nya dia beribadah dengan seikhlas-ikhlasnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah An-Naml ayat  45-53


Surah Al-Baqarah [2] Ayat 185: Anjuran Bertakbir di Hari Raya dan Bacaannya

0
Anjuran bertakbir
Anjuran bertakbir

Ketika bulan Ramadhan tiba, umat Islam merasakan berbagai kegembiraan mendalam. Sebab dalam pandangan mereka, Ramadhan adalah bulan ampunan, rahmat, pahala, dan anugerah. Selain itu, mereka biasanya juga menanti-nantikan hari raya Idul Fitri, hari yang menjadi lambang kemenangan terhadap belenggu nafsu. Pada hari itu, terdapat anjuran bertakbir untuk mengagungkan Allah swt.

Secara kebahasaan hari raya Idul Fitri terdiri dari dua kata dalam bahasa Arab, yakni id dan fitri. Kata id  berasal dari akar kata aada-yaudu yang artinya kembali, sedangkan fitri bermakna suci atau berbuka puasa (ifthar). Dalam konteks suci, yang dimaksud dari Idul Fitri berarti kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar.

Hari raya Idul Fitri bukan hanya sekedar hari perayaan pasca berpuasa sebulan penuh, tetapi juga hari penanda dimulainya perjuangan melanjutkan ketaatan. Quraish Shihab menyebut dalam Membumikan Al-Qur’an, seseorang yang beridul fitri berarti dia akan selalu menjaga keindahan dalam setiap aspek kehidupan, selalu berusaha mencari dan menampilkan kebaikan.

Salah satu sunah di hari raya Idul Fitri adalah anjuran bertakbir. Nabi Muhammad saw bersabda, “Hiasilah hari raya kalian dengan memperbanyak membaca takbir.” Anjuran bertakbir ini diiringi dengan imbalan yang besar sebagaimana tercantum dalam sabdanya, “Perbanyaklah membaca takbiran pada malam hari raya (fitri dan adha) karena hal dapat melebur dosa-dosa.”

Anjuran bertakbir di hari raya juga dapat kita temukan dalam Al-Qur’an, tepatnya surah al-Baqarah [2] ayat 185 yang berbunyi:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 185).

Secara umum, surah al-Baqarah [2] ayat 185 berisi tentang empat hal, yakni: pertama, informasi mengenai Ramdhan adalah waktu di mana Al-Qur’an diturunkan. Di dalamnya terdapat penjelasan dan petunjuk bagi manusia untuk mengarungi kehidupan dunia dan akhirat; Kedua, informasi kewajiban puasa bagi umat Islam ketika mengetahui datangnya Ramadhan (Tafsir al-Msibah [1]: 406).

Ketiga, kewajiban puasa pada hakikatnya berlaku secara menyeluruh bagi umat Islam, namun ada beberapa golongan yang diberi kemudahan terkait pelaksanaannya, yakni orang sakit dan musafir. Keduanya boleh tidak melaksanakan puasa dan menggantinya di hari yang lain. Keempat, anjuran bertakbir untuk mengagungkan Allah karena Dia telah memberikan berbagai petunjuk dan karunia.

Menurut al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, bagian terakhir surah al-Baqarah [2] ayat 185 berisi tentang anjuran bertakbir dan bersyukur pasca melaksanakan ibadah puasa. Takbir ini bisa dilakukan ketika melihat hilal yang menjadi penanda datangnya bulan Syawal hingga selesai pelaksanaan khotbah hari raya Idul Fitri.

  Hal senada disampaikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid. Menurutnya, anjuran bertakbir diberikan untuk mengagungkan Allah swt Yang Maha Memberi petunjuk terhadap hamba-Nya, terutama terkait pelaksanaan puasa.  Di samping itu, pada surah al-Baqarah [2] ayat 185 umat Islam juga dianjurkan untuk bersyukur, karena Dia telah memberikan berbagai kemudahan.

Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa anjuran bertakbir pada ayat ini maksudnya adalah mengingat Allah swt sebagaimana yang tertuang dalam surah al-Baqarah [2] ayat 200, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah,” dan surah al-Jumuah [62] ayat 10, “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”

Karena alasan itulah, yakni penyebutan zikrullah setelah ibadah – dianjurkan atau disunahkan untuk bertasbih, bertahmid, dan bertakbir pasca melaksanakan ibadah shalat lima waktu. Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas, “kami tidak pernah melihat nabi Muhammad saw shalat kecuali setelahnya beliau bertakbir.” Inilah pula yang menyebabkan para ulama berpandangan adanya anjuran bertakbir di hari raya Idul Fitri (Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir).

Adapun bacaan takbir secara lengkap adalah sebagai berikut (lihat Fath al-Qarib):

اللهُ اكبَرْ كبيْرًا والحَمدُ للهِ كثِيرًا وَسُبحَانَ اللهِ بُكرَةً واَصِيلا، لااله اِلااللهُ ولانعْبدُ الاإيّاه، مُخلِصِينَ لَه الدّ يْن، وَلَو كَرِهَ الكَا فِرُون، وَلَو كرِهَ المُنَافِقوْن، وَلَوكرِهَ المُشْرِكوْن، لاالهَ اِلا اللهَ وَحدَه، صَدَق ُوَعْدَه، وَنَصَرَ عبْدَه، وَأعَزّجُندَهُ وَهَزَمَ الاحْزَابَ وَاحْدَه، لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر، اللهُ اكبَرُ وَلِلّهِ الحَمْ

Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan sebanyak-sebanyak puji, dan Maha suci Allah sepanjang pagi dan sore, tiada Tuhan(yang wajib disembah) kecuali Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya, dengan memurnikan agama Islam, meskipun orang-orang kafir, orang-orang munafiq, orang-orang musyrik membencinya.

Tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dengan ke Esaan-Nya, Dia dzat yang menepati janji, dzat yang menolong hambaNya dan memuliakan bala tentaraNya dan menyiksa musuh dengan ke Esa anNya. tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji hanya untuk Allah.”

Namun bacaan takbir yang sering digunakan di masyarakat adalah bacaan takbir yang singkat, yakni:

اللهُ اكبَرْ، اللهُ اكبَرْ اللهُ اكبَرْ لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر، اللهُ اكبَرُ وَلِلّهِ الحَمْد

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan (yang wajib disembah) kecuali Allah dengan ke Esaan-Nya, dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan segala puji hanya untuk Allah.”

Menurut Ibnu Sina dalam al-Isyarat wa Tanbihat – sebagaimana dikutip Abdul Halim Mahmud pada al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam – jika kalimat takbir ini tertancap dalam jiwa seseorang, makan akan hilang segala ketergantungannya kepada unsur-unsur lain selain Allah semata. Baginya, tiada tempat bergantung, tiada tempat menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi, kecuali kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Naml ayat 32-39

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 32-39 ini mengisahkan bahwa Negeri Saba’ merupakan negeri yang musyawarah yakni mereka akan merembungkan bersama suatu permasalahan hingga menemukan solusi. Tafsir Surah An-Naml ayat 32-39 ini juga mengisahkan Ratu Balqis yang mengirim utusan kepada Nabi Sulaiman dengan membawa hadiah yang banyak, dalam Tafsir Surah An-Naml diceritakan pula terkait Nabi Sulaiman yang membangung singgasana untuk ratu Balqis.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 26-31


Ayat 32

Ayat ini menerangkan tentang pelaksanaan prinsip-prinsip musyawarah di negeri Saba’. Sekalipun Ratu Balqis telah mempunyai pendapat sendiri dalam menanggapi isi surat Sulaiman, tetapi ia masih memusyawarahkannya dengan para pembesarnya. Ia berkata kepada mereka, “Wahai para pemimpin rakyatku yang bijaksana, kemukakanlah pendapat dan tanggapan kalian terhadap isi surat Sulaiman yang telah disampaikannya kepadaku. Aku tak akan melaksanakan suatu keputusan, kecuali yang telah kita sepakati bersama.”

Ayat 33

Mendengar perkataan Ratu Balqis, di antara pembesar kerajaan Saba’ ada yang merasa tersinggung dengan isi surat Sulaiman. Mereka merasa dihina oleh isi surat itu, seakan-akan mereka diperintahkan oleh Sulaiman tunduk dan patuh kepadanya. Padahal mereka adalah orang-orang yang terpandang, berilmu pengetahuan, dan disegani oleh negeri-negeri tetangga.

Mereka berkata, “Wahai ratu kami, kami yang hadir ini, semuanya adalah orang-orang yang terpandang, mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam peperangan, serta mempunyai perlengkapan yang cukup memadai. Namun demikian, segala keputusan kami serahkan kepadamu. Kami telah siap melakukan semua yang engkau perintahkan. Pikirkanlah dengan sebaik-baiknya keputusan yang akan engkau ambil.”

Ayat 34-35

Ayat ini menerangkan kebijaksanaan Ratu Balqis dalam menghadapi sikap kaumnya terhadap isi surat Sulaiman. Ia tidak terpengaruh sikap sombong dan merasa diri kuat sebagaimana yang tercermin dari ucapan-ucapan para petinggi kerajaannya. Ratu Balqis berkata, “Wahai kaumku, ini adalah surat dari seorang raja. Jika kita menentang dan memeranginya, mungkin kita menang dan mungkin pula kita kalah.

Seandainya kita kalah, maka raja dan tentaranya itu akan merusak negeri kita, membinasakan dan menghancurkan semua yang telah kita bangun selama ini. Pada umumnya sikap dan tabiat raja-raja terhadap musuhnya sama, suka menindas dan membunuh secara kejam musuh-musuh yang dikalahkannya, serta merusak kota-kota dan menghina pembesar-pembesar negeri yang telah ditaklukkannya.”

Ratu Balqis melanjutkan pembicaraannya, “Untuk menghindarkan semua kejadian yang tidak diinginkan itu, aku mempunyai pikiran yang jika dilaksanakan akan membawa keuntungan bagi kita semua. Caranya ialah kita berusaha melunakkan hati Sulaiman dengan mengirimkan hadiah-hadiah kepadanya.

Hadiah itu akan diantarkan oleh orang-orang yang berilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dengan pasti keadaan mereka dengan perantaraan utusan-utusan kita itu. Setelah itu, kita tetapkan bersama tindakan yang tepat yang akan kita laksanakan dalam menghadapi Sulaiman.” Para pembesar negeri Saba’ menyetujui pendapat yang dikemukakan oleh ratu mereka.

Ayat 36

Maka berangkatlah rombongan utusan Ratu Balqis menghadap Sulaiman dengan membawa hadiah-hadiah yang tidak ternilai harganya. Setelah para utusan itu menghadap Sulaiman maka ia berkata kepada mereka, “Hai para utusan Ratu Balqis, apakah kamu bermaksud memberikan harta-hartamu kepadaku. Aku tidak akan mencari dan meminta kesenangan dan kekayaan duniawi. Aku hanya menginginkan kamu semua beserta rakyatmu mengikuti agamaku dam menyembah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa, tidak menyembah matahari, sebagaimana yang kamu lakukan.

Allah telah menganugerahkan kepadaku nikmat-nikmat yang tak terhingga banyaknya seperti nikmat kenabian, ilmu pengetahuan, dan kerajaan yang besar. Karena nikmat itu aku dapat menguasai jin, berbicara dengan binatang-binatang, menguasai angin dan banyak lagi pengetahuan yang telah dianugerahkan Allah kepadaku.

Jika aku bandingkan nikmat yang aku peroleh dengan nikmat yang kamu peroleh, maka nikmat yang kamu peroleh itu tidak ada artinya bagiku sedikit pun. Karena kamu tidak mengetahui agama Allah, maka kamu anggap bahwa harta yang banyak dan kesenangan duniawi itu dapat memuaskan hatimu. Bagiku harta itu tidak ada artinya dan tidak akan memuaskan hatiku. Kesenangan dan kebahagiaan yang aku cari ialah kesenangan dan kebahagiaan yang abadi, sesuai dengan yang dijanjikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh.”

Selanjutnya Sulaiman menyatakan kepada para utusan Ratu Balqis, “Jika kamu sekalian tidak memenuhi seruanku, maka kembalilah kamu kepada kaummu. Kami akan datang membawa pasukan tentara yang lengkap yang terdiri atas manusia, jin, dan binatang-binatang yang kamu tidak akan sanggup melawannya. Kami akan mengusir setiap orang yang menghalangi tentaraku dari negeri dan kampung halaman mereka, dan mereka akan dijadikan orang-orang yang hina, sebagai tawanan atau dijadikan budak.”

Ayat 38

Setelah para utusan itu kembali ke negerinya, mereka menyampaikan kepada Ratu Balqis apa yang dimaksud oleh Nabi Sulaiman dengan suratnya. Sulaiman meminta mereka agar menyambut seruannya untuk beriman kepada Allah. Mereka juga menyampaikan keadaan masyarakat yang dipimpin oleh Sulaiman, serta keadaan bala tentara dan kekayaannya. Oleh karena itu, Ratu Balqis mengambil keputusan untuk pergi sendiri ke Yerusalem menemui Sulaiman dengan membawa hadiah yang lebih bernilai.

Setelah Sulaiman mengetahui bahwa Ratu Balqis akan berkunjung ke negerinya, maka ia membuat sebuah istana yang besar dan megah yang lantainya terbuat dari kaca. Dengan membuat istana yang demikian, ia ingin memperlihatkan kepada Ratu Balqis sesuatu yang belum pernah dilihatnya.

Untuk menyambut kedatangan Ratu Balqis, Sulaiman ingin memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, dan kekuasaan yang telah dilimpahkan-Nya, agar Ratu Balqis dan kaumnya beriman kepada Allah. Beliau bermaksud membawa singgasana Ratu Balqis yang ada di negerinya ke Yerusalem dalam waktu yang singkat dan akan dijadikan tempat duduk Ratu Balqis di istananya yang baru dibuatnya pada waktu kedatangan Ratu Saba’ itu.

Sulaiman mengatakan maksudnya itu kepada para pembesarnya, “Wahai para pembesarku, siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasana Ratu Balqis yang ada di negerinya ke tempat ini, sebelum rombongan mereka sampai ke sini?”

Ayat 39

Mendengar permintaan Sulaiman, Ifrit (termasuk golongan jin) yang cerdik menjawab, “Aku akan datang kepadamu membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu dan aku benar-benar sanggup melaksanakannya dan kesanggupanku itu dapat dibuktikan.” Yang dimaksud dengan “sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu” ialah sebelum Sulaiman meninggalkan tempat itu. Beliau biasanya meninggalkan tempat itu sebelum tengah hari.

(Tafsir Kemenag)

Malam yang Diberkahi Lailatul Qadar atau Nishfu Syaban?

0
Malam yang diberkahi Lailatul Qadr atau Nishfu Syaban?
Malam yang diberkahi Lailatul Qadr atau Nishfu Syaban?

Al-Quran merupakan kalam qadim Allah Swt. yang dijadikan pedoman bagi orang-orang yang beriman. Al-Quran juga menjadi berkah bagi seluruh alam semesta, karena di dalamnya terdapat berbagai aturan dan tatanan yang membawa kebaikan untuk semuanya. Kemuliaan Al-Quran menjadikan aktifitas membaca, mentadaburi, mempelajari, dan mendengarnya menjadi aktifitas yang  dinilai sebagai ibadah. Hal ini menandakan bahwa keberkahan Al-Quran tidak hanya melimpah bagi yang membaca dan mentadaburinya semata, tetapi selain mereka pun bisa mendapatkan keberkahan Al-Quran. Lebih luas lagi, tentang keberkahan Al-Quran, bahkan malam diturunkannya Al-Quran pun dijadikan Allah sebagai malam yang diberkahi (lailah mubarakah). Selaras dengan pernyataan tersebut, Allah berfirman dalam surah Ad-Dukhan [44] ayat 3:

إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةࣲ مُّبَـٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِینَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhan (44): 3]

Melalui ayat di atas, dapat dimengerti bahwasanya Al-Quran–yang dalam ayat sebelumnya diredaksikan dengan al-kitab al-mubin–itu diturunkan pada malam yang diberkahi. Akan tetapi mengenai bagaimana maksud diturunkannya Al-Quran pada malam tersebut tentu kurang bisa kita tangkap secara langsung. Sehingga perlu bagi kita yang ingin memahaminya untuk merujuk penafsiran ulama ahli tafsir.

Baca juga: Menyambut Malam 27 Ramadhan dan Tafsir Isyari Ibnu Abbas Ra Tentang Lailatul Qadr

Dalam Tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, disebutkan bahwa malam tersebut merupakan malam dimulainya penurunan Al-Quran. Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Sedangkan Imam Ibnu Katsir dan Syekh Ahmad ash-Shawi menafsirkan bahwa pada malam tersebut Al-Quran diturunkan dari lauhil mahfudz ke langit dunia, sebelum diwahyukannya Al-Quran secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw.

Selain pembahasan tentang maksud diturunkannya Al-Quran pada malam tersebut, pembahasan yang juga menjadi sorotan ulama ahli tafsir berkenaan dengan ayat di atas ialah tentang waktu terjadinya malam yang diberkahi (lailah mubarakah) itu. Jika mengacu pada Al-Quran surah Al-Qadar [97] ayat 1: “inna anzalnahu fi lailah al-qadr, (sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailatil qadr)” dan Al-Quran surah Al-Baqarah [2] ayat 185: “syahr ramadhan alladzi unzila fihi Al-Quran, (bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran), maka secara mudah disimpulkan bahwa maksud dari “lailah mubarakah” adalah malam lailatul qadar yang terjadi pada bulan Ramadan.

Baca juga: 13 Tempat dalam Al-Qur’an yang Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 3)

Tetapi jika lebih dalam menelusuri kitab-kitab tafsir, ternyata tidak semua ulama tafsir mengamini kesimpulan tersebut. Karena pada kenyataannya masih terdapat malam lain yang berpeluang menjadi malam yang diberkahi (lailah mubarakah), selain lailatul qadar. Malam yang juga disebut sebagai tafsiran dari lailah mubarakah itu ialah malam nishfu Syaban. Karena berdasar riwayat yang ada, malam nishfu Syaban memang memiliki beberapa nama lain, seperti al-lailah al-mubarakah, lailah al-baraah, lailah ar-rahmah, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, pantas saja jika kemudian Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain, menafsirkan lailah mubarakah dengan dua kemungkinan sekaligus, yakni (pertama) bisa jadi maksud dari malam yang diberkahi itu ialah malam lailatul qadar, tapi (kedua) bisa juga maksudnya ialah malam nishfu Syaban. Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhrudddin ar-Razi menuturkan bahwa penafsiran yang pertama merupakan pendapat Qatadah dan Ibn Ziyad, yang diikuti oleh sebagian besar ulama tafsir. Sedangkan penafsiran yang kedua merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ‘Ikrimah dan hanya diikuti oleh sebagian kecil mufassirin.

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

Meski kedua penafsiran di atas sama-sama memiliki hujjah, tetapi Syekh Ahmad ash-Shawi lebih mengunggulkan pendapat yang menyatakan bahwa maksud dari lailah mubarakah merupakan lailatul qadr. Adapun alasan beliau, karena sebaik-baik penafsiran ialah penafsiran yang didasarkan pada sesuatu yang terdapat dalam dari Al-Quran atau yang datang dari Nabi Muhammad Saw (ter-warid). Bahkan Syekh Ibnu ‘Asyur secara tegas menyatakan bahwa pendapat yang menyebutkan bahwa lailah mubarakah maksudnya ialah malam nishfu Syaban, itu merupakan pendapat yang lemah. Wallahu a’lam bish shawab.

Tafsir Surah An-Naml ayat 26-31

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 26-31 merupakan lanjutan dari tafsir sebelumnya. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh burung Hud-hud Tafsir Surah An-Naml ayat 26-31 ini menjelaskan bahwa Nabi Sulaiman mengirim surat kepada Ratu Balqis berupa ajakan untuk menyembah agama Allah.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml Ayat 26-31 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 23-25


Ayat 26

Selanjutnya hud-hud mengatakan bahwa sebenarnya Allah-lah yang berhak disembah. Dialah yang mempunyai ‘Arasy yang besar, mempunyai kekuasaan yang mutlak, dan tak ada sesuatu pun yang dapat mengatasinya.

Nabi Sulaiman heran dan tercengang mendengar keterangan dan tanggapan burung hud-hud itu. Kenapa burung itu sanggup dalam waktu yang singkat mengetahui keadaan negeri Saba’, tata cara pemerintahannya, kekayaan dan pengaruhnya, dan mengetahui pula agama yang mereka anut. Burung hud-hud juga tahu dan meyakini kekuasaan dan keesaan Allah, mengakui bahwa tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah semata, tidak ada yang lain.

Ia juga mengetahui bahwa menyembah matahari adalah kepercayaan yang batil, dan mengetahui  pula bentuk perbuatan yang baik dan tidak baik menurut agama. Dari ayat ini dipahami bahwa berdasar pengetahuan dan pengalamannya di negeri Saba’, seakan-akan burung hud-hud itu menganjurkan kepada Nabi Sulaiman agar beliau segera menyeru Ratu Balqis dan rakyatnya untuk beriman kepada Allah dan mengikuti seruan Nabi Sulaiman.

Ayat 27

Mendengar keterangan burung hud-hud yang jelas dan meyakinkan itu, maka Nabi Sulaiman menangguhkan hukuman yang telah diancamkan kepada burung itu. Nabi Sulaiman kemudian berkata, “Hai burung hud-hud, kami telah mendengar semua keteranganmu dan memperhatikannya. Namun demikian, kami tetap akan menguji kamu, apakah keterangan yang kamu berikan itu benar atau dusta?”

Ayat 28

Untuk menguji kebenaran burung hud-hud itu, Nabi Sulaiman memerintahkannya untuk menyampaikan surat kepada Ratu Balqis. Ia juga diperintahkan untuk memperhatikan bagaimana reaksi dan sikap Ratu Balqis membaca surat yang dibawanya.

Hud-hud pun membawa surat Nabi Sulaiman itu. Setelah ia melemparkan surat itu kepada Ratu Balqis, lalu ia bersembunyi dan memperhatikan sikap Ratu Balqis terhadap isi surat itu, sesuai dengan yang diperintahkan Sulaiman.

Ayat 29-30

Setelah Ratu Balqis membaca surat Nabi Sulaiman yang disampaikan burung hud-hud itu, ia pun mengumpulkan pemuka-pemuka kaumnya dan mengadakan persidangan. Dalam persidangan itu, Ratu Balqis menyampaikan isi surat tersebut dan meminta pertimbangan kepada yang hadir, “Wahai pemimpin kaumku, aku telah menerima surat yang mulia dan berarti dikirimkan oleh seseorang yang mulia pula.”

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Ratu Balqis merundingkan dan memusyawarahkan isi surat Sulaiman dengan pemuka-pemuka kaumnya. Sekalipun yang melakukan permusyawaratan itu adalah Ratu Balqis dan pemuka-pemuka kaumnya yang belum beriman, tetapi tindakan Ratu Balqis itu disebut Allah dalam firman-Nya.

Hal ini menunjukkan bahwa prinsip musyawarah itu adalah prinsip yang diajarkan Allah kepada manusia dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mereka alami dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, siapa pun yang melakukannya, maka tindakan itu adalah tindakan yang dipuji Allah.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa surat Sulaiman yang dikirimkan kepada Ratu Balqis itu disebut kitabun karim (surat yang mulia). Hal ini menunjukkan bahwa surat Nabi Sulaiman itu adalah surat yang mulia dan berharga karena:

  1. Surat itu ditulis dalam bahasa yang baik dan memakai stempel sebagai tanda surat resmi.
  2. Surat itu berasal dari Sulaiman, sebagai seorang raja sekaligus nabi.
  3. Surat tersebut dimulai dengan Bismillahir Rahmanir Rahim.

Menurut suatu riwayat, surat Sulaiman tersebut merupakan surat yang pertama kali dimulai dengan basmalah. Cara membuat surat seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman ini adalah cara yang baik untuk dicontoh oleh setiap kaum Muslimin ketika membuat surat.

Ada beberapa hal yang terjadi berkat keistimewaan surat Sulaiman, di antaranya ialah:

  1. Surat itu disampaikan burung hud-hud dalam waktu yang singkat kepada Ratu Saba’.
  2. Kemampuan burung hud-hud menerima pesan dan menangkap pem-bicaraan dalam perundingan Ratu Saba’ dengan pembesar-pembesarnya.
  3. Surat itu dapat pula dimengerti dan dipahami oleh penduduk negeri Saba’.
  4. Para utusan pemuka kaum Saba’ dapat menyatakan pendapat mereka dengan bebas. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi mereka mengemukakan pendapat masing-masing. Dengan demikian, hasil perundingan itu adalah hasil yang sesuai dengan pikiran dan pendapat rakyat negeri Saba’.

Ayat 31

Ayat ini menerangkan isi surat Nabi Sulaiman, yaitu agar Ratu Saba’ dan kaumnya tidak bersikap sombong dan angkuh. Nabi Sulaiman mengharap agar mereka datang kepadanya dalam keadaan tunduk dan menyerah diri kepada Allah yang Asma-Nya telah dijadikan pembuka kata dalam suratnya. Jangan mereka sekali-kali menentang agama Allah itu.

Dari surat Sulaiman itu dipahami bahwa hanya itulah yang diminta oleh Sulaiman, yaitu agar mereka segera beriman kepada Allah, dan ia tidak menuntut sesuatu yang lain.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 32-39


 

Penjelasan tentang Puasa Umat-Umat Terdahulu dalam Berbagai Kitab Tafsir

0
umat-umat terdahulu
puasa bagi umat-umat terdahulu

Puasa ramadhan adalah kewajiban bagi umat Muslim sesuai dengan perintah dalam QS. Al-Baqarah ayat 183. Ada hal menarik dari ayat tersebut, yakni pada narasi umat-umat terdahulu sebelum kamu di akhir ayat. Dari keterangan ayat, kita bisa menyimpulkan bahwa sebelum diwajibkan kepada kita, puasa juga pernah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw.

Bagaimana puasa umat-umat terdahulu, dan umat-umat yang mana yang pernah berpuasa?. Mari kita eksplore penjelasannya dalam kitab-kitab tafsir!

Kalimat “sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian” pada ayat 183 QS. al-Baqarah tersebut mayoritas mufassir menafsirkan bahwa perintah puasa telah diwajibkan atas para Nabi dan umat-umat sebelum kalian, artinya puasa ini adalah perintah wajib yang pernah diperintahkan kepada Nabi Adam, nabi-nabi setelahnya dan umat-umat sebelum kita.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tiba Ramadhan, Ini Hukum yang Belum Bayar Utang Puasa

Dalam Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an, penggalan kalimat “sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian” mengutip pendapat Abu Ja’far bahwa pada kalimat tersebut terdapat perbedaan di kalangan ahlu ta’wil antara penekanan tasybih antara kewajiban puasa atau puasa umat-umat sebelum kita. Meski demikian, kedua perbedaan pendapat tersebut konteksnya adalah pada maksud orang-orang terdahulu termasuk cara, waktu dan lama puasa mereka.

Andaikan penekanan pada puasa orang-orang yang serupa dengan umat Muslim maka rujukannya adalah kaum Nasrani. Karena mereka juga pernah diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Hanya saja waktu puasa mereka berbeda yakni dari waktu Isya ke waktu Isya esok harinya. Tidak boleh makan dan minum, juga tidak boleh bergaul dengan Istrinya. Rupanya, hal itu memberatkan bagi mereka, lantas mereka sepakat untuk memindahkan waktu puasanya sesuai dengan musim, hingga mengalihkan ke pertengahan musim panas dan musim dingin.

Mereka mengatakan “untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari” dari yang sebelumnya 30 hari. Dengan begitu mereka berpuasa sebanyak 50 hari. Hal ini kemudian masih terus eksis dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais Ibn Shirmah dan Umar Bin khattab. Saat itu Allah memberikan keringan kepada mereka dengan dibolehkannya melakukan makan, minum, berjima’ hingga waktu fajar tiba.

Keterangan lain didapat dalam Tafsir Fathul Qadir karya Imam asy-Syaukani yang mengutip hadis dari Rasulullah Saw. beliau bersabda bahwa dulu orang Nasrani berpuasa di bulan Ramadhan. Pada saat itu raja Nasrani jatuh sakit, hingga mereka berkata “andaikan Allah menyembuhkan penyakit pada raja maka kami akan menambah puasa kami sebanyak 10 hari”.

Kemudian seorang raja yang lain memakan daging lalu merasakan sakit pada mulutnya dan berkata, “andaikan Allah menyembuhkan penyakitnya niscaya ia akan menambah puasanya sebanyak 7 hari” lantas raja tersebut sembuh dan menambah puasanya sebanyak 7 hari, lalu raja yang lain mengatakan, kami akan berdoa dan menambahkan puasa 3 hari lagi sehingga menjadi genap 50 hari dan mereka mengerjakannya di musim semi”.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa umat-umat terdahulu yang diwajibkan berpuasa adalah ahli kitab, yakni orang Yahudi, hal ini sebagaimana pendapat ‘Atha’ al-Khurasani. dari Ibnu Abbas. Umat Yahudi terbiasa melakukan puasa selama tiga hari. Selain itu Nabi Adam As. juga melakukan puasa salaam tiga hari tiap bulan dan sepanjang tahun. Namun ada pendapat lain mengatakan bahwa beliau melakukan puasa tepat pada tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan syukur atas pertemuannya dengan Siti Hawa.

Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Amalan puasa juga pernah dilakukan oleh Nabi Daud As. beliau melakukan puasa secara berselang, sehari berpuasa sehari tidak atau yang biasa kita kenal dengan istilah puasa Daud. Bahkan puasa ini dikenal sebagai puasa sunnah yang disukai oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis:

Dari Abdullah bin Amru ra berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda “Shalat (sunnah) yang paling Aku cintai adalah shalat seperti Nabi Daud as. dan puasa (sunnah) yang paling Aku sukai adalah puasa seperi Nabi Daud… beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari” (HR. Bukhari).

Ada yang menarik pada maqhasid kalimat “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” dikutip dalam tafsir al-khazin yakni memiliki tujuan adanya penekanan hukum. Artinya fungsi dari frasa tersebut adalah sebagai penambah semangat dan melegakkan hati lawan bicara (mukhatab). Bagi umat Muslim bahwa puasa ini sejatinya bukan perkara yang sulit, sebab puasa sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak (orang-orang terdahulu). Oleh karenanya puasa menjadi perkara yang mudah bukan malah memberatkan kaum muslimin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah An-Naml ayat 23-25

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 23-25 mengisahkan burung Hud-hud yang pergi ke suatu negeri yakni Saba. Negeri tersebut dipimpin oleh seorang Ratu yang dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 23-25 disebutkan namanya adalah Ratu Balqis. Selengkapnya Tafsir Surah An-Naml ayat 23-25 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22


Ayat 23

Ayat ini menerangkan bahwa burung hud-hud menyampaikan kepada Nabi Sulaiman berbagai pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya selama dalam perjalanan ke negeri Saba’. Sebuah negeri yang besar dan kaya raya serta diperintah oleh seorang ratu yang cantik dan mempunyai singgasana yang besar lagi indah.

Dalam ayat ini dipahami bahwa ada tiga hal mengenai negeri Saba’ yang disampaikan oleh burung hud-hud kepada Nabi Sulaiman:

  1. Negeri Saba’ itu diperintah oleh seorang ratu yang cantik, dan memerintah negerinya dengan baik dan bijaksana.
  2. Ratu itu memerintah dengan tegas dan bijaksana karena dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan dalam pemerintahan, seperti harta dan kekayaan, tentara yang kuat, dan sebagainya.
  3. Ratu mempunyai singgasana yang indah lagi besar, yang menunjukkan kebesaran dan pengaruh kekuasaannya, baik terhadap rakyat maupun terhadap negeri-negeri yang berada di sekitarnya.

Menurut sejarah, Saba’ adalah ibu kota kerajaan Saba’ atau Sabaiyah. Kerajaan Saba’ atau Sabaiyah ini didirikan oleh Saba’ bin Yasyjub bin Ya’rub bin Qahthan yang menjadi cikal-bakal penduduk Yaman kurang lebih tahun 955 Sebelum Masehi di Yaman. Nama kota Saba’ terambil dari nama Saba’ bin Yasyjub, begitu juga nama kerajaan Saba’ atau Sabaiyah.

Kaum Saba’ termasyhur di dalam sejarah sebagai orang-orang yang bergerak dalam bidang perniagaan. Jalan-jalan perniagaan laut dan darat bertemu di negeri Yaman itu. Barang perniagaan itu dibawa dari timur jauh (Indonesia, Malaysia, India, dan Cina) ke Eropa melalui Persia, Yaman, Suriah, dan Mesir.

Dengan demikian, daerah Yaman merupakan sebuah mata rantai perniagaan yang menghubungkan kawasan timur dengan kawasan barat. Kaum Saba’ memegang peranan yang besar dalam melancarkan perniagaan itu. Negeri Yaman mempunyai armada laut dan kafilah-kafilah darat untuk mengangkut perniagaan itu, sedang kota Ma’rib pada waktu itu merupakan kota internasional.

Barang-barang yang diperniagakan ialah hasil bumi dan barang-barang dari Timur Jauh, ditambah dengan hasil bumi negeri Yaman yang melimpah ruah, karena memang daerah Yaman adalah daerah yang amat makmur. Pada waktu kembali dari Eropa, Mesir, dan Suriah, saudagar-saudagar itu membawa tekstil ke Timur.

Kemakmuran negeri Yaman disebabkan adanya bendungan-bendungan air yang dibangun oleh raja-raja Sabaiyah. Di antaranya sebuah bendungan raksasa di kota Ma’rib yang dikenal dengan bendungan Ma’rib. Dengan adanya bendungan Ma’rib ini, kaum Saba’ dapat mengadakan irigasi yang teratur, sehingga daerah Yaman menjadi subur, dan mengeluarkan hasil yang melimpah. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa kesuburan negeri Yaman itu adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah.

Adapun wanita atau ratu yang memerintah kaum Saba’ yang disebutkan dalam ayat itu menurut budaya Arab disebut Balqis. Masa pemerintahannya semasa dengan pemerintahan Nabi Sulaiman. Ia adalah putri dari Syurahil yang juga berasal dari keturunan Ya’rub bin Qahthan. Sekalipun Balqis adalah seorang wanita, namun ia sanggup membawa rakyat Saba’ kepada kemakmuran dan ketenteraman. Ia adalah seorang yang dicintai oleh rakyatnya. Dalam sejarah dikenal dengan sebutan Malikatus Saba’ (Ratu Saba’, The Queen of Sheba).

Kejayaan kerajaan Saba’ bertahan cukup lama. Kemudian mereka berpaling dari seruan Tuhan dan mendustakan para rasul dan tidak mensyukuri nikmat-Nya, bahkan tenggelam dalam segala macam kenikmatan dan kemewahan hidup. Oleh karena itu, Tuhan menghancurkan mereka dengan air bah yang amat besar akibat runtuhnya Saddu (Bendungan) Ma’rib yang tadinya menjadi sumber kemakmuran negeri mereka. Dengan runtuhnya Bendungan Ma’rib ini dan terjadinya air bah yang amat besar itu, maka hancurlah kota Ma’rib, dan robohlah kerajaan Sabaiyah. (Lihat Surah Saba’/34: 15-17).

Ayat 24

Burung hud-hud menerangkan kepada Nabi Sulaiman tentang agama yang dianut oleh kaum Saba’. Dalam penyampaian berita itu, tampak burung hud-hud telah membandingkan agama dan perbuatan-perbuatan penduduk negeri Saba’ itu, dengan kepercayaan dan agama yang diyakininya sebagai agama yang benar.

Hud-hud mengatakan bahwa dia mendapati raja putri itu bersama kaumnya menyembah matahari sebagai tuhan, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan maksiat yang bertentangan dengan agama yang benar. Mereka melakukan yang demikian itu karena setan telah berhasil memperdaya mereka.

Setan telah menjadikan pikiran dan pandangan mereka terhadap perbuatan buruk yang dilarang Allah sebagai hal yang baik dan indah. Mereka tidak lagi mengikuti ajaran-ajaran dan agama yang dibawa para rasul dahulu. Mereka tidak lagi sujud kepada Allah, tetapi kepada matahari. Oleh karena itu, mereka tidak mendapat petunjuk.

Ayat 25

Setan telah dapat memalingkan mereka dari keyakinan akan kekuasaan dan keesaan Allah, sehingga mereka tidak menyembah kepada-Nya. Mereka tidak lagi mempercayai bahwa Allah mengetahui segala yang tersembunyi di langit dan di bumi, Dialah Allah yang menciptakan segala sesuatu, seperti tumbuh-tumbuhan dan barang-barang logam yang tersembunyi di dalam bumi dan di dalam laut.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 26-31


Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22 mengisahkan tentang burung Hud-hud yang merupakan salah satu tentaranya Nabi Sulaiman. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22 ini dijelaskan bahwa Nabi Sulaiman memiliki tentara dari berbagai makhluk ciptaan Allah.

Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22 selengkapnya…….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19


Ayat 20

Ayat ini menerangkan bahwa pada suatu hari Nabi Sulaiman memeriksa barisan tentaranya, termasuk burung hud-hud, tetapi ia tidak melihatnya. Dengan nada marah dan heran ia berkata, “Mengapa aku tidak melihat burung hud-hud! Apakah aku tidak melihatnya ataukah burung hud-hud itu sendiri yang telah pergi tanpa minta izin kepadaku lebih dahulu?”

Perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dari ayat ini dipahami hal-hal sebagai berikut:

  1. Nabi Sulaiman mempunyai tentara, dan di antaranya terdapat sejenis burung yang bernama burung hud-hud. Burung hud-hud termasuk jenis burung pemakan serangga, sejenis burung pelatuk. Ia mempunyai paruh yang panjang, berjambul di kepalanya, berekor panjang, dan berbulu indah beraneka warna. Ia hidup dengan membuat sarang atau lubang pada pohon-pohon kayu yang telah mati dan lapuk.
  2. Nabi Sulaiman selalu memeriksa tentaranya. Oleh karena itu, ia mengetahui tentaranya yang hadir dan yang tidak hadir waktu pemeriksaan itu.
  3. Setiap tentaranya bepergian atau melakukan sesuatu pekerjaan hendaklah mendapat izin dari padanya terlebih dahulu. Jika ada yang melanggar ketentuan ini, akan mendapat hukuman dari Sulaiman.
  4. Tentara Sulaiman patuh mengikuti segala perintahnya dan tidak pernah ada yang mengingkarinya. Oleh karena itu, Sulaiman merasa heran dan tercengang atas kepergian burung hud-hud tanpa pamit. Tidak pernah terjadi kejadian seperti yang demikian itu sebelumnya. Ia lalu mengancam burung hud-hud dengan hukuman yang berat seandainya nanti burung itu kembali tanpa mengemukakan alasan-alasan yang dapat diterima.

Ayat 21

Ayat ini menerangkan ancaman Nabi Sulaiman kepada burung hud-hud yang pergi tanpa pamit. Ia berkata, “Seandainya burung hud-hud kembali nanti, tanpa mengemukakan alasan yang kuat atas kepergiannya dengan tidak minta izin itu, maka aku akan menyiksanya dengan mencabut bulu-bulunya, sehingga ia tidak dapat terbang lagi atau akan kusembelih. Salah satu dari dua hukuman itu akan aku laksanakan terhadapnya, agar dapat menjadi pelajaran bagi yang lain yang bertindak seperti burung hud-hud itu.”

Dari ayat ini dipahami bahwa jika burung hud-hud itu dapat mengemukakan alasan-alasan kepergiannya tanpa pamit dan alasan-alasan itu dapat diyakini kebenarannya, maka Sulaiman tidak akan melaksanakan hukuman yang telah diancamkan itu.

Ayat 22

Tidak berapa lama setelah ancaman hukuman untuk burung hud-hud itu dikeluarkan, burung itu pun datang. Sulaiman lalu menanyakan sebab-sebab kepergian burung hud-hud yang tanpa pamit itu.

Burung hud-hud itu menerangkan alasan kepergiannya dengan mengatakan bahwa ia telah pergi dan terbang mengarungi daerah yang jauh dan telah sampai kepada suatu negeri yang bernama Saba’. Ia mengetahui hal ihwal negeri itu yang Sulaiman sendiri belum mengetahuinya. Berita yang dibawanya itu adalah berita penting serta dapat diyakini kebenarannya.

Burung hud-hud telah menyampaikan berita penting itu kepada Nabi Sulaiman sedemikian rupa, dengan kata-kata yang manis lagi hormat, enak didengar telinga, disertai dengan alasan-alasan yang kuat pula. Dengan demikian, kemarahan Sulaiman kepada burung hud-hud itu berangsur-angsur mereda, akhirnya hilang sama sekali. Bahkan dengan keterangan itu, Nabi Sulaiman telah mendapat sesuatu yang berharga, sehingga hukuman yang pernah diancamkannya itu tidak jadi dilaksanakan.

Kesanggupan burung hud-hud bepergian sejauh itu dan menyampaikan berita penting kepada Nabi Sulaiman adalah suatu perwujudan kekuasaan Allah dan ilham yang ditanamkan-Nya ke dalam naluri burung hud-hud itu. Ia sanggup pergi dan terbang mengarungi daerah yang terletak antara negeri Palestina dan Yaman sekarang, suatu jarak yang cukup jauh, mengarungi daerah padang pasir yang sangat panas.

Ia mengetahui dan mengerti keadaan negeri Saba’ yang juga harus diketahui oleh Nabi Sulaiman yang bertugas sebagai seorang kepala negara dan sekaligus rasul Allah. Ia sanggup pula menyampaikan berita itu dan memberikan pengertian yang baik, sehingga Nabi Sulaiman langsung menanggapi berita yang dibawa burung hud-hud itu.

Nabi Sulaiman adalah seorang nabi dan rasul. Ia juga seorang raja yang bijaksana, yang mempunyai kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah. Ia mempunyai pengetahuan yang banyak di samping pengetahuan-pengetahuan lain yang mungkin hanya diberikan Allah kepadanya. Sedang burung hud-hud hanyalah seekor burung yang tidak mempunyai arti sama sekali, bila dibanding dengan apa yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman.

Sekalipun demikian, burung hud-hud memiliki pengetahuan yang belum diketahui oleh Nabi Sulaiman. Pengetahuan itu sangat dibutuhkan Nabi Sulaiman dalam melaksanakan tugasnya sebagai raja, terutama dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang nabi dan rasul Allah. Dalam menghadapi burung hud-hud sebagai sumber dan pembawa berita penting, Nabi Sulaiman mampu bersikap wajar, sebagai seorang hamba Allah.

Kisah Nabi Sulaiman dan burung hud-hud ini hendaknya menjadi tamsil dan ibarat bagi manusia, terutama bagi orang-orang yang telah mengaku dirinya beriman kepada Allah. Seseorang hendaknya jangan merasa sombong dan takabur karena pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Semua yang diberikan itu walau berapa pun banyaknya menurut dugaannya, namun yang diperoleh itu hanyalah sedikit sekali bila dibanding dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kekayaan Allah.

Oleh karena itu, jangan sekali-kali menganggap rendah, enteng, dan hina sesuatu atau seseorang. Mungkin Allah telah memberikan kepada seseorang yang dianggap hina dan rendah itu, apa yang tidak dipunyai oleh orang lain, yang mungkin diperlukan untuk suatu kepentingan, sebagaimana yang telah dianugerahkan-Nya kepada burung hud-hud. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan memuliakan manusia.

Oleh karena itu, hendaklah manusia hidup berkasih-kasihan, tolong-menolong, dan hormat-menghormati antara sesama manusia. Tirulah sikap Nabi Sulaiman kepada burung hud-hud, yang selalu mengasihi dan menghormatinya, meskipun hanya seekor burung.

(Tafsir Kemenag)