Beranda blog Halaman 323

Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19 mengisahkan percakapan Nabi Sulaiman dengan Raja Semut.  Menurut Qatadah dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19 ini terjadi ketika Sulaiman berjalan dengan tentaranya di lembah Syam.

Selanjutnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19 di bawah ini…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml Ayat 16-17


Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa pada suatu ketika Sulaiman berjalan dengan tentaranya pada suatu daerah, yang menurut Qatadah, merupakan suatu daerah di lembah Syam. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba Sulaiman mendengar suara raja semut yang memerintahkan kepada rakyatnya agar segera memasuki liangnya masing-masing, agar tidak terinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya. Sulaiman dan tentaranya bisa menginjak mereka tanpa menyadarinya, karena semut makhluk yang amat kecil, sehingga Sulaiman dan bala tentaranya tidak melihatnya.

Ayat ini memperlihatkan adanya komunikasi di antara semut dan kehidupan sosial di bawah kepemimpinan rajanya. Penelitian mengungkapkan bahwa untuk melaksanakan kehidupan sosial yang sangat terorganisasi ini, semut mempunyai kemampuan komunikasi yang canggih. Di bagian kepala semut terdapat seperangkat alat peraba yang dapat mengenali sinyal kimia maupun visual.

Otaknya terdiri atas sekitar setengah juta simpul syaraf, mempunyai mata yang berfungsi baik, dan sungut yang berfungsi sebagai hidung untuk mencium atau ujung jari untuk meraba. Tonjolan-tonjolan yang terletak di bawah mulutnya berfungsi sebagai pencecap. Sedang rambut-rambut yang ada di tubuhnya bereaksi terhadap sentuhan.

Walaupun banyak organ yang dimiliki semut untuk berkomunikasi, namun komunikasi utama yang dilakukan adalah komunikasi kimiawi. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan feromon, suatu senyawa kimia seperti hormon yang mengeluarkan bau dan dihasilkan oleh salah satu kelenjar di dalam tubuh semut itu.

Dengan menggunakan hormon inilah semut berkomunikasi. Apabila seekor semut mengeluarkan feromon, maka semut lainnya akan menerimanya dengan cara mencium baunya atau menyentuhnya, dan bereaksi terhadapnya.


Baca Juga: Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja


Ayat 19

Mendengar perkataan raja semut bahwa Sulaiman dan tentaranya tidak bermaksud membinasakan mereka dan berbuat jahat, membuat Sulaiman tersenyum. Raja semut itu juga mengatakan bahwa seandainya ada di antara semut-semut itu yang terinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, maka hal itu bukanlah sengaja dilakukannya, tetapi karena Sulaiman dan tentaranya tidak melihat mereka, karena tubuh mereka amat kecil.

Atas rahmat dan karunia yang telah diberikan Allah kepada Sulaiman berupa kemampuan memahami percakapan raja semut itu, dan adanya semacam anggapan baik dari raja semut terhadap Sulaiman dan bala tentaranya, maka Sulaiman berdoa kepada Allah,

“Wahai Tuhanku Yang Pemberi Rahmat, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang terus-menerus mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada ibu-bapakku. Jadikanlah aku sebagai seorang hamba-Mu yang selalu mengerjakan amal-amal saleh yang Engkau ridai, dan jadikanlah aku orang yang berkeinginan mengerjakan amal saleh itu. Bila aku meninggal dunia, masukkanlah aku ke dalam surga bersama-sama orang-orang yang saleh yang Engkau masukkan ke dalamnya dengan rahmat-Mu.”

Dari doa Nabi Sulaiman itu dipahami bahwa yang diminta oleh Sulaiman kepada Allah ialah kebahagiaan yang abadi di akhirat nanti. Sekalipun Allah telah melimpahkan beraneka ragam kesenangan dan kekuasaan duniawi kepadanya, namun ia tidak lupa diri karenanya. Ia yakin bahwa kesenangan duniawi itu adalah kesenangan yang sementara sifatnya dan tidak kekal.

Sikap Nabi Sulaiman pada waktu menerima nikmat Allah itu adalah sikap yang harus dicontoh dan dijadikan suri teladan oleh setiap kaum Muslimin. Berdoa dan bersyukurlah kepada Allah setiap mendapatkan nikmat-Nya, dan tidak bersikap mengingkari nikmat-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 20-22


Masuk Masjid Aman Dari Virus? Berikut Tafsir Surah Ali Imran Ayat 96

0
Ali Imran Ayat 96
Ali Imran Ayat 96

Beberapa hari yang lalu dunia maya sempat dihebohkan dengan perseteruan beberapa orang di dalam masjid. Mereka memperdebatkan salat dengan memakai masker di dalam masjid. Argumen dilontarkan, Salah satu ayat al-Qur’an yang dikutip adalah surah Ali Imran ayat 96 berbunyi  faman dakhalaku kana aminan dan menjelaskan bahwa orang yang masuk dalam masjid aman.

Terlepas dari kontroversi perdebatan tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk “dikomentari”. Pertama, penggalan ayat fa man dakhalaku kana aminan sebenarnya berada dalam surah Ali Imran ayat 97 bukan 96 dengan redaksi wa man dakhalahu kana aminan. Menggunakan huruf waw dalam lafadz wa man, bukan menggunakan huruf fa.

Sejauh pendengaran penulis, dalam vidio tersebut “sepertinya” beliau membacanya dengan huruf fa, menjadi fa man dakhalahu kana aminan. Ingat, ini “sepertinya” jadi mungkin saja beliau benar melafadzkan, dan saya yang salah dalam mendengarkannya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Kedua, saya tertarik untuk membahas penafsiran ulama mengenai penggalan ayat tersebut. Namun sebelumnya mari kita lihat redaksi lengkap dari surah Ali Imran ayat 97 :

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Menurut Abu fida’ Ibn Kathir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim atau yang biasa dikenal dengan tafsir Ibn Kathir, penggalan ayat wa man dakhalahu kana aminan merujuk kepada haram Makkah, sebagaimana keterangan dalam tafsirnya :

وَمَنْ دَخَلَهُ كانَ آمِناً يَعْنِي حَرَمُ مَكَّةَ إِذَا دَخَلَهُ الْخَائِفُ يَأْمَنُ مِنْ كُلِّ سُوءٍ وقوله تعالى:

Hal senada juga dijelaskan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Menurutnya makna penggalan ayat wa man dakhalahu kana aminan (barangsiapa memasukinya menjadi amanlah dia)  dengan “yakni siapapun yang masuk dan berkunjung ke Ka’bah  atau masuk ke dalam masjid di mana Ka’bah itu berada, dia tidak boleh diganggu, karena Allah menghendakai agar siapa pun yang mengunjunginya dengan tulus,merasa tenang dan tenteram, terhindar dari rasa takut terhadap segala macam gangguan lahir dan batin

Sementara itu dalam Tafsir al-Baghawi terdapat keterangan yang sedikit berbeda mengenai “keamanan” yang dimaksud dalam penggalan ayat ini. Beliau menulis salah satu pendapat ulama yang menyatakan:

وَمَنْ دَخَلَهُ مُعَظِّمًا لَهُ مُتَقَرِّبًا إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ كَانَ آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْعَذَابِ.

Barang siapa yang masuk ke Makkah, mengangungkannya dan bertaqarub kepada Allah Azza wa Jalla maka ia aman dari siksa pada hari kiamat.

Meskipun berbeda dalam menjelaskan “keamanan” dalam penggalan ayat tersebut, namun al-Baghawi tetap sama dalam memahami bahwa ayat tersebut bicara mengenai Makkah/Ka’bah secara khusus. Bahkan al-Baghawi dalam menjelaskan makna ayat ini juga mengutip ayat “rabbi ij’al hadha baladan amina” (surah Ibrahim ayat 35) yang merupakan do’a Nabi Ibrahim untuk Makkah. Semakin jelas bahwa ayat ini memang bicara tentang Makkah atau kota yang di dalamnya terdapat Ka’bah/baitullah.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?

Sebab menurut al-Maraghi, surah Ali Imran ayat 96-97 merupakan bantahan terhadap ahlu kitab yang menganggap bahwa Bait al-Muqaddas lebih utama dibandingkan dengan Ka’bah. Anggapan ini mereka utarakan karena “kecewa” dengan perubahan kiblat umat Islam dari Bait Muqadas ke Bait al-Haram.

Sehingga mereka membangun berbagai macam argumentasi untuk menyakinkan bahwa Bait al-Muqadas lebih utama dibanding Ka’bah dan lebih “berhak” menjadi kiblat. Keyakinan dan “propaganda” mereka ini kemudian dibantah oleh Allah melalui dua ayat tersebut.

Dengan demikian, sekali lagi ayat ini sebenarnya sedang membicarakan kota Haram Makkah secara khusus, bukan masjid secara umum. Sehingga kurang tepat kiranya jika ayat ini dijadikan argumentasi bahwa orang yang masuk masjid, akan aman (dari wabah penyakit). Wallahu a’lam bi shawab.

Penafsiran Kaum Sufi Tentang Persoalan Apakah Manusia Dapat Melihat Allah Swt

0
manusia dapat melihat Allah Swt
manusia dapat melihat Allah Swt

Dalam diskursus ilmu kalam, terdapat sebuah persoalan pelik yang sering diperdebatkan oleh para ulama, yakni tentang apakah manusia dapat melihat Allah swt atau tidak. Pertanyaan semacam ini muncul akibat adanya perbedaan penafsiran terkait ayat-ayat yang berbicara mengenai ru’yatullah dan kejadian-kejadian perjumpaan para nabi dengan Allah swt seperti peristiwa Isra Mikraj.

Secara umum, pandangan terhadap permasalahan ini terbagi kepada dua kelompok, yakni: pertama, mereka yang mengatakan bahwa manusia dapat melihat Allah swt di akhirat kelak sesuai izin-Nya; kedua, mereka yang berpandangan bahwa manusia tidak dapat melihat Allah di akhirat kelak. Masing-masing kelompok memiliki argumentasi tersendiri.

Sebagai contoh, Imam Asy’ari dalam kitabnya, Maqalat al-Islamiyah, mengatakan, “Di antara pendapat Ahlusunnah adalah orang mukmin dapat melihat Allah di akhirat kelak dengan mata sebagaimana melihat bulan purnama dengan mata (artinya, tidak ada kesamaran atau keraguan dalam melihat-Nya), dan hal ini tidak berlaku bagi orang kafir.”

Baca Juga: Tafsir Sufistik: Kenali Dua Golongan Yang Mempengaruhi Kendali Manusia

Pandangan tersebut didasarkan pada surah al-Mutaffifin [83] ayat 15 yang bermakna, “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.” Dengan demikian, dapat dipahami bahwa orang-orang kafir di akhirat kelak akan terhalang dari melihat Allah swt. Sebaliknya, orang-orang beriman dapat melihat-Nya.

Hal serupa disampaikan oleh Imam Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam al-Bajuri. Saking yakinnya terhadap doktrin bahwa manusia dapat melihat Allah swt di akhirat kelak, ia bahkan berkata, “Ingatlah, aku bersumpah atas nama Allah swt, andaikan Muhammad bin Idris tidak yakin bahwa ia kelak akan melihat Tuhannya di akhirat niscaya ia tidak menyembah-Nya di dunia.

Firman Allah swt:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ ٢٢ اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ ٢٣

Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah [75] ayat 22-23).

Sedangkan di sisi lain, al-Juba’i (w. 303 H), seorang tokoh Muktazilah, menyebutkan bahwa kata النظر pada ayat di atas tidak dapat dimaknai melihat Allah swt. Dengan kata lain, ayat ini menafikan doktrin manusia dapat melihat Allah di akhirat kelak, karena kata النظر lebih condong bermakna menunggu (الانتظار), tepatnya, “menunggu nikmat Tuhannya.”

Pandangan yang sama disampaikan oleh Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasysyaf ‘An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Takwil. Menurutnya, ayat 22-23 ini bermakna orang-orang mukmin di akhirat kelak akan menunggu nikmat Tuhannya dengan wajah yang berseri-seri sebagaimana seseorang menunggu dengan penuh harap-senang terhadap kabar atau sesuatu yang diidam-idamkan.

Berkenaan dengan perdebatan masalah ini, para sufi sepakat – sebagaimana disampaikan Abu Bakar al-Kalabadzi dalam Ta’arruf li Mazhab Ahl al-Tasaawuf – bahwa manusia dapat melihat Allah swt di akhirat kelak sesuai izin-Nya. Orang-orang mukmin dapat melihat-Nya dengan penglihatan secara jelas, sedang orang kafir tidak dapat melihat-Nya sedikit pun.

Mereka juga sepakat bahwa manusia dapat melihat Allah dengan akal atau pendengarannya, seseorang mungkin mengetahui Allah dengan akalnya karena sesungguhnya Allah itu ada, setiap yang ada maka mungkin (jaiz) untuk dapat dilihat apabila Allah memungkinkannya. Dan seandainya tidak ada kemungkinan sama sekali, niscaya Nabi Musa tidak akan meminta untuk melihat-Nya.

Mereka memberi catatan, manusia dapat melihat Allah swt di akhirat kelak, bukan di dunia. Karena dunia adalah tempat yang fana (tidak kekal) sehingga tidaklah patut manusia dapat melihat Dia Yang Abadi di dunia yang fana ini. Selain itu, Dzat Yang Maha Absolut juga tidak mungkin dicapai atau digapai dengan indra manusia yang relatif-subjektif.

Sebagian orang mungkin bertanya, lantas bagaimana dengan peristiwa Isra Mikraj, apakah nabi Muhammad saw melihat Allah swt? berkenaan hal ini, para sufi terbagi kepada tiga kelompok; pertama, mayoritas mereka mengatakan Nabi tidak melihat Allah swt secara indrawi; kedua, nabi Muhammad saw melihat Allah namun tak terperi; ketiga, nabi Muhammad melihat Allah dengan hati.

Kelompok pertama menyatakan nabi Muhammad saw tidak melihat ketika peristiwa Isra Mikraj dan tidak ada satu pun makhluk yang melihat-Nya dengan penglihatan di dunia ini. Aisyah ra berkata, “Barang siapa beranggapan bawa nabi Muhammad telah melihat Allah, maka ia telah berbohong.” Pandangan ini diikuti oleh al-Junaid, al-Nuri dan Abu Sa’id al-Kharraz.

Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Kelompok kedua beranggapan bahwa nabi Muhammad saw melihat Allah dalam kondisi yang tak terperikan dan hanya dikhususkan kepada beliau, tidak bagi makhluk yang lain, sebagaimana nabi Musa berbicara kepada Allah swt dari balik api. Artinya, nabi melihat Allah swt atas izin-Nya sebagai kekhususan baginya dan tidak mungkin diikuti oleh satu orang pun.

Kelompok ketiga berpandangan bahwa ketika Isra Mikraj nabi Muhammad saw telah melihat Allah swt dengan hati sanubarinya, bukan dengan penglihatan mata atau secara indrawi. Mereka mendasarkan pandangan ini pada firman Allah swt dalam surah al-Najm [53] ayat 11 yang bermakna, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”

Dari ketiga pendapat di atas, pandangan kelompok pertamalah yang paling banyak diikuti oleh kaum sufi, bahwa manusia dapat melihat Allah di akhirat, bukan di dunia. Namun terlepas dari perdebatan tersebut, al-Kalabadzi menuturkan yang terpenting adalah keimanan kepada Allah swt dan kepatuhan kepada-Nya, bukan perdebatan tentang-Nya. Itulah yang mesti dituju oleh seluruh manusia. Wallahu a’lam.

Haruskah Zakat Fitrah Dibagikan Secara Merata ke Delapan Golongan?

0
Memberi zakat haruskah ke delapan golongan secara merata?
Memberi zakat haruskah ke delapan golongan secara merata?

Allah telah menerangkan bahwa zakat dibagikan kepada delapan golongan, yang diantaranya adalah orang miskin, mualaf dan musafir. Ulama fikih berselisih pendapat mengenai ayat tersebut. Yakni apakah penyebutan delapan golongan tersebut memiliki konsekwensi bahwa zakat haruslah dibagikan secara merata kepada kedelapan golongan tersebut?

Bagaimana semisal kita membagikan zakat sendiri dan hanya memberikannya kepada fakir dan miskin, yang umumnya kita temui di dekat kita? Apakah itu sudah dengan syariat Islam? Ataukah kita perlu membagi-bagi zakat kita menjadi delapan bagian, lalu mencari mualaf serta golongan lainnya agar penerima zakat kita lengkap menjadi 8 golongan? Berikut penjelasan ulama.

Delapan Golongan Penerima Zakat di dalam Al-Quran

Ayat yang menjadi sumber perselisihan ulama mengenai keharusan membagikan zakat kepada 8 golongan penerima secara merata berbunyi:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah [9] :60)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Adakah Tafsir Ayat Tentang Disyariatkanya Zakat Fitrah?

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya tatkala tiba pada ayat di atas menyatakan, ulama berselisih pendapat terkait 8 golongan ini. Haruskan zakat dibagikan secara merata kepada mereka semua, ataukah cukup pada golongan yang memungkinkan saja? Salah satu pendapat menyatakan bahwa wajib membagikan zakat secara merata kepada 8 golongan tersebut. Pendapat ini diyakini oleh Mazhab Syafiiyah dan sekelompok ulama.

Pendapat lain menyatakan, tidak wajib membagikan zakat secara merata kepada 8 golongan tersebut. bahkan boleh memberikan zakat kepada salah satu golongan tersebut meski sebenarnya golongan lainnya ada. Pendapat ini adalah pendapat yang diyakini Mazhab Malikiyah dan ulama salaf serta khalaf. Pendapat ini juga diyakini oleh sahabat ‘Umar, Khudzaifah, Ibn ‘Abbas, Abul ‘Aaliyah, Sa’iid ibn Jubair dan Maimun ibn Mihran (Tafsir Ibn Katsir/4/165).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa perbedaan pendapat tersebut berkaitan dengan perbedaan dalam memaknai lam huruf jar pada redaksi lilfuqara’. Menurut Mazhab Malikiyah dan Hanafiyah, redaksi itu bermaksud menjelaskan golongan yang berhak menerima zakat, agar kemudian penyerahan zakat tidak salah sasaran saja. Sedang untuk masalah teknis pembagian, itu diserahkan pada pengelola zakat tersebut.

Baca juga: Surat Al-Baqarah [2] Ayat 264: Jangan Merusak Pahala Sedekah

Sedang Mazhab Syafiiyah meyakini bahwa lam huruf jar pada redaksi lilfuqara’, menunjukkan makna “kepemilikan” yang berati zakat adalah milik 8 golongan tersebut. Karena dianggap milik kedelapan golongan tersebut, maka sudah seharusnya dalam pembagiannya harus dilakukan secara merata. Tidak cukup satu atau dua golongan saja (Tafsir Al-Qurthubi/8/167).

Imam Ar-Razi menyatakan, SurahAt-Taubah ayat 60 sama sekali tidak bisa menjadi dasar bagi pendapat Mazhab Syafiiyah yang mewajibkan membagikan zakat secara merata kepada 8 golongan di atas. Imam Ar-Razi menyodorkan argument secara naqli dan logika untuk mendukung pernyataannya. Diantaranya adalah, meski zakat milik ke 8 golongan tersebut, itu bukan berarti zakat tiap orang dimiliki oleh 8 golongan. Sehingga setiap zakat yang ada, haruslah dibagi delapan. Karena hal yang dimiliki oleh sebuah kelompok, tidak selalu menjadi milik tiap-tiap orang dalam kelompok tersebut (Tafsir Mafatihul Ghaib/8/69).

Penutup

Pendapat Mazhab Syafiiyah yang mewajibkan membagikan zakat secara merata kepada delapan golongan, tentu menjadi dilema tersendiri bagi penganut mazhab tersebut. Dan ini bisa menjadi dilema mayoritas umat muslim di Indonesia, sebab mayoritas umat muslim Indonesia bermazhab Syafiiyah. Dilema tersebut muncul disebabkan banyaknya muslim yang menyerahkan zakatnya secara mandiri, yang tentunya akan kesulitan bila harus memenuhi ketentuan tersebut

Baca juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Namun dilema ini sepertinya ditangkap oleh kalangan ulama fikih mazhab Syafiiyah. Abdurrahman Ba’alawi dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin; salah satu kitab rujukan Mazhab Syafiiyah menyatakan, ada sebagian ulama mazhab Syafiiyah yang berpendapat tidak wajibnya membagi rata zakat fitrah kepada 8 golongan. Dan kita diperbolehkan mengikuti pendapat tersebut, tanpa harus beralih ke mazhab lain. (Bughyatul Mustarsyidin/1/219)

Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah An-Naml ayat 16-17

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 16-17 menerangkan asal-usul Nabi Sulaiman menjadi Nabi dan juga Raja. Selain itu dikisahkan pula dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 16-17 ini bahwa Nabi Sulaiman juga telah membentuk pasukan.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 16-17


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 15


Ayat 16

Ayat ini menerangkan bahwa Sulaiman, putra Daud, menggantikan bapaknya sebagai raja dan rasul Allah. Menurut Ibnu ‘Athiyyah, Daud adalah raja dan rasul Allah yang diutus kepada Bani Israil. Jabatan ini dipegang Sulaiman setelah bapaknya meninggal dunia. Karena Sulaiman menerima kedua jabatan itu setelah bapaknya meninggal dunia, maka disebutlah dalam ayat ini: Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.

Menurut al-Kalbi, Nabi Daud mempunyai 19 orang anak laki-laki. Di antara mereka semua, hanya Sulaiman sendiri yang mewarisi ilmu pengetahuan dan kesanggupan mengendalikan pemerintahan dari bapaknya. Oleh karena itu pula, beliau yang menggantikan bapaknya sebagai kepala negara. Kemudian Allah juga mengangkat Sulaiman menjadi rasul.

Menurut Ensiklopedia Americana, Nabi Daud diangkat menjadi raja pada tahun 1002 Sebelum Masehi (SM), pada waktu ia berumur 37 tahun (ia dilahirkan pada tahun 1039 SM). Daud meninggal dunia pada tahun 962 SM, dan memerintah selama 40 tahun, yaitu 7 tahun di Hebron dan 33 tahun di Yerusalem.

Sebelum meninggal dunia, Daud menunjuk putranya yang bernama Sulaiman menjadi raja sesudahnya. Beliau meninggal setelah memberikan nasihat-nasihat dan pesan-pesan yang amat berharga kepada Sulaiman. Di antara nasihat dan pesan itu ialah agar melakukan ibadah kepada Allah, memelihara segala hukum, undang-undang, syariat, dan firman-Nya, sesuai dengan yang tersebut dalam Taurat Musa, serta mendirikan sebuah Haikal sebagai tempat beribadah kepada-Nya.

Setelah Nabi Daud meninggal dunia, mulailah Sulaiman memegang tampuk pemerintahan yaitu pada tahun 961 Sebelum Masehi. Sebagai seorang raja dan nabi, semua nasihat dan pesan Nabi Daud itu dilaksanakan dengan baik, sehingga kerajaan menjadi stabil dan mantap di tangannya, sampai beliau meninggal dunia. (Lihat “David”, Encyclopaedia Americana, Jilid 8, hlm. 526).

Di samping mewarisi kerajaan, ilmu pengetahuan, kenabian, dan kitab Zabur dari bapaknya, Sulaiman juga dianugerahi Allah dengan beberapa keutamaan yang lain. Oleh karena itu, dia bersyukur kepada Allah dengan mengatakan, “Wahai sekalian manusia, Allah telah menganugerahkan kepada kami pengertian dan pengetahuan tentang suara burung dan diberi segala sesuatu yang diperlukan. Sesungguhnya semua benar-benar suatu yang nyata.”

Nabi Sulaiman dengan kekuatan dan kesanggupan yang telah diberikan Allah kepadanya, dapat memahami suara-suara binatang yang lain, selain dari suara burung. Dalam ayat ini, dikhususkan menyebutkan bahwa Sulaiman memahami suara burung karena burung adalah tentara khusus Nabi Sulaiman yang mempunyai keistimewaan khusus pula, seperti yang telah dilakukan oleh burung hud-hud.

Sebagaimana diketahui bahwa suara pada binatang merupakan bahasa isyarat yang berlaku di antara mereka. Suara-suara itu terdengar dalam bentuk dan nada yang bermacam-macam, seperti suara dalam keadaan riang berbeda dengan suara burung dalam keadaan ketakutan. Suara kambing betina yang kehilangan anaknya berlainan dengan suara dikejar atau diterkam binatang buas.

Nabi Sulaiman mengetahui maksud suara-suara binatang itu dengan kekuatan perasaan dan ilmu pengetahuan yang telah dilimpahkan Allah kepadanya. Menurut al-Baidhawi, apabila mendengar suara-suara burung, Nabi Sulaiman mengetahui makna dan maksud suara-suara itu dengan kekuatan perasaannya.

Dalam ayat ini diterangkan pula bahwa Allah telah melimpahkan kepada Sulaiman segala macam kesanggupan dan segala sesuatu yang diperlukannya untuk mengendalikan pemerintahan negaranya. Dengan demikian, masa pemerintahan Nabi Sulaiman itu merupakan masa kejayaan Bani Israil.

Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat “wa utina min kulli syai’in” (dan diberi segala sesuatu yang diperlukan), maksudnya ialah Allah telah menganugerahkan kepada Sulaiman hikmah, harta yang berlipat ganda, kekuatan yang besar dan luas sebagai seorang raja, dan menundukkan jin, manusia, burung, dan binatang lainnya.

Karena nikmat yang telah dilimpahkan itu, maka Nabi Sulaiman ber-syukur kepada Allah dengan menyatakan bahwa segala nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya, baik yang berupa pengetahuan, pemberian, keutamaan, dan sebagainya adalah suatu keistimewaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Dengan berbagai karunia itu, Allah telah melebihkannya dari manusia-manusia yang lain.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan bahwa Sulaiman telah dapat membentuk bala tentara yang terdiri dari berbagai macam jenis makhluk, seperti jin, manusia, burung, dan binatang yang lain. Bala tentara itu setiap saat dapat dikerahkan untuk memerangi orang-orang yang tidak mau mengindahkan seruannya. Semua tentara itu berbaris rapi, bersatu, dan berkumpul di bawah kepemimpinannya.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 18-19


Tafsir Surah An-Naml ayat 15

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 15 mengulas tentang anugerah Allah terhadap Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 15 ini disebutkan 4 macam anugerah Allah kepada Nabi Daud yang salah satunya adalah gunung-gunung bertasbih kepadanya.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah An-Naml ayat 15 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14


Ayat 15

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman (putra Nabi Daud) ilmu pengetahuan, baik yang berhubungan dengan pengetahuan tentang Tuhan dan syariat-syariatnya, maupun yang berhubungan dengan pengetahuan umum, seperti kemampuan dan bakat memimpin dan mengatur bangsanya.

Kedua nabi ini tidak saja memiliki pengetahuan, tetapi juga mengamalkannya dengan baik. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang dipunyai oleh masing-masing nabi itu tidak hanya berfaedah bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan umatnya di dunia dan di akhirat kelak.

Karena memperoleh nikmat yang tidak terhingga dari Allah, keduanya mensyukuri nikmat tersebut dengan mengucapkan:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ فَضَّلَنَا عَلَى كَثِيْرٍ مِنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ

Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba yang beriman.

Sikap bersyukur Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dalam menerima nikmat Allah itu merupakan sikap yang terpuji. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar kaum Muslimin meneladani sikap tersebut. Mensyukuri nikmat berarti hamba yang menerima nikmat itu benar-benar merasakan bahwa yang diterimanya itu merupakan pernyataan kasih sayang Allah kepadanya dan merasa bahwa ia memang memerlukan nikmat Allah itu. Tanpa nikmat itu, ia tidak akan hidup dan merasakan kebahagiaan. Allah berfirman:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrahim/14: 7).

Allah mengangkat Nabi Daud sebagai seorang kepala negara dan rasul Allah. Sebagai kepala negara, Allah menganugerahkan kepada Nabi Daud segala macam ilmu yang diperlukan. Di antara keutamaan dan ilmu yang dikaruniakan itu ialah:

  1. Allah menundukkan gunung dan burung kepada Daud. Gunung dan burung itu bertasbih bersama Daud pagi dan petang. Allah berfirman:

 اِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهٗ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْاِشْرَاقِۙ  ١٨  وَالطَّيْرَمَحْشُوْرَةً ۗ كُلٌّ لَّهٗٓ اَوَّابٌ  ١٩

Sungguh, Kamilah yang menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) pada waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masing sangat taat (kepada Allah). (Shad/38: 18-19).

  1. Allah menganugerahkan kepada Daud pengetahuan melunakkan besi, sehingga ia dapat membuat baju besi dan keperluan lain, untuk memperkuat pemerintahan dan kerasulannya. Allah berfirman:

وَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ

dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Saba’/34: 10).

  1. Allah telah menguatkan kerajaan Daud dan menganugerahinya hikmah dan kebijaksanaan, sehingga ia dapat menyelesaikan dengan mudah perselisihan dan perkara yang diajukan kepadanya. Allah berfirman:

وَشَدَدْنَا مُلْكَهٗ وَاٰتَيْنٰهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara. (Shad/38: 20).

Menurut al-Baidhawi, yang dimaksud dengan firman Allah, “Dan Kami perkuat kerajaannya” ialah, “Kami (Allah) telah memperkuatnya dengan kekebalan, memenangkan peperangan, dan banyak mempunyai tentara.

4.  Allah menurunkan kepadanya kitab Zabur, sehingga beliau termasuk salah seorang dari empat orang rasul yang diturunkan kitab kepadanya. Allah berfirman:

وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيّٖنَ عَلٰى بَعْضٍ وَّاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًا

Dan sungguh, Kami telah memberikan kelebihan kepada sebagian nabi-nabi atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (al-Isra’/17: 55).;5.

Allah memberikan kesanggupan kepadanya memahami pembicaraan burung, sebagaimana yang diterangkan pada ayat berikut.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 16-17


Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14 berisi tentang rentetan pembicaraan antara Nabi Musa dan Allah ketika berada di lembah Thuwa. Dalam Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14 ini dikisahkan bahwa Allah memerintahkan Musa untuk melemparkan tongkatnya.

Selengkapnya baca Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14 di bawah ini….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9


Ayat 10-11

Ayat ini adalah rentetan pembicaraan langsung antara Allah dan Musa di lembah suci Thuwa. Setelah Musa diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah memerintahkan Musa untuk melemparkan tongkat yang dipegang tangan kanannya.

Ketika tongkat itu dilemparkan, Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor jann, yaitu sejenis ular yang sangat gesit geraknya. Tidak terlintas di hati Musa sedikit pun bahwa tongkatnya itu akan berubah menjadi ular, padahal dengan tongkat itu Musa dapat mengambil manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai penggembala kambing. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

قَالَ هِيَ عَصَايَۚ اَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَاَهُشُّ بِهَا عَلٰى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ اُخْرٰى

Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” (Thaha/20: 18).

Ketika Musa melihat tongkatnya menjadi ular, dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh, karena merasa sangat ketakutan. Pada saat itu, Allah berfirman kepada Musa agar jangan takut, karena sesungguhnya orang yang diangkat menjadi rasul tidak patut takut di hadapan-Nya. Seruan Allah ini didahului dengan perintah untuk datang ke hadapan-Nya dan dijamin keamanannya. Maka Allah menegaskan dengan firman-Nya:

يٰمُوْسٰىٓ اَقْبِلْ وَلَا تَخَفْۗ اِنَّكَ مِنَ الْاٰمِنِيْنَ

…”Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman. (Al-Qashash/28: 31)

Selain itu, Allah memerintahkan Musa untuk memegang ular tersebut agar menjadi tongkat kembali. Ini merupakan mukjizat yang pertama bagi Musa. Firman Allah:

قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْۗ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الْاُوْلٰى

Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. (Thaha/20: 21).

Adapun orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berbuat zalim, yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Zalim itu bisa terhadap diri sendiri, orang lain, maupun makhluk-makhluk Allah lain.

Orang yang sungguh-sungguh bertobat kepada Allah, tidak akan berbuat zalim lagi, kemudian mengiringinya dengan perbuatan baik, tidak perlu takut menghadapi Allah. Hal ini merupakan kabar gembira bagi mereka dan juga bagi seluruh umat manusia, sebagaimana perilaku para tukang sihir Fir’aun yang beriman kepada Musa sebagai utusan Allah. Siapa saja yang berbuat dosa, kemudian menghentikan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut dan bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

وَاِنِّيْ لَغَفَّارٌ لِّمَنْ تَابَ وَاٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدٰى

Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk. (Thaha/20: 82).

Dan firman-Nya lagi:

وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisa’/4: 110).

Ayat 12

Pada ayat ini, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya yang lain, setelah menunjukkan kekuasaan-Nya mengubah benda mati yang berada di tangan Musa menjadi makhluk hidup berupa ular. Kemudian Musa diperintahkan untuk memasukkan tangannya ke ketiak, melalui belahan leher bajunya. Ketika dikeluarkan, tangan itu mengeluarkan cahaya berwarna putih cemerlang. Ini merupakan mukjizat kedua Musa.

Dua macam mukjizat Musa ini merupakan bagian dari sembilan mukjizat yang diberikan Allah kepadanya. Mukjizat ini menjadi bukti kepada Fir’aun dan kaumnya bahwa Musa adalah utusan Allah untuk mengajak ke jalan yang benar dan diridai-Nya. Jumlah mukjizat Musa yang sembilan itu ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا مُوْسٰى تِسْعَ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍ

Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata. (al-Isra’/17: 101).

Musa diutus Allah dengan bermacam-macam kejadian yang luar biasa untuk menghadapi Fir’aun dan kaumnya yang fasik, melampaui batas fitrah manusia. Bahkan Fir’aun mengaku dirinya sebagai Tuhan dan dibenarkan pengakuannya ini oleh kaumnya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

فَقَالَ اَنَا۠ رَبُّكُمُ الْاَعْلٰىۖ

(Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (an-Nazi’at/79: 24).

Ayat 13

Ketika Musa berhadapan dengannya, Fir’aun mengaku bahwa dirinya adalah tuhan. Fir’aun minta bukti kepada Musa bahwa ia benar-benar utusan Allah. Musa sebagai utusan Allah memberi bukti dengan melemparkan tongkatnya yang kemudian menjadi ular yang bergerak dengan gesit, kemudian memasukkan tangannya ke ketiaknya melalui belahan leher bajunya, lalu dikeluarkan maka tangannya menjadi putih bersinar cemerlang bagi orang-orang yang melihatnya. Ayat ini menjelaskan bahwa kedua bukti di atas sangat jelas menjadi saksi nyata bahwa Musa benar-benar utusan Allah. Akan tetapi, mereka mengingkari bukti-bukti tersebut dan berkata bahwa hal itu adalah sihir semata.

Ayat 14

Mereka mendustakan bukti-bukti tersebut dengan perkataan, sedangkan di dalam hati kecil, mereka membenarkan bahwa Musa utusan Allah. Mereka ingkar karena hati mereka dipenuhi sifat zalim dan rasa sombong, akibatnya mereka tidak mau mengikuti kebenaran. Sikap mereka yang takabur, sombong, dan tinggi hati ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

فَاسْتَكْبَرُوْا وَكَانُوْا قَوْمًا عَالِيْنَ

Tetapi mereka angkuh dan mereka memang kaum yang sombong. (al-Mu’minun/23: 46).

Hal ini merupakan peringatan bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Mereka diseru untuk memperhatikan akibat yang dialami Fir’aun dan kaumnya, yaitu binasa tenggelam di laut, sebagaimana Allah berfirman:

فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَاَغْرَقْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ

Maka Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka di laut karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami. (al-A’raf/7: 136).

Ayat di atas juga merupakan peringatan bagi orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad. Mereka akan menerima akibat yang sama seperti orang-orang dahulu yang mendustakan ajaran-ajaran Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 15


Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 mengulas kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir. Tujuan diturunkannya Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 ini adalah sebagai pembelajaran bagi umat Nabi Muhammad.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6


Ayat 7

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perintah agar beliau menyampaikan kepada umatnya kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir dengan disertai oleh keluarganya. Perjalanan ini dilakukan setelah Musa menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang disepakati antara Musa dengan mertuanya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

فَلَمَّا قَضٰى مُوْسَى الْاَجَلَ وَسَارَ بِاَهْلِهٖٓ اٰنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّوْرِ نَارًاۗ قَالَ لِاَهْلِهِ امْكُثُوْٓا اِنِّيْٓ اٰنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّيْٓ اٰتِيْكُمْ مِّنْهَا بِخَبَرٍ اَوْ جَذْوَةٍ مِّنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُوْنَ

Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung. Dia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sepercik api, agar kamu dapat menghangatkan badan.” (al-Qashash/28: 29).

Waktu yang ditentukan itu adalah hasil perjanjian antara Musa dengan mertuanya ketika menetapkan mahar perkawinannya, yaitu bekerja meng-gembalakan kambing mertuanya selama delapan tahun atau disempurnakan menjadi sepuluh tahun. Sepuluh tahun menunjukkan kegigihan dan kesungguhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarganya dalam ayat di atas adalah istrinya, tanpa ada orang lain.

Dalam perjalanan pada malam yang sangat gelap dan dingin itu, Musa tersesat. Ketika melihat dari kejauhan ada nyala api, Musa berpesan agar keluarganya tetap di tempat tersebut, sedang dia akan pergi ke tempat api itu. Ia  berharap memperoleh penunjuk jalan, sehingga tidak tersesat lagi. Menurutnya, adanya api berarti ada orang di sekitar tempat mereka berada. Selain itu, Nabi Musa berharap agar dapat membawakan keluarganya api, yang disulut dari sumber api yang terlihat olehnya. Dengan nyala api itu, dia dan keluarganya tentu dapat berdiam menghangatkan badan dari kedinginan yang mencekam itu.

Ayat 8-9

Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 khususnya pada ayat ini menceritakan, Ketika Musa datang mendekat ke arah api itu, ternyata yang disangkanya api itu bukan seperti api yang biasa dilihatnya, tetapi cahaya yang memancar dari sejenis tumbuh-tumbuhan rambut berwarna hijau yang melilit dan menjuntai pada sebuah dahan kayu. Cahaya yang terpancar dari pohon itu bersinar cemerlang, sedang dahan pohon itu tetap hijau dan segar, tidak terbakar atau layu.

Musa tidak menemukan seorang pun di tempat itu, sehingga ia merasa heran dan tercengang melihat keadaan yang demikian. Ia bermaksud hendak memetik sebagian dari nyala api itu dari dahan yang condong kepadanya. Waktu ia mencoba menyulut nyala api itu, Musa merasa takut. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba ia diseru oleh satu suara yang datangnya dari arah pohon itu.

Suara yang menyeru itu menyatakan bahwa yang berada di dekat api itu pasti diberkahi, yaitu Musa dan para malaikat. Pernyataan itu merupakan salam dan penghormatan dari Allah kepada Nabi Musa sebagaimana salam para malaikat kepada Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:

رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ

Rahmat Allah dan berkat-Nya, dicurahkan atas kamu wahai ahlulbait. (Hud/11: 73);’

Abdullah bin ‘Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “diberkahi” di sini ialah yang disucikan Allah. Menurutnya, yang kelihatan oleh Nabi Musa seperti api itu bukanlah api, melainkan cahaya yang menyala-nyala seperti api. Cahaya itu adalah cahaya Tuhan Semesta Alam. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Abu ‘Ubaidah dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad bersabda:

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِىْ لَهُ اَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ اِلَيْهِ عَمَلُ الَّليْلِ قَبْلَ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ لَوْ كَشَفَهُ َلأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَاانْتَهَى اِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ. (رواه مسلم)

Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak pantas bagi Allah itu tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, amal malam hari diangkat ke hadapan-Nya sebelum siang, dan amal siang sebelum malam, dan tabir-Nya adalah cahaya. Andaikata Ia membuka tabir-Nya, pasti kesucian cahaya wajah-Nya membakar segala sesuatu yang tercapai oleh pandangan-Nya di antara ciptaan-Nya. (Riwayat Muslim)

Peristiwa itu terjadi ketika Musa sampai di tempat yang diberkahi, yaitu lembah suci yang bernama Lembah Thuwa, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

نُوْدِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الْاَيْمَنِ فِى الْبُقْعَةِ الْمُبٰرَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ

Dia diseru dari (arah) pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi…. (al-Qashash/28: 30).

Dan firman Allah yang berbunyi:

اِذْ نَادٰىهُ رَبُّهٗ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًىۚ

Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di lembah suci yaitu Lembah Thuwa. (an-Naziat/79: 16).

Seruan Allah yang didengar Musa di lembah suci Thuwa ini merupakan wahyu pengangkatan Nabi Musa sebagai rasul. Ia diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada Fir’aun di Mesir, dengan dibekali bermacam-macam mukjizat.

Musa berhadapan langsung dengan Allah ketika menerima wahyu, tetapi Musa tidak dapat melihat-Nya, karena terhalang oleh tabir berupa cahaya. Penerimaan wahyu semacam ini merupakan salah satu macam cara penyampaian wahyu Allah kepada para nabi-Nya. Hal ini disebut Allah dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki…. (asy-Syura/42: 51).

Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam yang berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang menyamai-Nya. Dia Mahaagung dan Mahatinggi dari seluruh makhluk-Nya. Yang didengar Musa itu ialah suara firman Allah. Hal ini dinyatakan Allah dalam ayat kesembilan bahwa yang menyeru dan memanggilnya ialah Allah, bukan suara makhluk. Allah Mahaperkasa atas segala sesuatu, Mahabijaksana dalam firman dan perbuatan-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14


Lulusan Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Haruskah Jadi Mufasir?

0
Lulusan prodi Ilmu Al-Quran dn Tafsir haruskah jadi mufasir?
Lulusan prodi Ilmu Al-Quran dn Tafsir haruskah jadi mufasir?

Memang Harus Menulis Karya Tafsir?

Tak harus. Boleh menulis bila memang bisa. Boleh tidak menulis bila tak mau. Kuliah di Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) tak identik dengan mahasiswanya yang harus menulis kitab tafsir yang berjilid-jilid itu. Boleh hanya Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Katsir atau Quraish Shihab dan lain-lainnya yang melakukan. Melahirkan karya berjilid-jilid, bagi lulusan prodi IAT, itu jadi pilihan. Nyatanya, keilmuan-keilmuan dasar yang berhubungan dengan Al-Quran dan tafsir sudah mereka dapatkan. Mereka pun akrab dengan tokoh-tokoh besar Al-Quran dan tafsir lintas sejarah. Lengkap dengan ragam pendekatan tafsir terbaru dan keilmuan-keilmuan pendukung lainnya.

Lagi pula, meski dikatakan bahwa mereka sudah mendapatkan keilmuan dasar Al-Quran dan tafsir, tak lantas mereka harus menafsirkan Al-Quran. Lalu memenulis ribuan lembar karya tafsir. Tak wajib. Mereka tetap bebas menentukan. Nyatanya, satu cabang keilmuan tafsir saja bisa melahirkan cabang keilmuan turunannya. Artinya, mereka boleh saja fokus pada cabang keilmuan itu. Misalnya, sebuah ilmu yang khusus mengkaji sebab-sebab yang mengiringi turunnya sebuah ayat di masa Nabi. Sebagian mahasiswa boleh memilih mendalami keimuan ini secara khusus. Dia pun bisa sampai pada simpulan bahwa kitab-kitab khusus sebab-sebab yang mengiringi turunnya ayat terlalu terbatas. Diperlukan analisis yang lebih luas, meliputi kondisi sejarah, sosial saat itu. Muncullah konsep sebab-sebab mikro dan makro; dan lain-lain.

Baca juga: Satu Lagi Karya Ulama Indonesia di Bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Kitab At-Tashrih Al-Yasir Fi Ilmi At-Tafsir

Ringkasnya, lulusan IAT tak mesti melahirkan karya tafsir. Memang, masih ada sebagian orang yang berpikiran terlalu sederhana: lulusan IAT berarti dia akan menjadi Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla dengan tafsir al-Manarnya. Ini masih pola pikir romantisme. Menilai masa lalu selalu menjadi contoh ideal dan segala situasi dan kondisi. Pola pikir romantisme bahkan bisa sampai pada fase agar masa kini di bawa ke masa lalu. Jelas, ini tak relevan. Tidak kontekstual. Seakan menafikan bahwa setiap zaman punya tantangan dan peluangnya sendiri.

Kalau Tidak Menulis Tafsir, Lulusan IAT Ngapain?

Ya, bisa ngapain aja. Menafsirkan Al-Quran tak harus berakhir dengan terbitnya sebuah karya besar berlembar-lembar. Kondisi dan situasi terkini, menafsirkan Al-Quran bisa berakhir dengan karya berupa infografis-infografis atau media audiovisual. Titik pentingnya, kan, bagaimana masyarakat kontemporer bisa memahami Al-Quran dengan tetap berpijak pada standar dan pedoman penafsiran. Tidak setengah-setengah. Tidak pula hanya untuk ‘jualan.’

Lulusan IAT kok jadi content creator?  Tak apa. Yang penting sesuai bidang. Content creator bidang Al-Quran dan tafsir, misalnya. Ini lebih relevan dengan zaman digital seperti sekarang. Tak semua anak muda bisa berlama-lama di atas tumpukan kitab tafsir. Tentu selain alasan tumpukan itu sebagai bantal. Generasi milenial dan generasi Z lebih mudah diajak membaca kata-kata romantis dibandingkan mantengin tulisan ribuan baris. Mereka lebih suka penjelasan-penjelasan padat, tulisan-tulisan singkat.

Baca juga: Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

Lagi-lagi, harus ditegaskan, melahirkan sebuah karya tafsir berjilid-jilid itu pilihan. Lulusan IAT boleh memilih jalan lain yang relevan. Realitas masyarakat yang mereka hadapi tak selalu bisa diselesaikan dengan tafsir-tafsir. Adakalanya, mereka bertemu dengan situasi dan kondisi masyarakat yang tak bisa ngaji. Maka, mereka perlu memerankan diri sebagai pengajar ngaji. Terkadang mereka juga bertemu dengan masyarakat yang dekat dengan media sosial, belajar agamanya pun melalui media tersebut, maka mereka perlu menyesuaikan diri.

Jangan-jangan Memang Terlalu Sulit Jadi Ahli Tafsir?

Bisa iya, bisa tidak. Tergantung stok pengetahuan yang dimiliki. Al-Suyuthi, misalnya, menyebutkan ada 15 keilmuan khusus yang harus dimiliki seseorang yang hendak menafsirkan Al-Quran. Mulai dari keilmuan yang bisa diusahakan seperti ilmu bahasa Arab dan sebagainya, hingga keilmuan yang murni pemberian dari Allah. Tentu saja, 15 keilmuan ini relatif berat bagi sebagian orang. Bisa juga terlalu ringan bagi yang mau mengabaikan. Tapi, memang sebagian dari 15 keilmuan tersebut, mendapatkan catatan khusus oleh para pakar lainnya, termasuk dari Quraish Shihab, pakar tafsir di Indonesia.

Kaitannya dengan persoalan ini, ada poin menarik dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah karya Ibnu Hajar al-Haitami. Ada seseorang bertanya padanya, “Apakah boleh menafsirkan Al-Quran dengan berpijak pada penafsiran al-Wahidi, Ibnu ‘Abbas dan para pakar tafsir kenamaan lainnya?” Beliau membolehkan. Memang, ada beberapa catatan khusus. Termasuk soal kejujuran dalam mengutip dan profesional dalam memaparkan penafsiran-penafsiran. Profesional dalam konteks ini korelasinya dengan situasi dan kondisi audien. Tepat sasaran dan kontekstual. Jangan sampai, sebuah produk tafsir justru melahirkan ‘fitnah’ hanya karena audiensinya yang tak mampu menagkap pesan Al-Quran itu dengan baik. Tak relevan dengan kapasitas dan pola pikir mereka.

Baca juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (3); Yang Lebih Penting dari Moderat adalah Tawazun (Keberimbangan)

Ibnu Hajar al-Haitami mengakui, tak semua orang bisa menfsirkan Al-Quran. Ditambah beberapa persyaratan keilmuan yang harus dikuasai memang relatif berat. Beliau mengingatkan, bagi yang memenuhi standar dan kualifikasi, boleh saja menafsirkan Al-Quran. Bagi yang tidak, bisa menafsirkan Al-Quran dengan cara merujuk pada para pakar tafsir yang otoritatif, seperti al-Wahidi, al-Baghawi, al-Razi dan lain-lain, dengan syarat seperti di atas, jujur dan profesional.

Nah, kembali pada pertanyaan awal, “Lulusan Prodi IAT kok tidak bisa menulis kitab tafsir?” Tak apa. Tak harus. Mereka hanya perlu berkontribusi sesuai kecenderungan keilmuan yang sudah dimiliki selama kuliah. Sesuai juga dengan situasi dan kondisi yang mengitari. Dan sesuai dengan media yang memang paling relevan. Kalau pun mereka dinilai belum layak menafsirkan secara pribadi karena keilmuannya belum seperti para pakar di masa lalu, mereka bisa mengutip penafsiran mereka yang relevan kok. Hal lain yang perlu dijelaskan adalah: peserta prodi IAT biasanya tidak hanya belajar bagaimana mengutip penafsiran dengan baik, apalagi hanya mengulang-mengulang, tapi juga memberikan kritikan, atau bahkan menawarkan alternatif penafsiran yang baru. Allah a’lam[]

Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

0
Amal yang dapat menghapus dosa
Amal yang dapat menghapus dosa

Kiai Sahal dalam bukunya Dialog Problematika Umat, menjelaskan bahwa tak peduli sepintar dan sehebat apapun manusia, mereka tidak mungkin bisa lepas sedikitpun dari kesalahan yang terjadi karena lupa, ketidaktahuan dan ketidaksengajaan, walaupun mereka telah berusaha berhati-hati dan jeli. Karena itulah, lupa dan salah sudah inheren bagi manusia. Namun demikian, terdapat perbuatan yang dapat menghapus dosa. Allah berfirman dalam Al-Quran Surah Hud ayat 114:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ

Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (QS. Hud [11]: 114)

Ayat ini berisi perintah dan peringatan kepada manusia untuk menunaikan salat, karena salat termasuk amal dan perbuatan baik. Sehingga dosa-dosa manusia dapat dihapus dengan cara melakukan perbuatan baik tersebut. Pada dasarnya, semua itu adalah pitawat agar manusia selalu tetap dalam kondisi ingat kepada Allah di segala kondisi, kapanpun dan di manapun mereka berada.

Salat Siang dan Salat Malam

Ada banyak perbedaan pendapat ahli tafsir mengenai pembagian salat siang dan malam. Pandangan Al-Baghawi dalam tafsirnya, ia sendiri menafsiri kedua ujung siang (طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ) adalah pagi dan sore. Mujahid menafsiri siang sebagai salat subuh, zuhur dan asar, serta malam sebagai salat magrib dan isya.

Sedangkan menurut Muqatil, ia berkata, “Salat subuh dan zuhur adalah satu bagian, asar dan magrib adalah satu bagian, dan bagian dari malam adalah salat isya. Sedangkan menurut Al-Hasan, “Dua ujung siang adalah subuh dan asar, dan bagian dari malam adalah magrib dan isya””. Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abbas, ia menuturkan, “Dua ujung siang adalah pagi dan sore, yakni salat subuh dan magrib”.

Lanjut Al-Baghawi, ia menafsiri bagian dari malam (وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ) dengan arti waktu dari salah satu bagian malam tersebut berdekatan. Abu Ja’far membaca “زُلَفًا” dengan lam didamah. Dan lafaz “إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ” diartikan sebagai salat lima waktu yang dapat menghapuskan semua kesalahan. (Ma’alim At-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an/2/469-471)

Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Asy-Syaukani dalam tafsirnya, menafsiri bahwa Allah menyebut kata penegakan (الِاسْتِقَامَةَ) yakni khusus salat-salat yang harus ditegakkan (lima waktu), karena salat merupakan puncak iman. Kata “طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ” dibaca nasab karena menjadi zaraf (keterangan waktu). Sedangkan maknanya adalah pagi dan sore, yakni subuh dan asar. Pendapat lain mengatakan subuh dan zuhur, subuh dan magrib, zuhur dan asar.

Terkait perbedaan tersebut, Ibnu Jarir mengeminensi pendapat yang mengatakan subuh dan magrib. Hal itu berkelindan dengan ijmak para ulama bahwa dua ujung yang dimaksud adalah subuh sebagai ujung awal dan magrib sebagai ujung akhir.

Pada lafaz “إِنَّ الْحَسَناتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئاتِ”, kata “الْحَسَناتِ” ditafsiri oleh Al-Baghawi dengan arti semua perbuatan baik secara umum, tetapi tiang dari seluruh kebaikan adalah salat. Karena itulah salat dapat menghapus dosa secara umum. Pendapat lain mengatakan “السَّيِّئاتِ” berarti hanya dosa-dosa kecil, sedangkan lafaz “يُذْهِبْنَ السَّيِّئاتِ” berarti melebur dosa hingga seolah-olah menjadi tidak ada.

Baca juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Pada lafaz “ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ”, kata “ذَٰلِكَ” menjadi isyarat pada ayat “فَاسْتَقِمْ..” dan setelahnya (QS. Hud ayat 112-113). Pendapat lain mengatakan isyarat kepada Al-Qur’an. Sedangkan kata “ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ” berarti nasihat bagi orang-orang yang sombong.

Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Al-Hasan terkait “ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ “, ia berkata, “Mereka itu adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah saat suka dan duka, kala sempit dan lapang, serta dalam keadaan sehat dan tertimpa ujian“. (Fathul Qadir/2/602-604)

Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

Keterangan salat lima waktu dapat melebur kesalahan terdapat pada hadis Nabi saw yang dikeluarkan oleh Muslim yang berbunyi,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw berkata, “Salat lima waktu, Jum’at hingga Jum’at berikutnya serta Ramadan hingga Ramadan berikutnya merupakan penebus dosa di antara waktu-waktu itu semua, selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar”. (HR. Muslim) (Sahih Muslim/1/209)

Hadis ini menjelaskan bahwa dosa bisa terhapus dengan perkara-perkara ini, (1) Salat lima waktu; (2) Salat Jum’at hingga Jum’at selanjutnya; (3) Puasa Ramadan hingga Ramadan selanjutnya. Garis bawahnya adalah hal di atas dilakukan selama seseorang tersebut tidak melakukan dosa-dosa besar.

Dalam riwayat lain, hadis senada disampaikan Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhari yang berbunyi,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا، مَا تَقُولُ: ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ ” قَالُوا: لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا، قَالَ: فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ، يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الخَطَايَا

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia mendengar Nabi saw bersabda, “Tahukah kalian, seandainya ada sungai di depan pintu rumah kalian, lalu kalian mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali sehari, akankah kalian bilang kotorannya masih ada?, para sahabat menjawab, “Tidak ada sedikitpun kotoran yang tersisa”, lanjut Nabi saw, “Begitulah ibarat salat lima waktu, dengannya Allah dapat menghapuskan dosa-dosa kalian”. (Muttafaq ‘Alaih) (Sahih Bukhari/1/112)

Baca juga: Bukan Hanya Pintu Bledeg Ki Ageng Selo, Mushaf Kuno di Museum Masjid Agung Demak Ini Juga Menawan

Bukhari, Muslim, Ahli Sunan dan selainnya mengeluarkan hadis dari Ibnu Mas’ud,

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلًا أَصَابَ مِنَ امْرَأَةٍ قُبْلَةً، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأُنْزِلَتْ عَلَيْهِ: {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ، وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ، ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هود: 114] قَالَ الرَّجُلُ: أَلِيَ هَذِهِ؟ قَالَ:(لِمَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ أُمَّتِي)

“Sesungguhnya ada seorang lelaki mencium wanita (yang bukan mahramnya). Kemudian ia datang kepada Nabi saw dan menceritakan hal tersebut. Kemudian turunlah ayat “Dan dirikanlah salat di kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa-dosa. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)” (QS. Hud ayat 114). Lelaki tersebut bertanya, “Apakah ayat ini khusus untukku wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Untuk semua umatku yang melakukan perbuatan tersebut”. (Muttafaq ‘Alaih) (Sahih Bukhari/6/75)

Wallahu a’lam.