Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9

Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 mengulas kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir. Tujuan diturunkannya Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 ini adalah sebagai pembelajaran bagi umat Nabi Muhammad.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6


Ayat 7

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perintah agar beliau menyampaikan kepada umatnya kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir dengan disertai oleh keluarganya. Perjalanan ini dilakukan setelah Musa menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang disepakati antara Musa dengan mertuanya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

فَلَمَّا قَضٰى مُوْسَى الْاَجَلَ وَسَارَ بِاَهْلِهٖٓ اٰنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّوْرِ نَارًاۗ قَالَ لِاَهْلِهِ امْكُثُوْٓا اِنِّيْٓ اٰنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّيْٓ اٰتِيْكُمْ مِّنْهَا بِخَبَرٍ اَوْ جَذْوَةٍ مِّنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُوْنَ

Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung. Dia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sepercik api, agar kamu dapat menghangatkan badan.” (al-Qashash/28: 29).

Waktu yang ditentukan itu adalah hasil perjanjian antara Musa dengan mertuanya ketika menetapkan mahar perkawinannya, yaitu bekerja meng-gembalakan kambing mertuanya selama delapan tahun atau disempurnakan menjadi sepuluh tahun. Sepuluh tahun menunjukkan kegigihan dan kesungguhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarganya dalam ayat di atas adalah istrinya, tanpa ada orang lain.

Dalam perjalanan pada malam yang sangat gelap dan dingin itu, Musa tersesat. Ketika melihat dari kejauhan ada nyala api, Musa berpesan agar keluarganya tetap di tempat tersebut, sedang dia akan pergi ke tempat api itu. Ia  berharap memperoleh penunjuk jalan, sehingga tidak tersesat lagi. Menurutnya, adanya api berarti ada orang di sekitar tempat mereka berada. Selain itu, Nabi Musa berharap agar dapat membawakan keluarganya api, yang disulut dari sumber api yang terlihat olehnya. Dengan nyala api itu, dia dan keluarganya tentu dapat berdiam menghangatkan badan dari kedinginan yang mencekam itu.

Ayat 8-9

Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9 khususnya pada ayat ini menceritakan, Ketika Musa datang mendekat ke arah api itu, ternyata yang disangkanya api itu bukan seperti api yang biasa dilihatnya, tetapi cahaya yang memancar dari sejenis tumbuh-tumbuhan rambut berwarna hijau yang melilit dan menjuntai pada sebuah dahan kayu. Cahaya yang terpancar dari pohon itu bersinar cemerlang, sedang dahan pohon itu tetap hijau dan segar, tidak terbakar atau layu.

Musa tidak menemukan seorang pun di tempat itu, sehingga ia merasa heran dan tercengang melihat keadaan yang demikian. Ia bermaksud hendak memetik sebagian dari nyala api itu dari dahan yang condong kepadanya. Waktu ia mencoba menyulut nyala api itu, Musa merasa takut. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba ia diseru oleh satu suara yang datangnya dari arah pohon itu.

Suara yang menyeru itu menyatakan bahwa yang berada di dekat api itu pasti diberkahi, yaitu Musa dan para malaikat. Pernyataan itu merupakan salam dan penghormatan dari Allah kepada Nabi Musa sebagaimana salam para malaikat kepada Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:

رَحْمَتُ اللّٰهِ وَبَرَكٰتُهٗ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِۗ

Rahmat Allah dan berkat-Nya, dicurahkan atas kamu wahai ahlulbait. (Hud/11: 73);’

Abdullah bin ‘Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “diberkahi” di sini ialah yang disucikan Allah. Menurutnya, yang kelihatan oleh Nabi Musa seperti api itu bukanlah api, melainkan cahaya yang menyala-nyala seperti api. Cahaya itu adalah cahaya Tuhan Semesta Alam. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Abu ‘Ubaidah dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad bersabda:

اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَنْبَغِىْ لَهُ اَنْ يَنَامَ يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ يُرْفَعُ اِلَيْهِ عَمَلُ الَّليْلِ قَبْلَ النَّهَارِ وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ حِجَابُهُ النُّوْرُ لَوْ كَشَفَهُ َلأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَاانْتَهَى اِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ. (رواه مسلم)

Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak pantas bagi Allah itu tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, amal malam hari diangkat ke hadapan-Nya sebelum siang, dan amal siang sebelum malam, dan tabir-Nya adalah cahaya. Andaikata Ia membuka tabir-Nya, pasti kesucian cahaya wajah-Nya membakar segala sesuatu yang tercapai oleh pandangan-Nya di antara ciptaan-Nya. (Riwayat Muslim)

Peristiwa itu terjadi ketika Musa sampai di tempat yang diberkahi, yaitu lembah suci yang bernama Lembah Thuwa, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:

نُوْدِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الْاَيْمَنِ فِى الْبُقْعَةِ الْمُبٰرَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ

Dia diseru dari (arah) pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi…. (al-Qashash/28: 30).

Dan firman Allah yang berbunyi:

اِذْ نَادٰىهُ رَبُّهٗ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًىۚ

Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di lembah suci yaitu Lembah Thuwa. (an-Naziat/79: 16).

Seruan Allah yang didengar Musa di lembah suci Thuwa ini merupakan wahyu pengangkatan Nabi Musa sebagai rasul. Ia diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada Fir’aun di Mesir, dengan dibekali bermacam-macam mukjizat.

Musa berhadapan langsung dengan Allah ketika menerima wahyu, tetapi Musa tidak dapat melihat-Nya, karena terhalang oleh tabir berupa cahaya. Penerimaan wahyu semacam ini merupakan salah satu macam cara penyampaian wahyu Allah kepada para nabi-Nya. Hal ini disebut Allah dalam firman-Nya:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki…. (asy-Syura/42: 51).

Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam yang berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang menyamai-Nya. Dia Mahaagung dan Mahatinggi dari seluruh makhluk-Nya. Yang didengar Musa itu ialah suara firman Allah. Hal ini dinyatakan Allah dalam ayat kesembilan bahwa yang menyeru dan memanggilnya ialah Allah, bukan suara makhluk. Allah Mahaperkasa atas segala sesuatu, Mahabijaksana dalam firman dan perbuatan-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 10-14