Beranda blog Halaman 324

Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6 menerangkan tentang tingkah laku dan perbuatan orang-orang  kafir yang menyekutukan Allah serta balasan yang akan mereka rasakan. Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6 dijelaskan bahwa balasan terhadap mereka berupa siksaan yang amat pedih.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 1-3


Ayat 4

Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan beberapa sikap orang-orang mukmin yang memperoleh petunjuk dan hidayah dari Allah. Ayat ini menerangkan tingkah laku dan perbuatan orang-orang kafir, yang tidak mau beriman kepada adanya hari akhirat, dan akibat yang akan mereka rasakan.

Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat adalah mereka yang tidak yakin akan adanya hari Kiamat, tidak yakin bahwa semua manusia akan kembali kepada Allah melalui kematian, tidak yakin akan dibangkitkan kembali pada hari penghisaban, serta tidak percaya akan adanya pahala sebagai balasan amal baik dan siksa sebagai balasan amal buruk.

Mereka hidup di dunia tanpa mengekang hawa nafsu, dan amat cinta kepada kenikmatan duniawi, seakan-akan hidup di dunia ini satu-satunya kehidupan bagi mereka. Mereka tidak mengenal halal dan haram, serta tidak memikirkan tanggung jawab di akhirat. Segala tingkah laku tersebut mereka anggap baik. Padahal mengikuti hawa nafsu berarti mengikuti ajaran setan yang sesat lagi menyesatkan. Dengan demikian, mereka pun hidup dan bergelimang dalam kesesatan. Hal ini adalah balasan bagi mereka karena keingkarannya itu.

Ayat 5

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa mereka akan menerima siksa yang buruk di dunia dan di akhirat. Hal ini merupakan ancaman Allah terhadap orang-orang kafir yang tidak beriman dengan hari akhirat itu. Ayat ini juga merupakan peringatan bagi seluruh manusia.

Siksa di dunia dapat terjadi dengan adanya bermacam-macam bencana alam seperti banjir, gempa bumi, peperangan yang membawa korban manusia dan harta benda, dan lain-lain. Siksaan dunia ini juga dapat berupa siksaan batin atau jiwa yang dialami secara perorangan, meskipun di antara mereka ada yang sudah memenuhi berbagai kebutuhan hidup dunianya, bahkan ada yang sudah lebih dari cukup. Namun demikian, hidupnya tidak bahagia dan selalu resah, jiwa mereka kosong, serta tidak punya tujuan hidup karena tidak percaya pada hari akhirat.

Dalam kehidupan hari akhirat nanti, mereka sangat merugi dan menjadi penghuni neraka selamanya. Masing-masing menerima balasan siksa yang setimpal sesuai dengan amal buruk mereka. Karena pedihnya siksaan tersebut, mereka lalu memohon keringanan dari malaikat penjaga neraka agar tidak disiksa meskipun hanya sehari. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

وَقَالَ الَّذِيْنَ فِى النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوْا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِّنَ الْعَذَابِ

Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan azab atas kami sehari saja.” (Gafir/40: 49).

Ayat 6

Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6 dalam ayat 6 ini, Allah berfirman kepada Nabi Muhammad untuk memberitahukan bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada beliau dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk dipahami, dihafal, dan diajarkan kepada umatnya serta dilaksanakan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Al-Qur’an bukanlah ciptaan Nabi ditegaskan dalam firman-Nya:

وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ   ١  مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ   ٢  وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى  ٣  اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ   ٤  عَلَّمَهٗ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ   ٥  ;

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (an-Najm/53: 1-5).

Jelaslah bahwa Al-Qur’an dari Allah Yang Mahabijaksana dalam segala tindakan terhadap makhluk-Nya, Maha Mengetahui keadaan mereka dan apa-apa yang baik bagi mereka. Beritanya adalah benar dan hukum-Nya adalah adil, sebagaimana Allah telah berfirman:;

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلًا

Dan telah sempurna firman Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan benar dan adil. (al-An’am/6: 115).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 7-9


Mungkinkah Kisah-Kisah Al-Quran Terulang Kembali? Ini Penjelasannya Menurut As-Sya’rawi

0
Mungkinkah Kisah-Kisah Al-Quran Terulang Kembali? Ini Penjelasannya Menurut As-Sya’rawi
Mungkinkah Kisah-Kisah Al-Quran Terulang Kembali? Ini Penjelasannya Menurut As-Sya’rawi

Kisah-kisah yang dimuat Al-Quran, sering kali nama-nama pemerannya disamarkan dengan hanya menyebutkan gelarnya saja. Taruhlah seperti Dzul Qarnain dan Fir’aun. Selain nama tokoh, latar waktu dan tempat kisahnya pun kadang tidak disebutkan. Hal ini karena maksud sesungguhnya dari kisah- kisah Al-Quran adalah untuk menyajikan pelajaran dan hikmah, bukan untuk menampilkan fakta sejarah secara utuh dari kisah yang bersangkutan.

Seseorang yang mengkaji fakta sejarah di balik kisah-kisah Al-Quran tidak akan menemukan kata sepakat, karena sebagian besar dari kisah Al-Quran bernada perumpamaan. Dengan kata lain, bahwa kejadian dari kisah dalam Al-Quran bukan terbatas pada individu tokohnya saja, melainkan bisa terjadi pada setiap orang, pada waktu dan tempat di masa depan. Pandangan ini setidaknya dapat menjadi jalan kontekstualisasi dan juga anti-tesis terhadap sebagian orang yang memandang bahw kisah dalam Al-Quran merupakan peristiwa sejarah yang tidak terjadi di masa sekarang dan tidak akan terulang.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Adakah Tafsir Ayat Tentang Disyariatkanya Zakat Fitrah?

Sudut pandang yang demikian, imam as-Sya’rawi kemudian memformulasikan menjadi dua kaidah; 1) Jika Al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka peristiwa serupa dapat terulang. Sebaliknya, 2) Jika Al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang (lihat Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran)

Kisah Al-Quran yang Terulang Kembali

Kaidah pertama dari as-Sya’rawi berbunyi, “Jika Al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh, maka peristiwa serupa dapat terulang.” Sebagai contohnya adalah kisah Fir’aun dan bala tentaranya. Dalam kisah itu, Allah tidak menyebutkan siapa diri Fir’aun yang sezaman dengan Nabi Musa itu, pada tahun berapa dan di mana latar tempat kisah itu terjadi. Demikian ini karena tujuan dari kisah itu bukan untuk mengetahui siapa sebenarnya Fir’aun, di mana dan kapan ia hidup.

Sehingga pengkajian kisah Fir’aun dengan mencari data sejarahnya dalam Al-Quran tidaklah penting menurut as-Sya’rawi. Apakah Firaun yang semasa dengan Nabi Musa adalah Ramses II atau Ramses keberapa. Penelitian semacam ini hanya membuang waktu. Karena yang menjadi tujuan dari kisah dalam Al-Quran adalah pelajaran dari kisah tersebut.

Dalam tafsirnya Tafsir Asy-Sya’rawi, sosok Fir’aun oleh as-Sya’rawi digambarkan sebagai orang yang dzalim dan menuhankan dirinya, ia berkata “akulah Tuhanmu yang tertinggi” (QS. An Nazi’at [79]: 24). Kedzalimannya terhadap bani Israil berupa penindasan yang sangat kejam dan membunuh  bayi laki-laki yang terlahir dari kaum mereka (QS. Al Baqarah [2]: 49, QS. Al A’raf 7: 141, QS. Ibrahim [14]: 6), karena ia takut kehilangan kekuasaannya setelah bermimpi akan datang seorang anak dari kalangan bani Israil yang mampu menggulingkan tahtanya. Namun akhirnya Fir’aun dengan para pengikutnya musnah ditenggelamkan oleh Allah dan diberikan balasan siksa di dunia dan akhirat (QS. An Nazi’at [79]: 25).

Kisah Fir’aun tersebut memberi pelajaran bahwa di sepanjang zaman akan ada orang-orang yang menuhankan dirinya, dan orang-orang dikdaktor yang berlaku dzalim sebagimana dilakukan oleh Fir’aun. Orang yang dzalim seperti itu akan berakhir dengan tragis, dan akan mendapat siksa di akhirat kelak. Orang seperti ini bukan hanya Fir’aun, tapi bisa ditemui pada sosok-sosok lain; siapapun, kapan dan di manapun itu.

Baca juga: Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

Mengutip dari Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, bahwa ada beberapa pemimpin dikdator yang selalu menganggap dirinya benar, tidak mau salah dan disalahkan. Para pengikutnya setia memuja hingga seolah mereka sedang memuja Tuhan. Pemimpin-pemimpin tersebut seperti Hitler di Jerman, Mussolini di Italia, Stalin di Uni Soviet dan lain-lain. Dengan menyamakan sifat dan perilakunya, orang-orang semacam itu bisa dikatakan sebagai Fir’aun; Fir’aun sosok baru, bukan raja Mesir yang hidup pada masa Nabi Musa As.

Kisah Al-Quran yang Takkan Terulang Kembali

Kaidah kedua adalah ‘Jika Al-Quran menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang’. Ketika nama asli tokoh disebutkan secara lengkap dalam kisah Al-Quran, maka kisah tersebut termasuk kisah yang tidak akan terulang lagi di kehidupan mendatang. Penyebutan nama yang seperti ini terdapat pada dua tokoh, yaitu pada kisah Maryam binti Imran dan Isa bin Maryam.

Penyebutan nama tersebut karena Isa dan Maryam dibedakan dari seluruh makhluk lainnya; bahwa tidak akan ada wanita yang dapat mengandung anak tanpa laki-laki kecuali hanya Maryam binti Imran dan tidak akan ada anak yang lahir tanpa ayah kecuali Isa bin Maryam (lihat As-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi).

Maka, kisah ini tidak akan terulang pada masa kapanpun dan di tempat manapun. Apabila ada perempuan mengaku mengandung anak tanpa bantuan seorang laki-laki, atau seorang anak mengaku lahir tanpa ayah yang menggauli ibunya, maka pengakuan seperti ini adalah dusta belaka.

Tidak hanya kisah Isa dan Maryam saja, melainkan kisah tentang peristiwa mukjizat para nabi dan rasul juga mustahil terulang kembali. Selain karena penyebutan nama, juga karena mukjizat adalah keistimewaan khusus yang dimiliki para nabi dan rasul. Seperti kisah Nabi Ibrahim As yang selamat ketika dibakar oleh kaum Namrud (QS. Al Anbiya’ [21]: 68-69), kisah Nabi Musa As membelah lautan ketika dikejar oleh bala tentara Firaun (QS. Taha [20]: 77) dan mengubah tongkat menjadi ular (QS. Al A’raf [7]: 107).

Kisah kemukjizatan para nabi tersebut tidak akan terulang di kehidupan selanjutnya, sehingga yang perlu diperhatikan dalam kisah semacam ini adalah teladan luhur yang terkandung di dalamnya.

Baca juga: Pesan Gus Ghofur Maimoen (2): Bersikap Moderat itu Memerlukan Introspeksi Diri

Tawaran perspektif dari as-Sya’rawi di atas tampaknya ingin mangajak para pembaca, pengkaji, dan seluruh umat Islam secara umum untuk memposisikan suatu kisah Al-Quran menjadi sangat penting dalam kehidupan mereka. Sebab, kisah tersebut bukanlah dongeng atau peristiwa yang berlalu saja, tetapi ia tetap hidup dan nyata di setiap generasi.

Bagaimana seorang yang dikaruniai kekuatan dan kekuasaan seharusnya menjadi seperti Dzul Qarnain sehingga dia bisa selamat dan memberi kemanfaatan bagi lainnya. Dan seharusnya tidak menjadi Fira’un yang dzalim dan penuh kesombongan sehingga dia akan celaka dunia dan akhirat. Pelajaran yang diambil tidak hanya dari kedua kisah tersebut, namun dari semua kisah-kisah dalam Al-Quran dengan pegecualian yang telah disebutkan.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surah An-Naml ayat 1-3

0
Tafsir Surah An Naml

Tafsir Surah An-Naml ayat 1-3 menjelaskan tentang Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Tafsir Surah An-Naml ayat 1-3 ini juga menjelaskan tentang ciri-ciri orang mukmin. Selanjutnya baca lebih lengkap Tafsir Surah An-Naml ayat 1-3 di bawah ini….


Baca Juga: Jenis-Jenis Teks Alquran yang Belum Banyak Diketahui


Ayat 1

Awal surah ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, nabi dan rasul yang terakhir. Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril.

Ayat-ayat ini memberikan penjelasan dan keterangan bagi orang yang berpikir bahwa Al-Qur’an benar-benar kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Ia bukan kata-kata tipuan atau hasil rekayasa Nabi Muhammad, dan bukan pula ciptaan salah seorang makhluk Allah. Manusia dan jin tidak mungkin dapat membuat Al-Qur’an atau menyamainya, meskipun keduanya bekerja sama untuk itu.

Maksud dari kalimat “Kitab yang menjelaskan” adalah Al-Qur’an. Dalam ayat ini berkumpul dua nama dari Al-Qur’an itu, yaitu “Al-Qur’an” (yang dibaca) dan “al-Kitab” (yang dituliskan). Dua buah nama yang mempunyai arti dan maksud yang sama. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

الۤرٰ ۗتِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِ وَقُرْاٰنٍ مُّبِيْنٍ

Alif Lam Ra. (Surah) ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat Kitab (yang sempurna) yaitu (ayat-ayat) Al-Qur’an yang memberi penjelasan. (al-Hijr/15: 1)

Ayat-ayat Al-Qur’an memberi penjelasan tentang arti ayat-ayatnya, karena di dalamnya terdapat ayat-ayat yang saling menjelaskan. Maksudnya ialah ada ayat yang membahas satu persoalan secara rinci dan menjelaskan maksud ayat lain yang mengandung persoalan yang sama, tetapi turun secara global.

Ayat-ayat Al-Qur’an juga memberi penjelasan tentang tujuan-tujuan penurunannya, seperti hukum-hukum yang terkait dengan halal dan haram, janji dan ancaman, serta perintah dan larangan. Kesemuanya itu dijadikan pedoman hidup di dunia sebagai jalan mencapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak.

Ayat 2

Al-Qur’an itu sebagai petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Petunjuk yang merupakan hidayah Allah, sehingga manusia menjadi yakin dan mau beriman. Akan tetapi, tidak semua manusia dapat memperoleh dan menikmati hidayah dari Allah, meskipun Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk dan pembeda antara yang benar dan batil bagi manusia seluruhnya, sebagaimana dalam firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)… (al-Baqarah/2: 185).

Hanya orang-orang yang beriman dan yang mempunyai kesediaan dalam dirinya untuk beriman saja yang dapat menikmati petunjuk Al-Qur’an. Bagi orang-orang yang beriman, Al-Qur’an menambah petunjuk dan hidayah yang sudah ada, sehingga bertambah pula iman dan amal perbuatannya dalam melaksanakan ajaran Islam yang juga bersumber pada Al-Qur’an. Dengan demikian, iman seseorang dapat bertambah dan berkurang sesuai dengan amalnya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَزَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ

Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira. (at-Taubah/9: 124).

Mereka merasa gembira karena mendapat berita tentang limpahan rahmat dan keridaan Allah. Surga juga tersedia bagi mereka sebagai tempat tinggal, yang penuh dengan berbagai macam kenikmatan.

Ayat 3

Ayat ini menerangkan sifat-sifat orang mukmin, yaitu:

  1. Mendirikan salat, yaitu menunaikan salat wajib dengan menyempurnakan rukun dan syaratnya, sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Salat dikerjakan dengan segala ketulusan hati, kekhusyukan, dan kerendahan hati di hadapan Allah. Salat dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar karena salat dapat menghilangkan sifat-sifat jiwa yang negatif. Salat merupakan unsur yang membentuk ketakwaan di samping iman kepada yang gaib. Kekhusyukan dalam melaksanakan salat menjadi salah satu syarat untuk menjadi orang mukmin yang sejati.

 Kedudukan salat dalam Islam antara lain adalah:

  1. Sebagai tiang agama, tanpa salat agama akan runtuh.
  2. Sebagai kewajiban pertama dari Allah sebelum kewajiban-kewajiban ibadah lainnya. Perintah wajib ini diterima langsung oleh Nabi Muhammad tanpa perantaraan malaikat Jibril sebagaimana yang disebutkan dalam kisah Isra’ Mi’raj.
  3. Salat merupakan amal yang pertama-tama diperhitungkan (hisab) pada hari Kiamat nanti. Kalau baik salatnya, maka semua amal lainnya akan baik pula. Sebaliknya, kalau salatnya rusak, maka semua amal lainnya ikut rusak.
  4. Menunaikan zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Membayar zakat itu wajib sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad wafat, telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Padahal zakat itu merupakan suatu kewajiban yang berhubungan dengan harta. Dengan zakat, orang-orang mukmin membersihkan jiwa mereka dari sifat kikir dan tamak. Kedua sifat ini dapat menimbulkan fitnah (keonaran) bagi pemilik harta.

Harta adalah rezeki dari Allah yang wajib disyukuri dengan menunaikan zakat, sebagai cara untuk menyucikannya. Pada harta tersebut ada bagian yang menjadi hak orang-orang miskin. Bagi orang-orang miskin zakat dapat membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat dengki dan iri hati kepada orang-orang kaya. Dengan demikian, hubungan baik antara si kaya dan si miskin dalam masyarakat akan tetap terjaga dan kesenjangan antara keduanya bisa dikurangi.

  1. Yakin akan adanya hari akhirat, maksudnya ialah yakin akan adanya hidup setelah mati. Semua orang akan kembali menghadap Allah untuk diperhitungkan amal baik dan buruknya. Keduanya akan dibalas dengan balasan yang setimpal.;Dengan demikian, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia. Ini berarti bahwa manusia diciptakan Allah di dunia bukanlah tanpa tujuan atau sia-sia belaka. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:

اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ

Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (al-Mu’minun/23: 115).

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah An-Naml ayat 4-6


Arti Kata Tabaarakallah dan Penjelasannya dalam Al-Qur’an

0
Kata Tabaarakallah dan Penjelasannya dalam Al-Qur'an
Kata Tabaarakallah dan Penjelasannya dalam Al-Qur'an

Dewasa ini seringkali mendapati seseorang menggunakan kata tabaarakallah ( تبارك الله ) untuk menggambarkan suatu keadaaan berupa kebahagiaan, kekaguman dan sebagainya. Kata tersebut tidak hanya diucapkan secara lisan saja, tetapi juga tidak sedikit dari masyarakat yang menuliskannya media sosial sebagai caption suatu unggahan misalnya. Sesungguhnya apa makna dibalik kata ini? Bagaimana al-Qur’an menggunakannya?

Kata tabarakallah merupakan gabungan kata bahasa Arab yang tersusun dari dua kata tabaaraka dan Allah. Di dalam kamus al-Munawwir karya KH. Ahmad Warson Munawwir, kata tabaaraka berasal dari akar kata baraka-yabruku (بَرَكَ-يَبْرُكُ) yang berarti menderum. Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), menderum berarti berlutut dengan kedua kaki depan atau keempat kakinya (binatang besar seperti kerbau).

Adapun beberapa derivasi dari kata baraka yakni baaraka (بَارَكَ) yang berarti mendoakan supaya diberkati atau dapat juga sebagai ucapan selamat terhadap seseorang. Barakah ( بَرَكَة ) yakni berarti kenikmatan, kebahagiaan atau penambahan. Adapun istilah tabaaruk (تَبَارُك) yang tidak asing di kalangan pesantren yang berarti meminta berkat. Untuk kata tabaaraka (تَبَارَكَ) sendiri seringkali disandingkan dengan kata Allah, maka memiliki arti taqaddas (تَقَدَّس) yakni Maha Suci.

Baca juga: Bagaimana Memahami Makna Menolong (Agama) Allah Swt dalam Al-Quran?

Kata Tabaarakallah dalam Tafsir Al-Qur’an

Al-Qur’an, menggunakan kata tabaaraka (تَبَارَكَ) kurang lebih sebanyak 8 kali. Secara keseluruhan, kata tabaraka (تَبَازَكَ) di dalam al-Qur’an menunjukkan makna Allah sebagai Dzat Suci Yang Memberkati, meskipun terdapat beberapa ayat kata tabaaraka ( تَبَارَكَ) yang tidak bergandengan langsung dengan lafadz Allah tetapi dengan kata sambung yang menggambarkan kekuasaan-Nya ataupun asma-Nya.

تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ – ١

Artinya: “Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu”. (Q.S Al-Mulk: 1)

Kata tabaaraka memiliki arti taqaddas yakni Maha Suci. Sehingga selalu disandingkan dengan Allah maupun sifat-sifat-Nya. Maka kata tabarakallah (تبارك الله) tersebut baik diucapkan seseorang dengan tujuan bersyukur atas segala ke-Maha Suci-an Allah.

Di dalam Tafsir al-Maraghi, ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt adalah Tuhan yang menguasai kerajaan dunia dan akhirat tanpa suatu kurang apapun. Dialah yang dapat memuliakan siapapun yang dikehendaki-Nya serta menghinakan siapapun yang dikehendaki-Nya.

تَبٰرَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِى الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِ ࣖ – ٧٨

Artinya: “Mahasuci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan”. (Q.S Ar-Rahman: 78)

Prof. Quraish Shihab menjelaskan ayat di atas pada Tafsir al-Mishbah karangannya, bahwa kata tabaaraka  (تَبَارَكَ) diambil dari kata barakah (بَرَكَة) sebagaimana telah penulis paparkan di atas. Namun beliau mengartikan kata tersebut sebagai sesuatu yang mantap atau bisa juga kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta berkesinambungan. Beliau juga mengutip pemaknaan kata dari seorang filsuf Islam yakni Raghib al-Isfahani yang berarti segala  penambahan yang tidak dapat terukur oleh panca indra. Maka pada hakikatnya terjemahan ayat di atas adalah “Maha Melimpah Kebajikan lagi Maha Mantap nama Tuhanmu – Pemilik al-Jalal wa al-Ikram”.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 78-79; Membangkitkan Lebih Mudah dari Menciptakan

Seringkali kita juga mendapati seseorang mengucapkan atau menuliskan kata baarakallah (بارك الله) karena terdapat momen tertentu. Contohnya ketika terdapat kerabat yang sedang ulang tahun, maka diucapkan kata barakallahhu fi ‘umrik ( بَارَكَ اللّهُ فِي عُمْرِك ). Adapun ketika terdapat kerabat yang menikah, maka diucapkan kepadanya baarakallahhu lakuma wa baaraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khair ( بَارَكَ اللّهُ لَكُمَا وَ بَارَكَ عَلَيْكُمَا وَ جَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ).

Kata baaraka ( بارك)  dan tabaaraka (تبارك) keduanya sama-sama disandingkan dengan kata Allah, maka adakah letak perbedaan keduanya? Sesuai dengan makna di kamus, baaraka berarti mendoakan supaya diberkati atau dapat juga sebagai ucapan selamat terhadap seseorang. Maka kata baarakallah (بارك الله) tepat digunakan ketika mendapati seseorang di momen tertentunya yang berarti kita mendoakan supaya ia diberkati Allah di momen tersebut.

Baca juga: Menyambut Malam 27 Ramadhan dan Tafsir Isyari Ibnu Abbas Ra Tentang Lailatul Qadr

Dari penjelasan di atas, maka boleh-boleh saja mengucapkan atau menuliskan kata tabarakallah sesuai dengan konteks yang bertujuan untuk mengungkapkan kebahagiaan atau mensyukuri atas segala anugerah yang telah Allah Swt berikan kepada kita. Wallahhu a’lam.

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 86-88

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 86-88 menerangkan bahwa Muhammad tidak pernah mengharapkan diturunkannya Al-Qur’an kepadanya untuk mengetahui berita-berita orang-orang sebelumnya. Dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 86-88 Allah juga menganjurkan kepada Muhammad agar tidak mengindahkan tipu daya orang-orang kafir.

Baca Lebih Lengkap Tafsir Surah Al-Qasas ayat 86-88


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-85


Ayat 86

Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad tidak pernah mengharapkan diturunkannya Al-Qur’an kepadanya untuk mengetahui berita-berita orang-orang sebelumnya, dan hal-hal yang terjadi sesudahnya, antara lain seperti agama yang mengandung kebahagiaan bagi manusia di dunia dan akhirat, dan juga adab-adab yang meninggikan derajat mereka dan mencerdaskan akal pikiran mereka. Sekalipun demikian, Allah menurunkan semuanya itu kepada Muhammad sebagai rahmat dari-Nya.

Pada ayat ini, Allah melarang Nabi Muhammad dan umatnya untuk membantu perjuangan orang-orang kafir dalam bentuk apa pun. Umat Muhammad justru dituntut untuk membantu memperkuat perjuangan umat Islam.

Oleh karena itu, hendaklah ia memuji Tuhannya atas nikmat yang dikaruniakan kepadanya dengan penurunan kitab suci Al-Qur’an. Nabi saw tidak perlu menolong dan membantu orang-orang musyrik yang mengingkari Kitab suci Al-Qur’an itu, tetapi hendaklah ia memisahkan diri dan berpaling dari mereka sesuai dengan firman Allah:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik. (al-Hijr/15: 94)

Ayat 87

Allah menganjurkan kepada Muhammad agar tidak mengindahkan tipu daya orang-orang kafir, dan jangan sekali-kali terpengaruh sehingga mereka berhasil menghalang-halangi penyampaian ayat-ayat suci Al-Qur’an sesudah diturunkan kepadanya. Allah selalu bersamanya dan menguatkan serta memenangkan agama-Nya dari orang-orang kafir.

Bahkan Nabi saw diperintahkan menyeru kaumnya ke jalan Allah dan menyampaikan agama-Nya kepada mereka, menyembah hanya kepada Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Pada akhir ayat ini, Allah menekankan supaya Muhammad jangan sekali-kali meninggalkan dakwahnya, dan selalu menyampaikan risalahnya kepada kaum musyrikin, supaya dia tidak seperti mereka, bermaksiat menyalahi perintah-Nya. Di ayat lain diterangkan:

وَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik. (al-An’am/6: 14)

Ayat 88

Pada ayat ini, Allah melarang Nabi Muhammad menyembah sembahan lain selain Allah, karena tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sebagaimana firman Nya:

رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيْلًا

(Dialah) Tuhan timur dan barat, tidak ada tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung. (al-Muzzammil/73: 9)

Allah itu kekal abadi sekalipun semua makhluk yang ada sudah mati dan binasa. Firman Allah:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۖ    ٢٦  وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ    ٢٧

Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. (ar-Rahman/55: 26-27)

Dan sabda Nabi Muhammad saw:

اَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا الشَّاعِرُ كَلِمَةُ لَبِيْدٍ: اَلاَ كُلُّ شَئٍ مَا خَلاَ اللهََ بَاطِلٌ (رواه البخارى ومسلم عن أبي هريرة)

Ungkapan paling benar yang diucapkan penyair adalah yang diucapkan oleh Labid, yaitu: “Ketahuilah setiap sesuatu selain dari Allah akan binasa.”  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Allah-lah yang mempunyai kerajaan, dan berbuat sekehendak-Nya. Dia-lah yang menentukan segala sesuatu yang akan berlaku kepada semua makhluk. Kepada-Nyalah akan dikembalikan semuanya, dan dibalas menurut amal perbuatannya masing-masing. Kalau ia beramal baik, taat, dan patuh kepada perintah Allah, akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya kalau ia berbuat maksiat dan bergelimang dosa, akan dimasukkan ke dalam neraka. Nabi saw bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah:

كُلُّ اُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ اِلاَّ مَنْ أَبَى، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى، قَالَ مَنْ أَطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى. (رواه البخارى عن أبي هريرة)

Semua umatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau. Barang siapa taat kepadaku, maka ia masuk ke dalam surga, dan barang siapa durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah enggan. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah).

(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-84

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-84 mengisahkan orang-orang yang awal mulanya ingin memiliki harta berlimpah seperti Karun akhirnya mengurungkan niatnya sebab melihat adzab yang Allah berikan. Diulas dalam Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-84 bahwa kebahagiaan itu akan dirasakan oleh orang yang tidak sombong dan takabur.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 77-81


Ayat 82

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang semula bercita-cita ingin mempunyai kedudukan dan posisi terhormat seperti yang pernah dimiliki Karun, dengan seketika mengurungkan cita-citanya setelah menyaksikan azab yang ditimpakan kepada Karun. Mereka menyadari bahwa harta benda yang banyak dan kehidupan duniawi yang serba mewah, tidak mengantarkan mereka pada keridaan Allah.

Dia memberi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya, dan tidak memberi kepada yang tidak dikehendaki. Allah meninggikan dan merendahkan orang yang dikehendaki-Nya. Kesemuanya itu adalah berdasarkan kebijaksanaan Allah dan ketetapan yang telah digariskan-Nya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Allah telah memberikan kepada manusia watak masing-masing sebagaimana Dia telah membagi-bagikan rezeki di antara mereka. Sesungguhnya Allah itu memberikan harta kepada orang yang disenangi, dan tidak menganugerahkan iman kecuali kepada orang yang disenangi dan dikasihi-Nya.

Mereka merasa memperoleh karunia dari Allah karena cita-cita mereka belum tercapai. Andaikata sudah tercapai, tentu mereka dibenamkan juga ke dalam bumi sebagaimana yang telah dialami Karun. Pengertian mereka bertambah mantap bahwa tidak beruntung orang-orang yang mengingkari nikmat Allah, mendustakan rasul-Nya, dan pahala yang dijanjikan di akhirat bagi orang yang taat kepada-Nya. Mereka akan dimusnahkan oleh azab, firman Allah:

وَلَقَدْ جَاۤءَهُمْ رَسُوْلٌ مِّنْهُمْ فَكَذَّبُوْهُ فَاَخَذَهُمُ الْعَذَابُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

Dan sungguh, telah datang kepada mereka seorang rasul dari (kalangan) mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya, karena itu mereka ditimpa azab dan mereka adalah orang yang zalim. (an-Nahl/16: 113)

Ayat 83

Ayat ini menerangkan bahwa kebahagiaan dan segala kenikmatan di akhirat disediakan untuk orang-orang yang tidak takabur, tidak menyombongkan diri, dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi seperti menganiaya dan sebagainya. Mereka itu bersifat rendah hati, tahu menempatkan diri kepada orang yang lebih tua dan lebih banyak ilmunya.

Kepada yang lebih muda dan kurang ilmunya, mereka mengasihi, tidak takabur, dan menyombongkan diri. Orang yang takabur dan menyombongkan diri tidak disukai Allah, akan mendapat siksa yang amat pedih, dan tidak masuk surga di akhirat nanti, sebagaimana firman Allah:

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. (an-Nisa’/4: 173)

Sabda Rasulullah saw:

لاَيَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ (رواه مسلم وأبو داود عن ابن مسعود)

Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya sifat takabur, sekalipun sebesar zarah. (Riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud)

Ayat 83 ini ditutup dengan penjelasan bahwa kesudahan yang baik berupa surga diperoleh orang-orang yang takwa kepada Allah dengan mengamalkan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, tidak takabur dan tidak menyombongkan diri seperti Fir’aun dan Karun.

Ayat 84

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-84 ini menerangkan bahwa siapa yang di akhirat datang dengan membawa satu amal kebajikan, akan dibalas dengan yang lebih baik, dan dilipatgandakan sebanyak-banyaknya. Tidak ada yang mengetahui berapa kelipatannya kecuali Allah sebagai karunia dan rahmat dari-Nya. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَاِنْ هَمَّ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ اِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ اِلَى اَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ (رواه البخارى ومسلم عن ابن عباس)

Siapa yang bermaksud akan mengerjakan satu kebaikan, kemudian tidak jadi dikerjakannya, Allah mencatat pahala pada sisi-Nya satu kebaikan yang sempurna, kalau ia bermaksud mengerjakan satu kebaikan lalu dikerjakannya, maka Allah mencatat (pahala) dengan sepenuh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan lipat ganda yang lebih banyak lagi. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas);Dalam hadis lain Rasulullah bersabda:

وَاِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً وَاِنْ هَمَّ بِهَا وَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً (رواه البخار ومسلم عن ابن عباس)

Dan barang siapa yang bermaksud mengerjakan satu kejahatan kemudian tidak dikerjakannya, maka ditulislah oleh Allah swt di sisi-Nya satu kebaikan yang sempurna, dan kalau ia bermaksud mengerjakan kemudian dikerjakannya, maka Allah mencatatkan baginya hanya satu kejahatan saja. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas)

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

وَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوْهُهُمْ فِى النَّارِۗ هَلْ تُجْزَوْنَ اِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

Dan barang siapa membawa kejahatan, maka disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak diberi balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang telah kamu kerjakan. (an-Naml/27: 90)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 85-88


Inilah Lima Kitab Tajwid Karangan Ulama Nusantara

0
Hukum Mad Asli (Mad Thobi'i
Hukum Mad Asli (Mad Thobi'i

Pada artikel sebelumnya, yakni Lima Referensi Awal Pembelajaran Tajwid di Bumi Nusantara, telah dijelaskan bahwa mayoritas referensi pembelajaran tajwid (kitab tajwid) pada awal kedatangan Islam di Nusantara hingga beberapa abad setelahnya masih berbahasa Arab. Karena itu, pendidikan Al-Qur’an hanya bisa diakses dari ulama masyhur dan oleh kalangan elite.

 Kehadiran kitab tajwid yang berbahasa Arab ini – dalam pandangan para ulama – dirasa belum cukup dan masih menyisakan beberapa permasalahan terkait pembelajaran tajwid. Akhirnya, sebagian mereka ada yang menerjemahkan kitab tersebut secara oral atau tertulis, ada pula yang mengarang buku khusus dengan menggunakan bahasa setempat untuk memudahkan bagi pembaca.

Para peneliti memperkirakan, sejak awal kedatangan Islam di Nusantara hingga abad ke-19, ada banyak karya yang dihasilkan ulama Nusantara, termasuk kitab tajwid. Hanya saja, kondisi alam dan kebiasaan masyarakat Indonesia membuat manuskrip-manuskrip itu tidak bisa bertahan lima; Ada yang rusak karena umur dan ada pula yang rusak akibat kesalahan penyimpanan.

Baca Juga: Mengenal 8 Huruf HijaiyahTambahan dalam Ilmu Tajwid

Di samping faktor alam dan budaya masyarakat, hilangnya manuskrip-manuskrip di Nusantara juga disebabkan oleh kolonialisme dan perdagangan. Sebagai contoh, masih lekat di pikiran kita bagaimana ribuan manuskrip Keraton Yogyakarta dirampas oleh Thomas Stamford Raffles atau penjualan manuskrip-manuskrip Aceh ke negeri tetangga, yakni Malaysia dan Thailand.

Alhasil, dari sekian banyak karya ulama Nusantara – termasuk kitab tajwid – hanya tersisa sebagian kecil hingga saat ini. Di antara manuskrip tersebut ada yang sudah disimpan dan ditelaah dengan baik seperti manuskrip Al-Qur’an karya Syekh Arsyad al-Banjari. Namun, sebagian lain ada yang disalahpahami bak pusaka sehingga tidak terawat dengan baik dan tidak bisa dikaji (Pengantar Teori Filologi).

Dalam koteks ilmu tajwid, ada beberapa kitab tajwid karya ulama Nusantara yang bisa dinikmati. Kitab-kitab tersebut mayoritas memang berasal dari abad belakangan (kontemporer), bukan dari abad awal kedatangan Islam atau pertengahan, namun setidaknya itu sudah bisa mencitrakan bagaimana dialektika antara ilmu tajwid dan masyarakat Indonesia sebagai gambaran kondisi ulama Nusantara dahulu. Di antara kitab ini adalah:

  1. Hidayatul Mubtadi’in (Kitab Tajwid Sunda)

Kitab Hidayatul Mubtadi’in ditulis oleh Sayyid ‘Ali al-Idrus, seorang ulama asal ibukota Jakarta. Kitab ini terdiri dari 16 halaman dan menggunakan bahasa Sunda. Di dalamnya tidak ada penyebutan bagian-bagian khusus, namun jika dilihat secara saksama dapat diketahui bahwa halaman pertama merupakan mukadimah atau pendahuluan, halaman 2-15 berisi penjelasan, dan halaman 16 penutup yang berisi skema makharijal huruf.

Sayyid ‘Ali al-Idrus tidak menyebutkan alasan khusus kenapa kitab Hidayatul Mubtadi’in ditulis, tapi dilihat dari judulnya kitab ini diperuntukkan bagi orang-orang yang baru belajar ilmu tajwid. Selain itu, pada sampul depan beliau menuliskan, “Pituduh pikeun barudak anu kakara diajar ngaji” yang artinya “petunjuk bagi anak-anak yang baru belajar mengaji.” Dengan kata lain, kitab ini merupakan pengantar ilmu tajwid bagi anak-anak yang baru belajar mengaji.

  1. Pelajaran Tajwid (Buku Tajwid Hijau)

Kitab Pelajaran Tajwid disusun oleh A. Mas’ud Sjafi’i dalam bentuk buku ringkas yang terdiri dari 17 bagian dan 63 halaman. Bagian tersebut adalah: cara membaca ta’awwudz, basmalah dan surah; basmalah huruf hijaiah; hukum alif-lam; mim-nun yang bertasydid; nun mati dan tajwid; macam-macam idgham; hukum ra; hukum mim mati; lafaz Allah; hukum mad; qalqalah; cara membaca qalqalah dan makhraj huruf; cara ber-waqaf dan waqaf isyarah; saktah; dan macam-macam waqaf.

Dalam mukadimah kitab Pelajaran Tajwid tidak ditemukan alasan penulisan atau keterangan lain yang menunjukkan hal tersebut. Kitab ini cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan “Buku Tajwid Hijau”, karena sampulnya berwarna hijau. Kitab ini juga cukup diminati karena berbahasa Indonesia dan isinya ringkas. Sampai sekarang kitab Pelajaran Tajwid dapat ditemui di pasar-pasar malam atau pasar-pasar rakyat.

  1. Tajwid al-Qur’anul Karim

Kitab Tajwid al-Qur’anul Karim ditulis oleh Ustadz Ismail Tekan pada tahun 1967 dan telah diterbitkan berkali-kali hingga saat ini. Kitab ini disusun secara sistematis, populer dan praktis sehingga sangat mudah dipelajari terutama karena uraiannya yang singkat dan padat. Perlu ditekaui bahwa kitab ini merupakan hasil rekaman dan pengalaman pengarang dalam mengajarkan ilmu tajwid di berbagai tempat di Nusantara, Malaysia dan Singapura.

  1. Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura

Buku Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura ditulis oleh Dr. Kh. Ahmad Fathoni, Lc., MA. Buku ini diperuntukkan bagi anak-anak atau pemula dalam belajar Al-Qur’an. Akan tetapi secara spesifik yang disasar adalah mereka yang sudah mampu membaca Al-Qur’an, namun masih memerlukan perbaikan untuk mencapai derajat tartil dalam membaca Al-Qur’an.

Buku ini merupakan salah satu kitab tajwid yang komprehensif dan sistematis karena ditulis berdasarkan metode ilmiah. Secara umum – berdasarkan pengamatan Ali Mursyid dalam tulisannya Tajwid di Nusantara – buku ini terdiri dari empat bagian, yakni 1) pendahuluan yang berisi sambutan-sambutan; 2) penjelasan pertama yang berisi pemaparan hukum bacaan tajwid dan qiraat hafs; 3) penjelasan kedua yang berisi pemaparan ilmu mushaf, ilmu qiraat, ilmu rasm dan ilmu syakl; terakhir 4) penutup yang berisi sumber rujukan dan daftar pustaka.

  1. Fath al-Mannan (Kitab Tajwid Bahasa Jawa)

Kitab Tajwid Fath al-Mannan merupakan buah karya dari salah seorang ulama asal Lirboyo, Jawa Timur, yakni KH. Mafruh. Basthul Birr. Kitab ini sebenarnya memiliki nama lengkap Fath al-Mannan li Tahsin Qira’ah al-Qur’an ‘Ala Qira’ah ‘Ashim min Riwayat Hafs bin Sulaiman min Thariq ‘Ubaid al-Sabbah al-Nashaili. Dari namanya tersebut, dapat diketahui bahwa kitab ini ditulis berdasarkan mazhab qiraat Imam Hafs yang masyhur di Indonesia.

Kitab Fath al-Mannan merupakan kitab tajwid yang komprehensif di mana di dalamnya terdapat tiga bagian pembahasan, yaitu: 1) bagian pertama berisi tentang nama-nama imam qiraat, sambutan-sambutan, kitab-kitab pedoman tajwid, mukadimah, keterangan tentang tajwid, bab tentang huruf Al-Qur’an, makharijal huruf, sifat-sifat huruf, sifat-sifat yang berlawanan, bab tafkhim dan tarqiq.

Baca Juga: Jawaz al-Amrain: 5 Kondisi Huruf Ra Khusus dalam Ilmu Tajwid

2) Bagian kedua berisi tentang tahsin qiraat huruf, izhar dan idgham, gunnah nun  dan mim, mad dan lin, mad lazim mutawwal, mad arid dan beberapa mad. Yang terakhir 3) bagian ketiga berisi tentang cara membaca Al-Qur’an, ibtida dalam membaca Al-Qur’an washal qiraat dan waqafnya, qiraat dalam riwayat Hafs, mushaf dan bacaannya, ibtida dan waqaf, waqaf qabih, ma’rifat ibtida, rumusan waqaf, lafaz-alafz dalam waqaf dan washal.

Dari penjelasan tentang lima kitab tajwid karya ulama Nusantara di atas, kita dapat mengetahui bahwa ulama Nusantara) sangat perhatian terhadap penyebaran ilmu tajwid sehingga mereka melakukan suatu terobosan dengan menulis karya-karya tajwid yang membumi dan mudah dipahami masyarakat Nusantara. Dari sini juga dapat dilihat adanya transmisi dan transformasi ilmu pengetahuan di bumi Nusantara tercinta. Wallahu a’lam.

Bagaimana Memahami Makna Menolong (Agama) Allah Swt dalam Al-Quran?

0
Menolong Allah
Makna Menolong Allah dalam Surah Muhammad Ayat 7

Kita mungkin pernah mendengar frasa Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu. Artikel ini akan mengulas tentang penafsiran dan makna frasa tersebut. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

 “Hai orang-orang yang beriman, jika ‎kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu dan ‎mengukuhkan pendirianmu.” (Q.S. Muhammad: 7)‎

Dalam ayat lain disebutkan,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ  …

“… dan Allah pasti menolong orang ‎yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi ‎Maha perkasa.” (QS. Al Hajj : 40)‎

Allah memang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia mampu melakukan ‎apa pun yang dikehendaki-Nya. Dia tidak butuh pertolongan siapa pun. ‎Lantas, apa makna ‘menolong’ Allah—sebagai syarat agar Allah menolong ‎kita— dalam ayat tersebut?‎

Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Tafsir Kesempurnaan Agama dalam Surah Al-Maidah Ayat 3

Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, sebelum menjelaskan tafsir ‎dari kalimat ‘menolong’ Allah, mengajukan sebuah pertanyaan, ”Bagaimana ‎cara orang-orang beriman menolong Allah?” Ia menjawab, ”Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati ‎mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, baik syirik yang nyata ‎maupun yang tersembunyi, serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu ‎pun bersama-Nya didalam dirinya. Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari ‎apapun yang dia cintai serta meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, ‎aktivitas, diam, saat sembunyi-sembunyi, terang-terangan maupun saat ‎malunya, maka Allah akan menolongnya dalam segala urusannya.‎”

Kemudian tentang tafsir kalimat ‘Dia akan menolongmu dan ‎meneguhkan pendirianmu’, Sayyid Qutb menegaskan, banyak jiwa mampu ‎tetap teguh terhadap suatu ujian dan cobaan namun sedikit yang tetap teguh ‎ketika diberi kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Kesalehan dan keteguhan ‎hati di atas kesuksesan hidup merupakan derajat yang tinggi, bahkan lebih ‎tinggi dari kesuksesan itu sendiri.‎

Orang-orang yang ‘menolong’ (agama) Allah, dengan tetap istiqamah ‎berjalan di atas jalan-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menaati segala perintah-‎Nya serta menjauhi segala larangan-Nya akan dikokohkan pendiriannya serta ‎dimantapkan hatinya. Mereka tidak akan berubah sedikit pun sikap, perilaku, ‎serta ketaatannya kepada Allah, meski harus berjuang sekuat tenaga ‎menghadapi serangkaian persoalan hidup yang menderanya.‎

Penyakit yang tak kunjung sembuh, jeratan kemiskinan yang terus-‎menerus melilit mereka hari demi hari, bisnis yang gagal, bahkan kehilangan ‎orang yang dicintai karena kecelakaan atau musibah lainnya tidak ‎menghalangi mereka untuk terus taat dan tawakkal kepada Allah.

Di saat lain, ketika kesuksesan telah mereka raih, ketika segala ‎kesenangan hidup mewarnai hari-hari mereka, ketika semua harapan serta ‎cita-cita mereka tercapai, mereka semakin asyik ber-taqarrub, mendekatkan ‎diri kepada Allah Swt. Mereka ingin menununjukkan rasa syukurnya kepada ‎Sang Pemberi rizki. Mereka ingin disebut sebagai ‘abdan syakura, hamba yang ‎pandai bersyukur atas segala kelimpahan nikmat serta anugerah yang telah ‎diberikan Allah kepada mereka. ‎

Inilah tipikal orang-orang yang dimantapkan hatinya serta diteguhkan ‎pendiriannya. Rasa sakit, lapar, kekurangan harta benda, bahkan kehilangan ‎orang yang dicintai tidak menyebabkan mereka putus asa, bahkan semakin ‎meningkatkan ibadah serta ketakwaannya kepada Allah. Pun ketika hari-hari ‎mereka diwarnai kesenangan serta kebahagiaan hidup. Alih-alih membuai dan ‎melenakan mereka, justru semakin mendekatkan mereka kepada Sang ‎Pemberi kenikmatan dan kesenangan hidup, yakni Allah Swt.‎

Mereka yang dengan keteguhan hati, kesabaran jiwa, disertai ketulusan ‎niat dan keikhlasan dalam ‘menolong’ Allah, memperjuangkan tegaknya ‎agama Allah, yakni dinul Islam, akan selalu ditolong oleh-Nya, serta ‎ditunjukkan jalan menuju jalan-Nya, yakni jalan kebenaran, kebahagiaan dan ‎kesuksesan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. “Dan orang-orang yang ‎berjuang untuk (menegakkan agama) Kami, pasti Kami akan menunjukkan ‎mereka kepada jalan-jalan Kami (yang benar). “ (Q.S. Al-Ankabut: 69)‎. Wallahu A’lam.

Pesan Prof. Said Agil Husin Al-Munawar (1): Rasulullah Diutus Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, Tidak Hanya Rahmatan Lil Mu’minin

0
Said Agil Husin Al-Munawar: 3 keutamaan Nabi sebagai rahmatan lil alamin
Said Agil Husin Al-Munawar: 3 keutamaan Nabi sebagai rahmatan lil alamin

Salah satu narasumber yang diundang dalam webinar milad tafsiralquran.id pada Kamis (29/02/2021) lalu adalah Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A. Beliau adalah sosok intelektual muslim, pakar fiqih dan ushul, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Menteri Agama RI periode 2001-2004. Pada kesempatan ini, beliau membawakan tema “Kisah Rasulullah SAW bersama non muslim” (shilah al-rasulillahi bi ghairi muslim).

Dalam paparannya, beliau mengutip penafsiran Syekh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir Q.S. al-Anbiya [2]: 107,

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-Anbiya [21]: 107)

Al-Shabuni menafsirkan ayat di atas sebagai berikut,

قال الصابوني: لم يقل الله تعالى رحمة للمؤمنين وإنما قال رحمة للعالمين، فإنه سبحانه وتعالى رحم الخلق بإرسال سيد المرسلين صلعم لأنه جاءهم بالسعادة الكبرى والنجاة من الشقاوة العظمى ونالوا على يديه الخيرات الكثيرة في الأول والأخرة وعلمهم بعد الجهالة وهداهم بعد الضلالة فكان رحمة للعالمين

“Al-Shabuni berkata, “Allah swt tidak berkata bahwa Dia menurunkan Muhammad sebagai rahmatan lil mu’minin saja, melainkan rahmatan lil ‘alamin (rahmat untuk seluruh alam). Diutusnya Nabi saw sebagai sayyidil mursalin tidak lain membawa misi misi kerahmatan, yaitu membawa berita kebahagiaan besar, menyelamatkan dari kesengsaraan yang berlipat-lipat, menggandeng tangan-tangan mereka agar mendapatkan kebahagiaan yang banyak baik di dunia maupun akhirat, mengajarkan mereka agar keluar dari kebodohan dan menunjukkan jalan yang terang setelah diliputi kesesatan. Itulah rahmatan lil ‘alamin”.

Lima Keutamaan Nabi Muhammad SAW

“Beliau Rasulullah saw diutus untuk rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya rahmatan lil mu’minin saja. Tentu ada pesan-pesan di sini. Di dalam Shafwah al-Tafasir, Ali al-Shabuni paling tidak menyebutkan bahwa di situ ada lima sebab keutamaan kelebihan Al-Quran, termasuk baginda Rasul saw,” ujar Guru Besar UIN Jakarta.

Baca Juga: Perintah dan Teladan Kasih Sayang Rasulullah saw Kepada Semua Makhluk

Dalam kesempatan ini Said Agil Husin Al-Munawar hanya memaparkan tiga keutamaan, yaitu ja’al bil huda (pembawa petunjuk), wa ‘allamahum ba’dal jahalah (pencerahan), dan wa hadahum ba’da dhalalah (mengeluarkan dari kegelapan). Agar semakin lengkap, penulis melengkapi dua keutamaan lain agar lebih sempurna.

Rahmat Bagi Seluruh Alam

Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir menuturkan,

ومآ أرسلناك إلا رحمة للعالمين أي وما أرسلناك يا محمد إلا رحمة للخلق أجمعين وفي الحديث «إنما أنا رحمة مهداة» فمن قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة سعد في الدنيا والآخرة

“Tidakkah Kamu utus engkau (Muhammad) melainkan rahmat seluruh alam. Artinya Baginda Rasul saw diutus membawa misi utama, yaitu rahmat bagi seluruh alam (rahmatun lil khalqi ajma’in), dalam sebuah hadits dinyatakan, “Sesungguhnya Aku (Muhammad) adalah rahmat yang membentangkan”. Siapapun yang menerima rahmat ini dan ia bersyukur atas nikmat ini, niscaya bahagia hidupnya di dunia dan akhirat” (Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, Juz 2, hal. 695)

Nabi itu, kata Prof Said Agil, ja’a bil huda (pembawa petunjuk). “Petunjuk itu adalah pedoman dalam hidup dan kehidupan. Di dalam petunjuk itu terdapat konsep yang membincangkan bagaimana caranya menjaga kehidupan ini supaya imbang dan benar-benar dirasakan.” Ucap mantan menag.

Pembawa Kebahagiaan Besar

Keutamaan Rasul saw kedua ialah ja’ahum bil sa’adah al-kubra (pembawa kebahagiaan besar). Untuk menerjemahkan misi rahmatan lil ‘alamin, maka Rasul saw harus datang dengan membawa kebahagiaan yang besar dan membahagiakan. Itulah esensi rahmat. Siapapun pasti tidak dapat menyangkal sekalipun non muslim, bahwa begitu sabar dan membahagiakannya Rasul saw ketika membangun hubungan dan relasi sosial baik kepada non muslim maupun muslim.

Piagam Madinah (Madinah Charter) menjadi bukti untuk itu. Piagam itu menunjukkan kepiawaian Rasulullah saw dalam mempersaudarakan masyarakat Madinah (Ansar) yang multikultural dan Pendatang (Muhajirin). Sungguh amat bertolak belakang jika ada pendai, pendakwah dan muballigh justru bertindak “memecah-belah, memprovokasi” tatkala menyampaikan ajaran Islam.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar

Penyelamat Kesengsaraan

Tidak cukup hanya membawa berita kebahagiaan, lebih dari itu tugas Rasul saw yang amat berat adalah Ia harus mampu mengeluarkan kesengsaraan penduduk Arab kala itu di segala aspek, baik aspek pendidikan (akhlak dan moralitas), kesehatan, ekonomi, kasta sosial, dan sebagainya.

Tatkala Nabi saw berdakwah, yang pertama kali dilakukan adalah menyempurnakan akhlak (li utammima makarimal akhlaq). Selain itu, Nabi saw juga menghapus sistem kapitalisasi ekonomi di Makkah di mana aset kekayaan berpusat pada segelintir orang. Di era Nabi saw, pemerataan sosial begitu kentara. Itulah yang disebut al-Shabuni bahwa Nabi saw itu adalah al-najah min al-syaqawah al-udzma (sosok penyelamat kesengsaraan yang besar).

Pesan setelahnya akan dibahas pada artikel berikutnya…

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 77-81

0
Tafsir Surah Al Qashash
Tafsir Surah Al Qashash

Tafsir Surah Al-Qasas ayat 77-81 ini menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Karun, salah satunya adalah nasihat untuk mendekatkan diri kepada Allah ketika diberi pembendaharaan harta yang melimpah. Selain itu Tafsir Surah Al-Qasas ayat 77-81 juga menerangkan bagaimana reaksi orang-orang tersebut terhadap nasihat Allah ini.

Selengkapnya Baca Tafsir Surah Al-Qasas ayat 77-81 di bawah ini…


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 75-76


Ayat 77

Pada ayat ini, Allah menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan kepada Karun oleh kaumnya. Orang yang mengamalkan nasihat dan petunjuk itu akan memperoleh kesejahteraan di dunia dan akhirat.

  1. Orang yang dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah ruah, perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk, serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan akhirat.

 Sabda Nabi saw:

اِغتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍِِ شَبَا بَكَ قَبلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَحَيَاتَكَ قََبْلَ مَوْتِكَ (رواه البيهقى عن ابن عباس)

Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu dan hidupmu sebelum matimu. (Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas)

  1. Setiap orang dipersilakan untuk tidak meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa makanan, minuman, pakaian, serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah. Baik Allah, diri sendiri, maupun keluarga, mempunyai hak atas seseorang yang harus dilaksanakannya. Sabda Nabi Muhammad:

ِاعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ اَنْ لَنْ يَمُوْتَ أَبَداً، وَاحْذَرْ حَذْراً امْرِئٍ يَخْشَى أَنْ يَمُوْتَ غَداً (رواه البيهقى عن ابن عمر)

Kerjakanlah seperti kerjanya orang yang mengira akan hidup selamanya. Dan waspadalah seperti akan mati besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar)

  1. Setiap orang harus berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya, misalnya membantu orang-orang yang memerlukan, menyambung tali silaturrahim, dan lain sebagainya.
  2. Setiap orang dilarang berbuat kerusakan di atas bumi, dan berbuat jahat kepada sesama makhluk, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Ayat 78

Ayat ini menerangkan reaksi Karun atas nasihat dan petunjuk yang diberikan oleh kaumnya. Dengan sombong ia berkata, “Harta yang diberikan Allah kepadaku adalah karena ilmu yang ada padaku. Allah mengetahui hal itu. Oleh karena itu, Ia rida padaku dan memberikan harta itu kepadaku.” Tidak sedikit manusia apabila ditimpa bahaya, ia kembali kepada Tuhan, dan berdoa sepenuh hati.

Semua doa yang diketahuinya dibaca dengan harapan supaya bahaya yang menimpanya itu lenyap. Jika maksudnya itu tercapai, ia kemudian lupa kepada Tuhan yang mencabut bahaya itu darinya. Bahkan, ia mengaku bahwa hal itu terjadi karena kepintarannya, karena perhitungan yang tepat, dan sebagainya. Firman Allah:

فَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَاۖ  ثُمَّ اِذَا خَوَّلْنٰهُ نِعْمَةً مِّنَّاۙ قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ ۗبَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Maka apabila manusia ditimpa bencana dia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan nikmat Kami kepadanya dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku.” Sebenarnya, itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (az-Zumar/39: 49)

Pengakuan seperti tersebut di atas ditolak oleh Allah dengan firman Nya, “Apakah ia lupa ataukah tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah membinasakan umat dahulu sebelum dia, padahal mereka itu jauh lebih kuat dan lebih banyak harta yang dikumpulkannya.”

Sekiranya Allah memberi seseorang harta kekayaan dan lainnya hanya karena kepintaran dan kebaikan yang ada padanya, sehingga Allah rida kepadanya, tentu Dia tidak akan membinasakan orang-orang dahulu yang jauh lebih kaya, kuat dan pintar dari Karun. Orang yang diridai Allah tentu tidak akan dibinasakan-Nya. Tidakkah ia menyaksikan nasib Fir’aun yang mempunyai kerajaan besar dan pengikutnya yang banyak dengan sekejap mata dihancurkan oleh Allah.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa apabila Dia hendak mengazab orang-orang yang bergelimang dosa itu, Dia tidak akan menanyakan berapa banyak dosa yang telah diperbuatnya, begitu juga jenisnya, karena Dia Maha Mengetahui semuanya itu. Dalam ayat lain ditegaskan juga sebagai berikut:

فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُسْـَٔلُ عَنْ ذَنْۢبِهٖٓ اِنْسٌ وَّلَا جَاۤنٌّۚ

Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. (ar-Rahman/55: 39)

Ayat 79

Ayat ini menerangkan bahwa pada suatu hari Karun keluar ke tengah-tengah kaumnya dengan pakaian yang megah dan perhiasan yang berlebihan dalam suatu iring-iringan yang lengkap dengan pengawal, hamba sahaya, dan inang pengasuh untuk mempertontonkan ketinggian dan kebesarannya kepada manusia. Hal yang demikian itu adalah sifat yang amat tercela, kebanggaan yang terkutuk bagi orang yang berakal dan berpikiran sehat. Hal itu menyebabkan kaumnya terbagi dua.

Pertama, orang-orang yang mementingkan kehidupan duniawi yang selalu berpikir dan berusaha sekuat tenaga bagaimana caranya supaya bisa hidup mewah di dunia ini. Menurut anggapan mereka, hidup yang demikian itu adalah kebahagiaan. Mereka itu berharap juga dapat memiliki sebagaimana yang dimiliki Karun yaitu harta yang bertumpuk-tumpuk dan kekayaan yang berlebih-lebihan, karena yang demikian itu dianggap sebagai keberuntungan yang besar.

Dengan demikian mereka akan hidup senang, dan berbuat sekehendak hatinya merasakan kenikmatan dunia dengan segala variasinya. Keinginan manusia seperti ini sampai sekarang tetap ada, bahkan tumbuh dengan subur di tengah-tengah masyarakat.

Di mana-mana kita dapat menyaksikan bahwa tidak sedikit orang yang berkeinginan keras untuk memiliki seperti apa yang telah dimiliki orang-orang kaya, pengusaha besar, dan lainnya, seperti rumah besar dengan perabot serba mewah, mobil mewah, tanah, dan sawah ladang yang berpuluh-puluh bahkan beratus hektar.

Hal itu mereka lakukan sekalipun menggunakan jalan yang tidak wajar, yang tidak sesuai dengan hukum agama dan peraturan negara. Hal itu menyebabkan timbulnya kecurangan dan korupsi di mana-mana.

Ayat 80

Ayat ini menerangkan kelompok kedua yaitu orang-orang yang berilmu dan berpikiran waras. Mereka menganggap bahwa cara berpikir orang-orang yang termasuk golongan pertama tadi sangat keliru, bahkan dianggap sebagai satu bencana besar dan kerugian yang nyata, karena lebih mementingkan kehidupan dunia yang fana dari kehidupan akhirat yang kekal.

Golongan kedua berpendapat bahwa pahala di sisi Allah bagi orang-orang yang percaya kepada Allah dan rasul-Nya serta beramal saleh, jauh lebih baik daripada menumpuk harta. Apa yang di sisi Allah kekal abadi, sedangkan apa yang dimiliki manusia akan lenyap dan musnah, sebagaimana firman-Nya:

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللّٰهِ بَاقٍ

Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. (an-Nahl/16: 96)

Ayat 80 diakhiri satu penjelasan bahwa yang dapat menerima dan mengamalkan nasihat dari ayat di atas hanyalah orang-orang yang sabar dan tekun mematuhi perintah Allah, menjauhi larangan-Nya. Mereka juga menerima baik apa yang telah diberikan Allah kepadanya serta membelanjakannya untuk kepentingan diri dan masyarakat.

Ayat 81

Pada ayat ini, Allah menerangkan akibat kesombongan dan keangkuhan Karun. Ia beserta rumah dan segala kemegahan dan kekayaannya dibenamkan ke dalam bumi. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah itu, baik perorangan maupun secara bersama-sama. Karun sendiri tidak dapat membela dirinya.

Tidak sedikit orang yang sesat jalan, dan keliru paham tentang harta yang diberikan kepadanya. Mereka menyangka harta itu hanya untuk kemegahan dan kesenangan sehingga mereka tidak menyalurkan penggunaannya ke jalan yang diridai Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan azab-Nya kepada mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Qasas ayat 82-84