Secara etimologi kata musibah berasal dari bahasa Arab ashaba-yushibu-ishabatan yang memiliki banyak makna, diantaranya: ashaba al-gard (mengenai sasaran), ashabathu al-ni‘amat (memperoleh atau mendapatkan nikmat), ashaba min al-mal (mengambil sebagian dari harta). Selain itu, musibah juga bermakna ashabathu al-mushibah, yakni musibah telah menimpanya. Dengan demikian, makna musibah pada konteks tertentu bisa jadi bencana atau malapetaka.
Ragib al-Ashfahani berkata, “Kata ashaba bisa digunakan untuk hal yang baik dan hal yang buruk sebagaimana firman Allah swt dalam surat at-Taubah [9] ayat 50, “Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.”
Pada ayat di atas, kata ashaba digunakan untuk hal baik dan hal buruk, yakni kebaikan dan musibah. Dari sini kita dapat memahami bahwa secara umum kata ashabai digunakan untuk menerangkan sesuatu yang didapatkan manusia, baik ataupun buruk. Jika subjeknya baik, maka makna musibah yang dimaksud adalah mendapatkan kebaikan, begitu pula sebaliknya.
Sementara kata ‘musibah’ menurut Ragib al-Ashfahani pada mulanya digunakan untuk hal-hal berkenaan dengan melempar ‘ramyatun mushibatun’ (lemparan yang tepat sasaran). Namun, kata musibah secara sosiologis sering digunakan – hanya – terbatas pada sesuatu bencana atau malapetaka yang menimpa manusia atau sesuatu yang ttidak disenangi. Dalam kamus Mu‘jam al-Wasith misalnya, makna musibah adalah sebagai segala sesuatu yang tidak disenangi manusia.
Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi, musibah merupakan isim fa’il dari ishabah yakni kepedihan yang datang pada diri seseorang disebabkan karena suatu bencana yang menimpanya. Sementara menurut Abu Hayyan, makna musibah adalah segala kepedihan atau kesedihan yang menimpa manusia, baik itu pada diri, harta, ataupun keluarga, baik kesedihan berskala kecil maupun besar (al-Bahru al-Muhith).
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwasanya makna musibah di masyarakat mengalami penyempitan makna. Pada konteks saat ini, makna musibah sering dipahami sebagai suatu keburukan, malapetaka, dan bencana yang menimpa manusia atau sesuatu yang menimpa manusia sementara ia tidak menginginkannya. Pemaknaan ini sebenarnya tidak salah, Al-Qur’an juga menyebutkan demikian berkenaan dengan kata musibah dalam konteks tertentu.
Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa ada berbagai macam musibah atau malapetaka yang akan menimpa manusia selama hidupnya, seperti bencana alam (gempa, air bah, badai, dan halilintar), kematian, kefakiran (kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan bahan pangan) dan sebagainya. Selain itu, Al-Qur’an juga menerangkan bahwa semua musibah itu ada penyebabnya, yakni Allah swt sebagai Prima Causa.
Hal ini Allah firmankan dalam surat al-Hadid ayat 22 yang berbunyi:
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ٢٢
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid ayat 22).
Menurut as-Sa’adi, ayat di atas adalah pernyataan secara umum bahwa penyebab datangnnya musibah yang menimpa manusia baik itu kebaikan ataupun keburukan, semuanya telah ditetapkan oleh Allah swt. Jadi, tidak ada manusia yang mampu menolak dan menentangnya. Manusia hanya bisa bersyukur apabila mendapatkan kebaikan, dan tabah serta sabar manakala mendapatkan keburukan.
Surat al-Hadid ayat 22 merupakan ajaran Allah swt tentang tauhid kepada manusia, bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa hadir karena kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu yang muncul sendirinya ataupun ada secara tiba-tiba. Allah swt ingin menegaskan bahwa Dia adalah Sang Prima Causa dari eksistensi semesta, termasuk semua perjalanan sejarah manusia. Dengan demikian, makatak layak jika seseorang menganggap apa yang didapatkannya murni merupakan hasil kerja kerasnya.
Namun pada ayat yang lain, yakni surat as-Syura ayat 30, Allah swt juga menerangkan bahwa tindakan manusia juga berperan dalam proses datangnya musibah. Firman-Nya:
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ ٣٠
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. as-Syura ayat 30).
Pada ayat ini Allah swt menegaskan bahwa segala macam penyebab datangnya musibah yang menimpa manusia itu adalah perbuatan tangan mereka sendiri. Dia hanya memberikan apa yang pantas manusia dapatkan. Jika ayat ini dibandingkan dengan surat al-Hadid ayat 22, maka seakan-akan Allah swt memberitahu kepada manusia bahwa Dia adalah Sang Prima Causa, namun tindakan mereka juga memberi andil terhadap musibah yang menimpa mereka.
Dengan kata lain, meskipun musibah hakikatnya merupakan ketetapan Allah swt, namun pada saat bersamaan itu juga merupakan buah dari perbuatan manusia, baik ataupun buruk. Dalam konteks ini, manusia berarti diperintahkan untuk senantiasa melakukan perbuatan baik, karena itu dapat mendatangkan dampak yang baik pula. Sebaliknya, manusia diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan buruk, karena itu mendatangkan dampak yang buruk pula seperti musibah.
Ayat ini secara tidak langsung juga memerintahkan manusia untuk mengintrospeksi segala perbuatan yang telah dilakukan. Jika kita banyak melakukan kebaikan, maka ditambah. Sebaliknya, jika kita banyak melakukan kesalahan, maka sebaiknya kita bertaubat dari segala perbuatan buruk dan tidak mengulanginya agar tidak mendapatkan musibah sebagai peringatan.
Meskipun secara tegas pada surat as-Syura ayat 30 diterangkan bahwa penyebab datangnya musibah adalah perbuatan manusia sendiri, namun bukan berarti kita boleh menuduh orang yang ditimpa musibah pantas mendapatkannya berkat dosa-dosanya atau perkataan semisal. Sebab kita (manusia) tidak mengetahui apakah musibah tersebut merupakan peringatan terhadap dosa atau cobaan dari Allah untuk meninggikan derajatnya.
Karena itulah, Allah swt dalam surat Fathir ayat 45 mengingatkan manusia agar tidak merasa suci dan merasa paling benar, firman-Nya:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا ࣖ ٤٥
“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
Melalui ayat di atas, Allah swt ingin mengingatkan manusia bahwa mereka semua berpotensi mendapatkan musibah atau azab atas perbuatan mereka tanpa terkecuali. Hanya saja, Dia menangguhkan atau memaafkan perbuatan buruk tersebut (baca surat as-Syura ayat 30). Namun jika ajal atau waktunya telah tiba, maka manusia akan menghadap Allah swt untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Wallahu a’lam.