Tidak semua kesalahan akan diampuni hanya cukup dengan meminta maaf. Demikian setidaknya penjelasan yang penulis tangkap dari salah satu mau’idzah Gus Baha’. Dalam penjelasannya tersebut, Gus Baha’ menyitir ayat 160 dari surah Albaqarah [2] yang menjelaskan tentang pentingnya tobat.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Kecuali orang-orang yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan(-nya). Mereka itulah yang Aku terima tobatnya. Akulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
Secara rangkaian, ayat sitiran Gus Baha’ ini merupakan istitsna’ dari ayat sebelumnya, yakni surah Albaqarah [2] ayat 159,
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Alquran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.
Baca Juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa
Salah satu ulasan ayat ini telah ditulis oleh Fahmi Azhar berjudul Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 160: Dosa dan Cara Taubatnya Orang Alim. Hanya saja, ulasan Azhar tersebut membatasi pada seorang alim yang melakukan ‘tindak kriminal’ dengan menyembunyikan kealiman yang dimilikinya. Padahal, menurut Wahbah al-Zuhailiy, ayat tersebut berlaku umum (‘amm) dan tidak khusus (khash) pada sebab turunnya.
Lebih lanjut, Wahbah al-Zuhailiy menjelaskan bahwa ke-‘amm-an ayat tersebut berlaku bagi setiap katim-maktum, yakni perkara-perkara yang disembunyikan, dirahasiakan, didustakan, dan atau sebagainya yang mengharuskan adanya transparansi bagi setiap individu. Alim, yang menjadi fokus utama penjelasan Azhar, hanya sebagian dari perkara tersebut.
Penonjolan perkara ilmu dalam beberapa tafsir dari ayat tersebut, seperti dilakukan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Al-Khazin dalam Lubab al-Ta’wil fi Ma‘ani al-Tanzil, dan Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir, agaknya dikarenakan sebab turunnya ayat tersebut yang menyoal perilaku ulama Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan dan mendistorsi tanda-tanda kenabian Muhammad saw., penjelasan tentang rajam, dan hukum-hukum lainnya. Itulah mengapa dalam rangkaian ayatnya secara eksplisit menyebut diksi tabyin (wa bayyanu).
Kembali pada penjelasan Gus Baha’, pilihan diksi tabyin sebagaimana tertera dalam ayat menunjukkan adanya keharusan persesuaian dalam tobat seorang pendosa berdasar pada kesalahan yang telah ia perbuat.
Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 66-67: Kuasa Allah atas Para Pendosa
Pada ayat 159 di atas kesalahan yang dilakukan adalah kitman, yang menurut Al-Khazin merupakan,
وَمَعْنَى الكِتْمَانِ تَرْكُ إِظْهَارِ الشَّيءِ مَعَ الْحَاجَةِ إِلَى بَيَانِهِ وَإِظْهَارِهِ
Perkara yang seharusnya ditunjukkan kejelasannya malah ditinggalkan untuk tetap berada dalam ketidakjelasan.
Sehingga bentuk persesuaian dari tindakan kitman adalah tabyin yang dalam definisi Al-Khazin sebelumnya secara eksplisit digunakan diksi bayan dan idzhar. Kata bayan sendiri secara harfiah berarti ittidlah atau jelas; menjadi jelas.
Hal ini juga berlaku pada berbagai bentuk kesalahan yang lain. Dan oleh karenanya, tidak akan cukup dalam setiap tindakan kesalahan hanya ditebus dengan meminta maaf. Hutang misalnya. Seseorang yang berhutang kemudian tidak membayar dan melunasinya lantas dengan enteng hanya mengucapkan maaf dan kemudian melupakan tanggungannya tidak akan dianggap cukup dalam tobatnya.
Maka tiga syarat tobat yang diungkapkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailainiy, misalnya, yakni menyesali tindakannya, meninggalkan setiap kesalahan di mana pun dan kapan pun, serta berjanji dan berusaha tidak mengulangi, adalah terkait hubungan vertikal si pendosa dan Allah Swt. supaya tobatnya diterima di sisi-Nya.
Sedangkan kandungan dari ayat 160 surah Albaqarah, kendati juga berisi unsur vertikal juga turut menyertakan unsur horizontal sesama manusia, yakni hubungan si pendosa di pihak pelaku dengan orang lain di pihak korban. Sehingga sekali lagi, tidak cukup hanya dengan meminta maaf meskipun itu tulus dan bahkan disertai dengan ‘jilat’ isak tangis. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []