BerandaKhazanah Al-QuranRahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an

Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an

Perintah Allah dalam al-Qur’an merupakan titah yang harus dilakukan oleh makhluk yang diberikan baban untuk melaksanakannya. Makhluk tersebut mencakup manusia dan jin, yang sudah jelas dalam al-Qur’an diperintahkan untuk beribah. Perintah-perintah tersebut baik berupa langsung menggunakan fi’il amr atau selainnya yang bermakna perintah.

Di balik banyaknya ‘bentuk’ perintah dalam al-Quran, dalam kajian ushul fiqh makna perintah tersebut tidak harus menghasilkan hukum wajib; namun, dapat dijadikan sebagai tanda pada hukum mubah (boleh), bahkan sebagai tahqir (merendahkan pada lawan).

Disamping itu, al-Qur’an sekaligus menegaskan bahwa di dalamnya terdapat tuntunan dan ajaran untuk umat manusia. Sebut saja, ketika al-Qur’an memerintahkan kepada manusia supaya melaksanakan ibadah haji, maka dalam waktu yang sama haji menjadi ajaran yang terdapat dalam al-Quran (Islam). Dalam masalah keyakinan, ayat-ayat yang bernada perintah “berimanlah” merupakan beban yang harus ditanggung oleh manusia, artinya harus dilaksanakan.

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Akan tetapi, manusia terkadang tidak menyadari lebih mendalam apa rahasia dibalik adanya perintah Allah dalam al-Quran. Memang, sikap tersebut tidak sepenuhnya salah, karena yang terpenting adanya perintah -ketika yang wajib- harus dilaksanakan. Dampaknya, mereka kurang menyadari hikmah dan manfaat dari adanya perintah tersebut. Bahkan pada level lebih jauh, mereka berani meninggalkan perintah-perintah Allah swt.

Lantas apa saja rahasia adanya perintah yang terdapat dalam al-Qur’an? dan bagaimana kita menyikapi perintah tersebut?

Pertama, mengagungkan Allah Swt

Rahasia yang pertama ialah mengagungkan Allah. Adanya kekuatan dan kekuasaan ditandai dengan mampu menguasai dan mengatur semua hal. Hal demikianlah bukti Allah itu qudrat dan iradat; mampu sekaligus menghendaki terhadap semua hal yang ada di alam raya ini, walaupun dalam pandangan hukum adat tidak mungkin.

Gambaran demikian dapat dilihat dari kekuatan Allah dalam memerintahkan semua makhluk, khususnya manusia dan jin. Apabila kita analisis antara hubungan perintah dan kekuasaan maka pemahaman kita, perintah dan menjalankannya merupakan bentuk mengagungkan Allah.

Sebagai contoh, ketika seorang ‘bos’ memberi perintah kepada ‘karyawannya’, kemudian ‘karyawan’ tersebut melaksanakan perintah tersebut; maka ada nilai dalam kejadian tersebut: 1) mengukuhkan ‘bos’ sebagai orang yang berkuasa; 2) sebagai bentuk pernghormatan terhadap ‘bos’.

Dalam al-Quran, Allah memerintahkan salat supaya mereka mengagungkan dan menghormati Allah swt. Tidak berhenti hanya pada sekedar mengugurkan kewajiban saja, tetapi dalam pelaksanaannya harus disertai dengan pengagungan dan penghormatan kepada Allah sebagai ‘yang memerintahkan’.

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: ‘Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. Q.S Al-Baqarah [2]: 43.

Dalam ayat tersebut terdapat tiga perintah, semuanya menggunakan fi’il amr, yakni وَأَقِيمُواْ, وَءَاتُواْ, وَٱرۡكَعُواْ. Semua perintah tersebut menyimpan rahasia, yakni mengagungkan Allah. Zakat sebagai ritual keagamaan yang memiliki tujuan membersihkan diri dan harta sendiri; bahkan dalam perintah zakat tersebut sebagai ekspresi seseorang untuk mensyukuri nikmat dan harta yang telah didapatkan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Bersanggama di Bulan Ramadan

Kemudian dalam perintah ketiga, ruku’lah menyimpan makna ketundukkan dan kepatuhan, sehingga dengan perintah tersebut secara otomatis melarang memiliki sikap takabbur dan sombong. Artinya, secara sederhana dalam perintah tersebut menyimpan rahasian mengagungkan Allah dan memiliki rasa tidak mampu ketika dihadapkan dengan Tuhan.

Sebagaimana Al-Razi menafsirkan lafaz tersebut, bahwa perintah ‘ruku’lah’ merupakan larangan takabur yang dicela dan perintah untuk merendahkan diri (Mafatih al-Ghaib 3:487). Sebagaimana dalam Q.S al-Maidah [5]: 54.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ  ٥٤

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui Q.S al-Maidah [5]: 54.

Kedua, simpati terhadap sesama

Tidak dibenarkan seseorang yang hubungan dengan Allah baik, tapi hubungan dengan sesama tidak baik. Karena amal shaleh itu hubungan dengan Allah dan manusia baik. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal demikian merupakan repsentasi dari perintah Allah dalam al-Quran.

Adanya perintah puasa Ramadhan bukan sekedar ibadah privat kita dengan Tuhan, tetapi di dalamnya terdapat rahasia yang mengharuskan kita untuk mengasihi sesama, simpati, dan memerhatikan sesama. Menahan lapar dan dahaga diharapkan sebagai pelajar bahwa di luar sana masih banyak orang yang merasakan kelaparan, bukan di bulan Ramadhan saja, tetapi selain Ramadhan.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Merasakan apa yang mereka rasakan (yaitu kelaparan) adalah pelajar yang efektif sekaligus dapat memupuk rasa simpatik kita terhadap mereka yang kurang mampu.

Oleh karena itu, sama hal nya perintah jihad dalam al-Quran yang praktekan dengan menyakiti dan membunuh sesama; bahkan menimbulkan teror serta tidak ada rasa simpatik dan kasih sayang maka praktek demikian tidak dibenarkan dalam agama, karena menyalahi hakikat adanya perintah dalam al-Quran.

Perintah zakat dan shadaqah merupakan perintah yang memang mengharuskan kita untuk berbagi dengan sesama yang dimana al-Quran telah menentukan orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq zakat). Berbagi dan memerhatikan merupakan rahasia yang terdapat dalam perintah zakat, sekaligus rahasia di dalamnya.

Alhasil, semua perintah Allah dalam al-Quran tidak terlepas dari dua poin di atas, yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah tersebut. Dengan demikian, apa pun bentuk perintah-Nya menyimpan rahasia dan semangat mengagungkan Allah dan simpatik kepada sesama.

Wallahu ‘Alam

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...