BerandaTafsir TematikSurat An-Nisa Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

Surat An-Nisa Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

Ketika seseorang melihat orang lain mendapatkan rezeki, nikmat atau pemberian yang lebih baik daripada yang didapatkannya – mungkin – ia akan merasa tersaingi, kalah dan tidak lebih baik dari orang tersebut. Dalam ajaran Islam, sifat ini disebut iri hati dan merupakan salah satu sifat tercela (al-akhlaq al-madzmumah) yang harus dihindari.

Iri hati adalah sebuah emosi yang timbul karena merasa kurang senang, kurang bersyukur dengan apa yang dimilikinya dan cemburu dengan apa yang didapatkan atau dimiliki oleh orang lain karena dia anggap hal tersebut lebih dari apa yang dimilikinya. Iri dengki merupakan sebuah sifat yang termasuk kedalam salah satu penyakit hati.

Sifat iri hati terhadap orang lain bisa melanda siapa saja tanpa terkecuali. Rasa tidak suka melihat kelebihan orang lain, baik harta maupun karir, tentu bisa dialami oleh setiap orang. Penyakit hati ini dapat mengarahkan manusia untuk melakukan perbuatan negatif. Tindakan yang paling ringan adalah berbuat hasut ataupun memfitnah orang lain.

Baca Juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

Karena kecenderungan tersebut, Islam melarang setiap muslim untuk iri hati terhadap orang lain. Jika perasaan itu muncul, sangat dianjurkan untuk dikendalikan. Meskipun demikian, ada iri yang dibolehkan oleh nabi Muhammad Saw. Iri hati yang dimaksud adalah keinginan untuk menyamai orang dermawan dan ahli Al-Qur’an. Dalam hadis riwayat Bukhari, nabi Saw bersabda:

عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.

(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه).

Dari Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal Alquran). Lalu ia membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya pada malam dan siang hari.” (HR. Bukhari, Tarmidzi, dan Nasa’i)

Surah An-Nisa [4] Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

Di dalam Al-Qur’an juga banyak diterangkan tentang larangan iri hati terhadap orang lain. Salah satunya adalah surah An-Nisa [4] Ayat 32 yang berbunyi:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ٣٢

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini adalah lanjutan ayat sebelumnya (31) yang melarang melakukan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada kebatilan. Keinginan dan angan-angan memperoleh sesuatu, seringkali menimbulkan iri hati dan mendorong seseorang melakukan pelanggaran, apalagi jika yang bersangkutan membandingkan dirinya dengan orang lain.

Sikap tersebut dapat melahirkan persaingan tidak sehat yang mengantar kepada penyimpangan dan agresi, kezaliman, serta mendapat dosa besar. Karena itu, ayat ini (32) berpesan agar tidak berangan-angan dan berkeinginan yang dapat mengantar kepada pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan Allah, termasuk ketentuan-Nya menyangkut pembagian waris di mana lelaki mendapat bagian lebih banyak dari perempuan (Tafsir Al-Misbah [2]: 418\7).

Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Dalam ayat ini, seakan-akan Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu berangan-angan yang menghasilkan ketamakan terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, seperti harta benda, bagian dalam warisan, harta anak yatim, kedudukan, kecerdasan, nama baik, jenis kelamin dan lain-lain yang kualitasnya lebih baik dan atau jumlahnya lebih banyak dari apa yang dianugerahkan-Nya kepada sebagian yang lain.”

“Allah Swt telah menganugerahkan kepada setiap orang dan jenis apa yang terbaik untuknya, guna melaksanakan fungsi dan misinya dalam hidup di dunia ini. Karena itu, jangan berangan-angan memperoleh sesuatu yang mustahil, atau berangan-angan yang membuahkan iri hati dan dengki, serta penyesalan di kemudian hari.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 418).

Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, sesuai dengan ketetapan Allah dan usahanya, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, itu juga sesuai dengan ketetapan Allah dan usaha mereka. Dan mohonlah kepada Allah apa yang kamu inginkan kiranya Yang Maha Kuasa itu menganugerahkan sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

At-Tirmidzi meriwayatkan melalui Mujahid bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ucapan istri Nabi Saw, Ummu Salamah, yang berkata kepada Rasul Saw, “Sesungguhnya pria berjihad mengangkat senjata melawan musuh, sedang perempuan tidak demikian. Kami juga selaku perempuan hanya mendapat setengah bagian lelaki……”

Menurut Ibn ‘Asyur, ayat ini seakan-akan menyatakan: “Setiap jenis kelamin, bahkan setiap orang baik lelaki maupun perempuan, memperoleh anugerah Allah Swt dalam kehidupan dunia ini sebagai imbalan usahanya atau atas dasar hak-haknya (seperti warisan). Karena itu, mengharapkan sesuatu tanpa usaha, atau tanpa hak merupakan sesuatu yang tidak adil. Dengan demikian, harapan dan angan-angan yang menimbulkan iri hati itu dilarang.”

Berdasarkan pendapat al-Ashfahani, ayat ini seakan-akan berkata: “Jangan mengangan-angankan keistimewaan yang dimiliki seseorang atau jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelaminmu, karena keistimewaan yang ada padanya itu adalah karena usahanya sendiri, baik dengan bekerja keras membanting tulang dan pikiran, maupun karena fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya.” Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...