BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Al-'Ankabut ayat 60-61

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 ini mengisahkan tentang penyiksaan kaum musyrik kepada umat Islam di Makkah. Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 ini juga mensyaratkan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan mahkluknya, selagi hamba-Nya berdoa memohon kepada-Nya Allah akan melindungi dan memudahkan segala rezekinya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 57-59


Ayat 60

Sabab nuzul ayat ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang yang beriman di Mekah, ketika orang-orang musyrik menyiksa mereka, “Keluarlah kamu sekalian dan hijrahlah. Jangan bertetangga dengan orang yang zalim itu.”

Orang-orang mukmin menjawab, “Ya Rasulullah, di sana kami tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai harta, tidak ada orang yang akan memberi makan, dan tidak ada orang yang akan memberi minum.” Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban terhadap kekhawatiran orang-orang mukmin itu.

Ayat ini turun untuk menenteramkan hati orang-orang yang beriman yang memenuhi seruan Rasulullah saw untuk hijrah, baik mereka yang telah hijrah, maupun kaum Muslimin yang sedang bersiap-siap untuk hijrah, seakan-akan Allah mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, tantanglah musuh-musuh Allah itu.

Janganlah sekali-kali kamu takut kepada kepapaan dan kemiskinan karena betapa banyaknya binatang melata yang tidak sanggup mengumpulkan makanan setiap hari untuk keperluannya, tetapi Allah tetap memberinya rezeki. Kamu wahai orang-orang yang beriman, jauh lebih baik dari binatang dan lebih pandai mencari makan, kenapa kamu khawatir tidak akan mendapat makanan.

Walaupun kamu hijrah tanpa membawa sesuatu, tetapi Allah pasti memberimu rezeki. Allah Maha Mendengar segala macam doa, mengetahui segala keadaan hamba-hamba-Nya.”

Ayat ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan makhluk-Nya sedikit pun. Dia mengemukakan suatu perumpamaan mudah dipahami pengertiannya oleh kaum Muslimin, seperti anak-anak binatang yang tidak sanggup mencari makan sendiri.

Allah menjadikan induknya sayang kepadanya, sehingga mereka mau berusaha dan bersusah payah mencarikan makanan bagi anaknya. Kemudian induk itu menyuapkan makanan yang didapat ke dalam mulut anak-anaknya, sebagaimana kita saksikan pada burung dan sebagainya. Ada pula binatang yang memberi makan anaknya dengan air susu dari induknya, sebagaimana yang terdapat pada binatang menyusui.

Semuanya itu merupakan ketentuan Allah, sehingga dengan demikian setiap makhluk bisa mempertahankan kelangsungan hidup jenisnya.

Demikian pula halnya manusia, ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang kecil, ada yang besar, ada yang tinggal di tempat yang subur, dan ada pula yang tinggal di tempat yang tandus, semuanya diberi rezeki oleh Allah, sesuai dengan kebutuhan mereka. Inilah yang dimaksud dengan ayat ini.

Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya, termasuk kaum Muhajirin, sekalipun harta benda mereka tertinggal di Mekah, dan mata pencahariannya terputus.

Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّاعَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua-nya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (Hud/11: 6)

Kemudian ayat ini ditutup dengan menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar apa yang diminta hamba-Nya dan Maha Mengetahui semua keperluannya.

Dari ayat-ayat di atas dipahami bahwa manusia tidak mengetahui dengan pasti apa-apa yang dilakukannya. Ia hanya mengetahui keperluan dan kebutuhan lahir saja, sedangkan keperluan-keperluan yang bersifat rohani, dan yang lainnya, banyak yang tidak diketahuinya, seperti keperluan akan udara yang harus ia hirup sepanjang hari, air, dan sebagainya.

Meskipun begitu, setiap mukmin diwajibkan berusaha dan berikhtiar dalam hidupnya. Allah telah memberikan potensi untuk berkehendak dan berusaha sehingga kita tetap wajib berusaha, sebagaimana firman Allah:

ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمٍْۗ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (ar-Ra’d/13: 11)

Ayat 61

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 60-61 khususnya pada ayat ini menerangkan bahwa kaum musyrik mengakui bahwa yang menciptakan langit dan bumi itu adalah Allah Yang Maha Esa. Dialah yang menundukkan matahari dan bulan untuk kepentingan manusia. Pengakuan mereka itu adalah suatu hal yang wajar karena pada mulanya nenek moyang mereka beragama tauhid, yaitu, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Pada mulanya mereka bangga dengan agama tauhid itu, sehingga mereka tidak tertarik dengan agama Yahudi dan Nasrani yang berkembang di Jazirah Arab. Seiring dengan berlalunya masa dan bergantinya generasi, tanpa mereka sadari agama tauhid yang murni itu sedikit demi sedikit telah dimasuki oleh unsur-unsur syirik.

Karena memperturutkan perasaan dan hawa nafsu, mereka makin lama makin jauh menyimpang dari dasar semula. Akhirnya, mereka menyembah patung, jin, dan benda-benda lain di samping menyembah Allah.

Sekalipun kepercayaan yang mereka anut telah jauh menyimpang dari agama tauhid, namun mereka masih tetap mengakui bahwa mereka menganut agama Ibrahim. Kalau ditanyakan kepada mereka tentang siapakah yang menciptakan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan, mereka menjawab, “Yang menciptakan ialah Allah dan Allah-lah yang menguasainya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 62-63


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...