BerandaTafsir TahliliTafsir Surah Fathir Ayat 38-39

Tafsir Surah Fathir Ayat 38-39

Tafsir Surah Fathir Ayat 38-39 adalah kesekian kali Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan yang membawa risalah-Nya. Apa yang disampaikan Muhammad, baik peringatan ataupun kabar gembira, adalah benar. Salahnya, mereka – saat di dunia– menolak seruan itu, justru berbalik memerangi Muhammad, sikap yang justru memicu kemurkaan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 37


Allah memperingati mereka melalui lisan Nabi Muhammad, bahwa ia mengetahui seagala sesuatu, termasuk isi hati mereka, baik yang sudah ataupun yang akan terlintas. Dan Allah, kian murka, ketika mereka semakin kufur, dan menjajikan kepada mereka siksaan yang pedih kelak di neraka.

Ayat 38

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar memberi peringatan keras kepada orang-orang musyrik bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang mereka sembunyikan. Allah juga Maha Mengetahui perasaan yang terkandung dalam hati mereka, dan rencana apa yang akan mereka kerjakan.

Allah pulalah yang mengetahui segala yang tak terlihat oleh pancaindra manusia, baik yang ada di langit maupun di bumi. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang musyrik itu merasa takut kepada Allah, sebab segala gerak-gerik mereka di bawah pengawasan-Nya.

Segala yang mereka rencanakan untuk menipu rasul dan melenyapkan kebenaran agama-Nya di bumi ini, atau usaha mereka untuk membantu sekutu mereka dalam menuhankan berhala, pasti diketahui Allah.

Allah Mengetahui segala perasaan yang terkandung dalam hati manusia, dan perbuatan apa saja yang mereka kerjakan.

Firman Allah “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada manusia” mengisyaratkan kepada pengertian sekalipun orang-orang kafir diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, namun mereka tidak akan meninggalkan kekufurannya. Oleh karena itu, sia-sia Allah memanjangkan umurnya.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Batas Umur Anak yang Menyebabkan Sepersusuan


Ayat 39

Ayat ini menegaskan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah di bumi. Sebagai khalifah, yang dapat diartikan sebagai penguasa, manusia diberi kemampuan untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya guna kesejahteraan hidup mereka.

Sebagian ahli tafsir menerangkan maksud khala’if fi al-ardh ialah sebagian manusia menggantikan manusia yang lain, satu generasi menggantikan generasi lain agar mereka mengambil pelajaran karena Allah telah membinasakan umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan.

Semuanya bertujuan agar mereka menyadari siapakah mereka itu sebenarnya. Rasa keinsafan demikian insya Allah akan mendorong untuk mensyukuri segala nikmat-Nya yang tidak terhingga, mengesakan-Nya dari segala perbuatan dan kepercayaan yang berbau syirik, serta menaati segala perintah-Nya.

Semakin bertambah rasa kekafiran itu dalam lubuk hati mereka, makin bertambah pula kemarahan dan kemurkaan Allah. Akan tetapi, tidaklah berarti bahwa hal demikian akan mengurangi kebesaran dan keagungan Allah, sebab Dia tidak memerlukan puji dan syukur manusia untuk keagungan dan kemuliaan-Nya, seperti bunyi ayat:

وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji. (Luqman/31: 12)

Sebaliknya, kerugian akan menimpa mereka di hari akhirat kelak karena tidak mau kembali ke jalan yang benar, dan tetap berada dalam kekafiran. Mereka kekal dalam siksaan api neraka Jahanam seperti diuraikan di atas.

Sengaja kalimat, “tidaklah menambah kekafiran itu bagi orang-orang kafir” disebutkan dua kali karena mengandung maksud bahwa kufur yang menimbulkan kemarahan Allah dan kufur yang mendatangkan kerugian, keduanya terpisah dan mengandung makna sendiri-sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 40-41


 

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...