BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al A'raf ayat 85-88

Tafsir Surat Al A’raf ayat 85-88

Setelah sebelumnya membahas kisah Nabi Nuh, Hud dan Nabi Luth tafsir surat Al A’raf ayat 85-88 ini menceritakan kaum Madyan yaitu kaum Nabi Syu’aib. Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 85-88 ini dijelaskan bahwa kaum Madyan merupakan orang-orang yang tidak bersyukur dan berakhlak tercela.


Baca Juga Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 83-84 Kisah Nabi Luth


Ayat 85

Ayat ini menceritakan bahwa kaum Madyan yaitu kaum Nabi Syu’aib tidak bersyukur kepada Allah disamping mereka mempersekutukan-Nya. Akhlak mereka sangat buruk sehingga kehidupan mereka bergelimang dalam penipuan, sampai kepada urusan tukar-menukar, timbang-menimbang. Menurut suatu riwayat jika orang asing datang berkunjung, mereka sepakat menuduh bahwa uang yang dibawa orang asing itu palsu, dengan demikian mereka menukarnya dengan harga (kurs) yang rendah sekali. Kepada kaum ini Allah mengutus Nabi Syu’aib agar dia menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan meninggalkan kecurangan dalam takaran dan timbangan.

Sebagaimana biasanya bahwa Allah memperkuat kenabian setiap Nabi-Nya dengan mukjizat seperti diketahui dari hadis Abu Hurairah, yaitu:

مَا مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ َنبِيٌّ إِلاَّ أُعْطِيَ مِنَ الاٰيَاتِ مِثْلُهَا اٰمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِيْ أُوْتِِيْتُ وَحْيًا أَوْحَى الله ُإِلَيَّ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري ومسلم)

“Tidak seorang Nabi pun dari kalangan nabi-nabi kecuali diberikan kepadanya tanda-tanda kenabiannya yang menjadikan manusia percaya kepadanya. Sesungguhnya yang diberikan kepadaku ialah wahyu yang disampaikan kepadaku yaitu (Al-Qur′an). Maka aku mengharap bahwa aku akan mempunyai pengikut yang lebih banyak dari pada pengikut-pengikut nabi-nabi pada hari Kiamat”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Tidak terdapat satu ayat pun dalam Al-Qur′an yang menerangkan tentang mukjizat yang diberikan kepada Nabi Syu’aib. Fakhrur Razi dalam tafsirnya, mengutip az-Zamakhsyari dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf” mengatakan bahwa di antara mukjizat Nabi Syu’aib, yaitu dia memberikan tongkatnya kepada Nabi Musa. Tongkat itulah membinasakan ular-ular besar milik tukang-tukang sihir Fir’aun. Juga dia berkata kepada Nabi Musa, bahwa kambing-kambing ini akan beranak semuanya berbulu hitam putih, kemudian ternyata benar sebagaimana yang diucapkannya itu.

Ayat 86

Sesudah Nabi Syu’aib melarang kaumnya membuat kerusakan di bumi, maka ayat ini menerangkan bahwa Nabi Syu’aib juga melarang mereka duduk di jalan untuk mengganggu orang yang lewat. Terhadap orang yang beriman mereka ancam nyawanya dan terhadap orang yang belum beriman jika ia bermaksud mengunjungi Nabi Syu’aib mereka mengatakan bahwa Syu’aib itu seorang pendusta yang hendak menggoda orang agar meninggalkan agama nenek moyangnya.

Pada akhir ayat Nabi Syu’aib mengajak mereka mengenang masa-masa yang lalu ketika mereka masih sedikit jumlahnya, kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan mereka dan memberi rezeki yang banyak. Karenanya hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan meninggalkan kemusyrikan dan perbuatan kezaliman dan hendaklah mereka mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian pada kaum-kaum yang berbuat kezaliman, antara lain meninggalkan agama yang benar dari umat-umat sebelum mereka, seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, dan kaum Tsamud.

Hendaklah mereka mengambil pelajaran dari apa yang menjadi sebab Allah membinasakan umat-umat sebelum mereka itu. Dengan demikian Nabi Syu’aib secara tidak langsung telah memperingatkan kaumnya agar mereka tidak mengalami nasib seperti mereka yang telah dibinasakan oleh Allah itu.

Ayat 87

Ayat ini mengutarakan keahlian Nabi Syu’aib dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah yang dikemukakan dengan kata-kata yang tegas, bijaksana dan mengesankan. Nabi Syu’aib berkata kepada mereka jika ada golongan di antara mereka yang membenarkan seruannya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan zalim seperti mengurangi hak manusia dalam menimbang dan menakar, maka mereka akan terhindar dari siksa Allah.

Sebaliknya, sekiranya ada golongan di antara mereka yang masih belum menyambut seruannya dan masih tetap kufur dan zalim, maka Nabi Syu’aib mengancam mereka agar menunggu keputusan Tuhan yang seadil-adilnya, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang beriman dan membinasakan golongan kafir yang berbuat kezaliman.

Ayat 88

Ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin suku Madyan berkata kepada Nabi Syu’aib, bahwa mereka akan mengusir Syu’aib dan para pengikutnya dari negeri mereka, apabila Nabi Syu’aib tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka, serta menghentikan dakwahnya kepada kaumnya.

Dengan perkataan lain, mereka menyuruh Nabi Syu’aib dan para pengikutnya untuk memilih apakah mereka akan tetap dalam agama baru dan melanjutkan dakwah tetapi diusir dari negeri mereka, ataukah bersedia kembali kepada agama nenek moyang dan menjadi anggota masyarakat dari kaumnya yang musyrik.

Perlu diketahui bahwa kata-kata “kembali kepada agama nenek moyang” memberi kesan, seolah-olah Nabi Syu’aib pernah menjadi penganut agama kaumnya, dan tentu pernah juga turut menyembah sembahan yang mereka sembah. Hal ini tidak benar, karena para nabi dan rasul Allah senantiasa terhindar dari dosa-dosa besar, termasuk dosa yang disebabkan kemusyrikan kepada Allah.

Pada akhir ayat tersebut diterangkan, bahwa Nabi Syu’aib menjawab tantangan mereka dengan mengajukan pertanyaan, apakah mereka akan tetap memaksa dirinya dan para pengikutnya untuk kembali kepada agama mereka atau mereka akan mengusir dirinya dan para pengikutnya dari negeri Madyan bila ia menolak anjuran itu.

Nabi Syu’aib menegaskan kepada kaumnya, bahwa ia dan para pengikutnya tidak merasa gentar diusir dari negeri mereka, dan mereka akan tetap dalam agama Allah serta melanjutkan dakwah mereka. Kecintaan Nabi Syu’aib kepada agama Allah lebih tinggi dari pada kecintaan kepada tanah air yang penduduknya ingkar kepada Allah.

Ia dan para pengikutnya mengutamakan hidup dalam keridaan Allah, sehingga mereka benar-benar dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan keimanan adalah urusan hati yang tidak dapat dipaksakan bagaimanapun juga. Ia dan para pengikutnya benci kepada kemusyrikan, karena kemusyrikan merupakan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

Seorang rasul yang mengemban amanat menyiarkan agama Allah tidak keberatan meninggalkan tanah tumpah darahnya, apabila situasi dan keadaan di tempat itu tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas. Seperti diketahui, Nabi Ibrahim telah melaksanakan hijrah, meninggalkan tanah tumpah darahnya yaitu kota Ur di Kaldea, demi untuk menegakkan agama Allah. Demikian pula Nabi Muhammad telah hijrah dari Mekah ke Medinah karena kecintaannya kepada agama Allah melebihi kecintaan kepada tanah air dan lain-lainnya. Orang-orang yang enggan hijrah karena Allah, akan dimurkai Allah, sebagaimana firman Allah :

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ  قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ    ٩٧  اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ    ٩٨  فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا   ٩٩

“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya: “bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)”.

Mereka (para malaikat) bertanya: “Bukanlah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun”. (an-Nisa/4: 97-99)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?


Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...