Kuantitas pemeluk agama Islam di seluruh dunia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan, sehingga berdampak pada banyaknya pembangunan tempat ibadah untuk umat Islam yaitu masjid. Tentu pembangunan masjid merupakan suatu hal yang baik. Namun, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa terdapat masjid yang justru menimbulkan mudharat dan kerusakan. Masjid tersebut dikenal dalam Al-Qur’an dengan sebutan masjid dhirar. Oleh karena itu, artikel ini ingin mengulas terkait apa itu masjid dhirar dan bagaimana sikap Nabi terhadap masjid tersebut.
Apa itu Masjid Dhirar?
Istilah masjid dhirar ini tertulis dalam Al-Qur’an tepatnya dalam surah at-Taubah [9] ayat 107. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman terkait masjid dhirar, terlebih dahulu kita harus memahami penjelasan ayat tersebut. Teks ayat tersebut tertulis sebagaimana berikut:
وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَّكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًاۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗوَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰىۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan bencana (pada orang-orang yang beriman), untuk kekafiran dan untuk memecah belah di antara orang-orang yang beriman serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka dengan pasti bersumpah, “Kami hanya menghendaki kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa mereka itu pendusta (dalam sumpahnya)”
Baca Juga: Esensi Sujud dan Fungsi Masjid Yang Sebenarnya
Kata “masjid” dalam Q.S. at-Taubah [9] ayat 107 memiliki dua dimensi makna yaitu antara dimensi makna bahasa dan istilah. Apabila menggunakan dimensi makna bahasa, maka masjid dimaknai sebagai tempat sujud. Sehingga dimanapun tempatnya seperti sekolah, kantor, dan lain sebagainya, kalau digunakan untuk sujud, maka itu disebut masjid.
Namun, menurut Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya yaitu Tafsir al-Sya’rawi, dijelaskan bahwa dalam konteks ayat ini, kata “masjid” lebih tepat dimaknai dengan dimensi makna istilah, karena yang dimaksud masjid dalam ayat tersebut adalah terkait bangunan yang memang didirikan sebagai tempat khusus untuk shalat.
Kemudian terkait penjelasan makna “dhirar” adalah hal-hal madharat atau bencana yang timbul akibat orang-orang yang mendirikan masjid tersebut dengan niat yang tidak benar. Sehingga, kemudharatan dapat timbul akibat adanya orang-orang yang mengfungsikan masjid dengan tujuan yang tidak baik. Bukan bangunan masjidnya yang menimbulkan kemudharatan.
Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa pembangunan masjid dhirar tersebut didasari atas sifat iri dari Bani Ghunmun ibn ‘Auf yang merupakan golongan dari suku Khazraj terhadap adanya bangunan masjid Quba yang dibangun oleh saudara mereka sendiri yaitu Bani ‘Amr ibn ‘Auf. Pembangunan masjid dhirar tersebut dilaksanakan oleh dua belas orang dari golongan munafik atas saran dari Abu ‘Amir al-Rahib.
Baca Juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13
Lantas apa kemudharatan yang ditimbulkan oleh masjid tersebut? Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa terdapat empat kemudharatan yang muncul akibat pembangunan masjid dhirar yang dilakukan oleh orang-orang munafik, yaitu: Pertama, kemudharatan berupa kekafiran yang ditunjukkan mereka dengan keinginan untuk menandingi masjid Quba yang telah didirikan terlebih dahulu oleh Nabi, tatkala beliau hijrah ke Madinah. Kedua, masjid dhirar tersebut dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai tempat untuk melakukan tipu daya dan fitnah terhadap kaum muslimin.
Kemudian, ketiga, masjid tersebut dijadikan sebagai sarana untuk memecah belah umat Islam, sebab adanya masjid dhirar tersebut mengakibatkan intensitas umat Islam yang berjamaah dengan Nabi di masjid Quba menjadi berkurang.
Keempat, masjid tersebut dibangun bertujuan sebagai tempat pemantauan untuk menunggu kedatangan seorang munafik yaitu Abu ‘Amir al-Rahib, sekaligus menjadi benteng bagi berkumpulnya kaum munafiqin lain yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Sehingga bisa dikatakan masjid ini berfungsi sebagai tempat pelarian orang-orang munafik dari kewajiban melaksanakan shalat.
Sikap Nabi Terhadap Masjid Dhirar
Untuk mengetahui sikap Nabi terhadap munculnya masjid dhirar, maka kita perlu meninjaunya dalam asbab al-nuzul ayat tersebut. Dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya Imam Suyuthi, juga terdapat riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Syihab al-Zuhri dari Ibnu Akimah al-Laitsiy dari putra saudaranya yaitu Abu Rahm al-Ghifari. Tatkala Abu Rahm al-Ghifari sedang berjualan di bawah pohon, ia menceritakan bahwa suatu ketika datanglah orang-orang yang membangun masjid dhirar kepada Nabi, dimana saat itu Nabi sedang bersiap diri untuk perang Tabuk.
Mereka berkata kepada Nabi: “wahai Rasulullah sesungguhnya kami telah membangun masjid untuk orang-orang yang punya hajat dan keperluan, serta malam-malam yang banyak hujan. Dan kami ingin datang dan shalat bersama kami di masjid tersebut”. Kemudian, Nabi pun menjawab: “sesungguhnya aku masih dalam keadaan perjalanan, jika nanti telah kembali, kami akan mendatangi kalian dan shalat bersama kalian di dalam masjid tersebut”.
Selepas perang Tabuk, Nabi pun kembali ke tempat dibangunya masjid tersebut. Namun, ketika Nabi hendak memasuki masjid tersebut, turunlah Q.S. at-Taubah [9] ayat 107. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi kemudian memanggil Malik ibn al-Dukhsyum dan Ma’nun ibn ‘Uday atau saudaranya yaitu ‘Ashim ibn ‘Uday, dalam riwayat lain juga bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah).
Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109
Setelah orang-orang yang dipanggil Nabi tersebut datang, beliau kemudian memerintahkan mereka seraya berkata: “Pergilah kalian ke masjid yang penduduknya zalim ini, hancurkan dan bakar masjid itu”. Akhirnya, para sahabat tersebut melakukan sesuai apa yang diperintahkan Nabi.
Dalam Tafsir al-Munir juga dijelaskan bahwa para ulama madzhab Maliki berpendapat apabila terdapat masjid yang dibangun hanya untuk tujuan pamer (riya’), mencari popularitas ataupun untuk tujuan kemudharatan yang lain, maka hukumnya sama dengan masjid dhirar. Sehingga mengakibatkan konsekuensi berupa tidak diperbolehkanya shalat di dalam masjid tersebut.
Oleh karena itu, pada ayat setelahnya (Q.S. at-Taubah [9]: 108) dijelaskan bahwa pendirian masjid haruslah hanya semata-mata atas dasar taqwa, bukan atas dasar kepentingan lain yang dapat menimbulkan kemudharatan.
Peringatan ayat ini sangat relevan dengan konteks Indonesia. Menurut data Dewan Masjid Indonesia (DMI), jumlah masjid atau mushala di Indonesia kurang lebih sudah mencapai 800.000 bangunan. Sehingga semangat untuk membangun tempat ibadah tersebut perlu dibarengi dengan pemahaman akan tujuan pembangunan masjid yang baik dan benar.
Oleh karena itu, ketika ingin membangun masjid hendaknya diperhatikan aspek-aspek tujuan utama dari pembangunan masjid, yaitu sebagai sarana tempat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Apabila membangun masjid dengan tujuan duniawi seperti popularitas atau ingin memecah belah umat, maka justru akan menimbulkan kemudharatan dan merusak kesucian masjid. Wallahu A’lam