BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranTelaah Nisbat Kepenulisan Mushaf Blawong

Telaah Nisbat Kepenulisan Mushaf Blawong

Dalam tulisan berjudul Belajar Skeptis dari Ali Akbar, saya menyebutkan bahwa nisbat kepenulisan Mushaf Blawong milik masyarakat Gogodalem tidak dapat disandarkan pada Mbah Jamaluddin. Di sana, saya sempat menyinggung penggunaan kertas Eropa sebagai argumentasi. Bahwa kertas Eropa yang digunakan sebagai alas naskah datang dari masa yang lebih muda ketimbang klaim masa hidup Mbah Jamaluddin. 

Sebagai pengantar, ulasan lengkap mengenai deskripsi naskah Mushaf Blawong dapat dibaca dalam tulisan berjudul Mengenal Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis (Part 1) dan Mengenal Mushaf al-Qur’an Blawong Gogodalem (part 2).

Dalam sebuah kajian lanjutan, saya mendapati argumentasi lain yang juga dapat dijadikan landasan ketidakabsahan penisbatan naskah kepada Mbah Jamaluddin. Lebih jauh, saya juga mendapati signifikansi kajian yang dilakukan terhadap nisbat kepenulisan Mushaf Blawong dalam perspektif filologi.

Gaya dan Model Kaligrafi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa argumentasi pertama ketidakabsahan penisbatan kepenulisan naskah adalah penggunaan kertas Eropa. Setelah merujuk keterangan yang diberikan Ali Akbar, kertas Eropa yang digunakan Mushaf Blawong didapati datang dari masa yang lebih muda ketimbang masa Mbah Jamaluddin hidup. Sehingga nisbat kepenulisan tidak dapat dibenarkan.

Baca Juga: Rasm ‘Utsmaniy antara Harus Dipertahankan atau Disesuaikan

Argumentasi berikutnya yang cukup penting adalah penggunaan kaligrafi: gaya dan model. Hasil sampling yang saya lakukan terhadap beberapa huruf mengindikasikan bahwa Mushaf Blawong ditulis oleh lebih dari satu orang.

Tabel perbandingan kaligrafi
Tabel perbandingan kaligrafi

Dari tabel di atas, ada sedikitnya tiga perbedaan yang mencolok dalam penggunaan model dan gaya kaligrafi dalam mushaf-mushaf Gogodalem. Pertama, huruf kaf yang tidak seragam. Dalam mushaf berkode BRI 84, kaf ditulis menggunakan model zinadi. Sementara mushaf yang lain ditulis dengan kaf yang berdiri sendiri dengan kaf kecil di bagian dalamnya.

Kedua, penggunaan gaya dan model lam alif. Perbedaan kedua ini terbagi menjadi dua, dimana lam alif berada dalam dua posisi yang berbeda dalam rangkaian penulisan: berdiri sendiri dan berada di bagian akhir.

Untuk penulisan lam alif yang berdiri sendiri sebagian menganut model penulisan menyilang hingga menciptakan lubang pada bagian pertemuan garis di bagian bawah. Model ini digunakan mushaf berkode BRI 82 dan 83. Sedangkan dua mushaf sisanya menarik huruf alif dari lengkungan bagian bawah huruf lam.

Hal yang sama juga masih berlaku pada lam alif yang ditulis secara menyambung dan berada pada bagian akhir kata. Model berlubang digunakan mushaf berkode BRI 83. Sedangkan sisanya menggunakan model lam alif kedua.

Ketiga, penggunan gaya mim di bagian akhir. Ada dua model yang digunakan di sini, mim dengan ekor pendek yang menyerong ke arah samping dan mim dengan ekor panjang yang ditarik menjulur turun. Model pertama digunakan oleh mushaf berkode BRI 83, 84, dan 85. Sedangkan BRI 82 menggunakan model kedua.

Signifikansi Kajian Nisbat Kepenulisan

Ada pertanyaan yang sering saya dapatkan ketika mengkaji telaah nisbat kepenulisan ini. Di antaranya seperti apa pentingnya mengkaji validitas nisbat kepenulisan naskah Blawong? Jika benar mushaf tersebut bukan tulisan Mbah Jamaluddin, implikasi apa yang timbul bagi masyarakat pemiliknya?

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin ada benarnya untuk diajukan. “Toh jika bukan tulisan Mbah Jamaluddin, masyarakat Gogodalem okay-okay saja”, begitu kurang lebih jawaban yang diberikan. Namun tidak demikian halnya jika kita menggunakan perspektif filologi.

Kita tentu ingat dengan artikel berjudul Benarkah Mushaf Rotterdam Tertua Se-Nusantara?. Di sana saya mencoba memberikan kritik kepada Zainal Abidin Sueb yang mengatakan mushaf Rotterdam sebagai mushaf tertua. Saya mencoba memberikan kritik dengan beberapa data pembanding yang kemudian membawa pada kesimpulan bahwa mushaf milik William Marsden-lah yang tertua, bukan Mushaf Rotterdam.

Hal yang sama juga terjadi ketika kritik skeptis diberikan oleh Ali Akbar atas tesis yang pernah dipercaya cukup lama bahwa Mushaf Ternate sebagai mushaf tertua di Nusantara karena berasal dari tahun 1050 H. atau 1597 M. Yang setelah dilakukan kajian ulang didapati bahwa mushaf tersebut berasal dari tahun 1185 H. atau 1772 M.

Baca Juga: Mengenal Imam Mazhab Rasm Bagian 2: Abu Dawud Sulaiman Najah

Telaah nisbat kepenulisan Mushaf Blawong dalam frame yang sama juga memiliki signifikansi terhadap klaim mushaf tertua di Nusantara. Jika Mushaf Blawong merupakan tulisan Mbah Jamaluddin, yang kemungkinan berasal akhir abad 16 atau awal abad 17, maka ia dapat menjadi kandidat mushaf tertua di Nusantara, setara dengan mushaf William Marsden, Rotterdam, atau mushaf lainnya. Namun setelah dilakukan kajian, kesempatan itu sirna seiring dengan adanya hasil temuan yang didapatkan.

Yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, jika Mushaf Blawong tidak dapat dinisbatkan kepada Mbah Jamaluddin, lantas kepada siapa? Simak jawabannya pada artikel berikutnya. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...