BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranTinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik (naqth al-i‘rab) dan tanda titik (naqth al-i‘jam). Adanya penurunan fashahah dan perubahan karakter dalam diri umat Islam periode awal disinyalir menjadi alasan utama.

Karena muncul belakangan, penggunaan tinta warna tidak menyertakan corak rupa hitam karena khawatir terjadi pembauran. Seperti pembauran antara rasm (garis batang huruf) mushaf dengan elemen tambahan diakritik yang menyertainya. Demikian ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-Dani dalam Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif.

Latar belakang ini yang kemudian melahirkan beberapa mazhab penggunaan tinta warna sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (baca selengkapnya di Tinta Warna pada Mushaf Alquran Bagian I). Meski demikian, praktik penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran di Indonesia agaknya cukup berbeda.

Alasan penurunan fashahah dan perubahan karakter tidak berlaku pada penulisan mushaf Alquran di Indonesia. Hal ini karena Islam masuk ke Indonesia, menurut informasi yang diberikan oleh Agus Sunyoto, baru sekitar abad ke-7 Masehi. Sementara mushaf Alquran tertua yang ditemukan di Indonesia berasal dari abad ke-16 Masehi atau tepatnya pada tahun 1585, koleksi William Marsden.

Artinya bahwa, mushaf pada abad ke-16 Masehi telah mengalami ‘modifikasi’ yang cukup sophisticated. Mushaf Alquran tidak lagi hanya terdiri dari rasm-nya saja, melainkan telah mengalami ‘penambahan’ pada beberapa elemen, seperti diakritik yang modern, tanda titik huruf, dan bahkan penanda hukum bacaan atau tajwid.

Baca Juga: Kisah Ibnu Muqlah; Berjasa dalam Penulisan Khat dan Mushaf namun Tragis di Karir Politik

Oleh karenanya, penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf Alquran di Indonesia memiliki mazhab tersendiri yang melembaga. Terlepas dari adanya kesepakatan yang dilakukan antar penyalin mushaf di Indonesia, berikut merupakan data yang penulis temukan dari penggunaan tinta warna pada mushaf Alquran kuno di Indonesia.

Akan tetapi karena keterbatasan ruang dan waktu yang tersedia, data yang penulis berikan ‘hanya’ berasal dari beberapa mushaf koleksi Jawa yang dimuat dalam buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Jawa terbitan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kementerian Agama, tahun 2019. Pun data tersebut terbatas pada foto yang disajikan pada buku tersebut mengingat beberapa situs yang terkait dengan konten buku tersebut tengah mengalami perbaikan sehingga tidak dapat diakses hingga tulisan ini ditulis.

Penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf di Indonesia memiliki sistem yang berbeda. Warna yang dipilih sendiri dominan pada merah. Kendati dalam penyuratan iluminasi mushaf dijumpai warna-warna lain seperti kuning, emas, hijau, dan biru, namun dalam penulisan teksnya tidak dijumpai satu pun warna tersebut.

Kecuali pada satu mushaf yang menjadi koleksi Widya Budaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berkode C1. Mushaf berukuran 21x16x1,5 cm ini menggunakan tinta berwarna biru dan prodo emas pada penulisan teks utamanya. Teknik penulisannya juga unik karena dua warna tersebut digunakan secara bergantian pada setiap baris teks Alquran-nya.

Baca Juga: Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa

Warna merah yang dipilih lazim digunakan pada bagian teks tertentu yang dianggap lebih menonjol dari pada yang lain. Bagian tersebut seperti lafaz jalalah, bagian awal surah dan juz, serta frasa walyatalaththaf pada ayat ke-19 dari surah Al-Kahf [18] yang sering diasosiasikan dengan pertengahan mushaf Alquran. Warna merah juga digunakan pada diakritik madd ja’iz dan madd wajib serta fatah berdiri.

Penggunaan warna merah dengan menonjolkan kontras corak rupanya dengan warna lain seperti hitam agaknya juga menjadi alasan penggunaannya pada mushaf koleksi Von der Wall yang tersimpan di Perpustakaan Nasional berkode A.54A-E (penulisan kode sesuai yang tertera pada buku Mushaf Kuno Nusantara edisi Jawa).

Alih-alih menggunakan warna hitam, mushaf berukuran 50,5×36 cm ini justru menggunakan warna merah pada teks Alquran-nya, mencakup rasm dan diakritik. Hal ini agaknya karena mushaf tersebut dibekali dengan interlinear translation (pemaknaan antar baris) yang ditulis menggunakan tinta warna hitam. Seolah menunjukkan bahwa teks reguler dari mushaf tersebut sebenarnya adalah bagian makna antar barisnya, bukan teks Alquran-nya.

Baca Juga: Babak Baru Standarisasi Mushaf Indonesia

Ulasan singkat penulis ini hanya memberikan gambaran sempit perihal penggunaan tinta warna pada penulisan mushaf Alquran. Meski begitu, penulis hendak menggarisbawahi bahwa penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran utamanya di Indonesia dapat ditempatkan sebagai tradisi periferal yang tentu memiliki kekhasan tersendiri sehingga menjadi beda dengan tradisi sentralnya.

Dengan membandingkannya terhadap tradisi penulisan Alquran di era awal Islam berikut peristiwa-peristiwa lain yang mengiringinya, akan didapatkan perbandingan yang menarik. Tak hanya pada praktik tradisi yang dihasilkan, melainkan yang lebih penting faktor-faktor yang menyebabkan praktik tradisi tersebut dihasilkan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...