BerandaTafsir TematikHukum Memperingati Hari Ibu menurut Al-Quran

Hukum Memperingati Hari Ibu menurut Al-Quran

Ibu adalah pelita dan harapan bagi seluruh putra-putrinya di dunia. Keberadannya adalah jantung bagi kemajuan dan peradaban. Tanpa seorang Ibu, anak tidak dapat menjadi pribadi yang mandiri, cerdas dan maju. Di Indonesia, hari ibu diperingati pada 22 Desember dan diperingati secara nasional. Hal ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada ibu secara khusus atas apa yang selama ini telah dikorbankan untuk mendidik, menyayangi putra-putri bangsa. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum memperingati hari Ibu dalam Islam? Berikut ini ulasannya.

Al-Quran  memerintahkan kita untuk selalu bersyukur karena memiliki orang tua khususnya Ibu, bahkan ayat tentang perintah bersyukur dan menghormati Ibu selalu terletak setelah larangan Allah berbuat Syirik. Tentu hal ini menunjukkan bahwa selain mentauhidkan Allah, seorang manusia sejati juga seharusnya memberikan penghormatan kepada ibu dan ayah secara khusus, bentuk penghormatan kepada mereka juga merupakana implementasi Tauhid kepada Allah. Untuk membuktikannya berikut kita tampilkan beberapa ayat sebelumnya yang memerintahkan kita untuk menghormati Ibu. Yakni Surat Luqman ayat 13-14 dan Al-Ahqaf ayat 13-14.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِير

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan

Baca juga: Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

Kedua ayat diatas menunjukkan adanya relevansi antara ketauhidan kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua.

Menurut al-Biqa’i keduaya memiliki munasabah (korelasi) bahwa kebenaran akidah harus diikuti amal yang shaleh. Dan Al-Quran  menunjukkan bahwa Amal yang utama adalah menghormati kedua orang tua. Selain itu, nikmat yang utama adalah Iman kepada Allah subhanahu wata’ala, kemudian Nikmat memiliki kedua orang tua yang mengasuh kita sejak kecil. Atas nikmat itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur, karena tidak dapat dikatakan bersyukur kepada Allah, jika ia tidak bersyukur terhadap makluk-Nya (orangtua). Karena sebabpendidikan dan pengasuhan keduanya pula, kita dapat mengetahui kebenaran. Sehingga bertauhid kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari menghormati dan mengasihi keduanya.

Namun, sebagian umat muslim belakangan menolak adanya perayaan hari Ibu karena mereka memiliki keyakinan bahwa memperingati Hari Ibu sama halnya dengan meniru peradaban barat. Mereka berpegang pada hadis berikut:

عن ابن عمر قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- من تشبه بقوم فهو منهم

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah bersabda; “barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian darinya” (HR. Sunan Abi Dawud)

“Bukan termasuk kami, yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nasrani.” (HR. Tirmidzi)

Baca juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Pada konteksnya, beberapa kali Nabi melanjutkan perbuatan umat-umat terdahulu digantikan dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana Thawaf, thawaf juga dilakukan oleh orang-orang kafir sebelumnya. Ketika syariat islam datang, thawaf tidak dihapus, namun kalimatnya diubah dengan kalimat-kalimat tauhid untuk mengagungkan Allah.

Begitupula dalam merayakan hari Ibu, tidak dapat disebut tashabbuh dengan kaum Nasrani yang mencanangkan hari Ibu. Karena aplikaisnya dapat beragam, bisa bersedekah kepada orang lain yang pahalanya dikirimkan untuk Ibu. Dapat pula memberi hadiah khusus untuk lebih menyenangkan hati ibu atau dapat pula mengadakan doa bersama untuk mendoakan Ibu. Tentu perayaan semacam ini tidak dapat dianggap sebagai tashabbuh, karena tidak erusak akidah dan ketauhidan seseorang. Merayakan Hari Ibu merupakan salah satu bentuk implementasi dari firman Allah Surat Al-Isra’ ayat 23:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Ibu memang harus dihormati setiap hari, namun memberikan hari Istimewa kepada seseorang sebagai bentuk pengagungan juga menjadikan seseorang yang dihormati lebih tersanjung dan bahagia. Peringatan hari ibu juga merupakan bentuk dari rasa syukur sebagaimana Al-Quran  perintahkan agar kita bersyukur. Tidak ada hukum yang melarang untuk memberikan sesuatu yang lebih istimewa kepada orang yang kita cintai. Berpegang pada kaidah fikih berikut:

  الأصل في الأشياء الإبا حة حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى التَّحرِيم

“Asal dari segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang melarangnya.”

Berpegang pada kaidah fikih tersebut, merayakan hari ibu bukanlah perbuatan yang dapat menimbulkan kesyirikan dan tidak terdapat dalil yang melarangnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa merayakan hari ibu diperbolehkan dengan berpegang pada kaidah bahwa segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan.

Selain itu, merayakan hari Ibu juga dianggap bid’ah oleh sebagian umat muslim. Karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak ada pada Masa Rasulullah adalah Bid’ah. Pada dasarnya, Bid’ah hanya diperuntukkan untuk masalah Ibadah saja. Sedangkan dalam hal Mu’amalah segala sesuatu yang baru dapat diterima selama itu mengandung kemaslahatan. Imam as-Syathibi berkata:

فَالْبِدعة إِذَن عِبَارةٌ عَن طَريقَة في ألدّين مُختَرَعة تضَاهي الشَّر عِيَّة

Bid’ah merupakan ungkapan tentang tata cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at (Ibrahim bin Musa al-Shathibi, al-I’tisham Juz 1, 26)

Selain itu juga terdapat kaidah yang haram pada dasarnya kebaruan dalam hal ibadah misalnya, menambah rakaat shalat, shalat yang menghadap kearah manapun. Sebagaimana kaidah fikih berikut:

 الأصلُ في العِبَادَات التَّحرِيم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى الإبا حة

“Hukum asal segala bentuk Ibadah adalah haram, hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.”

Memperingati hari ibu merupakan bentuk Mu’amalah untuk memperat serta sebagai bentuk rasa syukur seorang anak terhadap Ibu. Dan rasa syukur dapat diaplikasikan dalam bentuk apapun, selama tidak melanggar koridor dan norma agama.

Shofia elmizan
Shofia elmizan
Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...