Surah Ad-Dhuha merupakan surat yang ke-93 dari 114 surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari 11 ayat. Surat ini diturunkan di Mekkah – tepatnya sesudah surat Al-Fajr – atau lebih dikenal dengan istilah surat Makkiyah. Nama ad-Dhuha diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, yang artinya “waktu matahari sepenggalahan naik (Safwat al-Tafasir).”
Secara umum, surah Ad-Dhuha menerangkan tentang pemeliharaan Allah swt terhadap nabi Muhammad saw yang tidak pernah terhenti walaupun sekejap, menepis anggapan kaum kafir Quraisy yang menuduh beliau telah ditinggalkan Tuhannya, larangan berbuat buruk terhadap anak yatim dan orang yang meminta-minta serta perintah Allah swt kepada nabi saw supaya mensyukuri segala nikmat.
Sebagaimana mayoritas surat Al-Qur’an, surah Ad-Dhuha juga memiliki peristiwa yang melatarbelakangi turunnya (asbabun nuzul). Ada banyak riwayat yang menyebutkan tentang peristiwa-peristiwa tersebut. Semua riwayat itu mengerucut pada satu kondisi, yakni kegundahan nabi Muhammad saw akibat terhentinya wahyu dari Allah swt dalam beberapa waktu.
Disebutkan bahwa setelah sepuluh kali menerima wahyu – yakni 1. Iqra’, 2. al-Qalam, 3. Al-Muzzammil, 4. al-Muddatstsir, 5. al-Lahab, 6. at-Takwir, 7. Sabbihisma, 8. Alam Nasyrah, 9. al-Ashr, dan 10. al-Fajr – nabi Muhammad saw dalam beberapa waktu tidak lagi menerima wahyu. Hal ini membuat beliau sedikit khawatir dan gelisah (Tafsir Al-Misbah [15]: 323).
Baca Juga: Maksud Larangan Berlebihan Memuji Rasulullah SAW, Tafsir Surah an-Nisa 49
Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an tersebut melahirkan berbagai tanggapan masyarakat Arab. Bahkan – menurut Quraish Sihab – ini memberi dampak negatif dalam jiwa nabi saw (gejolak psikologis). Beliau menjadi gelisah dan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Diriwayatkan bahwa beliau sampai bolak-balik pergi ke gua Hira karena sangat menginginkan wahyu datang.
Di tengah kegundahan nabi Muhammad saw, seorang perempuan berkata kepada beliau – dikatakan itu adalah Ummu Jamil istri Abu Lahab – “Wahai Muhammad, setanmu benar-benar telah meninggalkanmu.” Lantas turunlah firman Allah swt dalam surah Ad-Dhuha (HR. Bukhari, no. 4983). Identitas tokoh yang mengatakan hal itu memang simpang siur, namun melalui riwayat tersebut kita dapat memahami bahwa nabi sedang dalam kondisi gejolak jiwa.
Pandangan di atas ditolak oleh Muhammad Abduh, sang pembaharu tafsir modern. Menurutnya, kecil kemungkinan kaum musyrikin mengetahui ketidakhadiran wahyu. Baginya, yang sebenarnya terjadi adalah nabi Muhammad saw begitu merindukan wahyu setelah merasakan manisnya keterhubungan dengan Allah swt. Akibatnya, beliau takut, gelisah, khawatir jikalau itu terjadi secara permanen (Tafsir al-Manar).
Ketidakhadiran wahyu Al-Qur’an ini berlangsung dalam beberapa waktu. Ada riwayat yang menyebutkan 2 atau 3 hari, ada yang menyebutkan 12 hari yakni al-Thabari, dan ada pula yang menyatakan selama 15 hingga 40 hari. Namun jika kita berkaca pada besarnya kegundahan nabi Muhammad saw – hingga dikatakan al-Maraghi beliau hampir frustasi – maka dapat disimpulkan bahwa itu terjadi dalam waktu yang cukup lama.
Orang-orang mungkin bertanya, sebenarnya apa yang menyebabkan wahyu terhenti? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa penyebabnya adalah seekor anjing, tetapi pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar. Menurutnya, Kisah lambatnya turun yang disebabkan anak anjing itu mahsyur, akan tetapi itu sangat gharib bahkan ganjil dan terbantahkan oleh hadis dalam kitab Shahih Bukhri.
Terlepas dari apa penyebab terhentinya wahyu, menurut sebagian ulama peristiwa ini – baik fatratul wahyi sebelum turunnya al-Muddatstsir atau ad-Dhuha – menunjukkan bahwa otoritas pewahyuan sepenuhnya berada di tangan Allah swt, bukan atas kehendak nabi Muhammad saw sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang kafir bahwa beliau memanipulasi wahyu. Allah swt adalah pemilik wahyu dan Dialah yang mengaturnya.
Ketika kegundahan nabi Muhammad saw berada pada puncaknya, Allah swt kemudian menurunkan surah Ad-Dhuha sebagai jawaban atas pertanyaan dan hinaan yang dilontarkan oleh kaum kafir Mekah yang menganggap bahwa Rasulullah saw sudah tidak dipedulikan lagi oleh Tuhannya, karena beliau sudah lama tidak menerima wahyu kenabian.
Menurut Quraish Shihab, ketika surah Ad-Dhuha turun dikisahkan bahwa nabi saw bertakbir karena senang dan gembira. Dari pengamalan beliau inilah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surat ini dan surat-surat yang tercantum dalam Mushaf sesudah ad-Dhuha agar bertakbir pula, baik pembacaan tersebut dalam shalat, maupun di luar shalat (Tafsir Al-Misbah [15]: 325).
Namun riwayat nabi saw bertakbir tersebut tidak bisa dikatakan sahih, karena hadisnya dhaif. Hal ini telah disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim dan Imam asy-Syaukani dalam Fath al-Qadir. Meskipun demikian, jika kita merujuk pada peristiwa kegundahan nabi Muhammad saw, maka suatu hal yang wajar seandainya beliau bertakbir ketika wahyu kembali datang sebagai bentuk kegembiraan.
Menurut penulis, surah Ad-Dhuha merupakan kabar gembira dari Allah swt kepada nabi Muhammad saw yang begitu merindukan kedatangan wahyu, bahwa segala kegelisahan dan kegundahannya selama ini tidaklah benar. Melalui surat ini Allah swt ingin menegaskan bahwa diri-Nya tidak pernah membenci, melupakan, atau meninggalkan nabi saw. Dia senantiasa membersamainya tanpa henti.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59: Bentuk Dukungan Rasulullah Terhadap Pemimpin dan Ulama
Melalui surah Ad-Dhuha, hati Rasulullah menjadi tenteram dan semakin semangat berdakwah. Dalam ayat-ayat ini Allah swt bersumpah dengan dua macam tanda-tanda kebesaran-Nya, yaitu dhuha bersama cahayanya dan dengan malam beserta kegelapannya; bahwa Dia tidak meninggalkan Rasul-Nya Muhammad dan tidak pula memarahinya, sebagaimana orang-orang kafir Quraisy mengatakannya atau perasaan Rasulullah sendiri.
Menurut Sahiron Syamsuddin – mengutip Bint al-Syati’ – sumpah Allah swt dengan waktu dhuha dan kegelapan malam merupakan sebuah perumpamaan kondisi psikologis nabi Muhammad saw. Ketika wahyu terhenti, beliau seakan berada dalam gelapnya malam. Sebaliknya, ketika wahyu datang, beliau berada dalam pancaran cahaya yang sepenuhnya mampu melenyapkan kegelapan malam. Wallahu a’lam.