BerandaTafsir TematikTafsir Surat Fatir Ayat 32: Tiga Golongan Pewaris Al-Quran

Tafsir Surat Fatir Ayat 32: Tiga Golongan Pewaris Al-Quran

Al-Quran mensifati dirinya sebagai petunjuk bagi manusia. Hal ini berdasarkan Firman Allah “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)” (QS. Al-Baqarah [2]:185. Akan tetapi, umat Islam berbeda-beda dalam menanggapi al-Quran. Dalam FirmanNya juga disebutkan tiga golongan pewaris al-Quran berikut ayatnya:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ (32)

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar” (QS. Fāṭir [35]:32).

Tafsir Surat Fatir Ayat 32

Terkait ayat tersebut, para mufasir memberikan penafsiran secara sederhana. Di dalam kitab Tafsīr al-Muyassar (juz 1, halaman 438) dijelaskan bahwa Allah memberikan al-Quran kepada orang-orang yang Dia pilih, yaitu umat Nabi Muhammad. Pertama, di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, yaitu dengan melakukan sebagian maksiat. Kedua, ada yang pertengahan, yaitu mereka yang melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat dan menjauhi larangan-larangan Allah saja. Ketiga, ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yaitu mereka yang sungguh-sungguh dalam beramal sholeh, baik fardhunya maupun sunnahnya. Pemberian al-Quran dan penobatan umat Nabi Muhammad sebagai umat pilihan merupakan sebuah karunia yang besar.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?

Ayat tersebut menurut Abu Bakar al-Jazā`irī di dalam kitab Aisar al-Tafāsīr (juz 4, halaman 355) memberikan informasi bahwa Allah telah mewariskan kitab terdahulu kepada umat Islam karena segala kebenaran dan petunjuk yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injil sudah terhimpun di dalam al-Quran.

Di antara  mereka ada yang menzalimi diri sendiri, yaitu mereka yang kurang dalam beramal dan berbuat sebagian dosa besar; ada pula yang pertengahan, yaitu mereka yang melaksanakan berbagai amal fardhu dan menjauhi dosa besar; dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah, yaitu mereka yang melaksanakan berbagai amal fardhu, berbagai amal sunah, dan menjauhi dosa besar maupun kecil. Pada intinya, klasifikasi tersebut dilihat dari apa yang diperbuat seorang hamba.

Menurut Al-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān fi Tafsīr Kalām al-Mannān (halaman 689), ketiga klasifikasi atau golongan tersebut telah dipilih Allah untuk mewarisi ajaran yang terkandung dalam al-Quran. Meskipun mereka berbeda-beda tingkatannya dan keadaannya, setiap klasifikasi tetap ikut andil dalam melestarikan ajaran al-Quran, bahkan orang yang menzalimi diri sekalipun. Hal ini, karena pada intinya mereka masih punya dasar iman, pengetahuan tentang keimanan, dan amal yang berlandaskan pada iman karena maksud dari mewarisi Kitab adalah mewarisi ilmu dan mengamalkannya, mempelajari lafaz-lafaznya, dan menggali maknanya.

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Tiga Golongan Sebagai Pewaris al-Quran Menurut Para Ulama

Ada penafsiran dari ulama lain yang menurut Penulis unik. Penafsiran tersebut dihimpun oleh al-Baghowi dalam Ma’ālim al-Tanzṭl fi Tafsīr al-Qur’ān (juz 3, halaman 696). Ja’far al-Ṣādiq berkata bahwa golongan pertama merupakan seseorang yang menzalimi diri pada awalnya tidak mampu mendekatkan diri pada Allah kecuali atas kemurahan-Nya.

Kemudian golongan kedua dia berada pada pertengahan, yaitu berada dalam keadaan khauf dan raja. Lalu ditutup pada tahap ketiga sābiqīn agar seseorang tidak merasa bahwa derajat sābiqīn atas usahanya semata, tetapi itu atas izin Allah. alasan mengapa setelah frasa sābiqun bi al-khairāt terdapat keterangan bi iżnillah (atas izin Allah) adalah agar seorang hamba tidak tertipu dengan usahanya sehingga hendaknya seorang hamba terus menambah rasa syukur atas pertolongan dan petunjuk Allah.

Pernyataan di atas senada dengan pendapat Abu Bakar al-Warrāq bahwa ayat tersebut merupakan tingkatan keadaan manusia sebagai hamba Allah karena hamba Allah terbagi atas tiga keadaan yaitu maksiat dan lupa; taubat; dan dekat dengan Allah. ketika seorang hamba maksiat maka dia termasuk orang zalim. Lalu dia bertubat, maka dia termasuk al-muqtasid. Lalu ketika diterima taubatnya maka dia termasuk al-sābiq. Dari pada membedakan tiga klasifikasi menjadi klasifikasi yang terpisah, Ja’far Ṣadiq dan  Abu Bakar al-Warrāq mengumpulkan tiga klasifikasi menjadi keadaan seorang hamba.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Senggama dengan Istri Sebelum Mandi Wajib dari Haid

Klasifikasi tersebut ternyata memiliki konsekuensi di akhirat. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh al-Suyūṭi dalam kitab al-Dur al-Manṡūr fi al-Tafsīr al-Ma`ṡūr (juz 7, halaman 23) melalui riwayat dari Ibn Abbas dia berkata “mereka adalah umat Nabi Muhammad. Allah telah mewariskan semua kitab yang diturunkan kepada mereka. Mereka yang menzalimi diri diampuni dosanya. Mereka yang pertengahan dihisab dengan hisab yang ringan. Mereka yang lebih dulu dahulu berbuat kebaikan masuk surga tanpa hisab”. al-Suyūṭi juga mengutip riwayat dari Sa’īd al-Khudri dari Nabi Muhammad bersabda terkait ayat tersebut bahwa semuanya berada dalam satu tempat, yaitu surga.

Ketiga klasifikasi di atas pada akhirnya berkumpul di surga-Nya meskipun dengan keadaan yang berbeda-beda selama seseorang masih beriman kepada Allah. Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa khiṭāb (sasaran bicara) dalam ayat tersebut adalah orang-orang beriman. Meski demikian, di dalam kitab Baḥr al-‘Ulām (juz 3, halaman 107) karya al-Samarqandi, ada riwayat dari Ibn Abbas bahwa orang yang zalim adalah orang kafir, orang yang pertengahan adalah orang munafik, dan orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah orang beriman. Alasan mengapa ayat tersebut lebih cocok jika sasaran bicaranya adalah orang beriman karena orang kafir dan munafik masuk neraka (QS. Al-Nisā [4]:160).

Wallahu a’lam

 

Adib Falahuddin
Adib Falahuddin
Mahasiswa S2 Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...